Jumat, 02 Januari 2015

legenda yang ada di trenggalek



















DICERITAKANLAH PADA JAMAN DAHULU ADA SEORANG BERNAMA RANGGA PESU. KETIKA MUDANYA IA BERNAMA RADEN WASITA. IA SEORANG KETURUNAN BAYAT .PADA SUATU HARI RADEN WASITA DIPAKSA AYAHANDA­NYA MENIKAH DENGAN SEORANG PUTRI KEDIRI YANG BERASAL DARI DAERAH GU­NUNG KELUT. ADA DUA ORANG, PUTRI BERASAL DARI GUNUNG KELUT INI, YANG SEORANG CANTIK RUPANYA SEDANG SEORANG YANG LAIN CACAT TUBUHNYA. OLEH KARENA SALAH TAFSIR, MENGIRA BAHWA PUTRI GUNUNG KELUT CACAT TUBUHNYA, MAKA RADEN WASITA MENOLAK. IA DIMARAHI TETAPI IA TETAP PADA PENDIRI­ANNYA, TIDAK MAU MENIKAHINYA. AKHIRNYA IA DIUSIR DAN PERGILAH IA DENGAN BERSEDIH HATI, KE ARAH TIMUR TANPA TUJUAN YANG JELAS UNTUK BUNUH DIRI. KEMUDIAN TIBALAH IA PADA SEBUAH TEMPAT DI KEDUNG. TANAH DAERAH ITU SUBUR DAN KEHIDUPAN PENDUDUKNYA TERLIHAT TENTERAM DAN DAMAI. NAMA LENGKAP DAERAH ITU ADALAH KEDUNG BAKUNG. KETIKA ITU YANG MEN­JADI RAJA ADALAH MENAK SOPAL. RADEN WASITA MENGHADAP MENAK SOPAL MENANYAKAN DAERAH HUTAN YANG PALING ANGKER YANG PASTI MATI JIKA MANU­SIA MENDEKATINYA.

Menak Sopal memberi petunjuk bahwa hutan yang paling angker adalah di daerah selatan Kedung Bakung, ditandai oleh pohon benda. Sejenis pohon kluwih atau sukun. Ada dua batang pohon benda yang tinggi dan besar tegak berdampingan di hutan yang angker itu. Kemudian berangkatlah Raden Wasita menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh Menak Sopal. Ia sudah diingatkan, jika menuju kehutan yang dikehen­daki itu agar tidak melewati arah timur, sebab di sebelah timur terdapat banyak rawa, tetapi melalui arah Barat yang mudah dilalui. Raden Wasita mendengar apa yang dikatakan itu, lewat melalui arah barat. Perja­lanan Raden Wasita harus melalui duri yang kedap di hutan belantara yang amat lebat dan angker, manusia yang mendekat akan mati. Hutan itu adalah tempat makhluk halus, seperti banaspati, jin, setan, gendruwo. Tetapi ketika ia tiba di situ makhluk-makhluk halus itu malahan melari­kan diri ketakutan. Ia menetap di situ karena menginginkan kematian. Tetapi keinginannya itu belum diijinkan oleh Yang Maha Kuasa.
Pada suatu hari Raden Wasita naik ke puncak sebuah gunung, na­ik melalui lerengnya, dengan merangkak-rangkak, akhirnya ia sampai di puncak gunung itu. Gunung itu bernama gunung Tunon, sekarang di­sebut Manikara. Setelah tiba di puncak gunung itu, Raden Wasita amat terkejut, sebab ia tidak mengira sama sekali bahwa ia di puncak gunung itu akan di jumpai seorang puteri yang sedang bertapa. Puteri itu buta dan sedang hamil, sehingga timbullah rasa belas kasihannya. Raden Wasi­ta kemudian mengawasi dan menunggui sampai puteri itu melahirkan. Ketika puteri itu akan melahirkan, dibawanya turun dari puncak gunung itu. Sesudah bayi itu lahir dan sesudah 40 hari putri itu dibawa kembali ke puncak gunung Tunon tersebut. Tempat terjadinya peristiwa itu se­karang masih ada dan oleh penduduk sekitarnya tempat itu tetap di­peringati dan disebut punden atau tempat yang keramat.
Dikisahkanlah pada suatu hari dari puncak gunung itu Raden Wasita melihat daerah di sebelah Barat, yaitu termasuk daerah Panaraga, nam­pak sebuah telaga yang jernih airnya, dan berkilauan. Telaga itu adalah tempat mandi para bidadari. Raden Wasita,.selaku orang muda ingin mengetahui siapa bidadari yang mandi di telaga itu, tetapi ia harus ber­hati-hati dalam mendekatinya. Ia pun mencari akal, dan keputusannya adalah mencari tempat untuk “ngenger” di daerah di sekitar telaga.
Raden Wasita berhasil “ngenger mbok Randa Kuning”. Ia tidak hanya diterima, tetapi diakui sebagai anak oleh janda tua itu. Pekerja­annya setiap harinya selain bertani, juga menggembalakan kambing. Dan pekerjaan kedua ini agaknya adalah kesempatan yang baik bagi Raden Wasita untuk dapat mendekati telaga-telaga itu. Setiap menggem­bala, kambingnya dibentak dan diarahkan mendekati telaga itu. Raden Wasita berhasil menyelinap dan dapat mendekati telaga itu, bahkan berhasil mendekati tempat para bidadari yang sedang mandi di telaga itu, Ia mencuri pakaian para bidadari yang sedang mandi itu, tetapi ketahuan Raden Wasita dikutuk oleh para bidadari itu agar menjadi tugu, dan Raden Wasita pun menjadi tugulah, tidak dapat bergerak lagi. Kemudian para bidadari itu mengambil pakaian mereka, dan kembali ke Kayangan.
Raden Wasita telah menjadi tugu, tegak di tengah-tengah padang. Embok Randa Kuning kebingungan mencari anaknya yang belum pulang pulang juga. Karena itu ia mencarinya dengan memperhatikan kambing­nya yang mengembik-embik. Sesudah ditemukan ia tercenggang karena Raden Wasita telah menjadi tugu. Embok Randa kemudian memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar anaknya dapat kembali hidup seperti semula. Permohonannya ternyata dikabulkan. Raden Wasita kembali seperti semula lalu pulanglah ia bersama embok dan kambing­nya.
Dengan pengalaman- itu rupanya ia tidak, bosan-bosan juga men­cari akal bagaimana supaya ia dapat mencuri pakaian para bidadari yang sedang mandi di telaga itu. Pada suatu hari Raden Wasita pun meng­gembalakan kambingnya di tepi telaga itu. Kali ini ia berhasil mencuri pakaian seorang bidadari, tetapi ketahuan juga dan ia pun melarikan diri. Tiba di dekat rumahnya ia menyelinap bersembunyi. Sang bidadari di­songsong oleh embok Randa lalu ditanyai, “Siapakah engkau ini ?” Mengapa engkau berlari-lari tanpa pakaian ? Apakah engkau tidak malu ?’ Bidadari itu menjawab dan minta dikasihani. “Aduh, Embok, saya se­dang mandi di telaga itu lalu pakaian saya dicuri seseorang. Orang itu saya kejar sampai di sini tetapi tidak saya temukan. Apakah Embok tahu orang itu ?” Demikianlah sang Bidadari mengharapkan belas kasih kepada Embok Randa. Timbullah rasa kasihan Embok Randa, lalu di­pinjaminya baju, kain, dan lain-lain kepada bidadari itu, dan ditawar­kan kepadanya untuk mau tinggal bersamanya.
Akhirnya Bidadari itu mau ikut kepadanya, dan oleh Embok Randa ia diangkat menjadi anak. Kemudian bertemulah ia dengan Raden Wasita yang akhirnya menjadi jodohnya. Pada suatu hari Raden Wasita bersama istrinya, sang Bidadari naik ke gunung Manikara atau gunung Tunon dengan maksud dapat menemui seseorang yang ada di gunung Tunon yang sudah lama tidak bertemu. Setelah berada di situ ia merasa betah di situ lalu menetap di.gunung Tunon. Beberapa lama kemudian Raden Wasita ketamuan seorang pemuda bernama Jigang Jaya, yaitu putra Menak Sopal. Jigang Jaya menceritakan bahwa oleh ayahnya, Menak Sopal ia dipaksa kawin. Ia tidak mau menerima kehendak ayahnya, kemudian ia diusir dari rumahnya.
Jigang Jaya lari ke selatan yaitu menuju ke puncak gunung Tunon. Keha­diran Jigang Jaya diterima oleh Raden Wasita dan dianggap sebagai saudaranya sendiri dan disuruh tinggal bersama-sama di gunung Tunon itu. Jigang Jaya menyanggupinya. Tiada lama kemudian dinikahkan oleh Raden Wasita dengan puteri Kedung Gali.
Sekarang kedung itu masih bernama Kedung Gali terletak di daerah Kampah. Setelah hidup bersama dengan puteri Kedung Gali, Jigang Jaya sekeluarga pindah menetap pada sebuah tempat bernama Kedung Sang­kal. Tempat ini sekarang disebut Ngudalan, menjadi tempat penyebe­rangan. Tempat itu merupakan “sendang” kecil yang airnya jernih dan selalu mengalir dan tidak pernah kering baik di musim kemarau maupun di musim hujan. Kembalilah kini kepada Raden Wasita yang tinggal di gunung Tunon. Kehidupannya di gunung Tunon tidak tenteram. Setelah be-rembug dengan keluarganya diputuskanlah untuk pindah tempat tinggal. Mereka pindah ke sebuah tempat bernama Pesu. Di situ Raden Wasita menemukan kebahagiaan. Para tetangga senang semuanya kepa­danya. Oleh karena itu Raden Wasita mendapat kehormatan. Ia diangkat menjadi pimpinan mereka menjadi “Rangga” di Pesu. Oleh sebab itu ia disebut Rangga Pesu. Kehidupannya bertambah tenteram dan baik.
Pada suatu hari sang Bidadari pergi ke sungai dengan maksud mencuci popok anaknya, karena ia mempunyai anak kecil. Ketika itu ia sedang masak. Sang suami disuruh menunggu rumah. Setelah istrinya pergi, timbullah pikiran pada Raden Wasita “E … La . . ., apa sebabnya ia memasak nasi seolah-olah amat dirahasiakan. Mengapa padi yang ber-lumbung-lumbung tidak berkurang juga”. Maka ketika ia membetulkan nyala api pemasak, dandang yang ia pakai untuk memasak nasi itu di­buka. Terlihatlah dalam kukusan pada dandang itu bukannya nasi me­lainkan padi yang masih bertangkai. “Oh …. begitulah cara istriku me­masak nasi, dengan padi yang” masih utuh, pikirnya”. Selanjutnya tutup dandang dikembalikan seperti semula, diatur baik-baik supaya tidak ke­tahuan. Sesudah pulang dari sungai mencuci-cuci, istrinya menuju ke dandangnya. Kiranya padinya masih utuh belum berubah menjadi nasi. Bertanyalah sang Istri pada sang Suami, “O . . . . Pak, apakah engkau membuka dandang ini ?” Dengan tergagap-gagap sang Suami menjawab, “Ti . . . Ti . . . dak, tetapi ingin tahu,” demikian jawabnya.
Lama-lama sang Suami pun mengaku, bahwa ia telah menengok dandang dengan maksud ingin mengetahui isinya. “Dengan kejadian ini engkau sebagai laki-laki telah berani membuka isi dandang, maka berarti kerahasiaan sudah tidak ada lagi. Oleh sebab itu engkau harus membuat lesung, antan dan sebagainya. Sekarang padi tidak bisa lagi menjadi nasi, tetapi harus menjadi beras dulu dengan cara menumbuk dengan alat-alat itu”.
Rangga Pesu kemudian membuatkan alat-alat yang digunakan untuk menumbuk padi menjadi beras. Sampai sekarang tempat itu masih ada yaitu di dukuh Pesu di daerah desa Karangreja, Kecamatan Kampah dan terdapat peninggalan berujud arca, antan dan lesung.
Pada suatu hari di dukuh tersebut diselenggarakanlah bermacam-macam keramaian, di antaranya adalah dengan bunyi-bunyian yang di­timbulkan oleh antan yang dipukulkan ke lesung yang bunyinya amat riuh. Karena lesung dan antan, timbunan padi di lumbung pun makin menipis dan akhirnya habis. Dan demikianlah terus berjalan dari lum­bung yang satu ke lumbung yang lain. Selanjutnya istri Rangga Pesu membersihkan lumbung itu. Tetapi alangkah terkejutnya ia ketika me­lihat lipatan pakaian yang indah. Sesudah diamati ternyata pakaian itu adalah miliknya dahulu yang hilang. Ia pun bertekad akan mengenakan pakaian itu kembali dengan maksud akan kembali ke langit. Ia merasa di dunia ini harus mandi keringat, bekerja keras, sedangkan di surga ia bersenang-senang dengan puteri lainnya. Padahal ia hidup bersama dengan Rangga Pesu telah mendapatkan tiga orang anak.
Pada suatu malam duduklah Rangga Pesu dengan isterinya. Kesem­patan baik ini digunakan oleh isterinya untuk berpamitan kembali ke Kayangan. Rangga Pesu sesungguhnya tidak mengijinkan, mengingat ketiga orang anaknya masih memerlukan perawatan. Lalu berkatalah sang Istri kepada sang Suami, “Anakku yang terkecil engkau embunkan saja setiap pagi. Pendek kata boleh atau pun tidak aku akan kembali ke langit.”
Sang Bidadari pun kembalilah ke Kayangan dan Rangga Pesu harus memelihara anaknya yang masih kecil-kecil.
Anak yang terkecil sesuai dengan pesan istrinya setiap pagi diembunkan di tengah halaman. Dalam merenungi nasibnya dan memikirkan mengapa istrinya berpamitan pulang ke langit itu, tiba-tiba ia terkejut. Ia ingat pakaian istrinya yang disembunyikan di lumbung. Dengan cepat Rangga Pesu lari ke lumbung dicarinyalah pakaian itu dari lumbung yang satu ke lumbung yang lain, tetapi tidak ditemukan. Akhirnya sadarlah Rangga Pesu bahwa pakaian itu telah dapat ditemukan oleh istrinya, sehingga istrinya kemudian berpamitan untuk kembali ke Kayangan. Berkatalah ia dalam hatinya, “Kalau begini betapa repotnya aku. Aku adalah se­orang laki-laki dan harus memelihara tiga orang anak yang masih kecil-kecil.
Bagaimana sebaiknya aku ini ?”
Pertanyaan itu bergema terus menerus sampai berhari-hari.
Terdengarlah oleh Rangga Pesu berita angin bahwa di daerah selatan yaitu di Gua Ngerit ada seorang putri sedang bertapa. Menurut cerita dari mulut ke mulut ia adalah seorang bidadari yang turun ke bumi “Kira-kira ia adalah ibunya anak-anak ini yang sedang bertapa di situ. Ada kemungkinan dia tidak diterima di Kayangan lalu ia bertapa di situ,” demikian kata hatinya. Akhirnya bulatlah tekadnya akan memperistri sang petapa itu. Rangga Pesu pun berangkat menuju ke Gua Ngerit.
Dan setelah beberapa lama kemudian akhirnya Rangga Pesu menikah dengan wanita pertapa tersebut.Keduanya membimbing ketiga anak dengan berbagai ilmu kedigdayaan dan mengabdi pada Kesultanan di bawah Kadipaten Ponorogo.

3 komentar: