Senin, 31 Juli 2017

Jejak Sejarah Perjuangan Di Karangrejo Loano

Desa Karangrejo berasal dari kata “karang” yang berarti batu atau pekarangan, kata “rejo” yang artinya ramai, jaya, dan damai. Jadi Karangrejo berarti batu atau pekarangan yang akan mengalami keramaian, kejayaan, dan kedamaian. Harapan ini dilemparkan oleh para pinisepuh dan sesepuh dan tetuwo di Desa Karangrejo. Pada awalnya lahan di Desa Karangrejo tandus dan bebatuan yang hanya ditumbuhi alang-alang atau iser (semacam pohon serai). Warga Desa Karangrejo yang sebagian besar petani/buruh tani hanya mengandalkan dari lahan kering sawah tadah hujan, sehingga pada musim kemarau warga Desa Karangrejo banyak yang buruh menuai padi (reno) di wilayah Kabupaten Purworejo bagian selatan dan sekitarnya. Ada sebagian warga yang menjajakan hasil bumi mereka berupa singkong, kacang-kacangan, dawet, dan lainnya untuk ditukar dengan padi diwaktu panen. Pada musim kemarau khususnya warga Desa Karangrejo sulit memperoleh air bersih, dan untuk kebutuhan sehari-hari umumnya mengambil air dari rembesan mata air yang ada.

Pada kondisi perjalanan kehidupan warga Desa Karangrejo sebagaimana tersebut di atas, maka amat diperlukan peran serta Pemerintah Desa dalam rangka proses pemberdayaan masyarakat di Desa Karangrejo. Maka pada tahun 1998, Pemerintah Desa memfasilitasi terbentuknya Kelompok Tani Hutan Rakyat yang dinamakan “MURAKABI” dalam pengertian dapat bermanfaat dalam kehidupan warganya, Karena keberhasilannya dalam  pembangunan hutan rakyat, kondisi saat ini di desa Karangrejo terdapat 13 Titik mata air yang tersebar di 3 Dusun, yakni Dusun Krajan, Dusun Karangjati dan Dusun  Caok sehingga warga masyarakat tidak lagi mengalami kesulitan air pada masa musim kemarau.

Makam Keramat Silencu

Silencu merupakan nama pemakaman umum terletak pada sebuah bukit di dusun Karangjati desa Karangrejo kecamatan Loano. Disini terdapat dua kelompok makam terpisah, satu kelompok dinamakan makam Kyai Nur muhammad dan yang satunya dinamakan KRT Kromodirdjo. Pada transkip yang terdapat di masjid Loano yang disusun oleh MB Sutjiptotomo diyakini erat kaitannya dengan perjuangan Pangeran Diponegoro beserta prajurit dan pengikutnya yang setia diwilayah Bagelen pada waktu itu. MB Sutjiptotomo sejak kecil diasuh oleh KH R Abdussyakur yang merupakan penghulu pertama eks kawedanan Loano (yang kini menjadi KUA), semasa terjadinya Perang Diponegoro berusia Joko Tanggung. Sebelum beliau jatuh sakit yang membawa sampai wafatnya ketengah – tengah para sesepuh desa Loano pada bulan puasa tahun 1929 M, mengisahkan kisah pengalaman hidupnya sejak berkobar perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda sampai beliau diangkat menjadi penghulu.

Ketika dalam perjalanannya Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya sampai diperbukitan Kendeng yang merupakan wilayah Bagelen bagian utara tepatnya di desa Kalitapas, terpaksa harus berhenti karena salah satu istri prajuritnya akan melahirkan anak. Di desa Kalitapas inilah kemudian Pangeran Diponegoro membagi tugas kepada pengikutnya melawan Belanda. Pangeran Dipokusumo yang merupakan putera trah Amangkurat Agung ditugaskan untuk mendirikan kembali pemerintahan di Bagelen sebagai kadipaten. Pangeran Dipokusumo diangkat sebagai Adipati (bupati) yang dibantu oleh Pangeran Dipoyudo sebagai panglima pasukan daerah selatan meliputi wilayah kota Purworejo hingga Banyumas, sedangkan Pangeran Gagak Handoko sebagai pimpinan pasukan daerah utara. Imam Mukhamat yang tak diketahui nama jawanya ditugaskan sebagai pengawal pribadi Pangeran Dipokusumo tidak boleh berpisah dengan Adipati Pangeran Dipokusumo. Kyai Jogonoyo ditugaskan sebagai kepala pasukan pengawal kadipaten, sebagai kepala barisan sandi (pendem) ditunjuk Kyai Kertomenggolo yang kemudian bergerak kebarat menyeberangi sungai Bogowonto mengambil markas di desa Kragilan, sementara anak buahnya yang bernama Kyai Benteng ditempatkan di desa Mlaran.

Masjid Tanda Kepahlawanan

Selesai mengatur tugas, pangeran Diponegoro bergerak ke arah selatan kembali dan bermarkas di pedukuhan Karangjati desa Karangrejo yang terletak disebelah timur sungai Bagawanta. Dengan disertai Pangeran Suryakusumo menyusuri perbukitan Menoreh menyusul Nyai Ageng Serang. Berkali- kali prajurit Pangeran Diponegoro berhasil memenangkan perlawanan di wilayah Bagelen yang dikenal dengan “ Geger Lengis”. Markas Belanda berhasil direbut dan dihancurkan, bahkan penghuni markas Lengis beserta pimpinannya berhasil ditumpas. Pertempuran yang terjadi di daearh Pituruh dapat dimenangkan dengan menghancurkan benteng Belanda. Bahkan pangeran kerajaan Mataram yang memihak Belanda berhasil ditawan namun kemudian dilepaskan.

Untuk memperingati kemenangan dan sebagai bentuk rasa syukur kepada allah SWT kemudian di bangun masjid yang terletak di sebelah utara alun-alun Loano. Selesai pembangunan masjid tersebut kemudian terdengar kabar, bahwa Pangeran Diponegoro diliciki dan ditangkap oleh Belanda di Magelang. Beberapa bulan kemudian disusul wafatnya Adipati Pangeran Dipokusumo yang sebelumnya telah berganti nama menjadi Kyai Nur Muhammad, kemudian dimakamkan di bukit Silencu dusun Karangjati desa Karangrejo sesuai dengan keinginan beliau sebagai tanda bahwa tempat tersebut pernah menjadi markas Pangeran Diponegoro . tidak disebutkan dalam transkipsi tersebut dimana makam Imam Muhammad yang ditugasi sebagai ajudan pangeran Dipokusumo alias Nur Muhammmad, hanya disebutkan bahwa ketika Belanda mengetahui bahwa Imam Muhammad sudah sangat tua bahkan lumpuh, namun tetap menjalankan kewajibannya sebagi imam masjid Loano sebagaimana sejak diamanatkan Pangeran Diponegoro sejak ditangkap. Ditengah- tengah iktikaf di masjid itulah Belanda datang memberondongakn peluru, dan berbagai senjata api, namun jubah yang dikenakan rantas terkena peluru namun kulit dan badannya tidak luka sedikitpun. Oleh Belanda kemudian ditandu ke markas Belanda di Maron, namun kemudian dilepaskan kembali. Dan tidak pernah diganggu hingga beliau wafat.

Makam Kyai Nur Muhammad terletak di puncak bukit Silencu, tidak jauh dari makam ini terdapat makam yang batu nisannya jelas terbaca dalam huruf arab. Kromodirdjo patih Purworejo meninggal tahun 1836 Mdisamping kalimat “La Ilaha Illallah Mukhammadur rosulullah madhzhabuna Madzhab Syafi’i” maknanya menegaskan bahwa sebagai seorang muslim beliau mencantumkan kalimat tauhid dan bermadzab syafi’i. Tulisan tersebut terukir dalam nisan dari batu andesit dengan ketinggian dari permuakaan tanah sekitar 1 meter dan lebar 0.5 m, sedangkan pada makam Kyai Nur Muhammad tak tertulis apapun. Dengan adanya bukti primer berupa prasasti nisan ini membuktikan bahwa selama perjuangan melawan belanda di daerah Bagelen telah berhasil dibentuk dan terbukti eksis keberadaannya tata pemerintahan patriotis yaitu kadipaten Purworejo dengan Adipati Pangeran Dipokusumo.

Perjuangan menentang penjajah tidaklah padam, hanya berubah siasat melalui barisan bawah tanah. Ini tidah lepas upaya sesepuh Loano termasuk kyai Abdus Syakur cucu dari Imam Muhammad pemangku masjid Loano dalam membela kebenaran dan keadilan. Jiwa perjuangan Abdus Syakur sudah tertanam lama dan memiliki hubungan tersendiri dengan babah Gendong sejak terjadi perang Pacinan.

Legenda Desa Kaliurip

Sebelum menjadi Desa Kaliurip, daerah ini merupakan tanah perdikan yang dikuasakan kepada Ki Demang Keti Widjoyo anak seorang abdi dalem Pangeran Benowo yang kemudian diikutsertakan ke Mataram setelah Putri Pangeran Benowo Ratu Dyah Banowati diperistri Raden Mas Jolang Putra Panembahan Senopati. Pada Tahun 1601, Raden Mas Jolang diangkat menjadi Raja Mataram ke 2 menggantikan ayahandanya dengan gelar Prabu Hanyokrowati.

Dalam penyerbuan Mataram ke Batavia yang dipimpin Tumenggung Bahurekso tahun 1628-1629, Keti Widjoyo mendapat tugas sebagai Demang yang mengurusi bagian logistik perang (perlengkapan dan bekal makanan). Lamanya peperangan membuat pasukan Mataram mengalami kelelahan akibat kehabisan bekal makanan serta serangan wabah penyakit malaria. Lebih dari Delapan ratus (800) prajurit gugur dalam perang besar yang berlangsung hampir satu tahun itu.

Setelah gagal menaklukkan Batavia, kondisi pasukan Mataram waktu itu sangat memprihatinkan, sehingga banyak dari mereka yang memutuskan tidak kembali ke Mataram dan menetap dibeberapa daerah. Akan tetapi meski tak lagi menjadi prajurit, kesetiaan mereka terhadap Mataram, tetap terpatri dihati hingga ajal menanti. Tak heran bila dikemudian hari para prajurit setia itu menjadi tokoh masyarakat (pepundhen) yang disegani dan dihormati hingga kini.

Begitu pula dengan Demang Keti Wijdoyo, ia memutuskan untuk pulang kembali ke Mataram melalui jalur pintas dengan memotong bukit Menoreh, sebuah bukit yang pernah dijadikan tempat kholwat (menyepi) Pangeran Benowo.

Untuk melepas lelah karena perjalan jauh, Ki Demang Keti Widjoyo memutuskan istirahat di pedukuhan sebelah barat sungai kodil. Kehadirannya disambut gembira dan suka cita oleh warga dengan jamuan makanan yang melimpah. Sikap Ki Demang yang santun dan rendah hati dalam berbaur, membuat Eyang Kromo Dipo (sesepuh dhukuh) meyakini bahwa dia seorang yang berilmu tinggi, ia pun meminta kepada Ki Demang dan beberapa prajurit lainnya untuk tinggal beberapa waktu guna berbagi pengalaman dan keilmuan kepada warga.

Ternyata keyakinan Eyang Kromo Dipo itu benar adanya. atas arahan Ki Demang, seorang prajurit telah berhasil mengajarkan warga cara mengolah kayu rotan (penjalin) menjadi perabotan rumah tangga yang mempunyai nilai jual tinggi. Karena banyaknya pembeli yang datang, dalam waktu singkat kerajinan Penjalin ini berkembang pesat dan menjadi penggerak ekonomi warga. Akhirnya prajurit itu dikenal dengan sebutan Kyai Penjalin. Makamnya ada di sebelah utara Masjid Poncol Kaliurip.

Dalam cerita lain disebutkan bahwa dia mempunyai senjata yang sangat ampuh berupa Penjalin Pethuk. Dengan Penjalin itulah banyak tentara belanda yang dibuat tidak berdaya. Sehingga dia dikenal dengan nama Mbah Kyai Penjalin.

Sungai (kali) Kodil yang selalu mengalir sepanjang musim, menjadi tempat para warga mencari ikan dengan cara gogoh (menyelam) atau memakai posong (perangkap ikan terbuat dari bambu), namun dengan cara ini hasilnya kurang maksimal. Ki Demangpun mempunyai ide untuk membuat alat tangkap ikan yang lebih praktis dan menghasilkan. Setelah melalui berbagai inovasi, terciptalah sebuah jaring (Jala) lempar dengan pemberat rantai besi yang menimbulkan bunyi krompyong Sehingga dinamai Jlamprong (Jala Krompyong). Karena keahliannya ini masyarakat memanggil pembuatnya dengan sebutan Mbah Kyai Jlamprong. Setelah meninggal tokoh hebat ini dikuburkan di pemakaman Jombor II dan dikenang sebagai tokoh (pepundhen) Desa Kaliurip.

Suatu ketika terjadi kemarau yang cukup panjang, sehingga banyak tumbuh-tumbuhan ternak yang mati. Sawah ladang mengering tak lagi bisa ditanami. Sehingga warga dan penduduk harus berjalan jauh untuk mengambil air untuk keperluan hidup, bahkan sungai kodil yang menjadi andalan airnya pun telah mengecil dan kotor akibat saking banyaknya penduduk yang beraktifitas disana.

Keadaan ini tentu menjadi keprihatinan beberapa tokoh (sesepuh) waktu itu. Berbagai cara dilakukan untuk bisa mendapatkan air, termasuk menggali batu besar yang menutupi mata air. namun tetap saja hasilnya nihil. Hingga suatu ketika seorang dari prajurit Mataram tersebut melakukan ritual semadi memohon petunjuk dari yang Maha Kuasa selama tujuh hari tujuh malam. Dalam semedinya ia mendapatkan petunjuk agar memecah sebuah batu di dekat sumber air. Setelah batu berhasil di-pecah-kan keluarlah air (Muncar) terus menerus (Ora Leren) hingga membentuk aliran sungai kecil yang dinamai Kalen Caren (Muncar Ora Leren). Atas jasanya tersebut masyarakat memanggilnya Mbah Kyai Pecaren. Makamnya di Pemakaman Dusun Krajan Kaliurip.

Setelah peristiwa itu masyarakat menyebut daerah ini kaliurip yang terdiri dari dua kosa kata kali dan urip. Kali yang berarti aliran air dan Urip yang berarti selalu mengalir. Menurut kiroto boso (kepanjangan kata) yang pernah diucapkan oleh Simbah Glondhong Karsosoediro (menjabat lurah selama 40 tahun dimasa penjajahan Belanda) waktu itu, menyebutkan bahwa Kaliurip berasal dari bahasa jawa Kaleurip (akale urip) (akalnya hidup – penuh ide) maksudnya bahwa karakter masyarakat Desa Kaliurip selalu mempunyai inisiatif, kreatif dan inovatif untuk menjaga, mengembangkan sekaligus menggapai jalan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan berbagai peristiwa yang menyertai sejarahnya penuh dengan inovasi dan ide kreatif. bila ditulis menggunakan huruf ejaan lama berbunyi “Kale – Oerip” yang kemudian dilafalkan secara sederhana menjadi Kaliurip.

Di masa penjajahan Belanda, tepatnya setelah Raden Adipati Aryo (RAA) Cokronegoro I dikukuhkan sebagai Bupati Purworejo pertama pada tanggal 22 Agustus 1831 Kaliurip menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Purworejo.

Jejak Sejarah Perjuangan Di Kalipancer

Sekilas Mengenai Dusun Kalipancer

Mungkin wilayah ini tidak sebegitu terkenal bila disbanding dengan tempat-tempat lain yang mengandung nilai sejarah. Namun demikian tidak ada salahnya apabila saya mencoba mengulas sedikit tentang daerah saya ini, ya itung-itung mencoba mengangkat nilai historis wilayah kelahiran nenek moyang saya, mudah-mudahan dengan ditulisnya sejarah yang tak pernah ditulis oleh siapapun ini akan membuat sedikit menambah pengetahuan bagi generasi muda yang akhir-akhir ini sudah tidak begitu antusias untuk mengetahui sejarah. Diungkapkan oleh para tokoh bahwa ciri bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah, berangkat dari sinilah saya tergugah untuk mencoba membeberkan sekelumit pengetahuan mengenai seluk beluk sebuah dusun diwilayah Kabupaten Purworejo kecamatan Bener desa Guntur yaitu dusun Kalipancer.

Sedikit kita ulas mengenai istilah Desa Guntur, istilah ini di ambil dari nenek moyang wong Guntur beliau adalah Ki Ageng Guntur Geni. Menurut beberapa sumber tokoh masyarakat yang tertutur secara lisan dan turun temurun dipercaya bahwa Guntur Geni adalah seorang punggowo kerajaan Jipang Panolan yang melarikan diri ke hutan dan berdomisili di hutan. Dari situlah berkembang menjadi sebuah perkampungan yang besar yang sekarang disebut Guntur. Makam Ki Ageng Guntur Geni berada di lembah sungai Bogowonto atau Watukuro dalam sejarah lama. Makam beliau banyak di ziarahi masyarakat untuk sekedar ngalap berkah mbah Guntur Geni. Sebagian masyarakat mempercayai bahwa kesaktian mbah Guntur Geni masih terasa sampai sekarang, sehingga tidak sedikit anak-anak muda yang ngudi kasekten untuk mengubah penampilan menjadi otot kawat balung wesi dengan cara ngalap berkahe simbah Guntur Geni.

