Jumat, 06 Agustus 2021

Penjelasan Mitos Keris Pembawa Sial

 

Keris adalah benda pusaka yang sering dipuja tapi juga ditakuti. Dua ilustrasi tersebut adalah realita yang dari jaman dulu hingga sekarang banyak terjadi di masyarakat.

Keris memang identik dengan hal-hal yang berbau mistis. Bagi orang yang merasa beruntung setelah memiliki Keris, maka Keris akan di agung-agungkan, di anggap keramat, di hormati, bahkan bisa sampai dipuja-puja. Tapi bagi mereka yang merasa nasibnya sial setelah memiliki Keris, maka Keris di anggap sebagai benda yang ditakuti, dibenci dan harus disingkirkan.

Minimnya apresiasi dan pengetahuan masyarakat terhadap Keris sebagai salah satu benda cagar budaya yang harus dilindungi keberadaannya membuat masyarakat mengikuti begitu saja anjuran dari orang-orang yang dianggap "Paham" agar membuang Keris yang dimilikinya ke sungai atau ke laut agar tidak membawa pengaruh buruk atau kesialan bagi dirinya dan keluarganya.

Padahal ada cara lain yang lebih baik jika memang sudah tidak mau merawat Keris miliknya daripada membuangnya ke sungai atau ke laut, karena hal itu akan menghilangkan bukti-bukti sejarah Bangsa ini. Jika sudah tidak mau menyimpan atau merawat Keris miliknya lebih baik diberikan kepada orang yang mau merawatnya atau dihibahkan ke museum-museum terdekat agar generasi berikutnya dapat melihat dan mengenal benda-benda sejarah warisan leluhur.

Keris seringkali di anggap membawa kesialan bagi pemiliknya ketika kondisi keluarga pemilik Keris tersebut berantakan, anggota keluarganya sering sakit-sakitan, rejekinya seret dan selalu saja terjadi masalah setelah memiliki Keris.

Keris seringkali di anggap didiami makhluk ghaib jahat yang selalu mengganggu pemilik dan keluarganya sehingga selalu ditimpa kesialan. Padahal hal-hal negatif yang tersebut bisa saja terjadi karena sebab lain atau karena ketidak cocokan antara Keris dengan pemiliknya sehingga tidak bisa selaras dan pada akhirnya justru membawa pengaruh buruk.

Pada dasarnya semua Keris dibuat dengan tujuan yang baik, tapi kenyataannya tidak semua Keris dapat membawa pengaruh positif bagi pemiliknya karena ada juga yang membawa pengaruh negatif bagi pemiliknya atau orang yang ketempatan.

Cerita tentang Keris pembawa sial memang sudah ada sejak jaman dahulu, misalnya saja cerita Keris yang membawa kesialan bagi Dinasti Rajasa, yaitu Keris Empu Gandring yang menewaskan Ken Arok beserta tujuh keturunannya.

Keris tersebut di anggap membawa kesialan akibat kutukan Empu Gandring yang harus meregang nyawa akibat Keris buatannya sendiri karena Ken Arok tidak sabar menunggu Keris pesanannya selesai dikerjakan.

Kemudian sejarah juga mencatat Keris Kyai Margopati milik Sultan Amangkurat I (1645 - 1677 M) Raja dinasti Mataram Islam. Keris Kyai Margopati di anggap sebagai salah satu Keris pembawa malapetaka.

Sejak awal Empu Madrim (pembuatnya) telah menolak untuk membabar Keris tersebut karena batu meteor yang akan digunakan sebagai bahan pamornya adalah batu meteor yang jatuh menimpa rumah dan menewaskan tujuh penghuninya.

Batu meteor tersebut memiliki kandungan besi berjenis Besi Kumbayana yang berhawa panas, mudah marah dan brangasan. Tapi pada akhirnya Empu Madrim tidak bisa menolak perintah untuk membabar Keris tersebut karena Sultan Amangkurat memberikan pilihan yang sulit, yaitu bersedia membabar Keris tersebut atau dihukum pancung karena menolak perintah Raja.

Akhirnya ketakutan Empu Madrim terbukti, Keris Kyai Margopati dipergunakan untuk mengeksekusi 50 ulama yang dituduh membantu pemberontakan Trunojoyo di Jawa Timur dan juga 40 selirnya yang dituduh berkhianat. Tragisnya, eksekusi tersebut dilakukan sendiri oleh sang Sultan dengan tangannya sendiri.

Tapi selain cerita-cerita negatif tentang Keris, banyak juga cerita-cerita positif tentang Keris. Misalnya saja cerita tentang Keris Nogososro pada masa-masa akhir Kerajaan Majapahit.

Wabah penyakit, kerusuhan, bencana alam, perang saudara, serta berbagai kekacauan di akhir masa Kerajaan Majapahit yang begitu parah sampai menyentuh semua sisi kehidupan masyarakat saat itu. Saking parahnya, bahkan seolah tidak ada lagi cara untuk menyelesaikan kemelut di bumi Majapahit saat itu.

Masyarakat seolah sudah memahami bahwa itu adalah Sandyakalaning Majapahit atau saat-saat menjelang kejatuhan Majapahit. Terlepas dari aspek sosiopolitis yang terjadi saat itu, tapi lahirnya Keris Nogososro yang dibabar oleh Empu Supo yang dibantu Kanjeng Sunan Kalijogo bergelar Kyai Segoro Wedang yang sejak awal memang dibuat sebagai tumbal Nagari agar terhindar dari seribu malapetaka (pagebluk) ini atas izin Yang Maha Kuasa ternyata mampu memancarkan tuahnya secara maksimal sehingga beberapa waktu kemudian Majapahit sempat mengalami masa-masa indah kembali sebelum akhirnya runtuh total akibat perang saudara yang berkelanjutan dan serangan Raden Patah dari Demak yang merupakan pewaris sah tahta Majapahit yang saat itu dipimpin Prabu Girindra wardhana.

Di jaman sekarang, cerita tentang Keris pembawa keberuntungan dan pembawa kesialan masih sering kita dengar. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai Keris akhirnya menyebabkan banyak Keris-Keris yang dianggap bertuah buruk berakhir mengenaskan karena dibuang atau dilarung ke ungai atau  ke laut, padahal Keris adalah salah satu maha karya warisan leluhur yang seharusnya dijaga dan dilestarikan keberadaannya.

Sejatinya Keris adalah barang yang bersifat sangat pribadi (sinengker) bahkan tidak boleh dipinjamkan meski hanya untuk dilihat saja, sebab pada dasarnya Keris adalah benda paling pribadi bagi seorang laki-laki pada jaman dahulu, khususnya masyarakat Jawa. Berdasarkan sejarahnya, Keris memang dibuat sebagai barang yang bersifat personal karena pada jaman dahulu seorang Empu hanya membuat Keris berdasarkan pesanan saja.

Proses pembuatan sebilah Keris juga tidak sembarangan, harus diperhitungkan dan disesuaikan berdasarkan hal-hal pribadi pemesannya termasuk di antaranya wuku, weton, karakteristik, tujuan serta profesi calon pemilik Keris tersebut.

Setelah semua hal tentang pemesan Keris diketahui, kemudian sang Empu melakukan laku tirakat dan semedi untuk mencari petunjuk tentang Keris yang akan dibabar, mulai dari dhapur, pamor, bahan besi sampai do'a atau sugesti apa yang akan dimasukkan pada Keris tersebut. Setelah mendapat ilham/petunjuk baru Keris akan mulai dibabar.

Pemilihan bahan dan pengerjaan Keris akan dilakukan dengan sangat hati-hati dan penuh ketelitian agar nantinya Keris tersebut tidak membawa efek negatif bagi pemiliknya karena sebuah kesalahan kecil dapat berakibat fatal seperti kisah Empu Banyu Aji saat membabar Keris Kyai Setan Kober yang di kemudian hari menjadi pusaka andalan Arya Penangsang.

Konon, ketika membaca mantra sang Empu salah ucap dari yang seharusnya "Aywa Kudu Wani" yang artinya "barang siapa yang memegang keris ini, jadilah orang sabar", tetapi salah ucap menjadi "Aywa Tan Wani" yang artinya "siapa yang memegang Keris ini jadilah berani". Sejarah mencatat keberanian Arya Penangsang yang memang luar biasa.

Secara esoteri, tuah Keris memang dibuat berdasarkan pertimbangan yang bersifat sangat pribadi dan disesuaikan dengan karakter serta profesi calon pemiliknya.

Contohnya saja tuah Keris yang dipesan para pedagang rata-rata selalu untuk kerejekian dan kejayaan berdagang, tuah Keris seorang Raja dan para pemimpin selalu untuk kewibawaan dan kepemimpinan, Keris seorang guru, ulama, dan dalang selalu berkaitan dengan kemampuan dalam berbicara.

Sesudah proses pembuatan Keris selesai, si pemesan kemudian akan mengambil Keris pesanannya dengan membawa sejumlah barang sebagai mahar untuk melunasi biaya pembuatan Keris tersebut.

Pada jaman dahulu, biaya atau mahar untuk pembuatan Keris termasuk sangat mahal. Mahar sebilah Keris bisa setara dengan beberapa ekor kerbau. Jika dinilai dengan mata uang sekarang bisa sampai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Bahkan tidak hanya itu saja, jika si pemesan merasa puas dengan Kerisnya, kadang tidak segan-segan memberi sang Empu hadiah berupa tanah, perhiasan/emas, kedudukan/jabatan hingga diberikan wanita untuk dinikahkan dengan sang Empu.

Bagi orang Jawa, Keris memang sangat dihargai karena setelah sebilah Keris selesai dibuat, maka Keris itu akan menjadi bagian penting dari kehidupan pribadi pemiliknya sehingga hal-hal yang bersifat pribadi seorang laki-laki Jawa saat itu seperti contohnya acara perkawinan, kehadiran pengantin laki-laki dapat diwakilkan dengan Keris miliknya.

Bahkan saking penting dan personalnya sebilah Keris bagi orang Jawa, Rafless dalam karyanya yang terkenal, "History of Java", menulis: "Javanesse man fell nude without krises" artinya: "Lelaki Jawa akan merasa telanjang tanpa menyandang Keris sebagai kelengkapan berbusana".

Sebagai benda pribadi, berbagai upaya kemudian dilakukan untuk menjaga kerahasiaan dari sebilah Keris, salah satunya dengan mengganti gonjo Keris dengan gonjo wulung, karena tuah dari sebilah Keris, oleh orang-orang tertentu dapat dilihat/diketahui hanya dengan melihat bagian bawah gonjo Keris yang terlihat ketika Keris disarungkan dalam warangkanya.

Orang-orang jaman dulu umumnya masih begitu memahami berbagai ajaran-ajaran Kejawen termasuk di dalamnya Kawruh Padhuwungan atau ilmu pengetahuan mengenai seluk beluk perkerisan yang antara lain berisi pengetahuan tentang jenis besi, nama dhapur dan pamor hingga masalah tanjeg atau kecocokan tuah Keris terhadap pemiliknya.

Dengan pengetahuan tersebut, ketika seseorang sudah tua dan merasa sudah saatnya memberikan Keris miliknya kepada anak-anaknya, mereka terlebih dahulu akan melakukan usaha pencocokan untuk mengetahui siapa di antara anak-anaknya yang cocok "ngagem" pusakanya dan kemudian memberi penjelasan kepada anak-anaknya yang lain yang kebetulan tidak mendapatkan warisan pusakanya bahwa putra yang dipercaya "ngagem" pusaka hanyalah putra yang "kuat" membawa pusaka tersebut.

Penggunaan istilah "kuat" sebenarnya hanyalah alasan yang lebih mudah diterima daripada menjelaskan secara panjang lebar bahwa tidak semua anak-anaknya dapat cocok dengan tuah dan karakter Keris pusaka tersebut.

Keris pusaka yang di wariskan dari orang tua kepada anaknya yang terlebih dulu melalui proses tayuh, hampir pasti tidak akan membawa pengaruh negatif bagi pemiliknya karena pada jaman dulu orang tua memahami dua hal sekaligus, yaitu ilmu perkerisan dan memahami karakter serta pribadi calon pewaris dari Keris-Kerisnya, sehingga ketika Keris tersebut sudah berganti pemilik, Keris itu masih tetap bertuah sebagaimana mestinya dan tidak membawa pengaruh negatif.

Seiring perkembangan jaman, nilai-nilai Kejawen yang didalamnya termasuk Kawruh Padhuwungan kini mulai ditinggalkan, akibatnya sangat sedikit masyarakat yang tahu dan memahami masalah perkerisan dengan baik, sementara proses pewarisan Keris dari generasi ke generasi masih terus berlangsung tanpa melalui tata cara sebagaimana mestinya. Akibatnya, mulai timbul berbagai masalah antara Keris dan pemiliknya.

Keris dibuat secara khusus agar memiliki tuah yang sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan pemiliknya sehingga tuah Keris dapat secara maksimal mendukung upaya pemiliknya untuk mencapai cita-cita atau keinginannya.

Keris yang mampu memberi pengaruh positif kepada pemiliknya adalah Keris-Keris yang tuah dan karakternya secara keseluruhan sesuai dengan karakter dan kebutuhan pemiliknya.

Demikian pula sebaliknya, pengaruh negatif dari sebilah Keris timbul karena karakter dan tuah Keris tidak sesuai dengan pemiliknya. Dugaan masyarakat selama ini yang menganggap bahwa pengaruh-pengaruh negatif Keris muncul karena ulah makhluk halus (khodam) yang mendiami Keris tidak dapat sepenuhnya dibenarkan karena pada dasarnya kekuatan tuah dari sebilah Keris bukan berasal dari kekuatan makhluk halus (khodam), tapi merupakan manivestasi dari do'a-do'a yang dipanjatkan Empu pembuatnya kepada SANG PENCIPTA.

Sebagai contoh, melalui pendekatan auratis dan sugesti posipnotis mengenai tuah Keris dapat diketahui bahwa Keris-Keris yang dianggap membawa pengaruh negatif penyebab terjadinya berbagai masalah yang menimpa pemiliknya seperti perpecahan dan pertengkaran dalam rumah tangga bisa jadi disebabkan karena Keris tersebut dulunya diciptakan sebagai piandel untuk berperang, sehingga auranya panas penuh keberanian dan tidak kenal rasa takut bagi pemiliknya.

Jika Keris tersebut disimpan oleh orang atau keluarga biasa (bukan dari kalangan militer) dengan karakter masing-masing pribadinya adalah pendiam, flamboyan dan romantis tentu saja tidak akan cocok karena energi panas dari Keris tersebut akan mempengaruhi karakter pemiliknya menjadi pribadi yang tegas, temperamental, berani dan tidak kenal rasa takut sehingga ketika ada masalah kecil yang muncul dalam keluarga bisa menjadi masalah besar yang berujung pertengkaran, bahkan bisa sampai terjadi perceraian karena masing-masing memiliki ego yang besar dan tidak ada yang mau mengalah.

Demikian juga Keris-Keris yang di anggap dapat membawa pengaruh negatif seperti sering sakit-sakitan hingga kematian secara ilmiah bisa disebabkan karena aura negatif yang dipancarkan Keris akan merusak sistem bio-elektrik seseorang sehingga mempengaruhi kinerja sel, jaringan hingga organ tubuh pemilik Keris dan keluarganya hingga menyebabkan sering sakit-sakitan bahkan berujung pada kematian yang dalam bahasa kedokteran disebut disfungsi sub-organ and organ.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tudingan yang menyatakan bahwa Keris dapat membuat seseorang menjadi sakit-sakitan dan rumah tangganya berantakan akibat makhluk halus (khodam) penghuninya mengganggu Manusia ternyata kurang beralasan, sebab pengalaman dan sejarah menunjukkan bahwa efek buruk dari sebilah Keris baru akan muncul ketika Keris tersebut tidak cocok dengan pemiliknya. Dan jika Keris cocok dengan pemiliknya, maka Keris justru dapat mendatangkan manfaat bagi pemiliknya.

Bukti-Bukti sejarah perjalanan bangsa kita mencatat bahwa para pemimpin, pejuang, dan orang-orang besar terdahulu yang dalam kehidupannya akrab dengan pusaka, maka kesuksesan yang diraihnya selalu didukung oleh pusaka-pusaka ageman yang tepat.

Contohnya saja Keris Kyai Brongot Setan Kober milik Arya Penangsang adalah pusaka yang tepat sehingga keberaniannya tidak tertandingi oleh siapapun, bahkan dalam kondisi terluka parah dengan usus terburai pun tidak mengikis keberaniannya sehingga Arya Penangsang gugur sebagai seorang ksatria gagah berani.

Kemudian Pangeran Diponegoro, beliau adalah seorang pejuang kemerdekaan yang dikenal memiliki ageman Keris Kyai Nogo Siluman sehingga berkali-kali bisa lolos dari kepungan pasukan Belanda karena tuah dari pusakanya.

Panglima Besar Jenderal Sudirman juga dikenal memiliki ageman Keris Nogo Siluman yang sesuai dengan kebutuhannya dalam berperang. Beliau juga berkali-kali diselamatkan TUHAN dari serangan Belanda meski kondisi fisiknya sangat lemah dan harus ditandu ketika memimpin perang gerilya melawan Belanda.

Presiden Soekarno juga memiliki pusaka-puska yang luar biasa sehingga selama hidupnya, bahkan hingga beliau wafat tetap menjadi pusat kekaguman bukan hanya bagi masyarakat Indonesia tetapi juga bagi masyarakat Dunia. 

Dengan pusaka yang tepat pula, yaitu Keris Kanjeng Kyai Ageng Sengkelat pusaka yang mensugestikan keabadian dan kelanggengan kekuasaan Presiden Soeharto yang mendampingi beliau sukses memimpin bangsa ini dalam jangka waktu yang sangat panjang hingga 32 tahun.

Dari bukti-bukti sejarah tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa agar tuah Keris pusaka yang kita miliki dapat berfungsi, maka hal yang paling penting yang harus dilakukan adalah menyelaraskan dan mencocokkan Keris yang kita miliki dengan karakter dan kebutuhan kita agar Keris tersebut menjadi pusaka pembawa keberuntungan, bukan malah sebaliknya menjadi Keris pembawa kesialan.

Ciri-ciri Keris Pemilih

 

Didalam budaya keris, pengelompokan pamor keris dibagi menjadi beberapa macam, yaitu diantaranya Keris Pemilih dan Tidak Pemilih.

Kelompok pemilihan itu khusus bagi mereka yang mencari keris dengan mempercayai tuah atau isoterinya, namun tidak bagi mereka yang mencintai keris karena seni dan keindahannya.

Diantara semua keris yang tidak cocok sekalipun akan menjadi selaras dengan adanya memiliki “keris pusaka tindih”

Semua tentu saja kembali kepada pribadi masing-masing, apakah memilih keris karena tuah ataupun hanya karena keindahan belaka.

” Ada banyak sekali jenis dari keris yang berpamor pemilih dan berpamor yang kurang baik, hal ini dikarenakan oleh berbagai macam faktor”

Seringkali kita mendengar banyak cerita dimasyarakat tentang Keris yang tidak cocok dengan pemiliknya, baik itu Keris warisan keluarga, pemberian dari orang lain, dari mas kawin/mahar (membeli) atau dengan cara-cara lainnya.

Ada beberapa jenis Keris yang tergolong berpamor pemilih dan berpamor kurang baik. Hal ini bisa dikarenakan oleh berbagai macam faktor, diantaranya:

1- Ketika Mpu membabar/membuat Keris tersebut konsentrasinya terganggu oleh sesuatu hal, sehingga mantra yang seharusnya bertujuan dan bermakna baik menjadi salah ucap atau tidak sesuai dengan tujuan awalnya, sehingga mengakibatkan Keris tersebut mempunyai angsar yang kurang baik, contohnya: Kisah Keris Pusaka Mpu Gandring, sebelum Keris selesai dibuat sang Mpu dibunuh oleh Ken Arok dan kemudian mengucapkan kata-kata kutukan pada Keris buatannya tersebut dan akhirnya kutukan tersebut terjadi.

2- Pamor adalah motif atau gambar yang muncul dipermukaan bilah Keris yang timbul dari proses tempa lipat. Nama pamor sangat beragam sesuai bentuk dan kemiripannya dengan alam dan berbagai benda atau mahluk hidup yang ada, sebagai contoh: Pamor Beras Wutah, Pamor Sodo Sakler, Pamor Blarak Ngirid, Pamor Udan Mas, Pamor Rojo Gundolo dan masih banyak yang lainnya.

Ada beberapa jenis pamor yang memiliki tuah kurang baik, antara lain:

- Pamor Satrio Wirang

Keris dengan pamor Satrio Wirang konon akan membawa kesengsaraan bagi pemiliknya.

- Pamor Sujen Nyowo

Keris dengan pamor Sujen Nyowo konon menginginkan pemiliknya agar segera meninggal.

- Pamor Dengkiling

Keris dengan pamor Dengkiling memiliki angsar cengkiling/jahil pada pemiliknya.

- Pamor Yoga Pati

Pemilik Keris dengan pamor Yoga Pati, konon anaknya akan sering sakit-sakitan.

- Pamor Tundung

Keris dengan pamor Tundung akan membuat pemiliknya sering pindah-pindah tempat/usaha.

3- Ada beberapa Keris pusaka yang tergolong pemilih, atau hanya cocok dimiliki oleh orang-orang tertentu saja sehingga jika Keris tersebut tidak cocok dengan pemiliknya akan berakibat tidak baik bagi kehidupan orang yang memilikinya.

Jenis Keris pemilih bisa diketahui dari pamor atau dhapurnya. Sebagai contoh:

- Keris dhapur Kebo Lajer

Keris ini cocok dimiliki oleh para petani dan peternak, maka tidak akan cocok jika dimiliki oleh seorang pejabat.

- Keris dhapur Sangkelat

Keris Sengkelat memiliki tuah untuk kewibawaan dan kekuasaan. Keris ini cocok dimiliki oleh para pemimpin, pejabat dan petinggi pemerintahan, maka tidak akan cocok jika dimiliki oleh para petani dan peternak.

4- Keris yang sudah cacat atau tidak wutuh juga bisa membawa pengaruh kurang baik pada pemiliknya, di antaranya:
- Pegat Wojo
- Pugut/putus
- Nyangkem kodok
- Rondo beser

Selain itu, Keris-Keris yang sudah terlalu aus/gripis dan sudah tidak berbentuk sebagai pusaka atau tidak diketahui lagi jenis atau dhapurnya juga dipercaya kurang baik untuk dimiliki.

Jika Keris tersebut cacat maka bisa dibetulkan pada Mpu Keris atau diserahkan ke Museum. Tapi ada juga pemilik Keris yang lebih memilih untuk melarung Keris-Keris yang di anggap kurang baik ke sungai atau laut.

Tindakan melarung Keris tersebut sebetulnya adalah tindakan yang keliru, karena Keris tersebut merupakan suatu karya adiluhung bangsa kita, maka sebaiknya jika sudah tidak mau merawatnya lebih baik diberikan kepada orang lain yang mau merawatnya atau diserahkan ke Museum.

Jika sampai pusaka-pusaka warisan leluhur tersebut sampai hilang dari Nusantara, maka silsilah Keris Nusantara yang kita banggakan akan hilang dan sulit untuk dilakukan penelitian.

Walaupun ada Keris yang di anggap kurang baik untuk dirawat, tapi alangkah baiknya jika diserahkan ke Museum agar budaya adiluhung bangsa kita tetap lestari.

Jika ingin memiliki Keris pusaka, sebaiknya memang memperhatikan 3 hal penting yaitu "Tangguh, Utuh, Sepuh". Karena bagaimanapun juga Keris adalah benda pusaka yang sarat makna dan simbol-simbol tentang kehidupan serta kental dengan ajaran spiritual.

Jadi jika kita memiliki Keris sepuh, tentunya semua simbol dan makna dari dhapur dan semua ricikannya memang dibuat dengan tidak sembarangan, tapi melalui serangkaian proses panjang dengan perhitungan dan tingkat spiritual yang tinggi oleh Mpu pembuatnya dengan harapan agar apa yang di inginkan atau yang di cita-citakan oleh pemilik Keris tersebut bisa terwujud.

Selain itu, pemilihan bahan yang digunakan untuk membuat bilah dan pamornya juga disesuaikan dengan fungsi dari Keris yang akan dibuat tersebut.

Berbeda dengan Keris baru yang dibuat asal-asalan dengan bahan seadanya dan hanya meniru bentuk dari Keris tua saja. Tentu proses pembuatannya tanpa melalui serangkaian ritual dan tanpa perhituangan apapun layaknya proses pembuatan senjata tajam biasa seperti arit, golok, pedang dan lainnya. Sehingga tidak ada kesan wingit/angker serta tidak memiliki perbawa sama sekali.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa semua hasil karya Manusia yang gagal atau salah dalam perhitungan, pengerjaan atau perencanaannya bisa berakibat fatal dan membahayakan Manusia. Hal itu tidak hanya terjadi pada Keris saja, tapi pada benda atau barang-barang lain misalnya saja jembatan, rumah, gedung atau yang lainnya juga memiliki pengaruh yang tidak baik bagi yang menempati atau menggunakannya jika terdapat kegagalan/cacat dalam proses pembuatannya.

Jadi intinya, jika suatu hal dirancang dan dikerjakan dengan perencanaan yang matang, teliti, dengan hati yang bersih dan iklas, maka hasilnya juga akan baik.

Demikian sedikit informasi tentang ciri-ciri Keris dan pamor pemilih serta Keris yang angsarnya kurang baik. 

Kamis, 05 Agustus 2021

ASY-SYIFA BINTI ABDULLAH WANITA PENDIDIK PERTAMA DALAM ISLAM

 

Kisah inspiratif dari perjalanan para shahabiyah (sahabat perempuan) yang mendapat kedudukan tersendiri di sisi Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Salah satunya merupakan tokoh ilmuwan perempuan pertama dalam Islam. Ia adalah seorang muslimah yang terkenal dengan kepandaian dan kebaikannya sejak zaman Jahiliyah, di mana pada saat itu hanya segelintir perempuan yang diperbolehkan menulis dan membaca.

Wanita ini bernama Asy-Syifa’ binti Abdullah bin Abdi Syams bin Khalaf bin Sadad bin Abdullah bin Qirath bin Razah bin Adi bin Ka’ab al-Qurasyiyyah al-Adawiyah.  Menurut Ahmad bin Soleh Al-Misri, nama sebenarnya adalah Laila, tetapi lebih dikenal sebagai Asy-Syifa’. Sedangkan beliau memiliki nama julukan, yaitu Ummu Sulaiman. Beliau memiliki suami yang bernama Abu Hathmah bin Ghanim Al-Qurasyi Al-Adawi.
Inilah sosok muslimah shahabiyah tersebut.

Dalam kitab 'Nisaa Haular Rasul, dijelaskan Asy-Syifa’ radhiyallahu'anha masuk Islam sebelum hijrahnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan termasuk muhajirin angkatan pertama serta termasuk perempuan yang berba’iat kepada Rasulullah SAW. Dialah yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا جَاۤءَكَ الْمُؤْمِنٰتُ يُبَايِعْنَكَ عَلٰٓى اَنْ لَّا يُشْرِكْنَ بِاللّٰهِ شَيْـًٔا وَّلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِيْنَ وَلَا يَقْتُلْنَ اَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِيْنَ بِبُهْتَانٍ يَّفْتَرِيْنَهٗ بَيْنَ اَيْدِيْهِنَّ وَاَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِيْنَكَ فِيْ مَعْرُوْفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Mumtahanah: 12)

Asy-Syifa’ termasuk wanita yang cerdas dan utama. Asy-Syifa juga seorang ulama di antara ulama dalam Islam, serta merupakan tanah yang subur bagi ilmu dan iman. Asy-Syifa’ radhiyallahu'anha menikah dengan Abu Hatsmah bin Hudzaifah bin Adi dan Allah mengaruniakan seorang anak bernama Sulaiman bin Abi Hatsmah.

Ketika nabi hijrah ke Madinah ia pun ikut hijrah bersama Nabi. Ia kemudian menempati satu rumah yang dekat dengan tempat orang-orang yang sakit. Selain mengajari ilmu kepada orang-orang yang baru masuk Islam, ia pun menjadi seorang perempuan yang membantu mengobati orang-orang yang sakit di Madinah.

Asy-Syifa dikenal sebagai orang yang dermawan, bukan hanya dermawan dalam keilmuan namun juga dermawan dalam kepedulian sosial. Ia memiliki sosial yang tinggi, sehingga dibanggakan oleh Rasulullah.

Rasulullah sendiri adalah pemimpin di Madinah yang sangat mengapresiasi pribadi Asy-Syifa, yang selain dikenal sebagai pribadi yang gemar mensedekahkan ilmu, juga masyhur dikenal sebagai orang yang peduli. Tidak jarang ketika Rasulullah main ke rumahnya ia menyediakan tempat yang istimewa sebagai penghormatan atasnya.

As-Syifa dicatat sebagai perempuan Islam yang menjadi guru pertama yang mengajarkan banyak ilmu kepada masyarakat secara sukarela. Ia adalah perempuan yang inspiratif, disukai oleh Rasulullah, karena kerja-kerja cerdasnya.

Asy-Syifa’ dikenal sebagai guru dalam membaca dan menulis sebelum datangnya Islam, sehingga tatkala ia masuk Islam Asy-Syifa tetap memberikan pengajaran kepada para perempuan muslimah dengan mengharapkan ganjaran dan pahala. Oleh karena itulah, ia disebut sebagai ‘guru perempuan pertama dalam Islam’.

Di antara perempuan yang dididik oleh Asy-Syifa’ adalah Hafshah binti Umar bin Khatthab, istri Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam . Telah diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah meminta kepada Asy-Syifa’ untuk mengajarkan kepada Hafshah tentang menulis dan sebagian Ruqyah (pengobatan dengan doa-doa).

Asy-Syifa’ berkata, “Suatu ketika Rasulullah masuk sedangkan saya berada di samping Hafshah, beliau bersabda: ‘Mengapa tidak engkau ajarkan kepadanya ruqyah sebagaimana engkau ajarkan kepadanya menulis’.” (HR Abu Daud).

Sebelumnya asy-Syifa’ dikenal sebagai ahli ruqyah di masa Jahiliyah, maka tatkala ia masuk Islam dan berhijrah ia berkata kepada Rasulullah, “Aku adalah ahli ruqyah di masa Jahliliyah dan aku ingin memperlihatkannya kepada Anda.”

Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perlihatkanlah kepadaku.” Asy-Syifa’ berkata, “Maka, aku perlihatkan cara meruqyah kepada beliau yakni meruqyah penyakit bisul.” Kemudian, Rasulullah SAW bersabda, “Meruqyalah dengan cara tersebut dan ajarkanlah hal itu kepada Hafshah.”

Di antara yang termasuk ruqyah adalah do’a:

"Ya Allah Tuhan manusia, Yang Maha menghilangkan penyakit, sembuhkanlah, karena Engkau Maha Penyembuh, tiada yang dapat menyembuhkan selain Engkau, sembuh yang tidak terjangkiti penyakit lagi.” (HR Abu Daud).

Inilah, asy-Syifa’ telah mendapatkan bimbingan yangn banyak dari Rasulullah SAW. Sungguh asy-Syifa’ sangat mencintai Rasulullah sebagaimana kaum mukminin dan mukminat yang lain, beliau belajar dari hadis-hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak tentang urusan dien (agama) dan dunia.

Ia juga turut menyebarkan Islam dan memberikan nasihat kepada umat dan tidak kenal lelah untuk menjelaskan kesalahan-kesalahan. Di antara yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah putranya yaitu Sulaiman dan cucu-cucunya, hamba sahayanya yaitu Ishak dan Hafshah Ummul Mukminin serta yang lain-lain.

Bahkan sang ammirul mukminin Umar bin Khatthab sangat mendahulukan pendapat beliau, menjaganya dan mengutamakannya dan terkadang beliau mempercayakan kepadanya dalam urusan pasar. Begitu pula sebaliknya, asy-Syifa’ juga menghormarti Umar, beliau memandangnya sebagai seorang muslim yang shadiq (jujur), memiliki suri teladan yang baik dan memperbaiki, bertakwa dan berbuat adil.

Suatu ketika asy-Syifa’ melihat ada rombongan pemuda yang sedang berjalan lamban dan berbicara dengan suara lirih, beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Itu adalah ahli ibadah.” Beliau berkata: “Demi Allah, Umar adalah orang yang apabila berbicara suaranya terdengar jelas, bila berjalan melangkah dengan cepat, dan bila memukul mematikan.”

Asy-Syifa’ menjalani sisa-sisa hidupnya setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menghormati dan menghargai pemerintahan Islam hingga beliau wafat pada tahun 20 Hijriyah.

Beliau bukan hanya menjadi guru bagi mereka yang menuntut ilmu, namun juga lentera bagi muslimah yang mendambakan diri sebagai muslimah yang pandai, cerdas, dan berwibawa. Karena sesungguhnya, ilmu yang berguna itu adalah ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, menjadikan kita sebagai orang yang bertakwa. Namun, tidak mudah memang untuk mencapai kebaikan ini pada zaman sekarang. Demikian ketika kita berbicara haruslah dengan ilmu.

Semoga di era modern sekarang akan lahir perempuan-perempuan seperti Asy-Syifa yang lain yang peduli lingkungan sosialnya. Bukan hanya peduli dalam masalah pendidikan, tetapi juga dalam banyak hal, seperti kesehatan, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. []

Minggu, 01 Agustus 2021

Fadhilah Akhir Surat Al-baqaroh

 Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada waktu malam, maka ia akan diberi kecukupan. Sebagian ulama ada yang mengatakan, ia dijauhkan dari gangguan setan. Ada juga yang mengatakan, ia dijauhkan dari penyakit. Ada juga ulama yang menyatakan bahwa dua ayat tersebut sudah mencukupi dari shalat malam. Benarkah?

Disebutkan dalam hadits 

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: مَنْ قَرَأَ بِالآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِي لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ . متفق عليه

Abu Mas’ud ra berkata: Rasulullah saw bersabda:Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir surat al-Baqoroh dalam satu malamnya, maka cukuplah hal itu.

Hadis sahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (hadis no.4624) dan Muslim (hadis no. 1340). Selain al-Bukhari dan Muslim, hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (hadis no. 1189), al-Tirmizi (hadis no. 2806), Ibn Majah (hadis no. 1358 dan 1359), Ahmad (hadis no. 16451, 16471 dan 16480), dan al-Darimi (hadis no. 1149 dan 3254) 

Keistimewaan surat al-Baqarah juga terdapat pada dua ayat yang menjadi penutupnya yang menurut riwayat Ahmad diturunkan dari sebuah gudang dari bawah ‘Arasy. Secara khusus, keistimewaan dua ayat tersebut juga banyak diungkap dalam banyak riwayat.

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ : إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ كِتَابًا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ بِأَلْفَيْ عَامٍ، أَنْزَلَ مِنْهُ آيَتَيْنِ خَتَمَ بِهِمَا سُورَةَ الْبَقَرَةِ، وَلَا يُقْرَأَانِ فِي دَارٍ ثَلَاثَ لَيَالٍ فَيَقْرَبُهَا شَيْطَانٌ

رواه الترمذي والدارمي والحاكم وصححه

Al-Nu’man ibn Basyir ra berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah telah menentukan/menuliskan kitab (taqdir) 2000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi, diturunkan dari kitabnya itu/taqdirnya dua ayat yang dijadikan penutup surat al-Baqoroh, dan tidaklah keduanya (2 ayat) itu dibaca di sebuah rumah selama tiga malam, kecuali setan tidak akan mendekatinya

Hadis hasan, diriwayatkan oleh al-Tirmizi (hadis no. 2807), al-Nasa'I dalam al-Sunan al-Kubra (hadis no. 10802 dan 10803), al-Darimi (hadis no. 3253), Ibn Hibban (hadis no. 782), dan al-Hakim yang men-sahih-kan hadis ini. Al-Tirmizi, al-Suyuti (al-Jami'al Saghir, hadis no. 1764) menilai hadis ini: Hasan. al-Munawi mengingatkan bahwa pada sanadnya terdapat Asy'as ibn Abdurrahman yang menurut Abu Zur'ah, al-Nasa'i dan al-Dzahabi tidak kuat. Namun hadis ini punya jalur periwayatan lain yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dengan sanad yang menurut al-Hayathami tsiqoh (Fayd al-Qodil jil. II, h. 310, Majma al-Zawaid, jil. VI, h. 315). dengan penguat dari riwayat al-Thabrani, hadis in dapat dinilai hadis hasan lighairihi

Hadits di atas menunjukkan tentang keutamaan dua ayat terakhir surat Al-Baqarah.

Dua ayat tersebut,

Allah Ta’ala berfirman,

آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285) لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286)

Aamanarrosulu bimaa unzila ilaihii min robbihii wal mukminuun, kullun aamana billahi wa malaaikatihii wakutubihii warusulih, laa nafarriqu baina achadin min rusulih, waqoolu sami'naa wa ato'naa ghufroonaka robbanaa wa ilaikal mashir. 

Laa yukallifullohu nafsan illa wus'aha, lahaa maa kasabat wa 'alaihaa maktasabat, robbanaa laa tu-aa khidznaa in nasiinaa au akhto'naa, robbana walaa tachmil 'alainaa ishron kamaa chammaltahuu 'alalladziina min qoblinaa, robbanaa walaa tuchammilnaa maa laa thooqota lanaa bih, wa'fu 'anna waghfir lanaa warchamnaa anta maulaanaa fanshurnaa 'alal qoumil kaafiriin. 

“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” 

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 285-286)

Maksud Ayat Secara Global

Ayat di atas maksudnya adalah manusia tidak akan diberi beban kecuali sesuai kemampuannya. Inilah bentuk kelemahlembutan dan bentuk berbuat baik Allah pada hamba-Nya.

Ketika turut ayat sebelumnya,

وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ

“Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.” (QS. Al-Baqarah: 284). Ketika para sahabat mendengar ayat ini, mereka merasa berat dan susah karena segala yang terbetik dalam hati akan dihisab atau diperhitungkan. Namun ayat 286 ini menjawabnya. Allah tidaklah membebankan sesuatu kecuali sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Sedangkan sesuatu yang tidak mungkin manusia cegah seperti sesuatu yang terbetik dalam hati tentu tidak jadi beban baginya.

Allah akan membalas orang yang berbuat baik dan membalas yang berbuat jelek.

Kemudian Allah akan memberi petunjuk pada manusia untuk meminta pada-Nya dalam do’a,

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”

Do’a di atas kita rinci satu per satu.

Doa pertama: 

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.

Maksudnya: Kita meminta pada Allah supaya tidak disiksa karena lupa atau keliru. Lupa (nisyan) adalah setelah adanya ilmu. Sedangkan keliru (khotho’) adalah ketika belum mengetahui ilmu. Khotho’ yang dimaksud dalam doa pertama adalah tidak tahu.

Disebutkan dalam hadits,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku ketika ia keliru, lupa atau dipaksa.” (HR. Ibnu Majah no. 2045. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Doa kedua:

رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا

Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.

Maksudnya: Kita meminta pada Allah supaya tidak dibebani dengan beban yang berat seperti yang dialami oleh orang Yahudi dan Nashrani yang ada sebelum umat Islam.

Contohnya: Umat sebelum Islam ketika tidak ada air, mereka tidaklah shalat. Mereka tidak diperintahkan mengganti dengan tayamum. Yang ada, mereka masih punya kewajiban untuk menanggung shalat tersebut. Jika sebulan penuh tidak dapat air, lalu mendapatinya setelah itu, maka shalat-shalat yang ada tadi harus diqadha’. Ini sungguh berat. Sedangkan pada umat Muhammad, ketika tidak mendapati air seperti itu, maka diganti dengan tayamum sebagaimana disebutkan dalam ayat,

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدَاً طَيِّبَاً فَامْسَحُوا بِوجُوهِكمْ وَأيديكمْ منه

“Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al Maidah: 6)

Begitu pula umat sebelum Islam tidaklah boleh mengerjakan shalat di sembarang tempat. Mereka harus shalat di tempat yang khusus seperti gereja, atau di tempat yang disebut bai’, atau shawami’. Ini sungguh berat. Sedangkan pada umat Islam, tempat mana pun bisa dijadikan tempat untuk shalat selain kamar mandi dan daerah pekuburan. Disebutkan dalam hadits,

وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا

“Dianugerahkan untukku tanah sebagai masjid (tempat shalat) dan untuk bersuci.” (HR. Bukhari no. 438)

Tentang tata cara tayamum disebutkan dalam riwayat berikut dari hadits ‘Ammar bin Yasir berikut ini,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّى أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ الْمَاءَ . فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِى سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ ، وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ ، وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ

Ada seseorang mendatangi ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata, “Aku junub dan tidak bisa menggunakan air.” ‘Ammar bin Yasir lalu berkata pada ‘Umar bin Khattab mengenai kejadian ia dahulu, “Aku dahulu berada dalam safar. Aku dan engkau sama-sama tidak boleh shalat. Adapun aku kala itu mengguling-gulingkan badanku ke tanah, lalu aku shalat. Aku pun menyebutkan kelakuanku tadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Cukup bagimu melakukan seperti ini.” Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dengan menepuk kedua telapak tangannya ke tanah, lalu beliau tiup kedua telapak tangan tersebut, kemudian beliau mengusap wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ عَلَى الْيَمِينِ وَظَاهِرَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ

“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk kedua telapak tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, kemudian beliau usap tangan kiri atas tangan kanan, lalu beliau usap punggung kedua telapak tangannya, dan mengusap wajahnya.”

Doa ketiga:

رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”

Maksudnya: Kita meminta supaya tidak diberi beban yang tidak mampu kita memikulnya. Perkara semacam itu sebenarnya kita punya pilihan. Adapun perkara yang manusia tidak punya pilihan di dalamnya misalnya diberikan sakit dan semacamnya, jika beban tersebut menimpanya, maka ia akan diberi pahala dan akan menghapuskan dosa-dosanya yang telah lalu.

Dalam doa tersebut juga kita minta:

Wa’fu ‘anna yaitu maafkanlah atas kekurangan dalam kita menjalankan yang wajib.

Waghfirlanaa yaitu ampunilah karena kita telah terjerumus dalam perkara yang haram.

Warhamnaa yaitu rahmatilah dengan memberikan taufik untuk terus bisa istiqamah.

Tiga hal yang diminta itu berarti berharap supaya dimaafkan karena lalai dari yang wajib, supaya diampuni karena terjerumus dalam maksiat dan supaya dirahmati dengan terus diberikan keteguhan (keistiqamahan).

Kemudian di akhir doa tersebut disebutkan bahwa Allah itu mawlaa, artinya Allahlah yang mengurus urusan kita, Allahlah tempat kita kembali dan Allahlah penolong kita. Lalu kita meminta tolong pada doa tersebut supaya dijauhkan dari penindasan orang kafir.

Faedah dari Ayat di Atas

1- Rahmat Allah begitu besar karena Allah tidaklah membebani kecuali yang manusia mampu memikulnya.

2- Dari ayat ini, para ulama membuat suatu kaedah fiqhiyyah yang begitu ma’ruf,

لاَ وَاجِبَ مَعَ العَجْزِ

“Tidak ada kewajiban ketika tidak mampu.”

Contoh:

Ketika seseorang tidak mampu bersuci dengan air karena sakit atau lumpuh atau tidak mendapati air atau khawatir sakit, bersuci tersebut beralih pada tayamum. Kalau tidak mampu tayamum karena tidak mendapati debu atau tanah untuk bertayamum, maka ketika itu ia shalat dalam keadaan tidak berwudhu dan bertayamum karena tidak ada kewajiban kala tidak mampu.

Jika seseorang shalat sedangkan didapati najis pada pakaiannya dan tidak diperoleh pakaian pengganti, najisnya pun tidak dapat dihilangkan pada pakaian, ia tetap shalat dalam keadaan berpakaian najis seperti itu. Shalatnya tidak perlu diulangi. Menjauhi najis ketika shalat adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan. Namun kewajiban tersebut gugur ketika tidak mampu dipenuhi.

Ketika seseorang shalat, wajib menghadap kiblat. Ketika sakit, ia tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mampu mengarahkan tubuhnya kea rah kiblat. Keadaan seperti itu mengakibatkan menghadap kiblat menjadi gugur. Orang seperti itu shalat sesuai dengan keadaannya kala itu.

Ketika shalat tidak mampu dilakukan dalam keadaan berdiri, maka ketika itu boleh beralih ke posisi duduk. Jika tidak mampu duduk, maka beralih ke posisi berbaring ke sisi kanan atau kiri dengan menghadap kiblat. Ketika ruku’ dan sujud bisa dengan isyarat kepala. Namun saat itu tidak cukup dengan isyarat jari sebagaimana diyakini sebagian orang awam.

Ketika seseorang tidak mampu membaca Al-Fatihah dan belum mengenalnya, maka gugur kewajiban membaca Al-Fatihah. Wajib sebagai penggantinya adalah membaca dzikir dengan tahmid, takbir dan tahlil.

Jika wajib menunaikan zakat dan ketika itu tidak ada nuqud (uang tunai) dan tidak mampu membeli barang yang nanti dijadikan harta zakat, saat itu zakat tersebut boleh ditunda sampai mampu membeli barang tersebut.

Puasa Ramadhan itu wajib, namun saat ini dan seterusnya tidak mampu menunaikannya karena ketidakmampuan, sebagai gantinya adalah dengan menunaikan fidyah. Fidyah yang dikeluarkan adalah memberi makan pada orang miskin dari setiap puasa yang ditinggalkan. Jika tidak mampu menunaikan fidyah, jadilah gugur kewajiban tersebut.

Jika seseorang tidak punya kemampuan untuk berhaji, maka gugurlah kewajiban untuk berhaji.

3- Manusia berbeda-beda dalam memenuhi kewajiban. Ada yang mampu menunaikannya dan ada yang tidak mampu. Orang yang pertama menjadi wajib untuknya, berbeda dengan orang kedua.

4- Setiap orang yang beramal shalih, ia akan memperoleh balasannya. Termasuk pula seseorang mendapatkan balasan karena mengajak orang lain melakukan kebaikan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Siapa yang memberi petunjuk dalam kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala dari orang yang melakukan kebaikan tersebut.” (HR. Muslim no. 1893)

5- Setiap orang yang melakukan maksiat, maka ia akan memperoleh balasannya. Sebagaimana disebutkan dalam ayat yang lain,

لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ

“Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya.” (QS. An-Nur: 11). 

Baik dosa tersebut dilakukan langsung atau menjadi petunjuk pada sesuatu yang haram. Jika menjadi petunjuk pada sesuatu yang haram, maka berarti ia mendapat bagian dari yang haram tersebut. Namun ini berbeda dengan orang yang menunjukkan pada kebaikan. Kalau orang yang menunjukkan pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan kebaikan yang semisal. Sedangkan orang yang mencontohkan pada kejelekan akan mendapatkan bagian dari dosa.

6- Karena dalam do’a disebut ‘rabbanaa’, ini menunjukkan adanya penetapan sifat Rabb atau sifat rububiyyahbagi Allah. Yang dimaksud meyakini sifat rububiyyah Allah adalah meyakini Allah sebagai pencipta, pemberi rezeki dan pengatur alam semesta.

7- Di antara adab do’a adalah memanggil Allah dengan nama Allah yang mulia yaitu Rabb. Oleh karena itu, mayoritas do’a dalam Al-Qur’an dimulai dengan panggilan Rabb.

8- Orang yang lupa dan keliru (tidak punya ilmu), maka diangkat dosa dari dirinya. Namun ada beberapa kewajiban yang ketika lupa atau keliru harus diqadha’ namun tidak disematkan dosa padanya ketika melakukannya.

Contoh:

Orang yang berwudhu, lantas ia lupa mengusap kepala, lalu tetap shalat dalam keadaan seperti itu. Saat lupa semacam itu, ia tidak berdosa walau ia berwudhu dengan wudhu yang tidak sah. Akan tetapi, ia harus mengulangi wudhunya, juga harus mengulangi shalatnya. Jadi yang terangkat hanyalah dosanya. Namun kewajibannya tidaklah gugur.

Ada orang yang tidak ingat shalat sama sekali karena kesibukan. Ia tidak mendapatkan dosa. Namun shalat tersebut tidaklah gugur, tetap harus dikerjakan.

Jika seseorang salam sebelum sempurnanya shalat dalam keadaan lupa, maka ia tidaklah berdosa. Namun ia punya tugas untuk menyempurnakan shalat tersebut.

Jika seseorang berpuasa lalu makan dalam keadaan lupa, maka dimaafkan. Ia boleh tetap melanjutkan puasanya.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda