Kamis, 04 Agustus 2016

Sejarah Mbah Ma'shum Lasem

Lasem dikenal sebagai Kota Santri, yang dimana banyak santri yang belajar di Lasem sehingga banyak santri tersebut yang berguna bagi agama, masyarakat, nusa dan bangsa setelah mereka menimba ilmu di Lasem, diantaranya:
KH. Idam Kholid (pernah duduk sebagai ketua DPR/MPR RI),
KH. Ahmad Syaikhu (Anggota DPR/MPR RI),
KH. Saifuddin Zuhri (salah seorang kiyai / tokoh pengurus PBNU),
KH. Subhan ZE, (seorang Tokoh muda NU pada masa itu),
KH. Mukti Ali (Menteri Agama),
KH. Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati Banten,
KH. Abdul Mukti Magelang, dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Karena pada era 1900 an Lasem mempunyai Ulama-ulama khos, diantaranya KH. Kholil Mashuri (ponpes An Nur), KH. Baidhowi (ponpes Al Wahdah), KH. Ma’shoem Ahmad (ponpes Al Hidayat).

Ke-tiga Ulama Lasem tersebut dipercaya sebagai anggota pendiri NU, walaupun di dalam struktur NU yang pertama kali hanya tertulis nama KH. Kholil Mashuri, selain ulama-ulama Lasem tersebut masih ada nama KH. Abdullah Umar yang juga banyak melahirkan sosok Ulama-ulama dari keturunanannya, KH. Masduki (Al Islah), KH. Ali Ma’shoem, KH. Hamid Pasuruan. Dan hingga saat ini di Lasem terdapat 20 pesantren.‎

Semua tokoh ulama-ulama Lasem sepatutnya untuk diketahui oleh warga dan generasi saat ini, karena mengingat sangatlah penting pengetahuan tersebut untuk mengingat jasa-jasa beliu yang dapat dipetik pada jaman sekarang. dapat juga bisa bermanfaat untuk edukasi dan pembentukan moral yang dimana bisa di dapat petik dari tindak tanduk jasa para ulama terdahulu yang dapat dijadikan panutan untuk generasi sekarang.

Sejak dahulu kota kecamatan ini terkenal sebagai Kota Santri. Peninggalan pesantren-pesantren tua di kota ini dapat kita rekam jejaknya hingga sekarang. 

Banyak ulama-ulama karismatik yang wafat di kota ini. diantaranya:
Sayid Abdurrahman Basyaiban (Mbah Sambu) yang kini namanya dijadikan jalan raya yg menghubungkan Lasem-Bojonegoro,
KH. Baidhowi, 
KH. Khalil, 
KH. Maksum, 
KH. Masduki 
dll. 

Sebagian makam tokoh masyarakat Lasem ini dapat anda jumpai di utara Masjid Jami' Lasem. Maka tidak berlebihan jika Lasem berjuluk sebagai kota santri, mengingat banyaknya ulama, Pondok Pesantren dan jumlah santri yang belajar agama islam di kota ini

Pondok Pesantren tersebut antara lain:
Al Wahdah (Sumbergirang)
Al Hidayah (Soditan)
Al Hidayah Putri (Soditan)
At Taslim (Soditan)
Al Islah (Soditan)
Al Mashudi (Soditan)
Al Hamidiyyah (Soditan)
Al Fakriyyah (Sumbergirang)
Ash Sholatiyah (Sumbergirang)
Nailun Najah (Sumbergirang)
An Nur (Soditan)
Kauman (Karangturi)
Al Hadi (Sumbergirang)
Al Muyassar (Sumbergirang)
Al Fatah (Ngemplak)
Al Banat (Ngemplak)
Al Aziz (Ngemplak)
Raudlatut Thulab (Ngemplak)‎

Pesantren Al-Hidayah

Pondok Pesantren Al - Hidayat didirikan oleh Almaghfurlah Simbah KH. Ma'shoem Ahmad pada tahun 1916 Masehi di desa Soditan Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. 

Keberadaan Pondok Pesantren Al-Hidayat terletak kurang lebih 370 m dari pantai laut jawa. KH. Ma'shoem Ahmad pada mulanya berguru (nyantri) di Pondok Pesantren Jamsaren-Solo. Kemudian dilanjutkan di Pondok Pesantren Bangkalan Madura dibawah asuhan KH. Cholil, selain itu beliau juga berguru pada kiyai - kiyai besar lain. setelah menikah dengan Nyai Hj. Nuriyyah beliau berdagang topi di Jombang namun tidak berlangsung lama karena beliau mempunyai tekad yang kuat untuk terus mengadakan dakwah dan melawan penjajahan Belanda, sehingga pada tahun 1916 M beliau mendirikan Pondok Pesantren Al-Hidayat dengan maksud untuk meningkatkan kegiatan dakwah, belajar mengajar, ibadah dan mengumpulkan massa untuk bersama - sama melawan penjajahan.
Pesantren yang dirintisnya tersebut pada awal mulanya hanya terdapat empat santri, kemudian pada masa - masa selanjutnya banyak sekali santri - santri yang berdatangan, terutama mereka yang mempunyai semangat, visi, misi dan keinginan yang sama dengan beliau. tercatat beberapa alumni Al-Hidayat dibawah didikan dan binaan beliau antara lain KH. Idam Kholid (pernah duduk sebagai ketua DPR/MPR RI) KH. Ahmad Syaikhu(Anggota DPR/MPR RI) KH. Saifuddin Zuhri (salah seorang kiyai / tokoh pengurus PBNU), KH. Subhan ZE, (seorang Tokoh muda NU pada masa itu), KH. Mukti Ali(Menteri Agama), dan banyak pura alumni yang saat ini menjadi tokoh masyarakat.

Pada masa pendirian Organisasi Nahdlatul Ulama, beliau termasuk tokoh utama yang berperan didalamnya. pada saat itu selain terdapat beberapa kiyai lain yaitu KH. Wahab Hasbullah, KH. Hasyim As'ari dan KH. Bisri Samsuri.

Kyai besar dan Wali Allah yang amat dihormati dikalangan umat Islam ini, yang biasa disapa Mbah Ma’shum, adalah salah satu dari dua“Gembong Kyai” asal Lasem selain Kyai Baidhowi Abdul Aziz. Beliau senantiasa menjalin silaturahmi, jujur, mengayomi, menghormati tamu dan teguh menjaga kebenaran. Seluruh hidupnya diabdikan kepada masyarakat, terutama kaum papa. Beliau bahkan menganggap pengabdian ini sebagai laku tarekatnya. Menurut Denys Lombard, ahli sejarah terkenal, "Mbah Masum" adalah seorang guru (kyai) dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat nasional, namun kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan hebat dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan lainnya.”

Kelahiran dan keluarga Mbah Ma’shum

Nama asli yang di berikan orang tuanya adalah muhammadun. Dia lahir di perkirakan sekitar tahun 1290 H, atau 1870 M, di lasem. Tahun kelahiran itu di sebut tahun perkiraan, sebab tidak ada seorangpun yang tahu pasti tahun berapa beliau di lahirkan.

Ayah mbah ma’shum bernama Ahmad, dia seorang yang mempunyai visi keagamaan tinggi. Sehari-hari, beliau berprofesi di bidang perdagangan, hanya saja kurang bisa dipastikan apakah mbah Ahmad adalah pedagang tingkat atas, menengah, atau bawah. Yang jelas, jika kita melihat kisah yang disampaikan kiai Mas’adi bin Nawawi (kajen, pati) bisa diyakini jika mbah Ahmad merupakan pedagang atau pebisnis, setidaknya tingkat menengah.

Tampaknya, beliau termasuk pedagang yang cukup kreatif, selain status nya yang pebisnis, bisa diyakini juga bahwa ayah mbah ma’shum itu merupakan seseorang yang memiliki visi keagamaan yang cukup, dengan argumentasi bahwa beliau menyerahkan pendidikan keagamaan mbah Ma’shum sewaktu kecil kepada kiai Nawawi (jepara). Minimal, dari kenyataan ini dapt di simpulkan bahwa mbah Ahmad memilki atensi atas wawasan keagamaan mbah Ma’shum. Dan dari mbah Ahmad itu, visi-visi dan wawasan keagamaan mbah Ma’shum di tanamkan. Demikian juga dengan praktik keseharian mbah Ahmad, sebagai bisnis, yang di kemudian hari juga mengalir dalam darah mbah Ma’shum. Sedangkan nama ibu mbah Ma’shum adalah Qosimah.

Pasangan mbah Ahmad dan mbah Qosimah di karuniai 3 orang anak, dua orang putri dan seorang putra. Mereka adalah Nyai Zainab, Nyai Malichah dan mbah Ma’shum. Ketiga putra-putri mbah Ahmad itu lahir, hidup dan wafat di lasem.

Guru-Guru Mbah Ma’shum

Sejak kecil hingga menginjak masa dewasa, mbah Ma’shum menimba banyak pengetahuan dari berbagai kiai, baik di lasem maupun di luar lasem seperti jepara, kajen, kudus, sarang, solo, semarang, Jombang, madura, hingga ke makkah. Dari rumah ke rumah, kampung ke kampung, sudah sewajarnya seorang pecinta ilmu akan selalu mengejar ke mana ilmu itu berada. Demikian halnya dengan mbah Ma’shum. Dia pun belajar kepada banyak kiai.

Menurut kiai Maimun Zubair dalm bukunya, mbah Ma’shum pernah mengaji kepada kiai Nawawi (jepara), kiai Ridhwan (semarang), kiai Umar Harun (sarang), kiai Idris (solo), kiai Dimyati (termas), serta kepada kiai Hasyim Asy’ari dan kiai Kholil bangkalan. Masih menurut catatan kiai Maimun Zubair, Mbah Ma’shum juga pernah belajar kepada kiai Dimyati At-Turmusi di Termas. Lalu, melanjutkan belajarnya ke makkah, dengan mengaji kepada kiai Mahfudz At-Turmusi (w. 1338 H/1919 M). Keberangkatan beliau ke makkah ini menyiratkan suatu informasi yang mendukung dugaan bahwa kelurga mbah Ma’shum adalah keluarga yang memiliki tradisi keislaman yang mapan dan keluarga mbah Ma’shum memiliki status ekonomi tertentu yang dapat mengantarkannya ke pendidikan tertinggi.

Tanda-tanda keutamaan Mbah Ma'shum telah diketahui secara kasyaf oleh Mbah Kholil Bangkalan, seorang wali Qutub yang amat masyhur. Dikisahkan, sehari sebelum kedatangan Mbah Ma'shum ke Bangkalan, Mbah Kholil menyuruh para santri membuat kurungan ayam. Kata Mbah Kholil, "Tolong aku dibuatkan kurungan ayam jago. Besok akan ada ayam jago dari tanah Jawa yang datang kesini".

Begitu Mbah Ma'shum datang, yang saat itu usianya sekitar 20-an tahun, beliau langsung dimasukan ke kurungan ayam itu. Mbah Ma'shum disuruh oleh Mbah Kholil untuk mengajar kitab Alfiyah selama 40 hari. Yang aneh, pengajaran dilakukan oleh Mbah Ma'shum di sebuah kamar tanpa lampu, sedangkan santri-santrinya berada di luar. Mbah Ma’shum hanya 3 bulan di Bangkalan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya dan didoakan dengan doa sapu jagad. Lalu, saat Mbah Ma'shum melangkah pergi beberapa meter, beliau dipanggil lagi oleh Mbah Kholil dan didoakan dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.

Pernikahan dan putra-putri Mbah Ma’shum

Mbah ma’shum menikah untuk pertama kali dengan seorang perempuan dari desa sumber Girang, lasem. Istri mbah Ma’shum yang pertama itu wafat di Arab Saudi ketika melaksanakan haji bersama mbah Ma’shum. Mbah Ma’shum memiliki seorang putra dari istri pertama yang selalu di ajak ke manapun dia pergi, untuk berdagang, terkadang ke daerah salatiga, solo, terkadang ke daerah kediri.

Setelah wafatnya nyai pertama itu, beliau menduda untuk jangka waktu yang agak lama. Pada usia 36 tahun, tepatnya tahun 1323 H/1906 M, beliau menikah untuk kali kedua, yaitu dengan mbah Nuriyah binti KH. Zainuddin bin KH. Ibrahim bin KH. Abdul latif bin mbah joyotirto bin mbah Abdul halim bin mbah sambu. Ibu mbah Nuriyah bernama Nyai Mashfuriyah bin KH Abdul Aziz bin KH Abdul latif bin mbah joyotirto bin mba joyotirto bin mbah Abdul halim bin mbah Sambu.

Mbah Nuriyah yang terkenal dengan panggilan mbah Nuri lahir pada tahun 1312 H/1895 M. Dari sini dapat di ketahui bahwa sewaktu menikah dengan mbah Ma’shum, mbah Nuri berusia 11 tahun, sedangkan mbah Ma’shum berusia 36 tahun. Akan tetapi, dia berkumpul atau tinggal serumah dengan mbah Ma’shum pada usia 14 tahun. Baik mbah Ma’shum maupun Mbah Nuri sama-sama berasal dari kelurga terdidik dan berpengetahuan islam. Jika mbah Ma’shum belajar pendidikan agama kepada orang tuanya dan kepada para kiai, mbah Nuri cukup belajar dari orang tua saja. Maklum, waktu itu belum banyak perempuan yang belajar ke luar rumah atau ke luar kota. Bahkan bisa dikatakan hal tersebut sangat jarang sekali. Perempuan belajar di pesantren, baik dalam bentuk menginap atau di asramakan, justru di mulai oleh pendidikan yang di jalankan oleh mbah Ma’shum dan mbah Nuri, setidaknya untuk level daerah lasem, rembang atau jawa tengah. Hal yang pasti adalah bahwa mbah Nuri, setelah menikah mengaji kepada mbah Ma’shum sejumlah pelajaran, hingga dia memiliki wawasan yang lebih dalam hal ilmu tafsir. Dari pernikahan mbah Ma’shum dengan mbah Nuri ini, Allah memberikan mereka berdua putra-putri yang berjumlah 13 orang, 8 di antaranya wafat ketika masih kecil.   

Dari pernikahan beliau dengan Nyai Hj. Nuriyyah dikaruniai lima orang putera - puteri yaitu :
KH. Ali Ma'shoem ( Pengasuh Ponpes Krapyak Yogja)
Nyai Hj. Fatimah Ma'shoem
KH. Ahmad Syakir Ma'shoem
Nyai Hj. Azizah Ma'shoem
Nyai Hj. Hannah Ma'shoem
Sebagai seorang kiai, mbah Ma’shum memberikan bekal-bekal keagamaan secara dini kepada para putra-putrinya, s bagaimana beliau mendapatkan bekal dari kedua orang tuanya. Semua pengetahuan putra-putrinya, baik pelajaran Al-Qur’an maupun kitab kuning, di awali dari pengajaran dia. Setelah menginjak dewasa, para putranya itu mengaji kepada kiai lain di berbagai tempat.

Ali, putra pertama mbah Ma’shum, lahir pada 2 maret 1915 M. Menikah dengan Hasyimah binti mbah Munawwir, pendiri dan pengasuh pesantrean Krapyak, Yogyakarta. Kisah pernikahan ini berawal saat mbah Ma’shum dan mbah Munawwir berdiskusi tentang bagaimana mengembangkan wawasan-wawasan yang ada dalam kitab kuning di pesantren krapyak yang kini di kenal dengan nama pesantren Al-Munawwir. Wawasan kitab kuning di perlukan di pesantren ini karena selama ini pesantren tersebut memfokuskan pengajiannya kepada hafalan Al-Qur’an.

Dari diskusi itu, mbah Munawwir minta kepada mbah Ma’shum supaya di beri “bibit” untuk mengomandani pengembangan ilmu-ilmu kitab kuning tersebut. Dan di sepakatilah rencana untuk berbesanan antara keduanya. Mbah Ma’shum dan mbah Munawwir sendiri sebelumnya telah mengenal satu sama lain saat keduanya sama-sama belajar di pesantren jamsaren solo dan juga di pesantren bangkalan Madura.

Putra mbah Ma’shum yang kedua adalah Fatimah, lahir pada tahun 1918 M. Dia menikah kali pertama dengan kiai Thohir bin kiai Nawawi, kajen, pati. Keduanya berpisah, dan dia menikah lagi dengan kiai Muhammad bin kiai Amir, simbang, pekalongan. Mereka berpisah, dan akhirnya dia menikah dengan kiai maftuhin bin Masyhuri, dari jepara. Pasangan ini adalah pendiri pesantren Al-Fath, Ngemplak lasem. Kiai Maftuhin wafat pada tahun 1401 H/1981 M, sedangakan Nyai Fatimah wafat pada tahun 1417 H/1996 M.

Putra ketiga mbah Ma’shum adalah Ahmad Syakir, lahir pada tahun 1338 H/1920 M. Setelah melewati pendidikan dasar di keluarga, dia mengaji kepada Kiai Dimyati Termas, Kiai Abbas cirebon, kiai Dalhar watucongol dan Kiai Munawwir Krapyak. Dia menikah dengan Faizah binti Ahmad musthofa, dari tegalsari solo, pada tahun 1944. Nyai Faizah ini adalah penghafal Al-Qur’an sekaligus ahli tafsir terbaik yang ada di lasem, dia melanjutkan perjuangan mbah Ma’shum dengan cara mengasuh pesantren Al-Hidayat, sepeninggal Kiai Ahmad syakir, bagian Tahfidzul Qur’an.

Putra keempat hingga ketujuh adalah bernama Zainuddin,in, sholichah, Aba Qasim, serta Asmu’i. Mereka wafat ketika masih kecil, sedangkan yang kedelapan adalah ibu Nyai Azizah, lahir pada tahun 1348 H/1930 M, dan kini masih mengasuh pesantren Al-Hidayat, dia menikah dengan KH. Makmur, lasem dan berpisah, lalu menikah dengan KH. Ali Nu’man dan tidak punya putra.

Yang kesembilan adalah ibu Nyai Hamnah, lahir pada tahun 1351 H/1932 M, dan tinggal di kota Demak, suaminya KH. Sa’dullah Taslim, adalah alumni pesantren Al-Hidayat, dan kini mengasuh pesantren At-Taslim, Demak. Putra Mbah Ma’shum yang kesepuluh hingga ketiga belas adalah salamah, muznah, sa’adah, dan Abdul jalal. Mereka wafat ketika masih kecil.

PETUALANGAN SANG PEDAGANG

Mbah Ma’shum telah melanglang ke berbagai tempat selama beberapa tahun dalam rangka mencari ilmu, nyaris seluruh ulama’ yang memiliki torehan sejarah indah dalam kajian keislaman di datangi dan kepada mereka beliau menyatakan diri sebagai murid. Setelah kenyang menuntut ilmu mbah Ma’shum memasuki dunia baru, yakni berumah tangga, untuk menghidupi keluarganya, mbah Ma’shum mengikuti profesi orang tuanya sebagai pedagang. Perdagangannya tidak hanya di lasem saja, melainkan hingga ke pasar ploso jombang. Selain berdagang beliau juga pernah bekerja di tempat pembakaran dan pembuatan batu bara (putih) yang berada di daerah selatan babat, di desa suwireh, sebelah utara daerah ngimbang.

Dalam kehidupannya beliau adalah orang yang sangat sederhana, tidak banyak keinginan duniawi yang hendak beliau raih, beliau tidak pernah memiliki sarung hingga lebih dari 3 bij. Soal makanan beliau juga demikian, bagi beliau soal makanan, yang penting nasinya hangat, itu sudah cukup. Beliau tidak memiliki kriteria soal lauk, akan tetapi beliau paling suka dengan sambal petis, beliau juga tidak pernah menggunakan sendok, apa lagi garpu ketika makan.

Sambil berdagang, mbah Ma’shum juga mengajar ilmu pengetahuan agama kepada orang-orang di sekitar sana, yang bertempat di pasar ploso, jombang. Kenyataan ini menunjukkan pada beberapa hal, antara lain: betapa kuatnya magnet keilmuan yang bersangkutan terhadap masyarakat; betapa masyarakat membutuhkan pencerahan (keagamaan) kepada yang bersangkutan. Inti dari gambaran tersebut adalah adanya dependensi masyarakat kepada kiai, khususnya dalam masalah keagamaan. Semua yang beliau lakukan tersebut adalah kenyataan sejarah yang menyejukkan, juga keteladanan yang patut di kembangkan.

Selain berdagang dan mengajar di masjid dekat pasar ploso itu, secara periodik mbah Ma’shum juga sering berkunjung ke Tebuireng untuk mengaji kepada kiai Hasyim Asy’ari, yang lahir pada tahun 1871 M, namun hal ini bukan menjadi masalah bagi beliau. Dan inilah yang secara khusus ciri khas beliau yang paling menonjol, yaitu suka mengaji dan belajar kepada orang lain sekalipun beliau telah “menjadi” kiai dan orang yang beliau datangi terkadang berusia lebih muda.

MENDIRIKAN PESANTREN DAN MENGURUS SANTRI

Berawal dari mimpi
Mbah Ma’shum bermimpi bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad, dan mendapatkan nasihat supaya meninggalkan perdagangan serta berganti mengajar. Mimpinya bertemu dengan Kanjeng Nabi itu terjadi selama beberapa kali.

Suatu saat, beliau sedang berada di sebuah tempat di semarang, kala tidur beliau mimipi bertemu dengan kanjeng Nabi Muhammad, saat itu juga beliau bangun dan berfikir bahwa tempat beliau menginap itu bukanlah tempat yang muhtarom, beliau memang belum sepenuhnya percaya bahwa yang ada dalam mimpi beliau adalah kanjeng Nabi, tetapi beliau sangat menyadari bahwa semua nasihat yang ada dalam mimpi itu benar, tepat dan sesuai realitas.

Mbah Ma’shum juga pernah bermimipi di mushola depan ndalem dan sempat bersalaman dengan Nabi, setelah bangun tangan beliau masih bau wangi, pada saat itu Kanjeng Nabi sedang membawa list sumbangan untuk pembangunan pondok pesantren. Kanjeng Nabi waktu itu berpesan:mengajarlah..., dan segala kebutuhan insya Allah akan di penuhi semuanya oleh Allah.Akhirnya beliaupun membangun sebuah tempat sebagai pusat pendidikan yang berdiri pada tahun 1334 H/1916 M, dalam bentuk mushola beberapa ruang sederhana untuk para santri dan akhirnya beliau memberi nama pondok pesantren Al-Hidayat. Pada awal-awal mengasuh pesantren mbah Ma’shum pernah mengalami masa mendidik santri waktu itu berjumlah sekitar 26 santri.

Metode Mbah Ma’shum dalam mendidik santri

Soal memberikan perhatian kepada santri, mbah ma’shum ini adalah satu dari sekian tokoh yang memiliki perhatian sangat besar. Atensi mbah Ma’shum kepada para santrinya sangat istimewa, figur beliau mencerminkan seorang guru sekaligus orang tua. Mulai ketika santri datang ke pondok, masa belajar, hingga santri kembali ke masyarakat pun selalu mendapatkan atensi dari beliau. Di mata santri-santrinya, mbah Ma’shum adalah orang yang sangat istiqomah dalam mendidik santri, mulai dari membangunkan tidur, memimpin jama’ah hingga melaksanakan pengajian-pengajian.

Bukti lain tentang betapa besar perhatiannya kepada santri adalah saat beliau mendapati seorang santri sedang membaca kitab kuning, maka beliau menyempatkan diri untuk mendengarkannya, hal ini tidak lain untuk memberikan semangat kepada santri, dengan cara memberikan koreksi. Ada satu hal yang dimiliki oleh mbah Ma’shum dalam mendidik santri-santrinya, bahwa beliau tidak memberlakukan pengajian dengan model kelas. Beliau memberlakukan pengajian umum kepada para santrinya. Cara pengajaran yang beliau lakukan adalah sistem bandongan dan sorogan. Sistem bandongan adalah pengajian umum atau terbuka yang diikuti oleh seluruh santri, sedangkan ‎sorogan adalah sebuah sistem dimana seorang santri membaca kitab kuning satu persatu di hadapan kiai.
Mbah Ma'shum selama mengajar banyak berperan aktif langsung dalam pendidikan santrinya. Beliau juga memiliki kebiasaan mengajar beberapa kitab yang diajarkan terus-menerus berulang-ulang, artinya jika kitab itu khatam, maka akan dimulai lagi dari awal. Di antaranya adalah pelajaran Al-Qur’an, Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah, al-Hikam ibn Athaillah, dan Ihya Ulumuddin. Mengenai kitab al-Hikam ini Mbah Ma’shum menyatakan bahwa beliau mengkhatamkannya sebanyak usia beliau. Mengenai Kitab Ihya, beliau berujar, "Saya khawatir kalau melihat santri yang belum pernah khatam kitab Ihya tapi sudah berani memberikan pengajaran kepada umat; yah, semoga saja dia selamat"Fathul Wahhab juga dikhatamkan sebanyak usianya, sehingga beliau pernah berkata bahwa ilmu Fiqh telah ada di dalam dadanya. Ketika beliau sudah berusia lanjut, kebanyakan santri yang datang kepadanya umumnya punya tujuan utama tabarrukan, atau mengambil barokah spiritualnya. Dalam mengajar santri Mbah Ma'shum amat disiplin dan istiqamah, sebab istiqamah adalah lebih utama ketimbang seribu karomah. Beliau juga tak segan-segan menegur khatib Jum’at yang khotbahnya terlalu lama dengan cara bertepuk tangan. Banyak muridnya yang menjadi kyai besar, seperti Kyai Abdul Jalil Pasuruan, Kyai Abdullah Faqih Langitan, Kyai Ahmad Saikhu Jakarta, Kyai Bisri Mustofa Rembang, Kyai Fuad Hasyim Buntet Cirebon, dan masih banyak lagi.

Sebagai kyai NU beliau juga gigih berjuang mendukung membesarkan NU bersama kyai-kyai lainnya. Beliau amat mencintai organisasi ini, sehingga beliau menyatakan tidak ridho jika anak keturunannya tidak mengikuti NU. Bahkan Mbah Ma’shum sendiri selalu didatangi oleh banyak kyai jika ada urusan penting di tubuh NU untuk meminta nasihat dan doanya. Misalnya ketika hangat-hangatnya pembentukan Jam’iyyah Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah, Mbah Ma’shum termasuk yang setuju, dan bahkan menjadi salah satu “petinggi” organisasi tarekat itu, walaupun beliau sendiri tidak mengamalkan praktik-praktik tarekat. Menurutnya, “Saya sudah menggunakan tarekat langsung dari Kanjeng Nabi Muhammad, yakni berupa Hubb al-Fuqara wa al-Masakin (mencintai kaum fakir miskin). Selain itu banyak pula tokoh lain yang sowan kepada beliau guna meminta doa restu. Hal ini juga dilakukan oleh Profesor Kyai Haji Mukti Ali saat diangkat menjadi menteri agama. Mbah Ma’shum bersedia mendoakan Mukti Ali jika dia mau mengikuti sarannya, yang salah satunya menunjukkan kebesaran jiwanya: “Engkau jangan sekali-kali membenci NU. Sebab membenci NU sama dengan membenci aku karena NU itu saya yang mendirikan bersama-sama ulama lain. Tetapi engkau pun jangan membenci Muhamadiyyah. Jangan pula membenci PNI dan partai lain … Kau harus dapat berdiri di tengah-tengah dan berbuat adil terhadap mereka.” Ketika pecah huru-hara PKI Mbah Ma'shum terpaksa melakukan perjalanan dari kota ke kota, karena beliau termasuk tokoh yang di incar hendak dibunuh oleh PKI.‎

PERAN KEBANGSAAN DAN NASIONALISME
Berjuang bersama komunitas NU

 Mbah Ma’shum yang tekun dan konsisten dalam bidang pendidikan umat membawa beliau kedalam golongan atau jama’ah ulama’-ulama’ agung. Dari realitas ini sangat pantas jika sejarah mencatat bahwa mbah Ma’shum juga berperan didalam pendirian organisasi NU.

Beliau sangat mencintai jam’iyah NU. Bahkan terlalu cintanya, beliau pernah menyatakan bahwa dirinya tidak ridho jika anak keturunannya tidak NU. Beliau juga pernah mengatakan bahwa siapa saja yang berkhidmah kepada NU, Insya Allah akan mendapatkan berkah dari Allah.‎
                                                
HUBUNGAN KEMANUSIAAN
Atensi Mbah Ma’shum kepada umat
Mbah Ma’shum adalah adalah orang yang bisa di katakan sempurna dan utuh, maksud sempurna dan utuh di sini adalah beliau mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada zamannya. Misalnya masyarakat memerlukan bimbingan perihal politik maka mbah Ma’shum dengan apa adanya turut pula memiliki kepedulian politik.

Mbah Ma’shum adalah orang yang senantiasa memberikan pelajaran keagamaan dimana saja berada, bahkan dalam perjalanan bepergian, baik di bis atau di terminal.  Mbah Ma’shum juga menjadi orang yang memiliki kewibawaan tinggi dalam komunitas ‎Thariqah, beliau aktif menghadiri acara-acara perkumpulan Thariqah seperti muktamar.

Hal lainnya lagi adalah keistiqomahannya yang tidak hanya dalam hal mendidik santri, tetapi juga misalnya menjalin silaturrahim, bentuk jalinan silaturrahim tersebut tidak hanya di peruntukkan kepada orang-orang islam saja, melainkan juga kalangan non-muslim.
                          
KONTEKSTUALITAS PEMIKIRAN

Perubahan-perubahan pandangan fiqh
Ditinjau dari persepektif tertentu, pemikiran mbah Ma’shum tidak berbeda dengan pemikiran para kiai pada umumnya, sangat teguh memegang syari’at dan secara spesifik fiqh syafi’i. Beliau bisa saja mempraktikkan fiqh hanafi, misalnya karena beliau juga menguasainya. Akan tetapi hal itu tidak di lakukan dan lebih tertarik untuk mengembangkan pemikiran fiqh syafi’i. Hal itu terjadi pada kasus mahramiyah, dimana beliau sering menikahkan seseorang dengan kerabatnya supaya menjadi mahram dengan dirinya. Gagasan ini muncul seiring kebiasaan bersalaman atau bertemunya laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram.

Ulama’ NU, pada muktamar ke-10 tahun 1935 di surakarta, memfatwakan bahwasannya hukum mendengarkan radio sama dengan hukum mendengarkan suara aslinya. Artinya jika suara aslinya adalah suara yang di perbolehkan maka hukumnya pun boleh. Tetapi, jika yang di dengarkan adalah suara-suara yang mengajak untuk kemaksiatan, seperti lagu-lagu kemaksiatan misalnya maka hal tersebut tidak di perbolehkan.

Mbah Ma’shum pada waktu itu tidak main-main dalam mengharamkan radio. Di ceritakan bahwa suatu kali mbah Ma’shum bertamu ke seseorang dan mendapati tuan rumah sedang menyetel radio, tanpa di tunda beliau langsung menegur tuan rumah itu. Mengapa selama itu mbah Ma’shum cenderung mengharamkan, tidak lain karena radio yang ada lebih sering di ketahui memperdengarkan lagu-lagu yang kurang senafas dengan syari’at islam atau bahkan bertentangan.
                          
 WARISAN MBAH MA’SHUM

Mbah Ma’shum adalah salah seorang yang sangat suka dan amat kagum dengan bait-bait syair yang ada pada qashidatul burdah karangan imam muhammad Al-Bushiri. Beliau menganggap bahwa syair-syair yang ada pada qashidatul burdah itu sangat sempurna, baik dari sisi material maupun redaksional, demikian ini juga pandangan ulama’. Melihat status imam Bushiri seperti itu, amat wajar jika mbah Ma’shum dalam kehidupannya menganjurkan santrinya dan umat islam untuk senantiasa membaca Al-Burdah, dan khususnya potongan sya’ir seperti berikut:

هو الحبيب الذي ترجى شفاعته  لكلّ هول من الآهوال مقتحم

Pesan Mbah Ma’shum satu bait diatas supaya di baca setiap hari 1000 kali tanpa terkait waktu. Maksudnya boleh di cicil, yang penting selama satu hari berjumlah 1000 kali. Hanya saja, kepada santrinya beliau menyuruh membacanya setiap habis shalat maghrib.

Mbah Ma’shum ketika memimpin istighotsah beliau membaca potongan sya’iral-burdah:

يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَالِي مَنْ أَلُوذُ بِهِ  سِوَاكَ عِنْدَ حُلُولِ الحَاد ث العَمَمِ

Sya’ir Al-Burdah tersebut di baca sebanyak kurang lebih 80 kali.   

Selain hal-hal tersebut di atas, beliau juga sangat suka dengan Qashidatul Munfarijah dan sering membacanya dengan didampingi mbah Nuri
قَدْ اذَنَ لَيْلُكِ بِالْبَلَجِ
إِشْتَدّي أَزْمَةُ تَنْفَرِجِى
حَتَّى يُغْشَهُ أبو السُّرج
وَظَلَا مُ اللَيْلِ لَهُ سُرُجٌ
فَإِذا جاء الإبانُ تَاجي
وَسَحَا بُ الخَيْرِ لَهُ مَطَرٌ
لِسُرُورِ الأنْفُسِ والمُهَجِ
وفوايد مَولانَا جُمَلٌ


MBAH MA’SHUM WAFAT

Kesehatan mbah Ma’shum  turun drastis, terhitung sejak tanggal 14 Robi’ul Awal 1392 H atau 28 April 1972, jam 2 siang. Hal ini terjadi selama beberapa bulan, tepatnya hingga September. Pada tanggal 17 September 1972, atas inisiatif dari subhan ZE, mbah Ma’shum di bawa ke rumah sakit dr.Karyadi semarang, selama 10 hari, dia diobati di sana, dibawah pengawasan dr. Soetomo, dr. Harjono (seorang ahli penyakit dalam)   dan dr. Chamidun.
Hampir satu bulan setelah keluar dari rumah sakit tepatnya pada hari jum’at, tanggal 12 Ramadhan 1932 H, atau tanggal 20 oktober 1972 M, dalam keadaan di papah, beliau masih menyempatkan diri untuk shalat jum’at di masjid jami’ lasem. Hari itu, adalah hari sekaligus shalat jum’at terakhir baginya, beliau shalat jum’at di dalam mobil yang di parkir di halaman masjid. Setelah shalat jum’at, beliaupun kembali ke ndalem dan akhirnya wafat pada hari itu, jam 2 siang. Beliau pernah dhawuh,jika nanti wafat supaya makamnya di buat seperti makamnya Habib Ahmad bin Thalib bin Abdullah Pekalongan.
Segenap anggota keluarga dan para kiai, para alumni, serta para wali santri, yang berada di luar lasem segera menjadwalkan diri untuk pergi ke lasem guna memberikan penghormatan terakhir kepadanya.
Pada hari juma’t itu juga, sekitar pukul 16.00, jenazah mbah Ma’shum di mandikan oleh beberapa orang, keesokan harinya, sabtu tanggal 13 Ramadhan 1932 H/20 Oktober 1972 M, jenazah di makamkan di pemakaman masjid jami’ lasem, jam 14.30.

Karomah Mbah Ma'shum Lasem

Mbah Ma’shum Lasem, Jawa Tengah, adalah ulama besar yang tindakannya sering sulit dicerna nalar awam. Setelah peristiwanya, barulah orang mengerti apa sesungguhnya yang terjadi.

Diperkirakan, Mbah Ma’shum lahir pada tahun 1868. Dia adalah anak bungsu pasangan Ahmad dan Qosimah. Oleh orangtuanya dia kemudian diserahkan kepada Kiai Nawawi, Jepara, untuk mempelajari ilmu agama, karena sejak kecil diatelah ditinggal wafat oleh ibunya. Dari Kiai Nawai dia mendapat pelajaran dasar ilmu alat (nahwu) yang diambil dari kitab Jurumiyyah dan Imrithi.

Pengembaraannya mencari ilmu tidak sebatas di Lasem, melainkan sampai ke Jepara, Kajen (Kyai Abdullah, Kyai Abdul Salam, dan Kyai Siroj), Kudus (Kyai Ma’shum dan Kyai Syarofudin), Sarang Rembang (Kyai Umar Harun), Solo (Kyai Idris), Termas (Kyai Dimyati), Semarang (Kyai Ridhwan), Jombang (Kyai Hasyim Asy’ari), Bangkalan (Kyai Kholil), hingga Makkah (Kyai Mahfudz At-Turmusi), dan kota-kota lain.

Suatu saat, di Semarang, dia tertidur dan bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Ketika di Bojonegoro, dia tidak hanya bermimpi, melainkan, antara tertidur dan terjaga, dia bertemu dengan Nabi, yang memberikan ungkapan La khayra ilia fi nasyr al-ilmi, yang artinya “Tidak ada kebaikan (yang lebih utama) daripada menyebarkan ilmu”.

Di rumahnya sendiri, dia bermimpi kembali. Dalam mimpinya, ia bersalaman dengan Nabi Muhammad SAW, yang berpesan,“Mengajarlah, segala kebutuhanmu insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.”

Di kemudian hari, Mbah Ma’shum menjadi ulama besar yang dikenal memiliki banyak karamah. Inilah beberapa kisah karamahnya:

Walisongo Bertamu
Ada satu kisah karomah lain yang menunjukkan ketinggian kedudukan spiritualnya. Hari itu datang sembilan orang tamu ke Lasem. Mereka ingin berjumpa dengan Mbah Ma’shum. Namun, karena tuan rumah sedang tidur, Ahmad, salah seorang santrinya, menawarkan apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan. Ternyata mereka menolak.

Lalu mereka semua, yang tadinya sudah duduk melingkar di ruang tamu, berdiri sambil membaca shalawat, kemudian berpamitan.
“Apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan?”tanya Ahmad sekali lagi.
“Tidak usah,” ujar me­reka serempak lalu pergi.

Rupanya saat itu Mbah Ma’shum mendusin dan bertanya kepada Ahmad perihal apa yang baru saja terjadi.
Setelah mendapat penjelasan, Mbah Ma’shum minta kepada Ahmad agar mengejar tamu-tamunya.
Tapi apa daya, mereka sudah menghilang, padahal mereka diperkirakan baru sekitar 50 meter dari rumah Mbah Ma’shum.

Ketika Ahmad akan melaporkan hal tersebut, Mbah Ma’shum, yang sudah bangun tapi masih dalam posisi tiduran, mengatakan bahwa tamu-tamunya itu adalah Walisango dan yang berbicara tadi adalah Sunan Ampel. Setelah mengucapkan kalimat terse­but, Mbah Ma’shum tertidur pulas lagi.

Beras Melimpah
Di depan para cucunya, Mbah Ma’shum memimpin pembacaan istighatsah dan membaca potongan syair Al-Burdah yang artinya, “Wahai makhluk paling mulia (Muhammad), aku tak ada tempat untuk mencari perlindungan kecuali kepadamu, pada kejadian malapetaka nan besar nanti.”

Syair tersebut dibaca 80 kali, dilanjutkan dengan doa sebagai berikut: “Ya Allah, orang-orang yang ada dalam tanggungan kami sangat banyak, tetapi beras yang ada pada kami telah habis. Untuk itu kami mohon rizqi dari-Mu.”

Selain mengamini, Nadhiroh, salah seorang cucunya, berteriak, “Mbah, tambahi satu ton.”
Ditimpali oleh Mbah Ma’shum, “Tidak satu ton, tepi lebih….”

Beberapa hari kemudian, beras seolah mengalir dari tamu-tamu yang datang dari berbagai kota, seperti Pemalang dan Pasuruan, ke tempat Mbah Ma’shum.

Masih soal beras. Pada kali yang lain, setelah mengajar 12 santrinya lalu diikuti dengan membaca Alfiyah, Mbah Ma’shum minta mereka mengamini doanya, karena persediaan beras sudah habis.

“Ya Allah, Gusti, saya minta beras….”
“Amin…,” ke-12 santri itu, yang ditampung dan ditanggung di rumah Mbah Ma’shum, khidmat menyambung doanya.

Jam sebelas siang, datang sebuah becak membawa beberapa karung be­ras. Tanpa pengantar, kecuali alamat ditempel di karung-karung beras itu. Di sana tertera jelas, kotanya adalah Banyuwangi. Kepada santrinya yang bernama Abrori Akhwan, Mbah Ma’shum minta agar mencatat alamat yang tertera di karung itu.

Suatu saat ketika berkunjung ke Banyuwangi, Mbah Ma’shum bermaksud mampir ke alamat itu. Saat alamat tersebut ditemukan, tempat itu ternyata kebun pisang yang jauh di pedalaman. Ironisnya, masyarakat di sana hampir- hampir tak ada yang kelebihan rizqi. Lalu siapa yang mengirim beras...?

“Dua Tahun Lagi Saya Menyusul”
“Seandainya Paman wafat pada hari ini, saya akan menyusul dua tahun kemudian,”demikian reaksi Mbah Ma’shum ketika mendengar kabar bahwa pamannya, Kiai Baidhowi, meninggal hari itu, 11 Desember 1970.

Bahkan ucapan itu ditegaskan sekali lagi langsung di telinga almarhum ketika dia menghadiri pemakamannya, “Ya, Paman, dua tahun lagi saya akan menyusul.”

Mbah Ma’shum tutup usia pada 28 Oktober 1972 atau 12 Ramadhan 1332, sepulang dari shalat Jum'at di masjid jami Lasem, tak jauh dari rumahnya. Persis seperti ucapannya, menyusul dua tahun setelah pamannya wafat.

Mengajar atau Menolong Orang juga “Dzikir”
Kisah lain, sambil memijit badan Mbah Ma’shum, Abrori Akhwan, yang kala itu, awal dekade 1960-an, masih menjadi santri di pesantren Mbah Ma’shum, Al-Hidayat, dalam benaknya terlintas pertanyaan, kenapa Mbah Ma’shum tak pernah menggunakan peci haji atau sorban bila keluar rumah, tidak pernah berdzikir dalam waktu yang lama, dan tidak banyak kitab kuning di rumahnya.

Pikiran itu rupanya terbaca oleh Mbah Ma’shum. Tak lama kemudian, ia berujar,“Seorang kyai tidak harus meng­gunakan peci haji atau sorban."Berdzikir" kepada Allah bisa dilakukan langsung secara praktek, seperti misalnya kita mengajar atau menolong orang, tidak harus dalam waktu lama dengan bebe­rapa bacaan tertentu. Kitab kuning sebenarnya banyak, tapi dipinjam oleh Ali, anak sulungku.”

Insya Allah akan Kembali
Ketika dalam perjalanan silaturahim ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, Mbah Ma'shum kehilangan kacamata di kereta api yang tengah meluncur, antara Tegal dan Pekalongan. Menyadari hal itu, ia kemudian mengajak para pengikutnya membaca surah Adh-Dhuha. Dan ketika sampai ayat wawajadaka dhaallam fahada, ayat tersebut dibaca delapan kali.

“Dengan membaca surah tersebut, insya Allah barang kita yang hilang akan kembali. Setidaknya Allah akan memberikan ganti yang sesuai,” katanya kemudian.

Ketika rombongan mampir ke rumah Kyai Faturrahman di Kebumen, Mbah Ma’shum melihat sebuah kacamata di lemari kaca tuan rumah, persis miliknya yang hilang. Dengan spontan ia berkata, “Alhamdulillah.”

Kepada Faturrahman, ia bertanya, “Apa ini kacamata saya...?”
Dijawab Kyai Faturrahman dengan terbata-bata, “Ya mungkin saja, Mbah….”
Kemudian kacamata itu diambil dan dipakai oleh Mbah Ma’shum.

Kendaraan Soal Belakang‎
Kali ini soal dokar/delman. Santri yang mengawal Mbah Ma’shum kebingungan. Se­telah maghrib, sudah menjadi kebiasaan, dokar di daerah Batang, Pekalongan, tidak akan ada yang berani keluar ke­cuali kalau dicarter. Namun Mbah Ma'shum berkata,“Shalat dulu, kendaraan soal belakang.”

Ketika itu rombongan Mbah Ma'shum sudah sampai di sebuah musholla. Maka shalatlah mereka secara berjamaah. Bahkan dilanjutkan hingga shalat Isya.

Setelah semua selesai, rombongan pun melanjutkan perjalanan. Dan, tanpa diduga, begitu rombongan keluar dari halaman musholla, lewatlah sebuah do­kar kosong. Mereka pun menaikinya. Subhanallah.

System Pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Al-Hidayat dari mulai berdiri dan semasa hidup KH. Ma'shoem dan KH. Ahmad Syakir menganut pendidikan salafy, yaitu khusus mengkaji ilmu - ilmu agama yang bersumber dari kitab kuning (klasik) baru pada periode Nyai Hj. Azizah Ma'shoem dan KH. Zaenuddin Maftuchin system pendidikan berubah memadukan salafy dan sekolah formal yang kurikulumnya selain mengacu pada kitab kuning juga menggunakan kurikulum Departemen Agama.‎

1 komentar:

  1. Mas izin mau bertanya Mas 🙏🏻
    Pada pembahasan terkait putra putri Mbah Ma'shoem yaitu lebih tepatnya di pembahasan Mbah Fatimah. Disitu mas menjelaskan bahwasannya Mbah Fatimah menikah 3x.
    Mohon maaf Mas, saya boleh diberi tahu sumber nya darimana?🙏🏻
    Terimakasih Mas

    BalasHapus