Adapun dusun Kalipancer terletak di sebelah utara kelurahan Guntur, daerah ini merupakan bagian dari Desa Guntur. Desa Guntur terbagi menjadi 10 dusun diantaranya: Krajan Siji, Krajan Loro, Gabugan, Siroto, Sibatur, Sipelas, Kaliangkup, Karang Tengah, Jolodoro, Gupit dan Kalipancer. Masing masing dukuh dipimpin oleh seorang
Bayan, sesuai maknanya dalam bahasa arab bayan berarti penjelas, namun dalam istilah ndeso di artikan menyampaikan penjelasan dari Pak Lurah karena membawai beberapa dusun, maka untuk lebih efektifnya di bentuklah wakil-wakil yang di tanam di dusun dusun tersebut. Saat ini dusun Kalipancer di pimpin bayan Ki Ageng Adiyase seorang yang bijak dan berbudi di kalangan warga Kalipancer, maka tak heran bila hingga saat ini masih di tuakan di dusun Kalipancer tersebut.

Kalipancer Secara Geografis

Dusun Kalipancer terletak di dataran tinggi pegunungan kahyangan, di apit oleh pegunungan Kunir di sebelah timur, gunung Sindiro dan gunung Sumbing di sebelah utara sedang sebelah barat dan selatan merupakan hamparan Sungai Bogowonto atau yang jaman dahulu di kenal dengan sungai Watukuro, wilayah ini sekitar 50 Km ke arah utara dari pantai selatan, terletak diantara dua kabupaten yaitu Purworejo dan Wonosobo.

Bentuk tanah Kalipancer sifat kesuburannya tidak merata, bagian utara dan timur mayoritas merupakan daratan atau yang dikeal dengan tanah tegalan, bagian selatan dan barat merupakan tanah kerikil bebatuan dan berbentuk lereng curam. Bila dilihat dari udara akan tampak hamparan bukit kecil Puntuk dan Trenggiling, disebut bukit Puntuk karena bukit ini berbentuk seperti tanah yang methuthuk maka dari itu nenek moyang menamainya dengan bukit Puntuk. Sedang bukit yang satunya di sebut Trenggiling mungkin jaman dahulu merupakan sarang hewan trenggiling, makanya nenek moyang memberikan nama bukit trenggiling. Sebelah barat daya bukit puntuk terdapat lembah Seprih dengan ditandai pohon beringin tua berumur ratusan bahkan mungkin ribuan tahun, pohon ini satu namun berdaun dua macam yakni daun pohon beringin dan daun pohon bhulu. Lembah seprih inilah disinyalir merupakan asal mula nama dusun Kalipancer, karena dibawah pohon yang berusia ribuan tahun tersebut terdapat sumber air yang selalu mancer sepanjang masa, pada musim hujan maupun musim kemarau tetap mancer dengan stabil. Zaman dahulu semua masyarakat untuk aktifitas mandi, mencuci dan ambil air konsumsi semua di kalisepreh ini. Namun seiring dengan berkembangnya jaman dan meningkatnya kesejahteraan ekonomi masyarakat maka masing-masing orang sudah mandi dan cuci di rumah masing-masing.

Diantara bukit Puntuk dan trenggiling terdapat lembah Setompak, istilah setompak berasal dari dua kata siti yang berarti tanah atau lemah dan umpak yang berarti ganjel atau tempat untuk berdirinya sebuah tiang. Istilah ini ada hubungannya sebuah cerita yang menurut nenek moyang bahwa sebenarnya bukit puntuk dan trenggiling adalah merupakan cikal bakal sebuah gunung besar, namun pada proses penciptaanya kamanungsan ( ketahuan orang) sehingga batal atau gagal, padahal sudah dipasang umpak atau ganjal untuk mendirikan tiangnya. Maka dari itu karena yang tersisa hanya umpak maka disebutlah setompak.

Adapun nama-nama daerah di wilayah kalipancer sangat banyak dan tiap-tiap nama mengandung nilai sejarah, nama-nama tersebut diantaranya : Ngadipolo, Munggang, Seprih,Kebonombo, mbeji, merengngetan, merenggedul, watutawing, sigandu, suwinong, simangir, pathuk, cikalang, kaligondang, sibedok, mustokobeter, muntuk, trenggiling, bengkal, kebonlor, seriyek dan karetan.
Kalipancer merupakan tanah yang subur maka tak hayal bahwa yang paling cocok adalah pertanian, tanaman yang paling cocok dan banyak di tanam adalah tanaman kencur, padi, Lombok, jeksin,lubis, telo ubi, telo rambat dan jenis kayu-kayuan seperti pohon albasia, jati dan mahoni. Semua jenis tanaman tersebut sangat menopang ekonomi masyarakat kalipancer pada umumnya.

Gambaran masyarakat Kalipancer

Warga dusun Kalipancer semua merupakan suku jawa asli yang menganut ajaran agama Islam bermadhab imam syafi’i dan dengan pemahaman manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka sebagian besar taat melaksanakan ajaran agama dan menjunjung tinggi sopan santun dan budi pekerti. Masyarakat kalipancer terbagi menjadi dua kelompok yaitu kalipancer lor dan kalipancer kidul. Masing-masing di tuwani oleh bayan yang notabenenya merupakan perpanjangan tangan dari Kepala Desa.Kalipancer lor terdiri dari 2 Rt dan kalipancer kidul terdiri dari 2 Rt. Secara psikologis masyarakat kalipancer lor lebih bersifat halus sedang kalipancer kidul cenderung agak keras. Namun hal ini membuat dusun kalipancer tampak sebagai dusun yang sempurna, ada yang keras dan ada yang lembut semua saling menyempurnakan, masing-msing karakter mempunyai manfaat besar yang tersembunyi.

Mayoritas masyarakat Kalipancer adalah bercocok tanam sebagai petani, sebagian ada yang berdagang beternak dan pegawai negeri. Mereka bercocok tanam padi-padian di sepanjang tepian sungai Bogowonto, untuk cocok tanam Lombok dan umbi-umbiyan banyak dikerjakan di lereng-lereng dan dataran tinggi kalipancer. Sedang yang beraktifitas dagang kebanyakan dengan system mencari hasil tani dari rumah kerumah atau bahkan dari hutan ke hutan yaitu dengan cara membeli hasil bumi, seperti pete, cengkeh, kencur, kelapa dan lain sebagainya. Pembelian dengan berbagai model ada yang transaksi layaknya jual beli di pasar namun ada juga yang menggunakan sistem tebas atau system Pembelian ijon, hal ini tergantung dari kesepakatan pihak penjual dan pembeli . Adapun masyarakat yang berusaha ternak hewan mayoritas jenis mamalia seperti kambing, kerbau, sapi dan ada juga yang ternak ayam kampung dan ayam pedaging.

Bahasa yang digunakan sehari-hari sebagai media interaksi antar individu adalah bahasa jawa asli dengan memperhatikan pakem tingkatan penggunaan bahasa. Yaitu bahasa ngoko, kromo standar dan kromo inggil. Bahasa ngoko mereka gunakan untuk komunikasi antar individu yang selevel, seperti anak-anak dengan anak-anak, remaja dengan remaja dan orang tua dengan orang tua yang merasa status sosialnya sederajat. Sedang kromo standar sering dipergunakan antara anak-anak dengan remaja atau orang tua. Adapun kromo inggil jarang digunakan karena bahasa ini hanya pantas di gunakan orang awam dengan orang yang sangat di hormati seperti sesepuh desa, pak lurah, pak kyai dan orang-orang tua yang bepengaruh di sekitar wilayah tersebut.

Makanan pokok masyarakat kalipancer sama dengan mayoritas penduduk Indonesia pada umumnya yaitu padi yang sudah di olah menjadi beras. Selain padi ada juga jagung dan ketela ubi yang melengkapi bahan konsumsi sehari-hari. Sayur mayur biasa mereka tanam sendiri di ladang seperti bayem, kacang, lobor, mbayung, daun ketela dan ontong atau jantung buanga pisang kapok.
Dalam segala kegiatan yang bersifat umum selalu di kerjakan secara gotong royong yang di kordinir oleh pimpinan dusun yakni Bayan. Demikian juga dalam mengambil putusan sebuah kebijakan selalu di lakukan secara musyawarah untuk mencapap mufakat, jadi apapun yang sudah menjadi sebuah keputusan adalah mertupakan hasil keputusan bersama, sehingga tidak ada sejarahnya pelanggaran-pelanggaran terhadap kebijakan dusun karena aturan tersebut merupakan hasil bikinan sendiri.

Hubungan dalam sebuah keluarga sebutannya sebagian masih bersifat tradisionil merupakan warisan dari nenek moyang, seperti sebutan untuk ibu dengan menggunakan istilah simbok atau biyung, sebutan untuk ayah dengan istilah bopo atau bapak, kakak dengan sebutan kakang atau kangmas, sebutan untuk pak De dan bu De dengan istilah uwo yang artinya saudara tuwo atau yang dituawakan, karena umur mereka di atas umur orang tuanya dalam talian keluarga.dam masih banyak lagi seperi lek sebagai seburan untuk om atau tante, alon untuk sebutan sebagai keponakan, misan untuk sepupu, ipe untuk sebutan ipar, moro tuwo untuk sebutan mertua, simbah kakung untuk sebutan kakek, simbah putri untuk sebutan nenek, buyut untuk sebutan orang tuanya simbah, canggah untuk sebutan orang tuanya buyut, wareng untuk sebutan orang tuanya canggah dan udeg-udeg siwur untuk sebutan orang tuanya canggah.
Tradisi gotong royong masih sangat terasa dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti dandan umah dan ewuh mantu maupun hajat lainya, segala kebutuhan baik yang bersifat materiel maupun tenaga ditanggung secara bersama, hal ini tidak ada paksaan maupun tekanan dari aparat namung dilakukan secara suka rela. Hal ini sungguh merupakan suatu tradisi yang patut dilestarikan.

Tradisi lama yang tersisa.

Sebagaian masyarakat kalipancer hingga saat masih memelihara tradisi lama peninggalan nenek moyang, terutama masal-masalah ritual setiap kali akan melakukan atau memulai sebuah pekerjaan besar. Misalnya orang yang akan merehab atau mendirikan sebuah rumah biasanya di dahului dengan ritual tolak balak, yang tujuannya meminta keselamatan kepda Allah swt. Namun do’a yang dibaca selain doa-doa yang sering di pakai umat islam juga masih ada ungkapan-ungkapan yang berbahasa kuno yang mengacu pada sebuah kepercayaan orang-orang kuno.ungkapan ini sepertinya di tujukan pada salah satu tokoh seng mbahu rekso suatu lingkungan atau wilayah, karena sering kita dengar adanya sebutan kyai catok dan nini catok, mungkin tokoh imajinatif ini di harapkan agar kayu-kayu komponen rumah bisa saling catok mencatok sehingga rumah yang dibuat berkualitas kuat.

Tradisi lain adalah banyak anak-anak kecil di cukur kuncung, yaitu bagian pusat rambut dibiarkan tidak dicukur sampai batas waktu yang ditentukan, sehingga rambut ini akan tampak ljauh lebih panjang dari rambut kepala yang lain. Tradisi ini mungkin dipercaya sebagai simbul dan harapan agar berumur panjang, karena rambutnya nglewer panjang.

Tradisi tolak balak yang lain masih banyak lagi seperti sholat rebo wekasan yang doanya dengan cara menghadap ke enam penjuru angin, miwiti setiap akan panen padi dengan cara membuat nasi megono untuk di antar ke pematangan sawah, membuat among-among setiap hari kelahiran anak kecil selalu diperingati selapan hari sekali misalnya lahir hari ahad wage maka setiap ahad wage keluarga akan membuatkan among-among yang terdiri dari nasi setampah dengan kluban dan lauk rese atau ikan asin, telur dan urap krambil,dan masih banyak lagi tradisi yang saya tidak dapat menyebutkan satu persatu.

Penyebaran Islam di Kalipancer

Masuknya agama Islam di dusun kalipancer tidak dapat diketahui dengan jelas, karena tidak ada catatan atau bukti tertulis yang dapat dijadikan sebagai acuan, namun dapat diperkirakan sekitar jaman walisongo islam sudah ada di Kalipancer walau penganutnya masih sangat minim. Minimnya penganut Islam karena penduduknya waktu itu juga masih sangat sedikit. Dugaan bahwa Islam sudah ada semenjak walisongo yaitu di tandai adanya sebuah petilasan syeh Dombo salah satu tokoh penyebaran agama Islam di pulau jawa , dalam cerita walisongo syeh domba adalah salah satu murid dari sunan Kalijogo. Selain petilasan syeh Dombo juga ditemukan sebuah petilasan syeh Dimyati yang berlokasi di kali Rau tepi kalenan dengan tanda pohon aren kembar. Makam petilasan ini dahulu ditemukan oleh kyai Muklas Abror al Siroto sekitar tahun 1988 an, makam ini sewaktu baru di temukan sempat ramai di ziarahi oleh masyarakat namun saat ini sudah tidak sebegitu ramai.

Tokoh penyebaran Islam yang masih sangat bisa diingat oleh para sesepuh dusun kalipancer adalah Kyai Sabikhis, beliau adalah tokoh dalam segala bidang, sebagai pengayom dan sebagai tabib masyarakat. Kyai Sabikis merupakan tokoh kharismatik yang di kenal oleh banyak orang di wilayah Purworejo dan wonosobo. Banyak masyarakat yang selalu meminta pertolongan, terutama masalah pengobatan tradisional. Karena jasa-jasanya inilah maka beliau banyak saudaranya sampai ke segala pelosok seperti karang tengah, sipudak dan kapulogo, semua wilayah ini berada di kabupaten Wonosobo. Masyarakat mengenal kyai Sabikis sebagai figure ulama sakti yang di segani, banyak kelebihan-kelebihan yang tidak dipunyai oleh masyarakat pada umumnya, hal ini karena ilmu maunah yang dimilikinya. Dalam perjalanannya kyai sabikis merupakan orang yang rajin prihatin demi mencapai drajat mashurnya, diantaranya pernah berkhalwat atau menyepi atau nepi (bahasa ndeso) di gua watu tawing sebuah tempat di lereng tebing batu yang terletak di sebelah barat kalipancer di atas sungai bogowonto, tempat ini dahulu juga pernah untuk menyepi atau topobroto joko tingkir. Kyai Djalan menceritakan bahwa kyai sabikis sering mencari ikan di bogowonto menyelam dengan menggunakan lampu sentir namun anehnya lampu tersebut tidak mati walau terendam dalam air berjam-jam. Kyai sabikis juga pernah tidur ditengah-tengah keramain orang teinjak-injak tanpa diketahui satu orangpun,beliau pernah juga mencoba ilmu ringin setangkep dengan membeli jam dinding di orang cina namun jam yang dibelinya tidak tampak oleh penjualnya sehingga penjualnya menganggap beliau tidak beli apa-apa. Kelebihan yang beliau miliki mungkin karena garis silsilahnya kebanyakan orang-orang sekti seperti Ki Selobranti, Ki Ageng selo dll.

Informasi ini berdasarkan catatan silsilah kyai sabikis yang beliau tulis di kitab usang tulisan tangan bertinta latu daun bambu yang beliau gunakan untuk mulang ngaji sehari-hari di dusun. Dalam catatan silsilahnya disebutkan bahwa bertutut-turut dari bawah ke atas adalah sebagai berikut; Sabikhis anaknya Sokromo, Sokromo anaknya Kromo Sari, Kromo Sari anaknya Selo Branti, Selo Branti anaknya Ageng selo. Semua tokoh yang tertera dalam silsilah tersebut masih dapat ditapak tilas, kyai sabikis bermakam di Sitompak kalipancer, kyai Sokromo di banyuwangi Jawa Timur beliau wafat di Banyuwangi saat silaturahmi ke tempat keluarganya sehingga di makamkan di sana. Sedang makam Kromosari anak cucu dusun kalipancer kurang tahu dimana lokasinya, adapun Selo Branti makamnya berlokasi di Dusun Jlamprang kecamatan Bener. Menurut cerita selo Branti salah satu prajurit kerajaan mataram yang ahirnya menetap menjadi guru kanuragan di purworejo, dengan kesaktiannya beliau banyak mengalahkan penjajah dalam pertempurannya.

