Minggu, 27 Desember 2020

Amal Jariyah Akan Terus Mendatangkan Pahala

 إِذَا مَاتَ اِبْن آدَم لَيْسَ يَجْرِي        عَلَيْهِ مِنْ فِعَال غَيْر عَشْر

عُلُوم بَثَّهَا وَدُعَاء نَجْل              وَغَرْس النَّخْل وَالصَّدَقَات تَجْرِي

وِرَاثَة مُصْحَف وَرِبَاط ثَغْر        وَحَفْر الْبِئْر أَوْ إِجْرَاء نَهَر

وَبَيْت لِلْغَرِيبِ بَنَاهُ يَأْوِي          إِلَيْهِ أَوْ بَنَاهُ مَحَلّ ذِكْر

وَتَعْلِيم لِقُرْآنٍ كَرِيم                فَخُذْهَا مِنْ أَحَادِيث بِحَصْرٍ


Semoga kita semua selalu diberikan kesempatan untuk beramal jariyah dan diberikan kemudahan dalam menjalankan ibadah . Aamiin 

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Kamis, 24 Desember 2020

Hukum Memberikan Daging Kurban Dengan Matang

 

Seiring dengan berkembangnya teknologi dan sarana transportasi, maka inovasi kaum muslimin dalam pendistribusian daging kurban-pun beragam. Dengan alasan pemerataan, maka salah satu inovasi dalam distribusi daging kurban adalah dengan mengolah daging kurban dan mengemasnya di kaleng untuk kemudian didistribusikan ke daerah-daerah yang minim kurbannya.

Sebelum adanya konsensus ulama, kurban disyariatkan berdasarkan beberapa dalil, di antaranya firman Allah:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Shalatlah (di hari raya) dan berkurbanlah,” (QS. Al-Kautsar, ayat 2).

Menurut pendapat yang paling masyhur, shalat dalam ayat di atas ditafsiri dengan shalat hari raya, dan kata “Nahar” ditafsiri dengan menyembelih binatang-binatang kurban.

Dan sabda Nabi:

مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ مِنْ عَمَلٍ أَحَبَّ إلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ إرَاقَةِ الدَّمِ، إنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلَافِهَا، وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

“Tidaklah anak cucu Adam beramal di hari Nahar yang lebih disukai Allah dari pada mengalirkan darah (kurban). Sesungguhnya binatang kurban datang di hari kiamat dengan tanduk-tanduk dan kuku-kukunya. Sesungguhnya darahnya jatuh pada suatu tempat tinggi atas ridloNya sebelum jatuh di tanah. Maka ikhlaskanlah hati kalian dalam berkurban,” (HR. al-Tirmidzi dan al-Hakim).

Alloh memerintahkan agar shohibul qurban memakan sebagian daging qurbannya dan memberikannya kepada yang lain dalam bentuk disedekahkan ke orang yang membutuhkan. Allah berfirman,

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian hasil qurban itu dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang membutuhkan dan fakir.” (QS. Al-Haj: 28)

Al-Qurtubi (w. 671 H) dalam tafsirnya mengatakan,

(فَكُلُوا مِنْها) أَمْرٌ مَعْنَاهُ النَّدْبُ عِنْدَ الْجُمْهُورِ. وَيُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ هَدْيِهِ وَأُضْحِيَتِهِ وَأَنْ يَتَصَدَّقَ بِالْأَكْثَرِ، مَعَ تَجْوِيزِهِمُ الصَّدَقَةَ بِالْكُلِّ

‘Makanlah bagian hasil qurban itu’ ini merupakan perintah anjuran menurut jumhur ulama. Dianjurkan bagi orang yang berqurban untuk makan sebagian hasil qurbannya dan sebagian besar dia sedekahkan. Disamping mereka juga membolehkan disedekahkan semuanya. (Tafsir al-Qurtubi, 12/44) .

Karena kurban merupakan ibadah, tentu ia memiliki ketentuan yang harus dipenuhi dalam sudut pandang syariat, di antaranya berkaitan dengan cara menyedekahkan dagingnya. Umumnya masyarakat membagikan daging kurban dalam kondisi mentah, tapi tidak jarang pula yang memberikannya dalam kondisi masak, di antaranya didistribusikan dalam bentuk kemasan kornet, yaitu daging sapi yang diawetkan dalam air garam dan kemudian dimasak dengan cara direbus. Bagaimana hukumnya?.

Sebagian ulama memang membolehkan pembagian daging kurban dalam kondisi sudah dimasak tanpa mensyaratkan adanya hajat ataupun maslahat. Di antaranya:

Mazhab Maliki membolehkan pembagian daging kurban dalam kondisi sudah dimasak. Al-Imam Ibnul Hajib (w. 646 H), mewakili pendapat resmi Mazhab Maliki, mengatakan:

وَيَأْكُلُ الْمُضَحِّيْ وَيُطْعِمُ نَيِّئًا وَمَطْبُوْخًا وَيَدَّخِرُ وَيَتَصَدَّقُ

Artinya, “Pengurban dianjurkan memakan sebagian dari daging kurbannya, membagikannya dalam kondisi mentah maupun sudah dimasak, menyimpannya, atau menyedekahkannya.” [Jaami’ul Ummahaat hlm. 230, karya Ibnul Hajib, cet. Darul Yamamah Damaskus 1998 M]

Al-Imam Ibnu Jama’ah (w. 767 H) setelah menegaskan bahwa Mazhab Syafii mengharuskan sedekah daging kurban ke fakir miskin dalam keadaan mentah, beliau menyatakan:

وَأَطْلَقَ الْحَنَفِيَّةُ التَّصَدُّقَ بِهِ وَمَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّهُ يَجُوْزُ التَّصَدُّقُ بِهِ مَطْبُوْخًا

Artinya, “Mazhab Hanafi membebaskan sedekah daging kurban dalam kondisi apapun. Mazhab Maliki secara tegas menyatakan bolehnya sedekah daging kurban dalam kondisi sudah dimasak.” [Hidaayatus Saalik (III/1150), karya Ibnu Jama’ah, cet. Darul Basyairil Islamiyyah Beirut 1994 M]

Menurut pendapat kuat dalam mazhab Syafi’i, standar minimal daging kurban yang wajib disedekahkan adalah kadar daging yang mencapai standar kelayakan pada umumnya, misalnya satu plastik daging. Tidak mencukupi memberikan kadar yang remeh seperti satu atau dua suapan. Kadar daging paling minimal tersebut wajib diberikan kepada orang fakir/ miskin, meski hanya satu orang. Selebihnya dari standar minimal ini, mudlahhi (orang yang berkurban) diperkenankan untuk memakannya sendiri atau diberikan kepada orang kaya sebatas untuk dikonsumsi.

Namun yang lebih utama adalah menyedekahkan semuanya kecuali beberapa suap yang dimakan mudlahhi untuk tujuan tabarruk (mengambil keberkahan). Kebolehan memakan ini berlaku untuk kurban sunnah, sementara kurban wajib (semisal disebabkan nadzar) harus disedekahkan semuanya, mudlahhi dan orang-orang yang wajib ia nafkahi tidak diperbolehkan memakannya sedikitpun.

Berkaitan dengan distribusi daging kurban dalam keadaan masak, ulama memerincinya sebagai berikut. Untuk kadar yang wajib diberikan kepada fakir miskin (sekiranya disebut pemberian daging secara layak menurut keumumannya), tidak diperbolehkan diberikan dalam kondisi masak, sebab haknya fakir miskin adalah memiliki daging tersebut secara penuh, bukan hanya mengkonsumsi. Dengan memberinya daging mentah, fakir miskin dapat leluasa memanfaatkan daging tersebut.

Sedangkan untuk kadar daging yang melebihi batas minimal tersebut, mudlahhi diberi kebebasan dalam mendistribukannya, bisa dalam keadaan mentah atau masak, baik diberikan kepada orang kaya atau miskin. Dalam titik ini, diperbolehkan pula pendistribusian dalam bentuk kemasan kornet atau dendeng.

Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli menegaskan:

وَيَجِبُ دَفْعُ الْقَدْرِ الْوَاجِبِ نِيئًا لَا قَدِيدًا

“Wajib memberikan kadar daging yang wajib disedekahkan dalam bentuk mentah, bukan berupa dendeng,” (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 8, hal. 142).

Syekh Khathib al-Syarbini mengatakan:

(وَالْأَصَحُّ وُجُوبُ التَّصَدُّقِ بِبَعْضِهَا) وَلَوْ جُزْءًا يَسِيرًا مِنْ لَحْمِهَا بِحَيْثُ يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ الِاسْمُ عَلَى الْفُقَرَاءِ،

“Menurut pendapat al-Ashah (yang kuat), wajib menyedekahkan sebagian kurban, meski bagian yang sedikit dari dagingnya, sekiranya bisa disebut pemberian daging (yang pantas), kepada orang fakir, meski satu orang.

وَيُشْتَرَطُ فِي اللَّحْمِ أَنْ يَكُونَ نِيئًا لِيَتَصَرَّفَ فِيهِ مَنْ يَأْخُذُهُ بِمَا شَاءَ مِنْ بَيْعٍ وَغَيْرِهِ كَمَا فِي الْكَفَّارَاتِ، فَلَا يَكْفِي جَعْلُهُ طَعَامًا وَدُعَاءُ الْفُقَرَاءِ إلَيْهِ؛ لِأَنَّ حَقَّهُمْ فِي تَمَلُّكِهِ لَا فِي أَكْلِهِ وَلَا تَمْلِيكُهُمْ لَهُ مَطْبُوخًا

“Disyaratkan di dalam daging (yang wajib disedekahkan) harus mentah, supaya fakir/ miskin yang mengambilnya leluasa mentasarufkan dengan menjual dan sesamanya, seperti ketentuan dalam bab kafarat(denda), maka tidak cukup menjadikannya masakan (matang) dan memanggil orang fakir untuk mengambilnya, sebab hak mereka adalah memiliki daging kurban, bukan hanya memakannya. Demikian pula tidak cukup memberikan hak milik kepada mereka daging masak.”

(وَالْأَفْضَلُ) التَّصَدُّقُ (بِكُلِّهَا)؛ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إلَى التَّقْوَى وَأَبْعَدُ عَنْ حَظِّ النَّفْسِ (إلَّا) لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ أَوْ (لُقَمًا يَتَبَرَّكُ بِأَكْلِهَا) عَمَلًا بِظَاهِرِ الْقُرْآنِ، وَلِلِاتِّبَاعِ كَمَا مَرَّ وَلِلْخُرُوجِ مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَ الْأَكْلَ

“Lebih utama menyedekahkansemuanya, karena lebih mendekatkan kepada ketakwaan dan menjauhkan dari kepentingan nafsu, kecuali satu, dua atau beberapa suap yang dimakan untuk mengambil keberkahan, karena mengamalkan bunyi eksplisit Al-Qur’an dan mengikuti Nabi seperti keterangan yang lalu, dan karena keluar dari ikhtilafulama yang mewajibkan memakan,” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 6, hal. 135).

Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H), mewakili pendapat resmi Mazhab Syafii, menjelaskan:

وَلَا يَجُوْزُ تَمْلِيْكُ الْأَغْنِيَاءِ مِنْهَا شَيْئًا وَإِنَّمَا يَجُوْزُ إِطْعَامُهُمْ وَالْهَدِيَّةُ إِلَيْهِمْ. وَيَجُوْزُ تَمْلِيْكُ الْفُقَرَاءِ مِنْهَا لِيَتَصَرَّفُوْا فِيْهِ بِالْبَيْعِ وَغَيْرِهِ. … لَا يَجُوْزُ أَنْ يَدْعُوَ الْفُقَرَاءَ لِيَأْكُلُوْهُ مَطْبُوْخًا لِأَنَّ حَقَّهُمْ فِيْ تَمَلُّكِهِ … وَإِنْ دَفَعَ مَطْبُوْخًا، لَمْ يُجْزِهِ بَلْ يُفَرِّقُهُ نَيِّئًا لِأَنَّ الْمَطْبُوْخَ كَالْخُبْزِ فِيْ الْفِطْرَةِ.

Artinya, “Tidak boleh memberikan kepemilikan (tamliik) daging kurban sedikit pun kepada orang kaya. Yang boleh hanyalah memberi mereka makanan berupa daging kurban dan menghadiahkannya pada mereka. Sementara orang-orang fakir, boleh diberikan kepemilikan (tamliik) daging kurban kepada mereka agar mereka memiliki keleluasaan memilih akan diapakan daging tersebut, entah dijual atau lainnya. …

Tidak boleh pengurban mengundang orang-orang fakir untuk makan daging kurban tersebut dalam kondisi sudah dimasak karena hak mereka adalah memiliki daging kurban (bukan hanya memakannya). …

Jika daging kurban diberikan dalam kondisi sudah dimasak, maka ini tidak sah (sebagai sedekah). Justru ia haruslah membagikannya dalam keadaan mentah karena menyedekahkan daging kurban dalam keadaan sudah dimasak sama saja seperti berzakat fitrah dengan roti.” [Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (VIII/239) karya An-Nawawi, cet. Dar ‘Alamil Kutub Riyadh 2003 M]

Al-Imam Al-Buhuti (w. 960 H), mewakili pendapat resmi Mazhab Hanbali, menyatakan:

يَجِبُ الصَّدَقَةُ بِبَعْضِهَا نَيِّئًا عَلَى فَقِيْرٍ مُسْلِمٍ

Artinya, “Wajib menyedekahkan sebagian daging kurban dalam kondisi mentah kepada fakir yang muslim.” [Kasysyaaful Qinaa’ (III/23) karya Al-Buhuti cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah Beirut 2009 M

Jika kita perhatikan kedua nukilan terakhir, nampak bahwa Mazhab Syafii membedakan antara tamliik (memberikan) dalam bentuk sedekah dan ith’am (memberi makan). Tamlik dalam bentuk sedekah daging kurban wajib dalam kondisi mentah. Tidak sah sedekah yang berkonsekuensi tamliik ini jika dagingnya sudah dimasak. Sedekah ini juga hanya untuk fakir miskin. Adapun ith’am dalam bentuk hadiah daging atau pemberian makanan dari daging kurban, maka boleh diberikan kepada orang kaya, tanpa ada pensyaratan harus dalam kondisi mentah. Demikian juga Mazhab Hanbali.

Artinya, dalam kasus “sedekah” daging kurban, maka harus dalam kondisi mentah, sebagaimana zakat fitrah harus dalam bentuk gandum (misalnya), bukan roti gandum yang sudah jadi. Hanya saja, berbeda dari zakat fitrah, kurban tidak seluruh dagingnya disedekahkan. Ada bagian untuk dimakan sendiri dan disimpan, bahkan diberikan dalam bentuk hadiah makanan kepada orang kaya. Maka untuk selain sedekah sebagian daging kurban pada fakir, bahkan dalam kedua mazhab ini, tentulah tidak seketat aturan di atas.

Kesimpulannya, hukum mendistribusikan daging kurban dalam bentuk masak atau sejenis kemasan kornet adalah diperbolehkan asalkan sebagian daging kurban sudah ada yang disedekahkan kepada orang fakir/miskin dalam bentuk mentah. 

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Rabu, 23 Desember 2020

Hukum Menyimpan Daging Qurban Lebih Dari 3 Hari

 Rasulullah SAW pernah melarang sahabatnya melakukan penyimpanan daging kurban. Larangan ini berkaitan dengan orang-orang Arab yang datang dari desa-desa ke dalam kota. Lalu Rasulullah melarang penduduk Madinah untuk menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari. Hal ini dimaksudkan agar orang-orang Arab badui itu pulang ke kampungnya tanpa tangan hampa. 

Ulama berbeda pendapat tentang hukum menyimpan daging qurban  melebihi hari tasyrik.

Pendapat pertama, dilarang menyimpan dan mengawetkan daging qurban melebih 3 hari Tasyriq. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhum.

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah ketika shalat idul adha,  melarang menyimpan daging qurban lebih dari 3 hari. Dari Abu Ubaid – mantan budak Ibnu Azhar – beliau menceritakan,

صَلَّيْتُ مَعَ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ – قَالَ – فَصَلَّى لَنَا قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ نَهَاكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا لُحُومَ نُسُكِكُمْ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ فَلاَ تَأْكُلُوا

Saya pernah shalat id bersama Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Beliau shalat sebelum khutbah. Kemudian beliau berkhutbah, mengingat masyarakat. Beliau menyampaikan,

‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kalian untuk makan daging qurban kalian lebih dari 3 hari. Karena itu, janganlah kalian makan (lebih dari 3 hari).’ (HR. Muslim 5210, dan Nasai 4442).

Sementara riwayat dari Ibnu Umar, bahwa beliau tidak mau makan daging qurban yang disimpan lebih dari 3 hari. Dari Salim – putra Ibnu Umar – bahwa Ibnu Umar mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ تُؤْكَلَ لُحُومُ الأَضَاحِى بَعْدَ ثَلاَثٍ

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan daging sembelihan lebih dari 3 hari.

Salim menceritakan kondisi bapaknya,

فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ لاَ يَأْكُلُ لُحُومَ الأَضَاحِىِّ فَوْقَ ثَلاَثٍ

Karena itu, Ibnu Umar tidak mau makan daging qurban lebih dari 3 hari. (HR. Muslim 5214 dan Ibnu Hibban 5924).

Pendapat kedua, boleh menyimpan dagig qurban lebbih dari 3 hari tasyriq. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, empat imam madzhab, dan selainnya.

Diantaranya diriwayatkan dari A’isyah Radhiyallahu ‘anha. Dari Abdurrahman bin Abis dari ayahnya, bahwa beliau pernah bertanya kepada A’isyah,

‘Benarkah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarag makan daging qurban lebih dari 3 hari?’

Jawab A’isyah,

مَا فَعَلَهُ إِلاَّ فِى عَامٍ جَاعَ النَّاسُ فِيهِ ، فَأَرَادَ أَنْ يُطْعِمَ الْغَنِىُّ الْفَقِيرَ ، وَإِنْ كُنَّا لَنَرْفَعُ الْكُرَاعَ فَنَأْكُلُهُ بَعْدَ خَمْسَ عَشْرَةَ

Beliau hanya melarang hal itu karena kelaparan yang dialami sebagian masyarakat. sehingga beliau ingin agar orang yang kaya memberikan makanan (daging qurban) kepada orang miskin. Karena kami menyimpan dan mengambili daging paha kambing, lalu kami memakannya setelah 15 hari. (HR. Bukhari 5107).

Diantara dalil pendapat ini adalah bahwa larangan makan daging qurban lebih dari 3 hari itu sudah dihapus. Ada beberapa hadis yang menunjukkan hal itu, diantaranya,

1. Hadis dari Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda:

« مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَفِى بَيْتِهِ مِنْهُ شَىْءٌ » . فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِى ؟ قَالَ : « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا »

“Barangsiapa yang menyembelih hewan qurban, janganlah dia menyisakan sedikitpun dagingnya di dalam rumahnya setelah hari (Tasyriq) yang ketiga (tanggal 13 Dzulhijjah, pent).” Ketika tiba hari raya qurban tahun berikutnya, mereka (para sahabat) bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah kami melakukan sebagaimana tahun lalu?” Beliu menjawab: “(Tidak), untuk sekarang, silahkan kalian makan, berikan kepada yang lain, dan silahkan menyimpannya. Karena sesungguhnya pada tahun lalu manusia ditimpa kesulitan (kelaparan), sehingga aku ingin kalian membantu mereka (yang membutuhkan makanan, pent)”. (HR. Bukhari no. 5249, dan Muslim no.1974).

2. Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« يَا أَهْلَ الْمَدِينَةِ لاَ تَأْكُلُوا لُحُومَ الأَضَاحِىِّ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ». فَشَكَوْا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ لَهُمْ عِيَالاً وَحَشَمًا وَخَدَمًا فَقَالَ : « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَاحْبِسُوا أَوِ ادَّخِرُوا » رواه مسلم

“Wahai penduduk kota Madinah, Janganlah kalian makan daging qurban melebihi tiga hari (Tasyriq, tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, pent)”. Mereka mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka memiliki keluarga, sejumlah orang (kerabat) dan pembantu. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Kalau begitu) silakan kalian memakannya, memberikannya kepada yang lain, menahannya atau menyimpannya.” (HR. Muslim no.1973).

وَقَدْ كَانَ) الِادِّخَارُ (مُحَرَّمًا) فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ (ثُمَّ أُبِيحَ) بِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رَاجَعُوهُ فِيهِ كُنْت نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ وَقَدْ جَاءَ اللَّهُ بِالسَّعَةِ فَادَّخِرُوا مَا بَدَا لَكُمْ رَوَاهُ مُسْلِمٌ قَالَ الرَّافِعِيُّ وَالدَّافَّةُ جَمَاعَةٌ كَانُوا قَدْ دَخَلُوا الْمَدِينَةَ قَدْ أَقْحَمَتْهُمْ أَيْ أَهْلَكَتْهُمْ السَّنَةُ فِي الْبَادِيَةِ وَقِيلَ الدَّافَّةُ النَّازِلَةُ

Artinya, “(Dahulu) penyimpanan daging kurban sempat (diharamkan) lebih dari tiga hari, (tetapi kemudian penyimpanan itu dibolehkan) berdasarkan sabda Rasulullah SAW ketika para sahabat mendatanginya perihal ini, ‘Dahulu aku melarang kalian perihal ini (penyimpanan) karena tamu (dari desa-desa), tetapi Allah datang memberikan kelonggaran. Maka simpanlah apa (daging) yang tampak pada kalian,’ [HR Muslim].
Imam Ar-Rafi’i mengatakan bahwa kata ‘tamu’ yang dimaksud adalah sekelompok orang yang memasuki Kota Madinah. Mereka adalah orang yang mengalami kesulitan setahun di desa-desa. Ada ulama berpendapat bahwa mereka adalah tamu yang singgah atau mampir,” (Lihat Syekh Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun],  juz VI, halaman 474).

Karena perubahan situasi, Rasulullah SAW kemudian mengizinkan para sahabatnya untuk menyimpan daging kurban. Hanya saja para ulama kemudian menyarankan bahwa penyimpanan itu berlaku untuk sepertiga maksimal daging kurban yang menjadi hak kurbanis (dalam pandangan qaul jadid Imam Syafi’i). Sedangkan dua pertiga daging kurban yang seharusnya disedekahkan tidak disarankan untuk disimpan, tetapi dibagikan kepada mustahiqnya.

فَرْعٌ، وَلَا يُكْرَهُ الِادِّخَار) مِنْ لَحْمِ الْأُضْحِيَّةِ وَالْهَدْيِ وَالتَّصْرِيحُ بِعَدَمِ الْكَرَاهَةِ مِنْ زِيَادَتِهِ (وَلْيَكُنْ) أَيْ وَيُسْتَحَبُّ إذَا أَرَادَ الِادِّخَارَ أَنْ يَكُونَ (مِنْ ثُلُثِ الْأَكْلِ) لَا مِنْ ثُلُثَيْ الصَّدَقَةِ وَالْهَدِيَّةِ  

Artinya, “(Ini cabang masalah. Penyimpanan) daging kurban dan hadiyah jamaah haji (tidak makruh). Penyampaian secara lugas frasa ‘ketidakmakruhan’ adalah tambahannya [Abu Ishak As-Syirazi]. (Hendaknya) maksudnya kalau seseorang ingin menyimpan daging kurban dianjurkan (sepertiga haknya yang untuk dikonsumsi), bukan dua pertiga yang menjadi hak sedekah dan hadiyah,” (Lihat Syekh Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun],  juz VI, halaman 474).

Imam An-Nawawi dalam Al-Majemuk juga menyinggung perihal izin penyimpanan daging kurban oleh Rasulullah yang sebelumnya sempat diharamkan. Menurutnya, masalah ini ditetapkan dengan jelas dalam hadits shahih.

فرع) يجوز ان يدخر من لحم الاضحية وكان ادخارها فوق ثلاثة ايام منهيا عنه ثم اذن رسول الله صلى الله عليه وسلم فيه وذلك ثابت في الاحاديث الصحيحة المشهورة

Artinya, “(Ini satu cabang) penyimpanan daging kurban boleh. Dahulu penyimpanan daging kurban melebihi tiga hari sempat dilarang. Tetapi kemudian Rasulullah mengizinkannya. Hal ini sudah tetap di dalam hadits-hadits shahih yang masyhur,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majemuk Syarhul Muhadzdzab, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz VIII, halaman 395).

Menurut Imam An-Nawawi, ulama berbeda pendapat perihal penyimpanan daging kurban. Sebagian ulama menyatakan, makruh tahrim. Sebagian ulama lagi menyatakan, makruh tanzih. Imam An-Nawawi kemudian menyatakan bahwa penyimpanan daging kurban dibolehkan dalam syariat Islam.

والصواب المعروف انه لا يحرم الادخار اليوم بحال وإذا اراد الادخار فالمستحب ان يكون من نصيب الاكل لا من نصيب الصدقة والهدية

Artinya, “Yang benar dan terkenal, bahwa penyimpanan hewan kurban hari ini dalam situasi apa pun tidak haram. Daging yang disimpan dianjurkan adalah (sepertiga–pent) jatah yang dikonsumsi, bukan (dua pertiga–pent) kuota yang seharusnya disedekahkan dan menjadi hadiyyah (oleh jamaah haji),” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majemuk Syarhul Muhadzdzab, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz VIII, halaman 395-396).

Di sini pentingnya memahami hadits Rasulullah SAW secara utuh dengan menimbang konteks asbabul wurud, tarikh riwayat, dan kemungkinan riwayat lain.

Kita tidak dapat langsung mengamalkan sebuah riwayat hadits Rasulullah yang melarang sesuatu, dalam hal ini penyimpanan daging kurban tanpa membaca riwayat lain yang berkaitan dengan masalah ini dan pertimbangan lain di dalam memahami sebuah hadits Rasulullah SAW.

Perihal larangan dan izin penyimpanan daging kurban ini merupakan perhatian Rasulullah terkait distribusi serta pemerataan hewan kurban dan terkait hak daging kurbanis serta hak daging bagi mustahiq. 

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Selasa, 22 Desember 2020

Kisah Shohabat Nu'aiman bin Amr Yang Jahil Dan Wolesnya Kanjeng Nabi

 Membaca kisah, memang asyik dan menyenangkan, penuh dengan ibrah dan pelajaran, apalagi kisah para nabi dan orang-orang shalih, tentulah sarat dengan mutiara-mutiara hikmah yang sangat berharga. Tentang kisah para nabi, Alloh berfirman:

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأُوْلِي اْلأَلْبَاب

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. (QS. Yusuf : 111)

Adapun kisah orang-orang shalih, Imam Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Ketika membicarakan kisah mereka, turunlah rahmat ( Alloh )”. 
Sungguh alangkah indahnya ucapan seorang penyair:

كَرِّرْ عَلَيَّ حَدِيْثَهُمْ يَاحَادِيْ
فَحَدِيْثُهُمْ يُجْلِىْ الْفُؤَادَ الصَّاوِيْ

Ceritakanlah kepadaku tentang kisah mereka wahai shahabatku 
Sungguh kisah mereka dapat mencairkan hati yang membeku.

Adalah Nu’aiman bin Amr bin Rafa’ah seorang sahabat Rasulullah yang terkenal suka melawak dan jahil. Ia adalah sahabat dari kalangan Anshar. Meski wataknya yang suka melucu, Nu’aiman juga seorang mujahid sejati Islam. Ia merupakan Ashabul Badrkarena ikut terlibat dalam Perang Badar bersama Rasulullah dan para sahabat yang lainnya. 

Nu’aiman banyak membuat lelucon atau tingkah konyol –bahkan kejahilan- hingga membuat Rasulullah dan para sahabat lainnya tida kuat menahan tawa. Yang menjadi target kejahilanya tidak hanya sahabat, tapi juga Rasulullah. 

Karena itu, Rasulullah pernah berkata, “Nu’aiman akan masuk surga sambil tertawa, karena ia sering membuatku tertawa.”

Lantas bagaimana sikap Rasulullah terhadap sahabatnya yang suka melawak –bahkan jahil- seperti Nu’aiman tersebut? Apakah Rasulullah pernah marah dengan sikap usil Nu’aiman? Atau kah Rasulullah menganggapnya biasa saja? Lalu bagaimana kalau ada sahabat yang tersinggung dengan keusilan Nu’aiman, bagaimana Rasulullah ‘meredam’ hal itu?

حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَمْعَةُ بْنُ صَالِحٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ شِهَابٍ يُحَدِّثُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَهْبِ بْنِ زَمْعَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ خَرَجَ تَاجِرًا إِلَى بُصْرَى وَمَعَهُ نُعَيْمَانُ وَسُوَيْبِطُ بْنُ حَرْمَلَةَ وَكِلَاهُمَا بَدْرِيٌّ وَكَانَ سُوَيْبِطٌ عَلَى الزَّادِ فَجَاءَهُ نُعَيْمَانُ فَقَالَ أَطْعِمْنِي فَقَالَ لَا حَتَّى يَأْتِيَ أَبُو بَكْرٍ وَكَانَ نُعَيْمَانُ رَجُلًا مِضْحَاكًا مَزَّاحًا فَقَالَ لَأَغِيظَنَّكَ فَذَهَبَ إِلَى أُنَاسٍ جَلَبُوا ظَهْرًا فَقَالَ ابْتَاعُوا مِنِّي غُلَامًا عَرَبِيًّا فَارِهًا وَهُوَ ذُو لِسَانٍ وَلَعَلَّهُ يَقُولُ أَنَا حُرٌّ فَإِنْ كُنْتُمْ تَارِكِيهِ لِذَلِكَ فَدَعُونِي لَا تُفْسِدُوا عَلَيَّ غُلَامِي فَقَالُوا بَلْ نَبْتَاعُهُ مِنْكَ بِعَشْرِ قَلَائِصَ فَأَقْبَلَ بِهَا يَسُوقُهَا وَأَقْبَلَ بِالْقَوْمِ حَتَّى عَقَلَهَا ثُمَّ قَالَ لِلْقَوْمِ دُونَكُمْ هُوَ هَذَا فَجَاءَ الْقَوْمُ فَقَالُوا قَدْ اشْتَرَيْنَاكَ قَالَ سُوَيْبِطٌ هُوَ كَاذِبٌ أَنَا رَجُلٌ حُرٌّ فَقَالُوا قَدْ أَخْبَرَنَا خَبَرَكَ وَطَرَحُوا الْحَبْلَ فِي رَقَبَتِهِ فَذَهَبُوا بِهِ فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَأُخْبِرَ فَذَهَبَ هُوَ وَأَصْحَابٌ لَهُ فَرَدُّوا الْقَلَائِصَ وَأَخْذُوهُ فَضَحِكَ مِنْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ حَوْلًا

Telah menceritakan kepadanya Rauhtelah menceritakan kepada kami Zam'ah bin Shalih dia berkata; saya telah mendengar Ibnu Syihabmenceritakan dari Abdullah bin Wahb bin Zam'ah dari Ummu Salamah bahwa Abu Bakr pernah pergi untuk berdagang di Bashrah bersama Nu'aiman dan Suwaith bin Harmalah keduanya adalah pengikut perang Badr. Ketika itu Suwaith membawa bekal, sehingga Nu'aiman mendatanginya dan berkata; "Berilah aku makan!" lantas ia menjawab; "Tidak, hingga Abu Bakr datang." Nu'aiman adalah seorang lelaki yang lucu. Ia berkata; "Sungguh aku akan membuat engku marah!" lantas ia mendatangi segerombolan orang yang berkumpul." Ia berkata; "Belilah dariku seorang budak Arab yang tangkas lagi pandai bicara. Ia pasti selalu mengatakan; 'Aku orang yang merdeka'." Bila kalian tertarik dengan hal tersebut, panggillah aku dan jangan kalian sia-siakan budakku. Mereka berkata; "Pasti kami akan membelinya darimu setara dengan sepuluh unta." Lantas ia dan mereka pun menerimanya hingga ia megikatnya. Kemudian ia berkata kepada mereka; "Ia ada di bawah kalian ini." Lantas mereka pun mendatanginya dan berkata; "Kami telah membelimu?" Suwaith berkata; "Dia itu pembohong, saya adalah seorang lelaki yang merdeka" mereka berkata; "Dia telah mengabarkan kepada kami mengenai kamu." Merekapun mengikatkan tali di lehernya dan membawanya. Lalu Abu Bakr datang dan ia diberi tahu. Lantas ia dan para sahabatnya pergi dan mengembalikan unta tersebut, dan merekapun mengambilnyanya. Sementara Nabi shalallahu'alaihi wa sallam serta para sahabatnya tertawa. (MUSNAD IMAM ACHMAD)

Kita bisa menarik beberapa kesimpulan tentang sikap Rasulullah terhadap Nu’aiman.

Pertama, memakluminya. Pada umumnya Rasulullah dan para sahabat maklum tentang karakter Nu’aiman yang suka melucu. Rasulullah juga biasa saja ketika menjadi sasaran kejahilan Nu’aiman dalam membuat lelucon. Selama tingkah polah Nu’aiman tidak melanggar ajaran agama Islam, mungkin selama itu pula akan dimaklumi. 

Misalnya cerita Nu’aiman menghadiahi Rasulullah Madu. Diceritakan bahwa suatu hari Nu’aiman ingin menghadiahi Rasulullah seguci madu. Namun karena ia tidak memiliki uang, maka akhirnya Nu’aiman menyuruh penjual madu untuk menghantarkan madunya kepada Rasulullah, sebagai hadiah kepada Rasulullah.

“Nanti kamu minta juga uang harganya,” kata Nu’aiman kepada penjual madu. 

Saat bertemu Rasulullah, penjual madu tersebut mengatakan sebagaimana yang diminta Nu’aiman. Rasulullah memberikan sejumlah uang kepada penjual madu itu. Jadi lah Rasulullah mendapatkan hadiah madu, sekaligus tagihan harganya.

Setelah kejadian itu, Rasulullah memanggil Nu’aiman. Beliau menanyakan mengapa Nu’aiman melakukan hal itu. 

“Saya ingin berbuat baik kepada Anda ya Rasulullah, tapi saya tidak punya apa-apa,” jawab Nu’aiman sehingga membuat Rasulullah tersenyum. 

Kedua, mengganti kerugian akibat kejahilan Nu’aiman. Tidak hanya memaklumi Nu’aiman, bahkan Rasulullah mengganti kerugian akibat kejahilan yang dilakukan sahabatnya itu. Selain cerita di atas, ada satu kejadian yang membuat Rasulullah mengganti apa yang telah diperbuat Nu’aiman. Meski demikian, Rasulullah tidak marah. Bahkan beliau tersenyum karena apa yang dilakukan Nu’aiman memang ‘menggelitik.’

Ceritanya, suatu ketika para sahabat berkata kepada Nu’aiman bahwa sudah lama tidak makan daging unta. Mereka lantas memiliki ide untuk menyembelih unta seseorang yang tengah bertamu kepada Rasulullah. Nu’aiman langsung saja menyambut ide tersebut. Unta tamu Rasulullah tersebut akhirnya jadi disembelih Nu’aiman. 

Tamu Rasulullah yang mengetahui untanya disembelih tersebut langsung mengadu kepada Rasulullah. Setelah ditanya, para sahabat yang memiliki ide makan daging unta tersebut menjawab bahwa yang melakukan itu adalah Nu’aiman. Salah seorang dari mereka lalu menunjukkan kepada Rasulullah dan tamunya tempat persembunyian Nu’aiman. 

Saat ditanya Rasulullah mengapa melakukan itu, jawaban Nu’aiman malah membuat Rasulullah tersenyum.

“Tanyakan saja kepada orang yang menunjukkan kepadamu tempat persembunyianku,” jawab Nu’aiman. Rasulullah lalu memberikan ganti rugi kepada pemilik unta tersebut dengan jumlah yang lebih dari pada cukup. 

Ketiga, melarang sahabat lain mencela Nu’aiman. tidak semua orang suka dan maklum dengan tingkah Nu’aiman yang jahil dan usil seperti itu. Pasti ada saja pihak-pihak yang jengkel dan tidak suka dengan tingkah laku Nu’aiman. Terkait hal ini, Rasulullah sudah memberikan rambu-rambu. Rasulullah melarang para sahabatnya untuk mencela Nu’aiman. 

“Jangan lakukan itu (mencela Nu’aiman) karena dia mencintai Allah dan Rasul-Nya,” kata Rasulullah. 

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Senin, 07 Desember 2020

Nur Muhammad Simbol Rohmat Dan Awal Penciptaan

 Sebelumnya, kita telah sedikit mengenal keluasan rahmat Allah swt. Rahmat yang meliputi segala sesuatu. Rahmat yang jika terputus sedetik saja maka hancurlah seluruh alam semesta. Hingga kita sampai pada pertanyaan, siapakah simbol rahmat Allah di bumi ini? Siapakah penghubung rahmat Pencipta dengan makhluk-Nya? Siapakah yang menjadi gambaran keluasan rahmat Allah swt di alam ini?

Jika rahmat Allah meliputi segala sesuatu, maka simbol rahmat-Nya harus memiliki rahmat dan kasih sayang terluas hingga tak terikat dengan suatu alam. Alam Manusia, binatang, jin bahkan malaikat sekalipun harus memperoleh sentuhan rahmat darinya. Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ -١٠٧-

“Dan Kami tidak Mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

(Al-Anbiya’ 107)

Jika ada rahmat Allah swt di setiap sesuatu maka ada pula percikan Nur Muhammad di dalamnya. Karena dari cahaya itulah segala sesuatu tercipta. Bukankah dalam Hadist Qudsi-Nya, Allah pernah berfirman:

لولاك يا محمد ما خلقت الافلاك

“Jika bukan karenamu Wahai Muhammad, tidak Aku Ciptakan alam semesta”

Seluruh makhluk menjadi ada karena rahmat Muhammad saw yang Allah berikan kepadanya.

Simbol rahmat itu Allah berikan kepada seorang yang hatinya dipenuhi dengan rahmat dan kasih sayang. Tidak ada satu makhluk pun yang tidak mendapat sentuhan rahmat darinya. Karena Allah swt hanya akan menurunkan rahmat dan kasih sayang-Nya melalui kekasih-Nya ini.

Ketika Jibril membawakan ayat ini, Rasulullah saw bertanya padanya, “Apakah engkau juga memperoleh rahmat ini?”

Kemudian Jibril menjawab, “Iya, wahai Rasulullah. Aku memperoleh percikan rahmatmu itu. Bahkan hanya itulah yang dapat kuandalkan.”

Bukan hanya malaikat, binatang pun memperoleh rahmat dan kasih sayang dari Rasulullah saw. Tahukah kita bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia pertama yang mengumumkan untuk tidak berbuat keji terhadap binatang. Bukankah Rasulullah telah berpesan untuk menajamkan pisau ketika hendak menyembelih binatang. Agar mereka tidak tersiksa saat di potong lehernya. Bukankah Rasulullah saw yang melarang anak-anak kecil yang sedang asyik melempari burung dengan batu.

Di zaman ketika hati manusia keras dan tak memiliki kasih sayang, Rasulullah datang dengan hati penuh rahmat bahkan kepada binatang sekalipun.

Rahmat adalah sesuatu yang harus bisa dirasakan dan dinikmati. Alam semesta ini merupakan rasa dari kemaujudan Nabi Saw pada awal penciptaan. Sebagaimana makanan dan minuman yang bisa kita nikmati, sudah barangtentu wujud makanan dan minuman itu harus ada terlebih dahulu daripada rasanya itu sendiri. Karena rasa itu dapat dinikmati setelah adanya wujud makanan dan minuman itu sendiri. Kita tidak dapat menikmati rasa kopi tanpa adanya wujud kopi, dan begitulah seterusnya. Begitu pula untuk menikmati wujud alam semesta ini tidak dapat dinikmati tanpa adanya wujud penciptaan Nabi Saw terlebih dahulu. Itulah maksud firman Allah dalam hadits Qudsi :

لَوْلَاكَ لَوْلَاكَ لَمَّا خَلَقْتُ الْاَفْلَاكَ

“ Kalaulah bukan karena (penciptaan) engkau (Muhammad), Aku tidak akan menciptakan alam semesta  “

Penjelasan ini dibenarkan dalam banyak riwayat, Nabi Saw bersabda :

اَناَ اَبُو الْأَرْوَاحِ وَاَناَ مِنْ نُوْرِ اللهِ وَالمْؤُمِنُونَ فَيْضَ نُورِى

“ Aku adalah moyang semua arwah dan aku berasal dari cahaya Allah dan orang-orang yang beriman terperciki oleh cahayaku “(Ruhul Bayan 1/403, 2/370, 3/129)

Bahkan Ibnu Taimiyah memasukkan sebuah hadits tentang awal penciptaan Nabi Saw dalam kitabnya sbb : 

وَقَدْ رَوَاهُ أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بشران مِنْ طَرِيقِ الشَّيْخِ أَبِي الْفَرَجِ ابْنِ الْجَوْزِيِّ فِي (الوفا بِفَضَائِلِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إسْحَاقَ بْنِ صَالِحٍ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ صَالِحٍ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ العوفي ثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ طهمان عَنْ يَزِيدَ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ {مَيْسَرَةَ قَالَ قُلْت: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى كُنْت نَبِيًّا؟ قَالَ لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ الْأَرْضَ وَاسْتَوَى إلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَخَلَقَ الْعَرْشَ: كَتَبَ عَلَى سَاقِ الْعَرْشِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ خَاتَمُ الْأَنْبِيَاءِ وَخَلَقَ اللَّهُ الْجَنَّةَ الَّتِي أَسْكَنَهَا آدَمَ وَحَوَّاءَ فَكَتَبَ اسْمِي عَلَى الْأَبْوَابِ وَالْأَوْرَاقِ وَالْقِبَابِ وَالْخِيَامِ وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالْجَسَدِ فَلَمَّا أَحْيَاهُ اللَّهُ تَعَالَى: نَظَرَ إلَى الْعَرْشِ فَرَأَى اسْمِي فَأَخْبَرَهُ اللَّهُ أَنَّهُ سَيِّدُ وَلَدِك فَلَمَّا غَرَّهُمَا الشَّيْطَانُ تَابَا وَاسْتَشْفَعَا بِاسْمِي إلَيْهِ} . وَرَوَى أَبُو نُعَيْمٍ الْحَافِظُ فِي كِتَابِ دَلَائِلِ النُّبُوَّةِ: وَمِنْ طَرِيقِ الشَّيْخِ أَبِي الْفَرَجِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ رشدين ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سَعِيدٍ الْفَهْرِي

“ dan sesungguhnya telah meriwayatkan Abu al-Hasan ibn Basyran melalui jalan Syaikh Abu al-Faraj ibn al-Jauzi dalam kitab al-Wafa bi Fadhl al-Mushthafa Saw : mengabarkan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr dan mengabarkan kepada kami Ahmad bin Ishaq bin Shaleh mengabarkan kepada kami Muhammad bin Sinan al-Awfi mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Tihaman dari Yazid bin Maisarah dari Abdullah bin Sufyan dari Maisarah, ia ber- kata, “ Aku berkata :  Wahai Rasulullah, kapankah engkau menjadi nabi ? Beliau menjawab : “ Setelah Allah menciptakan bumi dan bermaksud (beralih) pada penciptaan langit. Dia menyempurnakannya dalam jumlah tujuh langit. Dia juga menciptakan Arasy, dan menulis- kan pada betis (kaki) Arasy : Muhammad Utusan Allah. Penutup para Nabi. Dia juga Menciptakan surga yang didiami oleh Adam dan Hawa, lalu menuliskan namaku pada berbagai pintu dan kertas, pada kubah-kubah dan kemah-kemah, sedangkan Adam masih terpisah jasad dari ruhnya. Setelah Adam dihidupkan Allah Swt, ia memandang ke Arasy, ia pun melihat namaku. Allah lalu memberitahu Adam : “ Muhammad adalah pemimpin keturu- nanmu “. Ketika mereka diperdayakan oleh setan, mereka bertobat dan memohon syafa’at dengan (perartara berkah) namaku kepada-Nya “ Dan telah diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Hafizh di dalam kitab Dalail Nubuwwah melalui jalan Syaikh Abu al-Faraj meriwayatkan kepada kami Sulaiman ibn Ahmad meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Rasyidin mengabarkan kepada kami Ahmad ibn Sa’id al-Fahri “(Majmu’ Fatawa 2/150)

Banyak pula orang yang terkecoh pemikirannya, bahwa penciptaan Nabi Adam a.s terlebih dahulu daripada penciptaan Nabi Saw. Banyak sekali hadits yang diriwayatkan dari berbagai jalur yang justru mengatakan sebaliknya.

Dari Irbash bin Sariyah as-Salami r.a, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw berkata : 

إِنِّي عِنْدَ اللهِ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَخَاتَمُ النَّبِيِّينَ، وَإِنَّ آدَمَ لَمُنْجَدِلٌ  فِي طِينَتِهِ 

“ Aku di sisi Allah di dalam induk Kitab (Lauh Mahfuzh) sebagai penutup para nabi, sedangkan Adam masih tergolek di tanah  “(Musnad Ahmad 27/380, 27/395, Musnad al-Bazzar 10/135, Shahih Ibnu Hibban 14/313, al-Mu’jam al-Ausath 18/253, Syu’abul Iman 2/510, Syarh as-Sunnah al-Baghawi 13/207 (derajat hadits shahih)

Dalam hadits lainnya ada sahabat yang bertanya kepada Nabi Saw :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى وَجَبَتْ لَكَ النُّبُوَّةُ ؟ قَالَ: «وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالجَسَدِ»

“ Dari Abu Hurairah, berkata : bertanya aku kepada Rasulullah Saw di manakah engkau mendapatkan kenabian ? Bersabda Nabi Saw : “  (waktu itu) Adam berada di antara ruh dan jasad “(Sunan Turmudzi 5/585, Mushanaf Ibnu Abi Syaibah 7/239 riwayat Abdullah bin Syaqiq r.a, as-Sunan Abdullah bin Ahmad 2/398 riwayat Maisarah al-Fajri r.a, Musnad Ahmad 27/176, Musnad al-Bazzar 11/476 riwayat Ibnu Abbas r.a , 15/207 riwayat Abu Salamah r.a, al-Mu’jam al-Kabir 12/92, 12/119 (derajat hadits masyhur/mutawatir)

Dari Anas bin Malik r.a, ia berkata : 

لَمَّا كَانَ اليَوْمُ الَّذِي دَخَلَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ أَضَاءَ مِنْهَا كُلُّ شَيْءٍ، فَلَمَّا كَانَ اليَوْمُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ أَظْلَمَ مِنْهَا كُلُّ شَيْءٍ، وَمَا نَفَضْنَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَيْدِي وَإِنَّا لَفِي دَفْنِهِ حَتَّى أَنْكَرْنَا قُلُوبَنَا

“ Pada saat Rasulullah Saw memasuki Madinah, menjadi teranglah segala benda di kota itu. Pada hari Rasulullah Saw wafat, gelaplah segala sesuatu di kota Madinah. Tidaklah kami selesai menguburkan beliau, sehingga hati kami mengingkari hal tersebut “(Shahih Ibnu Hibabn 14/601, Sunan Turmudzi 5/588, Sunan Ibnu Majah 1/522, Musnad Ahmad 21/35, 21/330, Musnad al-Bazzar 13/291, Musnad Abu Ya’la 6/51, 6/110 (derajat hadits shahih/masyhur)

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “ Rasulullah Saw tidak memiliki bayang-bayang baik dari sinar matahari maupun bulan, karena beliau itu nuuraaniy sejenis cahaya yang mengan- dung cahaya yang sangat terang “.
Abu Ja’far dalam memberikan penafsiran dalam ayat “قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ  ” (sesungguhnya akan datang kepada kalian dari Allah cahaya. QS. 5 – al-Maidah : 15) ialah cahaya Nabi Muhammad Saw “(Tafsir ath-Thabari 10/143)
Al-Hafizh al-Juzaz berkata tentang : ayat “قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ  ” (sesungguhnya akan datang kepada kalian dari Allah cahaya. QS. 5 – al-Maidah : 15) yang dimaksud dengan cahaya adalah Muhammad Saw dan hidayah atau cahayanya yang menjelaskan segala perkara dan melihat batinnya segala hakikat, seperti kedatangannya cahaya Nabi Muhammad Saw di dalam hati di dalam menjelaskan segala sesuatu dan menyingkapkan kegelapan disepertikan dengan cahayanya. (Ma’ani al-Quran wa I’rabih, al-Juzaz 2/161)

Sayyid Muhammad al-Maliki berkata : “ Bahwa Rasulullah Saw pernah memohon kepada Allah untuk diberi cahaya pada semua anggota arahnya “. 
Maksud beliau adalah doa berikut ini : 

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ لِي نُورًا فِي قَلْبِي، وَنُورًا فِي قَبْرِي، وَنُورًا مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَنُورًا مِنْ خَلْفِي، وَنُورًا عَنْ يَمِينِي، وَنُورًا عَنْ شِمَالِي، وَنُورًا مِنْ فَوْقِي، وَنُورًا مِنْ تَحْتِي، وَنُورًا فِي سَمْعِي، وَنُورًا فِي بَصَرِي، وَنُورًا فِي شَعْرِي، وَنُورًا فِي بَشَرِي، وَنُورًا فِي لَحْمِي، وَنُورًا فِي دَمِي، وَنُورًا فِي عِظَامِي، اللَّهُمَّ أَعْظِمْ لِي نُورًا، وَأَعْطِنِي نُورًا، وَاجْعَلْ لِي نُورًا

“ Ya Allah jadikanlah aku cahaya di dalam hatiku, dan cahaya di dalam kuburku, dan cahaya di antaranya, dan cahaya dari belakangku, dan cahaya dari kananku, dan cahaya dari kiriku, dan cahaya dari bawahku, dan cahaya dari atasku, dan cahaya dalam pendengaranku, dan cahaya dalam mataku, dan cahaya dalam rambutku, dan cahaya dalam kulitku, dan cahaya dalam dagingku, dan cahaya dalam kepermanenanku, dan cahaya dalam kebesaranku, Ya Allah agungkanlah aku dengan cahaya dan berikanlah aku cahaya dan jadikanlah aku cahaya ” (Sunan Turmudzi 5/472 riwayat Ibnu Abbas r.a, as- Sunan al-Kabir, an-Nasai 1/238, Shahih Ibnu Khuzaimah 2/165, ad-Du’a 1/165. Al-Mu’jam al-Ausath 4/95, al-Mu’jam al-Kabir 10/283, al-Adab al-Mufrad bi at-Ta’liqat, al-Bukhari 1/365 (derajat hadits shahih)

Imam Ismail al-Buruswi dalam tafsirnya berkata : “ Bahwa Allah Swt mengutus Nabi Saw sebagai cahaya yang menerangkan hakikat bagian manusia dari Allah Swt, dan Dia menamai dirinya sendiri sebagai cahaya, sebagaimana firman-Nya : (Ruhul Bayan 2/370)

اَللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“ Allah merupakan cahaya langit dan bumi ”   (QS. 24 – an-Nur : 35) 

Karena langit dan bumi itu tersamar dalam gelapnya ketiadaan, maka Allah Swt menampilkan keduanya dengan mengadakannya. Rasul Saw disebut cahaya, karena sesuatu yang pertama kali ditampilkan Allah, dengan cahaya qudrat-Nya dari gelapnya ketiadaan adalah cahaya Nabi Saw, sebagaimana sabdanya :

أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللهُ نُوْرِى

“ Sesuatu yang pertama kali diciptakan Allah adalah cahayaku ”   

Dari cahaya itu Allah menciptakan alam dan segala isinya. Maujudat ini tampil karena danya cahaya Muhammad Saw, maka ia disebut cahaya. Segala sesuatu yang keadaannya lebih mendekati kepada penciptaan, maka ia lebih utama dinamakan dengan cahaya, sebagai-mana halnya alam arwah lebih dekat kepada penciptaan daripada alam jasad. Oleh karena itu ia disebut alam cahaya. Alam yang tinggi dapat disebut cahaya bila dibandingkan dengan alam rendah. Maujudat yang paling dekat kepada penciptaan, lebih pantas untuk disebut cahaya. Oleh karena itu beliau bersabda :

اَنَا مِنَ اللهِ وَالْمُؤمِنُوْنَ مِنِّى

“ Aku berasal dari Allah dan orang-orang beriman berasal dariku “

Allah Swt berfirman :

قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ  

“ Sesungguhnya akan datang kepada kalian dari Allah cahaya ” (QS. 5 – al-Maidah : 15)

Nabi Saw bersabda :

كُنْتُ نُورًا بَيْنَ يَدَيٌَ رَبٌِى قَبْلَ خَلَقَ آدَمَ بِاَرْبَعَةِ عَشَرَ اَلْفِ عَاٍم, وَكَانَ يُسَبٌِحُ ذَلِكَ الٌنُورُ وَتَسْبِحُ اْلَمَلَاءِكَةِ بِتَسْبِحِيْهِ فَلَمٌ خَلَقَ اللهُ آدَمَ اَلْفَى ذَلِكَ الٌنُورُ فِى صَلْبِهِ

“ Dahulu aku merupakan cahaya yang berada dihadapan Rabb-Ku, yaitu 14.000 tahun sebelum Allah menciptakan Adam. Cahaya itu membaca tasbih, dan para malaikat pun menirukannya. Setelah Allah menciptakan Adam, Dia menyimpan cahaya itu ke dalam sulbi (tulang rusuk) Adam “. 

Diriwayatkan melalui Ibnu Abbas r.a, bahwa Nabi Saw bersabda :

لَمَّا خَلَقَ اللهُ آدَمَ اَهْبَطَنِى فِى صُلْبِهِ اِلَى اْلأَرْضِ وَجَعَلَنِى فِى صُلْبِ نُوْحٍ فِى السَّفِيْنَةِ وَقَذَفَنِى فِى صُلْبِ إِبْرَاهِيْمَ ثُمَّ لَمْ يَزَلْ تَعَالَى يَنْقُلُنِى مِنَ الْأَصْلَابِ الْكَرِيْمَةِ وَالْأَرْحَامِ الطَّاهِرَةِ حَتَّى أَخْرَجَنِي بَيْنَ أَبَوَيَّ لَمْ يَلْتَقِيَا عَلَى سَفَاحٍ قَطُّ

“ Setelah Allah menciptakan Adam, Dia menurunkanku ke bumi dalam sulbi Adam. Kemudian menjadikanku dalam sulbi Nuh dalam perahu. dan dipindahkan aku ke dalam sulbi Ibrahim Kemudian terus-menerus Allah memindahkanku dari berbagai sulbi yang mulia dan rahim yang suci, sehingga Dia mengeluarkanku melalui ibu bapakku yang sama sekali tidak pernah terjerumus ke dalam perzinahan “

Dalam larik Qashidatul Burdah berikut ini, Imam Al-Bushiri menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW yang menjadi sebab penciptaan dunia takkan mungkin berhajat kepada dunia karena beliau SAW sendiri adalah penghulu dunia:

وَكَيفَ تَدْعُو إلَى الدُّنيا ضَرُورَةُ مَنْ ** لولاهُ لم تخرجِ الدنيا من العدمِ

Artinya, “Bagaimana orang yang kalau bukan karena dirinya niscaya dunia ini takkan keluar dari ketiadaannya berkepentingan terhadap dunia?”

Pernyataan Imam Al-Bushiri tidak berlebihan. Pernyataan Al-Bushiri cukup beralasan  karena didasarkan pada hadits qudsi riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi yang menyatakan bahwa kalau bukan karena Nabi Muhammad SAW, Allah takkan menciptakan Nabi Adam AS.

والأصل في ذلك ما رواه الحاكم والبيهقي من قول الله تعالى لآدم لما سأله بحق محمد أن يغفر له ما اقترفه من صورة الخطيئة وكان رأى على قوائم العرش مكتوبا لا إله إلا الله محمد رسول الله سألتني بحقه أن أغفر لك ولولاه ما خلقتك فوجود آدم عليه السلام متوقف على وجوده صلى الله عليه وسلم

Artinya, “Dasar atas pernyataan ini adalah hadits riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi perihal jawaban Allah SWT kepada Nabi Adam AS yang meminta dengan nama Nabi Muhammad SAW ampunan terkait kekeliruannya. Nabi Adam AS ketika itu melihat catatan ‘Lâ ilâha illallâh, Muhammadur Rasûlullâh’ pada tiang-tiang Arasy. Allah menjawab, ‘Kau meminta dengan namanya (Nabi Muhammad SAW) agar Aku mengampunimu. Sungguh, kalau bukan karenanya, Aku tidak akan menciptakanmu.’ Jadi, ujud Nabi Adam AS bergantung pada ujud Nabi Muhammad SAW,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah,  halaman 21).

Kalau bukan karena Nabi Muhammad SAW, niscaya Allah takkan menciptakan Nabi Adam AS. Kalau Nabi Adam AS tidak diciptakan oleh Allah, niscaya anak Adam atau bani Adam takkan diciptakan. Sedangkan nyatanya, Allah menciptakan Nabi Adam AS dan anak keturunannya. Allah juga menciptakan alam semesta ini hanya untuk keperluan manusia. Jadi, hanya karena Nabi Muhammad SAW Allah menciptakan alam semesta raya ini.

Syekh Ibrahim Al-Baijuri yang pernah memimpin Universitas Al-Azhar di zamannya mencoba membangun logika ini dalam Hasyiyatul Burdah berikut ini:

وآدم أبو البشر وقد خلق الله لهم ما في الأرض  وسخر لهم الشمس والقمر والليل والنهار وغير ذلك كما هو نص القرآن قال تعالى خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وإذا كانت هذه الأمور إنما خلقت لأجل البشر وأبو البشر إنما خلق لأجله صلى الله عليه وسلم كانت الدنيا إنما خلقت لأجله فيكون صلى الله عليه وسلم هو السبب في وجود كل شيء

Artinya, “Nabi Adam AS memang bapak manusia. Allah menciptakan apa yang ada di bumi untuk anak manusia. Allah juga menundukkan matahari, bulan, malam, siang, dan lain sebagainya untuk anak manusia sebagaimana tercantum dalam Al-Quran, 'Dia menciptakan untukmu apa yang ada di bumi semuanya,’ (Surat Al-Baqarah ayat 29) dan ‘Dia menundukkan bagimu matahari dan bulan silih berganti dan Dia menundukkan bagimu malam dan siang,’ (Surat Ibrahim ayat 33). Jadi, ketika semesta alam raya itu diciptakan untuk manusia, sementara Nabi Adam AS adalah bapak manusia diciptakan karena Nabi Muhammad SAW, maka dunia ini diciptakan karena Nabi Muhammad SAW. Jadi, Nabi Muhammad SAW adalah sebab bagi segala ujud,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah, halaman 21-22).

Syekh Khalid bin Abdullah Al-Azhari dalam Syarah Burdah menyatakan bahwa karena Rasulullah SAW sendiri adalah sebab atas penciptaan alam semesta, maka beliau SAW tidak berhajat dan berhasrat pada kesenangan duniawi yang fana:

ومعنى البيتين أنه صلى الله عليه وسلم لا تدعوه الضرورة الى حطام الدنيا الفانية فإن الدنيا ما أخرجت من العدم إلى الوجود إلا لأجله وكيف يكون كذلك وهو سيد أهل الدنيا والآخرة وسيد الانس والجن وسيد العرب والعجم

Artinya, “Makna bait ini adalah bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berkepentingan untuk mengumpulkan harta benda duniawi yang fana karena dunia tidak diciptakan dari ketiadaan menjadi ada kecuali karena dirinya. Lalu bagaimana bisa demikian (haus harta duniawi) dengan Rasulullah SAW, sedangkan beliau adalah penghulu (pangkal atau permulaan) penduduk dunia dan akhirat, penghulu manusia dan jin, dan penghulu bangsa Arab dan bangsa ajam,” (Lihat Syekh Khalid bin Abdullah Al-Azhari, Syarah Khalid Al-Azhari ala Matnil Burdah, halaman 22).

Logika yang dibangun oleh Imam Al-Bushiri, Syekh Ibrahim Al-Baijuri, dan Syekh Khalid Al-Azhari merupakan refleksi dari Surat Al-Baqarah ayat 29, Surat Ibrahim ayat 33, dan hadits berikut ini:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أنا سيد ولد آدم ولا فخر

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku penghulu anak Adam, dan tidak sombong,’” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).

Dari pelbagai keterangan ini, tidak berlebihan ketika Sayyid Bakri Syatha dalam mukaddimah I‘anatut Thalibin menganjurkan kita untuk bersyukur kepada Rasulullah SAW karena jasanya yang mengajarkan kita mengenal dan bersyukur kepada Allah.

Sayyid Bakri Syatha menyebut Rasulullah SAW tidak lain adalah asal penciptaan bagi semua makhluk Allah. Sayyid Bakri menganjurkan kita untuk membaca banyak shalawat. Hanya saja "asal" dan kata "sebab" penciptaan di sini mesti dipahami sebagai asal atau sebab secara majazi karena pada hakikatnya perbuatan Allah tidak tergantung pada illat atau sebab.

Meskipun demikian, shalawat terhadap Nabi Muhammad SAW merupakan bentuk terima kasih atau syukur kita umat manusia terhadap Rasulullah SAW sebagai penghulu segenap manusia sebagaimana sabdanya yang mulia. Allahumma shalli wa sallim 'ala Sayyidina Muhammad wa alihi wa shabihi ajma'in.

Wanita Haidh Boleh Memandikan Mayat

Ulama sepakat bahwa wanita yang dalam keadaan suci dari haid dan nifas boleh memandikan jenazah wanita lain yang meninggal. Namun bagaimana jika wanita tersebut sedang haid atau nifas, bolehkah dia memandikan jenazah?

Disebutkan dalam kitab Nihayatul Muhtaj bahwa wanita yang sedang haid atau nifas boleh memandikan jenazah tanpa ada kemakruhan. Wanita haid atau nifas dalam Islam hakikatnya tetap suci sebagaimana wanita yang tidak sedang haid atau nifas dan manusia pada umumnya sehingga mereka boleh dan berhak untuk memandikan jenazah.

ويغسل الجنب والحائض الميت بلا كراهة لأنهما طاهران فكانا كغيرهما

“Orang yang junub atau haid boleh memandikan jenazah tanpa ada kemakruhan. Mereka berdua hakikatnya suci sehingga sama dengan lainnya.”

Imam Nawawi dalam kitab Almajmu juga menegaskan kebolehan wanita haid untuk memandikan jenazah. Beliau berkata;

يجوز للجنب والحائض غسل الميت بلا كراهة

“Boleh bagi orang junub atau haid untuk memandikan mayat tanpa ada kemakruhan.”

فلا توجد آية قرآنية تمنع الحائض من غسل الميت ولا من حضور غسله، ولا نعلم حديثاً عن النبي صلى الله عليه وسلم بهذا المعنى، ولا نعلم أحداً من أهل العلم حرم ذلك إلا أن بعض السلف كالحسن وابن سيرين كره ذلك، كما رواه عنهما ابن أبي شيبة في مصنفه.

والله أعلم.

Tidak ditemukan dalam Al Quran ayat yang ,telarang wanita haid memandikan mayit atau hadir pada pemandian mayit, begitu pula kami tidak ketahui adanya hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang melarangnya dengan makna seperti ini, dan tidak ada satu pun ulama yang mengharamkannya, kecuali adanya sebagian salaf yang memakruhkannya seperti Al Hasan (Al Bashri) dan Ibnu Sirin, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf.

Dalam memandikan jenazah, tidak disyaratkan seseorang harus suci dari hadas, baik kecil maupun besar. Boleh seseorang yang dalam keadaan hadas kecil maupun besar untuk mengurus jenazah, mulai dari memejamkan kedua mata mayat, memandikan dan menguburkannya.

Namun meskipun bukan syarat, hendaknya yang mengurus jenazah adalah orang yang suci dari hadas kecil dan besar dengan harapan agar pengurusan jenazah lebih sempurna dan lebih baik. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Almughni berikut.

ولا نعلم بينهم اختلافاً في صحة تغسيلهما وتغميضهما له ـ الحائض والجنب ـ ، ولكن الأولى أن يكون المتولي لأموره ، في تغميضه وتغسيله ، طاهراً لأنه أكمل وأحسن

“Kami tidak mengetahui adanya perbedaan terkait keabsahan memandikan dan memejamkan kedua mata mayat bagi orang yang sedang haid dan junub. Hanya saja hendaknya yang mengurus jenazah, baik memejamkan kedua mata maupun memandikan mayat, adalah orang yang suci -dari hadas- karena hal tersebut lebih sempurna dan lebih baik.”

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda