Selasa, 11 April 2023

Fenomena Perbedaan 1 Syawal 1444H

 Kita akan temui perbedaan pada Idul Fitri 2023 dan penetapan 1 Syawal 1444 H. Kalau kami mau katakan, pasti akan terjadi perbedaan (bukan hanya potensi berbeda) karena saat ini Kemenag RI pun memutuskan hari raya dengan hasil hisab walaupun sebelumnya diadakan rukyatul hilal. Sehingga hari raya pada Idul Fitri 2023 akan berbeda sebagaimana berikut ini:


Jumat, 21 April 2023 dipilih oleh kalangan Muhammadiyah.

Sabtu, 22 April 2023 dipilih oleh pemerintah, NU, dan Persatuan Islam (Persis).


Metode Rukyat


Metode rukyat adalah metode menetapkan awal bulan hijriah dengan cara melihat langsung kemunculan hilal di ufuk Barat pada saat maghrib tanggal 29 bulan Hijriah. Bila hilal terlihat, maka mulai maghrib malam tersebut suda h masuk tanggal 1 bulan baru, tetapi bila hilal tidak terlihat, maka umur bulan yang sedang berlangsung di istikmal (digenapkan) 30 hari, dan tanggal 1 bulan barunya ditetapkan pada maghrib hari berikutnya.


Sebagai contoh, untuk penetapan Idul Fitri 1 Syawal 1444 H, pengguna metode rukyat seperti NU akan melakukan rukyat terlebih dahulu pada maghrib Kamis, 29 Ramadhan 1444 H/ 20 April 2023. Setelah dilakukan rukyat, maka tanggal 1 Syawal 1444 H baru bisa di-itsbat (ditetapkan). Bila saat rukyat hilal terlihat, maka 1 Syawal 1444 H akan ditetapkan Jum’at, 21 April 2023, bila hilal tidak terlihat maka 1 Syawal 1444 H akan ditetapkan Sabtu, 22 April 2023.


Namun demikian, NU kini telah mengadopsi kriteria baru MABIMS (Neo MABIMS) yaitu tinggi hilal minimal 3° dan jarak elongasi minimal 6,4°.


Dengan demikian, kemungkinan besar yang berpaham rukyat seperti NU akan menetapkan 1 Syawal 1444 H bertepatan dengan Sabtu, 22 April 2023.


Metode Hisab


Metode hisab adalah metode menetapkan awal bulan hijriah dengan cara menghitung posisi hilal saat maghrib tanggal 29 hijriah. Bila hilal secara hisab sudah memenuhi kriteria tertentu, maka mulai maghrib malam tersebut ditetapkan tanggal 1 bulan baru, tetapi bila secara hisab hilal belum memenuhi kriteria tertentu, maka bulan yang berlangsung di istikmal (digenapkan) 30 hari, dan tanggal 1 bulan baru ditetapkan pada maghrib hari berikutnya.


Adapun kriteria hisab yang digunakan untuk menetapkan tanggal 1 bulan hijriah di Indonesia di antaranya:


1. Wujudul Hilal

Kriteria wujudul hilal menetapkan awal bulan hijriah berdasarkan dua parameter, yaitu bila  saat maghrib tanggal 29 bulan hijriah: (1) Telah terjadi ijtimak, dan (2) Posisi hilal sudah ada di atas ufuk lebih dari 0°, maka mulai maghrib malam tersebut sudah masuk tanggal 1 bulan baru hijriah, tetapi apabila saat maghrib belum memenuhi kriteria di atas maka tanggal 1 bulan baru hijriah ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.


Sebagai contoh, pada Kamis, 29 Ramadhan 1444 H/20 April 2023, ijtimak geosentris sudah terjadi -bahkan bersamaan dengan terjadinya gerhana Matahari- yaitu pada jam 11:12:27 WIB. Kemudian tinggi Bulan saat Matahari terbenam di Indonesia antara 0° 44′ 26″ s/d 2° 21′ 38″.


Data hisab di atas menunjukkan bahwa secara hisab wujudul hilal, hilal sudah muncul, sebab syaratnya sudah terpenuhi, yaitu ijtimak terjadi sebelum maghrib dan posisi Bulan sudah positif di atas ufuk. Hingga menurut hisab wujudul hilal seperti yang digunakan oleh Muhamadiyah, 1 Syawal 1444 H ditetapkan bertepatan dengan Jum’at, 21 April 2023.


2. Imkan Rukyat

Dalam menetapkan awal bulan hijriah, hisab imkanur rukyah mempertimbangkan posisi hilal terendah yang pernah terlihat pada saat maghrib tanggal 29 hijriah. Artinya pengalaman keterlihatan hilal pertama kali dijadikan acuan dalam penentuan awal bulan hijriahnya.


Kriteria Imaknur Rukyah ini banyak ragam dan acuan parameternya. Namun, yang terakhir (tahun 2022) digunakan oleh negara-negara anggota MABIMS (Menteri Agama Brunai, Indonesia, Malaysia dan Singapura) juga digunakan oleh PERSIS dalam 10 tahun terakhir ini hanya 2 parameter saja, yaitu bila saat maghrib tanggal 29 hijriah: (1) Tinggi hilal minimal 3°, dan (2) Jarak elongasi minimal 6,4°, maka mulai maghrib malam tersebut ditetapkan sudah masuk tanggal 1 bulan baru. Namun, apabila belum mencapai kriteria di atas, tanggal 1 bulan baru jatuh pada maghrib malam berikutnya.


Sebagai contoh, pada Kamis, 29 Ramadhan 1444 H/20 April 2023, ijtimak geosentris sudah terjadi -bahkan bersamaan dengan terjadinya gerhana Matahari- yaitu pada jam 11:12:27 WIB. Kemudian tinggi Bulan saat Matahari terbenam di Indonesia antara 0° 44′ 26″ s/d 2° 21′ 38″, Elongasi Matahari dan Bulan antara 2° 19′ 17″ s/d 4° 0′ 42″.


Apabila mengacu kepada kriteria baru MABIMS (Neo MABIMS) di atas maka parameter posisi Bulan akhir Ramadhan 1444 H, belum masuk kedua-duanya. Tinggi hilalnya kurang dari 3°, yaitu maksimal cuma 2° 21′ 38″, dan jarak elongasinya kurang dari 6,4° (6° 24′), yaitu maksimal cuma 4° 0′ 42″.


Pendapat Kami: Puasa dan Berhari Raya Ikut Pemerintah

Kalau kami sendiri lebih cenderung berpuasa dan berhari raya itu ikut pemerintah RI, karena alasan:


Pertama: Kriteria imkanur rukyat ditujukan agar kompatibel dengan hasil rukyat, sedangkan rukyatul hilal inilah yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Hilal adalah fenomena ketampakan yang terkait dengan penentuan awal bulan qamariyah. Hilal bukanlah objek benda.”


Adapun dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melihat hilal, bukan sekadar hilal itu muncul. Jika hilal telah muncul, tetapi belum terlihat, tetap belum dianggap sebagai masuknya awal bulan.


Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ


“Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1906 dan Muslim, no. 1080).


Dalam hadits lain disebutkan,


لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْا الِهلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عليكم فأكملوا العدة ثلاثين


“Janganlah kalian biasa hingga melihat hilal. Janganlah kalian berbuka hingga melihat hilal. Jika hilal itu tertutup awan, maka genapkanlah bulan menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari, no. 1906, 1907 dan Muslim, no. 1080)


Kedua: Kita diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa bersama-sama pemerintah dan termasuk bentuk taat pada pemerintah dalam hal yang makruf.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ


“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, hari raya Idul Fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berhari raya, dan Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul Adha.” (HR. Tirmidzi no. 697. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani).


Imam Tirmidzi ketika menyebutkan hadits ini berkata,


وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ


“Para ulama menafsirkan bahwa hadits ini yang dimaksud adalah berpuasa dan berhari raya bersama al jama’ah dan mayoritas manusia”. Yang dimaksud Abu ‘Isa At Tirmidzi adalah berpuasa dengan pemerintah (ulil amri), bukan dengan ormas atau golongan tertentu.


Disebutkan dalam Hasyiyah As Sindi ‘ala Ibnu Majah,


أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة


“Hadits ini bermakna bahwa perkara penetapan puasa (atau hari raya) bukan urusan individu atau perorangan namun urusan penguasa dan al jama’ah (pemerintah). Wajib bagi setiap orang untuk mengikuti pemerintah mereka. Oleh karenanya jika ada yang melihat hilal lantas pemerintah menolak persaksiannya, maka tidak bisa pendapatnya dipakai dan wajib baginya mengikuti pemerintah kaum muslimin.”


Ketiga: Jika imam (pemimpin) keliru, ia yang menanggung.

Coba perhatikan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


يُصَلُّونَ لَكُمْ ، فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ ، وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ


“Jika shalat para imam itu benar, maka pahalanya bagi mereka dan untuk kalian. Jika shalat mereka salah, kalian dapat pahala dan mereka dapat dosa.” (HR. Bukhari, no. 694).


Keempat: Pemerintah yang berhak memutuskan (meng-itsbat).

Dalam kitab fikih disebutkan bahwa penetapan berpuasa dan berhari raya adalah menempuh cara: (1) melihat hilal, (2) bersaksi di hadapan qadhi (penguasa, hakim), (3) itsbat (penetapan) dari penguasa. Lihat bahasan Imam Zainuddin Al-Malibari dalam Fath Al-Mu’iin, hlm. 291.


Pernyataan ulama fikih didukung oleh dua dalil berikut ini.


وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ


Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Manusia sedang memperhatikan hilal. Lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihat hilal. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 2342. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata bahwa hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim).


وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا”


Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang Arab Badui ada pernah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun berkata, “Aku telah melihat hilal.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah?” Ia menjawab, “Iya.” “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?“, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– kembali bertanya. Ia pun menjawab, “Iya.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun memerintah, “Suruhlah manusia wahai Bilal agar mereka besok berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 691 dan Ibnu Majah no. 1652. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata bahwa Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menshahihkannya, tetapi An Nasai lebih cenderung pada pendapat bahwa riwayat tersebut mursal).


Moga Jalan Menuju Surga


Taat pada pemerintah kita kata Nabi adalah jalan menuju surga. Dari Abu Umamah Shuday bin ‘Ajlan Al Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah saat haji wada’ dan mengucapkan,


اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ


“Bertakwalah pada Allah Rabb kalian, laksanakanlah shalat limat waktu, berpuasalah di bulan Ramadhan, tunaikanlah zakat dari harta kalian, taatilah penguasa yang mengatur urusan kalian, maka kalian akan memasuki surga Rabb kalian.” (HR. Tirmidzi, no. 616 dan Ahmad, 5:262. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih, Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini).


Akhirul Kalam


Tulisan ini tidaklah ingin membantah pendapat lain yang tidak sejalan dengan pemerintah. Tulisan ini bertujuan agar para pembaca tidak bingung saat berhari raya Idul Fitri 2023 ini karena jelas potensi berbeda itu ada, antara Jumat dan Sabtu.


Dari mengetahui hal ini, semoga jauh-jauh hari kita sudah bersiap-siap ingin berhari raya ikut siapa, memilih Jumat ataukah Sabtu, memilih shalat Id di mana, memilih khatib Id untuk hari apa, hingga memutuskan kapan mau mudik.


Wallohu A'lam

Dalil Surat Fatihah Disebut Ummul Qur'an

 Abu Sa’id Rafi’ bin Al Mu’alla radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,


أَلاَ أُعَلِّمُكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِى الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنَ الْمَسْجِدِ » . فَأَخَذَ بِيَدِى فَلَمَّا أَرَدْنَا أَنْ نَخْرُجَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ قُلْتَ لأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ . قَالَ ( الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ) هِىَ السَّبْعُ الْمَثَانِى وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِى أُوتِيتُهُ »


“Maukah aku ajarkan engkau surat yang paling mulia dalam Al Qur’an sebelum engkau keluar masjid?”


Lalu beliau memegang tanganku, maka ketika kami hendak keluar, aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau mengatakan, “Aku akan mengajarkanmu surat yang paling agung dalam Al Qur’an?”


Beliau menjawab, “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin (segala puji bagi Allah Rabb semesta alam) dan Al Qur’an Al ‘Azhim (Al Qur’an yang mulia) yang telah diberikan kepadaku.” (HR. Bukhari no. 5006)


Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terdapat 114 surat. Dan surat pembuka atau surat pertama bernama Surat Al-Fatihah yang disebut juga sebagai Ummul Qur’an.


Lalu mengapa surat yang terdiri dari 7 ayat dan 139 huruf ini disebut sebagai Ummul Qur’an (induk Al-Qur’an)?


Sebelumnya, perlu diketahui surah ini disebut sebagai Surah Fatihah atau surat pembuka, karena dalam tertib atau susunan dalam mushaf merupakan surat pertama. Tetapi ini tidak bermakna bahwa Al-Fatihah merupakan surat pertama yang diturunkan. Karena surat pertama yang diturunkan sebagaimana kita tahu adalah bagian awal Surah Al-‘Alaq.


Selanjutnya, Al Fatihah disebut sebagai Ummul Qur’an, atau dalam riwayat lain disebut Ummul Kitab karena kandungan Surat Al-Fatihah merangkum semua substansi yang terdapat di dalam keseluruhan Al-Qur’an. Substansi tersebut adalah aqidah, ibadah dan metode hidup.


وهي على قصرها حوت معاني القرآن العظيم واشتملت مقاصده الأساسية بالاجمال فهي تتناول أصول الدين وفروعه، العقيدة، العبادة، التشريع، الاعتقاد باليوم الآخر والايمان بصفات الله الحسنى وافراده بالعبادة والاستعانة والدعاء والتوجه اليه جلّ وعلا بطلب الهداية الى الدين الحق والصراط المستقيم


Surat Al-Fatihah walaupun pendek tetapi menghimpun semua makna Al Quran yang agung dan mengandung maksud dasar secara global, yaitu memperoleh pokok-pokok agama dan cabangnya, aqidah, ibadah, syariat.


Keyakinan pada hari akhir, iman dengan sifat-sifat Allah yang bagus, mengesakan Allah dalam ibadah, memohon pertolongan pada-Nya, berdoa, menghadap pada-Nya yang Maha Agung dan Maha Tinggi dengan meminta petunjuk pada agama yang haq dan jalan yang lurus.


والقرآن نص على : العقيدة والعبادة ومنهج الحياة. والقرآن يدعو للاعتقاد بالله ثم عبادته ثم حدد المنهج في الحياة وهذه نفسها محاور سورة الفاتحة


Al-Qur’an merupakan nash akidah, ibadah dan metode hidup. Al-Quran mengajak pada keyakinan pada Allah, kemudian beribadah kepada-Nya dan memberikan ketentuan metode dalam hidup. Semua substansi ini terhimpun dalam SuratAl-Fatihah.


العقيدة: الحمد لله رب العالمين، الرحمن الرحيم، مالك يوم الدين. العبادة: إياك نعبد وإياك نستعين

مناهج الحياة: إهدنا الصراط المستقيم، صراط الذين أنعمت عليهم، غير المغضوب عليهم ولا الضآلين


Nash akidahnya adalah:


الحمد لله رب العالمين، الرحمن الرحيم، مالك يوم الدين


Nash ibadahnya adalah


إياك نعبد وإياك نستعين


Nash metode hidupnya adalah


إهدنا الصراط المستقيم، صراط الذين أنعمت عليهم، غير المغضوب عليهم ولا الضآلين


Selain itu dijelaskan juga di dalam Kitab Tafsir Asrar Tartibul Quran Juz 1 halaman 74 sebagai berikut:

 

سورة الفاتحة: افتتح سبحانه كتابه بهذه السورة; لأنها جمعت مقاصد القرآن; ولذلك كان من أسمائها: أم القرآن، وأم الكتاب، والأساس، فصارت كالعنوان وبراعة الاستهلال


Surat Al-Fatihah: Allah subhanahu wa ta’ala membuka dengannya, karena surat ini mengumpulkan, memuat tujuan-tujuan Al-Qur’an. Dan karena itulah termasuk dari nama-namanya adalah: Ummul Qur’an, Ummul Kitab, Al-Asas, maka seakan ia seperti judul dan baraatul istihlal (istilah dalam ilmu sastra arab/balaghah).


Dalil bahwa Al Fatihah disebut Ummul Quran,


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهْىَ خِدَاجٌ – ثَلاَثًا – غَيْرُ تَمَامٍ ». فَقِيلَ لأَبِى هُرَيْرَةَ إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الإِمَامِ. فَقَالَ اقْرَأْ بِهَا فِى نَفْسِكَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ ( الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ). قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِى عَبْدِى وَإِذَا قَالَ (الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ). قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَىَّ عَبْدِى. وَإِذَا قَالَ (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ). قَالَ مَجَّدَنِى عَبْدِى – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَىَّ عَبْدِى – فَإِذَا قَالَ (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ). قَالَ هَذَا بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ. فَإِذَا قَالَ (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ). قَالَ هَذَا لِعَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ ».


Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang shalat lalu tidak membaca Ummul Qur’an (yaitu Al Fatihah), maka shalatnya kurang (tidak sah) -beliau mengulanginya tiga kali-, maksudnya tidak sempurna.”


Maka dikatakan pada Abu Hurairah bahwa kami shalat di belakang imam.


Abu Hurairah berkata, “Bacalah Al Fatihah untuk diri kalian sendiri karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku membagi shalat (maksudnya: Al Fatihah) menjadi dua bagian, yaitu antara diri-Ku dan hamba-Ku dua bagian dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika hamba mengucapkan ’alhamdulillahi robbil ‘alamin (segala puji hanya milik Allah)’, Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah memuji-Ku. Ketika hamba tersebut mengucapkan ‘ar rahmanir rahiim (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)’, Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah menyanjung-Ku. Ketika hamba tersebut mengucapkan ‘maaliki yaumiddiin (Yang Menguasai hari pembalasan)’, Allah berfirman: Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku. Beliau berkata sesekali: Hamba-Ku telah memberi kuasa penuh pada-Ku. Jika ia mengucapkan ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami menyebah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan)’, Allah berfirman: Ini antara-Ku dan hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia mengucapkan ‘ihdiinash shiroothol mustaqiim, shirootolladzina an’amta ‘alaihim, ghoiril magdhuubi ‘alaihim wa laaddhoollin’ (tunjukkanlah pada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan jalan orang yang sesat), Allah berfirman: Ini untuk hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta.” (HR. Muslim no. 395).


افتتح سبحانه كتابه بهذه السورة؛ لأنها جمعت مقاصد القرآن؛ ولذلك كان من أسمائها: أم القرآن، وأم الكتاب، والأساس، فصارت كالعنوان وبراعة الاستهلال.


Allah SWT mengawali kitab-Nya dengan surat ini karena surat ini menghimpun maqasid Al-Quran (intisari Al-Quran). Dan karena ia menghimpun intisari Al-Quran, ia memiliki nama di antaranya; Ummul Qur’an, Ummul Kitab, dan Al-Asas. Surat Al-Fatihah ini seperti sebuah judul dan bara’atul istihlal (mukadimah yang indah dan mengisyaratkan isi). (Asrar Tartib Al-Quran, hlm. 49).  


Al-Fatihah disebut mengandung intisari Al-Quran disebutkan oleh sejumlah ulama; Hasan Al-Basri, Al-Zamakhsyari, Fakhruddin Al-Razi, dan lainnya.


قال الحسن البصر: إن الله أودع علوم الكتاب السابقة في القرآن، ثم أودع علوم القرآن في المفصل، ثم أودع علوم المفصل في الفاتحة، فمن علم تفسيرها كان كمن علم تفسير جميع الكتب المنزلة “أخرجه البيهقي في شعب الإيمان”


Hasan Al-Basri berkata, “Allah telah menyimpan ilmu-ilmu kitab terdahulu dalam Al-Quran. Kemudian Allah menyimpan ilmu-ilmu Al-Quran dalam surat-surat yang agak pendek (mufashal). Kemudian Allah menyimpan ilmu-ilmu surat mufashal dalam Al-Fatihah. Orang yang mengetahui tafsir Al-Fatihah, ia akan menjadi seperti orang yang mengetahui tafsir seluruh kitab suci yang telah diturunkan.” Al-Baihaqi meriwayatkan hadis ini dalam kitab Syu’ab Al-Iman. (Asrar Tartib Al-Quran, hlm. 49).


إن ترتيب السور على هذا الترتيب من رسول الله صلى الله عليه وسلم


Sesungguhnya urutan surat seperti yang ada di mushaf sekarang adalah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (an-Nasikh wal Mansukh fil Quran, hlm. 158).


Karena itu, setiap muslim hendaknya mengedepankan sikap pasrah, menerima dan tidak menggugat keberadaan al-Quran dan semua keadaannya. Termasuk urutan surat dalam al-Quran.


Kita akan simak keterangan Abu Ja’far Al-Gharnathi (ulama Andalus, w. 708 H) ketika beliau menjelaskan keterkaitan surat-surat dalam al-Quran. Beliau menyebutkan beberapa alasan, mengapa al-Quran diawali dengan surat al-Fatihah,


تضمنها مجملا لما تفصل في الكتاب العزيز بجملته وهو أوضح وجه في تقدمها سوره الكريمة.


Al-Fatihah mengandung makna global yang akan dirinci dalam al-Quran secara keseluruhan. Dan ini merupakan alasan terbesar, mengapa surat al-Fatihah berada di urutan pertama dalam al-Quran.


ثم هي مما يلزم المسلمين حفظه، ولابد للمصلين من قرائتها


Kemudian, surat ini wajib dihafal seluruh kaum muslimin, karena orang yang shalat harus membacanya.


ثم افتتاحها بحمد الله سبحانه. وقد شرع في ابتداءات الأمور


Kemudian surat ini diawali dengan kalimat Alhamdulillah, yang kalimat ini disyariatkan untuk dibaca setiap mengawali segala aktivitas.


وفيها تعقيب الحمد لله سبحانه بذكر صفاته الحسنى والإشارة إلى إرسال الرسل في قوله، “اهدنا”


Setelah hamdalah, dilanjutkan dengan menyebutkan asmaul husna (ar-Rahman ar-Rahim) dan  isyarat tentang diutusnya para rasul. Yaitu pada firman Allah, ‘Ihdinas shirathal mustaqim’


وذكر افتراق الخلق بذكر المهتدين، وذكر المغضوب عليهم ولا الضالين، وإن ملاك الهدى بيده


Lalu disebutkan tentang macam-macam makhluk, mulai dari al-Muhtadin (orang yang mendapat petunjuk), al-Maghdhubi ‘alaihim (orang yang dimurkai), dan ad-Dhaallin (orang yang sesat). Dan bahwa kuasa memberi hidayah ada di tangan Allah. (al-Burhan fi Tanasubi Suwar al-Quran, hlm. 187 – 189).


Wallohu A'lam