Kyai sabikhis adalah orang yang pertama kali mendirikan sholat ju’at di dusun kalipancer, karena sebelumnya masyarakat kalipancer melaksanakan sholat jum’at di desa Guntur yang jaraknya sekitar 3 kilo perjalanan kaki. Shalat jum’at pertama dilaksanaka oleh 7 orang, mereka adalah tokoh-tokoh misuwur di kalangan kalipancer pada saat itu. Namun lambat laun yang berjamaah semakin banyak bahkan dari liar desa seperti desa limbangan, legetan dan kahyangan menjadi satu di kalipancer.

Tujuh Roh Leluhur Yang Terabadikan Jadi Nama Desa

Secara Historis maupun ditinjau dari Epistimologis, nama Pituruh berasal dari kehebatan (tokoh linuwih) Tujuh Roh (7 Leluhur) yang cikal bakal di desa tersebut yang berdomisili di tujuh pedukuhan. Ketujuh linuwih tersebut diyakini oleh warga adalah kaum bangsawan dari Kerajaan Majapahit. Beliau diyakini sebagai para pengikut setia dari Raja Majapahit (Prabu Browijoyo).

Seperti diketahui, dalam budaya Jawa ada ungkapan “Ilang sirno kertaning bumi”, yang merujuk pada tahun 1400 M telah terjadi peristiwa besar yang menyebabkan satu kerajaan terbesar di Jawa (tepatnya di Jawa Timur) mengalami keruntuhan. Akhirnya Putra Mojopahit mengembara meninggalkan atau membebaskan diri dari gemerlap serta hiruk pikuk situasi kota raja (pusat pemerintahan) dengan disertai para pengikut setianya, tidak lain untuk mencari tempat yang sunyi sepi untuk semedi guna mendekatkan diri kepada Illahi Robbi.
   
Ketujuh pengikut raja tersebut diyakini warga sebagai cikal bakal berdirinya nama desa Pituruh. Adapun ke-Tujuh (Pitu) Roh leluhur tersebut terpencar di Tujuh Pedukuhan yang ada di desa Pituruh layaknya tujuh penjuru mata angin. Oleh masyarakat Pituruh leluhurnya yang berjumlah tujuh tersebut hingga kini ditempatkan sebagai sumber kekuatan spiritual. Ketujuh tokoh cikal bakal tersebut dalam sejarahnya memiliki karakteristik kelebihan masing-masing yang saling melengkapi. Bukti sejarah serta prasasti dari tujuh tokoh tersebut sampai sekarang terdapat makam dan petilasannya. Beliau masing-masing adalah :

Mbah Banyu

(Makam dan petilasannya ada di Duku Blending). Beliau diyakini piawai dalam kaitannya dengan dunia jagad air (yang berkaitan dengan masalah air, Mbah Banyu-lah yang dianggap penguasanya).

Mbah Dewi Sri

(Makam dan petilasannya ada di Dukuh Gamblok). Beliau diyakini sebagai Dewi Rejeki, orang Jawa dari kalangan petani menyebutnya sebagai Dewi Padi.

Mbah Siluman

(Makam dan petilasannya ada di Dukuh Sutogaten). Beliau diyakini dikenal sebagai salah satu tokoh leluhur di desa Pituruh yang memiliki kekuatan spiritual dapat menghilang serta sangat sakti.

Mbah Pengrawit dan Mbah Jenggot

(Makam di Dukuh Kulon). Beliau berdua diyakini sebagai leluhur yang sangat piawai memainkan alat musik, serta piawai dalam dunia seni dalam kancah yang plural beliau inilah seorang seniman atau budayawan.

Mbah Kuwat

(Makam di Dukuh Bantengan). Secara Eptimologis beliau diyakini memiliki aspirasi kekuatan fisik yang sangat sempurna dan disegani. Kekuatan yang sempurna itu, dianalogikan kuat seperti banteng. Beliau pada eranya, karena keperkasaannya, diyakini diposisikan sebagai jogoboyo.

Mbah Mentosoro

(Makam di Dukuh Wetan atau Mentosaran). (dari Filologi dan Eptimologi berasal dari kata Meto Soro). Beliau ini adalah figur tokoh yang kaya pengetahuan, luas penguasaan ilmu pengetahuannya, sehingga beliau inilah sebagai sumber nasihat bagi orang-orang yang sedang dirundung masalah (sengsoro).

Mbah Mabean

(Makam dan petilasannya ada di Dukuh Wetan atau Mabean). Beliau diyakini sebagai tokoh ibu, karaker seorang ibu adalah simbol dari seorang pengasuh yang bijak, penuh kasih sayang dan berbudi lembut. Ia juga seorang figur yang pamomong yang berbudi bijak. Dialah figur ibu dari seluruh anak turunan warga Pituruh.

Dari karakteristik tujuh (Pitu) Roh yang saling melengkapi itulah sangat diyakini oleh warga Pituruh, bahwa leluhurnya disamping sebagai jalmo linuwih selalu ditempatkan menjadi simbol Pengayom, Pelindung dan sekaligus sebagai Sang Pamomong Sejati.
   
Dengan tujuh (Pitu) roh yang memiliki karakter dan kelebihan sendiri-sendiri serta tidak saling bertentangan namun justru menyatu itulah menjadikan kini dikenal sebagai desa Pituruh (Pituroh).

Pada perkembangannya desa Pituruh memiliki kekuatan spiritual bagi 49 desa yang ada di sekitarnya yang pada perkembangannya telah menjadi ibukota Temenggung-an di era Pemerintahan Bupati Tjokro Negoro I, dengan Tumenggung Djoyo Berbongso, dan kini telah menjadi Ibu Kota Kecamatan. Pada era (jaman kejayaan) tujuh leluhur tersebut, desa Pituruh selalu menjadi panutan dan memiliki daya pengaruh bagi desa-desa di sekitarnya.

Minggu, 30 Juli 2017

Tradisi Unggahan Masyarakat Trah Kyai Bonokeling


Mentari hangat menyelimuti tubuh, jejak hujan masih nampak di jalanan dari Purwokerto menuju Jatilawang-Margasana, beberapa jalan berlobang menyisakan genangan air yang muncrat ketika terlindas roda kendaraan, daun-daun pepohonan nampak masih berselimut embun, berpacu dengan kendaraan lain, hari itu suara hati mengantarku menuju sebuah Desa di sebelah selatan wilayah Banyumas, Pekuncen nama sebuah Desa tersebut, ia terletak di kecamatan Jatilawang dengan jarak dua kilo dari jalan raya Margasana-Jatilawang. Bonokeling, sebuah nama dengan berbagai cerita seputar adat beserta mitologi yang menyelimutinya sesungguhnya beberapa tahun sayup telah kudengar,  Seorang perempuan setengah baya yang berdiri di depan sebuah pagar rumah memberikan arah petunjuk komplek makam Eyang Bonokeling, pelan saya arahkan kendaraan menuju sebuah pertigaan dan lurus ke arah kanan, kira-kira jarak dua ratus meter saya temui sebuah komplek dengan deretan rumah adat jawa dan beberapa pohon angsana keling yang sungguh besar, tepat diseberang jalan, nampak gapura gerbang makam Eyang Bonokeling berdiri dengan penuh kharisma.

Siapa sosok yang disebut Ki Bonokeling?

Biografi tentang sosok Eyang Bonokeling, Ki Bonokeling, Mbah Bonokeling atau juga akrab disebut Kyai Bonokeling menjadi bagian dari kerahasiaaan yang turun temurun dijaga secara ketat oleh para anggota komunitas adat bonokeling.

Ada dua pendapat seputar kerahasiaan identitas Ki Bonokeling,
Pertama, bahwa kerahasiaan identitas, asal-usul, adalah bagian dari wasiat dari Ki Bonokeling sendiri kepada anak turunnya.
Kedua,kerahasiaan itu sesungguhnya bersumber dari ketidaktahuan itu sendiri, yang kemudian dilegitimasi sebagai bagian dari “uger-uger” atau peraturan adat Bonokeling, ketidaktahuan ini juga diakibatkan, atau ditopang, oleh aturan adat dalam proses transmisi ajaran-ajaran Bonokeling, yang harus disampaikan secara lisan, bukan tulisan.

Namun demikian, dalam diskusi-diskusi para sejarawan lokal muncul beberapa pendapat, antara lain Ki Bonokeling merupakan seorang tokoh penyebar Islam yang berasal dari Pasir Luhur, sebuah kerajaan semi independen yang berada dalam pengaruh imperium Hindu Padjajaran yang kemudian di zaman Islam memasuki Pulau Jawa atau di Zaman Kesultanan Demak, Pasir Luhur turun drat-nya hanya menjadi Kadipaten di bawah Demak dengan Adipatinya Raden Banyak Blanak putera Adipati Banyak Kesumba. Bonokeling bukanlah sebuah nama asli namun julukan, ia terdiri dari dua kata, Bono yang berarti “wadah” (Tempat), dan “Keling” yang berarti “Ireng’ (Hitam), konon “Wadah Ireng” atau wadah yang hitam mengacu pada sikap kehambaan , kerendah hatian seorang manusia. Ki Bonokeling kemungkinan besar masa kehidupannya sezaman dan merupakan bagian dari jaringan penyebaran Islam pada wilayah Pasir Luhur dan sekitarnya yang berpusat di Pasir Luhur dengan koordinator wilayahnya, Syeikh Makdum Wali dari Demak.

Sementara itu, ada sebuah pendapat yang menyatakan bahwa apa yang sekarang ada di Pekuncen yang kemudian teridentifikasi secara cultural dengan komunitas adat bonokeling tidak lain merupakan sisa-sisa pengikut Adipati Banyak Thole yang menyingkir dari Pasir Luhur karena kegagalannya membendung penyerbuan militer Demak dan kelompok internal yang tidak menghendaki Banyak Thole menduduki tahta pasir menggantikan ayahandanya Raden Banyak Blanak (Senopati Mangkubumi I), demi untuk menghindari spionase intelejen Demak, maka kelompok loyalis Adipati Banyak Thole mengembangkan sebuah strategi tutup mulut, menyembunyikan identitas aslinya, sehingga sampai sekarang perahasian identitas Bonokeling bagi komunitasnya merupakan sebuah“wewadi lan wewaler” yang sungguh-sungguh dijaga secara run temurun. Pendapat lain menyatakan bahwa Bonokeling merupakan santri atau murid daripada Sunan Kalijaga yang dikenal dengan gaya dakwah kulturalnya, seperti diketahui dalam catatan sejarah yang ada, Sunan Kalijaga merupakan seorang tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa yang berhasil mengislamkan manusia jawa tanpa kehilangan “sepenuhnya” ke-jawaannya, dalam racikan Islam Jawa gaya Sunan Kalijaga, dengan memeluk Islam, manusia jawa tetap berada dalam posisi kejawaannya, dengan tanpa banyak beranjak dari pusaran budayanya.

Sekilas tentang konsepsi tuhan Manusia Jawa

Sedikit menengok ke belakang, Jauh sebelum Hindu dan Budha hadir, manusia Jawa telah memiliki keyakinan terhadap Tuhan yang disebutnya dengan “Sang Hyang Sangkan Paran”atau ‘Pangeran” atau “Gusti Alloh”, sedang wujud-Nya tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu menjangkau-Nya, dan kata-kata tak cukup untuk menerangkan-Nya, oleh karena itu manusia Jawa mengidentifikasi Tuhannya dengan sebuah konsepsi,“Tan Kena Kinaya Ngapa” (Tuhan yang tak dapat diserupakan) atau dalam bahasa Islam, “Mukholafadu Lil Hawaditsi” (Berbeda dengan mahluk). Manusia Jawa tidak melihat ajarannya sebagai agama monotheisme seperti halnya, Islam, dan Kristen, namun lebih menganggapnya sebagai pandangan hidup, seperangkat nilai-nilai yang di iringi dengan sejumlah lelaku atau ibadah versi Jawa. Prinsip mencapai keseimbangan (Equilibrium) adalah hal yang penting bagi manusia Jawa dalam menjalani kehidupan fana ini. Semua mahluk ciptaan-Nya tak terkecuali jin, setan, dedemit mrekayangan. dipahami sebagai bagian dari tata keseimbangan kosmis, masing-masing daripadanya memiliki tugas peranan yang musti dijalaninya. Manusia sebagai bagian dari kehidupan ini berkewajiban menyadari bahwa Tuhan tidak hanya menciptakan manusia saja, namun juga mahluk lain termasuk yang tidak kasat mata, sesama mahluk ciptaan telah seharusnya untuk saling hormat menghormati, menghargai tugas masing-masingnya sebagai titah-Nya. Beberapa ritual dan lelaku kejawen mewujudkan kesadaran tentang kebersamaan dan sikap saling menghargai dengan alam, sedekah bumi misalnya, secara kebudayaan merupakan wujud terimakasih terhadap bumi, tanah, yang sehari-hari dipijak, demikian juga sedekah laut, dengan demikian juga wujud syukur terhadap anugerah Tuhan YME. Dalam pemahaman dan pengertian Jawa, bentuk-bentuk sesaji, tumpengan,yang disajikan dalam beberapa ritual tertentu  dipahami dalam kerangka dua hal,

Pertama, sebagai visualisasi dari permohonan do’a yang dipanjatkan kepada Sang Hyang Murbeng Dumadi, Tuhan YME, masing-masing elemen dan racikannya memiliki makna simboliknya masing-masing,, yang mewakili lisan dalam memanjatkan pengharapan do’a, tentu jika terdapat kemauan untuk memahami secara lebih mendalam terhadap tradisi Jawa berupa sesaji dan slametan dengan berbagai ubo rampenya, stigmatiasai negative seperti syirik, dapat dihindarkan, bahkan sebaliknya muncul kekaguman betapa manusia Jawa memiliki kebudayaan yang tinggi.

Kedua, sebagai wujud penghormatan, penyambung silaturahim dengan sesama mahluk ciptaan-Nya yang secara kodrati tercipta tidak dilengkapi dengan jasad/wadag. Manusia memang diciptakan sebagai yang paling sempurna (Ahsanul Khuluq), dan diberi kekuasaan atas bumi seisinya, namun, bukan berarti manusia boleh berbuat sewenang-wenang, serakah, dan menafikan mahluk lainnya sesama penghuni bumi Tuhan ini.

Pemahaman dan penghayatan keislaman komunitas adat Bonokeling atau juga disebut anak putu Ki/Kyai Bonokeling diakui sebagai ajaran warisan run temurun dari Kyai Bonokeling dan terjaga dengan baik sampai sekarang, mereka menyatakan kesakisanya bahwa tidak ada tuhan selain Alloh dan Muhammad utusan Alloh (Syahadat), fasih membaca sholawat atas Nabi Muhammad SAW, menjalankan puasa ramadhan dan bersedekah. Salah satu ritual yang dilaksanakan secara besar-besaran adalah ritual/upacara unggah-unggahan, yang dilaksanakan menjelang pelaksanaan puasa ramadhan, secara tekhnis, dalam unggah-unggahan ini setiap wilayah memiliki jatah kuota yang telah ditentukan untuk mengikuti jalannya upacara, kemudian dari masing-masing wilayah mereka diharuskan berjalan kaki (dihimbau untuk tidak memakai alas kaki) dengan membawa berbagai hasil bumi dan ternak menuju lokasi upacara yaitu di komplek makam Kyai Bonokeling, ternak dan hasil bumi tersebut kemudian akan dijadikan santapan bersama-sama dilokasi upacara. Dengan memakai pakaian adat kemudian mereka menuju makam pepunden mereka yaitu Kyai Bonokeling untuk melakukan ritual/do’a, setelah semuanya cukup dilanjutkan dengan makam bersama. Terkait dengan sholat lima waktu, yang konon (menurut kabar mutawatir) komunitas adat Bonokeling tidak melaksanakannya, menurut penulis hal tersebut selain jelas merupakan pemahaman dan kebiasaan turun temurun yang memang diakui, juga dilatarbelakangi pemahaman seputar sholat wajib yang berbeda dengan umat Islam pada umumnya,  dugaan penulis, pemahaman terhadap sholat mendasarkan pada makna sholat yaitu dzikir atau ingat, “eling marang sing gawe urip” (Ingat, memiliki kesadaran terhadap yang Maha mencipta yaitu Tuhan YME) yang memang menjadi tujuan (Ghoyyah) dari pelaksanaan sholat itu sendiri, dari tahapan kesadaran atau eling tersebut diharapkan manusia akan menjalani tahap selanjutnya yaitu berbuat baik, atau “lelaku sae marang sepada-pada”, (berbuat baik terhadap sesama/alam seluruhnya), dalam kaitan ini sholat dipahami sebagai cara (Wasilah), pemahaman atau tafsir atas perintah sholat wajib semacam ini merupakan hasil pemaknaan terhadap makna sholat yang secara etimologi berarti ingat, pemhaman semacam ini berarti juga sebuah pemahaman yang langsung menanjak pada inti atau hakekat sebuah titah Tuhan.

Beberapa pendapat seputar agama trah Ki Bonokeling

Komunitas anak putu/trah Ki Bonokeling menarik berbagai pihak oleh karena keyakinan serta adat istiadatnya yang masih sedemikian kuat dipegang dan dijalankan oleh penganutnya.

Terdapat beberapa pendapat terkait penilaian terhadap keberagamaan trah Ki Bonokeling ini,

1). Bahwa seperti yang diakui sendiri oleh ketua adat Ki Bonokeling, mereka menganut agama Islam, namun dengan beberapa perbedaan. Perbedaannya, sebagai contoh dalam pemahaman rukun Islam, komunitas Ki Bonokeling berbeda dalam memahami perintah mendirikan sholat lima waktu, sehingga mereka tidak melaksanakan sholat lima waktu seperti halnya muslim kebanyakan. Mereka juga melaksanakan zakat, namun dengan takaran/jumlah, serta sasaran zakat yang berbeda, zakat mereka seperti system borongan, misalnya untuk 10 orang wajib zakat hanya memberikan 20 ribu rupiah, yang diberikan kepada kayim setempat.

Dalam hal cara penguburan mayatpun terdapat perbedaan, kain kafan yang mereka pergunakan adalah kain kafan khusus berwarna kecoklatan yang dibuat sendiri, disholatkan hanya oleh kayim, dalam penyampaian do’a mereka menggunakan sesaji dan lafal-lafal jawa. Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, ada pendapat yang menyatakan bahwa corak keislaman pada komunitas adat Bonokeling jelas sebuah hasil dari proses yang belum selesai, atau sebuah proses adaptasi antara wahyu (Islam) dengan kejawen yang tidak tuntas.

2). Sesungguhnya komunitas adat Ki Bonokeling memiliki agama tersendiri, semacam agama lokal yang disebut agama Bonokeling (Mengacu sang pendirinya), pengidentifikasian sebagai Islam dengan cara mengambil beberapa elemen ajaran dari Islam merupakan bagian dari strategi untuk tetap survive dalam kepungan tekanan Islamisasi yang ditopang oleh kekuatan kekuasaan (dalam hal ini ialah kekuasaan Pasir Luhur sebagai bagian dari Imperium Islam Demak), dan atas tekanan negara (state), pada zaman ketika Nusantara ini bermetamorfosis menjadi Indonesia yang hanya mengakui agama-agama impor.

Jika pemahaman serta praktek keislaman komunitas Ki Bonokeling diperhadapkan dengan mainstream umat Islam dalam memahami prinsip-prinsip Islam (Rukun Islam), tentu dapat dikatakan bahwa komunitas Ki Bonokeling merupakan sebentuk keislaman yang berbeda. Berbeda dengan kelompok-kelompok semacam Ahmadiyah yang di cap sesat, komunitas Ki Bonokeling relatif aman dari stigmatisasi sesat, salah satu faktornya ialah peraturan adat untuk tabu mengkomunikasikan beberapa bagian dan ajarannya kepada pihak diluar komunitas mereka (Taqiyyah-Meminjam istilah Syi’ah). Dalam alam demokrasi sekarang ini, komunitas semacam Ki Bonokeling masih mengalami tekanan dan ketidakadilan dalam konteks kebebasan beragama, karena sampai saat ini agama yang diakui negara hanya 6, dan kesemuanya kebetulan ialah agama yang hadir (dihadirkan) dari luar negeri (Impor).

Tradisi Unggahan

Ritual Unggahan bagi masyarakat penganut kepercayaan Bonokeling sejatinya memiliki makna nyaris serupa dengan tradisi nyadran atau berziarah mengunjungi makam leluhur yang biasa dilakukan umat muslim menjelang bulan Ramadan tiba. Perbedaannya adalah wujud pengemasan ritus adat itu sendiri yang masih menjunjung tinggi kearifan lokal sebagai sebuah upaya melestarikan tradisi turun temurun warisan leluhur mereka. Tradisi atau
perlon Unggahan tersebut digelar di Desa Cagar Budaya Pekuncen, Kabupaten Banyumas, sekitar satu jam perjalanan darat dari Kota Purwokerto, Jawa Tengah.

Sebagai warisan budaya adiluhung ratusan tahun silam dari tanah Banyumas yang agraris dan wujud kearifan lokal masyarakat Jawa kuno, ritual Unggahan selalu dilaksanakan oleh para anak putu atau sebutan bagi mereka para pengikut ajaran Kyai Bonokeling setiap tahunnya di hari Jumat terakhir sebelum bulan Ramadan tiba. Layaknya seperti sebuah momen epic dan kolosal, ritual ini melibatkan sekitar seribu lebih manusia penganut kepercayaan Bonokeling dari sejumlah desa di Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas.

Ritual atau tradisi Unggahan ini dimulai dari Desa Adiraja, sebuah desa kecil di Kabupaten Cilacap tempat bermukim mayoritas wangsa penganut aliran kepercayaan Bonokeling. Saat pagi hari dimana matahari belum bersinar terlalu menyengat, mereka memulai ritual Unggahan dengan melakukan caos bekti atau semacam salam penghormatan pada para bedogol atau tokoh-tokoh pemangku yang dituakan di dalam rumah adat pasemuan. Seusai prosesi caos bekti, mereka kemudian berjalan kaki puluhan kilometer menuju Desa Pekuncen yang berada di Kabupaten Banyumas. Tak pandang usia maupun kasta, semua sama rata, berjalan kaki sebagai simbol napak tilas perjalanan leluhur mereka Kyai Bonokeling dalam menyebarkan ajarannya. Beberapa diantaranya sambil memanggul ongkek berisi sesaji dan uba rampe berisi hasil ladang dan ternak mereka sebagai persembahan.

Sesampainya di Desa Pekuncen, mereka para pengikut kepercayaan Bonokeling dari Desa Adiraja, Kabupaten Cilacap langsung disambut oleh para warga Desa Pekuncen, Banyumas selaku tuan rumah selayaknya saudara sendiri. Pintu rumah warga di seantero desa tak ada yang tertutup, atau bahkan terkunci. Semua warga membuka lebar-lebar pintu rumahnya untuk dapat menjadi tempat beristirahat saudara jauh mereka sebelum melanjutkan ritual. Tak terkecuali dengan saya, Sumitro sang Ketua Kelompok Pelestari Adat Bonokeling Desa Pekuncen, Banyumas, pun dengan hangat dan penuh keramahan mempersilahkan saya tinggal dirumahnya untuk bermalam, lengkap dengan jamuan makan malam yang teramat nikmat dan bergelas-gelas kopi sebagai teman ngobrol malam hari.

Dalam beberapa hari, Desa Pekuncen tempat pusara makam keramat Kyai Bonokeling berada mendadak sibuk oleh hiruk pikuk ribuan manusia. Seluruh sudut desa riuh ramai selayaknya menggelar sebuah hajatan agung nan sakral. Di pertengahan hingga sepertiga malam sebelum fajar tiba di ufuk timur, para warga penganut kepercayaan Bonokeling berkumpul menyuarakan semacam tembang-tembang dalam bahasa Jawa setempat. Alunan tembang tersebut berisi puji-puji bagi sang Kyai Keramat, yakni Kyai Bonokeling.

Keesokan harinya, kaum pria bergotong royong menyembelih hewan ternak hasil persembahan dari para anak pututrah Bonokeling yang dibawa dari Desa Adiraja, Kabupaten Cilacap. Daging hewan ternak dan hasil bumi persembahan para warga penganut Bonokeling itu kemudian dimasak dalam tungku dan wajan besar untuk dimakan bersama-sama secara massal di seputaran area pusara makam keramat sang Kyai Bonokeling.

Menginjak siang hari, ratusan perempuan berbalut kemban dengan selendang putih berbahan kain lawon melingkari pundak berbaris mengular panjang. Satu per satu dari mereka kemudian masuk secara perlahan menuju pintu gerbang pusara makam keramat sang Kyai Bonokeling. Dalam keheningan, mereka membasuh tangan, kaki, dan wajah sambil komat kamit mengucap mantra dan doa. Kemudian mereka duduk bersimpuh sambil mengatupkan kedua telapak tangan dan mengangkatnya setinggi kening di kepala untuk menhaturkan hormat di depan makam keramat.

Kaum wanita sengaja didahulukan memasuki kompleks makam karena dalam kepercayaan Bonokeling. Bagi para penganut kepercayaan Bonokeling, wanita merupakan perwujudan ibu bumi yang menghasilkan keturunan anak cucu pengikut Bonokeling hingga saat ini. Oleh sebab itu, kedudukan wanita dalam kepercayaan  kejawen kuno ini sangat lah dihormati. Sedangkan kaum pria baru menyusul saat sore hari sambil membawa makanan yang telah dimasak pagi harinya menuju kedalam pusara makam.

Semoga Ada Manfaatnya
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Jumat, 28 Juli 2017

Hikmah Dari Ibadah Sa'i

Sa’i adalah salah satu rukun haji. Pengertiannya ialah jalan cepat, lebih cepat dari jalan biasa dan lebih lambat dari lari.

Cara melakukan sa’i ialah berjalan dari bukit Shafa menuju bukit Marwah sebanyak tujuh kali yang diakhiri di bukit Marwah.

Orang pertama yang melakukan sa’i antara dua bukit tersebut ialah ibu Nabi Ismail. Waktu itu, Siti Hajar kebingungan karena anaknya, Nabi Ismail menangis kehausan. Ia mencari air ke sana ke mari untuk minum anaknya. Kesudahannya, Allah memancarkan sebuah mat air untuk mereka berdua. Mata air tersebut kemudian diberi nama Zam-Zam. Hampir saja rasa haus itu akan menghabisi riwayat mereka berdua.

Dalam ibadah Sa’i antara Shafa dan Marwah mengandung pengertian memohon pertolongan kepada Allah dalam menghadapi kesulitan, dan memohon ampunan dari seluruh perbuatan dosa. Karena, pada tempat itu Allah telah menghilangkan kesusahan yang menimpa Hajar dan anaknya yang bernama Ismail.

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ (158)

Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Bailullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْهَاشِمِيُّ، أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قُلْتُ: أَرَأَيْتِ قَوْلَ الله تَعَالَى: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا} قُلْتُ: فَوَاللَّهِ مَا عَلَى أَحَدٍ جُنَاحٌ أَنْ لَا يطَّوف بِهِمَا؟ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: بِئْسَمَا قُلْتَ يَا ابْنَ أُخْتِي إِنَّهَا لَوْ كَانَتْ عَلَى مَا أوّلتَها عليه كانت: فلا جناح عليه أَلَّا يَطَّوَفَ بِهِمَا، وَلَكِنَّهَا إِنَّمَا أُنْزِلَتْ أَنَّ الْأَنْصَارَ كَانُوا قَبْلَ أَنْ يُسْلِمُوا كَانُوا يُهِلّون لِمَنَاةَ الطَّاغِيَةِ، التِي كَانُوا يَعْبُدُونَهَا عِنْدَ المُشلَّل. وَكَانَ مَنْ أهلَّ لَهَا يَتَحَرَّجُ أَنْ يطوَّف بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، فَسَأَلُوا عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا كُنَّا نَتَحَرَّجُ أَنْ نطَّوف بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ} إِلَى قَوْلِهِ: {فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا} قَالَتْ عَائِشَةُ: ثُمَّ قَدْ سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّوَافَ بِهِمَا، فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَدع الطَّوَافَ بِهِمَا.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Sa'd, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah. Urwah menceritakan bahwa Siti Aisyah pernah berkata kepadanya, bagaimanakah pendapatmu mengenai makna firman-Nya: Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. (Al-Baqarah: 158) Aku menjawab, "Demi Allah, tidak ada dosa bagi seseorang bila dia tidak melakukan tawaf di antara keduanya." Siti Aisyah berkata, "Alangkah buruknya apa yang kamu katakan itu, hai anak saudara perempuanku. Sesungguhnya bila makna ayat ini seperti apa yang engkau takwilkan, maka maknanya menjadi 'Tidak ada dosa bagi seseorang bila tidak tawaf di antara keduanya'. Akan tetapi, ayat ini diturunkan hanyalah karena orang-orang Ansar di masa lalu sebelum mereka masuk Islam, mereka selalu ber-ihlal untuk berhala Manat sesembahan mereka yang ada di Musyallal (tempat yang terletak di antara Safa dan Marwah), dan orang-orang yang pernah melakukan ihlal untuk berhala Manat merasa berdosa bila melakukan tawaf di antara Safa dan Marwah. Lalu mereka menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. dan mengatakan, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami merasa berdosa bila melakukan tawaf di antara Safa dan Marwah karena masa Jahiliah kami. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya'(Al-Baqarah: 158). Siti Aisyah r.a. berkata, "Kemudian Rasulullah Saw. menetapkan (mewajibkan) sa'i antara keduanya, maka tiada alasan bagi seseorang untuk tidak melakukan sa'i di antara keduanya."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab Sahihain.

Di dalam sebuah riwayat dari Az-Zuhri disebutkan, ia mengatakan bahwa ia menceritakan hadis ini kepada Abu Bakar ibnu Abdur Rahman ibnul Haris ibnu Hisyam. Maka Abu Bakar ibnu Abdur Rahman menjawab, "Sesungguhnya pengetahuan mengenai ini belum pernah kudengar, dan sesungguhnya aku pernah mendengar dari banyak lelaki dari kalangan ahlul 'ilmi. Mereka mengatakan, 'Sesungguhnya orang-orang —kecuali yang disebutkan oleh Siti Aisyah— mengatakan bahwa tawaf di antara kedua batu ini (Safa dan Marwah) termasuk perbuatan Jahiliah.' Orang-orang lain dari kalangan Ansar mengatakan, 'Sesungguhnya kami hanya diperintahkan melakukan tawaf di Baitullah dan tidak diperintahkan untuk tawaf antara Safa dan Marwah.' Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:'Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah ' (Al-Baqarah: 158). Abu Bakar ibnu Abdur Rahman mengatakan, "Barangkali ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka (sebagian ahlul ilmi) dan mereka (kalangan orang-orang Ansar) yang lainnya."
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui hadis Malik, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang lafaznya semisal dengan hadis di atas.

Kemudian Imam Bukhari mengatakan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ سُليمان قَالَ: سَأَلْتُ أَنَسًا عَنِ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ قَالَ: كُنَّا نَرَى ذَلِكَ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا جَاءَ الْإِسْلَامُ أَمْسَكْنَا عَنْهُمَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ}

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Asim ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah, bertanya kepada Anas r.a. tentang masalah Safa dan Marwah. Maka Anas r.a. menjawab, "Pada mulanya kami menganggap termasuk perkara Jahiliah. Ketika Islam datang, maka kami berhenti melakukan tawaf di antara keduanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 'Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah bagian dari syiar Allah.' (Al-Baqarah: 158)

Imam Qurtubi menyebutkan di dalam kitab tafsirnya, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa setan-setan menyebar di antara Safa dan Marwah di sepanjang malam, di antara keduanya banyak terdapat berhala-berhala. Ketika Islam datang, mereka bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang melakukan sa'i di antara keduanya, maka turunlah ayat ini (Al-Baqarah: 158).

Asy-Sya'bi mengatakan, "Dahulu berhala Isaf berada di atas Safa, dan berhala Nailah berada di atas Marwah; mereka selalu mengusap keduanya. Akhirnya mereka merasa berdosa sesudah masuk Islam untuk melakukan tawaf di antara keduanya. Maka turunlah ayat ini (Al-Baqarah: 158).

Menurut kami, Muhammad ibnu Ishaq menyebutkan di dalam kitab Sirah-nya bahwa berhala Isaf dan Nailah pada mulanya adalah dua orang manusia (laki-laki dan perempuan), lalu keduanya berzina di dalam Ka'bah, maka keduanya dikutuk menjadi batu. Kemudian orang-orang Quraisy memancangkan keduanya di dekat Ka'bah untuk dijadikan sebagai pelajaran bagi orang lain. Ketika masa berlalu cukup lama, keduanya disembah, kemudian letaknya dipindahkan ke Safa dan Marwah, lalu keduanya dipancangkan di tempat tersebut. Setiap orang yang melakukan tawaf (sa'i) di antara Safa dan Marwah selalu mengusap keduanya. Karena itu, Abu Talib pernah mengatakan dalam salah satu kasidahnya yang terkenal:

وَحَيْثُ يُنِيخُ الْأَشْعَرُونَ رِكَابَهُمْ ...بِمَفْضَى السِّيُولُ مِنْ إِسَافِ وَنَائِلِ ...

Di tempat orang-orang yang ziarah menambatkan unta-unta kendaraan mereka, mereka benar-benar bagaikan air bah turun dari Isaf dan Nailah.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadis Jabir yang cukup panjang, bahwa ketika Rasulullah Saw. selesai dari tawafnya di Baitullah, maka beliau kembali ke rukun, lalu mengusapnya, kemudian keluar dari pintu Safa seraya membacakan firman-Nya:Sesungguhnya Safa  dan Marwah adalah sebagian  dari syiar Allah. (Al-Baqarah: 158)
Kemudian beliau Saw. bersabda:

"أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ"

Aku memulai dengan apa yang dimulai oleh Allah(yakni dari Safa ke Marwah).
Di dalam riwayat Imam Nasai disebutkan:

"ابدؤوا بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ"

Mulailah oleh kalian dengan apa yang dimulai oleh Allah!

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا شُرَيْحٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُؤَمَّلِ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ، عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ، عَنْ حَبِيبة بِنْتِ أَبِي تَجْرَاةَ قَالَتْ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطُوفُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَالنَّاسُ بَيْنَ يَدَيْهِ، وَهُوَ وَرَاءَهُمْ، وَهُوَ يَسْعَى حَتَّى أَرَى رُكْبَتَيْهِ مِنْ شِدَّةِ السَّعْيِ يَدُورُ بِهِ إِزَارُهُ، وَهُوَ يَقُولُ: "اسعَوا، فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيَ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih, telah menceritakan kepada kami Abdullah Muammal, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Safiyyah binti Syaibah, dari Habibah binti Abu Tajrah yang menceritakan: Aku melihat Rasulullah Saw. sa'i antara Safa dan Marwah, sedangkan orang-orang berada di bagian depannya dan beliau di belakang mereka seraya bersa'i, hingga aku melihat kedua lutut-nya, karena sa'inya yang kencang hingga kain sarungnya berputar seraya mengatakan,"Bersa'ilah kalian, karena sesungguhnya Allah telah memfardukan sa'i atas kalian."

ثُمَّ رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ، عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ وَاصِلٍ -مَوْلَى أَبِي عُيَينة -عَنْ مُوسَى بْنِ عُبَيْدَةَ  عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ، أَنَّ امْرَأَةً أَخْبَرَتْهَا أَنَّهَا سَمِعَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ يَقُولُ: "كُتِبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيُ، فَاسْعَوْا"

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan pula dari Abdur Razzaq yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Wasil maula Abu Uyaynah, dari Musa ibnu Ubaidah, dari Safiyyah binti Syaibah, bahwa ada seorang wanita menceritakan kepadanya; dia pernah mendengar Nabi Saw. di antara Safa dan Marwah menyerukan:  Telah difardukan atas kalian sa'i. Karena ilu, bersa'ilah kalian!

Hadis ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa sa'i antara Safa dan Marwah merupakan salah satu dari rukun ibadah haji, seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii dan para pengikutnya, dan menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang merupakan pendapat yang terkenal dari Imam Malik.

Menurut suatu pendapat, sa'i bukan rukun haji, tetapi hukumnya wajib. Karena itu, barang siapa yang meninggalkannya —baik dengan sengaja atau lupa— ia dapat menggantinya dengan menyembelih kurban. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan dijadikan pegangan oleh segolongan ulama.

Menurut pendapat yang lain, sa'i hukumnya sunat. Hal ini dikatakan oleh Imam Abu Hanifah, As'-Sauri, Asy-Sya'bi, dan Ibnu Sirin yang bersumberkan dari riwayat Anas, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas; juga diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Al-Utabiyyah. Menurut Imam Qurtubi, alasan mereka mengatakannya sunat berdasarkan firman-Nya: Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati.(Al-Baqarah: 158)

Akan tetapi, pendapat yang pertama lebih kuat karena Rasulullah Saw. melakukan sa'i antara keduanya seraya mengucapkan:

"لِتَأْخُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ"

Hendaklah kalian mengambil dariku manasik-manasik kalian.

Semua yang dilakukan oleh Nabi Saw. dalam hajinya itu hukumnya wajib dan harus dikerjakan dalam ibadah haji, kecuali hal-hal yang dikecualikan berdasarkan dalil.

Dalam keterangan terdahulu telah disebutkan sabda Nabi Saw. yang mengatakan:

«اسْعَوْا فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيَ»

Bersa'ilah kalian! Karena sesungguhnya Allah telah memfardukan sa'i atas kalian.

Allah Swt. telah menjelaskan bahwa sa'i antara Safa dan Marwah termasuk salah satu syiar Allah, yakni salah satu syiar yang disyariatkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim a.s. dalam manasik haji. Telah dijelaskan pula dalam hadis Ibnu Abbas bahwa asal mula hal tersebut diambil dari tawaf Siti Hajar, ia pulang pergi antara Safa dan Marwah dalam rangka mencari air untuk putranya ketika persediaan air dan bekal mereka habis setelah mereka ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim a.s. di tempat tersebut. Sedangkan di tempat itu tidak ada seorang manusia pun selain mereka berdua.
Ketika Siti Hajar merasa khawatir terhadap kelangsungan hidup putranya di tempat itu karena perbekalannya telah habis, maka Siti Hajar meminta pertolongan kepada Allah Swt. Ia mondar-mandir antara Safa dan Marwah seraya merendahkan diri, penuh dengan rasa takut kepada Allah dan sangat mengharapkan pertolongan-Nya, hingga Allah membebaskannya dari kesusahannya itu, dan mengusir rasa keterasingannya, melenyapkan kesengsaraannya, serta menganugerahkan kepadanya zamzam yang airnya merupakan makanan yang mengenyangkan dan obat penawar bagi segala penyakit.

Karena itu, orang yang melakukan sa'i di antara Safa dan Marwah hendaknya melakukannya dengan hati yang penuh harap kepada Allah, rendah diri dan memohon petunjuk serta perbaikan keadaannya, dan mengharapkan ampunan-Nya. Hendaknya dia berlindung kepada Allah Swt. agar dibebaskan dari semua kekurangan dan aib yang ada pada dirinya, dan memohon hidayah-Nya akan jalan yang lurus. Hendaknya dia memohon kepada Allah agar hatinya ditetapkan pada hidayah itu (Islam) hingga akhir hayatnya. Hendaknya ia memohon kepada Allah agar Dia mengalihkan keadaan dirinya yang penuh dengan dosa dan kedurhakaan kepada keadaan yang sempurna, ampunan, keteguhan hati dalam menempuh jalan yang lurus, seperti apa yang dialami oleh Siti Hajar a.s.

Firman Allah Swt.:

{فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا}

Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati. (Al-Baqarah: 158)

Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah melakukan sa'i lebih dari yang telah diwajibkan, misalnya delapan kali putaran atau sembilan kali putaran.

Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah melakukan sa'i di antara Safa dan Marwah dalam haji tatawwu' (sunat) dan 'umrah tatawwu'.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, makna yang dimaksud ialah melakukan tambahan kebaikan dalam semua jenis ibadah. Semuanya diriwayatkan oleh Ar-Razi, dan pendapat yang ketiga dikaitkan dengan Al-Hasan Al-Basri.

Firman Allah Swt.:

{فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ}

Maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 158)

Yakni Allah memberi pahala kepada amal yang sedikit dan amal yang banyak tanpa pandang bulu, lagi Maha Mengetahui kadar pahala yang diberikan-Nya; maka tiada seorang pun dirugikan dalam menerima pahala dari-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:

ولا يَظْلِمُ مِثْقالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضاعِفْها وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْراً عَظِيماً

Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang, walaupun sebesar zarrah; dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (An-Nisa: 40)

Do’a Ketika Hendak Mendaki Bukit Safa

Sebelum Memulai Sa’i

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ أَبْدَأُ بِماَبَدَأَ اللهُ بِهِ وَرَسُوْلُهُ إِنَّ الصَّفاَ وَالمَرْوَةَ مِنْ شَعَآئِرِ اللهِ , فَمَنْ حَجَّ البَيْتَ أَوِاعْتَمَرَ فَلاَجُناَحَ عَلَيْهِ أَنْ يَّطَّوَّفَ بِهِماَ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَإِنَّ اللهَ شاَكِرٌ عَلِيْمٌ .

Bismillaahirrahmaanirrahiim,Abda'ubimaa bada Allaahu bihi warasuuluh. Innas safa walmarwata min sya'airillah Faman hajjal baita awi'tamara fala junaha 'alaihi ayyatawwafa bihima waman tatawwa'a khairan fa innallahasyakirun 'alim

Dengan nama ALLah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Aku mulai dengan apa yang telah dimulai oleh Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Safa dan Marwah sebagian dari Syi'ar-Syi'ar (tanda kebesaran) Allah. Maka barang siapa yang beribadah Haji ke baitullah ataupun berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Penerima Kebaikan lagi maha Mengetahui


Do’a Di Atas Bukit Safa Ketika Menghadap Ka’bah


أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ وَِللهِ الحَمْدُ , أَللهُ أَكْبَرُ عَلَى ماَ هَداَناَ وَالحَمْدُ ِللهِ عَلَى ماَ أَوْلاَناَ . لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ , لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ بِيَدِهِ الخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ . لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ أَنْجَزَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزاَبَ وَحْدَهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِياَهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الكاَفِرُوْنَ

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamdu. Allahu Akbar 'alama hadana walhamdulillahi 'alama aulana la ilaha illalahu wahdahu la syarika lahu, lahul mulku walahul hamdu yuhyi wayumitu biyadihil khairu wahuwa 'ala kulli syai inqadir. La ilaha illallahu wahdahu lasyarika lah, anjaza wa'dahu wanasara 'abdahu wahazamal ahzaba wahdah, la ilaha illallahu wala na' buduilla iyyahu mukhilisina lahuddina walau karihal kafirun


“Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Segala puji bagiAllah, Allah Mahabesar, ataspetunjuk yang diberikan-Nya kepada kami,segala puji bagi Alloh atas karunia yang telah dianugerahkan-Nya kepada kami, tidak ada Tuhan selain AllohYang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi Nya. Bagi-Nya kerajaan dan pujian. Dialah yang menghidupkan dan mematikan, pada kekuasaan-Nya lah segala kebaikan dan Dia berkuasa atas segala sesuatu, Tiada Tuhan Selain Alloh Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, yang telah menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya dan menghancurkan sendiri musuh-musuh-Nya, Tidak ada Tuhan selain Alloh dan kami tidak menyembah kecuali kepada-Nya dengan memurnikan (ikhlas) kepatuhan semata kepada-Nya,  walaupun orang- orang kafir membenci

Do’a Sa’i dalam perjalanan 1 s/d 7

Do’a perjalanan ke-1, dari bukit Safa ke bukit Marwah,di baca mulai dari bukit Safa sampai pilar hijau.


أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ , أَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْراً وَالحَمْدُ ِللهِ كَثِيْراً وَسُبْحاَنَ اللهِ العَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ الكَرِيْمِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً وَمِنَ اللَّيْلِ فاَسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلاً طَوِيْلاً لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ أَنْجَزَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزاَبَ وَحْدَهُ لاَ شَيْءَ قَبْلَهُ وَلاَ بَعْدَهُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ داَئِمٌ لاَ يَمُوْتُ وَلاَ يَفُوْتُ أَبَداً بِيَدِهِ الخَيْرُ وَإِلَيْهِ المَصِيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ


"Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar kabira, walhamdu lillahi kasira. Wasubhaanallahil'azimi wabiham dihil karimi bukratawwa asila. Waminal laili fasyjud lahu wasabbih-hu lailan tawila. La ilaha illallahu wahdah anjaza wa'dah. Wanasara 'abdah wahazamal ahzaba wahdah. La syai a qablahu wala ba'dahu Yuhyii wayumiitu wahuwa hayyun daa imun layamutu walayafutu abada. Biyadihil khairu wailaihil masiir. Wahuwa'ala kulli syai in qadir"

"Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dengan segala kebesaraNya. Segala puji bagi Allah Yang Maha Agung dengan segala pujianNya yang tidak terhingga. Maha Suci Allah dengan pujian Yang Maha Mulia diwaktu pagi dan petang. Bersujud dan bertasbihlah padaNya sepanjang malam. Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa yang menepati janjiNya membela hamba-hmbaNya yang menghancurkan musuh-musuhNya dengan keEsaanNya tidak ada sesuatu sebelumNya dengan keEsaanNya, tidak ada sesuatu sebelumNya atau sesudahNya. Dialah yang menghidupkan dan mematikandan Dia adalah Maha Hidup kekal tiada mati dan tiada musnah (hilang) untuk selama-lamanya. Hanya ditanganNyalah terletak kebajikan dan kepadaNyalah tempat kembali dan hanya Dialah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu."


Diantara dua pilar hijau membaca do’a :

رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَاعْفُ وَتَكَرَّمْ وَتَجاَوَزْ عَمَّا تَعْلَمُ إِنَّكَ تَعْلَمُ ماَلاَ نَعْلَمُ إِنَّكَ أَنْتَ اللهُ الأَعَزُّ الأَكْرَمُ .

"Rabbighfir warham wa'fu watakarram watajaawaz 'ammaa ta'lamu, innaka ta'lamu, mala na'lamu, Innaka antallahul a'azzul akram."

Ya Allah, ampunilah, sayangilah, maafkanlah, bermurah hatilah dan hapuskanlah apa-apa yang Engkau ketahui dari dosakami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui apa-apa yang kami sendiri tidak tahu. Sesungguhnya Engkau ya Allah Maha Tinggi dan Maha Pemurah.

Ketika Mendekati Bukit Marwah membaca

إِنَّ الصَّفاَ وَالمَرْوَةَ مِنْ شَعَآئِرِ اللهِ , فَمَنْ حَجَّ البَيْتَ أَوِاعْتَمَرَ فَلاَجُناَحَ عَلَيْهِ أَنْ يَّطَّوَّفَ بِهِماَ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَإِنَّ اللهَ شاَكِرٌ عَلِيْمٌ .

"Inna Safa walMarwata min sya'airillah. Faman hajjal bita awi'tamara fala junaha 'alaihi ayyatawwafa bihima. Waman tatawwa'a khairan fainnallaha syakirun 'alim."

"Sesungguhnya safa dan marwah sebagian dari syi'ar-syi'ar (tanda kebesaran) Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah ataupun berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. dan barang siapa mengerjakan sesuatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha menerima kebaikan dan Maha Mengetahui."

Do’a Sa’i perjalanan ke-2, dari bukit Marwah ke bukit Safa, di baca mulai dari bukit Marwah sampai pilar hijau.

أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ وَ ِللهِ الحَمْدُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الواَحِدُ الفَرْدُ الصَّمَدُ الَّذِى لَمْ يَتَّخِذْ صاَحِبَةً وَلاَ وَلَداً وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيْكٌ فىِ الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيْراً .أَللَّـهُمَّ إِنَّكَ قُلْتَ فىِ كِتاَبِكَ الْمُنَزَّلِ أُدْعُوْنِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ دَعَوْناَكَ رَبَّناَ فاَغْفِرْ لَناَ كَماَ أَمَرْتَناَ إِنَّاكَ لَا تُخْلِيْفُ المِيْعاَدَ . رَبَّناَ إِنَّناَ سَمِعْناَ مُناَدِياً يُناَدِى لِلإِيْماَنِ أَنْ آمِنُوْا بِرَبِّكُمْ فَآَمَنّاَ , رَبَّناَ فاَغْفِرْ لَناَ ذُنُوْبَناَ وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِناَ وَتَوَفَّناَ مَعَ الأَبْراَرِ , رَبَّناَ وَأَتِناَ ماَ وَعَدْتَناَ عَلَى رُسُلِكَ وَلاَ تُخْزِناَ يَوْمَ القِياَمَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيْعاَدَ . رَبَّناَ عَلَيْكَ تَوَكَّلْناَ وَإِلَيْكَ أَنَبْناَ وَإَلَيْكَ الْمَصِيْرُ . رَبَّناَ اغْفِرْ لَناَ ذُنُوْبَناَ وَ ِلإِخْواَنِناَ الَّذِيْنَ سَبَقُوْناَ بِالإِيْماَنِ وَلاَ تَجْعَلْ فىِ قُلُوْبِناَ غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ أَمَنُوْا رَبَّناَ إِنَّاكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar walillahil hamdu. Laa ilaaha illallaahul waahidul fardus shamad. Allazi lam yattakhiz shaahibatan walaa waladan walam yakun lahu syarikun fil mulki walam ya kun lahu waliyyun minazzulliwakabbirhu takbira.Allahumma innaka kulta fi kitabikal munazali ud'uni astajib lakum da'aunaka rabbana `fagfir lana kama amartana innaka latukhliful mi'ad. Rabbana innana sami'na munadiyan yunadi lil imani anaminu birabbikum fa'amanna. Rabana fagfirlana zunubana wa kaffir 'anna sayyiatina watawaffana ma'al abrar. rabbana wa atina mawa'ad tana ala rusulika wala tukhzina yaumal qiyamati innaka latukhliful mi'ad. Rabbana 'alaika tawakkalna wailaika anabna wailaikal masir. Rabbanagfirlana zunuwali ikhwaninal lazina sabaquna bil imani wala taj'al fi qulubina gillal lillazina amanu rabbana innaka ra ufurrahim."

Allah Maha Besar, Allah maha Besar, Allah Maha Besar, hanya bagi Allahlah segala pujian. Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa. Tumpuan segala maksud dan hajat. Tidak beristri dan tidak beranak, tidak bersekutu dalam kekuasaan. Tidak menjadi pelindung kehinaan. Agungkanlah Dia dengan segenap kebesaran. Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah berfirman dalam Qur'anMu :"Berdo'alah kepadaKu niscaya akan Kuperkenankan bagimu". Sekarang kami telah memohon kepadaMu wahai Tuhan kami. Ampunilah kami seperti halnya Engkau telah perintahkan kepada kami., sesungguhnya Engkau tidak akan memungkiri janji. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu)"berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti. Ya Tuhan kami berilah kami apa yang Engkau telah janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kmi di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji. Ya Allah, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal, dan hanya kepada Engkaulah tumpuan segala sesuatu dan kepada Engkaulah tempat kembali. Ya Allah, ampunilh kami serta semua saudara kami yang telah mendahului kami beriman kepada Engkau dan jangan menjadikn kedengkian dalam kalbu kami terhadap mereka yang telah beriman. Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang."

Do’a Sa’i perjalanan ke-3, dari bukit Safa ke bukit Marwah, di baca mulai dari bukit Safa sampai pilar hijau.

أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ وَ ِللهِ الحَمْدُ رَبَّناَ أَتْمِمْ لَناَ نُوْرَناَ وَاغْفِرْ لَناَ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ . أَللَّـهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الخَيْرَ كُلَّهُ عاَجِلَهُ وَأَجِلَهُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِذَنْبِى وَأَسْأَلُكَ رَحْمَتَكَ ياَ أَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ .

Allahu akbar Allahu Akbar Allahu Akbar walillahil hamduRabbana atmim lana nurana waghfirlana innaka 'ala kulli syai in qadir. Allahumma inni as alukal khaira kullahu ajilahu wa ajilahu wa astagfiruka lizanbi waasaluka rahmataka ya arhamar rahimin

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Hanya bagi Allah semua pujian. Ya Allah sempurnakanlah cahaya terang bagi kami, ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa Atas segala sesuatu. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon padaMu segala kebaikan yang cepat atau lambat dan aku mohon ampunan padaMU akan dosaku serta aku mohon padaMu rahmatMu wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari segenap yang pengasih

Do’a Sa’i perjalanan ke-4, dari bukit Marwah ke bukit Safa,di baca mulai dari bukit Marwah sampai pilar hijau

 أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ وَ ِللهِ الحَمْدُ أَللَّـهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ ماَتَعْلَمُ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ ماَ تَعْلَمُ وأَسْتَغْفِرُكَ مِنْ كُلِّ ماَ تَعْلَمُ إِنَّاكَ أَنْتَ عَلاَّمُ الغُيُوْبِ , لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ المَلِكُ الحَقُّ المُبِيْنُ , مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صاَدِقُ الوَعْدِ الأَمِيْنُ . أَللَّـهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ كَماَ هَدَيْتَنِى لِلإِسْلاَمِ أَنْ لاَتَنْزِعَهُ مِنِّى حَتَّى تَتَوَفَّنِى وَأَناَ مُسْلِمٌ , أَللّهُمَّ اجْعَلْ فىِ قَلْبِى نُوْراً وَفىِ سَمْعِى نُوْراً وَفىِ بَشَرِى نُوْراً , أَللَّـهُمَّ اشْرَحْ لىِ صَدْرِى وَيَسِّرْ لىِ أَمْرِى وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَساَوِسِ الصَّدْرِ وَشَتاَتِ الأَمْرِ وَفِتْنَةِ القَبْرِ , أَللَّـهُمَّ إِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ ماَ يَلِجُ فىِ اللَّيْلِ وَشَرِّ ماَ يَلِجُ فىِ النَّهاَرِ وَمِنْ شَرِّ ماَ تَهُبُّ بِهِ الرِّياَحُ ياَ أَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ . سُبْحاَنَكَ ماَ عَبَدْناَكَ حَقَّ عِباَدَتِكَ ياَ أَللهُ سُبْحاَنَكَ ماَذَكَرْناَكَ حَقَّ ذِكْرِكَ ياَ أَللهُ .


Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar walillahil hamdu. Allahumma inni as aluka min khairi ma ta'lamu wa a'uzubika min syarri mata'lamu wa astagfiruka min kulli mata'lamu innaka anta 'allamul guyub. La ilaha illallahul malikul haqqul mubin. Muhammadur rasulullah sadiqul wa'dil amin. Allahumma inni as aluka kama haditani lil islami an la tanzi 'ahu minni hatta tatawaffani wa ana muslimun. Allahummaj'al fi qalbi nura. Allahummasyroh li sadri wayassirli amri wa a'uzubika min wasawisis sadri wasyatatil amri wafit natil qabri. Allahumma inni a'uzubika min syarri ma yaliju fillaili wa syarri ma yaliju finnahari wamin syarri matahubbu bihir riyahu ya arhamar rahimin. Subhanaka ma 'abadnaka haqqa ibadatika ya Allahu Subhanaka ma zakarnaka haqqa zikrika ya Allahu."

 “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Segala puji bagi Allah. Ya Allah Tuhanku, aku mohon padaMu dari kebaikan yang Engkau tahu dan berlindung padaMu dari kejahatan yang Engkau tahu, dan aku mohon ampun padaMu dri segala kesalahan yang Engkau ketahui, sesungguhnya Engkau Maha mengetahui yang gaib. Tidak ada Tuhan selain Allah Maha Raja yang sebenar-benarnya. Muhammad utusan Allah yang selalu menepati janji lagi terpercaya. Ya Allah sebagaimana Engkau telah menunjuki aku memilih Islam, maka aku mohon kepadaMu untuk tidak mencabutnya sehingga aku meninggal dalam keadaan Muslim. Ya Allah berilah cahay terang dalam hati, telinga dan penglihatanku. Ya Allah lapangkanlah dadaku dan mudahkan bagiku segala urusan. Dan aku berlindung padaMu dari keraguan, simpang-siur urusan dan fitnah kubur. Ya Allah aku berlindung padaMu dari kejahatan yang tersembunyi diwaktu malam dan siang hari, serta kejahatn yang dibawa angin lalu, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih dari segenap yang pengasih. Ya Allah, Maha Suci Engkau kami tidak menyembahMu dengan pengabdian yang semestinya ya Allah.

Do’a Sa’i perjalanan ke-5, dari bukit Safa ke bukit Marwah, di baca mulai dari bukit Safa sampai pilar hijau :

أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ وَ ِللهِ الحَمْدُ سُبْحاَنَكَ ماَ أَعْلَى شَأْنَكَ ياَ أَللهُ , أَللَّـهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْناَ الإِيْماَنَ وَزَيِّنْهُ فىِ قُلُوْبِناَ وَكَرِّهْ إِلَيْناَ الكُفْرَ وَالفُسُوْقَ وَالعِصْياَنَ وَاجْعَلْناَ مِنَ الرَّاشِدِيْنَ

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar walillahil hamdu. Subhanaka ma syakarnaaka haqqa syukrika ya Allahu subhanaka ma a'la sya'naka ya Allahu. Allahumma habbib ilainal imana wa zayyinhu fi qulubina wakarrih ilainal kufra walfu suqa wal'isyana waj'alna minar rasyidin.

Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar. Hanya untuk Allah segala puji. Maha Suci Engkau seperti kami bersyukur pada-Mu sebenar-benar syukur wahai Allah. Maha Suci Engkau sepadan ketinggian-Mu wahai Allah. Ya Allah cintakanlah kami kepada iman dan hiaskanlah di hati kami, bencikanlah kami pada perbuatan kufur, fasiq dan durhaka. Masukanlah kami kedalam golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.

Do’a Sa’i perjalanan ke-6, dari bukit Marwah ke bukit Safa, di baca mulai dari bukit Marwah sampai pilar hijau :

أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ وَ ِللهِ الحَمْدُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزاَبَ وَحْدَهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِياَّهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الكاَفِرُوْنَ . أَللَّـهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفاَفَ وَالغِنَى , أَللَّـهُمَّ لَكَ الحَمْدُ كاَلَّذِىْ نَقُوْلُ وَخَيْراً مِمَّا نَقُوْلُ , أَللَّـهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ رِضاَكَ وَالجَنَّةَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ وَماَ يُقَرِّبنُِى إِلَيْهاَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ عَمَلٍ . أَللَّـهُمَّ بِنُوْرِكَ اهْتَدَيْناَ وَبِفَضْلِكَ اسْتَغْنَيْناَ وَفىِ كَنَفِكَ وَإِنْعاَمِكَ وَعَطاَئِكَ وَإِحْساَنِكَ أَصْبَحْناَ وَأَمْسَيْناَ أَنْتَ الأَوَّلُ فَلاَ قَبْلَكَ شَيْءٌ وَالأَخِرُ فَلاَ بَعْدَكَ شَيْءٌ وَالظَّاهِرُ فَلاَ شَيْءَ فَوْقَكَ وَالباَطِنُ فَلاَ شَيْءَ دُوْنَكَ نَعُوْذُ بِكَ مِنَ الفَلَسِ وَالكَسَلِ وَعَذاَبِ القَبْرِ وَفِتْنَةِ الغِنَى وَنَسْأَلُكَ الفَوْزَ بِالجَنَّةِ


Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar walillahil hamdu. La ilaha illallahu wahdah, sadaqa wa'dah, wanasara 'abdah wahazamal ahzaba wahdah. La ilaha illallahu wala na'budu illa iyyahu mukhlisina lahuddina walau karihal kafirun. Allahumma inni 'as'alukal huda wattuqa wal 'afafa walghina. Allahumma lakal hamdu kallazi naqulu wakhairan mimma naqulu. Allahumma inni as'aluka ridaka waljannata wa a'uzubika min sakhatika wannari wama yuqarribuni ilaiha min qaulin aufi'lin au'a malin. Allahumma binurikah tadaina wabifadlika istagnaina wa fi kanafika wa in amika wa'ata ika wa ihsanika asbahna wa amsaina antal awwalu fala qablaka syai'un wal akhiru fala ba'daka syai'un wazzahiru fala syai'a dunaka na'uzubika minal falasi wal kasali wa'azabil qabri wafitnatil gina wa nas'alukal fauza biljannah.

 Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar Segala puji hanya untuk Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, yang menepati janjiNya, menolong hambaNya dan menghancurkan musuh dengan ke-Esaan-Nya. Tiada Tuhan yang disembah selain Allah. Dan kami tidak menyembah selain dari Dia dengan ikhlas tunduk dan patuh pada agama sekalipun orang-orang kafir benci. Ya Allah aku mohon padaMu petunjuk, pemeliharaan, penjagaan dan kekayaan. Ya Allah, padaMu lah segala puji seperti yang kami ucapkan bahkan lebih baik dari yang kami sendiri ucapkan. Ya Allah, kami mohon padaMu ridho dan surga dan aku berlindung padaMu dari murkaMu dan neraka, dan apapun yang kekal yang mendekatkan daku kepadanya, baik ucapan, perbuatan maupun pekerjaan. Ya Allah, hanya dengan nur cahayaMu kami ini mendapat petunjuk, dengan pemberianMu kami merasa cukup, dalam naunganMu, nikmatMu, anugerahMu dan kebajikannMu jualah kami ini berada diwaktu pagi dan petang. Engkaulah yang mula pertama, tidak ada suatupun yang ada sebelumMu dan Engkau pulalah yang paling akhir dan tidak ada sesuatupun yang ada sebelumMu dan Engkau pulalah yang paling akhir dan tidak ada sesuatupun yang ada dibelakangMu. Engkaulah yang dzahir, maka tidak ada sesuatupun yang mengatasi Engkau. Engkau pulalah yang batin, maka tidak ada sesuatupun menghalangi Engkau. Kami berlindung padaMu dari pailit, malas,siksa kubur dan fitnah kekayaan serta kami mohon padaMu kemenangan memperoleh surga.

Do’a Sa’i perjalanan ke-6, dari bukit Marwah ke bukit Safa,di baca mulai dari bukit Marwah sampai pilar hijau

أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ وَ ِللهِ الحَمْدُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزاَبَ وَحْدَهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِياَّهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الكاَفِرُوْنَ . أَللَّـهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفاَفَ وَالغِنَى , أَللَّـهُمَّ لَكَ الحَمْدُ كاَلَّذِىْ نَقُوْلُ وَخَيْراً مِمَّا نَقُوْلُ , أَللَّـهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ رِضاَكَ وَالجَنَّةَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ وَماَ يُقَرِّبنُِى إِلَيْهاَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ عَمَلٍ . أَللَّـهُمَّ بِنُوْرِكَ اهْتَدَيْناَ وَبِفَضْلِكَ اسْتَغْنَيْناَ وَفىِ كَنَفِكَ وَإِنْعاَمِكَ وَعَطاَئِكَ وَإِحْساَنِكَ أَصْبَحْناَ وَأَمْسَيْناَ أَنْتَ الأَوَّلُ فَلاَ قَبْلَكَ شَيْءٌ وَالأَخِرُ فَلاَ بَعْدَكَ شَيْءٌ وَالظَّاهِرُ فَلاَ شَيْءَ فَوْقَكَ وَالباَطِنُ فَلاَ شَيْءَ دُوْنَكَ نَعُوْذُ بِكَ مِنَ الفَلَسِ وَالكَسَلِ وَعَذاَبِ القَبْرِ وَفِتْنَةِ الغِنَى وَنَسْأَلُكَ الفَوْزَ بِالجَنَّةِ .

Dari bukit Marwah ke bukit Safa, dari Marwah ke pilar hijau membaca do'a: Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar walillahil hamdu. La ilaha illallahu wahdah, sadaqa wa'dah, wanasara 'abdah wahazamal ahzaba wahdah. La ilaha illallahu wala na'budu illa iyyahu mukhlisina lahuddina walau karihal kafirun. Allahumma inni 'as'alukal huda wattuqa wal 'afafa walgina. Allahumma lakal hamdu kallazi naqulu wakhairan mimma naqulu. Allahumma inni as'aluka ridaka waljannata wa a'uzubika min sakhatika wannari wama yuqarribuni ilaiha min qaulin aufi'lin au'a malin. Allahumma binurikah tadaina wabifadlika istagnaina wa fi kanafika wa in amika wa'ata ika wa ihsanika asbahna wa amsaina antal awwalu fala qablaka syai'un wal akhiru fala ba'daka syai'un wazzahiru fala syai'a dunaka na'uzubika minal falasi wal kasali wa'azabil qabri wafitnatil gina wa nas'alukal fauza biljannah.

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar Segala puji hanya untuk Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, yang menepati janjiNya, menolong hambaNya dan menghancurkan musuh dengan ke-Esaan-Nya. Tiada Tuhan yang disembah selain Allah. Dan kami tidak menyembah selain dari Dia dengan ikhlas tunduk dan patuh pada agama sekalipun orang-orang kafir benci. Ya Allah aku mohon padaMu petunjuk, pemeliharaan, penjagaan dan kekayaan. Ya Allah, padaMu lah segala puji seperti yang kami ucapkan bahkan lebih baik dari yang kami sendiri ucapkan. Ya Allah, kami mohon padaMu ridho dan surga dan aku berlindung padaMu dari murkaMu dan neraka, dan apapun yang kekal yang mendekatkan daku kepadanya, baik ucapan, perbuatan maupun pekerjaan. Ya Allah, hanya dengan nur cahayaMu kami ini mendapat petunjuk, dengan pemberianMu kami merasa cukup, dalam naunganMu, nikmatMu, anugerahMu dan kebajikannMu jualah kami ini berada diwaktu pagi dan petang. Engkaulah yang mula pertama, tidak ada suatupun yang ada sebelumMu dan Engkau pulalah yang paling akhir dan tidak ada sesuatupun yang ada sebelumMu dan Engkau pulalah yang paling akhir dan tidak ada sesuatupun yang ada dibelakangMu. Engkaulah yang dzahir, maka tidak ada sesuatupun yang mengatasi Engkau. Engkau pulalah yang batin, maka tidak ada sesuatupun menghalangi Engkau. Kami berlindung padaMu dari pailit, malas,siksa kubur dan fitnah kekayaan serta kami mohon padaMu kemenangan memperoleh surga.

Do’a Sa’i perjalanan ke-7, dari bukit Safa ke bukit Marwah, dibaca mulai dari bukit Safa sampai pilar hijau :

أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْراً وَالحَمْدُ ِللهِ كَثِيْراً , أَللَّـهُمَّ حَبِّبْ إِلَيَّ الإِيْماَنَ وَزَيِّنْهُ فىِ قَلْبِى وَكَرِّهْ إِلَيَّ الكُفْرَ وَالفُسُوْقَ وَالعِصْياَنَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الرَّاشِدِيْنَ .

"Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar kabira walhamdu lillahi kasira. Allahumma habbib ilayyal imana wazayyinhu fi qalbi wakarrih ilayyal kufra wal fusuqa wal 'isyana waj'alni minar rasyidin".

Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar. Segala puji kembali kepada Allah. Ya Allah cintakanlah aku kepada iman, hiaskanlah ia dikalbuku. Bencikanlah padaku perbuatan kufur, fasiq dan durhaka. Dan masukkanlah pula aku dalam golongan orang yang mendapat petunjuk.

Do’a Di Bukit Marwah Selesai Sa’i

أَللَّـهُمَّ رَبَّناَ تَقَبَّلْ مِنَّا وَعاَفِناَ وَاعْفُ عَنَّا وَعَلَى طاَعَتِكَ وَشُكْرِكَ أَعِنَّا وَعَلَى غَيْرِكَ لاَ تَكِلْناَ وَعَلَى الإِيْماَنِ وَالإِسْلاَمِ الكاَمِلِ جَمِيْعاً تَوَفَّناَ وَأَنْتَ راَضٍ عَنَّا أَللَّـهُمَّ ارْحَمْنِى بِتَرْكِ المَعاَصِى أَبَداً ماَ أَبْقَيْتَنِى وَارْحَمْنِى أَنْ أَتَكَلَّفَ ماَ لاَ يَعْنِيْنِى وَارْزُقْنِى حُسْنَ النَّظَرِ فِيْماَ يُرْضِيْكَ عَنِّى ياَ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ .

"Allahumma rabbana taqabbal minna wa'afina wa,fu 'anna wa'ala tha atika wasyukrika a'inna wa'ala ghairika latakilna wa alal imani wal islamil kamili jami'an, tawaffana wa anta radin anna. Allahummar hamni bitarkil ma'asi abadan ma abqaitani warhamni an atakalaffa ma la ya'nini warzugni husnan nazari fima yurdika anni ya arhamar rahimin".

Ya Allah kami mohon diterima do'a kami, afiatkan dan ampunilah kami, berilah pertolongan kepada kami untuk taat dan bersyukur kepadaMu. Janganlah Engkau jadikan kami bergantung selain kepadaMu. Matikanlah kami dalam Islam yang sempurna dalam keridhaanMu. Ya Allah rahmatilah diri kami sehingga mampu meninggalkan segala kejahatan selama hidup kami, dan rahmatilah diri kami sehingga tidak berbuat hal yang tidak berguna. Karuniakanlah kepada kami keridhaanMu. Wahai Tuhan yang bersifat Maha Pengasih lagi Penyayang.

Setelah do'a ini dapat diteruskan dengan do'a menurut keinginan masing-masing, kemudian menggunting rambut atau Tahallul

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Penjelasan Tentang Wukuf Di 'Arofah

Sekilas Tentang Arafah

Arafah di sebut dalam Al-Qu’ran dalam bentuk plural ”Arafat” sebagaimana tertera dalam surat al-Baqarah ayat no. 198,

فَإِذَآ أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُواْ اللَّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ – البقرة ﴿١٩٨﴾

 Artinya: ” Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam.”

Arafah berjarak sekitar 25 km dari kota Makkah dan merupakan padang pasir yang amat luas dan di bagian belakang dikelilingi bukit-bukit batu yang membentuk setengah lingkaran. Sekarang ini Arafat sudah subur ditanami dengan pohon-pohon.

Di Arafah Nabi saw pernah bersabda: “Aku wukuf disini dan arafah seluruhnya tempat untuk melaksanakan wukuf”. Arafah merupakan Masy’aril haram atau tempat syiar suci, tetapi Arafat sendiri tidak termasuk tanah haram atau tanah suci seperti Makkah. Rasulullah saw bersabda: “Haji itu ialah di Arafah dan setiap bagian tanah Arafah ialah sah untuk wukuf” (hadits tersebut diatas).

Arafah merupakan tempat yang sangat penting dalam perjalanan ibadah Haji. Disanalah para jemaah haji berkumpul untuk melaksanakan wukuf pada tanggal 9 Dzul Hijjah dari tergelincirnya matahari sampai terbenamnya dan sholat Dhuhur dan Asar dijama’ kan atau disatukan dengan satu adzan dan 2 kali iqamat. Wukuf merupakan salah satu rukun haji, tanpa melaksanakan wukuf di Arafah hajinya tidak sah.

Arafah mengingatkan kita kepada Padang Mahsyar di saat manusia dibangkitkan kembali dari kematian oleh Allah dan wukuf di hadapan Nya. Saat itu semua manusia sama di hadapan Allah, tidak ada perbedaan kulit dan bangsa yang membedakan hanyalah kualitas ketaqwaannya kepada Allah.

Di Arafah ada dua tempat yang mempunyai nilai sejarah yang sangat penting yaitu masjid Namirah (masjid Ibrahim) dan bukit Rahmah (jabal Rahmah). Dibawah bukit terdapat sebuah masjid Shakharat. Di masjid Shakharat itulah Nabi saw berwukuf dan pernah turun wahyu yang berbunyi:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الأِسْلاَمَ دِيناً – المائدة ﴿٣﴾

Artinya: “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku cukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Ku ridhoi Islam itu jadi agamamu”. (Qs al-Maidah ayat: 3)

Di sana juga ada lembah yang disebut dengan lembah ’Uranah (wadi ’Uranah), lembah ini menjadi batas antara Arafah dengan luar Arafah. Di Arafah Rasulullah saw telah berkhutbah ketika melakukan haji wada’. Menurut hadits Jabir ra yang panjang bahwasanya Nabi saw berkhutbah di hadapan manusia yang sedang melakukan haji bersama sama beliau. Khutbah beliau itu sangat poluler dan dinamakan Khutbatul Wada’ yang dimulai dengan: “Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah suci sebagaimana sucinya hari ini, bulan ini dan negeri kalian ini”

Keutamaan 'Arofah

Hari Arafah yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah setiap tahun merupakan salah satu hari yang paling utama sepanjang tahun. Bahkan dalam madzhab Syâfi’i disebutkan bahwa jika ada orang yang mengatakan, ‘Isteri saya jatuh talak pada hari paling utama’, maka talak tersebut jatuh pada hari Arafah. Keistimewaan hari ini berdasarkan pada dalil umum dan khusus.

Dalil umum yaitu hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ ». فقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ؟ قَالَ: “وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ”.

Tidak ada hari-hari di mana amal saleh di dalamnya lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada hari–hari yang sepuluh ini”. Para sahabat bertanya, “Tidak juga jihad di jalan Allâh ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allâh, kecuali orang yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sesuatupun.” [HR al-Bukhâri no. 969 dan at-Tirmidzi no. 757, dan lafazh ini adalah lafazh riwayat at-Tirmidzi]

Maksudnya adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah yang merupakan rangkaian hari paling utama sepanjang tahun. Hadits ini menunjukkan disyariatkannya memperbanyak amal saleh di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan hari Arafah termasuk di dalamnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Siang hari sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama daripada malam sepuluh terakhir bulan Ramadhân, dan malam sepuluh hari terakhir Ramadhan lebih utama daripada malam sepuluh hari pertama Dzulhijjah.”

Adapun dalil khusus yang menunjukkan keistimewaan hari Arafah di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Di hari ini Allâh Azza wa Jalla paling banyak membebaskan manusia dari neraka. Ibunda kaum mukminin, Aisyah Radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟

Tidak ada hari di mana Allâh Azza wa Jalla membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah, dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata: Apa yang mereka inginkan?” [HR. Muslim no. 1348]

Maksudnya, tidak ada yang mendorong mereka untuk meninggalkan negeri, keluarga dan kenikmatan mereka (untuk menunaikan ibadah haji-red) kecuali ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan pencarian ridhanya.

2. Doa di hari Arafah adalah doa terbaik. Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

خَيْرُ الدُّعاءِ دُعاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَناَ وَالنَّبِيُّوْنَ مِنْ قَبْلِيْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Sebaik-baik doa adalah doa hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah La ilaha illallah wahdahu la syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syaiin qadir.” [HR. at-Tirmidzi no. 3585]

3. Wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling pokok. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh sekelompok orang dari Nejed tentang haji, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

الْحَجُّ عَرَفَةُ

Haji itu adalah Arafah. [HR. at-Tirmidzi no. 889, an-Nasâ’i no. 3016 dan Ibnu Mâjah no. 3015]

Maksud hadits ini adalah bahwa wukuf di Arafah merupakan tiang haji dan rukunnya yang terpenting. Barang siapa meninggalkannya, maka hajinya batal, dan barangsiapa melakukannya, maka telah aman hajinya.

4. Puasa di hari Arafah memiliki keutamaan yang besar. Puasa sehari ini menghapuskan dosa dua tahun, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ

Puasa hari Arafah aku harapkan dari Allâh bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya. [HR. Muslim no. 1162]

5. Imam Mâlik rahimahullah meriwayatkan dalam al-Muwatha’ no. 944 dengan sanad yang lemah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits berikut :

مَا رُئِيَ الشَّيْطَانُ يَوْمًا هُوَ فِيهِ أَصْغَرُ وَلاَ أَدْحَرُ وَلاَ أَحْقَرُ وَلاَ أَغْيَظُ مِنْهُ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ وَمَا ذَاكَ إِلاَّ لِمَا رَأَى مِنْ تَنَزُّلِ الرَّحْمَةِ وَتَجَاوُزِ اللَّهِ عَنْ الذُّنُوبِ الْعِظَامِ إِلَّا مَا أُرِيَ يَوْمَ بَدْرٍ

Tidaklah setan pernah terlihat lebih kerdil, terjauhkan, hina dan marah daripada saat hari Arafah, dan itu tidak lain karena ia melihat turunnya rahmat dan pengampunan Allâh atas dosa-dosa besar, kecuali apa yang ia lihat saat Perang Badar.

Demikianlah, dalil-dalil ini cukup untuk menunjukkan keistimewaan hari Arafah. Tidak hanya untuk para jamaah haji yang di hari itu memiliki agenda wukuf di Arafah, kaum Muslimin yang lain juga memiliki kesempatan yang sama untuk mendulang pahala dan ampunan dari Sang Maha Pengampun. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan karunia-Nya kepada kita.

Hadist yang Berkaitan dengan Wukuf di Arafah dan Mabit di Muzdalifah dan Batasannya

و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ اعْلَمُوا أَنَّ عَرَفَةَ كُلَّهَا مَوْقِفٌ إِلَّا بَطْنَ عُرَنَةَ وَأَنَّ الْمُزْدَلِفَةَ كُلَّهَا مَوْقِفٌ إِلَّا بَطْنَ مُحَسِّرٍ

Ketahuilah, Arafah seluruhnya adalah tempat wukuf, kecuali lembah Uranah. Muzdalifah semuanya adalahvtempat wukuf kecuali lembah Muhassir. [HR. Malik No.772]

Shalat amagrib dan Isya di kerjakan di Muzdalifah dan dijama'

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ صَلَّى بِجَمْعٍ فَجَمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ بِإِقَامَةٍ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ مِثْلَ هَذَا فِي هَذَا الْمَكَانِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ يَحْيَى وَالصَّوَابُ حَدِيثُ سُفْيَانَ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَلِيٍّ وَأَبِي أَيُّوبَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَجَابِرٍ وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنُ عُمَرَ فِي رِوَايَةِ سُفْيَانَ أَصَحُّ مِنْ رِوَايَةِ إِسْمَعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ وَحَدِيثُ سُفْيَانَ حَدِيثٌ صَحِيحٌ حَسَنٌ وَالْعَمَل
ُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ لِأَنَّهُ لَا تُصَلَّى صَلَاةُ الْمَغْرِبِ دُونَ جَمْعٍ فَإِذَا أَتَى جَمْعًا وَهُوَ الْمُزْدَلِفَةُ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ بِإِقَامَةٍ وَاحِدَةٍ وَلَمْ يَتَطَوَّعْ فِيمَا بَيْنَهُمَا وَهُوَ الَّذِي اخْتَارَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ وَذَهَبَ إِلَيْهِ وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ قَالَ سُفْيَانُ وَإِنْ شَاءَ صَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ تَعَشَّى وَوَضَعَ ثِيَابَهُ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ فَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ يَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمُزْدَلِفَةِ بِأَذَانٍ وَإِقَامَتَيْنِ يُؤَذِّنُ لِصَلَاةِ الْمَغْرِبِ وَيُقِيمُ وَيُصَلِّي الْمَغْرِبَ ثُمَّ يُقِيمُ وَيُصَلِّي الْعِشَاءَ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ قَالَ أَبُو عِيسَى وَرَوَى إِسْرَائِيلُ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَخَالِدٍ ابْنَيْ مَالِكٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَحَدِيثُ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ هُوَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ أَيْضًا رَوَاهُ سَلَمَةُ بْنُ كُهَيْلٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَأَمَّا أَبُو إِسْحَقَ فَرَوَاهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَخَالِدٍ ابْنَيْ مَالِكٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ

Dari Abdullah bin Malik bahwasanya Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma
shalat di Jama' (Muzdalifah) dan beliau menjama' dua shalat dengan satu iqamat, lalu dia berkata; Aku melihat Rasulullah melakukannya di tempat ini.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Isma'il bin Abu Khalid dari Abu Ishaq dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Umar dari Nabi seperti hadits di atas. Muhammad bin Baysyar berkata; Yahya berkata; yang benar adalah hadits Sufyan.

(Abu Isa At Tirmidzi) berkata; Hadits semakna diriwayatkan dari Ali, Abu Ayyub, Abdullah bin Mas'ud, Jabir & Usamah bin Zaid. Abu 'Isa berkata; Hadits Ibnu Umar riwayat Sufyan, lebih shohih daripada riwayat Isma'il bin Abu Khalid. Hadits Sufyan merupakan hadits shahih hasan. Diamalkan oleh para ulama karena shalat maghrib tak bisa dilaksanakan kecuali di Jama', jika sudah sampai di sana. Jama' adalah di Muzdalifah. Maka dia menjama' dua shalat dengan satu iqamat dengan tidak melakukan shalat sunnah di antara keduanya. Ini adalah pendapat yg dipilih oleh sebagian ulama, di antaranya Sufyan Ats Tsauri. Sufyan berkata; 'Jika dia mau, boleh shalat maghrib lalu makan malam & istirahat kemudian iqamat & shalat isya'.' Sedangkan sebagian ulama berpendapat; 'Dia menjama' shalat maghrib & isya' di Muzdalifah dengan satu adzan dan dua iqamat. Adzan untuk shalat maghrib lalu iqamat dengan melakukan shalat maghrib. Lalu iqamat dan dilaksanakan shalat isya`. Ini merupakan pendapatnya Syafi'i'. Abu 'Isa berkata; Isra`il meriwayatkan hadits ini dari Abu Ishaq dari Abdullah dan Khalid, keduanya anak Malik dari Ibnu Umar. Hadits Sa'id bin Jubair dari Ibnu Umar merupakan hadits hasan shahih juga. Salamah bin Kuhail meriwayatkannya dari Sa'id bin Jubair. Adapun Abu Ishaq, meriwayatkan hadits ini dari Abdullah & Khalid, anak Malik dari Ibnu Umar. [HR. Tirmidzi No.813]

Meninggalkan Arafah dgn tenang

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ وَبِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ وَأَبُو نُعَيْمٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْضَعَ فِي وَادِي مُحَسِّرٍ وَزَادَ فِيهِ بِشْرٌ وَأَفَاضَ مِنْ جَمْعٍ وَعَلَيْهِ السَّكِينَةُ وَأَمَرَهُمْ بِالسَّكِينَةِ وَزَادَ فِيهِ أَبُو نُعَيْمٍ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَرْمُوا بِمِثْلِ حَصَى الْخَذْفِ وَقَالَ لَعَلِّي لَا أَرَاكُمْ بَعْدَ عَامِي هَذَا قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ جَابِرٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيح ٌ

Dari Jabir radhiyallahu anhu : bahwasanya Nabi shalallahu a'laihi wa salam berhenti di wadi muhassir ,
Dan ditambah oleh Bisr bin Sarii : dan bertolak dari seluruh arah Arafah dengan sakinah (tenang) dan wajib sakinah dan dan memerintahkan mereka untuk sakinah,
Pada tambahan Abu Nu'aim: dan memerintahkan mereka untuk melempar dengan kerikil sebesar kacang merah,
Dan Beliau bersabda :
Mungkin aku tak akan melihat kalian setelah tahun ini.'- (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; Hadits semakna diriwayatkan dari Usamah bin Zaid. Abu 'Isa berkata; Hadits Jabir merupakan hadits hasan shahih.
[HR. Tirmidzi No.812].

Boleh meninggalkan Muzdalifah bagi yang mendapatkan udzur di pertengahan malam

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَقَلٍ مِنْ جَمْعٍ بِلَيْلٍ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَائِشَةَ وَأُمِّ حَبِيبَةَ وَأَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ وَالْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَقَلٍ حَدِيثٌ صَحِيحٌ رُوِيَ عَنْهُ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ وَرَوَى شُعْبَةُ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ مُشَاشٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدَّمَ ضَعَفَةَ أَهْلِهِ مِنْ جَمْعٍ بِلَيْلٍ وَهَذَا حَدِيثٌ خَطَأٌ أَخْطَأَ فِيهِ مُشَاشٌ وَزَادَ فِيهِ عَنْ الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَرَوَى ابْنُ جُرَيْجٍ وَغَيْرُهُ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَلَمْ يَذْكُرُوا فِيهِ عَنْ الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَمُشَاشٌ بَصْرِيٌّ رَوَى عَنْهُ شُعْبَةُ

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma:
Rasulullah mengutusku membawa barang perlengkapan orang-orang dari Jama', pada malam hari. (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; Hadits semakna diriwayatkan dari 'Aisyah, Ummu Habibah, Asma` binti Abu Bakar & Fadl bin Abbas. Abu 'Isa berkata; Hadits Ibnu Abbas merupakan hadits shohih yg diriwayatkan darinya melalui banyak sanad. Syu'bah meriwayatkan hadits ini dari Musyasy dari Atha' dari Ibnu Abbas dari Al Fadl bin Abbas bahwa Nabi memberangkatkan lebih dulu orang-orang yg lemah dari keluarganya dari Jama' pada malam hari. Pada hadits ini terdapat kesalahan yg diperbuat oleh Musyasy dengan menambahkan di dalamnya dari Al Fadl bin Abbas. Ibnu Juraij dan yang lainnya meriwayatkan hadits ini dari Atha' dari Ibnu Abbas, namun mereka tak menyebutkan di dalamnya dari Fadl bin Abbas. Musyasy berasal dari Bashrah & Syu'bah telah meriwayatkan hadits darinya.
[HR. Tirmidzi No.816].

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ الْمَسْعُودِيِّ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدَّمَ ضَعَفَةَ أَهْلِهِ وَقَالَ لَا تَرْمُوا الْجَمْرَةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ لَمْ يَرَوْا بَأْسًا أَنْ يَتَقَدَّمَ الضَّعَفَةُ مِنْ الْمُزْدَلِفَةِ بِلَيْلٍ يَصِيرُونَ إِلَى مِنًى و قَالَ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ بِحَدِيثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ لَا يَرْمُونَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَرَخَّصَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي أَنْ يَرْمُوا بِلَيْلٍ وَالْعَمَلُ عَلَى حَدِيثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ لَا يَرْمُونَ وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ وَالشَّافِعِيّ
ِ
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma: Bahwasanya Nabi shalallahu a'laihi wa salam bersabda: membolehkan orang-orang yang lemah dari kalangan keluarganya ,
Janganlah kalian melempar jumrah hingga terbit matahari!
Abu 'Isa berkata; Hadits Ibnu Abbas merupakan hadits hasan shahih dan diamalkan oleh para ulama. Mereka berpendapat; bolehnya orang-orang yg lemah untuk berangkat lebih dahulu dari Muzdalifah menuju ke Mina. Kebanyakan ulama juga berpegang pada hadits Nabi , bahwa mereka tak boleh melempar jumrah hingga matahari terbit. Namun sebagian ulama membolehkan untuk melempar jumrah pada malam hari. Tapi yg menjadi panduan amal ialah hadits Nabi bahwa mereka tak melempar (kecuali setelah terbit matahari). Ini merupakan pendapat Ats Tsauri & Syafi'i. [HR. Tirmidzi No.817].

Bertolak Dari Muzdalifah Sebelum Matahari Terbit

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَاضَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عُمَرَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَإِنَّمَا كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَنْتَظِرُونَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ يُفِيضُونَ

Dari ibnu Abbas Radhiallahu anhuma bahwasanya Nabi shalallahu a'laihi wa salam
bertolak (dari Muzdalifah) sebelum terbit matahari. (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; Hadits semakna diriwayatkan dari Ibnu Umar. Abu 'Isa berkata; Hadits Ibnu Abbas merupakan hadits hasan shahih.
Hanyasanya orang Jahiliyah menunggu sampai terbit matahari lalu mereka bertolak (pergi). [HR. Tirmidzi No.819].

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ قَالَ أَنْبَأَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ قَال سَمِعْتُ عَمْرَو بْنَ مَيْمُونٍ يُحَدِّثُ يَقُولُ كُنَّا وُقُوفًا بِجَمْعٍ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِنَّ الْمُشْرِكِينَ كَانُوا لَا يُفِيضُونَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَكَانُوا يَقُولُونَ أَشْرِقْ ثَبِيرُ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَالَفَهُمْ فَأَفَاضَ عُمَرُ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Dari Abi Ishak berkata saya mendengar Amr bin Maimunah menyampaikan hadist dia berkata dahulu kami wukuf.......maka berkata umar bin khattab radhiallahu anhu sesungguhnya
Kaum musyrikin tak berangkat hingga terbit matahari. Mereka berkata; 'Tunggulah (sampai matahari terbit) darimu wahai gunung Tsabir'. Rasulullah menyelisihi mereka'. maka 'Umar lalu berangkat sebelum terbit matahari. Abu 'Isa berkata; Ini merupakan hadits hasan shahih.
[HR. Tirmidzi No.820].

IBADAH YANG DISYARIATKAN UNTUK JAMAAH HAJI SELAMA DI ARAFAH

Setiap tahun ada orang-orang yang terpilih untuk menunaikan ibadah haji. Di zaman sekarang, jutaan umat Islam berkumpul di Padang Arafah tiap tahunnya. Sebuah kenikmatan yang sungguh agung. Sebagai wujud syukur kepada Allâh al-Mannan, sudah sepantasnya para jamaah haji mengisi hari mulia ini dengan sebaik mungkin sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Berikut ini adalah penjelasan tentang amalan hari Arafah beserta dalilnya.

1. Setelah menjalankan sunnah bermalam di Mina pada hari tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah) dan melakukan shalat lima waktu di sana, para jamaah haji disunnahkan untuk menuju Arafah begitu matahari terbit pada tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini berdasarkan penjelasan Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu :

فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ التَّرْوِيَةِ تَوَجَّهُوا إِلَى مِنًى فَأَهَلُّوا بِالْحَجِّ وَرَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَصَلَّى بِهَا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ ثُمَّ مَكَثَ قَلِيلاً حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ

Maka pada hari tarwiyah mereka berangkat menuju Mina bertalbiyah haji, dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraan lalu shalat di sana Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh, kemudian menunggu sebentar sampai matahari terbit. [HR. Muslim no. 1218]

2. Saat menuju Arafah disunnahkan memperbanyak talbiyah dan takbir. Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma meriwayatkan :

غَدَوْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ مِنًى إِلَى عَرَفَاتٍ مِنَّا الْمُلَبِّى وَمِنَّا الْمُكَبِّرُ.

Kami berangkat di waktu pagi bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mina ke Arafah, di antara kami ada yang bertalbiyah dan ada yang bertakbir. [HR. Muslim no. 1284]

3. Setibanya di Arafah, para jamaah haji bisa langsung menempati tempat mereka. Harus dipastikan bahwa tempat yang akan dipakai wukuf merupakan bagian dari Arafah, karena jika wukuf di luar Arafah, wukuf kita tidak sah. Sementara wukuf adalah rukun haji dan tidak bisa digantikan dengan dam atau sejenisnya. Jubair bin Muth’im Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

كُلُّ عَرَفَاتٍ مَوْقِفٌ وَارْفَعُوا عَنْ بَطْنِ عُرَنَةَ

Seluruh Arafah adalah tempat wukuf, dan jauhilah tengah lembah ‘Uranah [HR. Ahmad no. 16.797, dihukumi shahih oleh al-Albâni dan Syuaib al-Arnauth]

‘Uranah adalah sebuah lembah (wadi) yang terletak di dekat Masjid Namirah dari arah Makkah dan tempat itu bukan bagian dari Arafah.

Hadits ini menunjukkan bahwa jamaah haji harus memastikan bahwa tempat wukuf mereka termasuk wilayah Arafah. Saat ini, batas Arafah ditandai dengan papan-papan besar dan tinggi yang bisa dilihat dari jauh.

4. Waktu wukuf dimulai saat tiba waktu Zhuhur dan selesai dengan terbitnya fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Jadi, orang yang tidak dimudahkan untuk wukuf di siang hari, masih bisa melakukannya di malam hari, dan wukufnya sah.

Bagi jamaah haji yang terpaksa harus masuk Arafah sejak tanggal 8 Dzulhijjah, seperti sebagian besar jamah haji Indonesia, mereka bisa langsung bersiap wukuf sebelum waktu Zhuhur di tenda masing-masing.

Sebaik-baiknya wukuf dilakukan mulai dari tergelincirnya matahari sampai terbenamnya matahari dan sekurang-kurangnya wukuf dilakukan sepintas lalu, yaitu dengan cara melewati Arafah sekedar thuma’ninah sambil berjalan kaki atau mengendarai kendaraan

عن علِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ وَقَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَةَ فَقَالَ هَذَا الْمَوْقِفُ وَعَرَفَةُ كُلُّهَا مَوْقِفٌ وَأَفَاضَ حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ (صحيح الترمذي)

Dari Ali Bin Abu Thalib ra, Rasulullah saw wuquf di Arafah lalu bersabda: “Ini adalah tempat wuquf, dan semua Arafah adalah tempat wuquf”.  Lalu beliau bertolak (meninggalkan Arafah) ketika matahari terbenam (at-Tirmidzi)

Diriwayatkan bahwa Nabi saw berwukuf setelah tergelincir matahari (HR Muslim)

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْمَرَ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِعَرَفَةَ فَسَأَلُوهُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى الْحَجُّ عَرَفَةُ مَنْ جَاءَ لَيْلَةَ جَمْعٍ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ (رواه ابو داود وغيره)

Dari Abdurahman bin Yamar ra, bahwa: Manusia dari pendududuk Najed datang kepada Rasulallah saw di Arafah, bertanya kepadanya. Lalu Rasulullah saw menyuruh seseorang berseru: Haji adalah Arafah. barang siapa datang (di Arafah) di malam jama’ (Muzdalifah) sebelum terbit fajar maka ia memperoleh haji. (HR Abu Dawud dll)

5. Begitu waktu Zhuhur tiba, disunnahkan untuk melakukan shalat Zhuhur dan Ashar dengan cara jama’ dan qashar, masing-masing dua rekaat di awal waktu shalat Zhuhur, dengan satu adzan dan dua iqamah sebagaimana disebutkan dalam hadits Jabir Radhiyallahu anhu berikut:

ثُمَّ أَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا

Kemudian (Bilal) mengumandangkan adzan lalu iqamah, maka (Rasûlullâh) shalat Zhuhur. Kemudian (Bilal) mengumandangkan iqâmah , maka Rasûlullâh shalat Ashar dan tidak melakukan shalat apapun di antara keduanya. [HR. Muslim no. 1284]

Hikmahnya adalah agar setelah itu kita bisa memiliki waktu yang luas untuk berdoa dan berdzikir, karena saat itu adalah waktu terbaik untuk berdoa.

6. Sebelum shalat Zhuhur, disunnahkan bagi imam untuk menyampaikan khutbah tentang agama secara umum dan penjelasan tentang amalan-amalan haji yang masih tersisa, sebagaimana dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jâbir Radhiyallahu anhu ini :

حَتَّى إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِالْقَصْوَاءِ فَرُحِلَتْ لَهُ فَأَتَى بَطْنَ الْوَادِى فَخَطَبَ النَّاسَ

Sehingga saat matahari tergelincir, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar unta al-Qashwa’ disiapkan, maka ia pun dipasangi pelana, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi tengah lembah (Wadi ‘Uranah) dan berkhutbah. [HR. Muslim no. 1284]

7. Saat di Arafah, sebaiknya para jamaah haji tidak berpuasa, sebagaimana dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ummul Fadhl Radhiyallahu anhuma berikut :

عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ

Dari Ummul Fadhl binti al-Hârits Radhiyallahu anhuma bahwa orang-orang berselisih di dekatnya tentang puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebagian mereka berkata bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa, dan sebagian lagi mengatakan tidak. Maka Ummul Fadhl Radhiyallahu anhuma mengirimkan secangkir susu saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas unta, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminumnya. [HR. al-Bukhâri no. 1887 dan Muslim no. 1123]

Tidak berpuasa selama di Arafah karena itu lebih mendukung ibadah dan amalan selama di sana.

Wukuf di arafah merupakan pertemuan akbar umat Islam dalam ibadah mereka. Hal ini mengingatkan kita akan hari dikumpulkannya seluruh makhluk lintas zaman dan generasi di Padang Mahsyar. Mengingat hal ini, hendaknya setiap Muslim menyiapkan dirinya untuk menyambut kedatangan hari itu dengan amal shaleh.

8. Hendaknya para jamaah haji memanfaatkan waktu sangat berharga di Arafah ini, yang hanya beberapa jam dengan banyak bertalbiyah, berdzikir dan sungguh-sungguh berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat.

Memperbanyak do’a dan dzikir dan sebaik baiknya dzikir dengan memperbanyak membaca :

لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَ لَهُ اْلحَمْدُ يُـحْيِي وَيُـمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

لِمَا رُوِىَ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (وراه الترمذي )

Rasulallah saw bersabda, “Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari ‘Arafah dan sebaik-baik apa yang aku dan para Nabi sebelumku katakan adalah:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَ لَهُ اْلحَمْدُ يُـحْيِي وَيُـمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

(Tiada Ilah melainkan Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya lah segala kerajaan dan pujian dan Dialah Yang Maha berkuasa atas segala sesuatu).” (HR at-Tirmidzi)

Karena ini adalah doa terbaik, jamaah haji harus menghafalnya, lalu sebanyak dan sekhusyu’ mungkin mengucapkannya selama wukuf.

Teladanilah kesungguhan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdoa sebagaimana digambarkan Usâmah bin Zaid Radhiyallahu anhu ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

كُنْتُ رَدِيْفَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِعَرَفاَتٍ، فَرَفَعَ يَدَيْهِ يَدْعُوْ، فَمَالَتْ بِهِ نَاقَتُهُ، فَسَقَطَ خِطَامُهَا، فَتَنَاوَلَ الْخِطَامَ بِإِحْدَى يَدَيْهِ وَهُوَ رَافِعٌ يَدَهُ اْلأُخْرَى

Aku dibonceng Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Arafah, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdoa. Unta beliau miring, dan jatuhlah tali kekangnya, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil tali kekang itu dengan salah satu tangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sementara tangan yang satu lagi tetap tengadah berdoa. [HR. an-Nasâi no. 3011]

Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa sendiri dan tidak mengumpulkan para sahabat untuk berdoa bersama, maka petunjuk beliaulah yang paling pantas diikuti.

Tidak ada doa khusus untuk hari Arafah, dan jamaah haji bisa berdoa apa saja untuk kebaikan akhirat dan dunia. Tapi hendaknya mengutamakan doa-doa dari al-Qur’ân dan sunnah yang shahih, karena doa-doa seperti ini merupakan jawâmi’ul kalim (kalimat yang pendek lafazh tapi luas makna) dan dijamin selamat dari kesalahan.

Saran saya, susunlah proposal doa anda dari jauh hari! Kumpulkanlah doa-doa terbaik untuk dipanjatkan di waktu yang sangat berharga ini, agar anda bisa mengoptimalkan kesempatan yang belum tentu terulang dan tidak kekurangan bekal doa di sana. Jangan lupakan orang tua, keluarga, keturunan, dan orang-orang yang saudara cintai dalam doa terbaik ini.

Jangan sia-siakan satu menitpun dari waktu yang singkat ini untuk hal-hal yang kurang berguna! Jika lelah atau bosan, saudara bisa selingi dengan dzikir dan baca al-Qur’ân, atau istirahat sejenak agar bisa segar lagi.

9. Hendaknya para jamaah haji tidak keluar dari Arafah kecuali setelah terbenam matahari, seperti petunjuk hadits Jâbir tentang sifat wukuf Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَلَمْ يَزَلْ وَاقِفًا حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَذَهَبَتِ الصُّفْرَةُ قَلِيلاً حَتَّى غَابَ الْقُرْصُ

Beliau masih terus wukuf sampai matahari tenggelam, warna kuning sedikit pergi dan bola matahari tidak kelihatan lagi. [HR. Muslim no. 1284]

10. Setelah matahari benar-benar terbenam, jamaah haji boleh meninggalkan Arafah untuk bemalam di Muzdalifah dan menyelesaikan amalan-amalan haji selanjutnya.

Demikianlah rangkaian amalan yang disyariatkan untuk dilakukan oleh jamaah haji selama di Arafah. Jika kita melakukannya dengan ikhlas dan mengikuti petunjuk Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini dan di rangkaian amalan haji yang lain, insya Allâh kita akan meraih haji yang mabrur, dosa-dosa kita diampuni dan doa-doa kita dikabulkan. Kita akan menjadi orang yang mendapatkan barakah hari Arafah dengan terbebaskan dari api neraka.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda