Kamis, 24 September 2015

Kisah Shohabat Tholhah Bin Ubaidillah RA

Nama, Nasab, Penisbatan, dan Julukannya

Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah, Al-Qurasyi At-Taimi Al-Makki dan Kemudian Al-Madani.

Julukannya Abu Muhammad, dengan ini ia dipanggil oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat.

Nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay, dan dengan nasab Abu Bakar ‎Ash-Shiddiq pada Taim bin Murrah. Mereka berdua berasal dari Kabilah Taim.

Adapun garis keturunan inilah shahabat mulia, Thalhah berasal. Dan ia lahir di negeri Islam. Dan tempat yang terbaik di bumi. Ia pertama kali membuka matanya dan melihat dunia ini dalam naungan Baitul Atiq, Ka’bah. Disanalah pertama kali ia mendongakkan kepalanya melihat langit dan menerima cahaya dan kebaikannya, dan ia pun menyatakan berlepas diri dari segala hal yang berkaitan dengan penyembahan berhaka dan mensucikan dirinya dari hal tersebut. Ia hanya menerima kemurnian tauhid. Maka ia pun menunggu kabar langit dan membuka kedua tangannya untuk menerima kebenaran wahyu yang mulai turun dan membawa akidah yang berdasarkan kepada keikhlasan ibadah hanya untuk Alllah, dan mencampakkan semua sesembahan selainnya.

Hari-hari pun berganti, siang dan malam datang silih berganti, dan kemudian menjadi hitungan tahun. Thalhah mulai tumbuh di lingkungan kota Mekah, dan ia menerima berbagai kelebihan yang ada di sana, mulai dari keturuna yang baik, keluarga yang mulia, dan kaum kerabat yang terhormat.

Dari garis keturunan dan hubungan kerabat yang ia miliki, ia dikelilingi oleh sosok terbaik dan sangat terhormat di kalangan Quraisy, baik pada masa jahiliyah maupun Islam. Ayahnya berasal dari kabilah Taim Quraisy. Dan tampaknya ia telah wafat pada masa jahiliyah, karena tidak ada satupun riwayat yang menceritakan tentang sikapnya pada saat kedatangan Islam. Ibunya adalah Ash-Sha’bah binti Al-Hadhrami, saudari Al-Ala’ bin Al-Hadhrami, seorang shahabiyah mulia yang masuk Islam dan ikut berhijrah. Pamannya Amru bin Utsman juga masuk Islam, hijrah ke Madinah, dan ikut dalam perang Qadisiyah. Lalu neneknya dari garis ibunya adalah Atikah binti Wahab bin Abdu bin Qushay bin Kilab, dan Wahab bin Abdu adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab mengurus makanan jamaah haji. Thalhah merupakan ipar Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam melalui empat istrinya Thalhah menikahi Ummu Kultsum binti Abu Bakar yang merupakan saudari dari Aisyah Ummul Mukminin, dan Hamnah binti Jahsy yang merupakan saudari dari Ummul mukminin Zainab, lalu Rafa’ah binti Abu Sufyan yang merupakan saudari dari Ummul mukminin Habibah, dan Qaribah binti Abi Umayyah yang merupakan saudari dari Ummul mukminin Ummu Salamah. Dan ia juga menikahi Khaulah binti Qa’qa’ bin Mu’id, yang dijuluki aliran sungai Eufrat karena kedermawanannya!

Ia mempunyai keturunan yang banyak, di antara putra-putranya yang terkenal adalah Muhammad bin Thalhah yang bergelar As-Sajjad (yang banyak bersujud), Musa, dan Isa, mereka semua adalah tokoh-tokoh terhormat. Dan di antara putri-putrinya yang menonjol adalah Aisyah binti Thalhah, kakeknya adalah Abu Bakar, dan ayahnya adalah Thalhah, dan ia merupakan wanita paling berpengaruh di zamannya. Lalu ummu Ishaq yang dinikahi oleh Husain bin Ali, dan kemudian dinikahi oleh adiknya, Husain.

Ini Cuplikan tentang garis keturunan Thalhah yang mulia, dan kekerabatan yang terhormat melalui istri-istrinya, yang menunjukkan tentang tingginya kedudukannya, dan kemurnian lingkungan keluarnya, sejak kelahirannya hingga masa dewasa, dan kemudian membangun keluarganya sendiri.

Sifat dan kepribadiannya

Jikalau seseorang mempunyai keberuntungan tersendiri dengan namanya, maka Thalhah telah mendapatkan yang terbaik dan tertinggi dari keberuntungan tersebut.

Ath-Thalhu, merupakan bentuk jamak dari Thalhah dan nama ini diberikan untuk laki-laki. Dan ia merupakan sebuah pohon di wilayah Hijaz yang tumbuh di dalam lembah pada tanah yang keras, subur, dan sulit dijangkau. Pohon ini mempunyai batang yang besar, daun yang lebat, sangat hijau, dahannya keras, dan mempunyai daya perekat yang terbaik. Pohon ini tinggi sehingga serin digunakan sebagai tempat berteduh para musafir dan unta-unta mereka, batang pohonnya sangat besar sehingga tidak bisa dipeluk oleh satu orang laki-laki, mempunyai dahan-dahan yang besar dan panjang sehingga melambai kea rah langit. Ia juga mempunyai duri yang besar dan panjang, namun tidak membahayakan, sehingga duri-duri ini banyak dimakan oleh unta.

Bagi yang pernah membaca perjalanan hidup Thalhah, ia akan menemukan banyak sifat dan ciri-ciri yang sesuai dengan pohon tersebut, baik dalam hal kekuatannya, ketegarannya, kebaikannya, keutamaannya, dan juga manfaat yang dipetik orang lain darinya!

Ia dilahirkan di pusat wilayah Hijaz, tumbuh di padang pasirnya, dan berkembang dalam naungannya. Ia mempunyai tubuh yang kuat dan kokoh, tegar, memiliki hati yang tak tergoyahkan. Ia merupakan pribadi yang dermawan, tangannya senantiasa terulur memberikan bantuan, dan sangat baik hati. Ia tak ragu menempuh kesulitan dalam menghadapi musuh-musuh Allah. Tidak ada lawan yang ditakutinya, dan ia tak gentar menghadapi kebisingan dan kerasnya medan pertempuran. Ia menghabiskan hartanya demi kebaikan dan membela Islam serta menolong mereka yang membutuhkan. Ia juga melibatkan dirinya dalam banyak medan jihad dan melindungi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan membela dakwahnya serta menyebarkan risalahnya. Ia bagaikan pohon Ath-Thalhu dalam kekokohannya, kedermawanannya, dan banyaknya manfaat yang ia berikan sehingga tidak ada yang menandingi kedermawanannya. Sungguh ayahnya sangat tepat ketika memilihkan nama ini untuknya.

Ketampanan dan keindahan tubuhnya menjadi keistimewaan lain bagi kepribadiannya. Sehingga terkumpul dalam dirinya ketampanan dan kemuliaan pekerti. Putranya, Musa bin Thalhah menggambarkannya sebagai berikut, “Thalhah bin Ubaidillah mempunyai kulit putih kemerah-merahan, tingginya sedang dan cenderung agak pendek, dadanya bidang, kedua bahunya lebar, dan jika ia menoleh, ia akan menggerakkan semuanya. Kakinya besar, wajahnya tampan, batang hidungnya ramping, jika berjalan ia bergegas, dan ia tidak pernah mengubah warna rambutnya.”

Dan pada bagian akhir ia menggambarkan, “Rambutnya lebat, tidak terlalu keriting dan juga tidak lurus.”

Dapat dilihat bahwa pada sebagian ciri-ciri ini ia mirip dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Pertumbuhannya dan Keislamannya

Remaja ini tumbuh dan berkembang di Mekah dan lingkungan sekelilingnya, hingga ia menjadi kuat dan pola pikirnya mulai terbentuk sempurna. Ia tumbuh bersama-sama dengan teman-teman seusianya seperti Zubair bin Awwam dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Mereka bertiga sangat dekat, dan ketika cahaya wahyu mulai terbit dan turun kepada hati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Thalhah baru berusia lima belas tahun, yang berarti bahwa ia masih sangat remaja dan baru akan memasuki tahap kedewasaannya. Pikirannya tidak pernah terkontaminasi oleh keburukan jahiliyah, hatinya juga tidak pernah tertarik kan akidah mereka, dan ia juga tidak tertarik untuk mengikuti kebiasaan nenek moyangnya. Dalam hal ini ia tidak berbeda dengan banyak remaja yang belum memasuki kancah kehidupan yang dihiasi dengan berbagai macam akidah, ritual keagamaan, dan aneka bentuk ibadah yang ada. Ia masih menapaki langkah-langkah awal dari jalan kehidupan yang amat panjang.

Saat itu, Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dikenal sebagai orang yang menjauhi akidah Quraisy dan berbagai kebathilan mereka. Ia seolah mempresentasikan suatu gambaran yang bersih suci dalam lingkungannya, dan bukan sebagai gambaran dari lingkungan tersebut. Jalan yang di ambilnya telah menarik perhatian sejumlah orang. Kemuliaan akhlaknya juga telah dikenal luas, dan bahkan ia dijuluki Ash-Shadiq Al-Amin (yang jujur dan terpercaya). Thalhah pun telah mendengar tentang hal itu, namun ia tidak tahu banyak tentang Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebelum kenabiannya, karena jarak umur yang cukup jauh di antara mereka yaitu sekitar dua puluh lima tahun. Dan ini tentunya berpengaruh kepada pola fikir dan cara hidup mereka, juga pada hal-hal yang berkaitan dengan minat, kecenderungan, dan cita-cita serta tujuan hidup yang ingin dicapai.

Pada suatu ketika Thalhah bin Ubaidillah dan rombongan pergi ke Syam. Di Bushra, Thalhah bin Ubaidillah mengalami peristiwa menarik yang mengubah garis hidupnya. Tiba-tiba seorang pendeta berteriak-teriak, "Wahai para pedagang, apakah di antara tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?." "Ya, aku penduduk Makkah," sahut Thalhah. "Sudah munculkah orang di antara kalian orang bernama Ahmad?" tanyanya. "Ahmad yang mana?" "Ahmad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Bulan ini pasti muncul sebagai Nabi penutup para Nabi. Kelak ia akan hijrah dari negerimu ke negeri berbatu-batu hitam yang banyak pohon kurmanya. Ia akan pindah ke negeri yang subur makmur, memancarkan air dan garam. Sebaiknya engkau segera menemuinya wahai anak muda," kata pendeta itu.

Ucapan pendeta itu begitu membekas di hati Thalhah bin Ubaidillah, sampai tanpa menghiraukan kafilah dagang di pasar ia langsung pulang ke Makkah. Setibanya di Mekkah, ia langsung bertanya kepada keluarganya, "Ada peristiwa apa sepeninggalku?" "Ada Muhammad bin Abdullah mengatakan dirinya Nabi dan  Abu Bakar As Siddiq  telah mempercayai dan mengikuti apa yang dikatakannya," jawab mereka.

"Aku kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang dada, penyayang dan lemah lembut. Dia pedagang yang berbudi tinggi dan teguh. Kami berteman baik, banyak orang menyukai majelisnya, karena dia ahli sejarah Quraisy," gumam Thalhah bin Ubaidillah lirih.

Setelah itu Thalhah bin Ubaidillah langsung menemui Abu Bakar As Siddiq dan bertanya: "Benarkah Muhammad bin Abdullah telah menjadi Nabi dan engkau mengikutinya?"  Abu Bakar menjawab:"Betul." Kemudian Abu Bakar As-Siddiq menceritakan kisah Muhammad sejak peristiwa di gua Hira' sampai turunnya ayat pertama. Abu Bakar As Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk masuk Islam. 

Usai Abu Bakar As-Siddiq bercerita Thalhah bin Ubaidillah ganti bercerita tentang pertemuannya dengan pendeta Bushra. Abu Bakar As-Siddiq tercengang. Lalu Abu Bakar As-Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk menemui Muhammad dan menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan pendeta Bushra. Di hadapan Rasulullah, Thalhah bin Ubaidillah langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.

Meskipun pengetahuan Thalhah tentang NabiShallallahu Alaihi wa Sallam, baik tentang pertumbuhannya, budi pekertinya, akhlaknya, dan kelebihan-kelebihannya sangat sedikit, dan tidak cukup untuk membuat nya yaking tentang perkara yang begitu agung, namun remaja yang cerdas ini tidak ingin menyimpang dari jalannya. Ia juga tidak meremehkan apa yang diucapkan oleh sang rahib, dan tidak menganggapnya remeh dan menunggu hingga perkara tersebut telah menyebar dan menjadi pembicaraan seleuruh kalangan. Ia juga tidak begitu saja beriman kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan membenarkan apa yang dibawanya tanpa melihat dahhulu tentang latar belakang kehidupannya.
Remaja ini telah dianugerahi oleh Allah sebuah akal yang cerdas, hati yang tajam, serta pemikiran yang tepat. Hal ini mulai terlihat ketika ia bertemu dengan rahib tersebut, dan terus menjadi bagian dari kepribadiannya sepanjang hidupnya. Ia memikirkan tentang perkara yang agung tersebut, menggunakan ketajaman pikirannya, dan berusaha melihatnya dari banyak sudut pandang. Maka kemudian ia berkesimpulan untuk menanyakan hal itu kepada orang yang paling dapat ia percaya, orang yang paling tepat untuk menerangkan tentang hal-hal yang membingungkan, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Salah satu kerabat terdekat nya dari Bani Taim, yang paling terkemuka dari kaumnya, dan merupakan orang yang paling mengenal Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan paling dekat dengannya. Ia juga orang yang paling mengenal sifat-sifat dan perjalanan hidupnya, dan tentunya orang yang paling jujur yang dapat memberitahukan tentang segala hal yang berkaitan dengannya.

Maka Begitu Thalhah sampai di Mekah dari Bushra, dan mendengar berita tentang kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan bahwa Abu Bakar telah membenarkan dan mengikutinya, ia segera mendatanginya. Ia melangkah kakinya menuju rumah Abu Bakar, dan masuk menemuinya, dan berkata, “Ya, Maka segeralah pergi menemuinya, dan ikutilah dia, sesungguhnya ia menyeru kepada kebenaran.”

Adapun Abu Bakar, maka sejak detik pertama dari keislamannya, ia telah membebankan di pundaknya kewajiban untuk menyampaikan apa yang diwahyukan Allah kepada RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam. Maka ia pun segera menyeru mereka yang ia percayai dan dapat memperkuat kelangsungan dakwah. Keinginan Ash-Shiddiq ini bertepatan dengan kedatangan Thalhah dari Syam dengan membawa sebuah berita menarik yang menyuruhnya untuk mengikuti Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan Abu Bakar lah yang menjadi perantara bagi Islamnya Thalhah.

Berita ini diperkuat, dan disempurnakan oleh riwayat dari Imam Muhammad bin Ishaq yang juga menerangkan dari sisi lain dari kisah di atas, ia berkata, “Ketika Abu Bakar masuk Islam, ia menunjukkan keislamannya. Dan menyeru kepada Allah dan Rasullnya Shallallahu Alaihi wa Sallam. Abu Bakar adalah seorang yang akrab di kalangan masyarakatnya, disukai karena ia serba mudah. Paling mengenak nasab Quraisy, memahami dengan baik seluk beluk kabilah itu, yang baik maupun yang jahat. Ia adalah seorarng pedagang, dan berakhlak mulia. Dia sering didatangi oleh orang-orang dari kaumnya untuk masalah yang berbeda-beda. Baik itu karena pengetahuannya, karena perdagangannya, ataupun juga karena kerahamahannya dalam bergaul. Maka ia pun mengajak mereka yang ia percaya dari kaumnya kepada Islam, terdiri dari mereka yang sering bergaul dengannya, sehingga masuk Islamlah karena seruannya orang-orang seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu Anhum. Saat mereka menerima ajakannya, ia membawa mereka kehadapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau menawarkan Islam kepada mereka, membacakan Al-Qur’an, menerangkan tentang kebenaran Islam, dan merekapun beriman. Merekalah delapan orang yang paling pertama masuk Islam. Mereka membenarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan mengimani apa yang beliau bawa dari Allah.”

Dan sejak detik pertama, Thalhah melangkahkan kakinya pada jalan yang benar, dan bergabung dengan kelompok Islam yang pertama, yang merupakan cikal bakal dari masyarakat muslim, dan titik awal dakwah, serta titik tolak dari penyampaian risalah kepada seluruh alam.

Bagi keluarganya, masuk Islamnya Thalhah bin Ubaidillah bagaikan petir di siang bolong. Keluarganya dan orang-orang satu sukunya berusaha mengeluarkannya dari Islam. Mulanya dengan bujuk rayu, namun karena pendirian Thalhah bin Ubaidillah sangat kokoh, mereka akhirnya bertindak kasar. 

Siksaan demi siksaan mulai mendera tubuh anak muda yang santun itu. Sekelompok pemuda menggiringnya dengan tangan terbelenggu di lehernya, orang-orang berlari sambil mendorong, memacu dan memukuli kepalanya, dan ada seorang wanita tua yang terus berteriak mencaci maki Thalhah bin Ubaidillah, yaitu ibunya, Ash-Sha'bah. Tak hanya itu, pernah seorang lelaki Quraisy, Naufal bin Khuwailid yang menyeret Abu Bakar As-Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah mengikat keduanya menjadi satu dan mendorong ke algojo sampai darah mengalir dari tubuh sahabat yang mulia ini. 

Peristiwa ini mengakibatkan Abu Bakar As-Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah digelari Al-Qarinain atau sepasang sahabat yang mulia. Tidak hanya sampai disini saja cobaan dan ujian yang dihadapi Thalhah bin Ubaidillah, semua itu tidak membuatnya surut, melainkan makin besar bakti dan perjuangannya dalam menegakkan Islam, hingga banyak gelar dan sebutan yang didapatnya antara lain "Assyahidul Hayy", atau syahid yang hidup.

Julukan ini diperolehnya dalam perang Uhud. Saat itu barisan kaum muslimin terpecah belah dan kocar-kacir dari samping Rasulullah. Yang tersisa di dekat beliau hanya 11 orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah dari Muhajirin. Rasulullah dan orang-orang yang mengontrol beliau naik ke bukit tadi dihadang oleh kaum musyrikin.

"Siapa berani melawan mereka, dia akan menjadi temanku kelak di surga," seru Rasulullah. "Aku Wahai Rasulullah," kata Thalhah bin Ubaidillah. "Tidak, jangan engkau, kau harus berada di tempatmu." "Aku ya Rasulullah," kata seorang prajurit Anshar. "Ya, majulah," kata Rasulullah.  Lalu prajurit Anshar itu maju melawan prajurit-prajurit kafir. Pertempuran yang tak seimbang mengantarkannya menemui kesyahidan.

Rasulullah kembali meminta para sahabat untuk melawan orang-orang kafir dan selalu saja Thalhah bin Ubaidillah mengajukan diri pertama kali. Tapi, senantiasa ditahan oleh Rasulullah dan diperintahkan untuk tetap ditempat sampai 11 prajurit Anshar gugur menemui syahid dan tinggal Thalhah bin Ubaidillah sendirian bersama Rasulullah.

Saat itu Rasulullah berkata kepada Thalhah bin Ubaidillah, "Sekarang engkau, wahai Thalhah."  Dan majulah Thalhah bin Ubaidillah dengan semangat jihad yang berkobar-kobar menerjang ke arah musuh dan mengusir agar jangan mendekati Rasulullah. Lalu Thalhah berusaha menaikkan Rasulullah sendiri ke bukit, kemudian kembali menyerang hingga tak sedikit orang kafir yang tewas.

Saat itu  Abu Bakar As-Siddiq  dan  Abu Ubaidah bin Jarrah  yang berada agak jauh dari Rasulullah telah sampai di dekat Rasulullah. "Tinggalkan aku, bantulah Thalhah, kawan kalian," seru Rasulullah. Keduanya bergegas mencari Thalhah bin Ubaidillah, ketika ditemukan, ini dalam kondisi pingsan, sedangkan badannya berlumuran darah segar. Tak kurang 79 luka bekas tebasan pedang, tusukan tombak dan lemparan panah memenuhi tubuhnya. Pergelangan tangannya putus sebelah.

Dikiranya Thalhah sudah gugur, ternyata masih hidup. Karena itulah gelar syahid yang hidup diberikan Rasulullah. " Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi setelah mengalami kematiannya, maka lihatlah Thalhah," sabda Rasulullah.

Sejak saat itu bila orang membicarakan perang Uhud dihadapan Abu Bakar As-Siddiq, maka beliau selalu menyahut, " Perang hari itu adalah peperangan Thalhah seluruhnya sampai akhir hayatnya . "

Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin Ubaidillah patut kita contoh dan kita teladani. Dalam hidupnya ia memiliki tujuan utama yaitu bermurah dalam pengorbanan jiwa. Thalhah bin Ubaidillah  merupakan salah seorang dari sepuluh orang yang pertama masuk Islam, dimana pada saat itu satu orang bernilai seribu orang.

Sejak awal keislamannya sampai akhir hidupnya dia tidak pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga dikenal sebagai orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Thalhah bin Ubaidillah bagaikan sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah. Ia adalah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi pemurah dan dermawan. Istrinya bernama Su'da binti Auf. 

Pada suatu hari istrinya melihat Thalhah bin Ubaidillah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat kondisi suaminya, sang istri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan Thalhah mejawab, " Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan? "Maka istrinya berkata, "Uang yang ada ditanganmu itu bagi-Bagikanlah kepada fakir-miskin." Maka dibagi-bagikannyalah seluruh uang yang ada ditangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeserpun.

As-Saib bin Zaid berkata tentang Thalhah bin Ubaidillah, katanya, " Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya."

Jabir bin Abdullah berbicara, " Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta." Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki "Thalhah si dermawan", " Thalhah si konduktor harta "," Thalhah kebaikan dan kebajikan ".
Pengorbanan Thalhah kepada Rasulullah SAW

Bila diingatkan tentang perang Uhud, Abubakar Ra selalu teringat pada Thalhah ra. Ia berkata, "Perang Uhud adalah harinya Thalhah ra. Pada waktu itu akulah orang pertama yang menjumpai Rasulullah SAW. Ketika melihat aku dan Abu Ubaidah, baginda berkata kepada kami: "Lihatlah saudaramu ini." Pada waktu itu aku melihat tubuh Thalhah terkena lebih dari tujuh puluh tikaman atau panah dan jari tangannya putus." Diceritakan ketika tentara Muslim terdesak mundur dan Rasulullah SAW dalam bahaya akibat ketidakdisiplinan pemanah-pemanah dalam menjaga pos-pos di bukit, di saat itu pasukan musyrikin bagai kesetanan merangsek maju untuk melumat tentara muslim dan Rasulullah SAW, terbayang di pikiran mereka kekalahan yang amat memalukan di perang Badar. 

Mereka masing-masing mencari orang yang pernah membunuh keluarga mereka sewaktu perang Badar dan berniat akan membunuh dan memotong-motong dengan sadis. Semua musyrikin berusaha mencari Rasulullah SAW. Dengan pedang-pedangnya yang tajam dan mengkilat, mereka terus mencari Rasulullah SAW. Tetapi kaum muslimin dengan sekuat tenaga melindungi Rasulullah SAW, melindungi dengan tubuhnya dengan daya upaya, mereka rela terkena sabetan, tikaman pedang dan anak panah. Tombak dan panah menghunjam mereka, tetapi mereka tetap bertahan melawan kaum musyrikin Quraisy. Hati mereka berucap dengan teguh, "Aku korbankan ayah ibuku untuk engkau, ya Rasulullah saw.". Salah satu diantara mujahid yang melindungi Nabi SAW adalah Thalhah ra. Ia berperawakan tinggi kekar. Ia ayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Ia melompat ke arah Rasulullah saw. yang tubuhnya berdarah. Dipeluknya Beliau dengan tangan kiri dan dadanya. Sementara pedang yang ada ditangan kanannya ia ayunkan ke arah lawan yang mengelilinginya bagai laron yang tidak memperdulikan maut. Alhamdulillah, Rasulullah saw. selamat.

Thalhah memang merupakan salah satu pahlawan dalam barisan tentara perang Uhud. Ia siap berkorban demi membela Nabi SAW. Ia memang patut ditempatkan pada barisan depan karena ALLAH menganugrahkan kepada dirinya tubuh kuat dan kekar, keimanan yang teguh dan keikhlasan pada agama ALLAH. Akhirnya kaum musyrikin pergi meninggalkan medan perang. Mereka mengira Rasulullah SAW telah tewas. Alhamdulillah, Rasulullah saw. selamat walaupun dalam keadaan menderita luka-luka. Baginda dipapah oleh Thalhah menaiki bukit yang ada di ujung medan pertempuran. Tangan, tubuh dan kakinya diciumi oleh Thalhah, seraya berkata, "Aku tebus engkau Ya Rasulullah saw. dengan ayah ibuku." Nabi SAW tersenyum dan berkata, " Engkau adalah Thalhah kebajikan." Di hadapan para sahabat Nabi SAW bersabda, " Keharusan bagi Thalhah adalah memperoleh ...." Yang dimaksud nabi SAW adalah memperoleh surga. Sejak peristiwa Uhud itulah Thalhah mendapat julukan "Burung elang hari Uhud."

Thalhah Yang Dermawan

Pernahkah anda melihat sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah ? Begitulah Thalhah bin Ubaidillah. Ia adalah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi pemurah dan dermawan. Istrinya bernama Su'da binti Auf. Pada suatu hari istrinya melihat Thalhah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat keadaan suaminya, sang istri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan Thalhah mejawab, " Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan ?" Maka istrinya berkata, "Uang yang ada ditanganmu itu bagi-bagikanlah kepada fakir-miskin." 

Maka dibagi-bagikannyalah seluruh uang yang ada ditangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeserpun. Assaib bin Zaid berkata tentang Thalhah, katanya, "Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya." Jaabir bin Abdullah bertutur, " Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta." Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki "Thalhah si dermawan", "Thalhah si pengalir harta", "Thalhah kebaikan dan kebajikan".

Wafatnya Thalhah bin Ubaidillah

Sewaktu terjadi pertempuran "Aljamal", Thalhah (di pihak lain) bertemu dengan Ali Ra dan Ali Ra memperingatkan agar ia mundur ke barisan paling belakang. Sebuah panah mengenai betisnya maka dia segera dipindahkan ke Basra dan tak berapa lama kemudian karena lukanya yang cukup dalam ia wafat. Thalhah wafat pada usia enam puluh tahun dan dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basra. Sesungguhnya Thalhah bin Ubaidillah berharap bisa gugur ketika berjuang bersama Rasulullah Saw. saat menghadapi musuh Islam. Namun, ketentuan Ilahi menghendaki dia tewas di tangan orang Islam sendiri. Rasulullah pernah berkata kepada para sahabat, "Orang ini termasuk yang gugur, dan barang siapa senang melihat seorang syahid berjalan diatas bumi maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah".
Hal itu juga dikatakan ALLAH dalam firmanNya : "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang -orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada ALLAH, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya." (Al-Ahzaab: 23)
Tempat pemakamannya dan Pemindahannya
 
Ketika Thalhah wafat, orang-orang menguburkannya di tepi Kalla’.
 
Khalla’ adalah tempat dimana kapal-kapal berlabuh, yaitu tepian sungai-sungai, dan yang dikenal dengan nama dermaga.
 
Sa’id bin Amir Adh-Dhuba’I meriwayatkan dari Al-Mutsanna bin Sa’id berkata, “Seseorang mendatangi Aisyah binti Thalhah dan berkata, “Aku bermimpi bertemu dengan Thalhah dan ia berkata, “Katakanlah kepada Aisyah agar ia memindahkanku dari tempat ini, sesungguhnya rembesan lumpurnya menggangguku.” Maka Aisyah segera berangkat dengan para pembantunya, mereka membuatkan tempat baru untuknya, dan kemudian mengeluarkannya. Ia berkata, “Tidak ada yang berubah darinya selain beberapa helai rambut dari salah satu sisi jenggotnya, atau ia mengatakan, “Kepalanya.” Dan itu terjadi setelah lebih dari tiga puluh tahun!”
 
Dalam riwayat lain, “Sebagian keluarganya melihatnya dalam mimpi dan ia berkata, “Bebaskanlah aku dari air ini, sungguh aku telah tenggelam.” Maka mereka mengali kuburannya yang hijau dengan tanaman, mereka mengeringkan airnya dan kemudian mengeluarkannya. Dan ternyata hanya bagian jenggot dan wajahnya yang menghadap tanah yang telah dimakan oleh tanah. Lalu mereka membeli sebagian tanah milik Abu Bakrah dan memakamkannya di sana.”
 
Harta Warisannya
 
Allah memberkahi Thalhah dalam hartanya sebagaimana Dia memberkahi untuknya. Allah melapangkan rezekinya, dan membukakan pintu-pintu rahmat untuknya. Harta-harta tercurah kepadanya sehingga mengalir di kedua tangannya, dan Allah memuliakannya dengan jiwa yang pemurah dan lapang, dan dengan tangan yang suka memberi. Ia sering memberi dalam jumlah yang banyak, dan menghibahkan dalam jumlah yang banyak pula. Ia menginfakkan ini dan itu, sehingga keberkahan semakin meliputi hartanya, dan Allah pun meninggalkan harta yang banyak setelahnya. Ia meninggalkan untuk keluarganya harta yang sangat banyak sehingga mereka bisa hidup dalam keadaan kaya dan terhormat. Malaikat telah mencatat di lembaran amalnya begitu banyak kebaikan dan pahala yang amat besar yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala semata.
 
Ibnu Sa’ad dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Musa bin Thalhah, “Bahwasanya Mu’awiyah bertanya kepadanya, “Berapakah harta yang ditinggalkan oleh Abu Muhammad?” Ia menjawab, “Dua juga dua ratus ribu dirham, dan dari emas sebanyak dua ratus ribu dinar.” Maka Mu’awiyah berkata, “Ia telah hidup dalam keadaan terpuji, dermawan, dan mulia, dan terbunuh sebagai orang yang dirindukan, semoga Allah merahmatinya.”
 
Dan mereka berdua juga meriwayatkan dari Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah berkata, “Nilai harta yang ditinggalkan Thalhah dari property dan hartanya yang berupa perhiasan sebanyak tiga puluh juta dirham, dan ia meninggalkan ua sebanyak dua juta dua ratus ribu dirham dan dua ratus ribu dinar, dan sisanya adalah ‘Urudh (bentuk jamak, dan mufradnya adalah ‘Ardh, yaitu menyelisihi harga dirham dan dinar).
 
Ibnu Sa’ad dan Al-Hakim meriwayatkan dari Su’da binti Auf Al-Murriyyah, istri Thalhah – ia berkata, “Thalhah bin Ubaidillah, semoga Allah merahmatinya, terbunuh dan saat itu di tangan bendaharanya terdapat dua juta dua ratus ribu dirham dan kemudian tanah serta propertinya ditaksir bernilai tiga puluh juta dirham.”
 ‎
Ibnu Sa’ad menuturkan sebuah riwayat yang mencengangkan dari Amru bin Al-Ash, ia berkata, “Aku diberitahu bahwasanya Thalhah bin Ubaidillah meninggalkan seratus buhar, setiap buhar berisi tiga kwintal emas, dan aku mendengar bahwa buhar adalah kantung dari kulit sapi jantan.”‎

Kisah Sahabat Al Barro' Bin Malik Al-Anshori

Beliau adalah salah seorang di antara dua bersaudara yang hidup mengabdikan diri kepada Allah SWT, dan telah mengikat janji dengan Rasulullah SAW yang tumbuh dan berkembang bersama masa. Yang pertama bernama Anas Bin Malik khadam Rasulullah SAW. Ibunya bernama Ummu Sulaim membawanya kepada Rasul, sedang umurnya ketika itu baru sepuluh tahun, seraya katanya :

"Ya Rasulullah...! Ini Anas, pelayan anda yang akan melayani anda, do'akanlah ia kepada Allah SWT!" 

Rasulullah mencium anak itu antara kedua matanya lalu mendo'akannya, do'a yang akan tetap membimbing usianya yang panjang ke arah kebaikan dan keberkahan...Rasul SAW telah mendo'akannya dengan kata-kata berikut :

"Ya Allah...banyakkanlah harta dan anaknya, berkatilah ia dan masukkanlah ia ke surga...!"

 Ia hidup sampai usia 99 tahun dan diberi-Nya anak dan cucu yang banyak, begitu pula Allah SWT memberinya rizki, berupa kebun yang luas dan subur, yang dapat menghasilkan panen buah-buahan dua kali dalam setahun...!   Subhanallah...

 Sedang yang kedua dari dua bersaudara itu adalah Barra' Bin Malik (adik Anas bin Malik)...Ia termasuk golongan terkemuka dan terhormat, menjalani kehidupannya dengan bersemboyan "Allah Dan Surga..."
Dan barang siapa melihatnya ia sedang berperang mempertahankan Agama Allah SWT, niscaya akan melihat hal ajaib di balik ajaib...!
Ketika ia berhadapan pedang dengan orang-orang musyrik, Barra' bukanlah orang yang hanya mencari kemenangan, sekalipun kemenangan termasuk tujuan...Tetapi tujuan akhirnya ialah mencari syahid...Seluruh cita-citanya mati syahid, menemui ajalnya di salah satu gelanggang pertempuran dalam mempertahankan haq dan melenyapkan bathil...

Dia tak pernah ketinggalan dalam setiap peperangan baik bersama Rasul SAW ataupun tidak. Pada suatu hari teman-temannya datang mengunjunginya, ia sedang sakit, dibacanya air muka mereka lalu katanya :

"Mungkin kalian takut aku mati di atas tempat tidurku. Tidak, demi Allah, Tuhan tidak akan menghalangiku mati syahid...!"

 Allah SWT benar-benar telah meluluskan harapannya, ia tidak mati di atas tempat tidurnya, tetapi ia gugur menemui syahid dalam salah satu pertempuran yang terdahsyat...!

Beliau adalah saudara Anas bin Malik, namanya Al-Barra' bin Malik. Dia adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang juga pahlawan perang. Walau bertubuh kerempeng dan berkulit legam, rambutnya acak-acakan, badannya penuh dengan debu dan kumal, tubuhnya kurus kerempeng. Orang yang melihatnya (beranggapan) seakan ia orang yang kepayahan, lalu memandangnya sebelah mata. namun ia mampu menewaskan ratusan orang musyrik dalam perang tanding satu lawan satu. Jumlah ini tidak termasuk korban yang dibunuhnya dalam kancah pertempuran bersama mujahidin lainnya.
Al-Barra’ bin Malik adalah seorang pemberani dan selalu terdepan dalam pertempuan.

Dialah yang diceritakan oleh Al-Faruq (Umar bin Al-Khaththab) dalam suratnya. Surat itu dikirimkan oleh Al-Faruq kepada para gubernur di seluruh wilayah Islam. Isinya, “Jangan kalian jadikan Al-Barra’ sebagai komandan pasukan karena dikhawatirkan akan membahayakan pasukannya. Dikarenakan dia seseorang yang selalu berada di ujung tombak pasukan.”

Dialah Al-Barra’ bin Malik Al-Anshari, saudara Anas bin Malik (pelayan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Kisah ini dimulai saat permulaan meninggalnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada masa pertama sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, banyak suku/kabilah yang berbondong-bondong keluar dari agama Allah ini. Sebagaimana dahulu mereka masuka ke dalam agama-Nya dengan berbondong-bondong pula. Hingga tidak ada lagi yang memeluk agama Islam kecuali penduduk Makkah, Madinah, Thaif, dan sekelompok kaum yang terpencar-pencar.

Kaum yang tetap memeluk Islam adalah kaum-kaum yang keislamannya telah dikokohkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Abu Bakar Ash-Shiddiq menghadapi huru-hara yang amat dahsyat. Beliau menghadapinya dengan tegar, setegar gunung yang begitu kokoh. Ash-Shiddiq mempersiapkan kaum Muhajirin dan Anshar dalam sebelas pasukan perang. Masing-masing pasukan diberi bendera perang.

Pasukan yang ia siapkan itu dikirim ke seluruh jazirah Arab untuk mengembalikan orang-orang yang murtad ke jalan yang penuh petunjuk dan kebenaran. Juga untuk meluruskan orang-orang yang menyimpang – dari jalan yang lurus – dengan pedang.

Kelompok orang-orang murtad yang paling jahat dan paling banyak jumlahnya adalah Bani Hanifah, pengikut Musailamah Al-Kadzdzab (si pendusta).

Sejumlah besar kaum Musailamah dan kaum-kaum yang terikat perjanjian dengannya mencapai jumlah 40.000 orang. Mereka adalah lawan yang paling keras penentangannya. Mayoritas mereka mendukung Musailamah karena sikap fanatik kesukuan, bukan karena mempercayai kenabiannya.

Sebagian pendukungnya ada yang mengatakan, “Aku bersaksi bahwa Musailamah pendusta, sedangkan Muhammad seorang yang jujur. Akan tetapi, si pendusta dari kalangan Rabi’ah lebih kami cintai daripada orang jujur dari kalangan Mudhar itu (yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam).”

Musailamah berhasil mengalahkan pasukan Islam pertama yang menggempurnya. Pasukan Islam ini di bawah komando Panglima Ikrimah bin Abu Jahal. Musailamah memaksa pasukan Ikrimah untuk kembali ke Madinah tanpa hasil.

Kemudian Abu Bakar Ash-Shiddiq mengirim pasukan kedua di bawah Panglima Khalid bin Al-Walid. Pasukan ini dipenuhi oleh para shahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Di antara barisan pasukan terdepan ada Al-Barra’ bin Malik Al-Anshari dan shahabat-shahabat besar lainnya.

Dua pasukan bertemu di Yamamah, sebuah wilayah yang terletak di Nejed.

Tidak lama berselang, Musailamah dan pengikutnya mampu mengungguli pasukan muslimin, sedangkan pasukan muslimin mendapati bumi seakan berguncang. Pasukan muslimin terpaksa kembali ke tempat pertahanan mereka, sampai-sampai pasukan Musailamah berhasil menyerang tenda Panglima Khalid bin Al-Walid. Bahkan, mereka berhasil merobohkannya. Hampir saja mereka membunuh istri Khalid bila tidak dihalangi oleh salah seorang dari mereka.

Ketika keadaan sudah demikian, kaum muslimin merasakan bahaya besar. Mereka memahami, bila mereka kalah di hadapan Musailamah maka tidak ada lagi pasukan Islam yang tegak.

Lalu Allah tidak akan menjadi satu-satunya Tuhan yang disembah di jazirah Arab; Tuhan yang tiada sekutu bagi-Nya.

Khalid mendekati pasukan, kemudian mengatur mereka. Pasukan Muhajirin dipisahkan dari pasukan Anshar. Pasukan dari kabilah Arab yang lain dipisahkan dari yang lainnya. Setiap keturunan yang sama dijadikan dalam satu regu agar diketahui musibah yang menimpa masing-masing kelompok dan dari mana arahnya.

Perang yang sengit terus berlangsung antara pasukan Islam dengan pasukan Musailamah. Sebuah perang yang kedahsyatannya belum pernah dihadai oleh pasukan muslimin.

Pengikut Musailamah masih tetap tegar sekokoh gunung di medan tempur. Pasukan Musailamah tidak peduli dengan banyaknya pasukan mereka yang tewas. Pasukan muslimin menampilkan kepahlawanan yang menakjubkan. Bila dikumpulkan, akan menjadi sebuah rangkaian syair-syair ksatria perang dan kepahlawanan.

Tersebutlah seorang shahabat yang bernama Tsabit bin Qais. Beliau adalah pembawa bendera kaum Anshar. Beliau menggali lubang di tanah untuk menancapkan kakinya. Beliau memasukkan kakinya sampai setengah betis. Tsabit tetap bertahan di tempatnya untuk mempertahankan bendera tersebut. Sampai akhirnya, beliau gugur sebagai syahid.

Zaid bin Al-Khaththab, saudara Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhum, meneriaki kaum muslimin, “Wahai sekalian muslimin, perangilah musuh dan maju terus! Wahai kaum muslimin, aku tidak akan berkata lagi setelah ini sampai Musailamah tewas atau aku berjumpa dengan Allah. Kemudian aku akan memperberat hukumannya dengan nyawaku.”
Lalu Zaid menggempur musuh habis-habisan. Sampai kemudian, beliau gugur.

Tersebutlah seorang shahabat bernama Salim. Beliau adalah maula (mantan budak) Abu Hudzaifah. Beliau yang memegang bendera Muhajirin. Akan tetapi kaumnya khawatir Salim akan melemah dan mundur. Mereka katakan kepada Salim, “Kami akan khawatir akan ditimpa kekalahan karenamu.”

Salim menjawab, “Bila kalian tertimpa kekalahan karena aku, maka aku adalah pembawa Al-Quran yang paling jelek.”
Lalu Salim menerjang barisan lawan dengan penuh keberanian, sampai kemudian beliau gugur.

Akan tetapi, kepahlawanan mereka masih tak terbandingkan dengan kepahlawanan Al-Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

Ketika Khalid bin Walid melihat api peperangan semakin menyala, Khalid menoleh kepada Al-Barra’ bin Malik. Khalid berkata kepadanya, “Giliranmu, wahai pemuda Anshar, untuk menghadapi mereka.”
Ketika panglima perang Khalid bin Walid melihat pertempuran kian berkobar, ia berpaling kepada Al-Barra' seraya berseru, "Wahai Al-Barra', kerahkan kaum Anshar!"

Saat itu juga Al-Barra' berteriak memanggil kaumnya. "Wahai kaum Anshar, kalian jangan berpikir kembali ke Madinah! Tidak ada lagi Madinah setelah hari ini. Ingatlah Allah, ingatlah surga!"

Setelah berkata demikian, dia maju mendesak kaum musyrikin, diikuti prajurit Anshar. Pedangnya berkelebat, menebas musuh-musuh musuh Allah yang datang mendekat.

Melihat prajuritnya berguguran, Musailamah dan kawan-kawannya kecut dan gentar. Mereka lari tunggang-langgang dan berlindung di sebuah benteng yang terkenal dalam sejarah dengan nama Kebun Maut.

Kebun Maut adalah benteng terakhir bagi Musailamah dan pasukannya. Pagarnya tinggi dan kokoh. Sang pendusta dan pengikutnya mengunci gerbang benteng rapat-rapat dari dalam. Dari puncak benteng, mereka menghujani kaum Muslimin yang mencoba masuk dengan panah.

Menghadapi keadaan yang demikian, kaum Muslimin sempat kebingungan. Dalam benak Al-Barra' muncul ide. Ia pun berteriak, "Angkat tubuhku dengan galah dan lindungi dengan perisai dari panah-panah musuh. Lalu lemparkan aku ke dalam benteng musuh. Biarkah aku syahid untuk membukakan pintu, agar kalian bisa menerobos masuk."

Dalam sekejap, tubuh kerempeng Al-Barra' telah dilemparkan ke dalam benteng. Begitu mendarat di benteng bagian dalam, ia langsung membuka pintu gerbang. Dan kaum Muslimin pun membanjir menerobos masuk.

Kaum muslimin menyerbu Kebun Kematian, baik dari atas dinding maupun dari pintu-pintunya. Pedang-pedang mereka menebas leher orang-orang murtad yang berlindung di balik dinding Kebun Kematian. Kaum muslimin berhasil menewaskan sekitar 20.000 orang.

Sampailah mereka kepada Musailamah dan menewaskannya.

Al-Barra’ bin Malik dibawa ke tendanya untuk diobati. Khalid bin Al-Walid sendiri yang langsung menangani perawatannya selama satu bulan. Kemudian sembuhlah Al-Barra’ atas kehendak Allah.

Allah menentukan kemenangan bagi kaum muslimin melalui tangannya.

Al-Barra’ bin Malik Al-Anshari senantiasa mengharapkan mati syahid yang telah luput pada saat berada di Kebun Kematian. Peperangan demi peperangan senantiasa beliau ikuti karena rindu utnuk mendapatkan citanya yang besar, dan kerinduannya untuk menyusul Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jasa Al-Barra' begitu besar. Lebih dari sebulan lamanya ia terpaksa dirawat akibat luka-luka yang dideritanya. Akhirnya ia sembuh kembali.

Sebenarnya Al-Barra' bin Malik sangat merindukan mati syahid. Dia kecewa karena gagal memperolehnya di Kebun Maut. Sejak itu ia selalu menceburkan diri ke kancah peperangan. Ia sangat rindu bertemu Rasulullah SAW.

Tatkala Perang Tustar melawan Persia berlangsung, Al-Barra' bin Malik tidak mau ketinggalan. Kala itu, pasukan musuh terdesak dan berlindung di sebuah benteng kokoh dan kuat. Temboknya tinggi besar. Kaum Muslimin mengepung benteng tersebut dengan ketat.

Pasukan Persia berlindung pada salah satu benteng besar yang kokoh. Kaum muslimin mengepung mereka bagai gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Ketika pengepunga telah berlangsung beberapa saat, kesulitan besar telah menimpa pasukan Persia.
Mereka mulai mengayunkan ranta-rantai besi dari atas benteng. Rantai-rantai itu digantungi cakar-cakar dari baja. Cakar-cakar itu telah dipanaskan dengan api hingga lebih membara karenanya. Cakar-cakar api itu digunakan untuk menyambar dan mengait tubuh pasukan muslimin. Kaum muslimin yang berhasil dikait akan diangkat ke arah mereka dalam keadaan mati atau hampir mati.

Salah satu cakar panas mengait Anas bin Malik, saudara Al-Barra’ bin Malik. Al-Barra’ melihat Anas bin Malik terkena cakar pasukan Persia. Kemudian pasukan Persia itu menarik tubuh Anas bin Malik ke atas benteng.

Seketika itu, Al-Barra’ langsung melompat ke atas dinding benteng untuk menyelamatkan saudaranya. Ia memegangi rantai yang mengait Anas bin Malik. Ia mencoba melepaskan dan mengeluarkan saudaranya. Tangan Al-Barra’ terbakar hingga keluar asap. Namun Al-Barra’ tak mempedulikannya. Ia berhasil menyelamatkan saudaranya lalu turun ke tanah dalam keadaan tangannya tinggal tulang; tidak ada dagingnya sama sekali.‎

Dalam Perang Tustar ini juga, Al-Barra' bin Malik memohon kepada Allah agar gugur sebagai syahid. Doanya dikabulkan, ia pun gugur sebagai syahid dengan wajah tersenyum bahagia.

Semoga Allah mencerahkan wajah Al-Barra’ bin Malik di surga. Serta menyejukkan pandangan matanya dengan bersahabat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah senantiasa meridhai dan menjadikannya orang yang disenangi.‎

Kisah Pemuda Yang Menjadi Pahlawan Dalam Perang Badar

Sungguh berbeda kondisi para remaja di zaman ini dengan zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Remaja masa kini tenggelam dengan tsunami pergaulan bebas dan weternisasi. Perilaku mereka tak lagi meneladani sang Rasulullah namun Boys Band dan artis-artis semisal Justin Bieber. Tak sampai disitu, wabah “alay” pun menjangkiti, lebih parah lagi diantara mereka ada yang bangga bertingkah seperti banci.

Sungguh tak akan selesai mengungkap kebobrokan remaja di zaman ini, maka sudah saatnya para remaja mulai memperbaiki diri. Lihatlah apa yang dilakukan dua remaja ketika perang Badar di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Kedua pemuda yang masih belia ini mempunyai kisah hidup yang tidak pernah terpikir atau terbesit di dalam benak siapapun. Pertama adalah Muadz bin Amr bin Jamuh, usianya baru empat belas tahun. Sementara yang kedua adalah Muawwidz bin Afra’, usianya baru tiga belas tahun. Akan tetapi, dengan penuh antusias keduanya bergegas ikut serta bergabung bersama pasukan kaum muslimin yang akan berangkat menuju lembah Badar.

Kedua pemuda belia ini memiliki nasib baik karena tubuh keduanya terlihat kuat dan usianya terlihat relatif lebih dewasa. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. menerima keduanya masuk dalam skuad pasukan kaum muslimin yang akan berperang melawan kaum musyrikin pada perang Badar. Meskipun usia mereka masih sangat muda belia, tetapi ambisi mereka jauh lebih hebat dan lebih besar daripada ambisi para orang tua atau kaum lelaki yang lain.

Di sini mari kita dengarkan bersama penuturan dari seorang sahabat yang mulia Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. seperti yang terdapat di dalam Shahih Al-Bukhari. Abdurrahman Radhiyallahu ‘anhu menggambarkan sikap dan tindakan yang sangat ajaib dari kedua pemuda pemberani ini! Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu menuturkan :

“Pada perang Badar, saya berada di tengah-tengah barisan para Mujahidin. Ketika saya menoleh, ternyata di sebelah kiri dan kanan saya ada dua orang anak muda belia. Seolah-olah saya tidak bisa menjamin mereka akan selamat dalam posisi itu.”

Kedua pemuda belia itu adalah Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhuma. Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu sangat heran melihat keberadaan kedua anak muda belia ini di dalam sebuah peperangan yang sangat berbahaya seperti perang Badar. Abdurrahman merasa khawatir mereka tak akan mendapatkan bantuan atau pertolongan dari orang-orang di sekitar mereka berdua, disebabkan usia keduanya yang masih muda.

Lalu Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya dengan penuh takjub :

“Tiba-tiba salah seorang dari kedua pemuda ini berbisik kepada saya, ‘Wahai Paman, manakah yang bernama Abu Jahal?” Pemuda yang mengatakan hal ini adalah Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu Ia berasal dari kalangan Anshar dan dirinya belum pernah melihat Abu Jahal sebelumnya. Pertanyaan mengenai komandan pasukan kaum musyrikin, sang lalim penuh durjana di Kota Mekkah dan “Fir’aun umat ini”, menarik perhatian Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. Lantas ia pun bertanya kepada anak muda belia tadi, “Wahai anak saudaraku, apa yang hendak kamu lakukan terhadapnya?”

Sang pemuda belia itu menjawab dengan jawaban yang membuat Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu tak habis pikir! Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Saya mendapat berita bahwa ia adalah orang yang pernah mencaci maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah yang jiwa saya dalam genggaman-Nya! Jika saya melihatnya, pupil mata saya tidak akan berkedip memandang matanya hingga salah seorang di antara kami terlebih dahulu tewas (gugur).”

Ya Allah, betapa kokoh dan kuatnya sikap anak muda belia ini! Seorang anak muda belia yang tinggal di Madinah Al-Munawwarah. Ketika ia mendengar bahwa ada orang yang mencaci maki baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Mekkah yang jaraknya hampir 500 km dari tempat tinggalnya, bara api kemarahan berkobar di dalam hatinya dan semangat ingin membela baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membara di dalam jiwanya.

Ia pun berikrar untuk melakukan sesuatu yang bisa membela keyakinan, harga diri dan tempat-tempat suci agamanya. Dan kesempatan itu datang kala perang berkecamuk, yakni ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa Abu Jahal menuju lembah Badar. Maka ia pun berikrar bahwa ia sendiri yang akan membunuhnya.

Sungguh, pemuda belia ini benar-benar bersumpah bahwa jika ia melihat Abu Jahal, maka ia tidak akan membiarkannya begitu saja hingga salah seorang dari mereka meninggal dunia. Ia tidak merasa cukup hanya dengan tercapainya cita-cita ikut serta dalam perang Badar dan melakukan tugas mulia yang dibebankan kepadanya.

Tidak merasa cukup hanya dengan memenuhi mimpinya dengan membunuh seseorang dari pasukan kaum musyrikin saja. Akan tetapi, yang menjadi ambisi utamanya, impian masa depannya, target dan tujuan hidupnya; adalah ia harus membunuh si durjana dan si lalim ini (Abu Jahal). Meskipun tebusannya, ia akan mati syahid di jalan Allah.

Subhanallah! Sebenarnya, ia boleh saja – tidak ada orang yang akan mencelanya – berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan membunuh salah seorang dari kalangan kaum musyrikin dan menyerahkan urusan membunuh komandan pasukan kaum musyrikin yang lalim ini kepada salah seorang pahlawan Islam terkemuka, atau salah seorang ahli perang yang sudah diketahui kemampuan dan kemahirannya dalam bertempur. Akan tetapi, ambisi dan obsesi utamanya laksana ingin sampai ke puncak bangunan yang tinggi menjulang.

Tentunya, hal ini bukan satu sikap yang biasa. Ini adalah satu sikap yang benar-benar menakjubkan. Bahkan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu sendiri menuturkan, “Saya pun merasa takjub akan hal itu.” Namun rasa takjub dan keheranan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu belum berhenti sampai di situ. Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu bukan satu-satunya anak muda belia yang jarang ditemukan di tengah-tengah barisan pasukan kaum muslimin. Ia punya teman sejawat yang saleh dan seusia atau sedikit lebih muda darinya. Anak muda ini juga bersaing dengannya dalam hal yang sama.

Sungguh saat ini, umat begitu merindukan sosok remaja seperti Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ yang siap membinasakan Abu Jahal abad ini
Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Seorang pemuda belia yang lain (Muawwidz bin Afra’Radhiyallahu ‘anhu) menghentak saya dan mengatakan hal yang serupa.” Lalu Abdrurahman melanjutkan kisahnya, “Tiba-tiba saja saya melihat Abu Jahal berjalan di tengah-tengah kerumunan orang ramai. Saya berkata, “Tidakkah kalian melihat orang itu ia adalah orang yang baru saja kalian tanyakan kepadaku!”

Melihat Abu Jahal, darah amarah kedua pahlawan belia ini pun membara. Tekad bulat mereka semakin mantap untuk merealisasikan tugas yang sangat mulia, yang senantiasa bergeliat dalam mimpi dan benak pikiran meraka.

Sekarang, mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu ketika ia menggambarkan situasi yang sangat menakjubkan tersebut, seperti yang terdapat dalam riwayat Ibnu Ishaq dan di dalam kitab Ath-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad.

Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Saya mendengar kaum musyrikin mengatakan, ‘tidak seorang pun dari pasukan kaum muslimin yang dapat menyentuh Al-Hakam (Abu Jahal)’.” Saat itu , Abu Jahal berada di tengah-tengah kawalan ketat laksana pohon yang rindang.

Abu Jahal, sang komandan terkemuka dari bangsa Quraisy datang dalam iring-iringan para algojo dan orang-orang kuat laksana hutan lebat. Mereka melindungi dan membelanya. Ia adalah simbol kekufuran dan komandan pasukan perang, sehingga sudah pasti jika pasukan batalyon terkuat di kota Mekkah dikerahkan untuk melindungi dan membelanya.

Di samping itu, kaum musyrikin juga saling menyerukan, “Waspadalah, jangan sampai pemimpin dan komandan kita (Abu Jahal) terbunuh!” Mereka mengatakan, “Tidak seorang pun musuh yang dapat menyentuh Abul-Hakam (Abu Jahal)!”

Meskipun Abu Jahal dilindungi sedemikian rupa dan pengawalannya begitu ketat, namun hal itu tak menghalangi Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu untuk tetap membulatkan tekadnya, melaksanakan tugasnya, serta merealisasikan cita-cita suci di dalam hidupnya.

Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Ketika saya mendengarkan perkataan itu, saya pun semakin membulatkan tekad. Saya memfokuskan diri untuk mendekatinya. Ketika tiba waktunya, saya langsung menghampirinya dan memukulkan pedang kepadanya hingga setengah kakinya (betis) terputus.”

Subhanallah! Hanya satu sabetan pedang dari tangan anak muda belia ini, betis seorang lelaki (Abu Jahal) putus dalam sekejap.

Tanyakanlah kepada para dokter atau tim medis yang pernah melakukan operasi pemotongan, betapa sulitnya melakukan hal tersebut! Coba pula tanyakan kepada para pahlawan dan ahli perang yang bergelut di medan pertempuran yang dahsyat, betapa sangat sulitnya hal itu dilakukan!

Wahai generasi muda Islam! Apa sebenarnya yang kita bahas sekarang? Apakah kita berbicara mengenai tingkatan kepahlawanan dalam perang yang ideal? Ataukah gambaran keberanian yang sangat fantastis? Ataukah seni keahlian perang yang paling indah? Ataukah kekuatan tenaga? Ataukah ketajaman daya pikir dan insting? Ataukah kejujuran dalam berjihad, niat yang ikhlas, dan keinginan yang kuat? Ataukah sebelum semua itu, dan yang paling penting kita bicarakan adalah tentang taufik (pertolongan) Allah ‘azza wa jalla kepada para mujahidin di jalan-Nya. Allah azza wa jalla berfirman :

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” [Al-Ankabut : 69]

Wahai generasi muda Islam! Pemuda belia ini baru berusia empat belas tahun. Dirinya mampu memotong betis Abu Jahal hanya dengan satu pukulan saja. Padahal Abu Jahal berada dalam perlindungan dan pengawalan yang sangat ketat dari pasukan kaum musyrikin.

Ia benar-benar telah merealisasikan mimpinya selama ini. Hati sanubarinya terasa damai, dan ia telah berhasil membalas dendam kesumatnya demi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, apakah semua itu dilakukan begitu saja tanpa pengorbanan?!

Hal itu sangat mustahil! Tentunya taruhannya harus ditebus dengan darah. Sebab, pohon kejayaan dan kemuliaan tidak akan tumbuh berkembang selain dengan darah-darah para Mujahidin dan Syuhada.

Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Pada perang itu (Badar), anaknya (Abu Jahal), Ikrimah -pada waktu itu ia masih musyrik – menebas lengan saya dengan pedangnya hingga hampir terputus dan hanya bergantung pada kulitnya saja.”

Tangan pemuda belia itu hampir terpisah dari tubuhnya, hanya bergantung pada kulitnya saja. Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu kehilangan lengan tangannya di jalan Allah!

Namun di atas semua itu, berputus asakah ia? Menyesalkah ia? Apakah ia merasa bahwa ia telah melakukan tindakan yang salah? Apakah ia berharap, seandainya ia tidak ikut dalam medan perang serta hidup dengan selamat dan damai di Madinah, sehingga dirinya terhindar dari luka penderitaan, dan cacat?

Wahai generasi muda Islam! Semua itu sedikit pun tak pernah terbesit dalam benaknya. Justru yang menjadi ambisinya pada saat-saat seperti ini adalah ia harus meneruskan perjalanan jihadnya di jalan Allah Ta’ala. Sebab, masih banyak musuh yang memerangi umat islam dan orang-oarng ikhlas harus segera membela dan berjuang meskipun hanya dengan satu tangan.

Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya,

“Pada hari itu, saya benar-benar berperang seharian penuh. Tangan saya yang hampir putus itu hanya bergelantungan di belakang. Dan ketika ia menyulitkan saya, saya pun menginjaknya dengan kaki, lalu saya menariknya hingga tangan saya terputus.”

Ia justru memisahkan tangan dari jasadnya agar bisa mengobarkan jihad dengan bebas dan leluasa! Subhanallah! Lantas, di mana teman pesaingnya untuk membunuh si durjana dan si lalim kelas kakap itu? Di mana Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu?

Mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin Jamuh ra. tentang teman pesaingnya ini :

“Lalu Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu melintas di hadapan Abu Jahal yang sedang terluka parah, kemudian ia pun menebasnya dengan pedang. Kemudian membiarkannya dalam keadaan tersengal-sengal dengan nafas terakhirnya.”

Maksudnya, Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu juga berhasil merealisasikan tujuan dan cita-citanya. Ia menebas Abu Jahal dengan pedang di kala ia berada di tengah-tengah kerumunan para pengawal dan pelindungnya. Namun, ia berhasil memukul Abu Jahal hingga membuatnya terjungkal ke tanah seperti orang yang tak berdaya, tetapi ia masih mempunyai sisa-sisa nafas terakhir. Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu datang untuk menghabisi nyawa Abu Jahal.

Demikianlah keadaaannya. Kedua pahlawan cilik ini berlomba-lomba dan bersaing untuk menghabisi si durjana, yang pada akhirnya mereka mendapat nilai seri!

Coba perhatikan! Dalam rangka apa mereka bersaing?

Lantas keduanya datang menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing mengatakan, “Saya telah membunuh Abu Jahal, wahai Rasulullah!”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka berdua sebagaimana yang terdapat di dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Apakah kalian telah menghapus (bercak darah yang menempel pada) pedang kalian?“ mereka berdua menjawab, “Belum.” Maka beliau melihat kedua pedang pahlawan cilik tersebut. Lantas beliau bersabda, “Kalian berdua telah membunuhnya.” RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Menyimpulkan bahwa kedua pahlawan- belia itu memperoleh nilai yang sama dan seri.

Subhanallah! Apakah sampai di sini saja kisah kepahlawanan kedua pemuda belia ini? Belum, wahai generasi muda Islam! Namun, kisah mereka masih terus berlanjut pada babak berikutnya.

Kita telah menyaksikan bahwa Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu harus rela kehilangan tangannya sebagai harga mati dari perjuangan, kejujuran, dan kebulatan tekadnya. Lantas apa yang telah dipersembahkan oleh Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu? MuawwidzRadhiyallahu ‘anhu telah mempersembahkan seluruh jiwanya. Sehingga ia memperoleh mati syahid di jalan Allah!

Pahlawan tangguh yang masih muda belia ini – usianya baru tiga belas tahun – terus melanjutkan petualangan jihad dan perjuangannya setelah ia mempersembahkan perjuangan yang sangat berharga hingga terbunuhnya Abu Jahal. Akan tetapi, ia tidak merasa puas hanya dengan perjuangan sebatas itu. Meskipun hasilnya bisa dibanggakan, namun ia terus berjuang dan maju menerjang musuh hingga memperoleh mati syahid di jalan Allah, yang padahal usianya masih sangat muda belia.

Wahai generasi muda, biginilah simbol kejayaan dan kemuliaan! Dan beginilah persaingan yang hakiki. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَفِيْ ذلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُوْنَ

“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” [Al-Muthaffifin : 26]

Ketahuilah wahai para pemuda, betapa leluasa Abu Jahal abad ini mencaci hingga memerangi umat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Jahal abad ini telah menghina syari’at i’dad dan jihad yang Allah Ta’ala perintahkan dengan sebutan keji; “tindak pidana terorisme.” Mereka tuding semangat menegakkan daulah islamiyah dan khilafah sebagai paham radikal. Mereka hinakan para ulamamuwahhid dengan menghakiminya lewat hukum thaghut. Mereka menawan para mujahidin dan membantainya sesuka hati. Bahkan yang lebih “gila” lagi, mereka fitnah gerakan jihad dibiayai lewat bisnis narkoba (narcoterrorism).

Masih adakah remaja yang mendidih darahnya menyaksikan kezhaliman tersebut? Sungguh saat ini, umat begitu merindukan sosok remaja seperti Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ yang siap membinasakan Abu Jahal abad ini.  Wallahu a’lam bis Shawab.‎

Rabu, 23 September 2015

Khutbah Idul Adha

اللهُ اَكْبَرُ × 9 الله اَكْبَرُ كَبِيْرًا ، وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ وَصَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ اَكْبَرُ ، اللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ الْحَمْدُ
َالْحَمْدُ ِللهِ الذي إِيَّاهُ نَعْبُدُ وَلَهُ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ وَإِلَيْهِ نَسْعَى وَنَحْفَدُ ، نَرْجُوْ رَحْمَتَهُ وَنَخْشَى عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَهُ الْجِدُّ بِالْكُفَّارِ مُلْحَقٌ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُوَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، اللهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ وَالاَهُ
أَمَّا بَعْدُ : فَيَا أَ يُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْماً لاَ يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلاَ مَوْلُوْدٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئاً ، إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلاَ تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلاَ يَغُرَّنَّكُمْ بِاللهِ الْغرُوْرُ

Wonten enjing ingkang kebak berkah lan rohmat meniko, kito kempal keranten badhe jumenengaken sholat Idul Adha. Nembe mawon kito ruku; lan sujud minongko wujud raos taat kito dateng Alloh SWT. Kito agungaken asma Alloh, kito kumandangaken takbir lan tahmid wonten ing musholla-musholla lan masjid-masjid. Takbir ingkang kito ucapaken boten namung obahe lambe tanpo arti, ananing minongko pengakuan ing dalem manah ingkang saget gumeteraken dateng manahipun tiyang ingkang sami iman dateng Alloh SWT. Alloh Moho Besar, Alloh Moho Agung, boten wonten ingkang patut dipun sembah sak lintunipun Alloh.

Pramilo lewat mimbar meniko kawulo ngajak dateng diri kulo pribadi lan ugi dumateng hadirin sedoyo; monggo kito taat dateng ngarso dalem Alloh ingkang Moho Agung, kito bucal tebih-tebih raos gumedhe lan sombong ingkang saget nebihaken kito saking rohmatipun Alloh SWT.

Nopo mawon jabatan kito, menawi dipun bandingaken kaliyan Alloh SWT kito meniko alit tur sanget, senahoso kito meniko gagah prakoso, sak yektosipun kito meniko apes lan ringkih menawi dipun bandingaken kalian Alloh Kang moho kuat. Menawi kito meniko tiyang ingkang berkuasa, gadah jabatan inggil, gadah pengaruh ageng, ananging menawi dipun bandingaken dateng Alloh Ingkang Moho Kuwahos kito meniko boten saget menopo-nopo.

Hadirini jamaah ingkang dipun mulyaaken Allah

Poro sedherek sedoyo, wonten wulan Dzulhijjah meniko Gusti Allah sampun majibaken dhumateng ummat Islam ingkang sampun mampu supados nglampahi hajji wonten tanah suci Mekkah sepindah selaminipun gesang kangge nyampurnaaken rukun Islam ingkang nomer gangsal. Sedoyo ummat Islam saking pundi-pundi negari sami kempal wonten tanah Arofah ngagem pakaian ingkang sami, inggih meniko pakaian ihrom ingkang pethak, mboten benten antawisipun tiyang miskin, tiyang sugih, tiyang pangkat menopo mboten. Sedanten makempal ngetingalaken syi'ar agami Islam, ngetingalaken persatuan ummat Islam sa' ngalam dunyo. Sami setunggal niat nglampahi ibadah hajji, tunduk lan tadlorru' ndherek dhawuhipun Allah. Dene ingkang dereng mampu supados berusaha sa' saget-sagetipun kanthi ningkataken semangat usaha lan do'a supados enggal dipun timbali tindak dhateng Makkah nglampahi hajji lan umroh, ndherek pikantuk kesempatan angsal gelar hajji mabrur ingkang sanget ageng ganjaranipun. Dhawuhipun Kanjeng Nabi Muhammad saw. :



الحجّ المبرور ليس له جزاء إلا الجنة



Artosipun : " Hajji mabrur iku ora ono piwalese kejobo suwarga "

Poro sedherek sedoyo, akhir-akhir niki kito sering mireng bencana wonten negari kito, wonten gempa Cianjur, tuwin Padang ingkang sanget ageng, tanah longsor, banjir, kekeringan, kebakaran,  flu burung, flu babi, kecelakaan pesawat terbang, kapal laut, kereta api lan sanes-sanesipun. Sedanten meniko minongko ujian kangge tiyang ingkang sami taqwa lan azab kangge ingkang sami maksiyat. Kanti cobaan kolo wau saget ketingal sinten ingkang imanipun kiat lan sinten ingkang imanipun lemah/tipis.

Dhawuhipun Gusti Allah wonten Surat Al Baqoroh ayat 155 :

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Artosipun wallohu a'lamu bimurodihi :

" Yekti Ingsun (Allah) bakal nyoba temen marang siro kabeh songko roso wedi, luwe, kekurangan soko piro-piro bondho, awak lan woh-wohan. Mongko mbebungaho siro (Muhammad) marang wong-wong kang podho sabar."

Kito saget nyonto kesabaranipun poro Nabi, poro ulama' lan auliya'. Kados kesabaranipun Nabi Ibrahim naliko dipun dhawuhi Gusti Allah supados mragat putranipun Isma'il. Wonten Al Qur'an Surat As Shoffat dipun cariyosaken bilih Nabi Ibrohim ngendiko kalih putranipun :



فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102)

Artosipun wallohu a'lam :

"Naliko Ismail wis tekan umur sanggup kanggo nyambut gawe Nabi Ibrohim ngendiko : " He anakku ! sa' temene aku didhawuhi Gusti Allah (liwat ngimpi) supoyo aku nyembeleh seliramu, piye mungguh panemumu?" Ismail matur : " Duh ingkang romo ! Kulo aturi panjenengan nglampahi menopo ingkang dipun dhawuhaken dhumateng panjenengan, insya Allah Panjenengan manggihi kulo kalebet golonganipun tiyang-tiyang ingkang sami sabar. "



فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107)

Artosipun wallohu a'lam :

"Mongko nalikane Ibrohim lan Ismail podo pasrah lan Ibrohim wis nuro'ake Ismail ono pilingane, Ingsun (Allah) ndangu karo Ibrohim : " He Ibrohim, Seliramu wis bener-bener nglakoni opo sing wis dihawuhke lewat impen". Mengkono iku Ingsun aweh pinwales marang wong-wong kang podo tumindak becik. Sa'temene mengkono iku cobaan kang nyoto. Lan Ingsun (Allah) gawe tebusan (minongko gantine Ismail) hewan sembelehan kang gedhe".

Awit kesetiaan soho keikhlasan Nabi Ibrohim lan Nabi Ismail, Gusti Allah ngijoli Ismail digantos mendo gibas ingkang ageng saking suwargo kangge korban.

الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد.



Poro sederek sedoyo, monggo kito mendet hikmah critonipun Nabi Ibrohim lan Ismail. Kito saget instropeksi diri dateng awak kito. Kinten-kinten dumugi ngantos pundi kesediaan kito berkorban dhumateng Allah subhanahu wata'ala. Selajengipun kangge mengeti menopo ingkang sampun dipun lampahi Nabi Ibrohim as.lan Nabi Ismail as., kito dipun sunnahaken mragat hewan saget rupi mendo utawi lembu wonten sa' ba'danipun nglampahi sholat 'iedul adlha tanggal 10 Dzulhijjah soho wonten dinten tasyriq ngantos tanggal 13 Dzulhijjah. Dhawuhipun Kanjeng Nabi Muhammad saw. :



ألا إن الأضحية من الأعمال المنجية تنجى صاحبها من شرّ الدّنيا والآخرة



Artosipun kirang langkung :

" Elingo, sa'temene mragat hewan korban kuwi setengah songko piro-piro amal kang biso nylametake, nyelametake wong kang nglakoni songko olone dunyo lan akherat."

Ningali dhawuh meniko monggo kito sami mragat hewan kurban, langkung-langkung ingkang anggadahi rizqi kathah, sebab hean ingkang kito korbanaken mangke dados tunggangan kito, dados kendaraan kito wonten akherat, wonten wot shirothol mustaqim, kados dhawuhipun Kanjeng Nabi :



عظموا ضحاياكم فإنها على الصرط مطاياكم



" Podo nggedhe'no hewan korban iro kabeh kerono sa'temene hewan kurban mau bakal dadi kendaraan iro kabeh naliko lewat wot shiroth (al mustaqim)"

Poro sederek sedoyo, hewah kurban ingkang saget dipun damel kangge korban meniko kedah rupi unto utawi mendo utawi lembu ingkang sampun powel, ingkang sehat, mboten kuru sanget, ingkang mboten cacat, mboten pincang, mboten kero, mboten penyakiten lan sanes-sanesipun. Mestinipun ingkang paling sae sebab kangge kendaraan kito piyambak wonten akherat.

Sederek sedoyo ingkang dipun mulyaaken Allah. Amal lintunipun ingkang dipun sunnahaken wonten 'idul adha inggih meniko mahos takbiran. Takbiran meniko takbir muqoyyad, maksudipun namung dipun lampahi sa' ba'donipun sholat fardlu kemawon, wekdalipun milahi ba'do Shubuhipun dinten 'Arofah utawi tanggal 9 Dzulhijjah ngantos 'asharipun akhir dinten tasyriq tanggal 13 Dzulhijjah, dene malem 'iedul Adha milahi Maghrib ngantos minggahipun khotib dateng mimbar wekdalipun bebas sedalu ngantos enjing kados ingkang sampun kalampahaken.

. الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد.



جعلنا الله وإياكم من الحجاج المبرورين ومن المضحّين المخلصين وأدخلنا و إياكم فى زمرة عباده الفائزين المتقين المجا هدين.

بسم الله الرحمن الرحيم

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)

وقل رب اغفر وارحم وأنت خير الرا حمين


KHUTBAH KEDUA:

اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (4×) اللهُ اَكْبَرْ كبيرا وَاْلحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَ أَصْيْلاً لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَللهِ اْلحَمْدُ
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَِثيْرًا
اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى
وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ.
اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. 

عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ‎