Jumat, 31 Juli 2015

Sejarah Masuk Islam nya Prabu Browijoyo V

Ketika genderang perang sudah ditabuh oleh Prabu Girindrawardhana Raja Kediri untuk kesekian kalinya ke Kutaraja Trowulan, hati Sang Prabu Brawijaya V menjadi luluh. 'Perang hidup-mati' antara pasukan Kediri degan Majapahit yang identik dengan Perang Bratayudha Jayabinangun pun pecah di daerah Jingga, dekat Kutara Trowulan. Karena banyak para adipati atau tumenggung yang mbelot dan bergabung dengan Prabu Girindrawardhana, tak ayal prajurit Majapahit pun keteteran menghadapi prajurit Kediri, sedang sebagain yang lain meregang nyawa.

Ya..., Istana Majapahit telah tumbang! Peristiwa itu ditandai dengan candrasengakala; "Sirna Ilang Kertaning bhumi" yang mengisyaratkan tahun 1400 saka atau 1478 M.

"Sudahlah Putraku!" demikian kata Prabu Brawijaya V kepada Raden Patah, "soal keyakinan janganlah dipaksa-paksakan!Silahkan kalian menjadi seorang Muslim yang baik, tetapi biarlah Ramandamu ini tetap menjadi penganut Budha."

Pasca lengser keprabon dari tahtanya, Prabu Brawijaya V mengajak dua orang abdi kinasihnya Sabda Palon dan Naya Genggong pergi ke Gunung Lawu di kawasan Argo Lawu untuk menggapai kasampurnan atau moksa dengan menjalani dharma, yakni bersemadi atau tapa brata.
Berhasilkah Prabu Brawijaya V menggapai cita-citanya, moksa?
Dan, berhasil pulakah upaya Raden Patah 'mengislamkan' Ramandanya Prabu Brawijaya V melalu 'jago' atau utusannya, Sunan Kalijaga?

Dialog Sunan Kalijogo dengan Prabu Browijoyo 

Sunan Kalijaga berkata “Namun lebih baik jika Paduka berkenan berganti syariat rasul, dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi jika Paduka tidak berkenan itu tidak masalah. Toh hanya soal agama. Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika belum paham syahadat itu juga tetap kafir namanya.”
Sang Prabu berkata, “Syahadat itu seperti apa, aku koq belum tahu, coba ucapkan biar aku dengarkan “

Sunan Kalijaga kemudian mengucapkan syahadat, asyhadu ala ilaha ilallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Kanjeng Nabi Muhammad itu utusan Allah. “
Sunan Kalijaga berkata banyak-banyak sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah Islam, setelah itu minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya tidak mempan digunting. Sunan Kalijaga lantas berkata, Sang Prabu dimohon Islam lahir batin, karena apabila hanya lahir saja, rambutnya tidak mempan digunting. Sang Prabu kemudian berkata kalau sudah lahir batin, maka rambutnya bisa dipotong.

Sang Prabu setelah potong rambut kemudian berkata kepada Sabdapalon dan Nayagenggong,
“Kamu berdua kuberitahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan memeluk agama Islam. Aku sudah menyebut nama Allah yang sejati. Kalau kalian mau, kalian berdua kuajak pindah agama rasul dan meninggalkan agama Buddha.”

Sabdo Palon Nayagenggong Ternyata Bukan Manusia atau jin Namun Hanya Sebuah Kitab

saya menambahkan mengenai Sabdo Palon Nayagenggong. Sabda : ucapan/berita/tulisan/ajaran. Palon : Semesta/alam/Dunia Macro cosmos dan Micro cosmos. Nayagenggong : untuk kesejahtearaan,kedamaian dan kesatuan.

saya tidak sependapat Sabdo Palon adalah seorang manusia, sabdopalon adalah sebuah kitab yang dibuat oleh Beliau yang berjulukan Beliau yang kesepuluh.
isi buku tersebut adalah mengupas semua kitab suci yang diturunkan Allah melalui Nabi. Jadi Kitab Sabdopalon adalah kitab tersirat dari segala kitab suci allah. jadi bukan seperti yang beredar sekarang.kita harus waspada terhadap pengadu domba/pemfitnah.    

Sang Prabu  ketika meninggalkan Istana beliau bersabda bahwa agama islam diperkenankan menebarkan agama islam dengan catatan bila agama islam tersebut tidak menjadikan agama yang menjadikan umatnya,damai,sejahtera dan bersatu dan saling menghormati agama lain aku akan menagih janji kepada para ulama dan pemimpin bangsa nusantara.dengan aku memimpin rakyat kecil turun menuju kota besar untuk meminta keadilan, kesejahteraan,kedamaian. kemunculan aku dengan tandanya para sepuh akan turun gunung,gunung gunung meletus, bencana alam dan manusia dimana-mana.‎cerita mengenai dialog Prabu Brawijaya V dengan seseorang yang tidak mau masuk Islam adalah dimana Prabu Brawijaya V menerima putra mahkota Majapahit (pengganti Brawijaya V) dimana sang putra mahkota menolak mengganti ayahandanya Brawijaya V dengan alasan Putra mahkota tidak mau kerajaan yang beragama Hindu sebagai agama kerajaan diganti agama kerajaan menjadi agama Islam. sehingga Putra mahkota tersebut bergelar Raden Gugur dan beliau menjadi Pertapa di gunung Lawu .

Dengan kepergian Putra mahkota/raden gugur Prabu Brawijaya V menjadi gundah/bingung sehingga beliau mencari pendapat siapakah kelak pengganti dirinya,intrik istanapun berkerja.beliau mendapat berita bahwa Raden Patah sedang memimpin penyerbuan ke Madjapahit. sehingga Prabu Brawijaya pergi meninggalkan Istana menuju ke Blambangan untuk minta bantuan dari kerajaan dari Bali. sementara kedatangan raden rahmat adalah utusan raden patah yang akan menghadap Ayahnya Prabu Brawijaya tetapi dijalan dihadang oleh kelompok yang ingin merebut kekuasaan kerajaan. sehingga raden patah mendapat berita bahwa ayahnya sedang mendapat tekanan/kudeta sehingga mengirim pasukan untuk membebaskan ayahnya,sementara Prabu Brawijaya V mendapat berita bahwa anaknya akan menyerbu Kerajaan Madjapahit.

Dalam pelarian Prabu Brawijaya, Raden Said(Sunan Kalijaga) menyusul Prabu BrawijayaV. terjadilah pertemuan di Blambangan, dimana Raden Said menghentikan niat Prabu Brawijaya V meminta bantuan dari kerajaan di Bali.
dimana dialog tersebut.tersebut Raden Said mengatakan kepada Prabu Brawijaya V. bahwa yang datang ke Madjapahit adalah Putra beliau sendiri yang bernama Raden Patah. dan raden patah tidak bermaksud menguasai kerajaan tetapi ingin membebaskan Prabu dari tangan pemberontak. setelah Prabu Brawijaya V mendengar penjelasan dai Raden Said. maka beliau tidak jadi menyeberang ke Bali dan ingin kembali ke Madjapahit. kemudian Prabu Brawijaya minta pendapat kepada Raden said. siapakah yang berhak menjadi pengganti Prabu Brawijaya V, oleh Raden Said diusulkan Raden Patah(anak Prabu Brawijaya v dengan Putri Cina) kemudian disetujui oleh Prabu Brawijaya V.Raden Said(Sunan Kalijaga) kemudian meminta kesediaan untuk Prabu Brawijaya V Masuk agama islam untuk membuktikan pengakuan Raja telah menyetujui Raden Patah menjadi pengganti Prabu Brawijaya V dan agama kerajaan Madjapahit menjadi agama Islam. 

Prabu Brawijaya V menyetujui kemudian Raden Said men Baiat Prabu dengan 2 kalimat syahadat. Prabu Brawijaya V meminta kepada Raden Said khusus untuk Membaca 2 Kalimat Syahadat, Prabu Brawijaya V mau melakukan tetapi tanpa asyhadu(saya bersaksi).dimana intinya Prabu Brawijaya V tidak berani dan sanggup yang disebabkan faktor usia dan ketidak sanggupan Prabu Brawijaya melaksanakannya. dimana kata asyhadu (bersaksi kepada tuhan) adalah sangat berat , terjadilah dialog yang sangat panjang. yang diakhiri oleh suatu percakapan dimana Prabu Brawijaya V mengatakan kepada Raden Said (Sunan Kalijaga) bila beliau salah dalam mengucapkan 2 kalimat syahadat tanpa asyhadu maka air danau tempat saya mengucap menjadi bukti besok bila wangi maka permohonan saya dikabulkan oleh Allah SWT. dan bila besok air danau ini bau anyir maka saya mengulangi membaca 2 kalimat syahadat dengan asyhadu. ternyata keesokan harinya air danau terebut berbau wangi “Kuasa Allah amat mulia dan meliputi semuanya” dan sekarang disebut kota Banyuwangi.
dalam perjalanan pulang Sunan Kalijaga mengiringi Prabu Brawijaya V dan tiada hentinya Sunan Kalijaga dan Prabu Brawijaya V membicarakan agama Islam.

Sesampai kembali di Kerajaan Madjapahit Prabu Brawijaya menanyakan kepada Sunan Kalijaga tentang keberadaan Raden Patah rupanya Takdir berkata lain Raden Patah ketika ditanyakan keberadannya oleh Prabu Brawijaya V berhalangan/bersimpangan jalandan ketika terakhir kali ditanyakan oleh Prabu Brawijaya V kepada Raden Said duduk disebelah Raden Said seorang pemuda yang ditanyakan oleh Prabu Brawijaya V siapakah dia dan Raden Said menjawab ia adalah Bondan Kejawen putra Prabu juga. sehingga Prabu mengucapkan kepada Raden Said bahwa Raden Patah akan memimpin Kerajaan Islam pertama di nusantara dan kerajaan tersebut hanya satu periode(Demak) dan sebagai penerus kerajaan nusantara adalah keturunanku yang lain dari Bondan Kejawan.

Karena Usia Prabu Brawijaya V sudah Lanjut dan beliau wafat tidak dapat bertemu juga dengan Raden Patah.dan pesan Prabu Brawijaya V makam ku dinamakan “Makam Putri Cempa”

Wasiat terakhir Sang Prabu Browijoyo V

Syahid, sepeninggalku, kamu harus bisa momong anak-cucu-ku. Terutama aku titipkan anak ini (Raden Bondhan Kajawan). Momonglah dia hingga seluruh keturunannya. Jika memang nanti ada keberuntungan baginya, kelak anak inilah yang akan menurunkan lajere tanah Jawa.Dan lagi pesanku kepadamu, jikalau nanti aku sudah berpulang ke zaman keabadian, makamkan aku di Majapahit, buatkanlah aku makam di sebelah timur laut Kolam Segaran. Namailah makamku "Sastrawulan". Dan sebarkan berita bahwasanya yang dimakamkan di situ adalah istriku, Putri Cempa.

Sastra bermakna tulisan, wulan bermakna pelita dunia (rembulan). Ini melambangkan keutamaanku yang hanya seperti rembulan (tidak ajek seperti matahari). Jika masih ada cahaya rembulan, kelak, biar semua orang Jawa tahu bahwa saat diriku mangkat, aku telah memeluk agama Islam. Dan aku meminta kepadamu agar kelak kamu mengabarkan bahwa yang dimakamkan di sana adalah Putri Cempa, bukan aku, sebab aku telah dianggap seperti wanita (disepelekan) oleh anakku sendiri, tidak lagi dianggap sebagai lelaki, hingga sedemikian teganya dia menyia-nyiakan ayahnya sendiri.

Selesai memberikan wasiat, Sang Prabu segera bersedekap, lalu meninggal dunia. Jenazahnya lantas dimakamkan di Astana Sastrawulan, Majapahit. Hingga hari ini, makam Prabu Brawijaya terkenal sebagai makam Putri Cempa. Padahal, Putri Cempa meninggal di Tuban, makamnya berada di Karang Kumuning.‎

Kamis, 30 Juli 2015

Sejarah Laksamana Cheng Ho

Sekitar tahun 1930-an, sejarah kehebatan seorang laksamana laut asal Tiongkok pada abad ke-15 mulai terkuak. Adalah batu prasasti di sebuah kota di Provinsi Fujian, Cina yang bersaksi dan mengisahkan jejak perjalanan dan petualangan seorang pelaut andal dan tangguh bernama Cheng Ho atau Zheng He.

Catatan perjalanan dan penjelajahan yang luar biasa hebatnya itu tak hanya memiliki arti penting bagi bangsa Cina. Jejak hidup Laksamana Cheng Ho juga begitu berarti bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Seperti halnya, petualang hebat dari Maroko, Ibnu Battuta, Cheng Ho pernah singgah di Nusantara dalam ekspedisinya.

Matt Rosenberg, seorang ahli geografi terkemuka dunia mengungkapkan, ekspedisi laut yang dipimpin Cheng Ho telah dilakukan 87 tahun sebelum penjelajah kebanggaan Barat, Christopher Columbus, mengarungi luasnya samudera biru. Tak hanya itu, ekspedisi arung samudera yang dilakukan Cheng Ho juga jauh lebih awal dari penjelajah asal Portugis, Vasco da Gama dan petualang asal Spanyol, Ferdinand Magellan.

Petualangan antarbenua yang dipimpin Cheng Ho selama 28 tahun (1405 M -1433 M) itu berlangsung dalam tujuh kali pelayaran. Menurut Rosenberg, tak kurang dari 30 negara di benua Asia dan Afrika disinggahi Cheng Ho. Jarak tempuh ekspedisi yang dipimpin Cheng Ho beserta pengikutnya mencapai 35 ribu mil.

Dalam batu prasasti yang ditemukan di Provinsi Fujian itu, Cheng Ho mengatakan bahwa dirinya diperintahkan kaisar Dinasti Ming untuk berlayar mengarungi samudera menuju negara-negara di luar horizon. Dalam ekspedisinya mengelilingi benua Afrika dan Asia itu, Cheng Ho mengerahkan armada raksasa dengan puluhan kapal besar dan kapal kecil serta puluhan ribu awak.

Pada ekspedisi pertama, ia mengerahkan 62 kapal besar dan belasan kapal kecil yang digerakkan 27.800 ribu awak. Pada pelayaran ketiga, Cheng Ho menurunkan kapal besar sebanyak 48 buah dengan 27 ribu awak. Sedangkan pada pelayaran ketujuh, tak kurang dari 61 kapal besar dikerahkan dengan awaknya mencapai 27.550 orang. Padahal, ekspedisi yang dilakukan Columbus saat menemukan benua Amerika hanya mengerahkan tiga kapal dengan awak mencapai 88 orang.

Sebuah ekspedisi yang benar-benar dahsyat. Dalam setiap ekspedisi itu, secara khusus Cheng Ho menumpangi ‘kapal pusaka’. Sebuah kapal terbesar pada abad ke-15 M. Betapa tidak, panjangnya saja mencapai 138 meter dan lebarnya sekitar 56 meter. Ukuran kapal yang digunakan Cheng Ho untuk menjelajah samudera itu lima kali lebih besar dibanding kapal Columbus.

Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas `kapal pusaka’ itu mencapai 2.500 ton. Pencapaian gemilang Cheng Ho melalui ekspedisi lautnya pada abad ke-15 M menunjukkan betapa peradaban Cina telah memiliki kapal-kapal besar serta kemampuan navigasi untuk menjelajahi dunia. Anehnya, keberhasilan yang dicapai Cheng Ho itu tak diikuti dengan ekspedisi berikutnya.

”Cheng Ho terlahir sekitar tahun 1371 M di Provinsi Yunan sebelah baratdaya Cina,” ungkap Rosenberg. Nama kecilnya adalan Ma Ho. Dia tumbuh dan dibesarkan dalam sebuah keluarga Muslim. Apalagi, sang ayah pernah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, Makkah. Menurut Rosenberg, nama keluarga Ma digunakan oleh keluarga Muslim di Tiongkok merujuk pada Muhammad.

Ketika berusia 10 tahun (1381 M), Ma Ho kecil dan anak-anak yang lain ditangkap tentara Cina yang menginvasi wilayah Yunan. Pada usia 13 tahun, dia dan tahanan muda lainnya dijadikan pelayan rumah tangga Pangeran Zhu Di – anak keempat kaisar Cina. Namun, Ma Ho menjadi pelayan khusus Pangeran Zhu Di.

Pergaulannya dengan pangeran, membuat Ma Ho menjadi pemuda yang tangguh. Dia jago berdiplomasi serta menguasai seni berperang. Tak heran, bila dia kemudian diangkat menjadi pegawai khusus pangeran. Nama Ma Ho juga diganti oleh Pangeran Zhu Di menjadi Cheng Ho. Alasannya, kuda-kuda milik abdi (kasim) kaisar terbunuh dalam pertempuran di luar Istana yang dinamakan Zhenglunba.

“Cheng Ho juga dikenal sebagai San Bao yang berarti `tiga mutiara’,” papar Rosenberg. Cheng Ho yang memiliki tinggi badan sekitar tujuh kaki, posisinya kian menguat ketika Zhu Di diangkat menjadi kaisar pada 1402. Cheng Ho pun lalu didaulat menjadi laksamana dan diperintahkan untuk melakukan ekspedisi. Cheng Ho, merupakan abdi istana pertama yang memiliki pososi yang tinggi dalam militer Cina.

Ekspedisi pertama Cheng Ho dilakukan pada tahun 1405 M – 1407 M. Sebelum memulai ekspedisinya, rombongan besar itu menunaikan shalat terlebih dulu di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini mampu mencapai Caliut, barat daya India dan sampai di wilayah Asia Tenggara: Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Vietnam, Srilangka. Di setiap persinggahan armada itu melakukan transaksi dengan cara barter.

Tahun 1407 M – 1409 M ekspedisi kedua kembali dilakukan, namun Cheng Ho tak ikut memimpin ekspedisi ini, dia tetap di Cina merenovasi masjid di kampung halamannya. Ekspedisi ketiga digelar pada 1409 M – 1411 M menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413 M – 1415 M kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417M – 1419 M) dan keenam (1421 M – 1422 M). Ekspedisi terakhir (1431 M- 1433 M) berhasil mencapai Laut Merah.

Ekspedisi luar biasa itu tercatat dan terekam dalam buku Zheng He’s Navigation Map yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan. Jalur perdagangan Cina berubah, tidak sekadar bertumpu pada ‘Jalur Sutera’ antara Beijing-Bukhara.

Tak ada penaklukan dalam ekspedisi itu. Sejarawan Jeanette Mirsky menyatakan, ekspedisi bertujuan untuk memperkenalkan dan mengangkat nama besar Dinasti Ming ke seluruh dunia. Kaisar Zhu Di berharap dengan ekspedisi itu, negara-negara lain mengakui kebesaran Kaisar Cina sebagai The Son of Heaven (Putra Dewata. Tindakan militer hanya diterapkan ketika armada yang dipimpinnya menghadapi para perompak di laut. Cheng Ho tutup usia di Caliut, India ketika hendak pulang dari ekspedisi ketujuh pada 1433 M. Namun, ada pula yang menyatakan dia meninggal setelah sampai di Cina pada 1435. Setiap tahun ekspedisinya selalu dikenang. 

Siapa sebenarnya Laksamana Cheng Ho

Dalam sejarah Indonesia, Laksamana Sam Po Kong dikenal dengan nama Zheng He, Cheng Ho, Sam Po Toa Lang, Sam Po Thay Jien, Sam Po Thay Kam, dan lain-lain. Laksamana Sam Po Kong berasal dari bangsa Hui, salah satu bangsa minoritas Tionghoa. Laksamana Cheng Ho adalah sosok bahariawan muslim Tionghoa yang tangguh dan berjasa besar terhadap pembauran, penyebaran, serta perkembangan Islam di Nusantara. Cheng Ho (1371 – 1435) adalah pria muslim keturunan Tionghoa,berasal dari propinsi Yunnan di Asia Barat Daya. Ia lahir dari keluarga muslim taat dan telah menjalankan ibadah haji yang dikenal dengan haji Ma.

Silsilah lengkap Laksamana Cheng Ho:

Muhammad Cheng Ho (Zheng He, Ma He, Ma Sanbao atau Haji Machmud ‎ 1371–1433) bin
Mi-Li-Jin (Ma Ha Zhi ) bin
Mi-Di-Na (Haji) bin
Bai-Yan bin
Na-Su-La-Ding bin
Sau-Dian-Chi (Sayid Syamsuddin atau Sayid Ajall) bin
Ma-Ha-Mu-Ke-Ma-Nai-Ding bin
Ka-Ma-Ding-Yu-Su-Pu bin
Su-Sha-Lu-Gu-Chong-Yue bin
Sai-Yan-Su-Lai-Chong-Na bin
Sou-Fei-Er (Sayid Syafi'i) bin
An-Du-Er-Yi bin 
Zhe-Ma-Nai-Ding bin
Cha-Fa-Er bin
Wu-Ma-Er bin
Wu-Ma-Nai-Ding bin
Gu-Bu-Ding bin
Ha-San bin
Yi-Si-Ma-Xin bin
Mu-Ba-Er-Sha bin
Lu-Er-Ding bin
Ya-Xin bin
Mu-Lu-Ye-Mi bin
She-Li-Ma bin
Li-Sha-Shi bin
E-Ha-Mo-De bin
Ye-Ha-Ya bin
E-Le-Ho-Sai-Ni bin
Xie-Xin bin
Yi-Si-Ma-Ai-Le bin
Yi-Bu-Lai-Xi-Mo (Sayid Ali Zainal Abidin) bin
Hou Sai-Ni (Sayidina Husain As-Syahid) bin
Sayyidatina Fathimah binti
Sayidina Muhammad Rosululloh  SAW.

*kutipan dari buku "Ahlul Bait Rasulullah SAW & Kesultanan Melayu"

Dari silsilah ini diketahui bahwa Laksamana Cheng Ho memang seorang muslim keturunan Rasululloh SAW.

Moyang Laksamana Cheng Ho adalah Sayid Syamsuddin, putera Sultan Bukhara yang dikalahkan Ghenghiz Khan. Sayid Syamsuddin jadi tawanan di Peking (Beijing). Karena akhlaknya yang mulia, beliau bukan saja dibebaskan, tapi malah diangkat jadi Penolong Menteri di Yunnan.

Konon, pada usia sekitar 10 tahun Cheng Ho ditangkap oleh tentara Ming di Yunnan. Pangeran dari Yen, Chung Ti, tertarik melihat Cheng Ho kecil yang pintar, tampan, dan taat beribadah. Kemudian ia dijadikan anak asuh. Cheng Ho tumbuh menjadi pemuda pemberani dan brilian. Di kemudian hari ia memegang posisi penting sebagai Admiral Utama dalam angkatan perang.

Pada saat kaisar Cheung Tsu berkuasa, Cheng Ho diangkat menjadi admiral utama armada laut untuk memimpin ekspedisi pertama ke laut selatan pada tahun 1406. Sebagai admiral, Cheng Ho telah tujuh kali melakukan ekspedisi ke Asia Barat Daya dan Asia Tenggara. Selama 28 tahun (1405 – 1433 M) Cheng Ho telah melakukan pelayaran muhibah ke berbagai penjuru dunia dengan memimpin kurang lebih 208 kapal berukuran besar, menengah, dan kecil yang disertai dengan kurang lebih 27.800 awak kapal. Misi muhibah pelayaran yang dilaksanakan oleh Laksamana Cheng Ho bukan untuk melaksanakan ekspansi, melainkan melaksanakan misi perdagangan, diplomatik, perdamaian, dan persahabatan. Ini merupakan pelayaran yang menakjubkan, berbeda dengan pengembaraan yang dilakukan oleh pelaut Barat seperti Cristopherus Colombus, Vasco da Gamma, atau pun Magelhaes.

Sebagai bahariawan besar sepanjang sejarah pelayaran dunia, kurang lebih selama 28 tahun telah tercipta 24 peta navigasi yang berisi peta mengenai geografi lautan. Selain itu, Cheng Ho sebagai muslim Tiong Hoa, berperan penting dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara dan kawasan Asia Tenggara.

Pada perjalanan pelayaran muhibah ke-7, Cheng Ho telah berhasil menjalankan misi kaisar Ming Ta’i-Teu (berkuasa tahun 1368 – 1398), yaitu misi melaksanakan ibadah haji bagi keluarga istana Ming pada tahun 1432 – 1433. Misi ibadah haji ini sengaja dirahasiakan karena pada saat itu, bagi keluarga istana Ming menjalankan ibadah haji secara terbuka sama halnya dengan membuka selubung latar belakang kesukuan dan agama.

Untuk mengesankan bahwa pelayaran haji ini tidak ada hubungannya dengan keluarga istana, sengaja diutus Hung Pao sebagai pimpinan rombongan. Rombongan haji itu tidak diikuti oleh semua armada dalam rombongan ekspedisi ke-7. Rombongan haji ini berangkat dari Calleut (kuli, kota kuno) di India menuju Mekkah (Tien Fang).

Demikianlah misi perjuangan dan misi rahasia menunaikan ibadah haji yang dijalankan Cheng Ho, dan misi tersebut berhasil. Akan tetapi Cheng Ho merasa sedih karena tidak bisa bebas berlayar menuju tanah leluhurnya, Mekkah, untuk beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Sebelumnya, pada ekspedisi ke-5, armada Cheng Ho telah berhasil mencapai pantai timur Afrika dalam waktu tiga tahun. Dalam kesempatan tersebut, armada Cheng Ho berkunjung ke kerajaan di Semenanjung Arabiah dan menunaikan panggilan Allah ke Mekkah.

Sejarah tentang perjalanan muhibah Cheng Ho, hingga saat ini masih tetap diminati oleh berbagai kalangan, baik kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya, maupun masyarakat keturunan Tionghoa. Chneg Ho telah menjadi duta pembauran negeri Tiongkok untuk Indonesia yang diutus oleh kaisar Dinasti Ming pada tahun Yong Le ke-3 (1405). Dalam tujuh kali perjalanan muhibahnya ke Indonesia, Laksamana Cheng Ho berkunjung ke Sumatera dan Pulau Jawa sebanyak enam kali.

Kunjungan pertama adalah ke Jawa, Samudera Pasai, Lamrbi (Aceh Raya), dan Palembang. Sebagian besar daerah yang pernah dikunjungi Cheng Ho menjadi pusat dagang dan dakwah, diantaranya Palembang, Aceh, Batak, Pulau Gresik, Semarang (di sekitar Gedong Batu), Surabaya, Mojokerto, Sunda Kelapa, Ancol, dan lain-lain. Gerakan dakwah pada masa itu telah mendorong kemajuan usaha perdagangan dan perekonomian di Indonesia.

Dalam perjalanan muhibahnya, setiap kali singgah di suatu daerah ia banyak menciptakan pembauran melalui bidang perdagangan, pertanian, dan peternakan.

Misi muhibah yang dilakukan Cheng Ho memberikan manfaat yang besar bagi negeri yang dikunjunginya.

Sejarah Perkembangan Tebu Ireng

Tebuireng adalah nama sebuah pedukuhan yang termasuk wilayah administratif Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, berada pada kilometer 8 dari kota Jombang ke arah selatan. Nama pedukuhan seluas 25,311 hektar ini kemudian dijadikan nama pesantren yang didirikan oleh Kiai Hasyim.

Menurut penuturan masyarakat sekitar, nama Tebuireng berasal dari kata ”kebo ireng” (kerbau hitam). Konon, ada seorang penduduk yang memiliki kerbau berkulit kuning. Suatu hari, kerbau tersebut menghilang dan setelah dicari kian kemari, kerbau itu ditemukan dalam keadaan hampir mati karena terperosok di rawa-rawa yang banyak dihuni lintah. Sekujur tubuhnya penuh lintah, sehingga kulit kerbau yang semula berwarna kuning kini berubah menjadi hitam. Peristiwa ini menyebabkan pemilik kerbau berteriak ”kebo ireng …! kebo ireng …!”Sejak sat itu, dusun tempat ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama Kebo Ireng.

Pada perkembangan selanjutnya, ketika penduduk dusun tersebut mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah menjadi Tebuireng. Tidak diketahui dengan pasti kapan perubahan itu terjadi dan apakah hal itu ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun tersebut, yang banyak mendorong masyarakat untuk menanam tebu? Karena ada kemungkinan, karena tebu yang ditanam berwarna hitam maka dusun tersebut berubah nama menjadi Tebuireng. Dan awal Mbah Hasyim Rawuh ke Dusun tersebut untuk mencari tempat berupa hutan (kebun) tebu ireng.

Berdirinya Pesantren Tebuireng

Pondok Pesantren Tebu ireng didirikan oleh Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1899 M. dan mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda pada 16 Rabiul Awwal 1324 H / 6 Februari 1899 M. 
Beliau dilahirkan pada hari Selasa Kliwon tanggal 24 Dzul Qa’dah 1287 H. bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Kelahiran beliau berlangsung di rumah kakeknya, Kyai Utsman, di lingkungan Pondok Pesantren Gedang Jombang. Hasyim kecil tumbuh dibawah asuhan ayah, ibu dan kakeknya di Gedang. Dan seperti lazimnya anak kyai pada saat itu, Hasyim tak puas hanya belajar kepada ayahnya, pada usia 15 tahun ia pergi ke Pondok Pesantren Wonokoyo Pasuruan lalu pindah ke Pondok Pesantren Langitan Tuban dan ke Pondok Pesantren Tenggilis Surabaya. Mendengar bahwa di Madura ada seorang kyai yang masyhur, maka setelah menyelesaikan belajarnya di Pesantren Tenggilis ia berangkat ke Madura untuk belajar pada Kyai Muhammad Kholil. Dan masih banyak lagi tempat Hasyim menimba ilmu pengetahuan agama, hingga ahirnya beliau diambil menantu oleh salah satu gurunya yaitu Kyai Ya’qub, pada usia 21 tahun Hasyim dinikahkan dengan putrinya yang bernama Nafisah pada tahun 1892. 

Selanjutnya bersama mertua dan isterinya yang sedang hamil pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil menuntut ilmu. Namun musibah seakan menguji ketabahannya, karena tidak lama istrinya tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal. kesedihan itu semakin bertumpuk, lantaran empat puluh hari kemudian buah hatinya, Abdullah, wafat mengikuti ibunya. Selama di Mekkah, Hasyim muda berguru kepada banyak ulama’ besar yaitu Syekh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Turmusi dan Syekh Muhammad Minangkabau dan masih banyak lagi ulama’ besar lainnya. Sejak pulang dari pengembaraannya menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren terkemuka dan bahkan ke tanah suci Mekkah, beliau ingin mengamalkan ilmu yang telah beliau dapatkan.

Pada penghujung abad ke-19, di sekitar Tebuireng bermunculan pabrik-pabrik milik orang asing (terutama pabrik gula). Bila dilihat dari aspek ekonomi, keberadaan pabrik-pabrik tersebut memang menguntungkan karena akan membuka banyak lapangan kerja. Akan tetapi secara psikologis justru merugikan, karena masyarakat belum siap menghadapi industrialisasi. Mereka belum terbiasa menerima upah sebagai buruh pabrik. Upah yang mereka terima biasanya digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif-hedonis. Budaya judi dan minum minuman keras pun menjadi tradisi.

Ketergantungan rakyat terhadap pabrik kemudian berlanjut pada penjualan tanah-tanah rakyat yang memungkinkan hilangnya hak milik atas tanah. Diperparah lagi oleh gaya hidup masyarakat yang amat jauh dari nilai-nilai agama.

Kondisi ini menyebabkan keprihatinan mendalam pada diri Kiai Hasyim. Beliau kemudian membeli sebidang tanah milik seorang dalang terkenal di dusun Tebuireng. Lalu pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H (bertepatan dengan tanggal 3 Agustus 1899 M.), Kiai Hasyim mendirikan sebuah bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu (Jawa: tratak), berukuran 6 X 8 meter.‎ Bangunan sederhana itu disekat menjadi dua bagian. Bagian belakang dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim bersama istrinya, Nyai Khodijah, dan bagian depan dijadikan tempat salat (mushalla). Saat itu santrinya berjumlah 8 orang,‎ dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Kehadiran Kiai Hasyim di Tebuireng tidak langsung diterima dengan baik oleh masyarakat. Gangguan, fitnah, hingga ancaman datang bertubi-tubi. Tidak hanya Kiai Hasyim yang diganggu, para santripun sering diteror. Teror itu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak menyukai kehadiran pesantren di Tebuireng. Bentuknya beraneka ragam. Ada yang berupa pelemparan batu, kayu, atau penusukan senjata tajam ke dinding tratak. Para santri seringkali harus tidur bergerombol di tengah-tengah ruangan, karena takut tertusuk benda tajam. Gangguan juga dilakukan di luar pondok, dengan mengancam para santri agar meninggalkan pengaruh Kiai Hasyim. Gangguan-gangguan tersebut berlangsung selama dua setengah tahun, sehingga para santri disiagakan untuk berjaga secara bergiliran.

Ketika gangguan semakin membahayakan dan menghalangi sejumlah aktifitas santri, Kiai Hasyim lalu mengutus seorang santri untuk pergi ke Cirebon, Jawa Barat, guna menemui Kiai Saleh Benda kerep, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai samsuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet. Keempatnya merupakan sahabat karib Kiai Hasyim. Mereka sengaja didatangkan ke Tebuireng untuk melatih pencak silat dan kanuragan selama kurang lebih 8 bulan.

Dengan bekal kanuragan dan ilmu pencak silat ini, para santri tidak khawatir lagi terhadap gangguan dari luar. Bahkan Kiai Hasyim sering mengadakan ronda malam seorang diri. Kawanan penjahat sering beradu fisik dengannya, namun dapat diatasi dengan mudah. Bahkan banyak diantara mereka yang kemudian meminta diajari ilmu pencak silat dan bersedia menjadi pengikut Kiai Hasyim. Sejak saat itu Kiai Hasyim mulai diakui sebagai bapak, guru, sekaligus pemimpin masyarakat.

Selain dikenal memiliki ilmu pencak silat, Kiai Hasyim juga dikenal ahli di bidang pertanian, pertanahan, dan produktif dalam menulis. Karena itu, Kiai Hasyim menjadi figur yang amat dibutuhkan masyarakat sekitar yang rata-rata berprofesi sebagai petani. Ketika seorang anak majikan Pabrik Gula Tjoekir berkebangsaan Belanda, sakit parah dan kritis, kemudian dimintakan air do’a kepada Kiai Hasyim, anak tersebut pun sembuh.

Luasnya pengaruh Kiai Hasyim

Dengan tumbuhnya pengakuan masyarakat, para santri yang datang berguru kepada Kiai Hasyim bertambah banyak dan datang dari berbagai daerah baik di Jawa maupun Madura. Bermula dari 28 orang santri pada tahun 1899, kemudian menjadi 200 orang pada tahun 1910, dan 10 tahun berikutnya melonjak menjadi 2000-an orang, sebagian di antaranya berasal dari Malaysia dan Singapura. Pembangunan dan perluasan pondok pun ditingkatkan, termasuk peningkatan kegiatan pendidikan untuk menguasai kitab kuning.

Kiai Hasyim mendidik santri dengan sabar dantelaten. Beliau memusatkan perhatiannya pada usaha mendidik santri sampai sempurna menyeleseaikan pelajarannya, untuk kemudian mendirikan pesantren di daerahnya masing-masing. Beliau juga ikut aktif membantu pendirian pesantren-pesantren yang didirikan oleh murid-muridnya, seperti Pesantren Lasem (Rembang, Jawa Tengah), Darul Ulum (Peterongan, Jombang), Mambaul Ma’arif (Denanyar, Jombang), Lirboyo (Kediri), Salafiyah-Syafi’iyah (Asembagus, Situbondo), Nurul Jadid (Paiton Probolinggo), dan lain sebagainya.

Pada masa pemerintahan Jepang, tepatnya tahun 1942, Sambu Beppang (Gestapo Jepang) berhasil menyusun data jumlah kiai dan ulama di Pulau Jawa. Ketika itu jumlahnya mencapai 25.000an orang, dan mereka rata-rata pernah menjadi santri di Tebuireng. Hal ini menunjukkan batapa basar pengaruh Pesantren Tebuireng dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Jawa pada awal abad ke-20.

Karena kemasyhurannya, para kiai di tanah Jawa mempersembahkan gelar ”Hadratusy Syeikh” yang artinya ”Tuan Guru Besar” kepada Kiai Hasyim. Beliau semakin dianggap keramat, manakala Kiai Kholil Bangkalan yang dikeramatkan oleh para kiai di seluruh tanah Jawa-Madura, sebelum wafatnya tahun 1926, telah memberi sinyal bahwa Kiai Hasyim adalah pewaris kekeramatannya. Diantara sinyal itu ialah ketika Kiai Kholil secara diam-diam hadir di Tebuireng untuk mendengarkan pengajian kitab hadis Bukhari-Muslim yang disampaikan Kiai Hasyim. Kehadiran Kiai Kholil dalam pengajian tersebut dinilai sebagai petunjuk bahwa setelah meninggalnya Kiai Kholil, para Kiai di Jawa-Madura diisyaratkan untuk berguru kepada Kiai Hasyim.

Bisa dikatakan, Pesantren Tebuireng pada masa Kiai Hasyim merupakan pusatnya pesantren di tanah Jawa. Dan Kiai Hasyim merupakan kiainya para kiai. Terbukti, ketika bulan Ramadhan tiba, para kiai dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura datang ke Tebuireng untuk ikut berpuasa dan mengaji Kitab Shahih Bukhari-Muslim.

Keberadaan Pesantren Tebuireng akhirnya berimplikasi pada perubahan sikap dan kebiasaan hidup masyarakat sekitar. Bahkan dalam perkembangannya, Pesantren Tebuireng tidak saja dianggap sebagai pusat pendidikan keagamaan, melainkan juga sebagai pusat kegiatan politik menentang penjajah. Dari pesantren Tebuireng lahir partai-partai besar Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulam (NU), Masyumi (Majelis Syuro A’la Indonesia), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), serta laskar-laskar perjuangan seperti Sabilillah, Hizbullah, dsb.

Pada awal berdirinya, materi pelajaran yang diajarkan di Tebuireng hanya berupa materi keagamaan dengan sistem sorogan danbandongan..‎Namun seiring perkembangan waktu, sistem pengajaran secara bertahap dibenahi, diantaranya dengan menambah kelas musyawaroh sebagai kelas tertinggi, lalu pengenalan sistem klasikal (madrasah) tahun 1919, kemudian pendirian Madrasah Nidzamiyah yang di dalamnya diajarkan materi pengetahuan umum, tahun 1933.

Tebuireng Sekarang

Menapaki akhir abad ke-20, Pesantren Tebuireng menambah beberapa unit pendidikan, seperti Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY, kini IKAHA). Bahkan unit-unit tersebut kini ditambah lagi dengan Madrasah Diniyah, Madrasah Mu’allimin, dan Ma’had Aly, disamping unit-unit penunjang lainnya seperti Unit Penerbitan Buku dan Majalah, Unit Koperasi, Unit Pengolahan Sampah, Poliklinik, Unit Penjamin Mutu, unit perpustakaan, dan lain sebagainya (akan dijelaskan kemudian). Semua unit tersebut (selain UNHASY), merupakan ikon dari eksistensi Pesantren Tebuireng sekarang.

Secara geografis, letak Pesantren Tebuireng cukup strategis, karena berada di tepi jalan raya Jombang-Malang dan Jombang-Kediri. Lalu lintas yang melewati Desa Cukir terbagi dalam tiga jalur.Pertama jalur utara-barat daya yang merupakan lintasan dari kota Jombang menuju Kediri-Tulungagung-Trenggalek melewati Pare. Keduaadalah jalur utara-tenggara yang merupakan lintasan dari kota Jombang menuju Malang melalui kota Batu. Ketiga ialah jalur barat-timur yang merupakan lintasan dari Desa Cukir menuju Kecamatan Mojowarno. Mencari kendaraan umum tidak terlalu sulit di desa ini, karena hampir setiap 2-3 menit sekali, ada mikrolet yang lewat. Pada jalur pertama dan kedua tidak hanya dilalui mikrolet (sebagaimana jalur ketiga), melainkan juga dilalui bus dan truk angkutan barang dari Surabaya-Kediri-Tulungagung-Trenggalek lewat Jombang dan Pare. Kondisi seperti ini sudah tampak sejak awal tahun 1990-an, sebagaimana hasil penelitian Imron Arifin (1993).

Pada awal tahun 1900-an, penduduk Tebuireng rata-rata berprofesi sebagai petani dan pedagang. Namun sekarang keadaannya sudah berbeda. Mayoritas penduduk Tebuireng kini bekerja sebagai pedagang, pegawai pemerintah dan swasta, dan sebagian lagi berprofesi sebagai guru. Jarang sekali yang berprofesi sebagai petani.

Penduduknya rata-rata memiliki sepeda motor. Rumah mereka sudah tergolong bagus, tidak ada lagi yang terbuat dari anyaman bambu (gedek) seperti pada awal pendirian Pesantren Tebuireng. Pesawat TV yang dulu hanya dimiliki oleh sebagian pegawai Pabrik Gula Tjoekir, kini sudah menghiasi setiap rumah penduduk. Banyak diantara mereka sudah memiliki mobil dan komputer.

Suasana sehari-hari di Dukuh Tebuireng lebih ramai dibanding dengan kota kecamatannya, Diwek. Keberadaan Pabrik Gula Tjoekir, Pasar Cukir, Puskesmas dan poliklinik yang melayani rawat-inap, keberadaan Kantor Pos, bank-bank swasta dan pemerintah yang dilengkapi ATM, mengudaranya beberapa pemancar radio, serta banyaknya mini market, toko-toko kelontong, warung-warung dan kedai-kedai yang berjejer di sepanjang jalan, membuat kawasan ini selalu ramai dengan beragam aktivitas.

Semaraknya suasana Tebuireng dan sekitarnya, ditopang oleh keberadaan pesantren-pesantren yang tersebar di hampir setiap sudut desa. Suasana kahidupan pesantren sangat terasa di kawasan ini. Setiap hari, orang-orang bersarung, berpeci, dan berjilbab, berlalu-lalang di sekitar jalan raya. Bila lebaran tiba, kawasan Tebuireng dan sekitarnya menjadi sepi karena para santri/siswa pulang kampung (mudik). Ini membuktikan bahwa keberadaan santri/siswa merupakan faktor utama yang membuat semarak kehidupan di Tebuireng dan sekitarnya.

***

Dari uraian di muka, terlihat jelas bahwa Pesantren Tebuireng memiliki peran yang sangat signifikan, sejak awal berdirinya hingga sekarang. Peran itu dimulai dari perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI, perjuangan menyebarkan ajaran agama dan mencerdaskan kehidupan bangsa, pengembangan ekonomi masyarakat dan penguatan civil society. Banyaknya kader-kader terbaik bangsa yang lahir dari lembaga ini, juga merupakan bukti bahwa Pesantren Tebuireng tidak pernah lelah berjuang. Peran vital itu semakin dikukuhkan dengan keikutsertaan para pengasuh dan alumninya dalam percaturan politik nasional.

Dua orang tokohnya, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahid Hasyim, bahkan mendapat gelar pahlawan nasional. Keduanya juga merupakan tokoh pendiri dan penerus perjuangan Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Salah seorang keturunan Kiai Hasyim, yaitu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah menjadi presiden keempat Republik Indonesia. Karena itu, tidak berlebihan kiranya bila sebagian masyarakat menyebut Tebuireng sebagai ”Pesantren Perjuangan”.

___________

Versi lain yang menuturkan bahwa nama Tebuireng berawal dari pemberian nama oleh seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut.

Tanggal pendirian tratak ini dicatat sebagai awal berdirinya Pesantren Tebuireng. 

Konon, kedelapan orang santri itu dibawa oleh Kiai Hasyim dari pesantren Keras (asuhan Kiai Asy’ari).

Metode sorogan diterapkan baik bagi santri pemula maupun bagi santri senior. Untuk santri pemula, dilakukan dengan cara maju satu persatu dan menyodorkan kitabnya masing-masing. Lantas gurunya membacakan salah satu kalimat dalam bahasa Arab, kemudian menerjemahkan dalam bahasa setempat dan menerangkan maksudnya. Santri yang mengaji diharuskan menyimak kitabnya sambil memberi tanda tertentu pada kalimat yang baru dibacakan. Metode sorogan untuk pemula ini biasanya dilaksanakan oleh santri senior pembantu Kiai, yang disebut qori’ atau badal. Sedang untuk santri senior, metode sorogan lazim diterapkan untuk pengajian yang bersifat khusus. Caranya, santri yang bersangkutan menghadap kiai sambil membawa kitab yang akan dibaca. Kiai hanya tinggal menyimak dan meluruskan bacaan yang salah, serta memberikan komentar bila diperlukan. Metode ini cukup efektif untuk memacu kemajuan santri dalam hal penguasaan kitab klasik.

Pengembangan Pesantren Tebuireng


Pendidikan semula berlangsung secara sorogan (santri membaca, guru menyimak) dan bandongan (guru membaca, santri menyimak). Sejak tahun 1916 mulai dirintis pendidikan dalam bentuk klasikal, meskipun masih sangat sederhana. Baru pada tahun 1926 pendidikan banyak mengalami penyempurnaan baik kurikulum maupun metodenya, termasuk tambahan pelajaran umum yang meliputi bahasa Indonesia, Ilmu Bumi dan Berhitung.

Untuk meningkatkan pendidikan di Tebuireng, Kyai Hasyim menunjuk Abdul Wahid Hasyim (putra) dan Moh. Ilyas (santri), -sebelumnya telah diutus untuk belajar di Makkah- untuk mengembangkan pendidikan di Tebuireng. Kesempatan baik ini, dimanfaatkan oleh mereka berdua untuk mengadakan pembaharuan dalam tiga bidang yakni:

Memperluas pengetahuan para santri
Memasukkan pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah
Meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab secara aktif

Sebagai langkah pembaharuan, tahun 1934 Abdul Wahid Hasyim merintis Madrasah Nidhomiyah yang banyak menyajikan pelajaran umum dan ditunjang dengan memasukkan surat kabar, majalah, buku-buku pengetahuan umum yang berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris. Perkembangan sistem pendidikan ini tidak meninggalkan pola pengajaran khas pondok pesantren yaitu pengajian kitab klasik (kuning).

Usaha pembaharuan ini memang tidak menampak hasil nyata dalam waktu dekat. Namun saat penjajahan Jepang diberlakukan larangan surat menyurat selain dengan huruf latin, hal itu tidak menimbulkan masalah bagi santri Tebuireng. Dengan modal mempelajari pengetahuan umum di Tebuireng, banyak alumni Tebuireng dengan cepat mampu menguasai keadaan untuk menolong umat Islam yang terjajah. Misalnya di bidang politik menjadi anggota ‘sangi kay’ (DPR tingkat Karesidenan), menguasai sentra-sentra ekonomi, bahkan pasca kemerdekaan banyak yang menduduki jabatan kepala di suata jawatan.

Model pendidikan ini olah Abdul Wahid Hasyim disebut ‘da’wah dari dasar’. Dengan demikian gerakan bagi pembaharuan pendidikan Islam, pemahaman kehidupan agama dan gerakan sosial, terpadu dalam misi Pondok Pesantren Tebuireng. Akibat dari aktivitas Tebuireng ini tidak hanya dirasakan oleh santri-santrinya, tetapi juga oleh masyarakat muslim di luar Pondok Pesantren. Tujuan pendidikan yang dirintis oleh Abdul Wahid Hasyim ini adalah untuk mensejajarkan derajat dan martabat santri dengan pelajar-pelajar dari Barat.

Pada 25 Juli 1947 Kyai Hasyim dipanggil menghadap Allah SWT. Jabatan pengasuh digantikan oleh putranya sendiri, KH. Abdul Wahid Hasyim yang memgang jabatan hingga tahun 1950. Ketika beliau diangkat menjadi menteri agama RI dalam kabinet RIS, kedudukan sebagai pengasuh digantikan KH. Baidlowi, menantu Kyai Hasyim. Berturut-turut wewenang pengasuh diemban oleh KH. Abdul Karim Hasyim dan kemudian oleh KH. Abdul Kholiq Hasyim yang saat itu telah non-aktif sebagai seorang senior Divisi Brawijaya.

Saat kepemimpinan KH. Abdul Kholiq ini Madrasah Nidhomiyah berganti nama menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Perubahan nama ini sebenarnya diakibatkan oleh perubahan dalam approuch terhadap pemberian ajaran agama yang melebar, dengan memiliki jenjang pendidikan dasar, lanjutan pertama dan lanjutan atas. Karena masih merupakan sebuah percobaan, pada masa 10 tahun pertama konsep salafiyah ini masih mengalami perubahan bentuk dan nama berkali-kali, seperti wustho, mu’alimin dan lain sebagainya.

Lambat laun sistem salafiyah ini menetap dalam bentuk yang baku, yaitu 6 tahun pendidikan dasar (ibtida’iyah), dan 3 tahun lanjutan atas (aliyah), dengan komposisi 65% mata pelajaran agama dan 35% mata pelajaran umum. Pada tahun 1965 KH. Abdul Kholiq wafat, sedangkan kakak beliau KH. A. Wahid Hasyim telah mendahuluinya pada tahun 1953 dan kemudian menyusul KH. Abdul Karim Hasyim tahun 1973 di tanah suci Mekkah.

Kedudukan selanjutnya dipegang KHM. Yusuf Hasyim yang telah menjadi pengasuh dari tahun 1965 hingga tahun 2006 dan beberapa bulan sebelum beliau meninggal posisi pengasuh dipegang KH. Ir. Solahuddin Wahid putra dari KH. A. Wahid Hasyim hingga kini.

Di samping itu salah seorang menantu Kyai Hasyim yaitu Kyai Idris Kamali, secara tekun memimpin pengajian agama dalam bentuk pengajian sorogan sejak tahun 1950 an hingga tahun 1972, ketika beliau berangkat ke tanah suci untuk menetap di sana hingga beberapa waktu dan akhirnya wafat pada tahun 1986 di Cirebon.

Langkah Antisipatif

Pada masa berikutnya dikembangkan beberapa jalur pendidikan formal.

Pertama, jalur pendidikan formal yang berbentuk Salafiyah disempurnakan.

Kedua, jalur sekolah persiapan yang dirintis tahun 1970, dimana santri putus sekolah (drop out) dari sekolah-sekolah non agama (seperti SMU, SMP) memperoleh ajaran agama belaka. Sekolah ini lama belajarnya 2 tahun, untuk kemudian santrinya memasuki jalur pendidikan agama di atas. Dengan demikian jalur kedua ini sebagai by-pass untuk memasuki jalur pertama pada tingkat lanjutan.

Ketiga, jalur SMP dan SMU A. Wahid Hasyim yang dibuka tahun 1975. Tujuannya adalah untuk menampung mereka yang ingin bersekolah umum, dengan tetap memperoleh pelajaran agama dalam bentuk pengajian atau kursus.
Bagi santri Tebuireng yang mau berminat melanjutkan belajar ke perguruan tinggi, telah dirintis Universitas Hasyim Asy’ari pada tahun 1967 dengan Fakultas Syari’ah, Da’wah dan Tarbiyah yang sekarang berubah menjadi Institut KeIslaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) dengan tiga Fakultas Syari’ah, Dakwah dan Tarbiyah.

Di tahun 2006 dibuka jenjang pendidikan Ma’had Aly (setingkat perguruan tinggi) yang disediakan khusus untuk santri-santri dengan kualifikasi dan kemampuan tertentu. Proses seleksi penerimaannya pun ketat. Jenjang pendidikan ini didirikan semasa kepemimpinan KH. Ir. Salahuddin Wahid setelah melihat semakin menurunnya kualitas santri dalam memahami dan mendalami kitab klasik yang menjadi rujukan pesantren selama ini.

Disamping disediakan lembaga pendidikan formal, juga disediakan sarana penunjang kegiatan untuk kelancaran belajar para santri. Misalnya Koperasi Pondok Pesantren (1973), Perpustakaan A. Wahid Hasyim (1974), Pusat Data Pesantren (PDP) 1977, Usaha Kesehatan Pondok Pesantren, Koperasi Jasa Boga (1993), Warung Telekomunikasi (1994), dan Warung Internet (1998).


KITAB-KITAB KARYA HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI PENDIRI PONDOK PESANTREN TEBUIRENG JOMBANG DAN JAM’IYAH NAHDLATUL ULAMA’


Adabul ‘Alim Wal Muta’allim 
Adalah sebuah kitab yang mengupas tentang pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru. Dalam kitab ini KH. M. Hasyim Asy’ari menjelaskan kepada kita tentang cara bagaimana agar ilmu itu mudah dan cepat dipahami dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab ini, memberikan pula kepada kita pencerahan tentang mencari dan menjadikan ilmu benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat. Salah satu contoh yang diberikan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari kepada kita adalah bahwa ilmu akan lebih mudah diserap dan diterima apabila kita dalam keadaan suci atau berwudhu terlebih dahulu sebelum mencari ilmu. Banyak hal yang bisa kita petik dalam rangka mencari ilmu ketika kita membaca kitab ini.

Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 
Merupakan pedoman bagi warga NU dalam mempelajari tentang apa yang disebut ahlus sunnah wal jama’ah atau sering disingkat dengan ASWAJA. Dalam kitab ini, Hadratus Syaikh juga mengulas tentang beberapa persoalan yang berkembangan dimasyarakat semisal, apa yang disebut dengan bid’ah? Menerangkan pula tentang tanda-tanda kiamat yang terjadi pada masa sekarang ini. Banyak golongan yang mengaku bahwa mereka juga merupakan golongan ahlus sunnah wal jamaa’h. Akan tetapi dalam ibadah, amal perbuatannya banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah SAW. Dalam kitab ini diuraikan dengan jelas tentang bagaimana sebenarnya ahlus sunnah wal jama’ah tersebut.

At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan 
Merupakan kumpulan beberapa pikiran khususnya yang berhubungan dengan Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, ditekankan pentingnya menjalin silaturrohim dengan sesama serta bahayanya memutus tali sillaturohim. Didalam kitab ini pula, termuat Qunun Asas atau udang-undang dasar berdirinya Nadhatul Ulama (NU) serta 40 hadits nabi yang berhubungan dengan pendirian Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, dikisahkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari pernah mendatangi seorang kyai yang ahli ibadah karena kyai tersebut tidak mau menyambung silaturrohim dengan masyarakat sekitar sehingga sempat terjadi perdebatan antara keduanya.

An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin 
Merupakan karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yang menjelaskan tentang rasa cinta kepada nabi Muhammad SAW. Dalam kitab tersebut, dijelaskan pula tentang sifat-sifat terpuji nabi Muhammad SAW yang bisa menjadi suri tauladan bagi kita semua. Dijelaskan pula tentang kewajiban kita taat, menghormati kepada perintah Allah SWT yang telah disampaikan melalui nabi Muhammad SAW baik melalui al-qur an atau hadits. Silsilah keluarga nabi Muhammad SAW, tidak luput dari pembahasan. Singkat kata, dalam kitab ini, kita mendapatkan sejarah yang relatif lengkap dan menarik untuk dikaji serta dijadikan tauladan menuju insan kamil.

Ziyadatut Ta’liqot 
Merupakan kitab yang berisi tentang polemik beliau dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang berkembang pada masa itu. Perdebatan terjadi pada beberapa masalah yang tidak sesuai antara pandangan Nahdlatul Ulama dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan. Banyak sekali permasalahan yang diperdebatkan sehingga kitab ini begitu tebal dan permasalahan yang diperdebatkan masih terjadi dimasyarakat.

At-Tanbihatul Wajibat Li Man Yasna’ Al-Maulid Bil Munkaroti 
Adalah sebuah kitab tentang pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tantang peringatan maulid nabi Muhammad SAW yang disertai dengan perbuatan maksiat atau munkar. Dalam kitab tersebut, diceritakan bahwa pada jaman dulu, disekitar Madiun, setelah pembacaan shalawat nabi, para pemuda segera menuju arena untuk mengadu keahlian dalam hal bela diri silat atau pencak. Acara itu, masih dalam rangkaian peringatan maulid serta dihadiri oleh gadis-gadis yang saling berdesakan dengan para pemuda. Mereka saling berteriak kegirangan hingga lupa bahwa saat itu, mereka sedang memperingati maulid nabi Muhammad SAW. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sehingga beliau mengarang kitab ini.

Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah 
Kitab ini berisi pikiran ataupun pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tentang lembaga perkawinan. Dalam kitab tersebut, beliau menangkap betapa pada saat itu, banyak pemuda yang ingin menikah, akan tetapi tidak mengtahui syarat dan rukunnya nikah. Tidak tahu pula tentang tata cara / sopan santun dalam pernikahan sehingga dalam mereka menjadi bingung karenanya. Dalam kitab tersebut, terkandung beberapa nasehat yang penting agar lembaga perkawinan betul-betul bisa menjadi sebuah keluarga yang Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah sesuai tuntunan agama.

KITAB-KITAB KARYA KH.ISHOM HADZIQ (GUS ISHOM) CUCU HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI


Miftahul Falah Fi Ahaditsin Nikah 
Adalah berisi hadits-hadist tentang perkawinan yang melengkapi kitab Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah. Ditulis oleh almarhum gus Ishom Hadzik, kitab tersebut banyak menampilkan hadits-hadits yang sangat baik dalam rangka membentuk dan membina sebuah mahligai perkawinan yang berlandaskan tuntunan syariat Islam.

Audhohul Bayan Fi Ma Yata’allaq Bi Wadhoifir Ramadhan 
Adalah sebuah kumpulan kitab karya gus Ishom Hadzik yang berisi hadits-hadits tentang keutamaan bulan ramadhan yang mulia. Terdiri dari beberapa bab, hadits-hadits pilihan dalam kitab ini, memberikan kita tentang betapa mulianya bulan ramadhan. Dalam kitab tersebut, dapat kita ketahui tentang amalan-amalan yang sangat baik dilakukan ketika bulan ramadhan.
Irsyadul Mukminin 
Merupakan karya terakhir dari almarhum gus Ishom Hadzik. Ketika yang lebih mengarah kepada akhlak serta tasawuf ini, memberikan kita pengetahuan tentang ajaran Islam dari sisi moral dan tasawuf. Sungguh, sebagaimana kitab lainnya, kitab ini jika kita kaji dengan mendalam, akan menemukan pencerahan batiniah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita yang lebih baik dimasa mendatang.‎

Rabu, 29 Juli 2015

Runtuhnya Majapahit Bukan Karena Serangan Demak

Raden Patah dianggap anak durhaka dan tak tahu balas budi. Sudah diberi kekuasaan, malah menikam ayahandanya sendiri dari belakang. Ia menyerang dan hancurkan kerajaan Majapahit. Fakta sejarah ini sebenarnya yang tidak didukung oleh bukti-bukti yang akurat.

Fakta sejarah ini, terutama dicatat dalam naskah Darmogandul dengan tema Sabdopalon. Dikisahkan, Raden Patah dengan kerajaan barunya, yaitu Kerajaan Demak, menyerang Kerajaan Majapahit yang notabene dipimpin oleh ayah kandungnya sendiri, Prabu Brawijaya V.

Pada dasarnya, belum ada bukti konkret tentang kebenaran atas penyerangan Raden Patah atas Kerajaan Majapahit. Dalam catatan yang ditulis oleh Darmogandul, Raden Patah menyerang Majapahit dan mengakibatkan runtuhnya Majapahit adalah pada tahun 1478.

Yang lebih mengenaskan, karena peralihan antara kerajaan Majapahit menuju kerajaan Demak, dihubung-hubungkan sebagai perang antar-agama, yaitu agama Hindhu-Budha yang dianut Majapahit dan Islam. Fakta yang berlebihan. Sebab, sebagaimana kerajaan-kerajaan di tanah Jawa di era-era sebelum-sebelumnya, persoalan agama sangat jarang menjadi pemantik konflik, apalagi sampai menyebabkan perang berdarah.

Keruntuhan Kerajaan Majapahit, tidak berkaitan dengan penyerangan Kerajaan Demak dengan alasan keagamaan. Tetapi, keruntuhan Majapahit lebih banyak disebabkan konflik berkepanjangan para pemimpin internalnya sendiri. Urusan-urusan kerakyatan jadi tak terabaikan, Negara pun tidak lagi hadir dalam melindungi rakyat.

Berdirinya Kerajaan Demak, kemudian menjadi harapan baru rakyat akan hadirnya perubahan yang lebih baik, damai, aman dan sejahtera. Dengan kata lain, tanpa diserang pun, Kerajaan Majapahit pasti akan runtuh sendiri karena sudah kronis dalam konflik tak berkesudahan.

Ajaran Srategi Sunan Ampel dan Sunan Giri pada Demak

Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se-Tanah Jawa. Beberapa murid dan putera Sunan Ampel sendiri menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Bintoro  atau Raden Patah, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati.

Raden Patah atau Sunan Bintoro  memang pernah menjadi anggota Wali Songo menggantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan dengan pihak Majapahit.

Para wali yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam tempo secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, karena kerajaan besar itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam, tak usah diserang oleh Demak Bintoro sebenarnya Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang lebih muda menganggap Sunan Ampel terlalu lamban dalam memberikan nasehat kepada Raden Patah.

“Mengapa Ramanda berpendapat demikian?” tanya Raden Patah yang juga adalah menantunya sendiri. “Krena aku tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh Raja Demak Bintoro yang masih putera Raja Majapahit Prabu Kertabumi telah berlaku durhaka, yaitu berani menyerang ayahandanya sendiri”. Jawab Sunan Ampel dengan tenang.

“Lalu apa yang harus saya lakukan?”

“Kau harus sabar menunggu sembari menyusun kekuatan”, ujar Sunan Ampel. “Tak lama lagi Majapahit akan runtuh dari dalam, diserang Adipati lain. Pada saat itulah kau berhak merebut hak warismu selaku putera Prabu Kertabumi”.

“Majapahit diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkwajiban membelanya?”

“Inilah ketentuan Tuhan”,sahut Sunan Ampel. Waktu kejadiannya masih dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah persitiwa itu akan berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang menyerang Majapahit itu. Sunan Ampel adalah penasehat Politik Demak Bintoro sekaligus merangkap Pemimpin Wali Songo atau Mufti Agama se-Tanah Jawa. Maka fatwa nya dipatuhi semua orang.

Kekhawatiran Sunan Ampel pun terbukti. Dikemudian hari ternyata orang-orang pembenci Islam memutar balikkan fakta sejarah, mereka menuliskan bahwa Majapahit jatuh diserang oleh kerajaan Demak Bintoro yang rajanya adalah putera raja Majaphit sendiri. Dengan demikian Raden Patah dianggap sebagai anak durhaka. Ini dapat anda lihat didalam serat darmo gandul maupun sejarah yang ditulis sarjana kristen pembenci Islam.

Raden Patah dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel. Tibalah saatnya Sunan Ampel Wafat pada tahun 1478 M. Sunan Kalijaga diangkat sebagai penasehat bagian politik Demak, Sunan Giri diangkat sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para wali dan pemimpn agama se-Tanah Jawa.setelah Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia mneyetujui aliran tuban untuk memberi fatwa kepada Raden Patah agar menyerang Majapahit.

Mengapa Sunan Giri bersikap demikian?

Karena pada tahun 1478 kerjaan Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana dari kadipaten kediri atau keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan Giri meneyetujui penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit adalah Raden Patah selaku putera Raja Majapahit yang terakhir.

Demak kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan dilancarkan. Prabu Rana Wijaya atau Girindra wardana  keburu tewas diserang oleh Prabu Udara pada tahun 1498.

Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukannya karena melihat kedudukan Demak yang didukung Giri Kedaton semakin kuat dan mapan. Prabu udara kuatir jika terjadi peperangan akan menderita kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan minta bantuan Portugis di Malaka. Padahal putera mahkota Demak yaitu Pati Unus pada tahun1511 telah menyerang Protugis.

Sejarah telah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untu menemui Alfinso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta (gamelan), sepotong kain panjang bernama “Beirami” tenunan kambayat, 13 batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak salah jika pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta majapahit secara sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentunya bangsa Portugis akan menjajah Tanah Jawa jauh lebih cepat daripada Bangsa Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak Bintoro. Termasuk mahkota rajanya. Raden Patah diangkat sebagai raja Demak yang pertama.

Sunan Ampel juga turut membantu mendirikan Mesjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu diantara empat tiang utama mesjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.

Beliau pula yang pertama kali menciptakan huruf pegon atau tulisan arab berbunyi bahasa Jawa. Dengan huruf pegon ini beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada para muridnya. Hingga sekarang huruf pegon tetap diapaki sebagai bahan pelajaran agama Islam dikalangan pesantren.

Penyerangan Demak kepada Portugis di Malaka 

Sejak tahun 1509, Pati Unus, raja Demak, sudah merancang rencana untuk menguasai Malaka. Saat itu Malaka berada di bawah kekuasaan Kesultanan Malaka. Dengan kata lain, perlu dicatat bahwa serangan Demak ke Malaka jelas bukanlah sebuah serangan anti-kekuasaan asing, tetapi sebuah invasi imperialis. Tahun 1511, Alfonso D'Alburquerque, Laksamana armada Portugis, mendahului Pati Unus dengan menaklukkan Malaka. Sultan Malaka Mahmud Syah melarikan diri ke Bintan.

Pati Unus sangat mengerti bahwa kekuatan utama Portugis adalah pada armada lautnya. Portugis memiliki kapal yang kuat, bahkan lebih kuat dibandingkan dengan kapal Majapahit. Selain itu, Portugis sudah menggunakan meriam yang dipasang di masing - masing kapal di mana pada waktu itu meriam adalah senjata pamungkas yang tidak bisa ditandingi oleh senjata apapun.

Oleh karena itu, langkah pertama Pati Unus adalah menghidupkan kembali kekuatan armada Majapahit yang tertidur lama pada saat masa - masa perebutan kekuasaan. Kapal - kapal baru tersebut juga dilengkapi dengan Cetbang, yaitu meriam api, di mana kapal dan cetbang juga merupakan kekuatan andalan Armada Majapahit. Pusat produksi kapal-kapal ini adalah Semarang, gerbang masuk Demak, dengan bantuan orang-orang Tionghoa lokal.

Selanjutnya Pati Unus menghimpun kekuatan - kekuatan nusantara untuk membentuk armada gabungan dengan satu tujuan, mengusir Portugis dari Malaka. Ia juga meminta bantuan orang-orang Jawa yang ada di Malaya untuk jadi agen dalam di Malaka. Tetapi ternyata, ketika Pati Unus terlanjur berangkat ke Malaka,orang-orang Jawa ini terlanjur dipergoki Portugis dan melarikan diri ke Cirebon. Pati Unus pun bertempur tanpa bantuan mata-mata dan agen dalam - kapal-kapalnya dengan mudah diremuk meriam-meriam yang ditodongkan ke laut di Benteng Portugis di Malaka.

Dikuasainya Malaka pada tahun 1511 oleh orang-orang Portugis merupakan ancaman tersendiri bagi Kerajaan Demak. Pada tahun 1512, Kerajaan Demak di bawah pimpinan Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dengan bantuan Kerajaan Aceh menyerang Portugis di Malaka. Namun, serbuan Demak tersebut mengalami kegagalan. Penyerangan dilakukan sekali lagi bersama Aceh dan Kerajaan Johor, tetapi tetap berhasil dipatahkan oleh Portugis. Perjuangan Kerajaan Demak terhadap orang-orang Portugis tidak berheti sampai di situ. Kerajaan Demak selalu menyerang dan membinasakan setiap kapal dagang Portugis yang melewati jalur Laut Jawa. Karena itulah kapal dagang Portugis yang membawa rempah-rempah dari Maluku (Ambon) tidak melalui Laut Jawa, tetapi melalui Kalimantan Utara.

Upaya Demak untuk mengusir Portugis diwujudkan dengan ditaklukkannya Kerajaan Pajajaran oleh Fatahilah pada tahun 1527. Penaklukkan Pajajaran ini disebabkan Kerajaan Pajajaran mengadakan perjanjian perdagangan dengan Portugis, sehingga Portugis diperbolehkan mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Ketika orang-orang Portugis mendatangi Sunda Kelapa (sekarang Jakarta), terjadilah perang antara Kerajaan Demak di bawah pimpinan Fatahilah dengan tentara Portugis. Dalam peperangan itu, orang-orang Portugis berhasil dipukul mundur. Kemudian, pelabuhan Sunda Kelapa diganti namanya oleh Fatahilah menjadi Jayakarta yang berarti kejayaan yang sempurna.‎

Selasa, 28 Juli 2015

Sejarah Kesultanan Selangor

Kesultanan Selangor terletak di tengah-tengah Semenanjung Malaysia yang mengelilingi Wilayah Persekutuan Putrajaya dan Kuala Lumpur. Selangor merupakan bagian dari wilayah persekutuan Malaysia. Menteri Besar Selangor pernah menetapkan negeri ini sebagai negeri termaju di Malaysia pada tanggal 27 Agustus 2005. Hal itu didasarkan pada perkembangan ekonomi Selangor yang kian maju.

Kesultanan Selangor didirikan oleh Raja Lumu bin Daeng Celak atau Sultan Salehuddin Shah ibni al-Marhum Yamtuan Muda Daeng Celak pada tahun 1756 M. Ia merupakan keturunan Bugis. Sebelum berdiri (pada abad ke-15), Selangor telah berada di bawah kekuasaan Malaka. Setelah Malaka mengalami masa kehancurannya, Selangor kemudian menjadi rebutan kerajaan Johor, Aceh, Siam, dan juga Portugis. Sultan Salehuddin Shah berperan besar melepaskan Selangor dari kekuasaan Johor, sehingga kemudian dapat berdiri sendiri.


Sejarah Kesultanan Melayu Selangor bermula di Kuala Selangor. Ketiadaan ketua kaum di Kuala Selangor pada ketika itu telah menimbulkan keinginan  orang Perak dan Kedah untuk menjadi Penghulu di kawasan itu. Malangnya tiada seorang pun daripada mereka telah diterima baik oleh penduduk tempatan. Keadaan ini sangat berbeza daripada kedatangan Raja Lumu yang telah disambut baik dan diiktiraf menjadi yang Di Pertua Negeri Selangor yang pertama.

Mereka yang datang ke kawasan itu hanya dibenarkan untuk meneroka tanah baru dan membuat kediaman di sepanjang pinggir Sungai Selangor. Sehingga kini masih lagi terdapat beberapa buah kampung mengikut nama negeri atau tempat asal peneroka ini. Umpamanya Kampung Kedah, Kampung Siam, Kampung Asahan, dan Kampung Kuantan.

 SEJARAH AWAL KESULTANAN SELANGOR

Peranan orang Bugis di dalam sejarah ‎Malaysia cukup penting sekali. Hal ini bermula daripada perbalahan dalaman Kesultanan Johor Riau Lingga. Pada waktu itu, Raja Kechil memerintah Johor Riau-Lingga. Baginda mendirikan pusat pemerintahan di Siak, Sumatra. Ini menyebabkan Daeng Loklok, iaitu orang Bugis, bergelar Bendahara Husain, ingin mengambil alih tampuk pemerintahan Johor tetapi hasratnya tidak dipersetujui oleh Raja Kechil. Untuk mendapatkan sokongan bagi menjayakan hasratnya itu, Daeng Loklok kemudiannya menemui Raja Sulaiman untuk menggunakan pengaruh baginda bagi mendapatkan bantuan daripada lima adik-beradik Raja Bugis, iaitu Daeng Perani, Daeng Menambun, Daeng Merewah, Daeng Chelak, dan Daeng Kemasi.

Sebaik-baik sahaja Raja Bugis menerima utusan daripada Raja Sulaiman, tujuh buah armada perang Bugis terus menuju Riauuntuk menyerang Raja Kechil. Dalam serangan itu, Raja Kechil telah ditumpaskan dan baginda melarikan diri ke Lingga pada tahun 1728 bersamaan tahun 1134H. Sebagai balasan, Raja Sulaiman bersetuju untuk melantik Raja-raja Bugis  menjadi Yamtuan Besar atau Yang Di-Pertuan Muda bagi memerintah Johor, Riau, dan Lingga.

Selepas mendapat tahu yang Riau jatuh ke tangan Raja Kechil semula, Raja Bugis telah datang ke Selangor untuk mengumpulkan bala tentera  dengan tujuan untuk menyerang Raja Kechil. Raja Bugis dengan 30 buah armada perangnya menuju Riauuntuk menawannya kembali. Dalam perjalanan ke Riau, mereka telah menawan Linggi, sebuah daerah di Negeri Sembilan ‎yang pada ketika itu dikuasai Raja Kechil. Apabila mendapat tahu tentang penaklukan itu, Raja Kechil segera ke Linggi untuk menyerang balas.

Angkatan tentera Bugis telah berpecah dengan 20 buah daripada kapal perangnya meneruskan perjalanan  ke Riau dan diketuai oleh tiga orang daripada lima adik-beradik Raja Bugis.Raja Sulaiman dari Pahang turut datang memberikan bantuan untuk menawan Riau semula. Dalam peperangan ini mereka telah berjaya menawan Riau semula. Raja Sulaiman dan Raja Bugis kemudiannya telah mendirikan kerajaan bersama.

Kegagalan mempertahankan Riau dan menawan Linggi semula daripada tangan Bugis menyebabkan  Raja Kechil kembali ke Siak.  Pada tahun 1729, Bugis sekali lagi menyerang Raja Kechil di Siak semasa Raja Kechil ingin memindahkan alat kebesaran Diraja Johor, iaitu sebuah meriam, ke Siak. Setelah berjaya mengambil alat kebesaran tersebut semula, Raja Sulaiman kemudiannya ditabalkan sebagai Sultan Johor dengan membawa gelaran Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah yang memerintah Johor, Pahang, Riau, dan Linggi.

Sultan Sulaiman telah melantik Daeng Marewah sebagai Yamtuan Muda Riau. Kemudian adik perempuan baginda, Tengku Tengah, dikahwinkan dengan Daeng Parani yang mangkat di Kedah semasa menyerang Raja Kechil di sana. Seorang lagi adik Sultan Sulaiman, Tengku Mandak, dikahwinkan dengan Daeng Chelak (1722-1760) yang dilantik sebagai Yamtuan Muda II Riau pada tahun 1730-an. Kemudian anak Daeng Parani, iaitu Daeng Kemboja, dilantik menjadi Yamtuan Muda III Riau (yang juga memerintah Linggi di Negeri Sembilan).

Anak Daeng Chelak, Raja Haji, telah dilantik sebagai Yamtuan Muda IV Riau. Baginda yang hampir dapat menawan Melaka daripada Belanda pada tahun 1784  mangkat setelah ditembak dengan peluru Lela oleh Belanda di Telok Ketapang, Melaka. Baginda dikenali sebagai Almarhum Telok Ketapang.

Pada tahun 1730-an, seorang Bugis bernama Daeng Mateko yang berbaik-baik dengan Raja Siak  mengganggu ketenteraman Selangor. Ini menyebabkan Daeng Chelak dengan angkatan perang dari Riau datang ke Kuala Selangor untuk menangani keadaan ini. Daeng Mateko dapat dikalahkan dan beliau kemudiannya melarikan diri ke Siak. Semenjak itu Daeng Chelak sentiasa berulang-alik dari Riau ke Kuala Selangor.

Pada tahun 1742 Daeng Chelak ke Kuala Selangor dan beliau bersama-sama dengan orang Bugis melancarkan serangan ke atas  Perak. Beliau tinggal beberapa lama di Perak sebelum berpindah ke Selangor semula. Semasa berada di Kuala Selangor, Daeng Chelak  telah diminta oleh penduduk setempat supaya terus menetap di situ sahaja. Pada ketika inilah  rombongan daripada Riau memanggil Daeng Chelak pulang ke Riau. Walau bagaimanapun, Daeng Chelak telah meminta salah seorang puteranya, iaitu Raja Lumu, datang ke Kuala Selangor. Daeng Chelak akhirnya mangkat pada tahun 1745.

Ketika Sultan Salehuddin Shah mangkat pada tahun 1778 M, putranya yang bernama Raja Ibrahim Marhum Saleh diangkat sebagai Sultan II Selangor dengan gelar Sultan Ibrahim Shah (1778-1826 M). Semasa pemerintahannya, Selangor pernah mengalami sejumlah peristiwa penting. Tepatnya pada tanggal 13 Juli 1784 M, bala tentara Belanda menyerang Selangor hingga dapat menguasai Kota Kuala Selangor. Di samping itu, Selangor pernah diintervensi oleh Inggris. Hal ini bermula dari kesepakatan kerja sama antara Selangor dengan Perak yang berujung pada perselisihan utang-piutang. Robert Fullerton, Gubernur Inggris di Pulau Pinang, melakukan intervensi dengan cara ikut serta menyelesaikan perselisihan di antara mereka.
Meski demikian, Sultan Ibrahim Shah pernah berperan besar dalam mengharmoniskan hubungan antara Belanda dan Sultan Mahmud Johor, serta antara Sultan Mahmud dan Raja Ali (Yamtuan Muda Riau yang menggantikan Raja Haji).

Sultan Ibrahim Shah mangkat pada tanggal 27 Oktober 1826 M, putranya, Raja Muda Selangor diangkat sebagai Sultan Selangor III dengan gelar Sultan Muhammad Shah (1826-1857 M). Ketika memerintah, Sultan Muhammad Shah pernah mengalami masalah internal kesultanan. Sejumlah daerah di Selangor, seperti Kuala Selangor, Kelang, Bernam, Langat, dan Lakut memisahkan diri. Hal itu terjadi karena Sultan, dianggap oleh sebagian peneliti sejarah, tidak mampu menguasai sultan-sultan dan pembesar-pembesar di daerah-derah tersebut. Meski demikian, selama 31 tahun memerintah, Sultan telah mengembangkan perekonomian kesultanan, salah satunya mendirikan pabrik biji timah di Ampang.

Sultan Muhammad Shah meninggal pada tahun 1857 M. Sepeninggalan Sultan, Selangor sempat mengalami masa perpecahan di antara para pembesar kesultanan dalam soal memilih pemimpin yang baru. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya terpilih Raja Abdul Samad Raja Abdullah sebagai Sultan Selangor IV dengan gelar Sultan Abdul Samad (1857-1898 M). Ia merupakan anak dari saudara (keponakan) Sultan Muhammad Shah. Pada masa Sultan Abdul Samad, pabrik biji timah telah beroperasi, bahkan sudah mulai dipasarkan ke negeri-negeri Selat dan China.

Pada tahun 1868 M, Sultan Abdul Samad mengangkat menantunya, Tengku Dhiauddin ibni Almarhum Sultan Zainal Rashid (Tengku Kudin), sebagai Wakil Yamtuan Selangor. Tidak hanya itu, Sultan Abdul Samad juga menyerahkan Langat menjadi milik menantunya itu.

Kemajuan perekonomian yang dialami Selangor menyebabkan negeri ini diminati oleh bangsa China. Sejumlah pedagang asal China ada yang melakukan “kerja sama gelap” dengan beberapa pembesar Selangor untuk mengakses kekayaan perekomian negeri ini (belum ditemukan data waktu kejadian ini). Akibat dari siasat negatif ini, Selangor mengalami suasana penuh pertikaian dan peperangan. Pada tahun 1874 M, pihak Inggris memaksa Sultan Abdul Samad untuk menerima Residen Inggris di Klang, Selangor. Dengan cara ini, Inggris dengan leluasa dapat mengintervensi kepentingan dalam negeri Selangor.‎

Sultan Abdul Samad mangkat pada tanggal 6 Februari 1898 M, dalam usia 93 tahun. Ia dimakamkan di Jugra. Ia kemudian digantikan oleh cucunya, Raja Muda Sulaiman ibni Almarhum Raja Muda Musa. Pada tanggal 17 Februari 1898 M, Raja Muda Sulaiman dilantik sebagai Sultan Selangor V dengan gelar Sultan Alauddin Sulaiman Shah (18981938) M. Pada masa pemerintahannya, Selangor mengalami kemajuan cukup pesat yang ditandai dengan pembangunan fisik berupa jalan raya dan landasan kereta api. Ketika itu, program pembangunan rumah ditingkatkan, terutama di daerah Klang. Ia dikenal bijaksana dalam memimpin Selangor. Ketika usia pemerintahannya genap 40 tahun, ia diberi sambutan yang sangat hangat dari seluruh rakyatnya berupa upacara Jubli Emas di Klang. Pada tanggal 30 Maret 1938 M, ia mangkat dan dimakamkan di Klang dengan gelar “Marhum Atiqullah”.

Pada tanggal 4 April 1938 M, putra Sultan Alauddin Sulaiman Shah kemudian dilantik sebagai Sultan Selangor VI dengan gelar Sultan Hisamuddin Alam Shah(1938-1942 M). Masa pemerintahan Sultan Hisamuddin Alam Shah tidak begitu lama, hanya empat tahun. Hal itu disebabkan karena pada tahun 1942, ia dipaksa turun oleh tentara Jepang yang sebelumnya mampu menguasai seluruh kerajaan Melayu, termasuk Selangor.

Pemerintah Jepang kemudian melantik kakak Sultan Hisamuddin Alam Shah, Tengku Musauddin sebagai Sultan Selangor VII dengan gelar Sultan Musa Ghiatuddin Riayat Shah (19421945 M). Pihak Jepang memberikan syarat agar Sultan Hisamuddin Alam Shah mau membantu kakaknya dalam tata kelola pemerintahan. 

Pada tahun 1945 M, terjadi perubahan struktur pemerintahan Selangor. Ketika itu, Inggris menguasai kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaya, termasuk Selangor. Salah satu bentuk penguasaan Inggris adalah menuntut agar Sultan Hisamuddin Alam Shah kembali memimpin di Selangor. Pada tanggal 31 Agustus 1957 M, Sultan Hisamuddin dilantik sebagai Timbalan Yang Dipertuan Agong Negara Persekutuan Tanah Melayu, sementara itu jabatan Yang Dipertuan Agong pertama kali dipegang oleh Yang di-Pertuan Besar Negeri Sembilan, Tuanku Abdul Rahman ibni almarhum Tuanku Muhammad. Ketika Tuanku Abdul Rahman mangkat pada tanggal 1 April 1960 M, Sultan Hisamuddin Alam Shah dilantik sebagai Yang Dipertuan Agong yang kedua. Lima bulan kemudian Sultan Hisamuddin mangkat, tepatnya pada tanggal 1 September 1960 M.

Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh putra sulung Sultan Hisamuddin, Raja Abdul Aziz sebagai Sultan Selangor IX dengan gelar Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah (1960-2001 M). Ketika berkuasa, ia telah banyak melakukan perubahan dan memberikan kemajuan yang sangat besar bagi rakyat Selangor. Pada masa pemerintahannya, Inggris masih melakukan sejumlah intervensi kebijakan dalam negeri dan luar negeri Selangor. 

Pada tahun 1986 M, Residen Frank Swettenham berusaha menyatukan Selangor bersama dengan Negeri Sembilan, Pahang, dan Perak ke dalam Negeri-negeri Melayu Bersatu dengan pusat ibu kotanya di Selangor. Ternyata, persatuan ini terus berkembang. Pada tahun 1948 M, persatuan ini berubah nama menjadi Persekutuan Malaya. Dan, pada tahun 1963 M, berubah lagi menjadi Persekutuan Malaysia. Selangor kemudian merelakan status ibu kotanya berpindahkan ke Kuala Lumpur pada tahun 1974 M.

Pada tanggal 22 November 2001 M, Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah meninggal. Putranya yang bernama Tengku Idris Shah kemudian diangkat sebagai Sultan Selangor X dengan gelar Sultan Sharafuddin Idris Shah (2001 M–sekarang).‎

Silsilah Para Sultan ‎

Sultan Selangor yang pertama (Raja Lumu) adalah keturunan suku Bugis, yang mengaku keturunan dari penguasa Luwu diSulawesi Selatan. Bangsawan dari keturunan ini terlibat dalam perselisihanKesultanan Johor-Riau pada awal abad ke-18, akhirnya mendukung penuh kepada Sultan Abdul Jalil dari dinasti Bendaharaterhadap penuntut yang mengaku ahli waris dari keturunan Malaka-Johor, yaituRaja Kecil. Untuk alasan ini, parapenguasa Bendahara Johor-Riau menjalin hubungan erat dengan para bangsawan Bugis, memberikan mereka gelar dan kawalan ke banyak daerah di dalam kerajaan Johor, termasuk Selangor. Putera Daeng Chelak, Raja Lumu tiba di Selangor dan mendirikan kerajaan baru di Kuala Selangor pada tahun 1766. Ia dinobatkan oleh Sultan Perak sebagai Sultan Salehuddin Shah, dan menjadi Sultan pertama dari Selangor.

Daeng Lumu adalah punca kerajaan awal di Kuala Selangor. Daeng Lumu dilantik menjadi Yang DiPertuan Kelang pertama, dan Daeng Loklok dilantik menjadi Datuk Maharaja Lela.

Sultan Iskander Zulkernain (1752-1765), Raja Kerajaan Perak ke-15 pun menyambut utusan dari Daeng Lumu diKuala Bernam sebagai pertemuan dengan baginda. Ketibaan Daeng Lumu disambut dengan penuh istiadat raja. Setelah semua ujian itu tidak mendatangkan apa-apa bencana terhadap Daeng Lumu, baginda Sultan Iskander Zulkernain pun mengesahkan perlantikan tersebut; setelah Sultan Sulaiman I, Raja Kerajaan Johor-Riau-Lingga menolak permohonan Bugis Luwok Diraja sabagai Raja Kelang. Pertabalan penuh sejarah itu dilakukan di Pulau Pangkor dalam tahun 1756. Selesai sahaja pertabalan, Raja Lumu pulang ke Kuala Selangor.

Itulah Raja Selangor yang pertama bersemayam di atas Bukit Selangor yang dikenal dengan nama "Bukit Malawati". MenurutTuffatul al Nafis karangan Almarhum Raja Ali Al Haji, Riau, disitu ketika Tengku Raja Selangor (Raja Lumu) pergi bermain ke Pulau Pangkor, Raja Lumu dijemput oleh Yang DiPertuan Perak untuk mengadap. Kemudian Raja Lumu pun berangkat pulang ke Kuala Selangor.

Kemangkatan Raja Lumu meninggalkan empat orang anak, iaitu Raja Ibrahim, Raja Nala, Raja Punuh dan Raja Sharifah. Baginda juga telah melantik seorang Bugis bernama Daeng Loklok bergelar Datuk Maharaja Lela Husain. Seorang daripada anak perempuannya bernama Cik Long Halijah berkahwin dengan Raja Ibrahim, putera Raja Lumu dan juga Raja Selangor Kedua.

Raja Lumu mangkat dan dikebumikan di atas Bukit Selangor dan dinamakan "Marhum Salleh". Baginda memerintah kerajaan Daeng Lumu adalah punca kerajaan awal di Kuala Selangor. Daeng Lumu dilantik menjadi Yang DiPertuan Kelang Pertama, Daeng Loklok dilantik menjadi Datuk Maharaja Lela.

Kemangkatan Raja Lumu meninggalkan empat orang anak, iaitu Raja Ibrahim, Raja Nala, Raja Punuh dan Raja Sharifah. Baginda juga telah melantik seorang Bugis bernama Daeng Loklok bergelar "Datuk Maharaja Lela Husain". Seorang daripada anak perempuannya bernama Cik Long Halijah berkahwin dengan Raja Ibrahim, putera Raja Lumu dan juga Raja Selangor kedua. Raja Lumu mangkat dan dikebumikan di atas Bukit Selangor dan dinamakan "Marhum Salleh". Baginda memerintah dari tahun 1743 (1756) hingga 1778.

Berikut ini adalah daftar sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Selangor:

Sultan Salehuddin Shah ibni al-Marhum Yamtuan Muda Daeng Celak atau namanya aslinya Raja Lumu bin Daeng Celak (1756-1778 M)
Sultan Ibrahim Shah ibni al-Marhum Sultan Salehuddin Shah (1778-1826 M)
Sultan Muhammad Shah ibni al-Marhum Sultan Ibrahim Shah (1826-1857 M)
Sultan Abdul Samad ibni al-Marhum Raja Abdullah (1857-1898 M)
Sultan Alauddin Sulaiman Shah ibni al-Marhum Raja Muda Musa (1898-1938M)
Sultan Hisamuddin Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Alauddin Sulaiman Shah (19381942 M)
Sultan Musa Ghiathuddin Riayat Shah ibni al-Marhum Sultan Alauddin Sulaiman Shah (19421945 M)
Sultan Hisamuddin Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Alauddin Sulaiman Shah (19451960 M)
Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah ibni al-Marhum Hisamuddin Alam Shah (1960-2001 M)
Sultan Sharafuddin Idris Shah ibni al-Marhum Sultan Salehuddin Abdul Aziz Shah (2001 M-…)
Periode Pemerintahan

Sejak tahun 1756 M hingga sekarang, Kesultanan Selangor telah berdiri selama sekitar dua setengah abad. Dalam rentang waktu yang demikian panjang, Selangor pernah mengalami masa-sama kejayaannya, terutama pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Sulaiman Shah (18981938) M. Selangor juga pernah mengalami masa suramnya, terutama ketika diintervensi oleh Inggris.
Wilayah Kekuasaan

Secara keseluruhan, luas Selangor adalah 7,956 km2 yang terbagi ke dalam sembilan wilayah kekuasaan, yaitu:

1. Hulu Selangor, yang diperintah oleh Majlis Daerah Hulu Selangor.
2. Hulu Langat, terbagi ke dalam:
Majlis Perbandaran Kajang, yang memerintah seluruh wilayah Langat dan Kajang.
Majlis Perbandaran Ampang Jaya, yang memerintah seluruh Ampang dan Hulu Klang.
3. Gombak, yang diperintah oleh Majlis Perbendaran Selayang.
4. Kuala Selangor, yang diperintah oleh Majlis Daerah Kuala Selangor.
5. Kuala Langat, yang diperintah oleh Majlis Daerah Kuala Langat.
6. Klang, yang diperintah oleh Majlis Perbendaran Klang.
7. Petaling, terbagi ke dalam:
Majlis Bandaraya Petaling Jaya, yang memerintah Petaling Jaya.
Majlis Bandaraya Subang Jaya, yang memerintah seluruh wilayah Subang Jaya, Puchong, Serdang, USJ, dan Seri Kembangan.
Majlis Bandaraya Shah Alam, yang memerintah Shah Alam dan Sungai Buloh.
8. Sabak Bernam, yang diperintah oleh Majlis Daerah Sabak Bernam.
9. Sepang, yang diperintah oleh Majlis Perbendaran Sepang.

Struktur Pemerintahan
Kesultanan Selangor memiliki prinsip pemerintahan “demokrasi berparlemen”. Prinsip ini sebenarnya juga dianut oleh wilayah-wilayah persekutuan dalam negara Malaysia. Dalam struktur pemerintahan Selangor, sultan tetap merupakan pemimpin tertinggi di kesultanan. Ia dibantu oleh seorang Yang Dipertuan Besar/Agong. Sementara itu, seseorang yang bakal menggantikan posisi sultan bergelar Raja, yang biasanya berasa dari keturunan sultan.

Sejak tahun 1967 M, Selangor memiliki lagu kebangsaan sendiri yang berjudul “Duli Yang Maha Mulia”. Pencipta lagu ini tidak diketahui identitasnya. Lagu ini digubah oleh Syaiful Bahri. Berikut ini adalah syair lagu tersebut:

Duli Yang Maha Mulia
Selamat di atas takhta
Allah lanjutkan usia Tuanku
Rakyat mohon restu bawah Duli Tuanku
Bahagia selama-lamanya
Aman dan sentosa
Duli Yang Maha Mulia