Kaum Syi’ah menyangka bahwa mereka berloyalitas kepada Ahli Bait (keluarga) Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan mencintai Ahlul Bait. Mereka juga menyangka bahwa madzhab mereka diambil dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Ahlul Bait dan dibangun di atas pendapat-pendapat dan riwayat-riwayat dari Ahlul Bait. Karena alasan kecintaan kepada Ahlul Bait, kaum Syi’ah mengafirkan para shahabat yang dianggap menzhalimi dan melanggar kehormatan Ahlul Bait. Inilah keyakinan yang tertanam pada akal-akal kaum Syi’ah.
Benarkah kaum Syi’ah mencintai Ahlul Bait?
Mari kita melihat bagaimana sebenarnya kecintaan kaum Syi’ah kepada Ahlul Bait dan bagaimana sikap Ahlul Bait itu sendiri terhadap kaum Syi’ah.
Definisi Ahlul Bait
Kaum Syi’ah Rafidhah bersepakat untuk membatasi Ahlul Bait Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam hanya pada Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhû, Fathimah radhiyallâhu‘anhâ, Al-Hasan radhiyallâhu‘anhumâ, dan Al-Husain radhiyallâhu ‘anhumâ. Kemudian, mereka memasukkan sembilan orang imam dari keturunan Al-Husain radhiyallâhu anhû dalam hal tersebut: (1) Ali Zainul ‘Âbidin, (2) Muhammad Al-Bâqir, (3) Ja’far Ash-Shâdiq, (4) Musa Al-Kâzhim, (5) Ali Ar-Ridhâ, (6) Muhammad Al-Jawwâd, (7) Ali Al-Hâdy, (8) Al-Hasan Al-‘Askar, dan Imam Mahdi mereka, (9) Muhammad Al-‘Askar. [Al-Anwâr An-Nu’mâniyah 1/133, Bihâr Al-Anwâr 35/333, dan selainnya. BacalahAl-‘Aqidah Fî Ahlil Bait Bain Al-Ifrâd Wa At-Tafrîd karya Sulaimân As-Suhaimy hal. 352-356 dan Asy-Syi’ah Wa Ahlul Bait hal. 13-20 karya Ihsân Ilâhî Zhahîr]
Hakikat definisi kaum Syi’ah tentang Ahlul Bait di atas adalah celaan terhadap Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhum.
Mereka meriwayatkan dari Abu Ja’far Muhammad Al-Bâqir bahwa beliau berkata, “Manusia menjadi murtad setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa âlihi, kecuali tiga orang.” Saya (perawi) bertanya, “Siapakan tiga orang itu?” Beliau menjawab, “Al-Miqdad, Abu Dzarr, dan Salman Al-Fârisy ….” [Raudhah Al-Kâfy 8/198]
Juga datang sebagian riwayat mereka tentang pengecualian untuk tujuh orang, yang Al-Hasan dan Al-Husain tidak tersebut dalam pengecualian itu.
Mereka meriwayatkan dari Amirul Mukmin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhû bahwa beliau berkata kepada Qunbur, “Wahai Qunbur, bergembiralah dan berilah kabar gembira serta selalulah merasa gembira. Sungguh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa alihi meninggal dan beliau murka terhadap umatnya, kecuali Syi’ah.” [Al-Amâly hal. 726 karya Ash-Shadûq]
Kaum Syi’ah juga tidak mengakui putri Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagai Ahlul Bait beliau, kecuali Fathimah saja. Mereka berkata, “Ahli tarikh menyebut bahwa Nabi (sha) memiliki empat putri. Berdasarkan urutan kelahirannya, mereka adalah Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Namun, menurut penelitian cermat tentang nash-nash tarikh, kami tidak menemukan dalil yang menunjukkan (keberadaan) anak (untuk beliau), kecuali Az-Zahrâ` (‘ain), Bahkan, yang tampak adalah bahwa anak-anak perempuan yang lain adalah anak-anak Khadijah dari suaminya yang pertama sebelum Nabi Muhammad (sha) ….” [Dâ`irah Al-Ma’ârif Al-Islâmiyah Asy-Syi’iyyah 1/27 karya Muhsin Al-Amin]
Demikianlah kedunguan kaum Syi’ah dalam menentang Allah Ta’âlâ, padahal Allah menyebut anak-anak perempuan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan konteks jamak yang menunjukkan jumlah lebih dari tiga sebagaimana dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin bahwa hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ….” [Al-Ahzâb: 59]
Kaum Syi’ah juga tidak memasukkan istri-istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam lingkup Ahlul Bait, padahal ayat tentang keutamaan Ahlul Bait asalnya ada dalam konteks penyebutan istri-istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Perhatikanlah firman-Nya,
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا. وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا. وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah seperti perempuan lain jika kalian bertakwa. Maka, janganlah kalian lembut dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Hendaklah kalian tetap berada di rumah-rumah kalian, janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu, serta dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa-apa yang dibacakan di rumah kalian berupa ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” [Al-Ahzâb: 32-34]
Kebencian kaum Syi’ah terhadap para istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam sangatlah besar, terkhusus terhadap Aisyah dan Hafshah radhiyallâhu‘anhmâ, sehingga salah seorang pembesar mereka dari Hauzah, Sayyid Ali Gharwy, berkata, “Sesungguhnya, sebagian kemaluan Nabi harus masuk ke dalam neraka karena beliau telah menggauli sebagian perempuan musyrik.” [Disebutkan dalam Kasyful Asrâr hal. 21 karya Husain Al-Musawy]
Syi’ah sebuah kelompok agama yang memiliki prinsip-prinsip ajaran:
Al-Qur’an sudah berubah dari aslinya, baik karena adanya tambahan atau pengurangan pada saat dikumpulkan oleh para sahabat di masa khalifah Abu Bakar. Hal ini dinyatakan oleh ulama Syi’ah bernama At-Tabrizi dalam bukunya Fashlul Khithab fi Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab.
Mereka melebihkan imam-imam Syi’ah di atas seluruh para Nabi seperti yang ditulis oleh Al-Kulaini dalam kitabnya Al-Kafi dan tokoh Syi’ah modern Khomaini.
Sangat penuh rasa benci pada tokoh-tokoh utama sahabat Nabi: Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dan Hafsah radhiyallahu ‘anhum. Mereka menganggap para tokoh sahabat yang menjadi kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini sebagai penjahat ulung terhadap ajaran Rasulullah.
Berkeyakinan bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu yang belum terjadi, tetapi para imam Syi’ah mengetahui segala sesuatu di masa lalu, masa kini dan akan datang.
Dengan adanya doktrin-doktrin keagamaan semacam ini, patutkah Syi’ah dikategorikan sebagai salah satu komunitas muslim sebagaimana halnya komunitas ahlussunah wal jama’ah.
Syi’ah yang memiliki doktrin sebagaimana yang disebut di atas, telah dinubuwatkan oleh Rasulullah sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh imam Ath-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jam Al-Kabir no. 12998
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قال : كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَعِنْدَهُ عَلِيٌّ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « يَا عَلِيُّ ، سَيَكُوْنُ فِي أُمَّتِيْ قَوْمٌ يَنْتَحِلُوْنَ حُبَّنَا أَهْلَ الْبَيْتِ لَهُمْ نَبَزٌ يُسَمَّوْنَ الرَّافِضَةَ فَاقْتُلُوْهُمْ فَإِنَّهُمْ مُشْرِكُوْنِ ».
Dari Ibnu Abbas ujarnya, saya pernah berada di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersamaan dengan Ali. Saat itu Nabi bersabda kepada Ali: Wahai Ali, nanti akan muncul di tengah umatku suatu kaum yang berlebihan dalam mencintai kita ahlul bait, mereka dikenal dengan nama Syi’ah Rafidhah. Karena itu bunuhlah mereka sebab mereka adalah kaum musyrik.
Selain dari nubuwat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini, khalifah Ali bin Abi Thalib sendiri berkata: di belakang kami kelak akan muncul suatu kaum yang mengaku cinta kepada kamu. Mereka suka berdusta dengan nama kamu, mereka sebenanya keluar dari Islam. Ciri mereka yaitu gemar memaki Abu Bakar dan Umar.
Ammar bin Yasir berkata kepada seorang laki-laki yang mencerca Aisyah ketika berada di sisi Ammar bin Yasir: “Pergilah kamu wahai orang yang celaka, apakah engkau senang menyakiti kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [HR At-Tirmidzi, hadits hasan]
Semua golongan Syi’ah senang sekali mencera Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Bagi pemerhati Syi’ah, tentu tidak asing dengan dalih : ‘Membuat marah Faathimah sama dengan membuat marah Nabi’, karena keridlaan Faathimah bersama keridlaan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam. Lantas, bagaimana hukumnya jika Faathimah membuat marah ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa?.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: " جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَجِدْ عَلِيًّا فِي الْبَيْتِ، فَقَالَ: أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ؟ قَالَتْ: كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ شَيْءٌ فَغَاضَبَنِي فَخَرَجَ فَلَمْ يَقِلْ عِنْدِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِنْسَانٍ: انْظُرْ أَيْنَ هُوَ، فَجَاءَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هُوَ فِي الْمَسْجِدِ رَاقِدٌ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ قَدْ سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ شِقِّهِ وَأَصَابَهُ تُرَابٌ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُهُ عَنْهُ، وَيَقُولُ: قُمْ أَبَا تُرَابٍ، قُمْ أَبَا تُرَابٍ "
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Abi Haazim, dari Abu Haazim, dari Sahl bin Sa’d, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumah Faathimah namun tidak mendapatkan ‘Aliy dalam rumah tersebut. Beliau bertanya : “Dimanakah anak pamanmu ?”. Faathimah menjawab : “Telah terjadi sesuatu antara aku dengannya, lalu marah kepadaku kemudian ia keluar dan tidak tidur siang bersamaku”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang : “Carilah, dimanakah ia berada !”. Lalu orang tersebut datang dan berkata : “Wahai Rasulullah, ia sedang tiduran di masjid “. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian mendatanginya, dimana waktu itu ‘Aliy sedang berbaring, dan selendangnya terjatuh dari sisinya dan terkena tanah. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membersihkan tanah tersebut darinya dan berkata : “Bangunlah Abu Turaab, bangunlah Abu Turaab !” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 441].
Faathimah yang kedudukannya bukan imam saja, jika ia marah, disejajarkan dengan kemarahan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Qiyas aula-nya, kemarahan ‘Aliy - yang berkedudukan sebagai imam - ini lebih layak menduduki hukum yang sama.
‘Aliy radliyallaahu ‘anhu tentu tidak marah kecuali karena melihat kemunkaran atau hak Allah dan Rasul-Nya dilanggar. Karena, kemarahan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mempunyai sifat ma’shum pun disifati demikian.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا، قَالَتْ: " مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf: Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Ibnu Syihaab, dari ‘Urwah bin Az-Zubair, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Tidaklah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dihadapkan kepada dua pilihan, kecuali beliau akan memilih yang paling mudah di antara keduanya selama bukan merupakan dosa. Apabila hal itu merupakan dosa, maka beliau adalah manusia yang paling jauh dari hal itu. Dan tidaklah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membalas untuk dirinya, kecuali jika kehormatan Allah dilanggar, maka beliau marah karenanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3560].
Atas sebab apa seorang Pemimpin marah ?. Karena kehormatan Allah dilanggar ?. Mungkinkah Faathimah – yang juga ma’shum - melanggar kehormatan Allah atau melakukan kemunkaran di mata ‘Aliy ?. Atau,.... ‘Aliy marah kepada Faathimah tanpa sebab ?. Jika memang demikian, kemarahan ‘Aliy tersebut bukanlah kemarahan yang syar’iy.
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ هُوَ ابْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ أَبِي حَصِينٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي، قَالَ: " لَا تَغْضَبْ " فَرَدَّدَ مِرَارًا، قَالَ: " لَا تَغْضَبْ "
Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Yuusuf: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, dari Abu Hushain, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya pernah ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Berikanlah nasihat kepadaku”. Beliau bersabda : “Jangan marah”. Maka orang tersebut mengulangi permintaannya beberapa kali, dan beliau (tetap) bersabda : “Jangan marah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6116].
Atau,... kita berikan solusi yang paling mungkin tentang permasalahan ini bahwa : Kemarahan ‘Aliy ataupun Faathimah bukanlah timbangan dalam syari’at. Keduanya adalah manusia biasa yang – betapapun tinggi kedudukannya - bisa salah, sama seperti shahabat lainnya. Kemarahan mereka (‘Aliy, Faathimah, atau shahabat lainnya) kadang dapat diterima, kadang pula tidak dapat diterima.
Mereka juga tidak memasukkan anak-anak Ali bin Abi Thalib –kecuali Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhumâ – ke dalam golongan Ahlul Bait, padahal Ali memilliki beberapa anak selain Al-Hasan dan Al-Husain, yaitu Muhammad bin Al-Hanafiyyah, Abu Bakr, Umar, Utsman, Al-‘Abbâs, Ja’far, Abdullah, ‘Ubaidullah, dan Yahya. [Asy-Syi’ah Wa Ahlul Bait hal. 20 karya Ihsân Ilâhî Zhahîr]
Kaum Syi’ah juga tidak menganggap anak-anak Al-Hasan sebagai Ahlul Bait sebagaimana mereka juga tidak menganggap anak-anak Al-Husain sebagai Ahlul Bait, kecuali Ali Zainul ‘Abidin. Padahal, Al-Husain memiliki anak yang bernama Abdullah dan Ali (lebih tua daripada Ali Zainul ‘Abidin) yang keduanya ikut mati syahid bersama Al-Husain di Karbalâ`. [Huqbah Min At-Târikh hal. 242 karya Utsman Al-Khumayyis]
Sebagaimana pula, mereka juga tidak menganggap Bani Hasyim sebagai Ahlul Bait, padahal Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memasukkan mereka ke dalam lingkup Ahlul Bait sebagaimana dalam kisah Abdul Muthlib bin Rabî’ah bin Harits bin Abdul Muthlib dan Al-Fadhl bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthlib, yang meminta untuk dipekerjakan terhadap harta sedekah agar keduanya memperoleh upah untuk menikah maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada keduanya,
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لِآلِ مُحَمَّدٍ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ
“Sesungguhnya sedekah tidaklah pantas bagi keluarga Muhammad. Hal tersebut hanyalah kotoran-kotoran manusia.”[Diriwayatkan oleh Muslim]
Bahkan, kaum Syi’ah menyebut bahwa Ali bin Abi Thalib berdoa, “Ya Allah, laknatlah dua anak Fulan -yaitu Abdullah dan ‘Ubaidullah, dua anak Al-‘Abbâs, sebagaimana dalam catatan kaki-. Butakanlah mata keduanya sebagaimana engkau telah membutakan kedua hati mereka ….” [Rijâl Al-Kisysyi hal 52]
Juga sebagaimana mereka menghinakan ‘Âqil dan Al-‘Abbâs dalam sejumlah riwayat mereka.
Kebenaran absolut adalah kebenaran yang berasal dari Allah ta’ala dan Rasul-Nya Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Demikianlah sebenarnya sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Ali bin Abi Thalib, dan Ammar bin Yasir yang oleh kaum Syi’ah dipandang sebagai tokoh-tokoh mereka, tetapi ternyata menyuruh kita untuk memerangi Syi’ah karena mereka musyrik atau keluar dari Islam.
Kategorisasi Syi’ah
Hingga kini, masih ada kalangan pembaca dan pemerhati Syi’ah di Indonesia yang salah paham, seakan sekte Syi’ah termasuk salah satu madzhab Islam. Adanya perbedaan antara Islam dan Syi’ah, betapapun tajamnya, dianggap sekadar perbedaan paham antar madzhab yang harus disikapi secara obyektif dan rasional.
Kesalah pahaman ini, mungkin disebabkan antara lain, pemikiran-pemikiran yang berseberangan dengan ideologi Syi’ah datang dari ulama maupun tokoh yang menentang Syi’ah. Sekalipun yang menentang, bahkan mengkafirkan Syi’ah sekaliber Imam Bukhari, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan ulama besar Islam lainnya.
Begitupun, buku-buku anti Syi’ah yang beredar di Indonesia ditulis oleh ulama yang dianggap penentang Syi’ah, termasuk penerjemah buku ini Al-Ustadz Muhammad Thalib, yang banyak memublikasikan tulisan yang membongkar kesesatan Syi’ah dan dampak negatifnya bagi masyarakat. Namun segala argumentasi yang memosisikan Syi’ah bukan Islam atau sekte sesat, belum berhasil meyakinkan pembaca, terutama kalangan yang tertipu dengan retorika propagandis Syi’ah.
Barangkali, berangkat dari salah paham ini pula, munculnya komunitas tasyayyu’ di Indonesia, yang merumuskan kategorisasi Syi’ah menjadi tiga bagian sekaligus cara menyikapinya: pertama, Syi’ah Ghulat, yaitu Syi’ah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib ra dan meyakini Al-Qur’an sudah ditahrif (dirubah, ditambah dan dikurangi), dan berbagai keyakinan yang menyimpang dari prinsip-prinsip Islam. Syi’ah golongan ini adalah kafir dan wajib diperangi.
Kedua, Syi’ah Rafidhah, yaitu Syi’ah yang tidak berkeyakinan seperti Ghulat, tapi melakukan penghinaan, penistaan, pelecehan secara terbuka, baik lisan maupun tulisan, terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu. Dan fitnah terhadap isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam., ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan Hafshah radhiyallahu ‘anha. Syi’ah golongan ini adalah ahlul bida’ wal ahwa, mereka sesat menyesatkan dan harus diperangi.
Ketiga, Syi’ah Mu’tadilah, yaitu Syi’ah yang tidak menuhankan Ali dan tidak menghalalkan mencaci maki sahabat Nabi, seperti Syi’ah Zaidiyah. Mereka diperangi pemikirannya melalui dialog. Syi’ah golongan ini tidak sesat dan tidak kafir karena hanya mengutamakan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu di atas para shahabat Nabi lainnya (Abu Bakar, Umar Ibnul Khattab, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhum ajma’in), dan lebih mengedepankan riwayat hadits Ahlul Bait daripada riwayat hadits Ahlu Sunnah.
Kategori Syi’ah ketiga inilah yang disebut oleh Dr. Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Syeikh Dr. Yusuf Qardhawi, Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Mufti Mesir Syeikh Ali Jum’ah, sebagai salah satu madzhab Islam yang diakui. Di Indonesia ada juga kalangan yang berpendapat sama, malah menjadi bemper Syi’ah rafidhah.
Akan tetapi belakangan, Syeikh Yusuf Qardhawi menyesali dan mengoreksi pendapatnya yang mempercayai adanya Syi’ah moderat (mu’tadil). Karena ternyata, beliau menemukan fakta, baik kategori Syi’ah ghulat, rafidhah maupun mu’tadilah semuanya sama saja, sangat memusuhi Ahlus Sunnah.
Fatwa Imam-imam Besar Kaum Muslimin Tentang Syi’ah
« الذي يشتم أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم ، ليس لهم اسم أو قال نصيب في الإسلام ».
Imam Malik: Orang yang memaki sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka mereka itu bukanlah dari golongan Islam.
« لم أر أحداً أشهد بالزور من الرافضة ».
Imam Syafi’i: Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih pendusta daripada orang Syi’ah.
« هم الذين يتبرؤون من أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم ، ويسبونهم، وينتقصونهم ، ويكفرون الأئمة إلا أربعة : علي ، وعمار ، والمقداد ، وسلمان ، وليست الرافضة من الإسلام في شيء ».
Imam Ahmad bin Hanbal: Golongan yang menyatakan dirinya berlepas diri dari sahabat-sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, memaki mereka, merendahkan martabat mereka dan menyatakan para sahabat semua kafir kecuali 4 orang: Ali, Ammar, Miqdad dan Salman yang disebut golongan Syi’ah ataupun Rafidhah mereka bukan golongan Islam.
« ما أبالي صليت خلف الجهمي والرافضي ، أم صليت خلف اليهود والنصارى ، ولا يسلم عليهم ولا يعادون أي لا يزارون في مرضهم ولا يناكحون ولا يُشهدون ، أي لا تُشهد جنائزهم لأنهم ماتوا على غير ملة الإسلام ، ولا تؤكل ذبائحهم ».
Imam Bukhari: Menurut saya, shalat di belakang imam yang beraqidah Jahmiyah atau Syi’ah sama saja hukumnya dengan shalat di belakang imam yang beragama Yahudi atau Nasrani, tidak sah. Orang Islam tidak boleh memberi salam kepada Syi’ah, menjenguknya ketika sakit atau menikah dengan mereka, atau menghadiri jenazah mereka karena mereka bukanlah golongan Islam. Dan hewan yang disembelih oleh golongan Syi’ah tidak halal dimakan.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda