Muqauqis, Gubernur Mesir, ketika menerima kedatangan utusan Nabi SAW, Hathib bin Abu Baltha’ah dengan membawa surat beliau, menyambutnya dengan ramah dan penuh perhatian. Setelah Muqauqis membaca surat dakwah dari Nabi SAW itu lalu ia bertanya kepada Hathib :
مَا مَنَعَهُ اِنْ كَانَ نَبِيًّا اَنْ يَدْعُوَ عَلَى مَنْ خَالَفَهُ وَ اَخْرَجَهُ مِنْ بَلَدِهِ؟ نور اليقين: 179
“Jika dia (Muhammad) itu seorang Nabi, kenapa tidak mendoakan buruk kepada orang yang menentang seruannya itu dan yang telah mengusirnya keluar dari negerinya ?”. [Nurul Yaqin : 179]
Pertanyaan ini lalu dijawab oleh Hathib :
اَلَسْتَ تَشْهَدُ اَنَّ عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ رَسُوْلُ اللهِ، فَمَا لَهُ حَيْثُ اَخَذَهُ قَوْمُهُ فَاَرَادُوْا اَنْ يَقْتُلُوْهُ، اَلاَّ يَكُوْنَ دَعَا عَلَيْهِمْ اَنْ يُهْلِكَهُمُ اللهُ حَتَّى رَفَعَهُ اللهُ اِلَيْهِ؟ نور اليقين: 179
“Bukankah tuan menyaksikan bahwa ‘Isa bin Maryam itu utusan Allah ? Mengapa ‘Isa tidak mendoakan buruk kepada kaumnya ketika mereka akan menangkap dan membunuhnya supaya Allah membinasakan mereka, sehingga Allah mengangkat kepada-Nya ?”. [Nurul Yaqin : 179]
Mendengar jawaban Hathib yang baik itu, lalu Muqauqis berkata :
اَحْسَنْتَ اَنْتَ حَكِيْمٌ جَاءَ مِنْ عِنْدِ حَكِيْمٍ. نور اليقين: 179
“Sungguh baik kamu ini, kamu seorang yang bijaksana, datang dari sisi seorang yang bijaksana”. [Nurul Yaqin : 179]
Selanjutnya Hathib bin Abu Baltha’ah menjelaskan tentang sifat-sifat pribadi Nabi SAW dan Muqauqis mendengarkan dan mengakui akan kebenarannya, dan dia mengakui pula kebenaran diutusnya nabi Muhammad SAW, tetapi ia belum bisa mengikutnya. Sesudah itu Muqauqis memanggil seorang penulis untuk menuliskan surat balasan kepada Nabi SAW, dan surat itu lalu diserahkan kepada Hathib bin Abu Baltha’ah untuk disampaikan kepada beliau beserta beberapa macam hadiah untuk beliau. Bunyi surat jawaban Muqauqis itu demikian :
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.
لِمُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ مِنَ اْلمُقَوْقِسِ عَظِيْمِ اْلقِبْطِ.
سَلاَمٌ عَلَيْكَ، اَمَّا بَعْدُ: فَقَدْ قَرَأْتُ كِتَابَكَ وَ فَهِمْتُ مَا ذَكَرْتَ فِيْهِ وَ مَا تَدْعُوْ اِلَيْهِ. وَ قَدْ عَلِمْتُ اَنَّ نَبِيًّا قَدْ بَقِيَ، وَ كُنْتُ اَظُنُّ اَنَّهُ يَخْرُجُ بِالشَّامِ. وَ قَدْ اَكْرَمْتُ رَسُوْلَكَ وَ بَعَثْتُ لَكَ بِجَارِيَتَيْنِ لَهُمَا مَكَانٌ عَظِيْمٌ فِى اْلقِبْطِ وَ بِثِيَابٍ وَ اَهْدَيْتُ اِلَيْكَ بَغْلَةً تَرْكَبُهَا، وَ السَّلاَمُ. نور اليقين: 179
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kepada Muhammad bin ‘Abdullah dari Muqauqis pembesar Qibthi.
Semoga keselamatan atas engkau. Adapun sesudah itu, sesungguhnya saya telah membaca surat engkau, dan saya telah mengerti apa yang telah engkau sebutkan di dalamnya dan apa yang engkau mengajak kepadanya Dan sesungguhnya saya mengerti, bahwa Nabi telah muncul, dan dulu saya menyangka bahwa Nabi itu akan lahir di negeri Syam. Sesungguhnya saya telah menghormati utusan engkau, dan saya mengirimkan untuk engkau dua gadis, yang keduanya mempunyai kedudukan yang tinggi dalam lingkungan bangsa Qibthi, dan membawa beberapa pakaian, dan saya mengirimkan hadiah seekor baghal kepada engkau untuk engkau kendarai.
Semoga keselamatan atas engkau. [Nurul Yaqin : 179]
Demikianlah bunyi surat jawaban Muqauqis kepada Nabi SAW. Dalam surat itu dijelaskan, bahwa dia mengirimkan dua orang gadis dan beberapa helai pakaian serta seekor baghal. Menurut riwayat, salah satu dari dua gadis itu (yang bernama Mariyah), oleh Nabi diambil sebagai budak beliau, yang kelak gadis itu melahirkan putera bernama Ibrahim, sedang yang satunya lagi diberikan kepada shahabat Hasan bin Tsaabit. Demikianlah Muqauqis menyambut baik surat dakwah Nabi SAW, namun dia tidak masuk Islam.
Sambutan Al-Harits bin Abu Syammar
Al-Harits bin Abu Syammar wakil raja Romawi (Hiraklius) di Damaskus, ketika menerima surat dakwah dari Nabi SAW yang dibawa oleh Syuja’ bin Wahab, ia menunjukkan kesombongan.
Setelah membaca surat dakwah dari Nabi SAW itu, lalu Al-Harits membuangnya sambil mengatakan :
مَنْ يَنْزِعُ مُلْكِى مِنّى؟ نور اليقين: 178
“Siapakah orang yang akan mencabut kekuasaanku ?”. [Nurul Yaqin : 178]
Kemudian Al-Harits bin Abu Syammar mempersiapkan pasukan untuk memerangi kaum muslimin.
Selanjutnya Al-Harits berkata kepada Syuja’ dengan congkak :
اَخْبِرْ صَاحِبَكَ بِمَا تَرَى. نور اليقين: 178
Khabarkan apa yang kamu lihat ini kepada orang yang menyuruhmu !”. [Nurul Yaqin : 178]
Oleh karena Harits hanya seorang gubernur (wakil) kerajaan Romawi, maka untuk memberangkatkan pasukannya untuk memerangi bangsa lain, haruslah meminta idzin lebih dulu kepada rajanya. Oleh sebab itu, ia pun memohon persetujuan kepada Hiraklius dan memohon idzin untuk memberangkatkan pasukannya memerangi kaum muslimin dan ia menyangka bahwa Hiraklius belum mengetahui tentang surat dakwah dari Nabi SAW tersebut, padahal Hiraklius ketika itu telah mengetahui isi surat dakwah itu. Maka ahkirnya Hiraklius tidak mengidzinkannya, dan memerintahkannya supaya ia berangkat ke Iiliyaa’ untuk menyambut Hiraklius yang sedang menyempurnakan nadzarnya berziyarah ke Baitul Maqdis.
Sambutan Al-Mundzir bin Sawa
Al-Mundzir bin Sawa raja Bahrain wakil raja Kisra, ketika menerima surat dakwah dari Nabi SAW yang dibawa oleh shahabat Ibnul-Hadlramiy, maka ia menerimanya dengan baik dan sopan, lalu masuk Islam. Kemudian Al-Mundzir menulis surat jawaban kepada Nabi SAW sebagai berikut :
اَمَّا بَعْدُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَاِنّى قَرَأْتُ كِتَابَكَ عَلَى اَهْلِ اْلبَحْرَيْنِ، فَمِنْهُمْ مَنْ اَحَبَّ اْلاِسْلاَمَ وَ اَعْجَبَهُ وَ دَخَلَ فِيْهِ، وَ مِنْهُمْ مَنْ كَرِهَهُ. وَ بِاَرْضِى مَجُوْسٌ وَ يَهُوْدٌ، فَاَحْدِثْ اِلَىَّ فِى ذلِكَ اَمْرَكَ. نور اليقين: 181
Adapun sesudah itu, ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah membaca surat engkau kepada Ahli Bahrain. Maka diantara mereka itu ada orang yang menyukai Islam dan mengaguminya (tertarik hatinya) dan masuk ke dalamnya, dan diantara mereka ada orang yang tidak menyukainya. Di negeri saya ada golongan Majusi dan ada golongan Yahudi, maka berikanlah keterangan kepada saya dengan perintah engkau tentang hal itu. [Nurul Yaqin : 181]
Surat jawaban Al-Mundzir ini dibawa oleh Ibnul Hadlramiy untuk disampaikan kepada Nabi SAW. Kemudian setelah beliau menerima surat itu dan juga mendengarkan kesan-kesan yang disampaikan oleh Ibnul Hadlramiy, maka Nabi SAW lalu menulis surat lagi kepada Al-Mundzir bin Sawa yang bunyinya demikian :
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ،
مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ اِلَى اْلمُنْذِرِ بْنِ سَاوَى،
سَلاَمٌ عَلَيْكَ. فَاِنّى اَحْمَدُ اللهَ اِلَيْكَ الَّذِى لاَ اِلهَ اِلاَّ هُوَ، وَ اَشْهَدُ اَنْ لاّ اِلهَ اِلاَّ اللهُ، وَ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ. اَمَّا بَعْدُ: فَاِنّى اُذَكّرُكَ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ فَاِنَّهُ مَنْ يَنْصَحْ لِنَفْسِهِ وَ اِنَّهُ مَنْ يُطِعْ رُسُلِى وَ يَتَّبِعْ اَمْرَهُمْ فَقَدْ اَطَاعَنِى. وَ مَنْْ نَصَحَ لَهُمْ فَقَدْ نَصَحَ لِى وَ اِنَّ رُسُلِى قَدْ اَثْنَوْا عَلَيْكَ خَيْرًا وَ اِنّى قَدْ شَفَّعْتُكَ فِى قَوْمِكَ، فَاتْرُكْ لِلْمُسْلِمِيْنَ مَا اَسْلَمُوْا عَلَيْهِ. وَ عَفَوْتُ عَنْ اَهْلِ الذُّنُوْبِ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ، وَ اِنَّكَ مَهْمَا تُصْلِحْ فَلَنْ نُغَيّرَكَ عَنْ عَمَلِكَ. وَ مَنْ اَقَامَ عَلَى يَهُوْدِيَّتِهِ اَوْ مَجُوْسِيَّتِهِ فَعَلَيْهِ اْلجِزْيَةُ. نور اليقين: 181
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Dari Muhammad Rasulullah kepada Al-Mundzir bin Sawa
Semoga keselamatan atas engkau. Sesungguhnya saya memuji kepada Allah di hadapanmu, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Dan saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya. Adapun sesudah itu, sesungguhnya aku memperingatkan engkau kepada Allah ‘Azza wa Jalla, sesungguhnya barangsiapa yang melakukan kebaikan, maka sesungguhnya tidak lain hanyalah melakukan kebaikan untuk dirinya sendiri, dan sesungguhnya barangsiapa menthaati kepada para utusanku dan mengikuti perintah mereka, maka sesungguhnya ia telah thaat kepadaku. Dan barangsiapa yang berlaku baik kepada mereka, maka ia telah berbuat baik kepadaku. Sesungguhnya para utusanku telah memuji engkau dengan baik. Dan sesungguhnya aku memberi pertolongan kepadamu dan kepada kaummu, maka biarkan untuk kaum muslimin apa yang mereka kerjakan, dan saya memaafkan dari orang-orang yang berdosa, maka terimalah dari mereka. Dan sesungguhnya selama engkau berbuat baik, maka kami tidak akan merubah dari amal perbuatan engkau, dan barangsiapa tetap atas keyahudiannya atau kemajusiannya, maka atasnya wajib membayar jizyah. [Nurul Yaqin : 181]
Demikianlah surat jawaban Nabi SAW atas permohonan penjelasan dari Al-Mundzir bin Sawa. Dan Al-Mundzir bin Sawa telah masuk Islam sejak menerima surat dakwah Nabi SAW yang pertama.
Menurut tarikh Munawwar Khalil, setelah Nabi SAW menulis surat jawaban tersebut kemudian beliau menulis lagi untuk penduduk Bahrain. Adapun isi surat tersebut sebagaimana tercantum dalam kitab tarikhnya pada juz 5, hal. 198, beliau menerangkan sebagai berikut :
اَمَّا بَعْدُ: فَاِنَّكُمْ اَذَا اَقَمْتُمُ الصَّلاَةَ وَ اتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَ نَصَحْتُمْ ِللهِ وَ رَسُوْلِهِ، وَ اتَيْتُمْ عُشْرَ النَّخْلِ وَ نِصْفَ عُشْرِ اْلحَبّ وَ لَمْ تُمَجّسُوْا اَوْلاَدَكُمْ فَلَكُمْ مَا اَسْلَمْتُمْ عَلَيْهِ غَيْرَ اَنَّ بَيْتَ النَّارِ ِللهِ وَ رَسُوْلِهِ. وَ اِنْ اَبَيْتُمْ فَعَلَيْكُمُ اْلجِزْيَةُ.
Adapun sesudah itu, sesungguhnya kamu, apabila telah mendirikan shalat, dan telah mengeluarkan zakat, dan telah berbuat baik karena Allah dan Rasul-Nya, dan telah mengeluarkan sepersepuluh dari hasil pohon kurma dan separoh dari sepersepuluh hasil biji-bijian, dan kamu tidak sekali-kali memajusikan anak-anakmu, maka bagi kamu apa yang telah kamu serahkan atasnya (kamu telah mengikut Islam), tetapi (harta) rumah api itu bagi Allah dan Rasul-Nya. Dan jika kamu enggan (menolak) maka atas kamu kewajiban membayar jizyah.
Selanjutnya diriwayatkan pula bahwa Ibnul Hadlramiy di Bahrain telah mengadakan perjanjian perdamaian dengan kaum Majusi, kaum Yahudi dan kaum Nashrani yang menjadi penduduk negeri itu. Surat perjanjian itu berbunyi demikian : Inilah perjanjian damai antara Ibnul Hadlramiy dengan penduduk Bahrain. Mereka telah mengadakan perjanjian damai, bahwa mereka akan memberikan balasan perbuatan kepada kami, dan memberi bagian hasil kurma kepada kami. Barangsiapa yang tidak menepati dengan ini, maka wajib atasnya ditimpa laknat Allah, laknat malaikat, dan laknat manusia semuanya. Adapun pajak kepala, maka sesungguhnya dipungut untuknya dari tiap-tiap orang yang dewasa satu dinar.
Sambutan Haudzah bin ‘Ali
Haudzah bin Zaid seorang yang berkuasa di Yamamah, setelah menerima surat dakwah Nabi SAW yang dibawa oleh Salith bin ‘Amr Al-’Amiriy, lalu membacanya dengan baik, kemudian ia menulis surat balasan kepada Nabi SAW demikian :
مَا اَحْسَنَ مَا تَدْعُوْ اِلَيْهِ وَ اَجْمَلَهُ، وَ اَنَا شَاعِرُ قَوْمِى وَ خَطِيْبُهُمْ وَ اْلعَرَبُ تَهَابُ مَكَانِى فَاجْعَلْ لِى بَعْضَ اْلاَمْرِ اَتَّبِعْكَ. نور اليقين: 183
Alangkah baiknya ajakanmu itu dan alangkah indahnya, padahal saya ini seorang penyair dari kaumku dan seorang juru pidato mereka. Orang ‘Arab takut pada kedudukan saya, maka dari itu jadikanlah oleh engkau sebagian urusan (kekuasaan) untuk saya, niscaya nanti saya mengikut engkau. [Nurul Yaqin : 183]
Setelah surat jawaban Haudzah tersebut dibaca oleh Nabi SAW lalu beliau bersabda :
لَوْ سَأَلَنِى قِطْعَةً مِنَ اْلاَرْضِ مَا فَعَلْتُ، بَادَ وَ بَادَ مَا فِى يَدَيْهِ. نور اليقين:183
Jika sekiranya dia meminta kepadaku sepotong tanah, tentu tidak akan aku beri. Musnahlah dia dan musnahlah segala apa yang ada pada kedua tangannya. [Nurul Yaqin : 183]
Rifa’ah bin Zaid Al-Judzamiy datang kepada Nabi SAW
Menurut riwayat, sesudah terjadi perdamaian Hudaibiyah dan sebelum perang Khaibar, ada seorang kepala kaum yang bernama Rifa’ah bin Zaid Al-Judzamiy datang kepada Nabi SAW dan ia membawa hadiah seorang pelayan laki-laki untuk Nabi SAW. Kemudian Rifa’ah menerima dakwah dari Nabi SAW sendiri, dan seketika itu ia mengikut Islam. Kemudian Nabi SAW menulis sepucuk surat dakwah kepadanya untuk disampaikan kepada kaumnya, yang bunyinya demikian :
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.
هذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ لِرِفَاعَةَ ابْنِ زَيْدٍ.
اِنّى بَعَثْتُهُ اِلَى قَوْمِهِ عَامَّةً، وَ مَنْ دَخَلَ فِيْهِمْ يَدْعُوْهُمْ اِلَى اللهِ وَ اِلَى رَسُوْلِهِ فَمَنْ اَقْبَلَ مِنْهُمْ فَمِنْ حِزْبِ اللهِ وِ حِزْبِ رَسُوْلِهِ. وَ مَنْ اَدْبَرَ فَلَهُ اَمَانٌ شَهْرَيْنِ. ابن هشام 5: 296
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Surat ini dari Muhammad Rasulullah untuk Rifa’ah bin Zaid.
Sesungguhnya saya telah mengutus dia untuk seluruh kaumnya. Orang yang masuk pada mereka, yang menyeru kepada agama Allah dan kepada Rasul-Nya, maka barangsiapa yang menerima dari mereka itu, dia termasuk golongan dari tentara Allah dan tentara Rasul-Nya, dan barangsiapa yang menolak seruannya, maka baginya hanya diberi batas keamanan selama dua bulan. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 296]
Kemudian ketika Rifa’ah bin Zaid datang kepada kaumnya, maka kaumnya segera mengikut Islam.
WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA
Kamis, 27 April 2017
KISAH SHOHABAT HATIB BIN ABI BALTA'AH RA YANG PERNAH MELAKUKAN PENGKHIANATAN
Nama lengkapnya Hatib bin Abu Balta’ah. Ayahnya bernama Abu Balta’ah Amru bin ‘Umair bin Salamah bin Bani Kholifah. Nama panggilanya Abu Abdullah. Pendapat lain mengatakan, Abu Muhmmad. Mengenai asal-usulnya, satu pendapat mengatakan beliau berasal dari Mudahij, sekutu bani Asad bin Abdul Uzza.
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ (1)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku(janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. (QS AL-MUMTAHANAH AYAT 1)
Tersebutlah bahwa penyebab turunnya permulaan surat yang mulia ini berkaitan dengan kisah yang dialami oleh Hatib ibnu Abu Balta'ah. Hatib adalah seorang lelaki dari kalangan Muhajirin dan juga termasuk ahli Badar (ikut dalam Perang Badar), dia mempunyai anak-anak dan juga harta yang ditinggalkannya di Mekah. Dan dia sendiri bukan termasuk salah seorang dari kabilah Quraisy, melainkan dia hanyalah teman sepakta Usman. Ketika Rasulullah Saw. bertekad akan menaklukkan kota Mekah, karena penduduk Mekah merusak perjanjian yang telah disepakati, maka Nabi Saw. memerintahkan kepada kaum muslim untuk membuat persiapan guna memerangi mereka, dan beliau Saw. berdoa: Ya Allah, umumkanlah kepada mereka berita kami ini.
Maka Hatib dengan sengaja menulis sepucuk surat ditujukan kepada orang-orang Quraisy melalui seorang wanita suruhannya. Tujuannya ialah untuk memberitahukan kepada penduduk Mekah rencana yang akan dilakukan oleh Rasulullah Saw., yaitu memerangi mereka. Ia lakukan demikian itu agar dirinya mendapat jasa di kalangan mereka. Maka Allah memperlihatkan hal itu kepada Rasulullah Saw. sebagai ijabah dari doanya, lalu beliau Saw. mengirimkan beberapa orang utusan untuk mengejar wanita tersebut, kemudian surat itu diambil dari tangan si wanita, sebagaimana yang disebutkan kisahnya dalam hadis berikut yang telah disepakati kesahihannya.
قال الإمام أحمد: حدثنا سفيان، عن عَمْرو، أَخْبَرَنِي حَسَن بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ، أَخْبَرَنِي عُبَيد اللَّهِ بْنُ أَبِي رَافِعٍ -وَقَالَ مُرَّةُ: إِنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي رَافِعٍ أَخْبَرَهُ: أَنَّهُ سَمِعَ عَلِيًّا، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَالزُّبَيْرَ وَالْمِقْدَادَ، فَقَالَ: "انْطَلِقُوا حَتَّى تَأْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ، فَإِنَّ بِهَا ظَعِينة مَعَهَا كِتَابٌ، فَخُذُوهُ مِنْهَا". فَانْطَلَقْنَا تَعَادى بِنَا خَيْلُنَا حَتَّى أَتَيْنَا الرَّوْضَةَ، فَإِذَا نَحْنُ بِالظَّعِينَةِ، قُلْنَا: أَخْرِجِي الْكِتَابَ. قَالَتْ: مَا مَعِي كِتَابٌ. قُلْنَا: لَتُخْرِجِنَّ الْكِتَابَ أَوْ لنُلقين الثِّيَابَ. قَالَ: فَأَخْرَجَتِ الْكِتَابَ مِنْ عِقَاصها، فَأَخَذْنَا الْكِتَابَ فَأَتَيْنَا بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِذَا فِيهِ: من حاطب بن أبي بلتعة إِلَى نَاسٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ بِمَكَّةَ، يُخْبِرُهُمْ بِبَعْضِ أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا حَاطِبُ، مَا هَذَا؟ ". قَالَ: لَا تَعْجَلْ عَلَيَّ، إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلصَقًا فِي قُرَيْشٍ، وَلَمْ أَكُنْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، وَكَانَ مَنْ مَعَكَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ قَرَابَاتٌ يَحْمُونَ أَهْلِيهِمْ بِمَكَّةَ، فَأَحْبَبْتُ إِذْ فَاتَنِي ذَلِكَ مِنَ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ فِيهِمْ يَدًا يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي، وَمَا فَعَلْتُ ذَلِكَ كُفْرًا وَلَا ارْتِدَادًا عَنْ ديني ولا رضى بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّهُ صَدَقكم". فَقَالَ عُمَرُ: دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ. فَقَالَ: "إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، مَا يُدْرِيكَ لَعَلّ اللَّهَ اطَّلَعَ إِلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari pamannya, telah menceritakan kepadaku Hasan ibnu Muhammad ibnu Ali, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Rafi'. Murrah mengatakan, sesungguhnya Ubaidillah ibnu Abu Rafi' menceritakan kepadanya bahwa ia pernah mendengar Ali r.a. menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. pernah mengutusnya bersama Az-Zubair dan Al-Miqdad seraya berpesan:Berangkatlah kalian bertiga menuju ke kebun Khakh, karena sesungguhnya di situ kalian akan berjumpa dengan seorang wanita dalam perjalanan. Ia membawa surat, maka ambillah surat itu darinya.Maka kami berangkat dengan memacu kuda kami hingga sampailah kami di kebun tersebut. Ternyata di kebun itu kami menjumpai seorang wanita yang sedang dalam perjalanannya. Maka kami perintahkan kepada wanita itu, "Keluarkanlah surat itu!" Wanita itu berkilah, "Aku tidak membawa surat apa pun." Kami berkata mengancam, "Kamu harus serahkan kitab itu kepada kami atau kamu akan kami telanjangi." Akhirnya wanita itu mengeluarkan surat tersebut dari gelung rambutnya, maka kami ambil kitab itu dan membawanya kepada Rasulullah Saw. Ternyata isi surat tersebut dari Hatib ibnu Abu Balta'ah, ditujukan kepada sejumlah orang-orang musyrik di Mekah, memberitahukan kepada mereka rencana yang akan dilakukan oleh Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. bertanya, "Hai Hatib, surat apakah ini?" Hatib menjawab, "Jangan engkau tergesa-gesa mengambil keputusan terhadapku, sesungguhnya aku adalah seorang yang hidup mendompleng kepada orang-orang Quraisy, dan aku bukanlah seseorang dari kalangan mereka sedangkan di antara kaum Muhajirin yang ada bersama engkau mempunyai kaum kerabat di Mekah yang dapat melindung, keluarganya yang tertinggal. Maka karena aku tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan mereka, aku bermaksud menggantinya dengan jasa kepada mereka. Dan tidaklah aku berbuat demikian karena kekafiran, bukan pula karena murtad dari agamaku, serta tidak pula rida dengan kekufuran sesudah aku masuk Islam." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Dia berkata sebenarnya kepada kalian. Umar tidak sabar, ia mengatakan, "Biarkanlah aku memenggal batang leher orang munafik ini." Rasulullah Saw. bersabda:Sesungguhnya dia telah ikut dalam Perang Badar, dan tahukah kamu, barangkali Allah menengok ahli Badar, lalu berfirman kepada mereka, "Berbuatlah menurut apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Aku telah memberikan ampunan bagimu."
Hal yang sama telah diketengahkan oleh Jamaah kecuali Ibnu Majah, dari berbagai jalur melalui Sufyan ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama.
Imam Bukhari di dalam Kitabul Magazi-nyamenambahkan, bahwa lalu turunlah firman Allah Swt.:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia. (Al-Mumtahanah: 1)
Dan di dalam kitab tafsirnya ia mengatakan bahwa Amr berkata, bahwa lalu diturunkanlah ayat berikut berkenaan dengannya (Hatib), yaitu firman Allah Swt.:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia. (Al-Mumtahanah: 1)
Imam Bukhari mengatakan bahwa ia tidak mengetahui apakah ayat ini termasuk bagian dari hadis ataukah Amr yang mengatakannya.
Imam Bukhari mengatakan bahwa Ali ibnul Madini telah menceritakan bahwa pernah ditanyakan kepada Sufyan tentang hal ini, yaitu tentang penurunan firman-Nya: /anganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia. (Al-Mumtahanah: 1) Maka Sufyan menjawab, "Memang demikianlah yang terdapat dalam hadis orang-orang yang aku hafal dari Amr, tanpa meninggalkan satu huruf pun darinya, dan tiada yang meriwayatkannya seperti ini selain diriku.
Riwayat Imam Muslim
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ وَاللَّفْظُ لِعَمْرٍو قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرُونَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو عَنْ الْحَسَنِ بْنِ مُحَمَّدٍ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي رَافِعٍ وَهُوَ كَاتِبُ عَلِيٍّ قَالَ سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ يَقُولُ بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَالزُّبَيْرَ وَالْمِقْدَادَ فَقَالَ ائْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ فَإِنَّ بِهَا ظَعِينَةً مَعَهَا كِتَابٌ فَخُذُوهُ مِنْهَا فَانْطَلَقْنَا تَعَادَى بِنَا خَيْلُنَا فَإِذَا نَحْنُ بِالْمَرْأَةِ فَقُلْنَا أَخْرِجِي الْكِتَابَ فَقَالَتْ مَا مَعِي كِتَابٌ فَقُلْنَا لَتُخْرِجِنَّ الْكِتَابَ أَوْ لَتُلْقِيَنَّ الثِّيَابَ فَأَخْرَجَتْهُ مِنْ عِقَاصِهَا فَأَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا فِيهِ مِنْ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ إِلَى نَاسٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ يُخْبِرُهُمْ بِبَعْضِ أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا حَاطِبُ مَا هَذَا قَالَ لَا تَعْجَلْ عَلَيَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلْصَقًا فِي قُرَيْشٍ قَالَ سُفْيَانُ كَانَ حَلِيفًا لَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ أَنْفُسِهَا أَكَانَ مِمَّنْ كَانَ مَعَكَ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ قَرَابَاتٌ يَحْمُونَ بِهَا أَهْلِيهِمْ فَأَحْبَبْتُ إِذْ فَاتَنِي ذَلِكَ مِنْ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ فِيهِمْ يَدًا يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي وَلَمْ أَفْعَلْهُ كُفْرًا وَلَا ارْتِدَادًا عَنْ دِينِي وَلَا رِضًا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ فَقَالَ عُمَرُ دَعْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ فَقَالَ إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ } وَلَيْسَ فِي حَدِيثِ أَبِي بَكْرٍ وَزُهَيْرٍ ذِكْرُ الْآيَةِ وَجَعَلَهَا إِسْحَقُ فِي رِوَايَتِهِ مِنْ تِلَاوَةِ سُفْيَانَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ ح و حَدَّثَنَا رِفَاعَةُ بْنُ الْهَيْثَمِ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدٌ يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ اللَّهِ كُلُّهُمْ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ وَالزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ وَكُلُّنَا فَارِسٌ فَقَالَ انْطَلِقُوا حَتَّى تَأْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ فَإِنَّ بِهَا امْرَأَةً مِنْ الْمُشْرِكِينَ مَعَهَا كِتَابٌ مِنْ حَاطِبٍ إِلَى الْمُشْرِكِينَ فَذَكَرَ بِمَعْنَى حَدِيثِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ عَلِيٍّ
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakr bin Abu Syaibah], ['Amru An Naqid], [Zuhair bin Harb], [Ishaq bin Ibrahim] dan [Ibnu Abu 'Umar] lafazh ini milik 'Amru. [Ishaq] berkata; Telah mengabarkan kepada kami, sedangkan yang lainnya berkata; Telah menceritakan kepada kami [Sufyan bin 'Uyainah] dari ['Amru] dari [Al Hasan bin Muhammad]; Telah mengabarkan kepadaku ['Ubaidullah bin Abu Rafi'] yaitu seorang juru tulis Ali dia berkata; Aku mendengar [Ali] berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah menugaskan saya, Zubair, dan Miqdad. Sebelum berangkat, Rasulullah berkata: 'Berangkatlah ke taman Khakh dan di sana ada seorang wanita yang membawa surat. Lalu, rebutlah surat tersebut darinya! ' Kemudian kami berangkat dengan mengendarai kuda dan di sana kami menjumpai seorang wanita. Lalu kami berkata kepadanya; 'Keluarkanlah surat yang kamu bawa itu! ' Wanita itu menjawab; 'Aku tidak membawa surat.' Kami berkata kepadanya sambil memberi ultimatum; 'Kamu keluarkan surat tersebut atau kami akan menelanjangimu dengan paksa.' Maka ia keluarkan surat itu dari balik sanggul rambutnya. Lalu kami bawa surat tersebut kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan ternyata di dalamnya tertulis; 'Dari Hathib bin Abu Balta'ah untuk kaum kafir Quraisyy Makkah tentang beberapa urusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.' Rasulullah bertanya; 'Hai Hathib, ada apa ini? ' Hathib menjawab; 'Ya Rasulullah, janganlah engkau tergesa-gesa marah kepada saya! Sebenarnya saya dulu pernah akrab dengan kaum kafir Quraisyy Makkah (Kata Abu Sufyan; 'Hathib adalah sekutu kaum kafir Quraisyy, tetapi dia sendiri bukan orang Quraisyy). Saya juga dulu pernah turut serta berhijrah bersama engkau meninggalkan keluarga di kota Makkah yang mereka dipelihara oleh kerabat mereka. Ketika kerabat mereka sudah tidak ada lagi, maka saya ingin ada jaminan dari mereka untuk melindungi keluarga saya. Tentunya, saya melakukan hal ini bukan karena kafir ataupun murtad dari agama saya. Karena, bagaimana pun juga saya tidak rela menjadi kafir setelah masuk Islam.' Mendengar penjelasan Iangsung dari Hathib, Rasulullah pun bersabda: 'Kamu benar hai Hathib.' Tiba-tiba Umar bin Khaththab berkata; 'Ya Rasulullah, izinkanlah saya untuk memenggal leher orang munafik ini! ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: 'Hai Umar, tahukah kamu bahwasanya Hathib turut juga dalam perang Badar. Tidakkah engkau mengetahui sesungguhnya Allah telah memberikan keringanan bagi orang-orang yg turut dalam perang Badar & berfirman: 'Silahkanlah kalian berbuat sesuka kalian, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian! ' Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat yg berbunyi: 'Hai orang-orang yg beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku & musuhmu sebagai teman-teman setia.' (A1 Mumtahanah (60): 1). Ishaq mencantumkan ayat tersebut dalam riwayatnya berdasarkan qiraat Abu Sufyan. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim; Telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah bin Idris; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Rifa'ah bin Al Haitsam Al Wasithi; Telah menceritakan kepada kami Khalid yaitu Ibnu 'Abdullah seluruhnya dari Hushain dari Sa'ad bin 'Ubadah dari Abu 'Abdur Rahman As Sulami dari 'Ali dia berkata; Rasulullah pernah menugaskan saya, Abu Martsad Al Ghanawi & Zubair bin Awwam dgn mengendarai kuda Sebelum berangkat, Rasulullah berkata:
'Berangkatlah ke taman Khakh & di sana ada seorang wanita dari kalangan orang-orang musyrik yg membawa surat dari Hathib kepada kamu musyrikin… -Selanjutnya sebagaimana Hadits yg semakna dgn Hadits Ubaidullah bin Abu Rafi' dari Ali. [HR. Muslim No.4550].
Telah diriwayatkan melalui jalur lain dari Ali r.a. Untuk itu disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim bahwa telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan Al-Hasanjani, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Ya'isy, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sulaiman Ar-Razi, dari Abu Sinan alias Sa'id ibnu Sinan, dari Amr ibnu Murrah Al-Hamli, dari Abu Ishaq Al-Buhturi At-Ta'i, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan bahwa ketika Nabi Saw. hendak menuju ke Mekah, beliau merahasiakan tujuannya ini kepada sebagian dari sahabatnya, yang antara lain ialah Hatib ibnu Abu Balta'ah. Sedangkan yang disebarkan ialah bahwa Nabi Saw. bertujuan ke Khaibar. Maka Hatib berkirim surat kepada penduduk Mekah yang memberitakan bahwa Rasulullah Saw. hendak menyerang kalian. Maka Rasulullah Saw. diberi tahu (oleh Jibril a.s.), lalu beliau mengutusku dan Abu Marsad, dan tiada seorang pun dari kami melainkan berkuda. Rasulullah Saw. berpesan kepada kami:Datanglah kamu ke kebun Khakh karena sesungguhnya kamu akan menjumpai padanya seorang wanita yang membawa surat (rahasia), maka rebutlah surat itu darinya! Kami berangkat hingga kami melihatnya di tempat seperti yang disebutkan oleh Rasulullah Saw., lalu kami berkata kepadanya, "Keluarkanlah surat itu." Ia menjawab, "Kami tidak membawa surat apa pun." Lalu kami letakkan barang-barangnya dan kami periksa semuanya, ternyata tidak kami jumpai pada barang-barang bawaannya. Lalu Abu Marsad berkata, "Barangkali surat itu ada bersamanya." Aku berkata, "Memang Rasulullah tidak dusta dan tidak pernah berdusta kepada kami." Akhirnya kami katakan kepada wanita itu, "Keluarkanlah surat itu, atau kalau tidak kami akan menelanjangimu." Wanita itu berkata, "Tidakkah kamu takut kepada Allah, bukankah kalian orang-orang muslim?" Kami berkata, "Kamu keluarkan surat itu atau kami telanjangi kamu." Amr ibnu Murrah menceritakan bahwa akhirnya wanita itu mengeluarkan surat tersebut dari kain kembennya. Menurut Habib ibnu Abu Sabit, wanita itu mengeluarkan surat tersebut dari liang vaginanya, lalu kami datangkan surat itu kepada Rasulullah Saw., dan ternyata surat itu dari Hatib ibnu Abu Balta'ah. Maka berdirilah Umar dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, dia telah berkhianat terhadap Allah dan Rasul-Nya, maka izinkanlah bagiku memukul batang lehernya." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Mudah-mudahan Allah memperhatikan ahli Badar dengan perhatian yang khusus dan berfirman, "Berbuatlah menurut apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Aku Maha Melihat terhadap semua yang kamu kerjakan." Maka berlinanganlah air mata Umar dan berkata, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Lalu Rasulullah mengundang Hatib dan bertanya, "Hai Hatib, apakah yang mendorongmu berbuat seperti itu?" Hatib menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang yang mendompleng pada orang-orang Quraisy, dan aku memiliki harta dan keluarga yang ada di kalangan mereka, sedangkan tiada seorang pun dari sahabatmu melainkan dia mempunyai orang yang membela harta dan keluarganya. Maka aku menyampaikan informasi itu kepada mereka (agar keluarga dan hartaku yang ada di sana tidak diganggu). Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Hatib benar, janganlah kamu berkata mengenai Hatib melainkan hanya kebaikan belaka.Habib ibnu Abu Sabit mengatakan bahwa lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad),karena rasa kasih sayang. (Al-Mumtahanah: 1), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ibnu Humaid, dari Mahran, dari Abu Sinan berikut sanadnya yang semisal. Para pemilik kitab Magazi was Siyar telah mengetengahkan pula hal ini.
Untuk itu Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan di dalam kitab Sirah-nya, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ja'far ibnuz Zubair, dari Urwah ibnuz Zubair dan lain-lainnya, dari kalangan ulama kita, bahwa ketika Rasulullah Saw. telah bertekad untuk berangkat menuju ke Mekah, maka Hatib ibnu Abu Balta'ah berkirim surat kepada orang-orang Quraisy, memberitakan kepada mereka tentang kebulatan tekad Rasulullah Saw. untuk berangkat menuju mereka. Kemudian surat itu ia titipkan kepada seorang wanita, yang menurut Muhammad ibnu Ja'far diduga wanita itu berasal dari Muzayyanah, sedangkan selain dia menduganya bernama Sarah maula Bani Abdul Muttalib. Kemudian Hatib memberinya hadiah sebagai imbalan menyampaikan surat tersebut kepada orang-orang Quraisy. Lalu wanita itu menyimpan surat tersebut di dalam gelungan rambutnya, lalu berangkat menuju ke Mekah. Dan datanglah berita dari langit kepada Rasulullah Saw. yang menceritakan tentang apa yang dilakukan oleh Hatib itu. Maka beliau mengutus Ali ibnu AbuTalib dan Az-Zubair ibnul Awwam seraya berpesan kepada keduanya: Kejarlah olehmu berdua seorang wanita yang membavsa surat Hatib ditujukan kepada orang-orang Ouraisyyang isinya memperingatkan mereka tentang apa yang telah kita sepakati terhadap urusan mereka. Maka keduanya keluar hingga dapat mengejarnya di Hulaifah, yaitu tempatnya Bani Abu Ahmad. Lalu keduanya menurunkan wanita itu dari untanya dan memeriksa barang bawaannya, tetapi keduanya tidak menemukan surat tersebut. Ali ibnu Abu Talib berkata kepada wanita itu, "Sesungguhnya aku bersumpah dengan nama Allah, bahwa Rasulullah tidak dusta dan beliau tidak pernah berdusta kepada kami. Sekarang kamu harus mengeluarkan surat itu; atau kalau tidak, maka kami benar-benar akan membuka pakaianmu." Ketika wanita itu melihat bahwa ancaman Ali sungguhan, maka ia berkata, "Berpalinglah kamu." Maka Ali memalingkan mukanya, dan wanita itu membuka gelungan rambutnya dan mengeluarkan surat tersebut darinya, selanjutnya surat itu ia serahkan kepada Ali. Kemudian Ali r.a. menyerahkan surat itu kepada Rasulullah Saw., lalu beliau Saw. memanggil Hatib dan bertanya kepadanya, "Hai Hatib, apakah yang mendorongmu berbuat demikian?" Hatib menjawab, "Wahai Rasulullah, ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, aku tidak berubah dan tidak pula berganti (agama). Tetapi aku adalah seorang yang tidak memiliki famili dan kerabat di kalangan kaum Quraisy, sedangkan aku mempunyai anak-anak dan keluarga di kalangan mereka, maka aku bermaksud membuat suatu jasa (budi) kepada mereka." Maka Umar berkata, "Wahai Rasulullah, biarkanlah aku menebas batang lehernya, karena sesungguhnya dia adalah seorang munafik." Rasulullah Saw. bersabda:Tahukah kamu, hai Umar, barangkali Allah memberikan perhatian yang khusus kepada ahli Badar, lalu Dia berfirman, "Berbuatlah menurut apa yang kamu kehendaki, karena sesungguhnya Aku telah memberikan ampunan bagimu." Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya berkenaan dengan kisah Hatib ini, yaitu: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman sedayang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. (Al-Mumtahanah: 1) sampai dengan firman-Nya: Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang ada bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. (Al-Mumtahanah: 4) hingga akhir kisah.
Telah diriwayatkan pula oleh Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah hal yang semisal. Hal yang sama telah dikatakan oleh Muqatil ibnu Hayyan, bahwa ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan Hatib ibnu Abu Balta'ah, bahwa dia menyuruh Sarah maula Bani Hasyim untuk membawa suratnya, dan ia memberinya hadiah sepuluh dirham. Lalu Rasulullah Saw. mengirimkan Umar ibnul Khattab dan Ali ibnu Abu Talib untuk mengejarnya, hingga keduanya dapat mengejarnya di Al-Juhfah. Kemudian selanjutnya sama dengan kisah di atas. Telah diriwayatkan pula dari As-Saddi hal yang mendekati kisah di atas. Dan hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, Qatadah, dan Mujahid serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan kisah Hatib ibnu Abu Balta'ah.
Firman Allah Swt.:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu. (Al-Mumtahanah: 1)
Yakni kaum musyrik dan orang-orang kafir yang selalu memerangi Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin. Allah memerintahkan agar mereka dimusuhi dan diperangi serta melarang mengambil mereka menjadi kekasih, teman, dan orang-orang yang terdekat. Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. (Al-Maidah: 51)
Ini mengandung ancaman yang keras dan peringatan yang pasti. Dan Allah Swt. telah berfirman pula dalam ayat yang lainnya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan,(yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (Al-Maidah: 57)
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu). (An-Nisa: 144)
Dan firman Allah Swt. lainnya yang menyebutkan:
{لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ}
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. (Ali Imran: 28)
Karena itulah maka Rasulullah Saw. menerima alasan dan permintaan maaf dari Hatib, karena sesungguhnya dia melakukan hal itu semata-mata hanyalah sebagai sikap diplomasi dan basa-basinya terhadap orang-orang Quraisy, mengingat dia memiliki harta dan anak-anak di kalangan mereka.
Sehubungan dengan hal ini perlu diketengahkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa:
حَدَّثَنَا مُصْعَبُ بْنُ سَلَّامٍ، حَدَّثَنَا الْأَجْلَحُ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي مُسْلِمٍ، عَنْ رِبْعَيِ بْنِ حِرَاشٍ، سَمِعْتُ حُذيفة يَقُولُ: ضَرَب لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْثَالًا وَاحِدًا وَثَلَاثَةً وَخَمْسَةً وَسَبْعَةً، وَتِسْعَةً، وَأَحَدَ عَشَرَ -قَالَ: فَضَرَبَ لَنَا مِنْهَا مَثَلًا وَتَرَكَ سَائِرَهَا، قَالَ: "إِنَّ قَوْمًا كَانُوا أَهْلَ ضَعْفٍ وَمَسْكَنَةٍ، قَاتَلَهُمْ أَهْلُ تَجَبُّرٍ وَعَدَاءٍ، فَأَظْهَرَ اللَّهُ أَهْلَ الضَّعْفِ عَلَيْهِمْ، فَعَمَدوا إِلَى عَدُوهم فَاسْتَعْمَلُوهُمْ وَسَلَّطُوهُمْ، فَأَسْخَطُوا اللَّهَ عَلَيْهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ"
telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnu Salam, telah menceritakan kepada kami Al-Ahlaj, dari Qais ibnu Abu Muslim, dari Rib'i ibnu Hirasy, bahwa ia pernah mendengar Huzaifah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah menceritakan kepada kami berbagai tamsil (perumpamaan), sebanyak sekali, tiga kali, lima kali, tujuh kali, sembilan kali, dan sebelas kali. Lalu beliau Saw. membuatkan bagi kami sebuah tamsil saja darinya, sedangkan yang lain ditinggalkannya. Beliau Saw. bersabda: Sesungguhnya pernah ada suatu kaum yang lemah lagi miskin, mereka diperangi oleh orang-orang yang sewenang-wenang dan suka permusuhan, kemudian Allah memenangkan orang-orang yang lemah atas mereka. Sesudah itu orang-orang yang tadinya lemah itu dengan sengaja berteman dengan musuh mereka dan menjadikan musuh mereka mempunyai jabatan dan kekuasaan atas diri mereka. Maka Allah murka terhadap kaum yang lemah itu sampai hari mereka bersua dengan-Nya.
Firman Allah Swt.:
{يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ}
mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu. (Al-Mumtahanah: 1)
Alasan ini dan yang sebelumnya menggugah kaum mukmin untuk memusuhi mereka dan tidak boleh menjadikan mereka teman, karena mereka telah mengusir Rasul dan para sahabatnya dari kalangan mereka, sebab mereka benci kepada ajaran tauhid dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata. Karena itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya:
{أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ}
karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. (Al-Mumtahanah: 1)
Yakni kamu tidak mempunyai dosa terhadap mereka, melainkan hanya semata-mata karena kamu beriman kepada Allah, Tuhan semesta alam. Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ. الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ}
Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.(Al-Buruj: 8)
Dan firman Allah Swt.:
{الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ}
(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, "Tuhan kami hanyalah Allah.”(Al-Hajj: 40)
Adapun firman Allah Swt.:
{إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي}
Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku. (Al-Mumtahanah: 1)
Yakni jika niatmu memang demikian, maka janganlah kamu mengambil mereka sebagai teman-teman dekatmu. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwajika kamu benar keluar hanya untuk berjihad di jalan-Ku dan meraih rida-Ku kepada kalian, maka janganlah kalian berteman dengan musuh-musuh-Ku dan musuh-musuh kalian. Sesungguhnya mereka telah mengusir kalian dari rumah dan harta benda kalian, karena benci dan tidak suka dengan agama kalian.
Firman Allah Swt.:
{تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ}
Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. (Al-Mumtahanah: 1)
Yakni kamu lakukan hal itu, sedangkan Aku mengetahui semua rahasia dan apa yang terkandung di dalam hati serta apa yang dinyatakan.
{وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ إِنْ يَثْقَفُوكُمْ يَكُونُوا لَكُمْ أَعْدَاءً وَيَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ وَأَلْسِنَتَهُمْ بِالسُّوءِ}
Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu). (Al-Mumtahanah: 1-2)
Maksudnya, seandainya mereka mempunyai kemampuan untuk mengalahkan kalian, tentulah mereka tidak segan-segan menyakiti kalian dengan ucapan dan tangan mereka.
{وَوَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ}
dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. (Al-Mumtahanah: 2)
Yaitu mereka sangat menginginkan agar kamu tidak memperoleh suatu kebaikan pun. Dengan kata lain, permusuhan mereka kepada kalian telah mendarah daging, baik lahir maupun batinnya. Maka mengapa kalian berteman dengan orang-orang seperti mereka? Ini pun merupakan alasan lain yang menggugah hati kaum mukmin untuk memusuhi mereka.
Firman Allah Swt.:
{لَنْ تَنْفَعَكُمْ أَرْحَامُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَفْصِلُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ}
Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-kali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Mumtahanah: 3)
Yakni kekerabatanmu tidak dapat memberikan manfaat kepadamu di sisi Allah. Apabila Allah menghendaki keburukan bagimu, dan pemberian manfaat mereka (kepadamu) tidak akan sampai kepadamu, jika kamu membuat mereka puas terhadap apa yang dimurkai oleh Allah Swt. Dan barang siapa yang membiarkan keluarganya dalam kekafiran untuk memuaskan hati mereka, maka sesungguhnya dia kecewa, merugi, dan lenyap amalnya; dan tiada bermanfaat baginya di sisi Allah hubungan kekerabatannya, siapapun dia adanya, sekalipun dia adalah orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan salah seorang nabi.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ: أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: "فِي النَّارِ" فَلَمَّا (1) قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ: "إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Sabit ibnu Anas, bahwa seorang lelaki pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, di manakah ayahku?" Rasulullah Saw. menjawab, "Di dalam neraka." Ketika lelaki itu pergi, beliau memanggilnya dan bersabda kepadanya, "Sesungguhnya ayahku (pun jika sama seperti ayahmu masuk neraka pula."
Hadis riwayat Imam Muslim dan Imam Abu Daud melalui Hammad ibnu Salamah dengan sanad yang sama.
WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ (1)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku(janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. (QS AL-MUMTAHANAH AYAT 1)
Tersebutlah bahwa penyebab turunnya permulaan surat yang mulia ini berkaitan dengan kisah yang dialami oleh Hatib ibnu Abu Balta'ah. Hatib adalah seorang lelaki dari kalangan Muhajirin dan juga termasuk ahli Badar (ikut dalam Perang Badar), dia mempunyai anak-anak dan juga harta yang ditinggalkannya di Mekah. Dan dia sendiri bukan termasuk salah seorang dari kabilah Quraisy, melainkan dia hanyalah teman sepakta Usman. Ketika Rasulullah Saw. bertekad akan menaklukkan kota Mekah, karena penduduk Mekah merusak perjanjian yang telah disepakati, maka Nabi Saw. memerintahkan kepada kaum muslim untuk membuat persiapan guna memerangi mereka, dan beliau Saw. berdoa: Ya Allah, umumkanlah kepada mereka berita kami ini.
Maka Hatib dengan sengaja menulis sepucuk surat ditujukan kepada orang-orang Quraisy melalui seorang wanita suruhannya. Tujuannya ialah untuk memberitahukan kepada penduduk Mekah rencana yang akan dilakukan oleh Rasulullah Saw., yaitu memerangi mereka. Ia lakukan demikian itu agar dirinya mendapat jasa di kalangan mereka. Maka Allah memperlihatkan hal itu kepada Rasulullah Saw. sebagai ijabah dari doanya, lalu beliau Saw. mengirimkan beberapa orang utusan untuk mengejar wanita tersebut, kemudian surat itu diambil dari tangan si wanita, sebagaimana yang disebutkan kisahnya dalam hadis berikut yang telah disepakati kesahihannya.
قال الإمام أحمد: حدثنا سفيان، عن عَمْرو، أَخْبَرَنِي حَسَن بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ، أَخْبَرَنِي عُبَيد اللَّهِ بْنُ أَبِي رَافِعٍ -وَقَالَ مُرَّةُ: إِنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي رَافِعٍ أَخْبَرَهُ: أَنَّهُ سَمِعَ عَلِيًّا، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَالزُّبَيْرَ وَالْمِقْدَادَ، فَقَالَ: "انْطَلِقُوا حَتَّى تَأْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ، فَإِنَّ بِهَا ظَعِينة مَعَهَا كِتَابٌ، فَخُذُوهُ مِنْهَا". فَانْطَلَقْنَا تَعَادى بِنَا خَيْلُنَا حَتَّى أَتَيْنَا الرَّوْضَةَ، فَإِذَا نَحْنُ بِالظَّعِينَةِ، قُلْنَا: أَخْرِجِي الْكِتَابَ. قَالَتْ: مَا مَعِي كِتَابٌ. قُلْنَا: لَتُخْرِجِنَّ الْكِتَابَ أَوْ لنُلقين الثِّيَابَ. قَالَ: فَأَخْرَجَتِ الْكِتَابَ مِنْ عِقَاصها، فَأَخَذْنَا الْكِتَابَ فَأَتَيْنَا بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِذَا فِيهِ: من حاطب بن أبي بلتعة إِلَى نَاسٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ بِمَكَّةَ، يُخْبِرُهُمْ بِبَعْضِ أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا حَاطِبُ، مَا هَذَا؟ ". قَالَ: لَا تَعْجَلْ عَلَيَّ، إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلصَقًا فِي قُرَيْشٍ، وَلَمْ أَكُنْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، وَكَانَ مَنْ مَعَكَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ قَرَابَاتٌ يَحْمُونَ أَهْلِيهِمْ بِمَكَّةَ، فَأَحْبَبْتُ إِذْ فَاتَنِي ذَلِكَ مِنَ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ فِيهِمْ يَدًا يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي، وَمَا فَعَلْتُ ذَلِكَ كُفْرًا وَلَا ارْتِدَادًا عَنْ ديني ولا رضى بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّهُ صَدَقكم". فَقَالَ عُمَرُ: دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ. فَقَالَ: "إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، مَا يُدْرِيكَ لَعَلّ اللَّهَ اطَّلَعَ إِلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari pamannya, telah menceritakan kepadaku Hasan ibnu Muhammad ibnu Ali, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Rafi'. Murrah mengatakan, sesungguhnya Ubaidillah ibnu Abu Rafi' menceritakan kepadanya bahwa ia pernah mendengar Ali r.a. menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. pernah mengutusnya bersama Az-Zubair dan Al-Miqdad seraya berpesan:Berangkatlah kalian bertiga menuju ke kebun Khakh, karena sesungguhnya di situ kalian akan berjumpa dengan seorang wanita dalam perjalanan. Ia membawa surat, maka ambillah surat itu darinya.Maka kami berangkat dengan memacu kuda kami hingga sampailah kami di kebun tersebut. Ternyata di kebun itu kami menjumpai seorang wanita yang sedang dalam perjalanannya. Maka kami perintahkan kepada wanita itu, "Keluarkanlah surat itu!" Wanita itu berkilah, "Aku tidak membawa surat apa pun." Kami berkata mengancam, "Kamu harus serahkan kitab itu kepada kami atau kamu akan kami telanjangi." Akhirnya wanita itu mengeluarkan surat tersebut dari gelung rambutnya, maka kami ambil kitab itu dan membawanya kepada Rasulullah Saw. Ternyata isi surat tersebut dari Hatib ibnu Abu Balta'ah, ditujukan kepada sejumlah orang-orang musyrik di Mekah, memberitahukan kepada mereka rencana yang akan dilakukan oleh Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. bertanya, "Hai Hatib, surat apakah ini?" Hatib menjawab, "Jangan engkau tergesa-gesa mengambil keputusan terhadapku, sesungguhnya aku adalah seorang yang hidup mendompleng kepada orang-orang Quraisy, dan aku bukanlah seseorang dari kalangan mereka sedangkan di antara kaum Muhajirin yang ada bersama engkau mempunyai kaum kerabat di Mekah yang dapat melindung, keluarganya yang tertinggal. Maka karena aku tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan mereka, aku bermaksud menggantinya dengan jasa kepada mereka. Dan tidaklah aku berbuat demikian karena kekafiran, bukan pula karena murtad dari agamaku, serta tidak pula rida dengan kekufuran sesudah aku masuk Islam." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Dia berkata sebenarnya kepada kalian. Umar tidak sabar, ia mengatakan, "Biarkanlah aku memenggal batang leher orang munafik ini." Rasulullah Saw. bersabda:Sesungguhnya dia telah ikut dalam Perang Badar, dan tahukah kamu, barangkali Allah menengok ahli Badar, lalu berfirman kepada mereka, "Berbuatlah menurut apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Aku telah memberikan ampunan bagimu."
Hal yang sama telah diketengahkan oleh Jamaah kecuali Ibnu Majah, dari berbagai jalur melalui Sufyan ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama.
Imam Bukhari di dalam Kitabul Magazi-nyamenambahkan, bahwa lalu turunlah firman Allah Swt.:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia. (Al-Mumtahanah: 1)
Dan di dalam kitab tafsirnya ia mengatakan bahwa Amr berkata, bahwa lalu diturunkanlah ayat berikut berkenaan dengannya (Hatib), yaitu firman Allah Swt.:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia. (Al-Mumtahanah: 1)
Imam Bukhari mengatakan bahwa ia tidak mengetahui apakah ayat ini termasuk bagian dari hadis ataukah Amr yang mengatakannya.
Imam Bukhari mengatakan bahwa Ali ibnul Madini telah menceritakan bahwa pernah ditanyakan kepada Sufyan tentang hal ini, yaitu tentang penurunan firman-Nya: /anganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia. (Al-Mumtahanah: 1) Maka Sufyan menjawab, "Memang demikianlah yang terdapat dalam hadis orang-orang yang aku hafal dari Amr, tanpa meninggalkan satu huruf pun darinya, dan tiada yang meriwayatkannya seperti ini selain diriku.
Riwayat Imam Muslim
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ وَاللَّفْظُ لِعَمْرٍو قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرُونَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو عَنْ الْحَسَنِ بْنِ مُحَمَّدٍ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي رَافِعٍ وَهُوَ كَاتِبُ عَلِيٍّ قَالَ سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ يَقُولُ بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَالزُّبَيْرَ وَالْمِقْدَادَ فَقَالَ ائْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ فَإِنَّ بِهَا ظَعِينَةً مَعَهَا كِتَابٌ فَخُذُوهُ مِنْهَا فَانْطَلَقْنَا تَعَادَى بِنَا خَيْلُنَا فَإِذَا نَحْنُ بِالْمَرْأَةِ فَقُلْنَا أَخْرِجِي الْكِتَابَ فَقَالَتْ مَا مَعِي كِتَابٌ فَقُلْنَا لَتُخْرِجِنَّ الْكِتَابَ أَوْ لَتُلْقِيَنَّ الثِّيَابَ فَأَخْرَجَتْهُ مِنْ عِقَاصِهَا فَأَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا فِيهِ مِنْ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ إِلَى نَاسٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ يُخْبِرُهُمْ بِبَعْضِ أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا حَاطِبُ مَا هَذَا قَالَ لَا تَعْجَلْ عَلَيَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلْصَقًا فِي قُرَيْشٍ قَالَ سُفْيَانُ كَانَ حَلِيفًا لَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ أَنْفُسِهَا أَكَانَ مِمَّنْ كَانَ مَعَكَ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ قَرَابَاتٌ يَحْمُونَ بِهَا أَهْلِيهِمْ فَأَحْبَبْتُ إِذْ فَاتَنِي ذَلِكَ مِنْ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ فِيهِمْ يَدًا يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي وَلَمْ أَفْعَلْهُ كُفْرًا وَلَا ارْتِدَادًا عَنْ دِينِي وَلَا رِضًا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ فَقَالَ عُمَرُ دَعْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ فَقَالَ إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ } وَلَيْسَ فِي حَدِيثِ أَبِي بَكْرٍ وَزُهَيْرٍ ذِكْرُ الْآيَةِ وَجَعَلَهَا إِسْحَقُ فِي رِوَايَتِهِ مِنْ تِلَاوَةِ سُفْيَانَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ ح و حَدَّثَنَا رِفَاعَةُ بْنُ الْهَيْثَمِ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدٌ يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ اللَّهِ كُلُّهُمْ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ وَالزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ وَكُلُّنَا فَارِسٌ فَقَالَ انْطَلِقُوا حَتَّى تَأْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ فَإِنَّ بِهَا امْرَأَةً مِنْ الْمُشْرِكِينَ مَعَهَا كِتَابٌ مِنْ حَاطِبٍ إِلَى الْمُشْرِكِينَ فَذَكَرَ بِمَعْنَى حَدِيثِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ عَلِيٍّ
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakr bin Abu Syaibah], ['Amru An Naqid], [Zuhair bin Harb], [Ishaq bin Ibrahim] dan [Ibnu Abu 'Umar] lafazh ini milik 'Amru. [Ishaq] berkata; Telah mengabarkan kepada kami, sedangkan yang lainnya berkata; Telah menceritakan kepada kami [Sufyan bin 'Uyainah] dari ['Amru] dari [Al Hasan bin Muhammad]; Telah mengabarkan kepadaku ['Ubaidullah bin Abu Rafi'] yaitu seorang juru tulis Ali dia berkata; Aku mendengar [Ali] berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah menugaskan saya, Zubair, dan Miqdad. Sebelum berangkat, Rasulullah berkata: 'Berangkatlah ke taman Khakh dan di sana ada seorang wanita yang membawa surat. Lalu, rebutlah surat tersebut darinya! ' Kemudian kami berangkat dengan mengendarai kuda dan di sana kami menjumpai seorang wanita. Lalu kami berkata kepadanya; 'Keluarkanlah surat yang kamu bawa itu! ' Wanita itu menjawab; 'Aku tidak membawa surat.' Kami berkata kepadanya sambil memberi ultimatum; 'Kamu keluarkan surat tersebut atau kami akan menelanjangimu dengan paksa.' Maka ia keluarkan surat itu dari balik sanggul rambutnya. Lalu kami bawa surat tersebut kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan ternyata di dalamnya tertulis; 'Dari Hathib bin Abu Balta'ah untuk kaum kafir Quraisyy Makkah tentang beberapa urusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.' Rasulullah bertanya; 'Hai Hathib, ada apa ini? ' Hathib menjawab; 'Ya Rasulullah, janganlah engkau tergesa-gesa marah kepada saya! Sebenarnya saya dulu pernah akrab dengan kaum kafir Quraisyy Makkah (Kata Abu Sufyan; 'Hathib adalah sekutu kaum kafir Quraisyy, tetapi dia sendiri bukan orang Quraisyy). Saya juga dulu pernah turut serta berhijrah bersama engkau meninggalkan keluarga di kota Makkah yang mereka dipelihara oleh kerabat mereka. Ketika kerabat mereka sudah tidak ada lagi, maka saya ingin ada jaminan dari mereka untuk melindungi keluarga saya. Tentunya, saya melakukan hal ini bukan karena kafir ataupun murtad dari agama saya. Karena, bagaimana pun juga saya tidak rela menjadi kafir setelah masuk Islam.' Mendengar penjelasan Iangsung dari Hathib, Rasulullah pun bersabda: 'Kamu benar hai Hathib.' Tiba-tiba Umar bin Khaththab berkata; 'Ya Rasulullah, izinkanlah saya untuk memenggal leher orang munafik ini! ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: 'Hai Umar, tahukah kamu bahwasanya Hathib turut juga dalam perang Badar. Tidakkah engkau mengetahui sesungguhnya Allah telah memberikan keringanan bagi orang-orang yg turut dalam perang Badar & berfirman: 'Silahkanlah kalian berbuat sesuka kalian, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian! ' Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat yg berbunyi: 'Hai orang-orang yg beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku & musuhmu sebagai teman-teman setia.' (A1 Mumtahanah (60): 1). Ishaq mencantumkan ayat tersebut dalam riwayatnya berdasarkan qiraat Abu Sufyan. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim; Telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah bin Idris; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Rifa'ah bin Al Haitsam Al Wasithi; Telah menceritakan kepada kami Khalid yaitu Ibnu 'Abdullah seluruhnya dari Hushain dari Sa'ad bin 'Ubadah dari Abu 'Abdur Rahman As Sulami dari 'Ali dia berkata; Rasulullah pernah menugaskan saya, Abu Martsad Al Ghanawi & Zubair bin Awwam dgn mengendarai kuda Sebelum berangkat, Rasulullah berkata:
'Berangkatlah ke taman Khakh & di sana ada seorang wanita dari kalangan orang-orang musyrik yg membawa surat dari Hathib kepada kamu musyrikin… -Selanjutnya sebagaimana Hadits yg semakna dgn Hadits Ubaidullah bin Abu Rafi' dari Ali. [HR. Muslim No.4550].
Telah diriwayatkan melalui jalur lain dari Ali r.a. Untuk itu disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim bahwa telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan Al-Hasanjani, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Ya'isy, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sulaiman Ar-Razi, dari Abu Sinan alias Sa'id ibnu Sinan, dari Amr ibnu Murrah Al-Hamli, dari Abu Ishaq Al-Buhturi At-Ta'i, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan bahwa ketika Nabi Saw. hendak menuju ke Mekah, beliau merahasiakan tujuannya ini kepada sebagian dari sahabatnya, yang antara lain ialah Hatib ibnu Abu Balta'ah. Sedangkan yang disebarkan ialah bahwa Nabi Saw. bertujuan ke Khaibar. Maka Hatib berkirim surat kepada penduduk Mekah yang memberitakan bahwa Rasulullah Saw. hendak menyerang kalian. Maka Rasulullah Saw. diberi tahu (oleh Jibril a.s.), lalu beliau mengutusku dan Abu Marsad, dan tiada seorang pun dari kami melainkan berkuda. Rasulullah Saw. berpesan kepada kami:Datanglah kamu ke kebun Khakh karena sesungguhnya kamu akan menjumpai padanya seorang wanita yang membawa surat (rahasia), maka rebutlah surat itu darinya! Kami berangkat hingga kami melihatnya di tempat seperti yang disebutkan oleh Rasulullah Saw., lalu kami berkata kepadanya, "Keluarkanlah surat itu." Ia menjawab, "Kami tidak membawa surat apa pun." Lalu kami letakkan barang-barangnya dan kami periksa semuanya, ternyata tidak kami jumpai pada barang-barang bawaannya. Lalu Abu Marsad berkata, "Barangkali surat itu ada bersamanya." Aku berkata, "Memang Rasulullah tidak dusta dan tidak pernah berdusta kepada kami." Akhirnya kami katakan kepada wanita itu, "Keluarkanlah surat itu, atau kalau tidak kami akan menelanjangimu." Wanita itu berkata, "Tidakkah kamu takut kepada Allah, bukankah kalian orang-orang muslim?" Kami berkata, "Kamu keluarkan surat itu atau kami telanjangi kamu." Amr ibnu Murrah menceritakan bahwa akhirnya wanita itu mengeluarkan surat tersebut dari kain kembennya. Menurut Habib ibnu Abu Sabit, wanita itu mengeluarkan surat tersebut dari liang vaginanya, lalu kami datangkan surat itu kepada Rasulullah Saw., dan ternyata surat itu dari Hatib ibnu Abu Balta'ah. Maka berdirilah Umar dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, dia telah berkhianat terhadap Allah dan Rasul-Nya, maka izinkanlah bagiku memukul batang lehernya." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Mudah-mudahan Allah memperhatikan ahli Badar dengan perhatian yang khusus dan berfirman, "Berbuatlah menurut apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Aku Maha Melihat terhadap semua yang kamu kerjakan." Maka berlinanganlah air mata Umar dan berkata, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Lalu Rasulullah mengundang Hatib dan bertanya, "Hai Hatib, apakah yang mendorongmu berbuat seperti itu?" Hatib menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang yang mendompleng pada orang-orang Quraisy, dan aku memiliki harta dan keluarga yang ada di kalangan mereka, sedangkan tiada seorang pun dari sahabatmu melainkan dia mempunyai orang yang membela harta dan keluarganya. Maka aku menyampaikan informasi itu kepada mereka (agar keluarga dan hartaku yang ada di sana tidak diganggu). Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Hatib benar, janganlah kamu berkata mengenai Hatib melainkan hanya kebaikan belaka.Habib ibnu Abu Sabit mengatakan bahwa lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad),karena rasa kasih sayang. (Al-Mumtahanah: 1), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ibnu Humaid, dari Mahran, dari Abu Sinan berikut sanadnya yang semisal. Para pemilik kitab Magazi was Siyar telah mengetengahkan pula hal ini.
Untuk itu Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan di dalam kitab Sirah-nya, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ja'far ibnuz Zubair, dari Urwah ibnuz Zubair dan lain-lainnya, dari kalangan ulama kita, bahwa ketika Rasulullah Saw. telah bertekad untuk berangkat menuju ke Mekah, maka Hatib ibnu Abu Balta'ah berkirim surat kepada orang-orang Quraisy, memberitakan kepada mereka tentang kebulatan tekad Rasulullah Saw. untuk berangkat menuju mereka. Kemudian surat itu ia titipkan kepada seorang wanita, yang menurut Muhammad ibnu Ja'far diduga wanita itu berasal dari Muzayyanah, sedangkan selain dia menduganya bernama Sarah maula Bani Abdul Muttalib. Kemudian Hatib memberinya hadiah sebagai imbalan menyampaikan surat tersebut kepada orang-orang Quraisy. Lalu wanita itu menyimpan surat tersebut di dalam gelungan rambutnya, lalu berangkat menuju ke Mekah. Dan datanglah berita dari langit kepada Rasulullah Saw. yang menceritakan tentang apa yang dilakukan oleh Hatib itu. Maka beliau mengutus Ali ibnu AbuTalib dan Az-Zubair ibnul Awwam seraya berpesan kepada keduanya: Kejarlah olehmu berdua seorang wanita yang membavsa surat Hatib ditujukan kepada orang-orang Ouraisyyang isinya memperingatkan mereka tentang apa yang telah kita sepakati terhadap urusan mereka. Maka keduanya keluar hingga dapat mengejarnya di Hulaifah, yaitu tempatnya Bani Abu Ahmad. Lalu keduanya menurunkan wanita itu dari untanya dan memeriksa barang bawaannya, tetapi keduanya tidak menemukan surat tersebut. Ali ibnu Abu Talib berkata kepada wanita itu, "Sesungguhnya aku bersumpah dengan nama Allah, bahwa Rasulullah tidak dusta dan beliau tidak pernah berdusta kepada kami. Sekarang kamu harus mengeluarkan surat itu; atau kalau tidak, maka kami benar-benar akan membuka pakaianmu." Ketika wanita itu melihat bahwa ancaman Ali sungguhan, maka ia berkata, "Berpalinglah kamu." Maka Ali memalingkan mukanya, dan wanita itu membuka gelungan rambutnya dan mengeluarkan surat tersebut darinya, selanjutnya surat itu ia serahkan kepada Ali. Kemudian Ali r.a. menyerahkan surat itu kepada Rasulullah Saw., lalu beliau Saw. memanggil Hatib dan bertanya kepadanya, "Hai Hatib, apakah yang mendorongmu berbuat demikian?" Hatib menjawab, "Wahai Rasulullah, ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, aku tidak berubah dan tidak pula berganti (agama). Tetapi aku adalah seorang yang tidak memiliki famili dan kerabat di kalangan kaum Quraisy, sedangkan aku mempunyai anak-anak dan keluarga di kalangan mereka, maka aku bermaksud membuat suatu jasa (budi) kepada mereka." Maka Umar berkata, "Wahai Rasulullah, biarkanlah aku menebas batang lehernya, karena sesungguhnya dia adalah seorang munafik." Rasulullah Saw. bersabda:Tahukah kamu, hai Umar, barangkali Allah memberikan perhatian yang khusus kepada ahli Badar, lalu Dia berfirman, "Berbuatlah menurut apa yang kamu kehendaki, karena sesungguhnya Aku telah memberikan ampunan bagimu." Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya berkenaan dengan kisah Hatib ini, yaitu: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman sedayang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. (Al-Mumtahanah: 1) sampai dengan firman-Nya: Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang ada bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. (Al-Mumtahanah: 4) hingga akhir kisah.
Telah diriwayatkan pula oleh Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah hal yang semisal. Hal yang sama telah dikatakan oleh Muqatil ibnu Hayyan, bahwa ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan Hatib ibnu Abu Balta'ah, bahwa dia menyuruh Sarah maula Bani Hasyim untuk membawa suratnya, dan ia memberinya hadiah sepuluh dirham. Lalu Rasulullah Saw. mengirimkan Umar ibnul Khattab dan Ali ibnu Abu Talib untuk mengejarnya, hingga keduanya dapat mengejarnya di Al-Juhfah. Kemudian selanjutnya sama dengan kisah di atas. Telah diriwayatkan pula dari As-Saddi hal yang mendekati kisah di atas. Dan hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, Qatadah, dan Mujahid serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan kisah Hatib ibnu Abu Balta'ah.
Firman Allah Swt.:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu. (Al-Mumtahanah: 1)
Yakni kaum musyrik dan orang-orang kafir yang selalu memerangi Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin. Allah memerintahkan agar mereka dimusuhi dan diperangi serta melarang mengambil mereka menjadi kekasih, teman, dan orang-orang yang terdekat. Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. (Al-Maidah: 51)
Ini mengandung ancaman yang keras dan peringatan yang pasti. Dan Allah Swt. telah berfirman pula dalam ayat yang lainnya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan,(yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (Al-Maidah: 57)
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu). (An-Nisa: 144)
Dan firman Allah Swt. lainnya yang menyebutkan:
{لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ}
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. (Ali Imran: 28)
Karena itulah maka Rasulullah Saw. menerima alasan dan permintaan maaf dari Hatib, karena sesungguhnya dia melakukan hal itu semata-mata hanyalah sebagai sikap diplomasi dan basa-basinya terhadap orang-orang Quraisy, mengingat dia memiliki harta dan anak-anak di kalangan mereka.
Sehubungan dengan hal ini perlu diketengahkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa:
حَدَّثَنَا مُصْعَبُ بْنُ سَلَّامٍ، حَدَّثَنَا الْأَجْلَحُ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي مُسْلِمٍ، عَنْ رِبْعَيِ بْنِ حِرَاشٍ، سَمِعْتُ حُذيفة يَقُولُ: ضَرَب لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْثَالًا وَاحِدًا وَثَلَاثَةً وَخَمْسَةً وَسَبْعَةً، وَتِسْعَةً، وَأَحَدَ عَشَرَ -قَالَ: فَضَرَبَ لَنَا مِنْهَا مَثَلًا وَتَرَكَ سَائِرَهَا، قَالَ: "إِنَّ قَوْمًا كَانُوا أَهْلَ ضَعْفٍ وَمَسْكَنَةٍ، قَاتَلَهُمْ أَهْلُ تَجَبُّرٍ وَعَدَاءٍ، فَأَظْهَرَ اللَّهُ أَهْلَ الضَّعْفِ عَلَيْهِمْ، فَعَمَدوا إِلَى عَدُوهم فَاسْتَعْمَلُوهُمْ وَسَلَّطُوهُمْ، فَأَسْخَطُوا اللَّهَ عَلَيْهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ"
telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnu Salam, telah menceritakan kepada kami Al-Ahlaj, dari Qais ibnu Abu Muslim, dari Rib'i ibnu Hirasy, bahwa ia pernah mendengar Huzaifah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah menceritakan kepada kami berbagai tamsil (perumpamaan), sebanyak sekali, tiga kali, lima kali, tujuh kali, sembilan kali, dan sebelas kali. Lalu beliau Saw. membuatkan bagi kami sebuah tamsil saja darinya, sedangkan yang lain ditinggalkannya. Beliau Saw. bersabda: Sesungguhnya pernah ada suatu kaum yang lemah lagi miskin, mereka diperangi oleh orang-orang yang sewenang-wenang dan suka permusuhan, kemudian Allah memenangkan orang-orang yang lemah atas mereka. Sesudah itu orang-orang yang tadinya lemah itu dengan sengaja berteman dengan musuh mereka dan menjadikan musuh mereka mempunyai jabatan dan kekuasaan atas diri mereka. Maka Allah murka terhadap kaum yang lemah itu sampai hari mereka bersua dengan-Nya.
Firman Allah Swt.:
{يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ}
mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu. (Al-Mumtahanah: 1)
Alasan ini dan yang sebelumnya menggugah kaum mukmin untuk memusuhi mereka dan tidak boleh menjadikan mereka teman, karena mereka telah mengusir Rasul dan para sahabatnya dari kalangan mereka, sebab mereka benci kepada ajaran tauhid dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata. Karena itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya:
{أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ}
karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. (Al-Mumtahanah: 1)
Yakni kamu tidak mempunyai dosa terhadap mereka, melainkan hanya semata-mata karena kamu beriman kepada Allah, Tuhan semesta alam. Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ. الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ}
Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.(Al-Buruj: 8)
Dan firman Allah Swt.:
{الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ}
(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, "Tuhan kami hanyalah Allah.”(Al-Hajj: 40)
Adapun firman Allah Swt.:
{إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي}
Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku. (Al-Mumtahanah: 1)
Yakni jika niatmu memang demikian, maka janganlah kamu mengambil mereka sebagai teman-teman dekatmu. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwajika kamu benar keluar hanya untuk berjihad di jalan-Ku dan meraih rida-Ku kepada kalian, maka janganlah kalian berteman dengan musuh-musuh-Ku dan musuh-musuh kalian. Sesungguhnya mereka telah mengusir kalian dari rumah dan harta benda kalian, karena benci dan tidak suka dengan agama kalian.
Firman Allah Swt.:
{تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ}
Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. (Al-Mumtahanah: 1)
Yakni kamu lakukan hal itu, sedangkan Aku mengetahui semua rahasia dan apa yang terkandung di dalam hati serta apa yang dinyatakan.
{وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ إِنْ يَثْقَفُوكُمْ يَكُونُوا لَكُمْ أَعْدَاءً وَيَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ وَأَلْسِنَتَهُمْ بِالسُّوءِ}
Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu). (Al-Mumtahanah: 1-2)
Maksudnya, seandainya mereka mempunyai kemampuan untuk mengalahkan kalian, tentulah mereka tidak segan-segan menyakiti kalian dengan ucapan dan tangan mereka.
{وَوَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ}
dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. (Al-Mumtahanah: 2)
Yaitu mereka sangat menginginkan agar kamu tidak memperoleh suatu kebaikan pun. Dengan kata lain, permusuhan mereka kepada kalian telah mendarah daging, baik lahir maupun batinnya. Maka mengapa kalian berteman dengan orang-orang seperti mereka? Ini pun merupakan alasan lain yang menggugah hati kaum mukmin untuk memusuhi mereka.
Firman Allah Swt.:
{لَنْ تَنْفَعَكُمْ أَرْحَامُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَفْصِلُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ}
Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-kali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Mumtahanah: 3)
Yakni kekerabatanmu tidak dapat memberikan manfaat kepadamu di sisi Allah. Apabila Allah menghendaki keburukan bagimu, dan pemberian manfaat mereka (kepadamu) tidak akan sampai kepadamu, jika kamu membuat mereka puas terhadap apa yang dimurkai oleh Allah Swt. Dan barang siapa yang membiarkan keluarganya dalam kekafiran untuk memuaskan hati mereka, maka sesungguhnya dia kecewa, merugi, dan lenyap amalnya; dan tiada bermanfaat baginya di sisi Allah hubungan kekerabatannya, siapapun dia adanya, sekalipun dia adalah orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan salah seorang nabi.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ: أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: "فِي النَّارِ" فَلَمَّا (1) قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ: "إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Sabit ibnu Anas, bahwa seorang lelaki pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, di manakah ayahku?" Rasulullah Saw. menjawab, "Di dalam neraka." Ketika lelaki itu pergi, beliau memanggilnya dan bersabda kepadanya, "Sesungguhnya ayahku (pun jika sama seperti ayahmu masuk neraka pula."
Hadis riwayat Imam Muslim dan Imam Abu Daud melalui Hammad ibnu Salamah dengan sanad yang sama.
WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA
KISAH KEISLAMAN RAJA NAJASYI
Ia seorang yg gagah tampan berwibawa. Warna kulitnya yg cerah bercahaya kelemah-lembutannya yg sopan santun kebaikannya yg rendah hati dan kasih sayang serta kebersihan hidup dan kesucian jiwanya semua itu memperlihatkan kepada kita betapa miripnya jasmani dan perangainya dgn Rasulullah saw. Pada dirinya juga bertemau pokok kebaikan dan keutamaan. Ia diberi gelar oleh Rasulullah saw sebagai “bapak si miskin.” Ia datang kepada Rasulullah saw memasuki agama Islam dgn mengambil kedudukan tinggi di antara mereka yg sama-sama pertama kali beriman. Isterinya Amma binti ‘Umais juga ikut menganut Islam pada hari yg sama. Keduanya dgn keberanian dan ketabahannya tampil ke muka utk hijrah ke Habsy hingga tinggal di sana selama bebarap tahun. Di sana mereka dikaruniai tiga orang anak Muhammad Abdullah dan ‘Auf. Dengan hati yg tenang akal pikiran yg cerdas jiwa yg mempu membaca situasi dan kondisi serta lidah yg fasih Ja’far bin Abi Thalib menjadi juru bicara yg lancar dan sopan selama di Ethiopia.
Kaum Quraisy yg musyrik tidak senang dgn hijrahnya beberapa kaum muslimin ke Ethiopia. Mereka sangat takut dan cemas jika kaum muslimin menyebar dan bertambah kuat. Oleh krn itu para pemimpin Quraisy mengirimkan dua orang utusan terpilih utk menghadap kaisar di Habsy lengkap dgn membawa hadiah-hadiah yg sangat berharga. Kedua utusan itu Abdullah bin Abi rabi’ah dan Amar bin Ash menyampaikan harapan Quraisy agar Negus mengusir kaum muslimin yg hijrah ke Habsy. Negus yg waktu itu bertahta di singgasana Ethiopia adl seorang tokoh yg mempunyai iman yg kuat. Dalam lubuk hatinya ia menganut agama Nasrani secara murni dan padu jauh dari penyelewengan dan lepas dari fanatik buta dan menutup diri. Nama baiknya telah tersebar ke mana-mana dan perjalanan hidupnya yg adil telah melampaui batas negerinya. Oleh krn itulah Rasulullah memilih negerinya menjadi tempat hijrah bagi sahabat-sahabatnya dan krn ini pulalah kaum kafir Quraisy merasa khawatir kalau-kalau maksud dan tipu muslihat mereka menjadi gagal dan tidak berhasil. Pemimpin-pemimpin Quraisy menasehati kedua utusannya agar mereka mendekati dan memberikan hadiah-hadiah kepada patrik dan uskup terlebih dahulu sebelum menghadap kepada kaisar. Hal itu bertujuan agar para pendeta merasa puas dan berpihak kepada mereka. Sampailah kedua utusan itu ke tempat tujuan mereka Ethiopia. Mereka menghadap pemimpin-pemimpin agama dgn membawa hadiah-hadiah yg besar kemudian mengirim hadiah-hadiah kepada Negus.
Demikianlah keduanya terus-menerus membangkitkan dendam kebencian di antara para pendeta. Dengan sokongan moril para pendeta itu keduanya berharap kepada Negus agar mengusir kaum muslimin kelaur dari negerinya. Suatu ketika dataglah hari-hari di saat keduanya akan menghadap kaisar yg telah ditetapkan. Kaum muslimin pun diundang utk menghadapi dendam kesumat Quraisy yg masih hendak melakukan muslihat keji dan menimpakan siksaan kepada mereka. Dengan air muka yg jernih berwibawa dan kerendahan hati yg penuh pesona Baginda Negus pun duduk di atas kursi kebesarannya yg tinggi dikelilingi oleh para pembesar gereja dan lingkungan terdekat istana.
Raja Habsyi mengemukakan beberapa pertanyaan kepada kaum Muslimin, tanyanya :"Mengapa kamu sekalian tidak bersujud kepada raja ?"
Shahabat Ja'far selaku kepala rombongan menjawab : "Sesungguhnya kami tidak bersujud melainkan kepada Allah yang Maha Mulia dan Maha Tinggi".
Amr bin Ash (utusan Quraisy) berkata kepada raja : "Wahai tuanku raja : Tidakkah tuanku melihat bahwa mereka itu begitu sombong, dan mereka tidak mau menghormat kepada tuanku raja dengan penghormatan cara tuanku !".
Raja Najasyi lalu bertanya kepada kaum Muslimin : "Apa yang menghalangi kalian untuk bersujud kepadaku dan memberi penghormatan kepadaku dengan penghormatan yang telah biasa dilakukan orang kepadaku ?".
Ja'far bin Abu Thalib menjawab dengan tegas :"Demi Allah sesungguhnya kami tidak bersujud melainkan kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi".
Kemudian utusan Quraisy berkata lagi kepada raja Habsyi dengan hasutan : "Wahai tuanku raja, sesungguhnya mereka itu akan mengganggu keamanan negeri tuanku, karena mereka itu adalah orang-orang yang bodoh-bodoh. Mereka di kota Makkah selalu menimbulkan perselisihan, pertengkaran dan permusuhan di antara golongan dan bangsa sendiri. Karena mereka tidak mau mengikut agama nenek moyang mereka, mereka mengikut agama baru yang didatangkan oleh seorang pemuda, pendusta lagi papa sengsara, yang mengaku menjadi Nabi dan Rasul Allah. Agama itu sama sekali belum pernah diketahui dan dipeluk oleh nenek moyang mereka. Di kota Makkah tidak ada orang yang mengikut agama baru itu melainkan orang-orang yang tidak mempunyai fikiran, orang-orang bodoh dan tolol, orang-orang yang papa sengsara dan budak belian. Hamba berdua diutus oleh pembesar-pembesar dan kepala-kepala mereka, supaya menghadap kepada tuanku raja, untuk memohon kepada tuanku, supaya mereka segera dikembalikan ke Makkah atau lekas-lekas diusir dari wilayah negeri tuanku yang aman dan sejahtera ini. Pembesar-pembesar dan kepala-kepala mereka ingin supaya negeri tuanku senantiasa dalam keadaan aman dan sejahtera, sebagaimana yang sudah-sudah, dan jangan sampai timbul keonaran dan kerusuhan yang disebabkan oleh perbuatan-perbuatan mereka. Ya tuanku raja, pembesar-pembesar dan kepala-kepala mereka itu lebih mengetahui tentang kejahatan mereka masing-masing !".
Penjelasan Ja'far Kepada Raja Habsyi (Najasyi)
Setelah adanya hasutan utusan Quraisy itu tadi, maka raja Habsyi bertanya lagi kepada kaum Muslimin :
"Agama apa yang di dalamnya kalian mencerai-beraikan persaudaraan kaummu, dan mengapa kalian tidak mengikut agamaku dan tidak pula masuk pada salah satu agama yang sudah ada ?"
Pertanyaan ini dijawab oleh shahabat Ja'far dengan tangkas, tegas dan jelas :
اَيـُّهَا اْلمَلِكُ! كُـنَّا قُوْمًا اَهْلَ جَاهِلِـيَّةٍ نَـعْبُدُ اْلاَصْنَامَ وَ نَأْكُلُ اْلمَيْتَةَ وَ نَأْتِى اْلفَوَاحِشَ وَ نَـقْطَعُ اْلاَرْحَامَ وَ نُسِيْءُ اْلجـِوَارَ وَ يَأْكُلُ اْلـقَـوِّيُّ مِنَّا الضَّعِيْفَ فَكُـنَّا عَلَى ذَالِكَ، حَتَّى بَـعَثَ اللهُ اِلَـيْنَا رَسُوْلاً مِنَّا نَـعْرِفُ نَـسَبَهُ وَ صِدْقَهُ وَاَمَانَـتَهُ وَ عَفَافَهُ. فَدَعَانَا اِلىَ اللهِ لِـنُـوَحِّدَهُ وَ نَـعْبُدَهُ وَ نَخـْلَعَ مَا كُـنَّا نَـعْبُدُ نَحْنُ وَ آَبَاؤُنَـا مِنَ الْحِجَارَةِ وَ اْلاَوْثَـانِ وَ اَمَرَنَا بِصِدْقِ اْلحَدِيـْثِ وَ اَدَآءِ اْلاَمَانَةِ وَ صِلَةِ اْلـرَّحِمِ وَ حُسْنِ اْلجـِوَارِ وَ اْلكَـفِّ عَنِ اْلمَحَارِمِ وَ الدِّمَآءِ، وَ نَـهَانَـا عَنِ اْلـفَـوَاحِشِ وَ قَوْلِ الزُّوْرِ وَاَكْلِ مَالِ اْلـيَـتِـيْمِ وَقَذْفِ اْلمُحْصَنَاتِ.وَ اَمَرَ نَا اَنْ نَـعْبُدَ اللهَ وَحْدَهُ لاَ نُـشْرِكَ بِهِ شَيْئًا، وَ اَمَرَنـَا بِالصَّلاَةِ وَ الـزَّكَاةِ وَ الصِّيَامِ، (فَعَدَّدَ عَلَـيْهِ اُمُوْرَ اْلاِسْلاَمِ) فَصَدَّقْنَاهُ وَآَمنَّابِهِ وَ اتَّـبَـعْنَاهُ عَلَى مَا جَآءَ بِهِ مِنَ اللهِ، فَـعَبَدْنـَا اللهَ وَحْدَهُ فَلَمْ نُشْرِكْ بِهِ شَيْئًا وَ حَرَّمْنَا مَا حَرَّمَ عَلَـيْنَا وَ اَحْلَـلْنَا مَا اَحَلَّ لَنَا، فَعَدَا عَلَـيْنَا قَوْمُنَا فَعَذَّبُـوْنَـا وَ فَـتَـنُـوْنَـا عَنْ دِيـْنِنَا لِيَرُدُّوْنَـا اِلىَ عِبَادَةِ اْلاَوْثَـانِ مِنْ عِبَادَةِ اللهِ تَـعَالىَ وَ اَنْ نَـسِتَحِلَّ مِنَ اْلخَبَائِثِ. فَـلَمَّا قَـهَرُوْنَـا وَ ظَـلَمُوْنَـا وَ ضَيَّقُوْا عَلَـيْنَا وَ حَالُـوْا بَيْنَنَا وَ بَـيْنَ دِيـْنِنَا.خَرَجْنَا اِلىَ بِلاَدِكَ وَ اخـْتَرْنَـاكَ عَلَى مَنْ سِوَاكَ وَ رَغِبْنَا فِى جـِوَارِكَ وَ رَجـَوْنَـا اَنْ لاَ نُـظْـلَـمَ عِنْدَكَ. اَيــُّهَا اْلمَلِكُ!
"Wahai raja ! Kami ini tadinya adalah golongan orang-orang yang dalam kebodohan, menyembah berhala, memakan bangkai, gemar melakukan kejahatan, gemar memutus persaudaraan, jahat kepada tetangga, dan yang kuat diantara kami makan hak yang lemah, dan demikianlah keadaan kami, sehingga Allah mengutus kepada kami seorang utusan dari bangsa kami. Kami mengetahui tentang nasabnya, kejujurannya, amanahnya dan keperwiraannya. Lalu dia berseru (mengajak) kepada kami kepada Allah untuk meng-Esakan-Nya dan menyembah kepada-Nya, dan supaya kami melepaskan apa-apa yang kami sembah dan yang disembah oleh orang-orang tua kami dahulu yaitu barang sembahan berupa batu-batu dan arca-arca. Dan ia memerintahkan kepada kami supaya berkata jujur, menunaikan amanah orang lain, menyambung persaudaraan, berbuat baik kepada tetangga, memelihara diri dari perbuatan yang merusakkan dan menumpahkan darah. Dan ia melarang kami dari semua perbuatan yang jelek, perkataan bohong, makan harta anak yatim, dan kami dilarang menuduh jahat pada wanita yang jujur perbuatannya. Dan memerintahkan kami supaya menyembah Allah Yang Maha Esa, supaya kami tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, dan menyuruh kami melaksanakan shalat, membayar zakat, berpuasa (lalu Ja'far menyebutkan beberapa urusan Islam lagi kepada raja). Oleh sebab itu, kami lalu membenarkannya dan kami beriman kepadanya serta mengikuti apa-apa yang telah didatangkan olehnya dari Allah. Lalu kami menyembah Allah yang Maha Esa, tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, kami mengharamkan apa-apa yang Allah haramkan kepada kami, dan kami menghalalkan apa-apa yang Allah halalkan kepada kami. Lalu kaum kami memusuhi kami, mereka menyiksa kami, dan menyesatkan kami dari agama kami supaya kami kembali menyembah kepada berhala lagi dan tidak menyembah Allah, dan membolehkan semua perbutaan yang jahat-jahat, setelah mereka itu memaksa kami dan menganiaya kami serta menyempitkan kehidupan kami, dan mereka senantiasa berupaya memisahkan kami dari agama kami, maka kami keluar (pindah) ke negeri tuan; dan kami memilih tuan bukan orang yang selain tuan, serta kami senang dibawah perlindungan tuan; dan kami mengharapkan agar kami jangan sampai teraniaya dihadapan tuan, wahai baginda raja !".
Demikianlah penjelasan Ja'far bin Abu Thalib tentang agama yang dibawa oleh Nabi SAW ketika dihadapan raja Habsyi.
Islamnya Raja Habsyi ( Najasyi )
Setelah raja Najasyi mendengar dan memperhatikan penjelasan Ja'far bin Abu Thalib demikian tadi, maka ia bertanya lagi : "Apakah kamu mempunyai sesuatu dari apa yang didatangkan oleh Rasul itu ?"
Ja'far menjawab : "Ya".
Baginda raja berkata : "Coba bacakan kepadaku ! "Lantas Ja'far bin Abu Thalib membaca beberapa ayat firman Allah yang telah diturunkan kepada Nabi SAW, yang sudah dihafalnya dengan lancar : Yaitu surat Maryam ayat 1 s/d 36, yang artinya sebagai berikut :
1. Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad.
2. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria,
3. yaitu tatkala ia berdo'a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.
4. Ia berkata : "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo'a, kepada Engkau, ya Tuhanku.
5. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera,
6. yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridlai".
7. Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi khabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.
8. Zakaria berkata : "Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua",
9. Tuhan berfirman : "Demikianlah". Tuhan berfirman: "Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali".
10. Zakaria berkata : "Ya Tuhanku, berilahaku suatu tanda". Tuhan berfirman : "Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat".
11. Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka, hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.
12. Hai Yahya, ambillah Al-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak,
13. dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dari dosa). Dan ia adalah seorang yang bertaqwa,
14. dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.
15. Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan, dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.
16. Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al-Qur'an, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat disebelah timur,
17. maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka, lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma dihadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.
18. Maryam berkata : "Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertaqwa".
19. Ia (Jibril) berkata : "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci".
20. Maryam berkata : "Bagaimana akan ada bagiku sorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina !"
21. Jibril berkata : "Demikianlah". Tuhanmu berfirman : "Hal itu adalah mudah bagi-Ku, dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi masnusia dan sebagai rahmat dari Kami, dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan".
22. Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.
23. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata : "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan".
24 Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah : "Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.
25. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,
26. maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah : "Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".
27 Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata : "Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar".
28. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina",
29. maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata : "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan ?"
30. Berkata Isa : "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi,
31. dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerinahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;
32. dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.
33. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali".
34. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya.
35. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya : "Jadilah", maka jadilah ia.
36. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan-ku dan Tuhan-mu, maka sembahlah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus.
[Maryam : 1 - 36]
Kemudian, setelah raja Habsyi dan para pendeta yang ada dihadapannya mendengar ayat-ayat yang dibaca oleh shahabat Ja'far tadi, maka tiba-tiba bercucuranlah air mata baginda raja sehingga janggutnya basah; demikian juga halnya dengan para pendeta yang ada dihadapannya, mereka juga mencucurkan air mata. Dan mereka serempak berakata : "Kalimah ini sesungguhnya berasal dari sumber yang menjadi asal Kalimah junjungan kita Nabi Isa".
Kemudian raja sendiri berkata pula : "Demi Allah sesungguhnya ini dan yang dibawa oleh 'Isa, sungguh keluar dari satu sumber".
Selanjutnya raja Najasyi bersaksi dan mengatakan :
مَرْحَبًا بِكُمْ وَ بِمَنْ جِئْتُمْ مِنْ عِنْدِهِ. وَ اَنــَا اَشْهَدُ اَنــَّهُ رَسُوْلُ اللهِ، وَ اَنــَّهُ الَّذِيْ بَشَّرَ بِهِ عِيْسَى. وَ لَـوْلاَ اَنــَا فِيْهِ مِنَ اْلمُـلْكِ لاتِـيَنَّهُ حَتَّى اُقَـبِّلَ نَـعْلَهُ.
"Berbahagialah kalian dan orang yang dari sisinya kalian datang. Dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya dia itu adalah Rasul Allah, dan sesungguhnya dialah yang diberitakan dengan kegembiraan oleh Isa. Dan seandainya aku tidak di dalam tugas kerajaan, sungguh aku akan datang kepadanya sehingga aku bisa mencium sandalnya"
Allah telah menolong hamba-hamba-Nya dan menguatkan mereka sementara kedua utusan Quraisy mendapat kekalahan yg hina. Akan tetapi Amr bin Ash seorang yg lihai dan ulung yg penuh dgn tipu muslihat licik tidak hendak menyerah begitu saja apalagi berputus asa. Begitu ia kembali bersama temannya ke tempat tinggalnya tak habis-habisnya ia berpikir dan memutar otak dan akhirnya berkata kepada temannya “Demi Allah besok aku akan kembali menemui Negus akan kusampaikan kepada baginda keterangan-keterangan yg akan memukul kaum muslimin dan membasmi urat akar mereka.” Teman-temannya menjawab “Jangan lakukan itu bukankah kita masih ada hubungan keluarga dgn mereka sekalipun mereka berselisih paham dgn kita.” Jawab Amr “Demi Allah akan kuberitakan kepada Negus bahwa mereka mendakwakan Isa anak Maryam itu manusia biasa seperti manusia yg lainnya.” Inilah rupanya tipu muslihat baru yg telah diatur oleh utusan Quraisy terhadap kaum Muslimin utk memojokkan mereka ke sudut yg sempit dan utk menjauhkan mereka ke lembah yg curam. Seandainya orang Islam terang-terangan mengatakan bahwa Isa itu salah seorang hamba Allah seperti manusia lainnya pasti hal ini akan membangkitkan kemarahan dan permusuhan raja. Sebaliknya jika mereka meniadakan pada Isa ujud manusia biasa niscaya keluarlah mereka dari aqidah agama mereka. Besok paginya kedua utusan itu segera menghadap Raja dan berkata kepadanya “Wahai Sri Paduka! orang-orang Islam itu telah mengucapkan suatu ucapan keji yg merendahkan kedudukan Isa.” Para pendeta dan kaum agama menjadi geger dan gempar.
Gambaran dari kalimat itu cukup menggoncangkan Negus dan para pengikutnya. Mereka memanggil orang-orang Islam sekali lagi utk menanyai bagaimana sebenarnya pandangan agama Islam tentang Isa al Masih. Sebelum datang orang-orang Islam duduk berunding utk menentukan sikap terbaiknya dalam menghadapi situasi semacam ini. Akhirnya memperoleh kata sepakat utk menyatakan yg haq saja sebagaimana yg mereka dengar dari Nabi Muhammad saw. Mereka tak hendak menyimpang serambut pun dari padanya dan biarlah apa yg akan terjadi.
Pertemuan baru pun diadakan. Negus mulai melakukan percakapan dgn bertanya kepada Ja’far bin Abi Thalib “Bagaimana pandangan kalian terhadap Isa?” Ja’far bin Abi Thalib bangkit sekali lagi laksana menara laut yg memancarkan sinar terang ujarnya “Kami akan mengatakan tentang Isa as sesuai dgn keterangan yg dibawa Nabi kami Muhammad saw bahwa Ia adl seorang hamba Allah dan Rasul-Nya serta kalimah-Nya yg ditiupkan-Nya kepada Maryam dari pada-Nya.” Negus bertepuk tangan tanda setuju seraya mengumumkan memang demikianlah yg dikatakan al Masih tentang dirinya. Tetapi pada barisan pembesar agama yg lain terjadi hiruk-pikuk seolah-oleh melihat ketidaksetujuan mereka.
Negus yg terpelajar lagi beriman terus melanjutkan bicaranya seraya berkata kepada orang-orang Islam “Silakan sekalian Anda hidup bebas di negeriku! Siapa berani mencela dan menyakiti Anda orang itu akan mendapat hukuman yg setimpal dgn perbuatannya itu.” Kemudian Negus berpaling kepada orang-orang besarnya yg terdekat lalu sambil mengisyaratkan dgn telunjuknya ke arah kedua utusan kaum Quraisy berkatalah ia “Kembalikan hadiah-hadiah itu kepada kedua orang ini! Aku tak membutuhkannya! Demi Allah Allah tak pernah mengambil uang sogokan dari padaku di kala ia mengaruniakan takhta ini kepadaku krn itu aku pun tak akan menerimanya dalam hal ini.” Kedua kalinya kedua utusan Quraisy itu pun pergi keluar meninggalkan tempat pertemuan dgn perasan hina dan terpukul. Mereka segera memalingkan arah perjalanannya pulang menuju Mekah.
Orang-orang Islam pun keluar di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib utk memulai kehidupan baru di tanah Ethiopia yakni penghidupan yg aman tenteram sebagaimana mereka katakan “Dinegeri yg baik dgn tetangga yg baik” hingga akhirnya datang saatnya Allah mengizinkan mereka kembali kepada Rasul mereka kepada sahabat dan handai taulan serta kampung halaman mereka.
WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA
Kaum Quraisy yg musyrik tidak senang dgn hijrahnya beberapa kaum muslimin ke Ethiopia. Mereka sangat takut dan cemas jika kaum muslimin menyebar dan bertambah kuat. Oleh krn itu para pemimpin Quraisy mengirimkan dua orang utusan terpilih utk menghadap kaisar di Habsy lengkap dgn membawa hadiah-hadiah yg sangat berharga. Kedua utusan itu Abdullah bin Abi rabi’ah dan Amar bin Ash menyampaikan harapan Quraisy agar Negus mengusir kaum muslimin yg hijrah ke Habsy. Negus yg waktu itu bertahta di singgasana Ethiopia adl seorang tokoh yg mempunyai iman yg kuat. Dalam lubuk hatinya ia menganut agama Nasrani secara murni dan padu jauh dari penyelewengan dan lepas dari fanatik buta dan menutup diri. Nama baiknya telah tersebar ke mana-mana dan perjalanan hidupnya yg adil telah melampaui batas negerinya. Oleh krn itulah Rasulullah memilih negerinya menjadi tempat hijrah bagi sahabat-sahabatnya dan krn ini pulalah kaum kafir Quraisy merasa khawatir kalau-kalau maksud dan tipu muslihat mereka menjadi gagal dan tidak berhasil. Pemimpin-pemimpin Quraisy menasehati kedua utusannya agar mereka mendekati dan memberikan hadiah-hadiah kepada patrik dan uskup terlebih dahulu sebelum menghadap kepada kaisar. Hal itu bertujuan agar para pendeta merasa puas dan berpihak kepada mereka. Sampailah kedua utusan itu ke tempat tujuan mereka Ethiopia. Mereka menghadap pemimpin-pemimpin agama dgn membawa hadiah-hadiah yg besar kemudian mengirim hadiah-hadiah kepada Negus.
Demikianlah keduanya terus-menerus membangkitkan dendam kebencian di antara para pendeta. Dengan sokongan moril para pendeta itu keduanya berharap kepada Negus agar mengusir kaum muslimin kelaur dari negerinya. Suatu ketika dataglah hari-hari di saat keduanya akan menghadap kaisar yg telah ditetapkan. Kaum muslimin pun diundang utk menghadapi dendam kesumat Quraisy yg masih hendak melakukan muslihat keji dan menimpakan siksaan kepada mereka. Dengan air muka yg jernih berwibawa dan kerendahan hati yg penuh pesona Baginda Negus pun duduk di atas kursi kebesarannya yg tinggi dikelilingi oleh para pembesar gereja dan lingkungan terdekat istana.
Raja Habsyi mengemukakan beberapa pertanyaan kepada kaum Muslimin, tanyanya :"Mengapa kamu sekalian tidak bersujud kepada raja ?"
Shahabat Ja'far selaku kepala rombongan menjawab : "Sesungguhnya kami tidak bersujud melainkan kepada Allah yang Maha Mulia dan Maha Tinggi".
Amr bin Ash (utusan Quraisy) berkata kepada raja : "Wahai tuanku raja : Tidakkah tuanku melihat bahwa mereka itu begitu sombong, dan mereka tidak mau menghormat kepada tuanku raja dengan penghormatan cara tuanku !".
Raja Najasyi lalu bertanya kepada kaum Muslimin : "Apa yang menghalangi kalian untuk bersujud kepadaku dan memberi penghormatan kepadaku dengan penghormatan yang telah biasa dilakukan orang kepadaku ?".
Ja'far bin Abu Thalib menjawab dengan tegas :"Demi Allah sesungguhnya kami tidak bersujud melainkan kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi".
Kemudian utusan Quraisy berkata lagi kepada raja Habsyi dengan hasutan : "Wahai tuanku raja, sesungguhnya mereka itu akan mengganggu keamanan negeri tuanku, karena mereka itu adalah orang-orang yang bodoh-bodoh. Mereka di kota Makkah selalu menimbulkan perselisihan, pertengkaran dan permusuhan di antara golongan dan bangsa sendiri. Karena mereka tidak mau mengikut agama nenek moyang mereka, mereka mengikut agama baru yang didatangkan oleh seorang pemuda, pendusta lagi papa sengsara, yang mengaku menjadi Nabi dan Rasul Allah. Agama itu sama sekali belum pernah diketahui dan dipeluk oleh nenek moyang mereka. Di kota Makkah tidak ada orang yang mengikut agama baru itu melainkan orang-orang yang tidak mempunyai fikiran, orang-orang bodoh dan tolol, orang-orang yang papa sengsara dan budak belian. Hamba berdua diutus oleh pembesar-pembesar dan kepala-kepala mereka, supaya menghadap kepada tuanku raja, untuk memohon kepada tuanku, supaya mereka segera dikembalikan ke Makkah atau lekas-lekas diusir dari wilayah negeri tuanku yang aman dan sejahtera ini. Pembesar-pembesar dan kepala-kepala mereka ingin supaya negeri tuanku senantiasa dalam keadaan aman dan sejahtera, sebagaimana yang sudah-sudah, dan jangan sampai timbul keonaran dan kerusuhan yang disebabkan oleh perbuatan-perbuatan mereka. Ya tuanku raja, pembesar-pembesar dan kepala-kepala mereka itu lebih mengetahui tentang kejahatan mereka masing-masing !".
Penjelasan Ja'far Kepada Raja Habsyi (Najasyi)
Setelah adanya hasutan utusan Quraisy itu tadi, maka raja Habsyi bertanya lagi kepada kaum Muslimin :
"Agama apa yang di dalamnya kalian mencerai-beraikan persaudaraan kaummu, dan mengapa kalian tidak mengikut agamaku dan tidak pula masuk pada salah satu agama yang sudah ada ?"
Pertanyaan ini dijawab oleh shahabat Ja'far dengan tangkas, tegas dan jelas :
اَيـُّهَا اْلمَلِكُ! كُـنَّا قُوْمًا اَهْلَ جَاهِلِـيَّةٍ نَـعْبُدُ اْلاَصْنَامَ وَ نَأْكُلُ اْلمَيْتَةَ وَ نَأْتِى اْلفَوَاحِشَ وَ نَـقْطَعُ اْلاَرْحَامَ وَ نُسِيْءُ اْلجـِوَارَ وَ يَأْكُلُ اْلـقَـوِّيُّ مِنَّا الضَّعِيْفَ فَكُـنَّا عَلَى ذَالِكَ، حَتَّى بَـعَثَ اللهُ اِلَـيْنَا رَسُوْلاً مِنَّا نَـعْرِفُ نَـسَبَهُ وَ صِدْقَهُ وَاَمَانَـتَهُ وَ عَفَافَهُ. فَدَعَانَا اِلىَ اللهِ لِـنُـوَحِّدَهُ وَ نَـعْبُدَهُ وَ نَخـْلَعَ مَا كُـنَّا نَـعْبُدُ نَحْنُ وَ آَبَاؤُنَـا مِنَ الْحِجَارَةِ وَ اْلاَوْثَـانِ وَ اَمَرَنَا بِصِدْقِ اْلحَدِيـْثِ وَ اَدَآءِ اْلاَمَانَةِ وَ صِلَةِ اْلـرَّحِمِ وَ حُسْنِ اْلجـِوَارِ وَ اْلكَـفِّ عَنِ اْلمَحَارِمِ وَ الدِّمَآءِ، وَ نَـهَانَـا عَنِ اْلـفَـوَاحِشِ وَ قَوْلِ الزُّوْرِ وَاَكْلِ مَالِ اْلـيَـتِـيْمِ وَقَذْفِ اْلمُحْصَنَاتِ.وَ اَمَرَ نَا اَنْ نَـعْبُدَ اللهَ وَحْدَهُ لاَ نُـشْرِكَ بِهِ شَيْئًا، وَ اَمَرَنـَا بِالصَّلاَةِ وَ الـزَّكَاةِ وَ الصِّيَامِ، (فَعَدَّدَ عَلَـيْهِ اُمُوْرَ اْلاِسْلاَمِ) فَصَدَّقْنَاهُ وَآَمنَّابِهِ وَ اتَّـبَـعْنَاهُ عَلَى مَا جَآءَ بِهِ مِنَ اللهِ، فَـعَبَدْنـَا اللهَ وَحْدَهُ فَلَمْ نُشْرِكْ بِهِ شَيْئًا وَ حَرَّمْنَا مَا حَرَّمَ عَلَـيْنَا وَ اَحْلَـلْنَا مَا اَحَلَّ لَنَا، فَعَدَا عَلَـيْنَا قَوْمُنَا فَعَذَّبُـوْنَـا وَ فَـتَـنُـوْنَـا عَنْ دِيـْنِنَا لِيَرُدُّوْنَـا اِلىَ عِبَادَةِ اْلاَوْثَـانِ مِنْ عِبَادَةِ اللهِ تَـعَالىَ وَ اَنْ نَـسِتَحِلَّ مِنَ اْلخَبَائِثِ. فَـلَمَّا قَـهَرُوْنَـا وَ ظَـلَمُوْنَـا وَ ضَيَّقُوْا عَلَـيْنَا وَ حَالُـوْا بَيْنَنَا وَ بَـيْنَ دِيـْنِنَا.خَرَجْنَا اِلىَ بِلاَدِكَ وَ اخـْتَرْنَـاكَ عَلَى مَنْ سِوَاكَ وَ رَغِبْنَا فِى جـِوَارِكَ وَ رَجـَوْنَـا اَنْ لاَ نُـظْـلَـمَ عِنْدَكَ. اَيــُّهَا اْلمَلِكُ!
"Wahai raja ! Kami ini tadinya adalah golongan orang-orang yang dalam kebodohan, menyembah berhala, memakan bangkai, gemar melakukan kejahatan, gemar memutus persaudaraan, jahat kepada tetangga, dan yang kuat diantara kami makan hak yang lemah, dan demikianlah keadaan kami, sehingga Allah mengutus kepada kami seorang utusan dari bangsa kami. Kami mengetahui tentang nasabnya, kejujurannya, amanahnya dan keperwiraannya. Lalu dia berseru (mengajak) kepada kami kepada Allah untuk meng-Esakan-Nya dan menyembah kepada-Nya, dan supaya kami melepaskan apa-apa yang kami sembah dan yang disembah oleh orang-orang tua kami dahulu yaitu barang sembahan berupa batu-batu dan arca-arca. Dan ia memerintahkan kepada kami supaya berkata jujur, menunaikan amanah orang lain, menyambung persaudaraan, berbuat baik kepada tetangga, memelihara diri dari perbuatan yang merusakkan dan menumpahkan darah. Dan ia melarang kami dari semua perbuatan yang jelek, perkataan bohong, makan harta anak yatim, dan kami dilarang menuduh jahat pada wanita yang jujur perbuatannya. Dan memerintahkan kami supaya menyembah Allah Yang Maha Esa, supaya kami tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, dan menyuruh kami melaksanakan shalat, membayar zakat, berpuasa (lalu Ja'far menyebutkan beberapa urusan Islam lagi kepada raja). Oleh sebab itu, kami lalu membenarkannya dan kami beriman kepadanya serta mengikuti apa-apa yang telah didatangkan olehnya dari Allah. Lalu kami menyembah Allah yang Maha Esa, tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, kami mengharamkan apa-apa yang Allah haramkan kepada kami, dan kami menghalalkan apa-apa yang Allah halalkan kepada kami. Lalu kaum kami memusuhi kami, mereka menyiksa kami, dan menyesatkan kami dari agama kami supaya kami kembali menyembah kepada berhala lagi dan tidak menyembah Allah, dan membolehkan semua perbutaan yang jahat-jahat, setelah mereka itu memaksa kami dan menganiaya kami serta menyempitkan kehidupan kami, dan mereka senantiasa berupaya memisahkan kami dari agama kami, maka kami keluar (pindah) ke negeri tuan; dan kami memilih tuan bukan orang yang selain tuan, serta kami senang dibawah perlindungan tuan; dan kami mengharapkan agar kami jangan sampai teraniaya dihadapan tuan, wahai baginda raja !".
Demikianlah penjelasan Ja'far bin Abu Thalib tentang agama yang dibawa oleh Nabi SAW ketika dihadapan raja Habsyi.
Islamnya Raja Habsyi ( Najasyi )
Setelah raja Najasyi mendengar dan memperhatikan penjelasan Ja'far bin Abu Thalib demikian tadi, maka ia bertanya lagi : "Apakah kamu mempunyai sesuatu dari apa yang didatangkan oleh Rasul itu ?"
Ja'far menjawab : "Ya".
Baginda raja berkata : "Coba bacakan kepadaku ! "Lantas Ja'far bin Abu Thalib membaca beberapa ayat firman Allah yang telah diturunkan kepada Nabi SAW, yang sudah dihafalnya dengan lancar : Yaitu surat Maryam ayat 1 s/d 36, yang artinya sebagai berikut :
1. Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad.
2. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria,
3. yaitu tatkala ia berdo'a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.
4. Ia berkata : "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo'a, kepada Engkau, ya Tuhanku.
5. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera,
6. yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridlai".
7. Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi khabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.
8. Zakaria berkata : "Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua",
9. Tuhan berfirman : "Demikianlah". Tuhan berfirman: "Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali".
10. Zakaria berkata : "Ya Tuhanku, berilahaku suatu tanda". Tuhan berfirman : "Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat".
11. Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka, hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.
12. Hai Yahya, ambillah Al-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak,
13. dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dari dosa). Dan ia adalah seorang yang bertaqwa,
14. dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.
15. Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan, dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.
16. Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al-Qur'an, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat disebelah timur,
17. maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka, lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma dihadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.
18. Maryam berkata : "Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertaqwa".
19. Ia (Jibril) berkata : "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci".
20. Maryam berkata : "Bagaimana akan ada bagiku sorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina !"
21. Jibril berkata : "Demikianlah". Tuhanmu berfirman : "Hal itu adalah mudah bagi-Ku, dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi masnusia dan sebagai rahmat dari Kami, dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan".
22. Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.
23. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata : "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan".
24 Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah : "Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.
25. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,
26. maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah : "Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".
27 Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata : "Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar".
28. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina",
29. maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata : "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan ?"
30. Berkata Isa : "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi,
31. dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerinahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;
32. dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.
33. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali".
34. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya.
35. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya : "Jadilah", maka jadilah ia.
36. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan-ku dan Tuhan-mu, maka sembahlah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus.
[Maryam : 1 - 36]
Kemudian, setelah raja Habsyi dan para pendeta yang ada dihadapannya mendengar ayat-ayat yang dibaca oleh shahabat Ja'far tadi, maka tiba-tiba bercucuranlah air mata baginda raja sehingga janggutnya basah; demikian juga halnya dengan para pendeta yang ada dihadapannya, mereka juga mencucurkan air mata. Dan mereka serempak berakata : "Kalimah ini sesungguhnya berasal dari sumber yang menjadi asal Kalimah junjungan kita Nabi Isa".
Kemudian raja sendiri berkata pula : "Demi Allah sesungguhnya ini dan yang dibawa oleh 'Isa, sungguh keluar dari satu sumber".
Selanjutnya raja Najasyi bersaksi dan mengatakan :
مَرْحَبًا بِكُمْ وَ بِمَنْ جِئْتُمْ مِنْ عِنْدِهِ. وَ اَنــَا اَشْهَدُ اَنــَّهُ رَسُوْلُ اللهِ، وَ اَنــَّهُ الَّذِيْ بَشَّرَ بِهِ عِيْسَى. وَ لَـوْلاَ اَنــَا فِيْهِ مِنَ اْلمُـلْكِ لاتِـيَنَّهُ حَتَّى اُقَـبِّلَ نَـعْلَهُ.
"Berbahagialah kalian dan orang yang dari sisinya kalian datang. Dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya dia itu adalah Rasul Allah, dan sesungguhnya dialah yang diberitakan dengan kegembiraan oleh Isa. Dan seandainya aku tidak di dalam tugas kerajaan, sungguh aku akan datang kepadanya sehingga aku bisa mencium sandalnya"
Allah telah menolong hamba-hamba-Nya dan menguatkan mereka sementara kedua utusan Quraisy mendapat kekalahan yg hina. Akan tetapi Amr bin Ash seorang yg lihai dan ulung yg penuh dgn tipu muslihat licik tidak hendak menyerah begitu saja apalagi berputus asa. Begitu ia kembali bersama temannya ke tempat tinggalnya tak habis-habisnya ia berpikir dan memutar otak dan akhirnya berkata kepada temannya “Demi Allah besok aku akan kembali menemui Negus akan kusampaikan kepada baginda keterangan-keterangan yg akan memukul kaum muslimin dan membasmi urat akar mereka.” Teman-temannya menjawab “Jangan lakukan itu bukankah kita masih ada hubungan keluarga dgn mereka sekalipun mereka berselisih paham dgn kita.” Jawab Amr “Demi Allah akan kuberitakan kepada Negus bahwa mereka mendakwakan Isa anak Maryam itu manusia biasa seperti manusia yg lainnya.” Inilah rupanya tipu muslihat baru yg telah diatur oleh utusan Quraisy terhadap kaum Muslimin utk memojokkan mereka ke sudut yg sempit dan utk menjauhkan mereka ke lembah yg curam. Seandainya orang Islam terang-terangan mengatakan bahwa Isa itu salah seorang hamba Allah seperti manusia lainnya pasti hal ini akan membangkitkan kemarahan dan permusuhan raja. Sebaliknya jika mereka meniadakan pada Isa ujud manusia biasa niscaya keluarlah mereka dari aqidah agama mereka. Besok paginya kedua utusan itu segera menghadap Raja dan berkata kepadanya “Wahai Sri Paduka! orang-orang Islam itu telah mengucapkan suatu ucapan keji yg merendahkan kedudukan Isa.” Para pendeta dan kaum agama menjadi geger dan gempar.
Gambaran dari kalimat itu cukup menggoncangkan Negus dan para pengikutnya. Mereka memanggil orang-orang Islam sekali lagi utk menanyai bagaimana sebenarnya pandangan agama Islam tentang Isa al Masih. Sebelum datang orang-orang Islam duduk berunding utk menentukan sikap terbaiknya dalam menghadapi situasi semacam ini. Akhirnya memperoleh kata sepakat utk menyatakan yg haq saja sebagaimana yg mereka dengar dari Nabi Muhammad saw. Mereka tak hendak menyimpang serambut pun dari padanya dan biarlah apa yg akan terjadi.
Pertemuan baru pun diadakan. Negus mulai melakukan percakapan dgn bertanya kepada Ja’far bin Abi Thalib “Bagaimana pandangan kalian terhadap Isa?” Ja’far bin Abi Thalib bangkit sekali lagi laksana menara laut yg memancarkan sinar terang ujarnya “Kami akan mengatakan tentang Isa as sesuai dgn keterangan yg dibawa Nabi kami Muhammad saw bahwa Ia adl seorang hamba Allah dan Rasul-Nya serta kalimah-Nya yg ditiupkan-Nya kepada Maryam dari pada-Nya.” Negus bertepuk tangan tanda setuju seraya mengumumkan memang demikianlah yg dikatakan al Masih tentang dirinya. Tetapi pada barisan pembesar agama yg lain terjadi hiruk-pikuk seolah-oleh melihat ketidaksetujuan mereka.
Negus yg terpelajar lagi beriman terus melanjutkan bicaranya seraya berkata kepada orang-orang Islam “Silakan sekalian Anda hidup bebas di negeriku! Siapa berani mencela dan menyakiti Anda orang itu akan mendapat hukuman yg setimpal dgn perbuatannya itu.” Kemudian Negus berpaling kepada orang-orang besarnya yg terdekat lalu sambil mengisyaratkan dgn telunjuknya ke arah kedua utusan kaum Quraisy berkatalah ia “Kembalikan hadiah-hadiah itu kepada kedua orang ini! Aku tak membutuhkannya! Demi Allah Allah tak pernah mengambil uang sogokan dari padaku di kala ia mengaruniakan takhta ini kepadaku krn itu aku pun tak akan menerimanya dalam hal ini.” Kedua kalinya kedua utusan Quraisy itu pun pergi keluar meninggalkan tempat pertemuan dgn perasan hina dan terpukul. Mereka segera memalingkan arah perjalanannya pulang menuju Mekah.
Orang-orang Islam pun keluar di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib utk memulai kehidupan baru di tanah Ethiopia yakni penghidupan yg aman tenteram sebagaimana mereka katakan “Dinegeri yg baik dgn tetangga yg baik” hingga akhirnya datang saatnya Allah mengizinkan mereka kembali kepada Rasul mereka kepada sahabat dan handai taulan serta kampung halaman mereka.
WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA
JIKA PEMERINTAH JATUH PADA KEKAFIRAN???
Para ulama telah sepakat bahwa jabatan imamah tidak boleh diserahkan kepada orang kafir, sebagaimana dikatakan oleh Al-Qadli ’Iyadl :
أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر
”Para ulama telah bersepakat bahwasannya imamah tidak bisa diserahkan kepada orang kafir” [Syarh Shahih Muslim juz 12 hal. 229].
Ibnu Hajar berkata :
انه ينعزل بالكفر إجماعا فيجب على كل مسلم القيام في ذلك فمن قوي على ذلك فله الثواب ومن داهن فعليه الإثم ومن عجز وجبت عليه الهجرة من تلك الأرض
”Bahwasannya mencopot (seorang pemimpin) karena kekufuran merupakan ijma’. Maka wajib bagi setiap muslim untuk melakukan hal tersebut. Barangsiapa yang mampu melakukanya, maka ia mendapatkan pahala. Barangsiapa yang tidak mau melakukannya (padahal dia mampu), maka ia mendapatkan dosa. Dan barangsiapa yang lemah (tidak memiliki kemampuan), maka ia harus berhijrah meninggalkan negeri tersebut” [Fathul-Bari juz 13 syarah hadits no. 6725].
Al-Qadli Abu Ya’la Al-Hanbaly berkata : ”Jika pemimpin menjadi kufur setelah iman, berarti dia harus diturunkan dari tampuk kepemimpinannya. Tidak ada perbedaan pendapat tentang masalah ini, karena dia sudah dianggap keluar dari agama. Bahkan dia harus dibunuh” [Al-Mu’tamad fii Ushuuliddiin hal. 243].
عن جنادة بن أبي أمية قال دخلنا على عبادة بن الصامت وهو مريض قلنا أصلحك الله حدث بحديث ينفعك الله به سمعته من النبي صلى الله عليه وسلم قال دعانا النبي صلى الله عليه وسلم فبايعناه فقال فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن ترو كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
Dari Junadah bin Abi Umayyah radliyallaahu ’anhu ia berkata : Kami masuk ke rumah ’Ubadah bin Ash-Shaamit ketika ia dalam keadaan sakit dan kami berkata kepadanya : ’Sampaikan hadits kepada kami – aslahakallah – dengan hadits yang kau dengar dari Rasulullahshallallaahu ’alaihi wasallam yang dengannya Allah akan memberi manfaat kepada kami”. Maka ’Ubadah bin Ash-Shaamit berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil kami kemudian membaiat kami. Dan diantara baiatnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara sewenang-wenang. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari ahlinya (orang yang berhak). Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam berkata : ”Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah” [HR. Bukhari no. 6647].
Ibnu Hajar berkata :
قال النووي المراد بالكفر هنا المعصية ومعنى الحديث لا تنازعوا ولاة الأمور في ولايتهم ولا تعترضوا عليهم إلا أن تروا منهم منكرا حققا تعلمونه من قواعد الإسلام فإذا رأيتم ذلك فانكروا عليهم وقولوا بالحق حيثما كنتم انتهى وقال غيره المراد بالإثم هنا المعصية والكفر فلا يعترض على السلطان إلا إذا وقع في الكفر الظاهر
”Telah berkata An-Nawawi : Yang dimaksudkan dengan kufur di sini adalah kemaksiatan. Jadi makna hadits adalah : Jangan kalian menentang ulil-amri (pemimpin/penguasa) dalam kekuasaan mereka dan janganlah kalian membangkang kecuali apabila kalian melihat kemungkaran yang nyata dari mereka, yang kalian ketahui bahwa hal itu termasuk sendi-sendi Islam (min qawaa’idil-Islaam). Apabila kalian melihat yang demikian itu, maka ingkarilah dan sampaikanlah yang benar dimanapun kalian berada” – selesai –.[Di sini (dalam kitab Fathul-Bari) Ibnu Hajar menukil perkataan An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim hanya sampai kalimat ini. Kami tambahkan, dalam Syarah Shahih Muslim terdapat kalimat setelahnya yang masih terkait dengan bahasan yaitu beliau berkata : ”Adapun memerangi dan memusuhi mereka (pemimpin), tidak diperbolehkan berdasarkan ijma’ ulama muslimin, meskipun penguasa itu termasuk orang-orang yang fasiq dan dhalim” [Syarah Shahih Muslim juz 12 hal. 229].] (Ibnu Hajar melanjutkan : ) Dan berkata ulama selain beliau (An-Nawawi) : ”Bahwasannya yang dimaksudkan dengan dosa adalah kemaksiatan dan kekufuran. Maka dari itu, tidak diperbolehkan melakukan penyerangan kepada sulthan kecuali bila ia telah terjatuh dalam kekufuran yang nyata” [selesai – Fathul-Bari juz 13 penjelasan hadits no. 6647].
Beliau melanjutkan :
والذي يظهر حمل رواية الكفر على ما إذا كانت المنازعة في الولاية فلا ينازعه بما يقدح في الولاية الا إذا ارتكب الكفر وحمل رواية المعصية على ما إذا كانت المنازعة فيما عدا الولاية فإذا لم يقدح في الولاية نازعه في المعصية بأن ينكر عليه برفق ويتوصل الى تثبيت الحق له بغير عنف ومحل ذلك إذا كان قادرا والله أعلم ونقل بن التين عن الداودي قال الذي عليه العلماء في أمراء الجور أنه إن قدر على خلعه بغير فتنة ولا ظلم وجب والا فالواجب الصبر وعن بعضهم لا يجوز عقد الولاية لفاسق ابتداء فان أحدث جورا بعد أن كان عدلا فاختلفوا في جواز الخروج عليه والصحيح المنع إلا أن يكفر فيجب الخروج عليه
”Dan yang jelas adalah membawa riwayat (yang menyatakan tentang) kekafiran dalam konteks bolehnya merebut kekuasaan, sehingga tidak boleh direbut semata karena adanya faktor yang menodai kekuasaannya tersebut, kecuali jika ia melakukan kekufuran. Dan membawa riwayat (yang menyatakan tentang) kemaksiatan untuk merebut urusan di luar kekuasaan. Apabila kekuasannya tidak ternoda (dengan satu kekufuran), namun di sisi lain ia terkena satu kemaksiatan, maka cara menghilangkannya adalah dengan pengingkaran yang lemah-lembut dan mengantarkannya pada kebenaran tanpa kekerasan. Itu jika ia mampu.Wallaahu a’lam. Dan dinukil dari Ibnut-Tiin dari Ad-Dawudi bahwasannya ia berkata : ”Yang menjadi kewajiban ulama kepada para pemimpin yang dhalim/jahat yaitu jika ia mampu untuk menurunkannya dari jabatannya tanpa menimbulkan fitnah dan kedhaliman, maka ia wajib melakukannya. Sebaliknya, jika ia tidak mampu, maka wajib untuk bersabar”. Dan dari selainnya : “Pada asalnya, tidak diperbolehkan untuk memberikan kekuasaan kepada orang yang fasiq. Apabila ia melakukan kedhaliman setelah sebelumnya ia seorang yang ‘adil, maka mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang kebolehan keluar dari ketaatan darinya. Dan yang benar adalah larangan untuk keluar dari ketaatan darinya (memberontak) kecuali bila ia telah kafir. Maka dalam hal ini wajib untuk keluar dari ketaatan kepadanya” [selesai – idem].
Berkata Al-Kirmaniy sebagaimana dinukil Badruddin Al-’Aini :
وقال الكرماني الظاهر أن الكفر على ظاهره
”Dan Al-Kirmany berkata secara dhahirnya, yaitu bahwa kufur di sini adalah kufur secara dhahir (kufur akbar)” [’Umdatul-Qaari oleh Al-’Aini juz 24 hal. 342; Maktabah Al-Misykah].
Para ulama menjelaskan bahwa bolehnya untuk keluar dari ketaatan dan memerangi penguasa adalah karena penguasa tersebut telah melakukan kekufuran (kufur akbar) yang menyebabkan ia menjadi kafir. Itulah yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar setelah membawakan beberapa riwayat tentang lafadh hadits (kufran bawaahan, kufran shuraahan, ma’shiyatallaahi bawaahan, dan itsmin bawaahan). Lafadh-lafadh hadits itu saling menjelaskan satu sama lain. Lafadh kufur lebih khusus/spesifik daripada lafadh maksiat ataupun dosa. Perkataan An-Nawawi sebagaimana tertulis di atas (yaitu perkataannya : ”kecuali apabila kalian melihat kemungkaran yang nyata dari mereka, yang kalian ketahui bahwa hal itu termasuk sendi-sendi Islam / min qawaa’idil-Islaam”), maka itupun juga tidak bertentangan dengan makna kufur. Orang yang mengerjakan kemaksiatan yang jelas yang termasuk dalam sendi-sendi Islam, maka sudah dimaklumi bahwa ia bisa terjatuh dalam kekufuran. Akan tetapi hal ini memerlukan tafshil (perincian).
[An-Nawawi berkata ketika menafsirkan hadits afalaa nuqaatiluuhum ? Qaala : Laa maa shalluu :
عدم جواز الخروج على الخلفاء بمجرد الظلم أو الفسق ما لم يغيروا شيئًا من قواعد الإسلام
”(Hadits tersebut merupakan) peniadaan kebolehan untuk keluar dari ketaatan penguasa dengan sebab kedhaliman atau kefasiqan semata, selama mereka (penguasa) tidak mengubah sesuatupun dari sendi-sendi pokok Islam” [Syarah Shahih Muslim juz 12 hal. 243].
Nah, An-Nawawi mengisyaratkan sendi pokok yang dimaksud adalah penegakan shalat].
Telah berlalu perkataan para ulama yang menyatakan bahwa sekedar kemaksiatan saja tidak boleh menjadi sebab mengangkat senjata kepada penguasa. Dan telah menjadi kemafhuman bagi para ulama dan penuntut ilmu, kemaksiatan yang dilakukan terang-terangan tidaklah selalu berkonsekuensi pada kekufuran.
إنه يستعمل عليكم أمراء فتعرفون وتنكرون فمن كره فقد برئ ومن أنكر فقد سلم ولكن من رضي وتابع قالوا يا رسول الله ألا نقاتلهم قال لا ما صلوا أي من كره بقلبه وأنكر بقلبه
”Akan diangkat para penguasa untuk kalian. Lalu engkau mengenalinya dan kemudian engkau mengingkarinya (karena ia telah berbuat maksiat). Barangsiapa yang benci, maka ia telah berlepas tangan. Barangsiapa yang mengingkarinya, sungguh ia telah selamat. Akan tetapi, lain halnya dengan orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut”. Para shahabat bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya ?”. Beliau menjawab : ”Tidak, selama mereka mengerjakan shalat”. Yaitu barangsiapa yang membenci dan mengingkari dengan hatinya” [HR. Muslim no. 1854].
Hadits di atas memberikan satu pengetahuan bagi kita bahwa penguasa yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam adalah penguasa muslim yang melakukan kemungkaran. Kalimat fata’rifuuna wa tunkiruuna menunjukkan bahwa lafadh umum, yaitu kemunkaran yang dilakukan oleh penguasa itu terlihat, baik langsung ataupun tidak langsung, oleh rakyat. Pemahaman ini sangat mudah terambil dari hadits. Tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa kemunkaran yang terkandung dalam hadits ini dibatasi oleh makna kemunkaran yang dilakukan sembunyi-sembunyi. Apalagi jika dikaitkan dengan hadits kemunculan atsarah (penguasa dhalim). Sangat jelas dipahami bahwa kedhaliman para atsarah tersebut nampak secara dhuhuran (terang-terangan). Bukan sembunyi-sembunyi. Bila sembunyi-sembunyi, tentu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak akan berpesan untuk bersabar terhadap kedhaliman mereka.
Sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kaum takfiriyyun. Perhatikan hadits Abu Bakrah berikut :
عن زياد بن كسيب العدوي قال كنت مع أبي بكرة تحت منبر بن عامر وهو يخطب وعليه ثياب رقاق فقال أبو بلال انظروا إلى أميرنا يلبس ثياب الفساق فقال أبو بكرة اسكت سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من أهان سلطان الله في الأرض أهانه الله
Dari Ziyad bin Kusaib Al-’Adawy ia berkata : ”Aku bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu ’Amir. Sedangkan Ibnu ’Amir berkhutbah dengan pakaian yang tipis (pakaian orang fasiq). Abu Bilal (salah seorang gembong Khawarij) berkata : ”Lihatlah pemimpin kita, dia berpakaian dengan pakaiannya orang fasiq”. Kemudian Abu Bakrah radliyallaahu ’anhu berkata : ”Diam kamu !! Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di bumi, maka Allah akan hinakan orang itu” [HR. Tirmidzi no. 2224 dan Ibnu Abi ’Ashim no. 1024; shahih].
Abu Bilal, ia adalah Mirdas bin Udayyah, salah seorang gembong Khawarij. Hal ini dikatakan oleh Al-Hafidh Al-Mizzy (guru Ibnu Hajar) dalam catatan kaki kitabnya : Tahdzibul-Kamal juz 7 hal. 399.
Apa yang dilakukan oleh Abu Bakrah radliyallaahu ’anhu ketika melihat seorang pemimpin yang melakukan kefasiqan di muka umum (bahkan dilakukannya ketika di depan rakyat banyak di atas mimbar) ? Dan apa pula yang dilakukan ketika ada orang yang mencelanya secara terang-terangan terhadap kefasiqan penguasa tersebut ? Mendorongnya untuk memberontak ? Tidak tercatat dalam kitab-kitab tarikh (setahu kami) bahwa shahabat Abu Bakrah ini terlibat fitnah peperangan dengan penguasa.
Contoh baik adalah sebagaimana fitnah yang terjadi di masa Imam Ahmad dimana kefasiqan, kemunkaran, dan kemaksiatan merajalela secara terang-terangan. Para imam pakar sejarah telah me-report apa yang terjadi di masa Imam Ahmad (pada Dinasti ’Abbasiyyah). Bahkan aqidah Jahmiyyah dilindungi oleh penguasa. Orang-orang dipaksa untuk mengakui aqidah ini. Namun, adakah para ulama mu’tabar waktu itu yang memaklumkan kebolehan untuk melawan penguasa. Tidak !! Sungguh picik jika ada orang yang menganggap Imam Ahmad dan para ulama semasanya memerintahkan untuk memberontak kepada penguasa. Penguasa melakukan berbagai kemunkaran tersebut berdasarkan kebodohannya akibat pengaruh para pembantunya dari kalangan Mu'tazillah. Belum terpenuhi syarat-syarat kekafiran pada diri penguasa sehingga mengharuskan jatuhnya vonis takfir serta fatwa kebolehan memberontak darinya.
Bagaimana halnya Jika Penguasa Memberlakukan Undang-Undang Buatan dalam Menjalankan Pemerintahannya ?
Beberapa orang atau kelompok ketika mengulas pembahasan tasyri’ ’aam dan tabdiil yang bermuara pada pembuatan dan pemberlakukan undang-undang keduniaan menegaskan akan kekafiran penguasa sehingga membolehkan adanya pemberontakan/keluar dari ketaatan. Mereka menyatakan bahwa penguasa tersebut telah kafir karena membuat dan/atau menjalankan hukum selain dari hukum Allah, dimana hal itu merupakan kekufuran yang nyata dalam kaca mata syari’at.
Permasalahan ini telah dibahas oleh para ulama ketika mereka membahas Al-Hukmu bi-Ghairi Maa Anzalallaah (Berhukum dengan hukum selain yang diturunkan Allah). Mereka membahas bahasan tasyri’ aam dan qadliyyah mu’ayyanah dalam satu lingkup bahasan. Allah telah berfirman :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
”Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [QS. Al-Maaidah : 44].
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
”Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Maaidah : 45].
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
”Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Maaidah : 47].
Ayat-ayat hukum di atas berlaku pada semua jenis manusia, baik aamir (pemimpin) ataupun ma’mur (yang dipimpin/rakyat). Tidak ada pengkhususan bahwa ayat tersebut hanya berlaku pada satu golongan manusia dan tidak bagi yang lain. Kita semua paham – insya Allah – bahwasannya berhukum dengan hukum Allah itu mencakup segala hal (aqidah, hukum, akhlaq, dan yang sebagainya); karena kalimat maa anzalallah (apa-apa yang diturunkan Allah) meliputi semua isi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semua hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hal itu dinamakan ghairu maa anzalallaah (selain yang diturunkan Allah). Jika ada orang yang berpandangan dengan pemutlakan kekafiran (kufur akbar) terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka konsekuensinya dia akan mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin, dan mungkin juga termasuk dirinya. Ia akan mengkafirkan pada setiap pelaku kemaksiatan seperti pembohong, pencuri, pezina, dan yang lain-lain. Tidak diragukan lagi ini adalah i’tiqad (keyakinan) yang salah yang merupakan warisan kaum sesat Khawarij dan Mu’tazillah. Al-Imam Ibnu Hazm telah mengisyaratkan hal ini dengan perkataannya :
فإن الله عز وجل قال : ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون ، ومن لم يحكم بما أنز الله فأولئك هم الفاسقون ، ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون . فليلزم المعتزلة أن يصرحوا بكفر كل عاص وظالم وفاسق لأن كل عامل بالمعصية فلم يحكم بما أنزل الله
“Sesungguhnya Allah telah berfirman : Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim. Maka konsekuensi bagi Mu’tazillah, hendaknya mereka mengkafirkan setiap pelaku kemaksiatan, kedhaliman, dan kefasikan; karena setiap pelaku kemaksiatan itu tidaklah berhukum dengan apa yang diturunkan Allah” [Al-Fishaal juz 3 hal. 234].
Ahlus-Sunnah telah sepakat bahwa bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu jatuh padanya kufur akbar yang menyebabkan keluar dari agama. Bisa jadi perbuatan tersebut merupakan kufur ashghar yang tidak sampai mengeluarkannya dari agama (tapi ia tetap merupakan dosa besar yang wajib bagi seseorang untuk bertaubat).
Al-Imam Ibnu ’Abdil-Barr Al-Andalusy berkata :
أجمع العلماء على أن الجور في الحكم من الكبائر لمن تعمَّد ذلك عالماً به
”Para ulama telah sepakat bahwa kecurangan dalam menghukumi termasuk dosa-dosa besar bagi siapa saja yang melakukannya dengan sengaja dalam keadaan mengetahui hukumnya (tanpa adanya pengingkaran dan penghalalan)...”[At-Tamhid juz 17 hal. 16].
Al-Imam Abu Bakr Al-Ajurri berkata :
ومما يتبع الحرورية من المتشابه قول الله عز وجل { وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} ويقرءون معها {ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ} فإذا رأوا الإمام الحاكم يحكم بغير الحق قالوا: قد كفر ، ومن كفر عدل بربه فقد أشرك، فهؤلاء الأئمة مشركون ، فيخرجون فيفعلون ما رأيت ؛ لأنهم يتأولون هذه الآية
”Di antara ayat-ayat mutasyaabihaat yang diikuti oleh orang-orang Haruriyyah (Khawarij) adalah firman Allah ’azza wa jalla : "Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir” [QS. Al-Maaidah : 44]. Dan mereka juga menyertakan ayat : ”Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka” [QS. Al-An’aam : 1]. Jika mereka melihat seorang penguasa/hakim yang menghukumi dengan tidak haq maka mereka berkata : ’Dia telah kafir, dan barangsiapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb-nya, maka sungguh ia telah musyrik. Para penguasa ini merupakan orang-orang musyrikin”. Maka mereka memberontak dan melakukan hal yang engkau lihat, karena mereka menakwilkan ayat ini” [Asy-Syari’ah hal. 18; Maktabah Al-Misykah].
Al-Imam Abu Hayyan Al-Andalusi berkata :
واحتجت الخوارج بهذه الآية على أن كل من عصى الله تعالى فهو كافرٌ وقالوا هي نص في كل من حكم بغير ما أنزل الله فهو كافر
”Orang-orang Khawarij berargumen dengan ayat ini bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah maka dia telah kafir. Dan mereka berkata : ”Ia adalah nash bagi setiap orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, maka dia kafir” [Al-Bahrul-Muhithjuz 3 hal. 493].
Muhammad Rasyid Ridla berkata :
أما ظاهر الآية لم يقل به أحدٌ من أئمة الفقه المشهورين . بل لم يقل به أحدٌ قط
”Adapun dhahir ayat ini, maka tidak ada seorangpun dari para imam fiqh yang masyhur yang berpendapat dengannya. Bahkan tidak ada seorangpun yang berpendapat dengannya” [Tafsir Al-Manar juz 6 hal. 406].
Para ulama di atas (dan masih banyak yang lain) menjelaskan tentang manhaj Khawarij (dan Mu’tazillah) dimana mereka menggunakan ayat tersebut untuk memutlakkan setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa perincian yang dikenal di kalangan ulama Ahlus-Sunnah. Mereka menghantam kaum muslimin (terutama para penguasa) yang melakukan kabaair (dosa-dosa besar) dengan kekafiran. Adapun para ulama Ahlus-Sunnah telah memberikan penjelasan tentang tafsir ayat {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ } sebagai berikut :
Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhu berkata :
من جحد ما أنزل الله فقد كفر, ومن أقرّ به ولـم يحكم فهو ظالـم فـاسق
”Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang mengikrarkannya namun tidak berhukum dengannya, maka ia seorang yang dhalim dan fasiq” [Tafsir Ath-Thabari QS. Al-Maidah : 44].
Abu Ja’far Ath-Thabari berkata :
وأولـى هذه الأقوال عندي بـالصواب, قول من قال: نزلت هذه الاَيات فـي كافر أهل الكتاب, لأن ما قبلها وما بعدها من الاَيات ففـيهم نزلت وهم الـمعِنـيون بها, وهذه الاَيات سياق الـخبر عنهم, فكونها خبرا عنهم أولـى. فإن قال قائل: فإن الله تعالـى ذكره قد عمّ بـالـخبر بذلك عن جميع من لـم يحكم بـما أنزل الله, فكيف جعلته خاصّا؟ قـيـل: إن الله تعالـى عمّ بـالـخبر بذلك عن قوم كانوا بحكم الله الذي حكم به فـي كتابه جاحدين فأخبر عنهم أنهم بتركهم الـحكم علـى سبـيـل ما تركوه كافرون. وكذلك القول فـي كلّ من لـم يحكم بـما أنزل الله جاحدا به, هو بـالله كافر, كما قال ابن عبـاس
”Yang lebih benar dari perkataan-perkataan ini menurutku adalah adalah, perkatan orang yang mengatakan bahwa : ”Ayat ini turun pada orang-orang kafir dari Ahli Kitab, karena sebelum dan sesudah (ayat tersebut) bercerita tentang mereka. Merekalah yang dimaksudkan dalam ayat ini. Dan konteks ayat ini juga mengkhabarkan tentang mereka. Sehingga keberadaan ayat ini sebagai khabar tentang mereka lebih didahulukan”. Apabila ada yang berkata : ”Sesungguhnya Allah ta’ala menyebutkan ayat ini bersifat umum bagi setaip orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bagaimana engkau bisa menjadikan ayat ini khusus (berlaku pada orang Yahudi) ?”. Maka kita katakan : ”Sesungguhnya Allah menjadikan keumuman tentang suatu kaum yang mereka itu mengingkari hukum Allah yang ada dalam Kitab-Nya, maka Allah mengkhabarkan tentang mereka bahwa dengan sebab mereka meninggalkan hukum Allah mereka menjadi kafir. Demikian juga bagi mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah dalam keadaan mengingkarinya, maka dia kafir sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ’Abbas...” [Tafsir Ath-Thabari QS. Al-Maidah : 44].
Abul-’Abbas Al-Qurthubi (guru mufassir Abu ’Abdillah Al-Qurthubi penulis Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’an) berkata :
وقوله تعالى : { ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون )) ؛ يحتجُّ بظاهره من يُكفِّرُ بالذنوب ، وهم الخوارج ، ولا حجَّة لهم فيه ؛ لأنَّ هذه الآيات نزلت في اليهود المحرفين كلام الله تعالى ، كما جاء في هذا الحديث ، وهم كفار ، فيشاركهم في حكمها من يشاركهم في سبب نزولها . وبيان هذا : أن المسلم إذا علم حكم الله تعالى في قضيَّة قطعًا ، ثم لم يحكم به ؛ فإن كان عن جَحْدٍ كان كافرًا ، لا يختلف في هذا . وإن كان لا عن جَحْدٍ كان عاصيًا مرتكب كبيرة ؛ لأنَّه مصدق بأصل ذلك الحكم ، وعالم بوجوب تنفيذه عليه ، لكنه عصى بترك العمل به ، وهكذا في كل ما يعلم من ضرورة الشرع حكمه ، كالصلاة ، وغيرها من القواعد المعلومة . وهذا مذهب أهل السُّنه. وقد تقدم ذلك في كتاب الإيمان ؛ حيث بيَّنَّا : أن الكفر هو الجحد والتكذيب بأمرٍ معلوم ضروري من الشرع ، فما لا يكن كذلك فليس بكفر . ومقصود هذا البحث : أن هذه الآيات المراد بها : أهل الكفر ، والعناد . وأنها كانت ألفاظها عامة ، فقد خرج منها المسلمون ؛ لأنَّ ترك العمل بالحكم مع الإيمان بأصله هو دون الشرك . وقد قال تعالى : { إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء }. وترك الحكم بذلك ليس بشرك بالاتفاق ، فيجوز أن يُغفر ، والكفر لا يُغفر ، فلا يكون ترك العمل بالحكم كفرًا
”Firman Allah ta’ala : Barang siapa yang tidak berhukum/memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir [QS. Al-Maaidah : 44]. Dhahir ayat ini dijadikan hujjah bagi orang yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa (yaitu khawarij), padahal tidak ada hujjah bagi mereka pada ayat tersebut. Karena ayat-ayat ini turun pada orang Yahudi yang menyelewengkan firman Alah ta’ala, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits, dan mereka adalah orang-orang kafir. Maka orang-orang yang semisal dengan mereka yang menjadi sebab turun ayat ini, sama pula hukumnya. Penjelasannya adalah : Sesungguhnya seorang muslim bila dia mengetahui hukum Allah ta’ala pada perkara tertentu, kemudian dia tidak menjalankannya, jika hal itu dilakukan karena pengingkarannya (terhadap hukum tersebut), maka dia kafir dan ini tidak diperselisihkan lagi. Namun jika tidak demikian (tidak mengingkari), maka dia termasuk orang yang berbuat dosa besar, karena dia masih mengakui pokok hukum tersebut dan mengetahui kewajiban menjalankan hukum tersebut, tapi dia bermaksiat dengan meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan perkara-perkara yang hukumnya sudah diketahui dengan gamblang dari syari’at ini seperti shalat dan selainnya berupa kaidah-kaidah yang sudah dimaklumi. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah. Hal ini telah berlalu pembahasannya dalam Kitaabul-Iman dimana kami telah menjelaskanya : Bahwasannya kekufuran itu adalah kufur juhd (pengingkaran) dan takdzib (pendustaan) terhadap perkara-perkara yang telah diketahui secara dlaruri dalam syari’at. Apabila keadaannya tidaklah seperti itu, maka ia bukanlah kekufuran (yang mengeluarkan dari Islam). Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa ayat-ayat ini ditujukan kepada orang-orang kafir dan yang menentang, walaupun lafadhnya umum, tapi kaum muslimin tidak termasuk dalam ayat ini. Hal itu dikarenakan tidak menjalankan hukum Allah bersamaan dengan masih adanya iman terhadap pokok hukum tersebut, masih berada pada posisi di bawah dosa syirik. Dan Allah telah berfirman : ”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni orang yang berbuat syirik tapi Dia mengampuni dosa selain syirik bagi yang dikehendakinya” [QS. An-Nisaa’ : 48]. Adapun meninggalkan hukum yang demikian bukanlah termasuk syirik menurut kesepakatan. Oleh karena itu, dia berhak untuk mendapatkan ampunan. Adapun kekufuran, tidak ada ampunan baginya. Maka meninggalkan berhukum dengan hukum Allah bukan termasuk kekafiran” [Al-Mufhim limaa Asykala min Talkhiisi Kitaabi Muslim juz 4 hal. 150].
Abu Abdillah Al-Qurthubi berkata :
قال ابن مسعود والحسن: هي عامة في كل من لم يحكم بما أنزل الله من المسلمين واليهود والكفار أي معتقدا ذلك ومستحلا له؛ فأنا من فعل ذلك وهو معتقد أنه راكب محرم فهو من فساق المسلمين، وأمره إلى الله تعالى إن شاء عذبه، وإن شاء غفر له
Telah berkata Ibnu Mas’ud dan Al-Hasan : "Hal itu bersifat umum bagi setiap orang yang yang tidak berhukum/memutuskan hukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dari kalangan muslimin, orang Yahudi, dan orang kafir. Yaitu jika meyakini atau menghalalkan (berhukum dengan selain hukum Allah), maka ia kafir. Namun barangsiapa yang mengerjakan hal tersebut dan dia meyakini bahwa dia mengerjakan larangan, maka dia termasuk orang-orang muslim yang fasiq dan perkaranya di tangan Allah. Jika Dia menghendaki, maka akan diadzab; dan jika tidak, maka Dia akan mengampuninya” [Lihat Al-Jami’ li-Ahkaamil-Qur’an juz 6 hal. 190; tafsir QS. Al-Maidah : 44].
Ibnul-Jauzi berkata :
أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحدا له، وهو يعلم أن الله أنزله، كما فعلت اليهود، فهو كافر، ومن لم يحكم به ميلا إلى الهوى من غير جحود، فهو ظالم وفاسق. وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس أنه قال: من جحد ما أنزل الله فقد كفر، ومن أقر به ولم يحكم به فهو فاسق وظالم
"(Kesimpulannya), bahwa barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dalam keadaan mengingkari akan kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allah-lah yang menurunkannya – seperti orang Yahudi – maka orang ini kafir. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah karena condong pada hawa nafsunya - tanpa adanya pengingkaran – maka dia itu dhalim dan fasiq. Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata : ‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi tidak berhukum dengannya, maka dia itu dhalim dan fasiq" [lihat Zaadul-Masiir juz 2 hal. 366].
Dan lain-lain. Semua menjelaskan adanya perincian, yaitu :
1. Jika orang tersebut berhukum/memutuskan hukum dengan selain hukum Allah dalam keadaan tetap meyakini kewajibannya dan membenarkan hukum Allah, maka orang tersebut tidaklah kafir. Ia adalah seseorang yang melakukan dosa besar atau kufur ashghar.
2. Jika orang tersebut berhukum/memutuskan hukum dengan selain hukum Allah dalam keadaan mengingkari kewajibannya dan menghalalkan dalam hati apa yang ia perbuat (berhukum dengan selain hukum Allah), maka tidak syakk (ragu) tentang kekafirannya.
Perkara pengkafiran dalam perkara ini adalah masalah i’tiqady yang tidak bisa serta merta dihukumi dengan dhahirnya saja. Tidak bisa orang hanya menilai dari apa yang tampak sehingga ia mengatakan (misalnya) : ”Ia telah mengingkari hukum Allah” atau ”Ia telah menghalalkan hukum sekuler” yang kemudian dengan itu ia menjustifikasi kekafiran terhadap orang tersebut. Dari mana ia bisa tahu padahal semua itu terkait dengan i’tiqad (keyakinan) dalam hati ? Maka, penentuan hukum kafir ini tidaklah dengan serta merta. Harus ada tahapan penegakan hujjah (iqaamatul-hujjah), dihilangkannya syubhat (izaalatusy-syubuhaat), dan terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran.Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan :
وليس لأحد أن يكفر أحدًا من المسلمين ـ وإن أخطأ وغلط ـ حتي تقام عليه الحجة، وتبين له المحَجَّة، ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك، بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة، وإزالة الشبهة.
“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah juz 12 halaman 135].
Dalil yang melandasi adalah firman Allah ta’ala :
وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُضِلّ قَوْماً بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتّىَ يُبَيّنَ لَهُم مّا يَتّقُونَ إِنّ اللّهَ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [QS. At-Taubah : 115].
كُلّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَآ أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ * قَالُواْ بَلَىَ قَدْ جَآءَنَا نَذِيرٌ فَكَذّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزّلَ اللّهُ مِن شَيْءٍ إِنْ أَنتُمْ إِلاّ فِي ضَلاَلٍ كَبِيرٍ
Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?". Mereka menjawab: "Benar ada", sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan: "Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar." [QS. Al-Mulk : 8-9].
Dan perlu menjadi catatan penting adalah bahwa tegaknya hujjah itu tidak hanya sekedar hujjah tersebut sampai kepadanya. Tapi hal itu mensyaratkan kepahaman dari orang tersebut (atas hujjah yang disampaikan). Nah, jika demikian, penerapan ataupun pelaksanaan beberapa hukum selain hukum Allah (seperti banyak kita dapatkan kenyataannya pada jaman sekarang) tidaklah selalu mengharuskan kekafiran pada pelakunya. Konsekuensinya, perbuatan tidak berhukum dengan hukum Allah itu tidak selalu ada dalam lingkup kufran bawaahan atau kufran shuraahan, baik dilakukan secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi.
Ada satu hadits yang nampaknya perlu mendapatkan perhatian kita bersama.
عن جابر رضى الله تعالى عنه قال النبي صلى الله عليه وسلم حين مات النجاشي مات اليوم رجل صالح فقوموا فصلوا على أخيكم أصحمة
Dari Jabir radliyallaahu ’anhu : Telah berkata Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pada waktu raja Najasyi meninggal dunia : ”Sesungguhnya pada hari ini seorang laki-laki yang shalih meninggal dunia, maka berdirilah kalian dan shalatkanlah saudaramu Ashhamah” [HR. Bukhari no. 3664 dan Muslim no. 952].
Dalam hadits tersebut terkandung suatu hukum yang agung dimana seorang penguasa yang tidak menerapkan hukum Islam pada rakyatnya tidaklah selalu dikatakan kafir. Bahkan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menisbatkan keshalihan padanya. Mungkin ada sebagian orang yang akan berkomentar :
( - ) An Najasyi tidak divonis kafir karena ia tidak mampu untuk menerapkan hukum islam, beda halnya dengan pemerintahan yang ada pada jaman sekarang, terlebih-lebih pemerintahan yang mayoritas penduduknya kaum muslimin, bahkan mereka menuntut agar diterapkan hukum islam.
Kita jawab : Bukankah para pemerintahan yang ada sekarang juga merasa takut untuk menerapkan syari’at, takut dibunuh, digulingkan, diserang negara lain, dan banyak alasan lagi. An-Najasyi takut untuk digulingkan, begitu juga pemerintah yang ada sekarang, takut untuk digulingkan, dan bahkan diserang oleg negara lain. Bukankah kita pernah dengar seorang yang bernama Zhiyaul-Haq (mantan Presiden Pakistan), dan kisah kenapa ia dibunuh ? Terdapat kesamaan ’íllat syar’i antara keadaan An-Najasyi dengan kebanyakan penguasa di jaman sekarang.
Jika ada orang yang berkata :
( - ) "Bukankah para penguasa kita telah ‘mengganti’ hukum Allah dengan hukum-hukum lain seperti demokrasi sehingga dengan itu mereka telah kafir ?".
Kita jawab : "Tidak diragukan bahwa hukum demokrasi merupakan hukum kufur. Namun tidaklah setiap orang yang terlibat dalam demokrasi bisa disebut telah melakukan kekufuran yang nyata atau pelakunya layak disebut kafir. Tidak seperti itu. Perlu dicatat bahwa « mengganti » atau tabdiil (تَبْدِيْلٌ) yang dijelaskan para ulama Ahlus-Sunnah maknanya adalah keadaan seorang yang membuat hukum selain hukum Allah dengan menganggap bahwa itu adalah hukum Allah atau seperti hukum Allah. Adapun jika tidak demikian, maka bukan dinamakan tabdil (yang menyebabkan kufur akbar). Imam Ibnu ‘Arabi berkata :
وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين
"Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah maka ia adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa" [lihat Ahkaamul-Qur’an juz 2 hal. 624].
Apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi ini sama seperti yang dikatakan oleh Al-Qurthubi dalamTafsir-nya (juz 6 hal. 191 – yang merupakan penjelasan Imam Thawus dan selainnya) dan Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa ( juz 3 hal. 268). Bisa jadi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah itu hanya melakukan kekufuran ashghar saja (yang bukan termasuk kufran bawwaahan). Kita harus berhati-hati dalam masalah ini. Tidak boleh kita menghilangkan sifat iman dan Islam dari seorang muslim tanpa hujjah dan alasan yang dibenarkan syari’at.
Dan puncak penjelasan dari bagian ini adalah hadits Hudzaifah bin Yaman radliyallaahu ’anhu :
يكون بعدي أئمة لا يهتدون بهداي ولا يستنون بسنتي وسيقوم فيهم رجال قلوبهم قلوب الشياطين في جثمان إنس قال قلت كيف أصنع يا رسول الله إن أدركت ذلك قال تسمع وتطيع للأمير وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك فاسمع وأطع
“Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [HR. Muslim no. 1847].
Hadits ini telah menjelaskan tentang kemaksiatan yang dilakukan penguasa baik yang ia lakukan pada diri sendiri ataupun pada orang lain (rakyatnya); baik kemaksiatan itu merupakan sebuah sistem atau bukan merupakan sebuah sistem.
’Ali Al-Qari berkata ketika menjelaskan hadits di atas dalam penyebutan sifat-sifat pemimpin yang diisyaratkan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :
لا يهتدون بهداي أي من حيث العلم ولا يستنون بسنتي أي من حيث العمل والمعنى أنهم لا يأخذون بالكتاب والسنة
”.... Tidak mengambil petunjuk dengan petunjukku” ; adalah dalam hal ’ilmu. ”Tidak mengambil sunnah dengan sunnahku” ; adalah dalam hal amal. Maknanya adalah bahwa pemimpin-pemimpin tersebut tidak mengambil Al-Qur’an dan As-Sunnah (dalam menjalankan kekuasannya)” [Mirqatul-Mafaatih Syarh Misykaatil-Mashaabih juz 5 hal. 113]
Kapan Diperbolehkan Memprotes kepada Penguasa ?
Dari Junadah bin Abi Umayyah radliyallaahu ’anhu ia berkata : Kami masuk ke rumah ’Ubadah bin Ash-Shaamit ketika ia dalam keadaan sakit dan kami berkata kepadanya : ’Sampaikan hadits kepada kami – aslahakallah – dengan hadits yang kau dengar dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang dengannya Allah akan memberi manfaat kepada kami”. Maka ’Ubadah bin Ash-Shaamit berkata :
دعانا النبي صلى الله عليه وسلم فبايعناه فقال فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن ترو كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil kami kemudian membaiat kami. Dan diantara baiatnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara sewenang-wenang. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari ahlinya (orang yang berhak). Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam berkata : ”Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah” [HR. Bukhari no. 6647].
Sebagian ulama telah merangkum beberapa syarat kapan diperbolehkan memberontak kepada penguasa, yaitu :
1. Melihat, yang mempunyai makna mengetahui dengan ilmu yang yakin bahwa penguasa telah melakukan kekafiran.
2. Apa yang dilakukan penguasa benar-benar merupakan kekafiran. Apabila masih tergolong perbuatan kefasikan, maka tidak diperbolehkan memberontak bagaimanapun besarnya kefasiqan tersebut.
3. Dilakukan dengan terang dan jelas tanpa mengandung penafsiran lain.
4. Kita memiliki bukti di sisi Allah padanya, yaitu hal itu berdasarkan bukti yang pasti dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta ijma’ umat.
5. Diambil dari dasar-dasar umum agama Islam, yaitu kemampuan mereka (rakyat) untuk menumbangkan penguasa, karena jika tidak punya kemampuan maka akan terbalik sehingga malah mencelakakan rakyat sehingga menimbulkan mudlarat ang lebih besar daripada mudlarat yang diakibatkan jika mendiamkan penguasa tersebut. [Fiqh Siyasah Asy-Syar’iyyah hal. 287-288].
Sebagai bahan perenungan akhir, mari kita cermati untaian perkataan indah dari Ibnu Abil-’Izz Al-Hanafy (w. 792 H) yang termuat dalam salah satu kitab syarah terbaik bagi kitab Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah :
وأما لزوم طاعتهم وإن جاروا ، فلأنه يترتب على الخروج من طاعتهم من المفاسد أضعاف ما يحصل من جورهم ، بل في الصبرعلى جورهم تكفير السيئات ومضاعفة الأجور ، فإن الله تعالى ما سلطهم علينا إلا لفساد أعمالنا ، والجزاء من جنس العمل ، فعلينا الإجتهاد في الإستغفار والتوبة وإصلاح العمل . قال تعالى : وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ. وقال تعالى : أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ. وقال تعالى : مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ. وقال تعالى : وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. فإذا أراد الرعية أن يتخلصوا من ظلم الأمير الظالم ، فليتركوا الظلم.
“Adalah menjadi kewajiban bagi kita untuk mentaati mereka (yaitu para penguasa) walaupun mereka jahat/dhalim. Hal itu dikarenakan kerusakan yang ditimbulkan akibat keluar dari ketaatan kepada mereka lebih besar daripada kerusakan yang terjadi karena kejahatan mereka. Bahkan, kesabaran dalam menghadapi kejahatan mereka akan menghapus berbagai kejelekan dan melipatgandakan pahala. Sesungguhnya Allah tidak menjadikan mereka berkuasa atas kita (dengan segala kejahatan/kedhalimannya) meliankan karena kerusakan amal-amal kita. Balasan yang diberikan itu tergantung dari jenis amal yang diperbuat. Maka, yang menjadi kewajiban bagi kita adalah bersungguh-sungguh dalam memohon ampun, bertaubat, dan memperbaiki amal. Allah ta’ala telah berfirman : ”Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” [QS. Asy-Syuuraa : 30]. ”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri” [QS. An-Nisaa’ : 79]. ”Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang lalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan” [QS. Al-An’aam : 129].
Maka, apabila rakyat ingin mengakhiri/melepaskan diri dari kedhaliman pemimpin yang dhalim, hendaklah mereka meninggalkan kedhaliman juga”
WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA
أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر
”Para ulama telah bersepakat bahwasannya imamah tidak bisa diserahkan kepada orang kafir” [Syarh Shahih Muslim juz 12 hal. 229].
Ibnu Hajar berkata :
انه ينعزل بالكفر إجماعا فيجب على كل مسلم القيام في ذلك فمن قوي على ذلك فله الثواب ومن داهن فعليه الإثم ومن عجز وجبت عليه الهجرة من تلك الأرض
”Bahwasannya mencopot (seorang pemimpin) karena kekufuran merupakan ijma’. Maka wajib bagi setiap muslim untuk melakukan hal tersebut. Barangsiapa yang mampu melakukanya, maka ia mendapatkan pahala. Barangsiapa yang tidak mau melakukannya (padahal dia mampu), maka ia mendapatkan dosa. Dan barangsiapa yang lemah (tidak memiliki kemampuan), maka ia harus berhijrah meninggalkan negeri tersebut” [Fathul-Bari juz 13 syarah hadits no. 6725].
Al-Qadli Abu Ya’la Al-Hanbaly berkata : ”Jika pemimpin menjadi kufur setelah iman, berarti dia harus diturunkan dari tampuk kepemimpinannya. Tidak ada perbedaan pendapat tentang masalah ini, karena dia sudah dianggap keluar dari agama. Bahkan dia harus dibunuh” [Al-Mu’tamad fii Ushuuliddiin hal. 243].
عن جنادة بن أبي أمية قال دخلنا على عبادة بن الصامت وهو مريض قلنا أصلحك الله حدث بحديث ينفعك الله به سمعته من النبي صلى الله عليه وسلم قال دعانا النبي صلى الله عليه وسلم فبايعناه فقال فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن ترو كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
Dari Junadah bin Abi Umayyah radliyallaahu ’anhu ia berkata : Kami masuk ke rumah ’Ubadah bin Ash-Shaamit ketika ia dalam keadaan sakit dan kami berkata kepadanya : ’Sampaikan hadits kepada kami – aslahakallah – dengan hadits yang kau dengar dari Rasulullahshallallaahu ’alaihi wasallam yang dengannya Allah akan memberi manfaat kepada kami”. Maka ’Ubadah bin Ash-Shaamit berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil kami kemudian membaiat kami. Dan diantara baiatnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara sewenang-wenang. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari ahlinya (orang yang berhak). Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam berkata : ”Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah” [HR. Bukhari no. 6647].
Ibnu Hajar berkata :
قال النووي المراد بالكفر هنا المعصية ومعنى الحديث لا تنازعوا ولاة الأمور في ولايتهم ولا تعترضوا عليهم إلا أن تروا منهم منكرا حققا تعلمونه من قواعد الإسلام فإذا رأيتم ذلك فانكروا عليهم وقولوا بالحق حيثما كنتم انتهى وقال غيره المراد بالإثم هنا المعصية والكفر فلا يعترض على السلطان إلا إذا وقع في الكفر الظاهر
”Telah berkata An-Nawawi : Yang dimaksudkan dengan kufur di sini adalah kemaksiatan. Jadi makna hadits adalah : Jangan kalian menentang ulil-amri (pemimpin/penguasa) dalam kekuasaan mereka dan janganlah kalian membangkang kecuali apabila kalian melihat kemungkaran yang nyata dari mereka, yang kalian ketahui bahwa hal itu termasuk sendi-sendi Islam (min qawaa’idil-Islaam). Apabila kalian melihat yang demikian itu, maka ingkarilah dan sampaikanlah yang benar dimanapun kalian berada” – selesai –.[Di sini (dalam kitab Fathul-Bari) Ibnu Hajar menukil perkataan An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim hanya sampai kalimat ini. Kami tambahkan, dalam Syarah Shahih Muslim terdapat kalimat setelahnya yang masih terkait dengan bahasan yaitu beliau berkata : ”Adapun memerangi dan memusuhi mereka (pemimpin), tidak diperbolehkan berdasarkan ijma’ ulama muslimin, meskipun penguasa itu termasuk orang-orang yang fasiq dan dhalim” [Syarah Shahih Muslim juz 12 hal. 229].] (Ibnu Hajar melanjutkan : ) Dan berkata ulama selain beliau (An-Nawawi) : ”Bahwasannya yang dimaksudkan dengan dosa adalah kemaksiatan dan kekufuran. Maka dari itu, tidak diperbolehkan melakukan penyerangan kepada sulthan kecuali bila ia telah terjatuh dalam kekufuran yang nyata” [selesai – Fathul-Bari juz 13 penjelasan hadits no. 6647].
Beliau melanjutkan :
والذي يظهر حمل رواية الكفر على ما إذا كانت المنازعة في الولاية فلا ينازعه بما يقدح في الولاية الا إذا ارتكب الكفر وحمل رواية المعصية على ما إذا كانت المنازعة فيما عدا الولاية فإذا لم يقدح في الولاية نازعه في المعصية بأن ينكر عليه برفق ويتوصل الى تثبيت الحق له بغير عنف ومحل ذلك إذا كان قادرا والله أعلم ونقل بن التين عن الداودي قال الذي عليه العلماء في أمراء الجور أنه إن قدر على خلعه بغير فتنة ولا ظلم وجب والا فالواجب الصبر وعن بعضهم لا يجوز عقد الولاية لفاسق ابتداء فان أحدث جورا بعد أن كان عدلا فاختلفوا في جواز الخروج عليه والصحيح المنع إلا أن يكفر فيجب الخروج عليه
”Dan yang jelas adalah membawa riwayat (yang menyatakan tentang) kekafiran dalam konteks bolehnya merebut kekuasaan, sehingga tidak boleh direbut semata karena adanya faktor yang menodai kekuasaannya tersebut, kecuali jika ia melakukan kekufuran. Dan membawa riwayat (yang menyatakan tentang) kemaksiatan untuk merebut urusan di luar kekuasaan. Apabila kekuasannya tidak ternoda (dengan satu kekufuran), namun di sisi lain ia terkena satu kemaksiatan, maka cara menghilangkannya adalah dengan pengingkaran yang lemah-lembut dan mengantarkannya pada kebenaran tanpa kekerasan. Itu jika ia mampu.Wallaahu a’lam. Dan dinukil dari Ibnut-Tiin dari Ad-Dawudi bahwasannya ia berkata : ”Yang menjadi kewajiban ulama kepada para pemimpin yang dhalim/jahat yaitu jika ia mampu untuk menurunkannya dari jabatannya tanpa menimbulkan fitnah dan kedhaliman, maka ia wajib melakukannya. Sebaliknya, jika ia tidak mampu, maka wajib untuk bersabar”. Dan dari selainnya : “Pada asalnya, tidak diperbolehkan untuk memberikan kekuasaan kepada orang yang fasiq. Apabila ia melakukan kedhaliman setelah sebelumnya ia seorang yang ‘adil, maka mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang kebolehan keluar dari ketaatan darinya. Dan yang benar adalah larangan untuk keluar dari ketaatan darinya (memberontak) kecuali bila ia telah kafir. Maka dalam hal ini wajib untuk keluar dari ketaatan kepadanya” [selesai – idem].
Berkata Al-Kirmaniy sebagaimana dinukil Badruddin Al-’Aini :
وقال الكرماني الظاهر أن الكفر على ظاهره
”Dan Al-Kirmany berkata secara dhahirnya, yaitu bahwa kufur di sini adalah kufur secara dhahir (kufur akbar)” [’Umdatul-Qaari oleh Al-’Aini juz 24 hal. 342; Maktabah Al-Misykah].
Para ulama menjelaskan bahwa bolehnya untuk keluar dari ketaatan dan memerangi penguasa adalah karena penguasa tersebut telah melakukan kekufuran (kufur akbar) yang menyebabkan ia menjadi kafir. Itulah yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar setelah membawakan beberapa riwayat tentang lafadh hadits (kufran bawaahan, kufran shuraahan, ma’shiyatallaahi bawaahan, dan itsmin bawaahan). Lafadh-lafadh hadits itu saling menjelaskan satu sama lain. Lafadh kufur lebih khusus/spesifik daripada lafadh maksiat ataupun dosa. Perkataan An-Nawawi sebagaimana tertulis di atas (yaitu perkataannya : ”kecuali apabila kalian melihat kemungkaran yang nyata dari mereka, yang kalian ketahui bahwa hal itu termasuk sendi-sendi Islam / min qawaa’idil-Islaam”), maka itupun juga tidak bertentangan dengan makna kufur. Orang yang mengerjakan kemaksiatan yang jelas yang termasuk dalam sendi-sendi Islam, maka sudah dimaklumi bahwa ia bisa terjatuh dalam kekufuran. Akan tetapi hal ini memerlukan tafshil (perincian).
[An-Nawawi berkata ketika menafsirkan hadits afalaa nuqaatiluuhum ? Qaala : Laa maa shalluu :
عدم جواز الخروج على الخلفاء بمجرد الظلم أو الفسق ما لم يغيروا شيئًا من قواعد الإسلام
”(Hadits tersebut merupakan) peniadaan kebolehan untuk keluar dari ketaatan penguasa dengan sebab kedhaliman atau kefasiqan semata, selama mereka (penguasa) tidak mengubah sesuatupun dari sendi-sendi pokok Islam” [Syarah Shahih Muslim juz 12 hal. 243].
Nah, An-Nawawi mengisyaratkan sendi pokok yang dimaksud adalah penegakan shalat].
Telah berlalu perkataan para ulama yang menyatakan bahwa sekedar kemaksiatan saja tidak boleh menjadi sebab mengangkat senjata kepada penguasa. Dan telah menjadi kemafhuman bagi para ulama dan penuntut ilmu, kemaksiatan yang dilakukan terang-terangan tidaklah selalu berkonsekuensi pada kekufuran.
إنه يستعمل عليكم أمراء فتعرفون وتنكرون فمن كره فقد برئ ومن أنكر فقد سلم ولكن من رضي وتابع قالوا يا رسول الله ألا نقاتلهم قال لا ما صلوا أي من كره بقلبه وأنكر بقلبه
”Akan diangkat para penguasa untuk kalian. Lalu engkau mengenalinya dan kemudian engkau mengingkarinya (karena ia telah berbuat maksiat). Barangsiapa yang benci, maka ia telah berlepas tangan. Barangsiapa yang mengingkarinya, sungguh ia telah selamat. Akan tetapi, lain halnya dengan orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut”. Para shahabat bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya ?”. Beliau menjawab : ”Tidak, selama mereka mengerjakan shalat”. Yaitu barangsiapa yang membenci dan mengingkari dengan hatinya” [HR. Muslim no. 1854].
Hadits di atas memberikan satu pengetahuan bagi kita bahwa penguasa yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam adalah penguasa muslim yang melakukan kemungkaran. Kalimat fata’rifuuna wa tunkiruuna menunjukkan bahwa lafadh umum, yaitu kemunkaran yang dilakukan oleh penguasa itu terlihat, baik langsung ataupun tidak langsung, oleh rakyat. Pemahaman ini sangat mudah terambil dari hadits. Tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa kemunkaran yang terkandung dalam hadits ini dibatasi oleh makna kemunkaran yang dilakukan sembunyi-sembunyi. Apalagi jika dikaitkan dengan hadits kemunculan atsarah (penguasa dhalim). Sangat jelas dipahami bahwa kedhaliman para atsarah tersebut nampak secara dhuhuran (terang-terangan). Bukan sembunyi-sembunyi. Bila sembunyi-sembunyi, tentu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak akan berpesan untuk bersabar terhadap kedhaliman mereka.
Sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kaum takfiriyyun. Perhatikan hadits Abu Bakrah berikut :
عن زياد بن كسيب العدوي قال كنت مع أبي بكرة تحت منبر بن عامر وهو يخطب وعليه ثياب رقاق فقال أبو بلال انظروا إلى أميرنا يلبس ثياب الفساق فقال أبو بكرة اسكت سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من أهان سلطان الله في الأرض أهانه الله
Dari Ziyad bin Kusaib Al-’Adawy ia berkata : ”Aku bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu ’Amir. Sedangkan Ibnu ’Amir berkhutbah dengan pakaian yang tipis (pakaian orang fasiq). Abu Bilal (salah seorang gembong Khawarij) berkata : ”Lihatlah pemimpin kita, dia berpakaian dengan pakaiannya orang fasiq”. Kemudian Abu Bakrah radliyallaahu ’anhu berkata : ”Diam kamu !! Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di bumi, maka Allah akan hinakan orang itu” [HR. Tirmidzi no. 2224 dan Ibnu Abi ’Ashim no. 1024; shahih].
Abu Bilal, ia adalah Mirdas bin Udayyah, salah seorang gembong Khawarij. Hal ini dikatakan oleh Al-Hafidh Al-Mizzy (guru Ibnu Hajar) dalam catatan kaki kitabnya : Tahdzibul-Kamal juz 7 hal. 399.
Apa yang dilakukan oleh Abu Bakrah radliyallaahu ’anhu ketika melihat seorang pemimpin yang melakukan kefasiqan di muka umum (bahkan dilakukannya ketika di depan rakyat banyak di atas mimbar) ? Dan apa pula yang dilakukan ketika ada orang yang mencelanya secara terang-terangan terhadap kefasiqan penguasa tersebut ? Mendorongnya untuk memberontak ? Tidak tercatat dalam kitab-kitab tarikh (setahu kami) bahwa shahabat Abu Bakrah ini terlibat fitnah peperangan dengan penguasa.
Contoh baik adalah sebagaimana fitnah yang terjadi di masa Imam Ahmad dimana kefasiqan, kemunkaran, dan kemaksiatan merajalela secara terang-terangan. Para imam pakar sejarah telah me-report apa yang terjadi di masa Imam Ahmad (pada Dinasti ’Abbasiyyah). Bahkan aqidah Jahmiyyah dilindungi oleh penguasa. Orang-orang dipaksa untuk mengakui aqidah ini. Namun, adakah para ulama mu’tabar waktu itu yang memaklumkan kebolehan untuk melawan penguasa. Tidak !! Sungguh picik jika ada orang yang menganggap Imam Ahmad dan para ulama semasanya memerintahkan untuk memberontak kepada penguasa. Penguasa melakukan berbagai kemunkaran tersebut berdasarkan kebodohannya akibat pengaruh para pembantunya dari kalangan Mu'tazillah. Belum terpenuhi syarat-syarat kekafiran pada diri penguasa sehingga mengharuskan jatuhnya vonis takfir serta fatwa kebolehan memberontak darinya.
Bagaimana halnya Jika Penguasa Memberlakukan Undang-Undang Buatan dalam Menjalankan Pemerintahannya ?
Beberapa orang atau kelompok ketika mengulas pembahasan tasyri’ ’aam dan tabdiil yang bermuara pada pembuatan dan pemberlakukan undang-undang keduniaan menegaskan akan kekafiran penguasa sehingga membolehkan adanya pemberontakan/keluar dari ketaatan. Mereka menyatakan bahwa penguasa tersebut telah kafir karena membuat dan/atau menjalankan hukum selain dari hukum Allah, dimana hal itu merupakan kekufuran yang nyata dalam kaca mata syari’at.
Permasalahan ini telah dibahas oleh para ulama ketika mereka membahas Al-Hukmu bi-Ghairi Maa Anzalallaah (Berhukum dengan hukum selain yang diturunkan Allah). Mereka membahas bahasan tasyri’ aam dan qadliyyah mu’ayyanah dalam satu lingkup bahasan. Allah telah berfirman :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
”Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [QS. Al-Maaidah : 44].
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
”Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Maaidah : 45].
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
”Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Maaidah : 47].
Ayat-ayat hukum di atas berlaku pada semua jenis manusia, baik aamir (pemimpin) ataupun ma’mur (yang dipimpin/rakyat). Tidak ada pengkhususan bahwa ayat tersebut hanya berlaku pada satu golongan manusia dan tidak bagi yang lain. Kita semua paham – insya Allah – bahwasannya berhukum dengan hukum Allah itu mencakup segala hal (aqidah, hukum, akhlaq, dan yang sebagainya); karena kalimat maa anzalallah (apa-apa yang diturunkan Allah) meliputi semua isi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semua hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hal itu dinamakan ghairu maa anzalallaah (selain yang diturunkan Allah). Jika ada orang yang berpandangan dengan pemutlakan kekafiran (kufur akbar) terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka konsekuensinya dia akan mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin, dan mungkin juga termasuk dirinya. Ia akan mengkafirkan pada setiap pelaku kemaksiatan seperti pembohong, pencuri, pezina, dan yang lain-lain. Tidak diragukan lagi ini adalah i’tiqad (keyakinan) yang salah yang merupakan warisan kaum sesat Khawarij dan Mu’tazillah. Al-Imam Ibnu Hazm telah mengisyaratkan hal ini dengan perkataannya :
فإن الله عز وجل قال : ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون ، ومن لم يحكم بما أنز الله فأولئك هم الفاسقون ، ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون . فليلزم المعتزلة أن يصرحوا بكفر كل عاص وظالم وفاسق لأن كل عامل بالمعصية فلم يحكم بما أنزل الله
“Sesungguhnya Allah telah berfirman : Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim. Maka konsekuensi bagi Mu’tazillah, hendaknya mereka mengkafirkan setiap pelaku kemaksiatan, kedhaliman, dan kefasikan; karena setiap pelaku kemaksiatan itu tidaklah berhukum dengan apa yang diturunkan Allah” [Al-Fishaal juz 3 hal. 234].
Ahlus-Sunnah telah sepakat bahwa bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu jatuh padanya kufur akbar yang menyebabkan keluar dari agama. Bisa jadi perbuatan tersebut merupakan kufur ashghar yang tidak sampai mengeluarkannya dari agama (tapi ia tetap merupakan dosa besar yang wajib bagi seseorang untuk bertaubat).
Al-Imam Ibnu ’Abdil-Barr Al-Andalusy berkata :
أجمع العلماء على أن الجور في الحكم من الكبائر لمن تعمَّد ذلك عالماً به
”Para ulama telah sepakat bahwa kecurangan dalam menghukumi termasuk dosa-dosa besar bagi siapa saja yang melakukannya dengan sengaja dalam keadaan mengetahui hukumnya (tanpa adanya pengingkaran dan penghalalan)...”[At-Tamhid juz 17 hal. 16].
Al-Imam Abu Bakr Al-Ajurri berkata :
ومما يتبع الحرورية من المتشابه قول الله عز وجل { وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} ويقرءون معها {ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ} فإذا رأوا الإمام الحاكم يحكم بغير الحق قالوا: قد كفر ، ومن كفر عدل بربه فقد أشرك، فهؤلاء الأئمة مشركون ، فيخرجون فيفعلون ما رأيت ؛ لأنهم يتأولون هذه الآية
”Di antara ayat-ayat mutasyaabihaat yang diikuti oleh orang-orang Haruriyyah (Khawarij) adalah firman Allah ’azza wa jalla : "Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir” [QS. Al-Maaidah : 44]. Dan mereka juga menyertakan ayat : ”Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka” [QS. Al-An’aam : 1]. Jika mereka melihat seorang penguasa/hakim yang menghukumi dengan tidak haq maka mereka berkata : ’Dia telah kafir, dan barangsiapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb-nya, maka sungguh ia telah musyrik. Para penguasa ini merupakan orang-orang musyrikin”. Maka mereka memberontak dan melakukan hal yang engkau lihat, karena mereka menakwilkan ayat ini” [Asy-Syari’ah hal. 18; Maktabah Al-Misykah].
Al-Imam Abu Hayyan Al-Andalusi berkata :
واحتجت الخوارج بهذه الآية على أن كل من عصى الله تعالى فهو كافرٌ وقالوا هي نص في كل من حكم بغير ما أنزل الله فهو كافر
”Orang-orang Khawarij berargumen dengan ayat ini bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah maka dia telah kafir. Dan mereka berkata : ”Ia adalah nash bagi setiap orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, maka dia kafir” [Al-Bahrul-Muhithjuz 3 hal. 493].
Muhammad Rasyid Ridla berkata :
أما ظاهر الآية لم يقل به أحدٌ من أئمة الفقه المشهورين . بل لم يقل به أحدٌ قط
”Adapun dhahir ayat ini, maka tidak ada seorangpun dari para imam fiqh yang masyhur yang berpendapat dengannya. Bahkan tidak ada seorangpun yang berpendapat dengannya” [Tafsir Al-Manar juz 6 hal. 406].
Para ulama di atas (dan masih banyak yang lain) menjelaskan tentang manhaj Khawarij (dan Mu’tazillah) dimana mereka menggunakan ayat tersebut untuk memutlakkan setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa perincian yang dikenal di kalangan ulama Ahlus-Sunnah. Mereka menghantam kaum muslimin (terutama para penguasa) yang melakukan kabaair (dosa-dosa besar) dengan kekafiran. Adapun para ulama Ahlus-Sunnah telah memberikan penjelasan tentang tafsir ayat {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ } sebagai berikut :
Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhu berkata :
من جحد ما أنزل الله فقد كفر, ومن أقرّ به ولـم يحكم فهو ظالـم فـاسق
”Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang mengikrarkannya namun tidak berhukum dengannya, maka ia seorang yang dhalim dan fasiq” [Tafsir Ath-Thabari QS. Al-Maidah : 44].
Abu Ja’far Ath-Thabari berkata :
وأولـى هذه الأقوال عندي بـالصواب, قول من قال: نزلت هذه الاَيات فـي كافر أهل الكتاب, لأن ما قبلها وما بعدها من الاَيات ففـيهم نزلت وهم الـمعِنـيون بها, وهذه الاَيات سياق الـخبر عنهم, فكونها خبرا عنهم أولـى. فإن قال قائل: فإن الله تعالـى ذكره قد عمّ بـالـخبر بذلك عن جميع من لـم يحكم بـما أنزل الله, فكيف جعلته خاصّا؟ قـيـل: إن الله تعالـى عمّ بـالـخبر بذلك عن قوم كانوا بحكم الله الذي حكم به فـي كتابه جاحدين فأخبر عنهم أنهم بتركهم الـحكم علـى سبـيـل ما تركوه كافرون. وكذلك القول فـي كلّ من لـم يحكم بـما أنزل الله جاحدا به, هو بـالله كافر, كما قال ابن عبـاس
”Yang lebih benar dari perkataan-perkataan ini menurutku adalah adalah, perkatan orang yang mengatakan bahwa : ”Ayat ini turun pada orang-orang kafir dari Ahli Kitab, karena sebelum dan sesudah (ayat tersebut) bercerita tentang mereka. Merekalah yang dimaksudkan dalam ayat ini. Dan konteks ayat ini juga mengkhabarkan tentang mereka. Sehingga keberadaan ayat ini sebagai khabar tentang mereka lebih didahulukan”. Apabila ada yang berkata : ”Sesungguhnya Allah ta’ala menyebutkan ayat ini bersifat umum bagi setaip orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bagaimana engkau bisa menjadikan ayat ini khusus (berlaku pada orang Yahudi) ?”. Maka kita katakan : ”Sesungguhnya Allah menjadikan keumuman tentang suatu kaum yang mereka itu mengingkari hukum Allah yang ada dalam Kitab-Nya, maka Allah mengkhabarkan tentang mereka bahwa dengan sebab mereka meninggalkan hukum Allah mereka menjadi kafir. Demikian juga bagi mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah dalam keadaan mengingkarinya, maka dia kafir sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ’Abbas...” [Tafsir Ath-Thabari QS. Al-Maidah : 44].
Abul-’Abbas Al-Qurthubi (guru mufassir Abu ’Abdillah Al-Qurthubi penulis Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’an) berkata :
وقوله تعالى : { ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون )) ؛ يحتجُّ بظاهره من يُكفِّرُ بالذنوب ، وهم الخوارج ، ولا حجَّة لهم فيه ؛ لأنَّ هذه الآيات نزلت في اليهود المحرفين كلام الله تعالى ، كما جاء في هذا الحديث ، وهم كفار ، فيشاركهم في حكمها من يشاركهم في سبب نزولها . وبيان هذا : أن المسلم إذا علم حكم الله تعالى في قضيَّة قطعًا ، ثم لم يحكم به ؛ فإن كان عن جَحْدٍ كان كافرًا ، لا يختلف في هذا . وإن كان لا عن جَحْدٍ كان عاصيًا مرتكب كبيرة ؛ لأنَّه مصدق بأصل ذلك الحكم ، وعالم بوجوب تنفيذه عليه ، لكنه عصى بترك العمل به ، وهكذا في كل ما يعلم من ضرورة الشرع حكمه ، كالصلاة ، وغيرها من القواعد المعلومة . وهذا مذهب أهل السُّنه. وقد تقدم ذلك في كتاب الإيمان ؛ حيث بيَّنَّا : أن الكفر هو الجحد والتكذيب بأمرٍ معلوم ضروري من الشرع ، فما لا يكن كذلك فليس بكفر . ومقصود هذا البحث : أن هذه الآيات المراد بها : أهل الكفر ، والعناد . وأنها كانت ألفاظها عامة ، فقد خرج منها المسلمون ؛ لأنَّ ترك العمل بالحكم مع الإيمان بأصله هو دون الشرك . وقد قال تعالى : { إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء }. وترك الحكم بذلك ليس بشرك بالاتفاق ، فيجوز أن يُغفر ، والكفر لا يُغفر ، فلا يكون ترك العمل بالحكم كفرًا
”Firman Allah ta’ala : Barang siapa yang tidak berhukum/memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir [QS. Al-Maaidah : 44]. Dhahir ayat ini dijadikan hujjah bagi orang yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa (yaitu khawarij), padahal tidak ada hujjah bagi mereka pada ayat tersebut. Karena ayat-ayat ini turun pada orang Yahudi yang menyelewengkan firman Alah ta’ala, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits, dan mereka adalah orang-orang kafir. Maka orang-orang yang semisal dengan mereka yang menjadi sebab turun ayat ini, sama pula hukumnya. Penjelasannya adalah : Sesungguhnya seorang muslim bila dia mengetahui hukum Allah ta’ala pada perkara tertentu, kemudian dia tidak menjalankannya, jika hal itu dilakukan karena pengingkarannya (terhadap hukum tersebut), maka dia kafir dan ini tidak diperselisihkan lagi. Namun jika tidak demikian (tidak mengingkari), maka dia termasuk orang yang berbuat dosa besar, karena dia masih mengakui pokok hukum tersebut dan mengetahui kewajiban menjalankan hukum tersebut, tapi dia bermaksiat dengan meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan perkara-perkara yang hukumnya sudah diketahui dengan gamblang dari syari’at ini seperti shalat dan selainnya berupa kaidah-kaidah yang sudah dimaklumi. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah. Hal ini telah berlalu pembahasannya dalam Kitaabul-Iman dimana kami telah menjelaskanya : Bahwasannya kekufuran itu adalah kufur juhd (pengingkaran) dan takdzib (pendustaan) terhadap perkara-perkara yang telah diketahui secara dlaruri dalam syari’at. Apabila keadaannya tidaklah seperti itu, maka ia bukanlah kekufuran (yang mengeluarkan dari Islam). Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa ayat-ayat ini ditujukan kepada orang-orang kafir dan yang menentang, walaupun lafadhnya umum, tapi kaum muslimin tidak termasuk dalam ayat ini. Hal itu dikarenakan tidak menjalankan hukum Allah bersamaan dengan masih adanya iman terhadap pokok hukum tersebut, masih berada pada posisi di bawah dosa syirik. Dan Allah telah berfirman : ”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni orang yang berbuat syirik tapi Dia mengampuni dosa selain syirik bagi yang dikehendakinya” [QS. An-Nisaa’ : 48]. Adapun meninggalkan hukum yang demikian bukanlah termasuk syirik menurut kesepakatan. Oleh karena itu, dia berhak untuk mendapatkan ampunan. Adapun kekufuran, tidak ada ampunan baginya. Maka meninggalkan berhukum dengan hukum Allah bukan termasuk kekafiran” [Al-Mufhim limaa Asykala min Talkhiisi Kitaabi Muslim juz 4 hal. 150].
Abu Abdillah Al-Qurthubi berkata :
قال ابن مسعود والحسن: هي عامة في كل من لم يحكم بما أنزل الله من المسلمين واليهود والكفار أي معتقدا ذلك ومستحلا له؛ فأنا من فعل ذلك وهو معتقد أنه راكب محرم فهو من فساق المسلمين، وأمره إلى الله تعالى إن شاء عذبه، وإن شاء غفر له
Telah berkata Ibnu Mas’ud dan Al-Hasan : "Hal itu bersifat umum bagi setiap orang yang yang tidak berhukum/memutuskan hukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dari kalangan muslimin, orang Yahudi, dan orang kafir. Yaitu jika meyakini atau menghalalkan (berhukum dengan selain hukum Allah), maka ia kafir. Namun barangsiapa yang mengerjakan hal tersebut dan dia meyakini bahwa dia mengerjakan larangan, maka dia termasuk orang-orang muslim yang fasiq dan perkaranya di tangan Allah. Jika Dia menghendaki, maka akan diadzab; dan jika tidak, maka Dia akan mengampuninya” [Lihat Al-Jami’ li-Ahkaamil-Qur’an juz 6 hal. 190; tafsir QS. Al-Maidah : 44].
Ibnul-Jauzi berkata :
أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحدا له، وهو يعلم أن الله أنزله، كما فعلت اليهود، فهو كافر، ومن لم يحكم به ميلا إلى الهوى من غير جحود، فهو ظالم وفاسق. وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس أنه قال: من جحد ما أنزل الله فقد كفر، ومن أقر به ولم يحكم به فهو فاسق وظالم
"(Kesimpulannya), bahwa barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dalam keadaan mengingkari akan kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allah-lah yang menurunkannya – seperti orang Yahudi – maka orang ini kafir. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah karena condong pada hawa nafsunya - tanpa adanya pengingkaran – maka dia itu dhalim dan fasiq. Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata : ‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi tidak berhukum dengannya, maka dia itu dhalim dan fasiq" [lihat Zaadul-Masiir juz 2 hal. 366].
Dan lain-lain. Semua menjelaskan adanya perincian, yaitu :
1. Jika orang tersebut berhukum/memutuskan hukum dengan selain hukum Allah dalam keadaan tetap meyakini kewajibannya dan membenarkan hukum Allah, maka orang tersebut tidaklah kafir. Ia adalah seseorang yang melakukan dosa besar atau kufur ashghar.
2. Jika orang tersebut berhukum/memutuskan hukum dengan selain hukum Allah dalam keadaan mengingkari kewajibannya dan menghalalkan dalam hati apa yang ia perbuat (berhukum dengan selain hukum Allah), maka tidak syakk (ragu) tentang kekafirannya.
Perkara pengkafiran dalam perkara ini adalah masalah i’tiqady yang tidak bisa serta merta dihukumi dengan dhahirnya saja. Tidak bisa orang hanya menilai dari apa yang tampak sehingga ia mengatakan (misalnya) : ”Ia telah mengingkari hukum Allah” atau ”Ia telah menghalalkan hukum sekuler” yang kemudian dengan itu ia menjustifikasi kekafiran terhadap orang tersebut. Dari mana ia bisa tahu padahal semua itu terkait dengan i’tiqad (keyakinan) dalam hati ? Maka, penentuan hukum kafir ini tidaklah dengan serta merta. Harus ada tahapan penegakan hujjah (iqaamatul-hujjah), dihilangkannya syubhat (izaalatusy-syubuhaat), dan terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran.Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan :
وليس لأحد أن يكفر أحدًا من المسلمين ـ وإن أخطأ وغلط ـ حتي تقام عليه الحجة، وتبين له المحَجَّة، ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك، بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة، وإزالة الشبهة.
“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah juz 12 halaman 135].
Dalil yang melandasi adalah firman Allah ta’ala :
وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُضِلّ قَوْماً بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتّىَ يُبَيّنَ لَهُم مّا يَتّقُونَ إِنّ اللّهَ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [QS. At-Taubah : 115].
كُلّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَآ أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ * قَالُواْ بَلَىَ قَدْ جَآءَنَا نَذِيرٌ فَكَذّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزّلَ اللّهُ مِن شَيْءٍ إِنْ أَنتُمْ إِلاّ فِي ضَلاَلٍ كَبِيرٍ
Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?". Mereka menjawab: "Benar ada", sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan: "Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar." [QS. Al-Mulk : 8-9].
Dan perlu menjadi catatan penting adalah bahwa tegaknya hujjah itu tidak hanya sekedar hujjah tersebut sampai kepadanya. Tapi hal itu mensyaratkan kepahaman dari orang tersebut (atas hujjah yang disampaikan). Nah, jika demikian, penerapan ataupun pelaksanaan beberapa hukum selain hukum Allah (seperti banyak kita dapatkan kenyataannya pada jaman sekarang) tidaklah selalu mengharuskan kekafiran pada pelakunya. Konsekuensinya, perbuatan tidak berhukum dengan hukum Allah itu tidak selalu ada dalam lingkup kufran bawaahan atau kufran shuraahan, baik dilakukan secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi.
Ada satu hadits yang nampaknya perlu mendapatkan perhatian kita bersama.
عن جابر رضى الله تعالى عنه قال النبي صلى الله عليه وسلم حين مات النجاشي مات اليوم رجل صالح فقوموا فصلوا على أخيكم أصحمة
Dari Jabir radliyallaahu ’anhu : Telah berkata Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pada waktu raja Najasyi meninggal dunia : ”Sesungguhnya pada hari ini seorang laki-laki yang shalih meninggal dunia, maka berdirilah kalian dan shalatkanlah saudaramu Ashhamah” [HR. Bukhari no. 3664 dan Muslim no. 952].
Dalam hadits tersebut terkandung suatu hukum yang agung dimana seorang penguasa yang tidak menerapkan hukum Islam pada rakyatnya tidaklah selalu dikatakan kafir. Bahkan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menisbatkan keshalihan padanya. Mungkin ada sebagian orang yang akan berkomentar :
( - ) An Najasyi tidak divonis kafir karena ia tidak mampu untuk menerapkan hukum islam, beda halnya dengan pemerintahan yang ada pada jaman sekarang, terlebih-lebih pemerintahan yang mayoritas penduduknya kaum muslimin, bahkan mereka menuntut agar diterapkan hukum islam.
Kita jawab : Bukankah para pemerintahan yang ada sekarang juga merasa takut untuk menerapkan syari’at, takut dibunuh, digulingkan, diserang negara lain, dan banyak alasan lagi. An-Najasyi takut untuk digulingkan, begitu juga pemerintah yang ada sekarang, takut untuk digulingkan, dan bahkan diserang oleg negara lain. Bukankah kita pernah dengar seorang yang bernama Zhiyaul-Haq (mantan Presiden Pakistan), dan kisah kenapa ia dibunuh ? Terdapat kesamaan ’íllat syar’i antara keadaan An-Najasyi dengan kebanyakan penguasa di jaman sekarang.
Jika ada orang yang berkata :
( - ) "Bukankah para penguasa kita telah ‘mengganti’ hukum Allah dengan hukum-hukum lain seperti demokrasi sehingga dengan itu mereka telah kafir ?".
Kita jawab : "Tidak diragukan bahwa hukum demokrasi merupakan hukum kufur. Namun tidaklah setiap orang yang terlibat dalam demokrasi bisa disebut telah melakukan kekufuran yang nyata atau pelakunya layak disebut kafir. Tidak seperti itu. Perlu dicatat bahwa « mengganti » atau tabdiil (تَبْدِيْلٌ) yang dijelaskan para ulama Ahlus-Sunnah maknanya adalah keadaan seorang yang membuat hukum selain hukum Allah dengan menganggap bahwa itu adalah hukum Allah atau seperti hukum Allah. Adapun jika tidak demikian, maka bukan dinamakan tabdil (yang menyebabkan kufur akbar). Imam Ibnu ‘Arabi berkata :
وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين
"Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah maka ia adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa" [lihat Ahkaamul-Qur’an juz 2 hal. 624].
Apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi ini sama seperti yang dikatakan oleh Al-Qurthubi dalamTafsir-nya (juz 6 hal. 191 – yang merupakan penjelasan Imam Thawus dan selainnya) dan Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa ( juz 3 hal. 268). Bisa jadi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah itu hanya melakukan kekufuran ashghar saja (yang bukan termasuk kufran bawwaahan). Kita harus berhati-hati dalam masalah ini. Tidak boleh kita menghilangkan sifat iman dan Islam dari seorang muslim tanpa hujjah dan alasan yang dibenarkan syari’at.
Dan puncak penjelasan dari bagian ini adalah hadits Hudzaifah bin Yaman radliyallaahu ’anhu :
يكون بعدي أئمة لا يهتدون بهداي ولا يستنون بسنتي وسيقوم فيهم رجال قلوبهم قلوب الشياطين في جثمان إنس قال قلت كيف أصنع يا رسول الله إن أدركت ذلك قال تسمع وتطيع للأمير وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك فاسمع وأطع
“Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [HR. Muslim no. 1847].
Hadits ini telah menjelaskan tentang kemaksiatan yang dilakukan penguasa baik yang ia lakukan pada diri sendiri ataupun pada orang lain (rakyatnya); baik kemaksiatan itu merupakan sebuah sistem atau bukan merupakan sebuah sistem.
’Ali Al-Qari berkata ketika menjelaskan hadits di atas dalam penyebutan sifat-sifat pemimpin yang diisyaratkan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :
لا يهتدون بهداي أي من حيث العلم ولا يستنون بسنتي أي من حيث العمل والمعنى أنهم لا يأخذون بالكتاب والسنة
”.... Tidak mengambil petunjuk dengan petunjukku” ; adalah dalam hal ’ilmu. ”Tidak mengambil sunnah dengan sunnahku” ; adalah dalam hal amal. Maknanya adalah bahwa pemimpin-pemimpin tersebut tidak mengambil Al-Qur’an dan As-Sunnah (dalam menjalankan kekuasannya)” [Mirqatul-Mafaatih Syarh Misykaatil-Mashaabih juz 5 hal. 113]
Kapan Diperbolehkan Memprotes kepada Penguasa ?
Dari Junadah bin Abi Umayyah radliyallaahu ’anhu ia berkata : Kami masuk ke rumah ’Ubadah bin Ash-Shaamit ketika ia dalam keadaan sakit dan kami berkata kepadanya : ’Sampaikan hadits kepada kami – aslahakallah – dengan hadits yang kau dengar dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang dengannya Allah akan memberi manfaat kepada kami”. Maka ’Ubadah bin Ash-Shaamit berkata :
دعانا النبي صلى الله عليه وسلم فبايعناه فقال فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن ترو كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil kami kemudian membaiat kami. Dan diantara baiatnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara sewenang-wenang. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari ahlinya (orang yang berhak). Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam berkata : ”Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah” [HR. Bukhari no. 6647].
Sebagian ulama telah merangkum beberapa syarat kapan diperbolehkan memberontak kepada penguasa, yaitu :
1. Melihat, yang mempunyai makna mengetahui dengan ilmu yang yakin bahwa penguasa telah melakukan kekafiran.
2. Apa yang dilakukan penguasa benar-benar merupakan kekafiran. Apabila masih tergolong perbuatan kefasikan, maka tidak diperbolehkan memberontak bagaimanapun besarnya kefasiqan tersebut.
3. Dilakukan dengan terang dan jelas tanpa mengandung penafsiran lain.
4. Kita memiliki bukti di sisi Allah padanya, yaitu hal itu berdasarkan bukti yang pasti dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta ijma’ umat.
5. Diambil dari dasar-dasar umum agama Islam, yaitu kemampuan mereka (rakyat) untuk menumbangkan penguasa, karena jika tidak punya kemampuan maka akan terbalik sehingga malah mencelakakan rakyat sehingga menimbulkan mudlarat ang lebih besar daripada mudlarat yang diakibatkan jika mendiamkan penguasa tersebut. [Fiqh Siyasah Asy-Syar’iyyah hal. 287-288].
Sebagai bahan perenungan akhir, mari kita cermati untaian perkataan indah dari Ibnu Abil-’Izz Al-Hanafy (w. 792 H) yang termuat dalam salah satu kitab syarah terbaik bagi kitab Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah :
وأما لزوم طاعتهم وإن جاروا ، فلأنه يترتب على الخروج من طاعتهم من المفاسد أضعاف ما يحصل من جورهم ، بل في الصبرعلى جورهم تكفير السيئات ومضاعفة الأجور ، فإن الله تعالى ما سلطهم علينا إلا لفساد أعمالنا ، والجزاء من جنس العمل ، فعلينا الإجتهاد في الإستغفار والتوبة وإصلاح العمل . قال تعالى : وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ. وقال تعالى : أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ. وقال تعالى : مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ. وقال تعالى : وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. فإذا أراد الرعية أن يتخلصوا من ظلم الأمير الظالم ، فليتركوا الظلم.
“Adalah menjadi kewajiban bagi kita untuk mentaati mereka (yaitu para penguasa) walaupun mereka jahat/dhalim. Hal itu dikarenakan kerusakan yang ditimbulkan akibat keluar dari ketaatan kepada mereka lebih besar daripada kerusakan yang terjadi karena kejahatan mereka. Bahkan, kesabaran dalam menghadapi kejahatan mereka akan menghapus berbagai kejelekan dan melipatgandakan pahala. Sesungguhnya Allah tidak menjadikan mereka berkuasa atas kita (dengan segala kejahatan/kedhalimannya) meliankan karena kerusakan amal-amal kita. Balasan yang diberikan itu tergantung dari jenis amal yang diperbuat. Maka, yang menjadi kewajiban bagi kita adalah bersungguh-sungguh dalam memohon ampun, bertaubat, dan memperbaiki amal. Allah ta’ala telah berfirman : ”Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” [QS. Asy-Syuuraa : 30]. ”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri” [QS. An-Nisaa’ : 79]. ”Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang lalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan” [QS. Al-An’aam : 129].
Maka, apabila rakyat ingin mengakhiri/melepaskan diri dari kedhaliman pemimpin yang dhalim, hendaklah mereka meninggalkan kedhaliman juga”
WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA