Senin, 28 Maret 2016

Penjelasan Hadits Tsaqolain (Dua Pusaka) Rosululloh SAW

Sudah merupakan kebenaran yang niscaya, bahwa hadis adalah sebuah perantara untuk mencapai petunjuk Allah bagi umat manusia. Tujuan Allah mengutus Nabi-Nya tidak hanya sekedar untuk menyampaikan wahyu  kepada manusia sebagai mahkluk yang tidak mungkin dari dirinya sendiri menemukan jati diri dan jalan yang benar tanpa bantuan Yang Maha Tahu, tetapi juga Nabi bertugas menjelaskan apa yang dikandung dalam wahyu dengan penjelasan yang lebih mudah dimengerti oleh manusia serta pada tahap selanjutnya menentukan dan melaksanakan secara praktis objek yang ditunjuk oleh wahyu secara teoritis saja. Peranan Nabi dalam memahamkan wahyu kepada manusia sangatlah penting karena wahyu akan menjadi hujjah Allah bagi manusia hanya ketika dia mampu memahami wahyu tersebut. Maka apabila diandaikan bahwa seribu nabi diutus kepada seorang manusia, sementara dia tidak mampu memahaminya, wahyu tidak akan menjadi hujjah bagi dirinya karena hujjah adalah sesuatu  yang telah dipahami oleh manusia kemudian dapat diyakini. Wahyu tidak akan menjadi hujjah hanya dengan sampainya wahyu kepada manusia melalui gelombang suara yang dapat didengar oleh telinga  dan selesai, meskipun tidak dapat dipahami. Kehujjahan wahyu lebih dari sekedar gelombang suara. Wahyu adalah hujjah jika sudah dipahami oleh manusia. Tapi tidak ada alasan lagi manusia dihadapan Allah untuk tidak mampu memahami al-Qur’an karena Allah telah mengutus seoarang nabi untuk menjabarkan wahyu-Nya sehingga dapat dipahami oleh manusia. Allah hanya menunggu saja apa tindakan menusia selanjutnya terhadap wahyu yang telah dipahaminya. jika menjalankannya maka pahala, jika tidak maka sebaliknya, azab. Dengan demikian kajian dan telaah hadis, baik dari sanad maupun matan, menjadi sangat urgen dalam upaya memahami wahyu Allah.
Ilmu hadis merupakan disiplin ilmu yang disusun untuk menjawab semua tantangan diatas. Ilmu hadis berupaya mencarikan solusi-solusi rasional terhadap perkembangan-perkembangan pemikiran dan pandangan yang bersifat reformis terhadap peninjauan ulang hadis dari para ahli hadis modern. Validitas suatu hadis menjadi sangat penting untuk dibuktikan dihadapan serangan para sebagian reformis maupun para orientalis yang mulai meragukannya. Ilmu hadis menemukan tantangannya, tidak lagi merupakan pahlawan tanpa musuh. Penelitian kembali kuliatas hadis, baik dari segi sanad maupun matan-nya, memerlukan kecermatan dalam mempelajari berbagai tinjauan dari berbagai apek yang mempengaruhi muncul suatu hadis, seperti aspek sosiologis, historis, politis, dan lain sebagainya. Dengan demikian pembuktian validitas suatu hadis bukanlah hal yang sangat sederhana, melainkan sangat konplek danrumit.Dalam makalah ini akan diulas dan ditelaah  sebuah hadis yang berkaitan dengan dua pusaka Nabi saw atau yang dikenal dengan hadis Tsaqalain dengan menggunakan penelitian terhadap sanad dan matan-nya dalam upaya mencoba membuktikan sejauh mana validitasnya dan memahami secara objektif pesan yang terkandung di dalamnya.

Selama ini kita akrab dengan hadis yang sering disampaikan oleh para muballigh bahwa Nabi Saw telah meninggalkan dua pusaka yang harus menjadi pegangan kaum muslimin. Dua pusaka yang dimaksud adalah Alquran dan Sunnah. Dimana hadis ini bisa ditemukan? Ternyata, hadis itu tidak terdapat di dalam kutubussittah. Justru beberapa hadis di kutubussittah mengatakan sesuatu yang berbeda.

Di dalam Shahih Muslim hadis no. 4425, berdasarkan penomoran kitab Syarh Shahih Muslim Imam Nawawi terbitan Darul Hadits Kairo, tertulis hadis berikut ini:

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَشُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُلَيَّةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنِي أَبُو حَيَّانَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا

رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي وَاللَّهِ لَقَدْ كَبِرَتْ سِنِّي وَقَدُمَ عَهْدِي وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِي كُنْتُ أَعِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوا وَمَا لَا فَلَا تُكَلِّفُونِيهِ ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَوَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ

و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ حَدَّثَنَا حَسَّانُ يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ مَسْرُوقٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ حَيَّانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِنَحْوِهِ بِمَعْنَى حَدِيثِ زُهَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ كِلَاهُمَا عَنْ أَبِي حَيَّانَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَ حَدِيثِ إِسْمَعِيلَ وَزَادَ فِي حَدِيثِ جَرِيرٍ كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ مَنْ اسْتَمْسَكَ بِهِ وَأَخَذَ بِهِ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ حَدَّثَنَا حَسَّانُ يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَعِيدٍ وَهُوَ ابْنُ مَسْرُوقٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ حَيَّانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَيْهِ فَقُلْنَا لَهُ لَقَدْ رَأَيْتَ خَيْرًا لَقَدْ صَاحَبْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي حَيَّانَ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللَّهِ مَنْ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلَالَةٍ وَفِيهِ فَقُلْنَا مَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ نِسَاؤُهُ قَالَ لَا وَايْمُ اللَّهِ إِنَّ الْمَرْأَةَ تَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ الْعَصْرَ مِنْ الدَّهْرِ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا فَتَرْجِعُ إِلَى أَبِيهَا وَقَوْمِهَا أَهْلُ بَيْتِهِ أَصْلُهُ وَعَصَبَتُهُ الَّذِينَ حُرِمُوا الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb dan Syuja' bin Makhlad seluruhnya dari Ibnu 'Ulayyah, Zuhair berkata; Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ibrahim; Telah menceritakan kepadaku Abu Hayyan; Telah menceritakan kepadaku Yazid bin Hayyan dia berkata; "Pada suatu hari saya pergi ke Zaid bin Arqam bersama Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim. Setelah kami duduk, Husain berkata kepada Zaid bin Arqam. Hai Zaid, kamu telah memperoleh kebaikan yang banyak. Kamu pernah melihat Rasulullah. Kamu pernah mendengar sabda beliau. Kamu pernah bertempur menyertai beliau. Dan kamu pun pernah shalat jama'ah bersama beliau. Sungguh kamu telah memperoleh kebaikan yang banyak. OIeh karena itu hai Zaid. sampaikanlah kepada kami apa yang pernah kamu dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam! 

Zaid bin Arqam berkata; Hai kemenakanku, demi Allah sesungguhnya aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Oleh karena itu, apa yang bisa aku sampaikan, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan. maka janganlah kamu memaksaku untuk menyampaikannya." 

Kemudian Zaid bin Arqam meneruskan perkataannya. Pada suatu ketika, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri dan berpidato di suatu tempat air yang di sebut Khumm, yang terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan serta berkata; “Ketahuilah hai saudara-saudara, bahwasanya aku adalah manusia biasa seperti kalian. Sebentar lagi utusan Tuhanku, malaikat pencabut nyawa, akan datang kepadaku dan aku pun siap menyambutnya. Sesungguhnya aku akan meninggalkan dua hal yang berat kepada kalian, yaitu: Pertama, Al-Qur 'an yang berisi petunjuk dan cahaya. Oleh karena itu, laksanakanlah isi Al Qur'an dan peganglah. Sepertinya Rasulullah sangat mendorong dan menghimbau pengamalan Al Qur'an. Kedua, keluargaku. Dengan nama Allah aku ingatkan kepada kalian tentang keluargaku, dengan nama Allah aku ingatkan kepada kalian tentang keluargaku, dengan nama Allah aku ingatkan kepada kalian tentang keluargaku" (Beliau ucapkan sebanyak tiga kali). 

Husain bertanya kepada Zaid bin Arqam; "Hai Zaid, sebenarnya siapakah ahlul bait (keluarga) Rasulullah itu? Bukankah istri-istri beliau itu adalah ahlul bait (keluarga) nya?" Zaid bin Arqam berkata; "Istri-istri beliau adalah ahlul baitnya. tapi ahlul bait beliau yang dimaksud adalah orang yang diharamkan untuk menerima zakat sepeninggalan beliau." Husain bertanya; "Siapakah mereka itu?" Zaid bin Arqam menjawab; "Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil. keluarga Ja'far, dan keluarga Abbas." Husain bertanya; "Apakah mereka semua diharamkan untuk menerima zakat?" Zaid bin Arqam menjawab."Ya." 

Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakkar bin Ar Rayyan; Telah menceritakan kepada kami Hassan yaitu Ibnu Ibrahim dari Sa'id bin Masruq dari Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, (lalu dia menyebutkan Haditsnya yang semakna dengan Hadits Zuhair; Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada kami Muhamad bin Fudhail; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim; Telah mengabarkan kepada kami Jarir keduanya dari Abu Hayyan melalui jalur ini sebagaimana Hadits Ismail dan di dalam Hadits Jarir ada tambahan; 'Yaitu Kitabullah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Barang siapa yang berpegang teguh dengannya dan mengambil pelajaran dari dalamnya maka dia akan berada di atas petunjuk. Dan barang siapa yang menganggapnya salah, maka dia akan tersesat. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakkar bin Ar Rayyan; Telah menceritakan kepada kami Hassan yaitu Ibnu Ibrahim dari Sa'id yaitu Ibnu Masruq dari Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam dia berkata; Kami menemui Zaid bin Arqam, lalu kami katakan kepadanya; 'Sungguh kamu telah memiliki banyak kebaikan. Kamu telah bertemu dengan Rasulullah, shalat di belakang beliau dan seterusnya sebagaimana Hadits Abu Hayyan. Hanya saja dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Ketahuilah sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat besar. Salah satunya adalah Al Qur'an, barang siapa yang mengikuti petunjuknya maka dia akan mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang meninggalkannya maka dia akan tersesat.' Juga di dalamnya disebutkan perkataan; Lalu kami bertanya; siapakah ahlu baitnya, bukankah istri-istri beliau? Dia menjawab; Bukan, demi Allah, sesungguhnya seorang istri bisa saja dia setiap saat bersama suaminya. Tapi kemudian bisa saja ditalaknya hingga akhirnya dia kembali kepada bapaknya dan kaumnya. Yang dimaksud dengan ahlu bait beliau adalah, keturunan beliau yang diharamkan bagi mereka untuk menerima zakat.'

Jalur perawi hadis ini ditunjukkan di dalam bagan berikut ini:
Jalur rawi hadis dua pusaka Nabi (Quran dan Ahlulbait) di Sahih Muslim 4425
Selanjutnya, mari kita lihat perawi dalam bagan di atas satu persatu untuk menilai hadisnya.

Keterangan Perawi

Zaid bin Arqam bin Zaid 

Beliau adalah salah seorang sahabat Nabi Saw. Kuniyahnya adalah Abu ‘Amru. Paruh akhir hidupnya dihabiskan di Kufah. Beliau wafat tahun 68H. 

Zaid bin Arqam bin Zaid meriwayatkan hadis sebagai berikut: 16 di Sahih Bukhari, 14 di Sahih Muslim, 12 di Sunan Abu Dawud, 18 di Sunan Tirmidzi, 15 di Sunan Nasa’i, 8 di Sunan Ibn Majah, 82 di Musnad Ahmad dan 5 di Sunan Darimi.

Yazid bin Hayyan

Yazid dikenal sebagai salah seorang tabi’in dari kalangan biasa. Kuniyahnya adalah Abu Hayyan. Beliau juga hidup di Kufah, tapi tidak diketahui dengan pasti kapan wafatnya.

Beliau meriwayatkan 1 hadis di Sahih Muslim, 1 di Sunan Abu Dawud, 1 di Sunan Nasa’i, 4 di Musnad Ahmad dan 1 di Sunan Darimi.

Keterangan mengenai beliau,  An-Nasa’i, Ibn Hajar al-Atsqalani dan Adz-Dzahabi menyebutnya tsiqah. Ibn Hibban memasukkannya di dalam ‘Ats-Tsiqaat. 

Yahya bin Sa’id bin Hayyan

Beliau termasuk tabi’in. Kuniyahnya adalah Abu Hayyan. Beliau termasuk tabi’in yang mukim di Kufah. Wafat tahun 145H.

Beliau meriwayatkan hadis 13 di dalam Sahih Bukhari, 10 di Sahih Muslim, 7 di Sunan Abu Dawud, 4 di Sunan Tirmidzi, 4 di Sunan Nasa’i, 7 di Sunan Ibn Majah, 22 di Musnad Ahmad dan 3 di Sunan Darimi

Keterangan mengenai beliau, Yahya bin Ma’in menyebutnya tsiqah. Al-‘Ajli menyebutnya tsiqah salih. Abu Hatim menyebutnya shalih. Ibn Hibban memasukkannya di dalam ‘Ats-Tsiqaat. An-Nasa’i menyebutnya tsiqah tsabat. Ya’qub bin Sufyan menyebutnya tsiqah ma’mun. Ibn Hajar al-Atsqalani menyebutnya tsiqah ahli ibadah. Adz-Dzahabi menyebutnya Imam Tsabat.

Isma’il bin Ibrahim bin Muqsim

Isma’il adalah kalangan tabi’ut tabi’in kalangan pertengahan. Dikenal dengan kuniyah Abu Bisyir. Beliau hidup di Basrah dan wafat tahun 193H.

Beliau meriwayatkan hadis 70 di dalam Sahih Bukhari, 204 di Sahih Muslim, 86 di Sunan Abu Dawud, 66 di Sunan Tirmidzi, 115 di Sunan Nasa’i, 53 di Sunan Ibn Majah, 615 di Musnad Ahmad dan 18 di Sunan Darimi.

Keterangan mengenai beliau, Syu’bah menyebutnya sayyidul muhadditsiin. Yahya bin Ma’in menyebutnya tsiqah ma’mun. Muhammad bin Sa’d menyebutnya tsiqah tsabat hujjah. Abdurrahman bin Mahdi mengatakan, dia lebih kuat daripada Husyaim. Yahya bin Said menyebutnya lebih kuat daripada Wuhaib. As-Saji mengatakan, dia perlu dikoreksi ulang. An-Nasa’i mengatakan tsiqah tsabat. Ibn Hajar al-Atsqalani dan Adz-Dzahabi mengatakan dlaif.

Zuhair bin Harb bin Syaddad

Zuhair adalah tabi’ul atba’ kalangan tua. Dikenal dengan kuniyah Abu Khaitsamah. Beliau hidup di Baghdag dan wafat tahun 234H. 

Zuhair meriwayatkan hadis 12 di dalam Sahih Bukhari, 749 di Sahih Muslim, 43 di Sunan Abu Dawud, 1 di Sunan Nasa’i, 2 di Sunan Ibn Majah, 35 di Musnad Ahmad dan 1 di Sunan Darimi.

Keterangan mengenai beliau, Yahya bin Ma’in dan Ibn Wadldlah menyebutnya tsiqah. An-Nasa’i menyebutnya tsiqah ma’mun. Ibn Hajar al-Atsqalani menyebutnya tsiqah tsabat. Abu Hatim menyebutnya shaduq. Ibn Hibban menyebutkannya di dalam Ats-Tsiqaat. Adz-Dzahabi mengatakan dia al-Hafidz.

Syuja’ bin Makhlad

Syuja’ juga adalah tabi’ul atba’ kalangan tua. Dikenal dengan kuniyah Abu Al-Fadlul. Beliau hidup di Baghdag dan wafat tahun 235H. 

Zuhair meriwayatkan hadis 3 di Sahih Muslim, 2 di Sunan Abu Dawud, 2 di Sunan Ibn Majah dan 4 di Musnad Ahmad.

Keterangan mengenai beliau, Yahya bin Ma’in menyebutnya laisa bihi ba’s. Ibn Hibban menyebutkannya di dalam Ats-Tsiqaat. Ibn Hajar al-Atsqalani menyebutnya shaduq tapi punya keragu-raguan. Adz-Dzahabi mengatakan dia hujjah. Abu Zur’ah dan Al-‘Ajli menyebutnya tsiqah. Al-‘Uqaili menyebutkannya di dalam ‘Adl Al-Dluafa’.

Sa’id bin Masruq

Sa’id yang dikenal dengan kuniyah Abu Sufyan adalah salah seorang tabi’in. Beliau hidup di Kufah dan meninggal tahun 127H. 

Beliau meriwayatkan hadis 16 di dalam Sahih Bukhari, 10 di Sahih Muslim, 4 di Sunan Abu Dawud, 8 di Sunan Tirmidzi, 13 di Sunan Nasa’i, 6 di Sunan Ibn Majah, 29 di Musnad Ahmad dan 4 di Sunan Darimi.

Keterangan mengenai beliau, Ibn Hibban menyebutkannya di dalam Ats-Tsiqaat. Ibn Hajar al-Atsqalani, An-Nasa’i dan Adz-Dzahabi menyebutnya tsiqah.

Hassan bin Ibrahim bin ‘Abdullah

Hassan adalah tabi’ut tabi’in dari kalangan pertengahan. Kuniyahnya adalah Abu Hisyam. Menurut catatan sejarah beliau hidup di Kabul dan wafat tahun 186.

Beliau meriwayatkan hadis 4 di dalam Sahih Bukhari, 3 di Sahih Muslim, 3 di Sunan Abu Dawud dan 1 di Musnad Ahmad

Keterangan mengenai beliau, Ibn Hibban menyebutkannya di dalam Ats-Tsiqaat. Ibn Hajar al-Atsqalani menyebutnya shaduq yuhti. Adz-Dzahabi menyebutnya tsiqah. Abu Zur’ah mengatakan la ba’sa bih. An-Nasa’i menyebutnya laisa bi qawi. 

Muhammad bin Bakkar bin Ar-Rayyan

Beliau juga adalah tabi’ul atba’ kalangan tua. Dikenal dengan kuniyah Abu ‘Abdullah. Beliau hidup di Baghdag dan wafat tahun 238H. 

Beliau meriwayatkan hadis 6 di Sahih Muslim, 3 di Sunan Abu Dawud dan 15 di Musnad Ahmad

Keterangan mengenai beliau, Yahya bin Ma’in menyebutnya syaikh la ba’sa bih dan mengatakan bahwa dia disebutkan di dalam ‘Ats-Tsiqaat. Ibn Hajar al-Atsqalani mengatakan tsiqah. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa banyak orang mentsiqahkannya.

Muhammad bin Fudlail bin Ghazwan bin Jarir

Beliau adalah seorang tabi’in. Dikenal dengan kuniyah Abu ‘Abdur Rahman. Menurut catatan sejarah beliau hidup di Kufah, wafat tahun 295H. 

Beliau meriwayatkan hadis 34 di dalam Sahih Bukhari, 60 di Sahih Muslim, 27 di Sunan Abu Dawud, 36 di Sunan Tirmidzi, 24 di Sunan Nasa’i, 61 di Sunan Ibn Majah, 120 di Musnad Ahmad dan 11 di Sunan Darimi.

Keterangan mengenail beliau, Yahya bin Ma’in dan Adz-Dzahabi menyebutnya tsiqah. Abu Hatim menggelarinya syaikh. An-Nasa’i mengatakan laisa bihi ba’s. Ibn Hibban mengatakan bahwa ia disebutkan di dalam ‘ats-Tsiqaat. Ibn Hajar al-Asqalani dan Abu Zur’ah mengatakan shaduq.

Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman

Abdullah juga adalah tabi’ul atba’ kalangan tua. Dikenal dengan kuniyah Abu Bakar. Beliau hidup di Kufah dan wafat tahun 235H. 

Beliau meriwayatkan hadis 19 di dalam Sahih Bukhari, 130 di Sahih Muslim, 40 di Sunan Abu Dawud, 2 di Sunan Nasa’i, 109 di Sunan Ibn Majah, 123 di Musnad Ahmad dan 33 di Sunan Darimi.

Keterangan mengenai beliau, Ahmad Ibn Hanbal menyebutnya shaduq. Abu Hatim mengatakan dia tsiqah.

Jarir bin ‘Abdul Hamid bin Qarth

Jarir adalah dari kalangan tabi’ut tabi’in kalangan pertengahan. Dikenal dengan kuniyah Abu ‘Abdullah. Beliau hidup di Kufah dan wafat tahun 188H. 

Beliau meriwayatkan hadis 127 di dalam Sahih Bukhari, 294 di Sahih Muslim, 101 di Sunan Abu Dawud, 25 di Sunan Tirmidzi, 118 di Sunan Nasa’i, 29 di Sunan Ibn Majah, 78 di Musnad Ahmad dan 36 di Sunan Darimi.

Keterangan mengenai beliau, Abu Hatim Ar-Razy, Muhammad bin Sa’d dan An-Nasa’i mengatakan tsiqah.

Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad

Ishaq yang dikenal dengan kuniyah Abu Ya’qub juga adalah tabi’ul atba’ dari kalangan tua. Beliau dicatat hidup di Himsh dan wafat tahun 238H.

Beliau meriwayatkan hadis 103 di dalam Sahih Bukhari, 618 di Sahih Muslim, 5 di Sunan Abu Dawud, 1 di Sunan Tirmidzi, 348 di Sunan Nasa’i, 7 di Musnad Ahmad dan 33 di Sunan Darimi.

Keterangan mengenai beliau, Ahmad bin Hanbal menyebut beliau seorang imam kaum muslimin. An-Nasa’i menyebutnya Ahadul Aimmah. Ibn Hibban mengatakan bahwa dia disebutkan di dalam ‘Ats-Tsiqaat. Ibn Hajar al-Asqalani  menyebutnya tsiqah hafidz mujtahid. Adz-Dzahabi mengatakan dia adalah imam.

Kesimpulan

Dengan melihat para perawi hadis di dalam Shahih Muslim di atas, kita sampai pada kesimpulan bahwa hadis dua pusaka Nabi, yakni Alquran dan ahlulbaitnya, adalah hadis yang sangat kuat sanadnya dan karenanya disahihkan oleh semua ahlul hadis.

Hadis-Hadis yang Semakna

Seperti yang sudah disebutkan, hadis yang mengatakan bahwa dua pusaka Nabi Saw, Alquran dan Sunnah, tidak ditemukan di dalam kitab kutubusittah. Justru di dalam enam kitab rujukan utama muslim ahlussunnah ini, hadis yang masyhur adalah dua pusaka Alquran dan ahlulbait Nabi Saw. 

Berikut beberapa hadis lain yang semakna dengan hadis di Shahih Muslim di atas.

Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي حَيَّانَ التَّيْمِيِّ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ التَّيْمِيُّ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ مَعَهُ لَقَدْ رَأَيْتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا ابْنَ أَخِي وَاللَّهِ لَقَدْ كَبُرَتْ سِنِّي وَقَدُمَ عَهْدِي وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِي كُنْتُ أَعِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوهُ وَمَا لَا فَلَا تُكَلِّفُونِيهِ ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطِيبًا فِينَا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ تَعَالَى وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلَا يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَنِي رَسُولُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فَأُجِيبُ وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ إِنَّ نِسَاءَهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنَّ أَهْلَ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ أَكُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ

Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Abu Hayyaan At-Taimiy : Telah menceritakan kepadaku Yaziid binHayyaan At-Taimiy, ia berkata : “Aku, Hushain bin Sabrah, dan ‘Umar bin Muslim berangkat menemui Zaid bin Arqam. Ketika kami duduk bersamanya, Hushain berkata kepadanya : "Sesungguhnya Anda telah menuai kebaikan yang banyak wahai Zaid. Anda telah melihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan mendengar haditsnya. Kemudian Anda juga telah berperang bersamanya dan shalat bersamanya. Sungguh, Anda telah melihat kebaikan yang banyak. Karena itu, ceritakanlah kepada kami apa yang telah Anda dengar dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam." Zaid berkata : "Wahai anak saudaraku, demi Allah, usiaku telah lanjut, dan masaku pun telah berlalu, dan aku telah lupa sebagian yang telah aku hafal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka apa yang aku ceritakan pada kalian, terimalah. Dan apa yang tidak, maka janganlah kalian membebankannya padaku". Zaid melanjutkan berkata : “Pada suatu hari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berdiri dan berkhutbah kepada kami di sebuah mata air yang biasa disebut Khumm, yakni bertempat antara Ka'bah dan Madinah. Kemudian beliau memuji Allah dan mengungkapkan puji-pujian atas-Nya. Beliau memberi nasehat dan peringatan. Dan setelah itu beliau bersabda : ‘Amma ba'du, wahai sekalian manusia, aku hanyalah seorang manusia, yang hampir saja utusan Rabb-ku mendatangiku hingga aku pun memenuhinya. Sesungguhnya aku telah meninggalkan dua perkara yang sangat berat di tengah-tengah kalian. Yang pertama adalah Kitabullah 'azza wajalla. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Karena itu, ambillah dan berpegang-teguhlah kalian dengannya". Beliau memberikan motivasi terkait dengan kitabullah dan mendorongnya. Kemudian beliau bersabda lagi : "Dan (yang kedua adalah) ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahli baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah akan ahlul-baitku, aku ingatkan kalian karena Allah terhadap akan ahlul-baitku." Kemudian Hushain bertanya kepada Zaid : "Dan siapakah ahlul-baitnya wahai Zaid?. Bukankah isteri-isteri beliau adalah termasuk ahlul-baitnya?". Zaid menjawab : "Isteri-isteri beliau termasuk bagian dari ahlul-baitnya. Akan tetapi, ahlul-bait beliau adalah siapa saja yang telah diharamkan baginya untuk menerima sedekah setelah beliau". Hushain bertanya lagi : "Siapakah mereka itu?". Zaid menjawab : "Mereka adalah keluarga ‘Aliy, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja'far, dan keluarga ‘Abbaas". Zaid bertanya lagi : "Apakah mereka semua diharamkan untuk menerima sedekah?". Ia menjawab : "Ya" [4/366-367].

حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ أَخْبَرَنَا أَبُو إِسْرَائِيلَ يَعْنِي إِسْمَاعِيلَ بْنَ أَبِي إِسْحَاقَ الْمُلَائِيَّ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ الثَّقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ الْآخَرِ كِتَابُ اللَّهِ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنْ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي وَإِنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ

Telah menceritakan kepada kami Aswad bin 'Amir berkata; telah mengabarkan kepada kami Abu Isma'il -yaitu Isma'il bin Abu Ishaq Al Mula`i- dari 'Athiyyah dari Abu Sa'id ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat berat, salah satunya lebih besar dari yang lain; Kitabullah, tali yang dijulurkan dari langit ke bumi, dan keturunan ahli baitku, keduanya tidak akan berpisah hingga mereka tiba di telagaku." Musnad Ahmad hadis no. 10681. Lihat hadis semakna di hadis no. 10779 dan no 11135 kitab yang sama.

Sunan At-Tirmidziy

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحَسَنِ هُوَ الْأَنْمَاطِيُّ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّتِهِ يَوْمَ عَرَفَةَ وَهُوَ عَلَى نَاقَتِهِ الْقَصْوَاءِ يَخْطُبُ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hasan – ia adalah Al-Anmaathiy - , dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hajinya ketika di 'Arafah, sementara beliau berkhutbah di atas untanya - Al Qahwa`- dan aku mendengar beliau bersabda : ‘Wahai sekalian manusia,sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang jika kalian berpegang dengannya, maka kalian tidak akan pernah sesat, yaitu Kitabullah, dan ‘itrahku  ahlul-baitku" [no. 3786].

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَالْأَعْمَشُ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَا
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَحَدُهُمَا أَعْظَمُ مِنْ الْآخَرِ كِتَابُ اللَّهِ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنْ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخْلُفُونِي فِيهِمَا
قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Al Mundzir Al Kufi telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari 'Athiyah dari Abu Sa'id Al A'masy dari Habib bin Abu Tsabit dari Zaid bin Arqam radliallahu 'anhuma keduanya berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang sekiranya kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku, salah satu dari keduanya itu lebih agung dari yang lain, yaitu; kitabullah adalah tali yang Allah bentangkan dari langit ke bumi, dan keturunanku dari ahli baitku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang menemuiku di telaga, oleh karena itu perhatikanlah, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sesudahku." Perawi (Abu Isa) berkata; "Hadits ini adalah hadits hasan gharib." Sunan Tirmidzi hadis no. 3720.

Al-Ma’rifah wat-Taarikh

حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم  إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

Telah menceritakan kepada kami Yahya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Al-Hasan bin ‘Ubaidillah, dari Abudl-Dluhaa, dari Zaid bin Arqam, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla, dan ‘itrahku ahlul-baitku. Dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Al-Haudl” [1/536; shahih].

Mustadrak Al-Haakim.

حدثناه أبو بكر بن إسحاق ودعلج بن أحمد السجزي قالا أنبأ محمد بن أيوب ثنا الأزرق بن علي ثنا حسان بن إبراهيم الكرماني ثنا محمد بن سلمة بن كهيل عن أبيه عن أبي الطفيل عن بن واثلة أنه سمع زيد بن أرقم رضى الله تعالى عنه يقول نزل رسول الله صلى الله عليه وسلم بين مكة والمدينة عند شجرات خمس دوحات عظام فكنس الناس ما تحت الشجرات ثم راح رسول الله صلى الله عليه وسلم عشية فصلى ثم قام خطيبا فحمد الله وأثنى عليه وذكر ووعظ فقال ما شاء الله أن يقول ثم قال أيها الناس إني تارك فيكم أمرين لن تضلوا إن اتبعتموهما وهما كتاب الله وأهل بيتي عترتي ثم قال أتعلمون إني أولى بالمؤمنين من أنفسهم ثلاث مرات قالوا نعم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم من كنت مولاه فعلي مولاه

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Ishaaq dan Da’laj bin Ahmad Al-Sajziy, keduanya berkata : Telah memberitakan Muhammad bin Ayub : Telah menceritakan kepada kami Al-Azraq bin ‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami Hassaan bin Ibraahiim Al-Kirmaaniy, : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah bin Kuhail, dari ayahnya, dari Abuth-Thufail bin Waatsilah : Bahwasannya ia mendengar Zaid bin Arqam radliyallaahu ta’ala ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhenti di suatu tempat antara Makkah dan Madinah di dekat pohon-pohon yang teduh dan orang-orang membersihkan tanah di bawah pohon-pohon tersebut. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat. Setelah itu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbicara kepada orang-orang. Beliau memuji dan menyanjung Allah ta’ala, mengingatkan dan memberikan nasehat (kepada manusia). Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Wahai sekalian manusia, aku tinggalkan kepadamu dua hal atau perkara, yang apabila kamu mengikuti keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitabullah dan ahlul-baitku ‘itrahku”. Kemudian beliau melanjutkan : “Bukankah aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri?”. Orang-orang menjawab : “Ya”. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah juga maulanya”. [no. 4577].

Musykiilul-Aatsaar.

حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مَرْزُوقٍ قَالَ ثنا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ ثنا كَثِيرُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ  أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَضَرَ الشَّجَرَةَ بِخُمٍّ فَخَرَجَ آخِذًا بِيَدِ عَلِيٍّ فَقَالَ  يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ رَبُّكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَوْلَى بِكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولَهُ مَوْلَيَاكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ فَمَنْ كُنْت مَوْلَاهُ فَإِنَّ هَذَا مَوْلَاهُ أَوْ قَالَ فَإِنَّ عَلِيًّا مَوْلَاهُ شَكَّ ابْنُ مَرْزُوقٍ إنِّي قَدْ تَرَكْت فِيكُمْ مَا إنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ وَأَهْلَ بَيْتِي

Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Marzuuq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir Al-‘Aqadiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Katsiir bin Zaid, dari Muhammad bin ‘Umar bin ‘Aliy, dari ayahnya, dari ‘Aliy : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berteduh di Khum kemudian beliau keluar sambil memegang tangan ‘Aliy. Beliau berkata :“Wahai manusia bukankah kalian bersaksi bahwa Allah ‘azza wa jalla adalah Rabb kalian?”. Orang-orang berkata : “Benar”. Beliau kembali bersabda : “Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri; serta Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya adalah maula bagi kalian?”. Orang-orang berkata “benar”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Maka barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya maka dia ini juga sebagai maulanya” atau [Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda] :“Maka ‘Aliy sebagai maulanya” [keraguan ini dari Ibnu Marzuq]. Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitabullah yang berada di tangan kalian, dan Ahlul-Bait-ku” [3/56].

Saya kira lafadh-lafadh di atas sudah cukup mewakili.

Kita akan melihat secara keseluruhan makna yang paling tepat akan hadits tsaqalain ini sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada.

Sebagaimana diketahui bahwa hadits di atas diucapkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallampada waktu yang sama dan disaksikan lebih dari seorang shahabat. Yaitu saat haji wada’, tepatnya di satu tempat yang bernama Khumm. Jika kita ketahui bahwa hadits ini keluar pada orang yang satu (yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam), waktu yang satu (yaitu saat hajiwada’), dan tempat yang satu (Khumm), maka lafadh hadits ini pun sebenarnya satu. Hukum dan maknanya pun juga satu.

Oleh karena itulah, kita perlu melihat keseluruhan lafadh hadits dari riwayat yang berbeda-beda sehingga kita bisa melihat lafadh hadits tersebut secara utuh. Karena telahma’lum bahwa kadang satu hadits sengaja dibawakan oleh seorang perawi dengan meringkas, dan di lain riwayat ia bawakan secara lengkap. Juga, kadang seorang perawi menerima hadits dengan lafadh ringkas, namun perawi selain dirinya membawakan secara lengkap. Juga, adanya faktor kekurangan dalam sifat hifdh dari seorang perawi sehingga ia membawakan hadits yang semula panjang (lengkap), namun kemudian ia bawakan secara ringkas. Dan beberapa kemungkinan yang lainnya.

Kita juga harus memperhatikan bahwa hadits yang mempunyai latar belakang kisah itu lebih kuat penunjukkan hukumnya daripada yang tidak.

Ini semua mewajibkan kita untuk menelaah keseluruhan lafadh hadits yang ada.
Telah tsabt riwayat dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad (mohon untuk dibaca kembali dengan seksama hadits di atas) bahwa ketika Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada umatnya tentang dua perkara yang berat (ats-tsaqalain), beliau berkata :

أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ

“Pertama, Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya”.

Kemudian beliau menyambung perkara yang kedua :

وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي

“(Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku”.

Dari riwayat ini sangat jelas diketahui bahwa perintah untuk berpegang teguh ditujukan kepada Kitabullah. Adapun kepada Ahlul-Bait, beliau mengingatkan umatnya untuk memenuhi hak-haknya (sebagaimana diatur dalam syari’at).

Jika Syi’ah mengatakan bahwa Kitabullah dan Ahluk-Bait adalah dua hal yang sama dan setara, maka itu tidak dapat diterima. Sebab, dalam riwayat lain (ex :  Sunan At-Tirmidziy no. 3788) menjelaskan bahwa salah satu dari keduanya lebih besar dari yang lain :

إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي الثَّقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ الْآخَرِ

“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat berat, salah satunya lebih besar dari yang lain”.

Hadits ini jelas menolak klaim kesetaraan.

Jika Syi’ah mengatakan bahwa kata Ahlul-Bait setelah huruf wawu merupakan ‘athaf kepada Kitabullah – sebagaimana termaktub dalam Sunan At-Tirmidziy no. 3786 dan Al-Ma’rifah wat-Taariikh (sehingga mempunyai konsekuensi hukum yang sama dengan Al-Qur’an dalam perintah berpegang teguh dan jaminan tidak akan sesat ), ini pun tidak dapat diterima dengan alasan :

1.         Telah lalu perkataan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah membedakan kedudukan keduanya.

2.         Dalam salah satu riwayat Muslim telah disebutkan lafadh :

كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ مَنْ اسْتَمْسَكَ بِهِ وَأَخَذَ بِهِكَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ

“Yaitu Kitabullah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh dengannya dan mengambil pelajaran dari dalamnya maka dia akan berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang menyalahinya, maka dia akan tersesat”.

Penunjukkan perintah itu secara tegas hanya tertuju pada Al-Qur’an (Kitabullah), tanpa ada tambahan keterangan ‘itrah ahlul-bait. Lafadh ini berkesesuaian dengan riwayat Muslim sebelumnya (dalam lafadh yang panjang) dan Ahmad (dalam lafadh yang panjang).

Sesuai pula dengan lafadh yang dibawakan Jaabir :

وقد تركت فيكم ما لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به. كتاب الله.

“Sungguh telah aku tinggalkan kepada kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya tidak akan tersesat : Kitabullah” [Shahih Muslim no. 1218].
yang tanpa ada keterangan tambahan berpegang teguh pada Ahlul-Bait.

3.         Lafadh hadits :

إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب اللهعز وجل وعترتي أهل بيتي

Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah ‘azza wa jalla, dan ‘itrahku ahlul-baitku”.

Perhatikan kata yang dhomir. Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam memakai kata : bihi (به – “dengannya”), dimana ini merujuk pada satu hal saja, yaitu Kitabullah. Keterangan ini sesuai dengan hadits sebelumnya. Seandainya perintah tersebut mencakup dua hal (Kitabullah dan Ahlul-Bait) tentu ia memakai kata bihimaa (بهما - “dengan keduanya”), sebagaimana lafadh riwayat :

تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما : كتاب الله وسنة نبيه

“Telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang dengan keduanya, tidak akan tersesat : Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”.

Hadits ‘Kitabullah wa sunnatii’ ini adalah dla’iif dengan seluruh jalannya. Di sini saya hanya ingin menunjukkan contoh penerapan dalam kalimat saja. Perintah berpegang teguh dan jaminan tidak akan tersesat dalam riwayat di atas dipahami merujuk pada Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena menggunakan bihimaa (بهما - “dengan keduanya”).‎ Ini adalah konsekeunsi logis dari kalimat itu sendiri.

Oleh karena itu, kalimat : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’ (وعترتي أهل بيتي) mansub kepada fi’il mahdzuuf dan itu merujuk pada kalimat : “aku ingatkan kalian akan Allah”(أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ) sebagaimana terdapat dalam riwayat Zaid bin Arqam yang dibawakan Muslim dan Ahmad.

وإني تارك فيكم الثقلين أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور من استمسك به وأخذ به كان على الهدى ومن تركه وأخطأه كان على الضلالة وأهل بيتي أذكركم الله في أهل بيتي ثلاث مرات

“Dan sesungguhnya aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain. Yang pertama adalah Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya. Barangsiapa yang berpegang teguh padanya dan mengambilnya (dengan melaksanakan kandungannya), maka ia berada di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang meninggalkannya dan menyalahinya, maka ia berada dalam kesesatan. Dan (yang kedua adalah) Ahlul-Baitku.  Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlul-baitku” – beliau mengatakannya tiga kali [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2357; shahih].

4.         Ahlul-Bait bukanlah pribadi-pribadi yang ma’shum. Berbeda dengan Al-Qur’an yang ‎ma’shum dan pasti benar setiap huruf, kata, dan kalimatnya. ‘Aliy bin Abi Thaalib terbukti pernah keliru dengan meminang putri Abu Jahl sehingga mendapat teguran dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

فإني أنكحت أبا العاص ابن الربيع. فحدثني فصدقني. وإن فاطمة بنت محمد مضغة مني. وأنما أكره أن يفتنوها. وإنها، والله! لا تجتمع بنت رسول الله وبنت عدو الله عند رجل واحد أبدا

“Sesungguhnya aku telah mengawinkan Abul-‘Ash bin Ar-Rabii’, lalu ia memberitahuku dan membenarkanku. Sesungguhnya Fathimah bnti Muhammad adalah darah dagingku, karena itu aku tidak suka jika orang-orang memfitnahnya. Demi Allah, sungguh tidak boleh dikumpulkan selamanya antara anak perempuan Rasulullah dengan anak perempuan musuh Allah oleh seorang suami” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2449].

Sayyidina 'Aliy juga pernah salah ketika memberi hukuman terhadap para mulhidin dengan membakarnya :

عن عكرمة : أن عليا رضي الله عنه حرق قوما، فبلغ ابن عباس فقال: لو كنت أنا لم أحرقهم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا تعذبوا بعذاب الله). ولقتلتهم، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (من بدل دينة فاقتلوه).

Dari ‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu pernah membakar satu kaum. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas, lalu ia berkata : “Seandainya itu terjadi padaku, niscaya aku tidak akan membakar mereka, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan niscaya aku juga akan bunuh mereka sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :‘Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 3017].

Dalam riwayat At-Tirmidziy disebutkan :

فبلغ ذلك عليا فقال صدق بن عباس

“Maka sampailah perkataan itu pada ‘Aliy, dan ia berkata : ‘Benarlah Ibnu ‘Abbas” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1458; shahih. Diriwayatkan pula oleh Asy-Syafi’iy 2/86-87, ‘Abdurrazzaaq no. 9413 & 18706, Al-Humaidiy no. 543, Ibnu Abi Syaibah 10/139 & 12/262 & 14/270, Ahmad 1/217 & 219 & 282, Abu Dawud no. 4351, Ibnu Maajah no. 2535, An-Nasaa’iy 7/104, Ibnul-Jaarud no. 843, Abu Ya’laa no. 2532, Ibnu Hibbaan no. 4476, dan yang lainnya].

‘Aliy juga pernah keliru saat menegur Faathimah karena ia bercelak setelah tahallul :

وقدم علي من اليمن ببدن النبي صلى الله عليه وسلم فوجد فاطمة رضى الله تعالى عنها ممن حل ولبست ثيابا صبيغا واكتحلت فأنكر ذلك عليها فقالت إن أبي أمرني بهذا قال فكان علي يقول بالعراق فذهبت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم محرشا على فاطمة للذي صنعت مستفتيا لرسول الله صلى الله عليه وسلم فيما ذكرت عنه فأخبرته أني أنكرت ذلك عليها فقال صدقت صدقت

“…….Sementara itu ‘Aliy datang dari Yaman membawa hewan kurban Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Didapatinya Fathimah termasuk orang yang tahallul; dia mengenakan pakaian bercelup dan bercelak mata. ‘Aliy melarangnya berbuat demikian. Fathimah menjawab : "Ayahku sendiri yang menyuruhku berbuat begini". ‘Aliy berkata : ‘Maka aku pergi menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk meminta fatwa terhadap perbuatan Fathimah tersebut. Kujelaskan kepada beliau bahwa aku mencegahnya berbuat demikian. Beliau pun bersabda : "Fathimah benar……." [Diriwayatkan Muslim no. 1218].
dan yang lainnya.

Bagaimana bisa kemudian Ahlul-Bait hendak disamakan dengan Al-Qur’an dalam perintah untuk selalu berpegang-teguh kepadanya dan jaminan aman dari kesesatan ? Kesesuaian mereka terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan tolok ukur dan jaminan petunjuk bagi manusia. Adapun kekeliruan mereka, maka sudah selayaknya tidak kita ikuti. Barangsiapa yang mengikuti kekeliruan mereka, maka ia telah menyimpang. Ahlul-Bait tetap dibebani kewajiban untuk berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Barangsiapa yang menetapinya keduanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah) akan selamat, dan barangsiapa menyelisihinya akan tersesat.

Oleh karena itu, petunjuk yang dapat mereka berikan (kepada umat) tetap di-taqyid dengan kesesuaian terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sama seperti para shahabat, tabi’iin, dan tabi’ut-tabi’iinlainnya.

Jika ada yang mengatakan :

Telah ditunjukkan bahwa lafaz “berpegang teguh kepada Ahlul Bait” shahih dari Rasulullah SAW. Diantaranya kami menunjukkan bahwa riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam menyebutkan lafaz “berpegang teguh pada Kitab Allah dan Ahlul Bait”. Walaupun terdapat hadis lain yaitu riwayat Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam yang hanya menyebutkan lafaz “berpegang teguh kepada Kitab Allah” saja, tidaklah berarti riwayat Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam menjadi tertolak. Justru kalau kita menggabungkan keduanya maka hadis Abu Dhuha dari Zaid bin Arqam melengkapi hadis Yazid bin Hayyan dari Zaid bin Arqam. Menjamak keduanya jelas lebih tepat dan hasil penggabungan keduanya adalah Rasulullah SAW menetapkan “berpegang teguh pada Kitab Allah dan Ahlul Bait”. Hal yang sangat ma’ruf bahwa penetapan yang satu bukan berarti menafikan yang satunya. Apalagi jika terdapat dalil shahih penetapan keduanya maka dalil penetapan yang satu harus dikembalikan kepada penetapan keduanya.

Saya tidak tahu apakah perkataan ini lahir dari pengetahuan penjamakan lafadh-lafadh hadits yang dikenal ulama. Dan siapa pula yang menolak hadits Abudl-Dluhaa ? Bisa dicermati hadits-hadits di atas. Hadits Abu Dluhaa dari Zaid bin Arqam merupakan lafadh yang lebih ringkas daripada lafadh hadits Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam. Juga, lafadh hadits Abudl-Dluhaa bukan merupakan jenis lafadh ziyaadatuts-tsiqah karena tidak ada lafadh yang bisa ditambahkan pada lafadh Yaziid bin Hayyaan. Tidak lebih, ia hanya merupakanikhtishar saja. Jenis-jenis semacam ini banyak dalam kutubus-sunnah. Justru lafadh yang lengkap ada pada hadits Yaziid bin Hayyaan. Jika demikian, bagaimana bisa dipahami bahwa hadits Abu Dluhaa adalah pelengkap lafadh Yaziid bin Hayyaan ?. Di bagian mana lafadh hadits Abudl-Dluhaa melengkapi lafadh hadits Yaziid bin Hayyaan ?

Jangan kita terpengaruh oleh syubhat : Apalagi dalam riwayat Yazid bin Hayyan dari Zaid terdapat lafal dimana Zaid berkata “aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Bukankah ini menunjukkan kalau hadis yang mengandung lafal seperti ini membutuhkan penjelasan dari hadis lain.  

Kalimat di atas sepertinya punya kecenderungan untuk diarahkan bahwa saat Zaid bin Arqam menceritakan kepada Yaziid bin Hayyaan dalam keadaan telah tua dan sebagian hal ada yang telah terlupakan dari ingatannya, termasuk hadits ini.

Mari kita cermati apa sebenanya yang dikatakan Zaid bin Arqam :
“Wahai keponakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku telah tua dan ajalku semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya”.

Dapat kita pahami bahwa hadits yang disampaikan Zaid bin Arqam kepada Yaziid bin Hayyaan adalah hadits yang masih ia ingat betul. Saya sepakat, mungkin saja ada beberapa lafadh yang kurang dalam hadits Yaziid bin Hayyaan, dan itu bisa ditambahi dari riwayat-riwayat lain yang termasuk dalam katagori :ziyaadatuts-tsiqah. Memperhatikan riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas, beberapa lafadh yang dapat ditambahkan ke dalam lafadh hadits Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam sebagai berikut (yang asal sanadnya hasan atau shahih) :

أما بعد. ألا أيها الناس! فإنما أنا بشر يوشك أن يأتي رسول ربي فأجيب. وأنا تارك فيكم ثقلين، [أحدهما أعظم من الآخرِ] : أولهما كتاب الله [حبل ممدود من السَّماء إلى الأرض] فيه الهدى والنور فخذوا بكتاب الله. واستمسكوا به [ومن تركه كان على ضلالة]" فحث على كتاب الله ورغب فيه. ثم قال "وأهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي [فانظروا كيف تخلفوني فيهما]. [ألستم تشهدون أن اللَّه عزّ وجلّ ربّكم ؟ قالوا بلى قال ألستم تشهدون أنّ اللَّه ورسوله أولى بكم من أنفسكم وأنّ اللَّه عزّ وجلّ ورسوله مولياكم ؟ قالوا بلى قال فمن كنت مولاه فإنّ هذا مولاه أو قال فإنّ عليّا مولاه]

“Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat pencabut nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain (dua hal yang berat), [salah satu dari keduanya itu lebih besar dari yang lain]. Pertama, Kitabullah [yaitu tali yang Allah bentangkan dari langit ke bumi] yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya, [dan barangsiapa yang menyalahinya, maka dia akan tersesat]”. (Perawi berkata) : Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian beliau melanjutkan : ‘ (Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlul-baitku. [karena itu perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sesudahku].[Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah ‘azza wa jalla adalah Rabb kalian?”. Orang-orang berkata : “Benar”. Beliau kembali bersabda :“Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri; serta Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya adalah maula bagi kalian?”. Orang-orang berkata “benar”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Maka barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya maka dia ini juga sebagai maulanya”].

Adakah ruang bagi riwayat Abudl-Dluhaa untuk menambah lafadh Yaziid bin Hayyaan ? (Jawabnya : Tidak).

Ringkasnya, riwayat Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam merupakan penjelas dari riwayat Abudl-Dluhaa dari Zaid bin Arqam, terutama di bagian kalimat : ‘dan ‘itrahku ahlul-baitku’. Bukan sebaliknya.

Tidak ada penunjukan dalam hadits ats-tsaqalain untuk selalu berpegang tegus pada ahlul-bait dan jaminan pasti aman dari kesesatan. Hadits ats-tsaqalain memberikan penjelasan tentang kewajiban untuk mencintai, menghormati, memuliakan, dan menunaikan hak-hak Ahlul-Bait sepeninggal beliau ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang dipahami oleh para shahabat radliyallaahu ‘anhum.

حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ وَصَدَقَةُ قَالَا أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ وَاقِدِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ ارْقُبُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَهْلِ بَيْتِهِ

Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Ma’iin dan Shadaqah, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah, dari Waaqid bin Muhammad, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Telah berkata Abu Bakr : “Peliharalah hubungan dengan Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam dengan cara menjaga hubungan baik dengan ahlul-bait beliau” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3751].

Demikian catatan tentang hadis dua pusaka Nabi Saw. Semoga memberi petunjuk.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Penjelasan Tentang Hak Asuh Anak (Hadhonah)

Keluarga adalah kesatuan masyarakat yang terdiri dari suami, istri, dan anak yang berdiaman dalam satu tempat tinggal. Sebelum terbentuknya satu anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak maka terlebih dahulu terjadi sebuah ikatan  baik itu ikatan lahir maupun ikatan batin antara seorang pria dan seorang wanita. Ikatan lahir batin antar seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri disebut dengan perkawinan. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.  Eksistensi ini adalah melegalkan hubungan hukum anatara seorang laki-laki dengan seorang wanita.
Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia baik lahir maupun batin. Bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan antara suami, istri, dan anak-anak dalam rumah tangga. Suatu keluaraga dapat dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan  jasmaniah seperti papan, sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan, sedangkan kebutuhan rohaniah contohnya adanya seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri.
Dalam mewujudkan tujuan dari pernikahan tersebut, yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat, tentunya tidaklah mudah, namun dibutuhkan pengorbanan ataupun upaya-upaya yang dapat menghantarkan kepada tujuan itu. Upaya-upaya tersebut diantaranya yaitu: hadhanah, dan memberi nafkah.

Seseorang anak dari permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupanya, baik seperti makan minum dll. Oleh karena itu orang yang menjaganya perlu rasa kasih sayang, kesabaran, serta mempunyai keinginan agar anak itu baik di kemudian hari.‎
Karena anak ialah kader penerus dari ibu dan bapaknya dan termasuk unsur mutlak dalam melestarikan bangsa dan negara. Jika hendak mengadakan suatu masyarakat yang kuat dan jaya, maka harus dimulai dari waktu yang sangat dini, yaitu semenjak bayimasih didalam perut ibunya, syukur di negara RI sudah ada badan yang khusus mengurus kesehatan anak dan ibu yang dinamakan Badan Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), Rumah Sakit Anak-Anak, dan lain-lain. Pada penjelasan diatas jadi pendorong agar bayi dan anak diperhatikan dengan sebaik-baiknya.

Perkawinan merupakan salah satu bagian dari sunnah Rasulullah saw. Dan hal ini juga sebagai sebuah kenikmatan hidup untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. ‎elanjutnya, hasil dari perkawinan tersebut dianugerahkan oleh Allah swt anak yang menjadi idaman manusia. Anak merupakan amanah yang dititipkan oleh-Nya kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya pula, amanah yang diberikan Allah hendaknya dijaga, dirawat dan dididik sesuai dengan kemampuan yang terbaik. Keberuntungan dengan memperoleh seorang anak kiranya disyukuri dengan memenuhi kebutuhannya secara ma’ruf. Kebutuhan yang dimaksud merupakan nafkah yang dibebankan kepada seorang laki-laki (ayah).
Perkawinan yang kurang harmonis biasanya menimbulkan konflik berkepanjangan, akibat dari konflik ini berujung kepada perpisahan dari ikatan “mitsaqan ghalidhan” sebuah perkawinan yang suci atau sakral serta sebuah ibadah.
Problem yang terjadi setelah berakirnya suatu pernikahan adalah penentuan hak asuh atau Hadhanah terhadap anak. Terkadang orang tua yang tidak mengerti tentang hukum keluarga islam dengan semena-mena memonopoli hak yang telah digariskan yang pada dasarnya hak tersebut bukan diberikan kepadanya. Kesalahan ini bisa terjadi pada seorang ayah dan bahkan kepada seorang ibu sekalipun, padahal hak itu diberikan kepadanya (ibu). Sesungguhnya hak yang digariskan dalam dalil nash merupakan diberikan kepada orang-orang yang memang mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi untuk menjaga merawat dan menyayangi seorang anak. Oleh karena itu, rasa kasih dan sayang yang lebih itu umumnya dimiliki oleh seorang ibu, sehingga hak itu diberikan kepadanya.
Pengertian hadhanah

Kata hadhanah adalah bentuk mashdar dari katahadhnu ash-shabiy, atau mengasuh atau memelihara anak. Mengasuh (hadhn) dalam pengertian ini tidak dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping dan dada atau lengan.

Secara terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhanah inihanya dilaksanakan ketika pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk berpisah dari ibunya. Hal ini diseabkan karena sianak masih perlu penjagaan, pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi kemaslahatannya. Inilah yang dimaksud dengan perwalian (wilayah). Menurut definisi syar’iy maksudnya adalah :

حفظ من لا يستقل بأمره، وتربيته عما يهلكه، أو يضره.

“Penjagaan/pemeliharaan anak yang belum mampu mandiri untuk mengurusi dirinya sendiri, pendidikannya, serta (pemeliharaan) dari segala sesuatu yang dapat membinasakannya atau membahayakannya”.

Dasar Hukum Hadhanah
Dalam alqur’an terdapat ayat yang menyinggung mengenai hadhanah namun tidak dijelaskan secara gamblang ketentuan-ketentuannya, dari sini hadis yang berfungsi sebagai penjelas al-qur’an memainkan perannya. Dan nash-nash al-qur’an maupun hadis yang berbicara mengenai hadhanah antara lain:

Surat Al-Baqarah Ayat 233

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (233)

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin anak kalian disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kalian kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan. (Al-Baqoroh 233)
Hadits Nabi  Sholallohu 'Alaihi Wasallam

عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ اِبْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً, وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً, وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً, وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي, وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ, مَا لَمْ تَنْكِحِي ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِيم‏

Dari Abdullah Ibnu Amar bahwa ada seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, susuku yang memberinya minum, dan pangkuanku yang melindunginya. Namun ayahnya yang menceraikanku ingin merebutnya dariku. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: "Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim.

Apabila seorang suami menceraikan istri sedangkan ia memiliki seorang anak darinya, maka sang istri lebih berhak untuk memelihara anak tersebut sampai ia baligh dan selama ia tidak menikah dengan laki-laki lain.

Apabila sudah berusia tujuh tahun, maka ia disuruh memilih antara ikut ayahnya atau ibunya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي, وَقَدْ نَفَعَنِي, وَسَقَانِي مِنْ بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ فَجَاءَ زَوْجُهَا, فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَا غُلَامُ! هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ, فَخُذْ بِيَدِ أَيُّهُمَا شِئْتَ فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ, فَانْطَلَقَتْ بِهِ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُ‎

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah, suamiku ingin pergi membawa anakku, padahal ia berguna untukku dan mengambilkan air dari sumur Abu 'Inabah untukku. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Wahai anak laki, ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan siapa dari yang engkau kehendaki." Lalu ia memegang tangan ibunya dan ia membawanya pergi. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi.

Dalam hadits lain juga dikatakan:

وَعَنْ رَافِعِ بْنِ سِنَانٍ; ( أَنَّهُ أَسْلَمَ, وَأَبَتِ اِمْرَأَتُهُ أَنْ تُسْلِمَ فَأَقْعَدَ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم اَلْأُمَّ نَاحِيَةً, وَالْأَبَ نَاحِيَةً, وَأَقْعَدَ اَلصَّبِيَّ بَيْنَهُمَا فَمَالَ إِلَى أُمِّهِ, فَقَالَ: اَللَّهُمَّ اِهْدِهِ فَمَالَ إِلَى أَبِيهِ, فَأَخَذَهُ ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَالْحَاكِمُ 
Dari Rafi' Ibnu Sinan Radliyallaahu 'anhu bahwa ia masuk Islam namun istrinya menolak untuk masuk Islam. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mendudukkan sang ibu di sebuah sudut, sang ayah di sudut lain, dan sang anak beliau dudukkan di antara keduanya. Lalu anak itu cenderung mengikuti ibunya. Maka beliau berdoa: "Ya Allah, berilah ia hidayah." Kemudian ia cenderung mengikuti ayahnya, lalu ia mengambilnya. Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim.
Atsar dari Ibnu Uyainah
خيّرنى على رضي الله عنه بين امي و عمى ثم قال لآخ اصغر منى وهذا ايضا لو قد بلغ مبلغ هذا الخيرته

Khalifah ali pernah menyuruhku memilih antara ikut dengan ibuku atau pamanku. Ia pun mengatakan hal yang sama  pada saudaraku yang lebih kecil dari pada aku. Hal yang sama pula dikatakan pula pada anak yang telah mencapai usia untuk dapat memilih"
Implementasi Terhadap Hukum Islam (Fiqh)
Dari beberapa nash Alqur’an dan Hadis di atas, timbullah hukum tetap atas hadhanah, yang akan dijelaskan dalam sub bab-sub bab sebagai berikut:
Hukum Hadhanah
Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib. Sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Mengasuh anak juga berarti mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.
Berusaha untuk mendidik anak termasuk sesuatu yang sangat dianjurkan oleh agam dan diutamakan, karena anak merupakan sambungan hidup dari orang tuanya. Cita-cita atau usaha-usaha yang tidak sanggup orang tuanya melaksanakan, diharapkan agar anaknya nanti akan melanjutkannya. Anak yang shaleh merupakan amal orang tuanya. Hanya do’a anak yang shalehlah yang dapat meringankan orang tua yang telah meninggal dunia dari siksaan Allah, sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah SAW. Dalam hadits beliau:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631) ‎

Berkaitan dengan hal itu, Allah berfirman dalam surah al-Tahrîm ayat 6 yang bunyinya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (٦)
   ‎
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim 6)
Para ulama menetapkan bahwa hadhanah hukumnya wajib, dimana kewajibannya tidak hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.
Syarat-Syarat Bagi Yang Melakukan Hadhanah

Untuk kepentingan anak dan pemeliharaannya diperlukan pelaku hadhanah harus memilki kecakapan dan memenuhi syarat-syarat hadhanah, jika syarat-syarat tertentu tidak dapat terpenuhi satu saja, maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.

Adapun syarat-syarat melakukan hadhanah antara lain:

Baligh berakal, tidak terganggu ingatannya. Oleh sebab itu, seorang ibu atau ayah  yang mengalami gangguan jiwa atau ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah. Ahmad bin hambal menambahkan agar yang melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular.
Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik anak, dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.
Dapat memegang amanah, sehingga dapat lebih menjamin pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh karena itu tidak layak mendapatkan tugas ini.
Beragama islam, sorang non muslim tidak boleh ditunjuk sebagai pengasuh atas anak yangmuslim.namun menurut golongan hanafi, ibnu qasim dan bakan maliki serta abu tsaur berpendapat bahwa hadhanah tetap dapatdilakukan oleh pengasuh yang kafir, selama bukan kafir murtad.
Ibunya belum menikah lagi, hal ini dikarenakan kekhawatiran suami kedua tidak merelakan istrinya disibukkan mengurus anaknya dari suami pertama. Namun terdapat pengecualian jika suami  keduanya merupakan kerabat si anak, maka pelaksanaan hadhanah masih diperbolehkan atas ibu.‎

Hadhanah sangat terkait dengan tiga hak:
– Hak wanita yang mengasuh.
– Hak anak yang diasuh.
– hak ayah atau orang yang menempati posisinya.

Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus didahulukan daripada yang lainnya. Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

pertama, pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya yang dipandang pantas untuk menasuh anak.

kedua, si ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang tidak mengharuskan demikian. sebab mengasuh anak itu adalah haknya dan tidak ada mudharat yang dimungkinkan akan menimpa sianak karena adanya mahram lain selain ibunya.

ketiga, seorang ayah tidak berhak merampas anak dari orang yang lebih berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu memberikannya kepada wanita lain kecuali ada alsan syar’i yang memperbolehkannya.

keempat, jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan haknya mengasuh anak.

Urutan Orang yang Berhak Mengasuh Anak.

Mengingat bahwa wanita lebih memahami dan lebih mampu mendidik, disamping lebih sabar, lebih lembut, lebih leluasa dan lebih sering berada bersama anak, maka ia lebih berhak mendidik dan mengasuh anak dibandingkan laki-laki. Hal ini berlangsung hanya pada usia-usia tertentu, namun pada fase-fase berikutnya laki-laki yang lebih mampu mendidik dan mengasuh anak dibandingkan wanita.

Ibu adalah wanita yang paling berhak mengasuh anak

Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki, maka –sesuai ijma ulama– ibu kandung sianak tentu lebih berhak mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan (antara suami dan istrinya), baik karena talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena ibu jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika ada penghalang yang menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.

عن ابن شعيب عن ابيه عن جده عبد الله بن عمر عَبْدُ١للّٰهِ بْنِ عَمْرٍ رَضِى اللّٰهُ تَعَالَى عَنْهُمَا ، أَنَّ امْرَأَةً قَا لَتْ ؛ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كان بَطْنِى لَهُ وِعَاءً ٠ وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءً ٬ وَاِنَّ أبَاهُ طَلَّقَنِى وَاَرَادَأَنْ يَنْزِعَهُ مِنِّى ٬ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَالَمْ تَنْكِحِى٠
“Dari ibnu syuaib dari ayahnya dari kakeknya yakni Abdullah bin Umar r.a. , bahwa ada seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah, “ Hai Rasulullah, anakku ini adalah perutku yang menjadi kantongnya (mengandungnya), air susuku minumannya, dan pangkuan saya tempat berlindungnya selama ini. Kini, suamiku telah menalakku dan ia ingin mengambil anakku ini dari padaku, bagaimana itu? “ Jawab Rasulullah S.A.W. kamu lebih berhak atas anakmu itu, selama kamu belum nikah lagi”. (hasan HR Abu Daud, Ahmad dan Al-Baihaqi)

Urutan orang yang berhak mengasuh anak setelah ibu kandung

Ulama berbeda pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah ibu kandung atau urutan hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang menghalangi ibu kandung untuk mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak adanya dalil qath’i yang secara tegas membahas masalah ini. Hanya saja ke-empat imam madzhab lebih mendahulukan kalangan kerabat dari pihak ibu dibandingkan dari kalangan kerabat dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang sama (misalnya mendahulukan nenek dari pihak ibu dari pada nenek pihak ayah).

Kalangan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang palin berhak mengasuh anak adalah
– Ibu kandungnya sendiri
– Nenek dari pihak ibu
– nenek dari pihak ayah
– saudara perempuan (kakak perempuan)
– bibi dari pihak ibu
– anak perempuan saudara perempuan
– anak perempuan saudara laki-laki
– bibi dari pihak ayah
Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari
– Ibu kandung
– nenek dari pihak ibu
– bibi dari pihak ibu
– nenek dari pihak ayah
– saudara perempuan
– bibi dari pihak ayah
– anak perempuan dari saudara laki-laki
– penerima wasiat
– dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama

Kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari
– Ibu kandung
– nenek dari pihak ibu
– nenek dari pihak ayah
– saudara perempuan
– bibi dari pihak ibu
– anak perempuan dari saudara laki-laki
– anak perempuan dari saudara perempuan
– bibi dari pihak ayah
– dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi sianak yang mendapatkan bagian warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta warisan. 
Pendapat Madzhab Syafi’i sama dengan pendapat madzhab Hanafi.
Kalangan Madzhab Hanbali
– ibu kandung
– nenek dari pihak ibu
– kakek dan ibu kakek
– bibi dari kedua orang tua
– saudara perempuan se ibu
– saudara perempuan seayah
– bibi dari ibu kedua orangtua
– bibinya ibu
– bibinya ayah
– bibinya ibu dari jalur ibu
– bibinya ayah dari jalur ibu
– bibinya ayah dari pihak ayah
– anak perempuan dari saudara laki-laki
– anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah
– kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.
Status bibi dalam hak pemeliharaan anak

Kalau kasus yang terjadi adalah ibu atau kedua orang tuanya meninggal, maka orang yang berhak mengasuh anak yang ditinggalkan adalah bibi (dari pihak ibu) sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hal pemutusan hak asuh terhadap putri Hamzah:

وَعَنْ اَلْبَرَاءِ بْنِ عَازِبِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَضَى فِي اِبْنَةِ حَمْزَةَ لِخَالَتِهَا, وَقَالَ: اَلْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ اَلْأُمِّ ) أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ ‎‎

Dari al-Barra' Ibnu 'Azb bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam telah memutuskan puteri Hamzah agar dipelihara saudara perempuan ibunya. Beliau bersabda: "Saudara perempuan ibu (bibi) kedudukannya sama dengan ibu." Riwayat Bukhari.
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda:

وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ: مِنْ حَدِيثِ عَلَيٍّ فَقَالَ: ( وَالْجَارِيَةُ عِنْدَ خَالَتِهَا, فَإِنَّ اَلْخَالَةَ وَالِدَةٌ )‎


Ahmad juga meriwayatkan dari hadits Ali r.a, beliau bersabda: "Anak perempuan itu dipelihara oleh saudara perempuan ibunya karena sesungguhnya ia adalah ibunya."

Jadi jelaslah bahwa hak asuh terhadap anak (belum baligh) yang ibunya atau kedua orang tuanya meninggal, maka orang yang paling dekat yang berhak untuk mengasuhnya adalah bibinya yang berasal dari pihak ibunya. Hal ini berdasarkan pada hadits diatas yang menyatakan bahwa kedudukan bibi (saudara perempuan ibu) itu adalah sama kedudukannya dengan ibu.
Batasan Waktu Hadhanah

Dalam pelaksaaannya, hadhanah terbagi menjadi 2 periode, sebelum mumayyiz dan mumayyiz. Pembagian periode berhubungan dengan pihak-pihak yang berhak mendapatkan hak hadhanah.

Periode sebelum mumayyiz
Periode ini adalah dari waktu lahir sampi menjelang umur tujuh atau delapan tahun. Pada masa itu, seorang anak belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan berbahaya baginya. Pada periode ini, setelah melengkapi syarat-syarat hadhanah, ulama menyimpulkan bahwa pihak ibu lebih berhak atas hak asuh anaknya, Seperti hadis nabi yang telah dijelaskan sebelumnya.

Terpilihnya ibu sebagai pihak yang lebih berhak mendapatkan hak asuh atas anaknya dengan pertimbangan bahwa ibulah yang lebih mengerti dengan kebutuhan anaknya dalam masa tersebut dan lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya. Namun, hak ini akan hilang jika ibu menikah dengan lelaki lain  yang sama sekali tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan si anak dan hak tersebut akan dilimpahkan pada ayah si anak.
Periode mumayyiz
Masa mumayyiz adalah dari umur tujuh tahun sampai menjelang baligh berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana elah mampu membedakan antara yang berbahaya dan yang bermanfaat baginya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pilihannya sendiri untuk ikut ayah atau ibunya.Namun kementrian kehakiman berpendapat bahwa kemaslahatanlah yang harus dijadikan pertimbangan bagi hakim untuk menetapkan kepentingan anak sampai usia 11 tahun.

Takhtimah

Ash-Shan’aaniy rahimahullah berkata :
ودلّ الحديث على أن الأم إذا نكحت، سقط حقها من الحضانة؛ وإليه ذهب الجماهير؛ قال ابن المنذر : أجمع على هذا كل من أحفظ عنه من أهل العلم. وذهب الحسن وابن حزم إلى عدم سقوط الحضانة بالنكاح، واستدل بأن أنس بن مالك كان عند والدته وهي مزوّجة، وكذا أم سلمة تزوجت بالنبي صلى الله عليه وآله وسلم وبقى ولدها في كفالتها، وكذا ابنة حمزة قضى بها النبي صلى الله عليه وسلم الخالتها وهي مزوجة.
قال : وحدث ابن عمرو المذكور فيه مقال؛ فإنه صحيفة؛ يريد : لأنه قد قيل : إن حديث عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده صحيفة.
وأجيب عنه بأن حديث عمرو بن شعيب قبله الأئمة وعلموا به؛ البخاري وأحمد وابن المديني والحميدي وإسحاق بن راهويه وأمثالهم؛ فلا يلتفت إلى القدح فيه.
وأما ما احتج به، فإنه لا يتم دليلا إلا مع طلب من تنتقل إليه الحضانة ومنازعته.
وأما مع عدم طلبه، فلا نزاع في أن للأم المزوجة أن تقوم بولدها، ولم يذكر في القصص المذكورة أنه حصل نزاع في ذلك؛ فلا دليل فيما ذكره على ما ادعاه.
“Hadits ini (riwayat Abu Dawud di atas) menunjukkan bahwa ibu apabila ia telah menikah, maka gugurlah haknya dari asuhan dan pemeliharaan anaknya. Demikianlah menurut pendapat mayoritas ulama. Ibnul-Mundzir berkata : ‘Telah disepakati pendapat seperti ini dari setiap ulama yang menghapal hadits tersebut. Al-Hasan dan Ibnu Hazm berpendapat : Tidak gugur hak pemeliharaan oleh ibunya dikarenakan pernikahannya. Mereka berdalil bahwasannya Anas bin Maalik tetap berada dalam pemeliharaan ibunya yang telah menikah lagi. Demikian pula Ummu Salamah yang kemudian menikah dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, sedangkan anaknya tetap dalam pemeliharaannya. Demikian pula anak perempuan Hamzah telah diputuskan Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa aalihi sallam untuk dipelihara bibinya padahal ia telah menikah lagi’.
Ia berkata : Dan hadits Ibnu ‘Amru di atas terdapat pembicaraan, karena periwayatan itu berasal dari shahiifah. Maksudnya : Sesungguhnya hadits ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya berasal dari shahiifah.
Dijawab : Bahwasannya hadits ‘Amru bin Syu’aib diterima para imam dan mereka beramal dengannya, diantaranya :  Al-Bukhaariy, Ahmad, Ibnul-Madiiniy, Al-Humaidiy, Ishaaq bin Raahawaih, dan yang lainnya. Maka, tidak selayaknya memperhatikan celaan/kritik pada hadits tersebut.
Adapun hadits yang mereka jadikan dalil (untuk menetapkan hak pengasuhan ibu tidak gugur dengan adanya pernikahan), maka ia tidak sempurna menjadi dalil, kecuali bersama permintaan orang/laki-laki terhadap pemindahan pengasuhan dan pemisahan anaknya itu (dari ibunya).
Apabila tidak disertai permintaan, maka sepakat, bahwa ibunya yang telah menikah lagi masih berhak mengasuh anaknya itu. Tidak disebutkan dalam cerita/kisah tersebut bahwa pernah terjadi perselisihan/gugatan (tentang hak pengasuhan anak). Oleh karena itu, tidak ada bukti tentang sesuatu yang ia sebutkan untuk menguatkan pendapatnya itu” [Subulus-Salaam, 3/618-619].
Shiddiq Hasan Khaan menambahkan jawaban yang diberikan Ash-Shan’aaniy rahimahumallah di atas :
ويجاب عن ذلك؛ بأن موجود البقاء مع عدم المنازع لا يحتج به؛ لاحتمال أنه لم يبق له قريب غيرها.
“Jawaban atas hal itu : Tinggalnya seorang anak bersama ibu tanpa gugatan (dari pihak lain) tidak bisa dijadikan hujjah, karena ada kemungkinan anak itu tidak mempunyai keluarga dekat selain ibunya” [At-Ta’liiqaatur-Radliyyah ‘alar-Raudlatin-Nadliyyah]

Namun jika anak tersebut telah menginjak usia tamyiiz, maka ia (si anak) berhak memilih kepada siapa ia akan tinggal/ikut antara ayahnya atau ibunya.

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَأَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي زِيَادٌ عَنْ هِلَالِ بْنِ أُسَامَةَ أَنَّ أَبَا مَيْمُونَةَ سَلْمَى مَوْلًى مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ رَجُلَ صِدْقٍ قَالَ بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَارِسِيَّةٌ مَعَهَا ابْنٌ لَهَا فَادَّعَيَاهُ وَقَدْ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا فَقَالَتْ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَرَطَنَتْ لَهُ بِالْفَارِسِيَّةِ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ اسْتَهِمَا عَلَيْهِ وَرَطَنَ لَهَا بِذَلِكَ فَجَاءَ زَوْجُهَا فَقَالَ مَنْ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ اللَّهُمَّ إِنِّي لَا أَقُولُ هَذَا إِلَّا أَنِّي سَمِعْتُ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا قَاعِدٌ عِنْدَهُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي وَقَدْ سَقَانِي مِنْ بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ وَقَدْ نَفَعَنِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَهِمَا عَلَيْهِ فَقَالَ زَوْجُهَا مَنْ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ فَخُذْ بِيَدِ أَيِّهِمَا شِئْتَ فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ فَانْطَلَقَتْ بِهِ

Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Hulwaaniy: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq ‎dan Abu ‘Aashim‎, dari Ibnu Juraij‎ : Telah mengkhabarkan kepadaku Ziyaad‎, dari Hilaal bin Usaamah‎: Bahwasannya Abu Maimuunah Salmaa mantan budak penduduk Madinah ‎yang termasuk orang jujur, berkata : Ketika aku sedang duduk bersama Abu Hurairah, datang kepadanya seorang wanita Persia yang membawa anaknya - keduanya mengklaim lebih berhak terhadap anak tersebut -, dan suaminya telah menceraikannya. Wanita tersebut berkata menggunakan bahasa Persia : “Wahai Abu Hurairah, suamiku ingin pergi membawa anakku”. Kemudian Abu Hurairah berkata kepadanya menggunakan bahasa asing : “Undilah anak tersebut”. Kemudian suaminya datang dan berkata : “Siapakah yang menyelisihiku mengenai anakku ?”. Kemudian Abu Hurairah berkata : “Ya Allah, aku tidak mengatakan hal ini kecuali karena aku telah mendengar seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sementara aku duduk di sisinya, kemudian ia berkata : ‘Wahai Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, sementara ia telah membantuku mengambil air dari sumur Abu 'Inaabah, dan ia telah memberiku manfaat’. Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Undilah anak tersebut !’. Kemudian suaminya berkata : ‘Siapakah yang akan menyelisihiku mengenai anakku ?’. Kemudian Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallamberkata : ‘Ini adalah ayahmu dan ini adalah ibumu, gandenglah tangan salah seorang diantara mereka yang engkau kehendaki!’. Kemudian anak itu menggandeng tangan ibunya, lalu wanita tersebut pergi membawanya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2277; shahih].
Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata :

هذا في الغلام الذي قد عقل واستغنى عن الحضانة، وإذا كان كذلك خير بين والديه.

“Ini berlaku pada anak yang telah berakal (tamyiiz) dan tidak membutuhkan pengasuhan lagi. Jika keadaan seperti itu, maka ia disuruh memilih antara ayah atau ibunya (yang hendak ia ikuti)” [‘Aunul-Ma’buud, 6/373, tahqiq : ‘Abdurrahman Muhammad ‘Utsmaan].
Ibnul-Qayyim Al-Jauziyah  rahimahullah berkata :

قد ثبت التخييرُ عن النبيِّ صلى الله عليه وسلم في الغلام، من حديث أبي هريرة:وثبت عن الخلفاء الراشدين، وأبي هريرة، ولا يُعرف لهم مخالفٌ في الصحابة ألبتة، ولا أنكره منك. قالوا: وهذا غايةٌ في العدل الممكن، فإن الأمَّ إنما قُدِّمتْ في حال الصغر لحاجة الولد إلى التربية والحمل والرضاع والمداراة التي لا تتهيأ لِغير النساء، وإلا فالأمُّ أحد الأبوين، فكيف تُقدَّم عليه؟ فإذا بلغ الغلام حداً يُعْرِبُ فيه عن نفسه، ويستغني عن الحمل والوضع وما تُعانيه النساء، تساوى الأبوانِ، وزال السببُ الموجبُ لتقديم الأم، والأبوانِ متساويانِ فيه، فلا يُقَدَّمُ أحدُهما إلا بمرجِّح، والمرجِّحُ إما من خارج، وهو القرعةُ، وإما من جهة الولد، وهو اختيارُه، وقد جاءت السنةُ بهذا وهذا، وقد جمعهما حديثُ أبي هريرة، فاعتبرناهما جميعاَ، ولم ندفع أحدهما بالآخر.
وقدمنا ما قدمه النبيّ صلى الله عليه وسلم، وأخّرنا ما أخره، فقدم التخييرُ، لأن القُرعة إنما يُصار إليها إذا تساوت الحقوقُ مِن كل وجه، ولم يبق مرجِّحٌ سواها، وهكذا فعلنا هاهنا قدمنا أحدَهما بالاختيار، فإن لم يختر، أو اختارهما جميعاً، عدلنا إلى القُرعة، فهذا لو لم يكن فيه موافقة السنة، لكان مِن أحسن الأحكام، وأعدلها، وأقطعها للنزاع بتراضي المتنازعين. وفيه وجه آخر في مذهب أحمد والشافعي: أنه إذا لم يختر واحداً منهما كان عند الأم بلا قُرعة، لأن الحضانة كانت لها، وإنما ننقلُه عنها باختياره، فإذا لم يختر، بقي عندها على ما كان.
فإن قيل: فقد قدمتُمُ التخييرَ على القُرعة، والحديث فيه تقديمُ القُرعة أولاً، ثم التخيير، وهذا أولى، لأن القرعة طريق شرعي للتقديم عند تساوي المستحقين، وقد تساوى الأبوانِ، فالقياسُ تقديمُ أحدهما بالقُرعة، فإن أبيا القُرعة، لم يبق إلا اختيارُ الصبي، فيُرجح به، فما بالُ أصحابِ أحمد والشافعي قدَّموا التخييرَ على القرعة.

“Telah shahih adanya hak pilih yang diriwayatan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang anak dalam hadits Abu Hurairah. Telah shahih pula ketetapan itu dari Khulafaaur-Raasyidiin dan Abu Hurairah dimana tidak diketahui adanya penyelisihan sedikitpun terhadap (pendapat) mereka dari kalangan shahabat; dan tidak pula ada pengingkaran. Bahkan mereka berkata : ‘Ini adalah keputusan yang paling adil’. Karena seorang ibu  harus diutamakan/didahulukan untuk mengasuh anak kecil dalam hal mendidiknya, menggendongnya, menyusuinya, dan bersikap lemah-lembut kepadanya. Semuanya itu tidak mungkin akan didapati kecuali dari diri seorang wanita. Ia adalah salah satu di antara dua orang tua si anak; lantas bagaimana ia tidak diutamakan terhadap anak itu ?
Apabila anak itu telah mencapai usia tertentu dan mampu menyampaikan isi hatinya, tidak perlu digendong dan dibawa-bawa lagi oleh seorang wanita, maka dalam hal tersebut kedua orang tua mempunyai kedudukan yang sama. Hak pendahuluan/pengutamaan terhadap ibu menjadi hilang karena keduanya mempunyai hak yang sama. Tidak boleh diutamakan salah satu di antara keduanya kecuali ada faktor khusus yang menyebabkan pengutamaan itu dilakukan. Faktor itu bisa bersifat eksternal, yaitu dengan pengundian; atau bersifat internal, yaitu berdasarkan pilihan dari anak itu sendiri. Terdapat hadits yang menjadi dasar atas kedua hal tersebut yang terkumpul pada hadits Abu Hurairah (sebagaimana telah disebutkan di atas). Hendaklah keduanya (suami istri) memakai dua cara ini, dan tidak menolak salah satu di antara keduanya. Kita mendahulukan apa-apa yang telah didahulukan oleh Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mengakhirkan apa-apa yang beliau telah akhirkan. Yang pertama dilakukan adalah menyuruh si anak untuk memilih, karena undian hanya dilakukan bila terdapat hak yang sama kuat dalam pengasuhan anak dari segala sisi dimana tidak ada cara lain yang ditempuh selain dengan cara tersebut. Inilah yang kita lakukan dengan mendahulukan salah satu di antara keduanya (orang tua) dengan cara meberikan pilihan kepada si anak. Jika ia tidak memilih, atau ia memilih keduanya secara bersama-sama, baru beralih kepada cara pengundian. Seandainya saja tidak ada sunnah (dalil) yang mendasari pengundian ini, maka ini adalah pendapat yang paling baik dan adil (yang bisa diijtihadkan); yang bisa menghindari perselisihan sehingga kedua belah pihak dapat ridla menerima keputusan tersebut. Ada pendapat lain dari madzhab Ahmad dan Asy-Syaafi’iy : ‘Apabila anak tersebut tidak memilih salah satu di antara kedua orang tuanya, maka hak itu otomatis jatuh ke ibu tanpa harus melalui undian. Karena ‎al-hadhaanah (pengasuhan) merupakan hak si ibu secara asal. Pemindahan hak asuh dari ibu tersebut hanya dapat dilakukan dengan pilihan si anak. Apabila ia tidak memilih, maka hak itu kembali ke asalnya (yaitu ibu)” [Zaadul-Ma’aad, 5/468-469; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 3/140].

فمن قدمناه بتخيير أو قرُعة أو بنفسه، فإنما نُقدِّمه إذا حصلت به مصلحة الولد، ولو كانت الأم أصون مِن الأب وأغيرَ منه قدمت عليه، ولا التفات إلى قرعة ولا اختيار الصبي في هذه الحالة، فإنه ضعيفُ العقل يؤثِرُ البطالة واللعب، فإذا اختار من يُساعِدُهُ على ذلك، لم يُلتفت إلى اختياره، وكان عند من هو أنفعُ له وأخيرُ، ولا تحتمِلُ الشريعة غيرَ هذا،

“Setiap anak yang kita berikan pilihan, baik dengan mengundi atau pilihan dirinya sendiri, yang semua itu dipertimbangkan untuk menghasilkan kemaslahatan bagi si anak. Seandainya ada seorang ibu yang lebih shaalih dan lebih bisa menjaga dibandingkan dengan ayahnya, maka ibunya lebih didahulukan daripada ayahnya. Tidak boleh hal ini dipalingkan pada cara undian atau pilihan si anak dalam keadaan seperti ini. Karena anak itu akalnya masih lemah, masih terpengaruh perkara sia-sia dan suka bermain-main. Jika ia memilih, maka tidak boleh pilihannya itu dipengaruhi oleh orang lain. Ia harus bersama dengan orang yang paling bermanfaat dan paling baik bagi dirinya. Syari’at tidak menetapkan hadhaanah selain dari cara ini” [Zaadul-Ma'aad, 5/474].‎

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