Senin, 12 Januari 2015

mengenal pusaka Kraton

Pusoko di Keraton Ngayogjokarto Hadiningrat disebut sebagai Kagungan Dalem (harfiah=milik Raja) yang dianggap memiliki kekuatan magis atau peninggalan keramat yang diwarisi dari generasi-generasi awal. Kekuatan dan kekeramatan dari pusaka memiliki hubungan dengan asal usulnya, keadaan masa lalu dari pemilik sebelumnya atau dari perannya dalam kejadian bersejarah.

Dalam lingkungan Keraton, pusaka dapat dalam bentuk baik benda nyata ataupun pesan yang terdapat dalam sesuatu yang lebih abstrak seperti penampilan. Baik nilai sejarah spiritual dan fungsional berdekatan dengan Sultan dan kebijaksanaanya. Pusaka merupakan sebuah aspek budaya Keraton Yogyakarta. Sebagai sebuah lembaga yang terdiri dari Sultan dan keluarganya, termasuk keluarga besarnya yang disebut dengan trah, dan pejabat/pegawai Kerajaan/istana, 

Keraton memiliki peraturan mengenai hak resmi atas orang yang akan mewarisi benda pusaka. Pusaka memiliki kedudukan yang kuat dan orang luar selain di atas tidak dapat dengan mudah mewarisinya. Keberadaaannya sebanding dengan Keraton itu sendiri.

Benda-benda pusaka keraton memiliki nama tertentu. Sebagai contoh adalah Kyai Permili, sebuah kereta kuda yang digunakan untuk mengangkut abdi-Dalem Manggung yang membawa Regalia. 
Selain nama pusaka tersebut mempunyai gelar dan kedudukan tertentu, tergantung jauh atau dekatnya hubungan dengan Sultan. Seluruh pusaka yang menjadi inventaris Sultan (Sultan’s property) dalam jabatannya diberi gelar Kyai jika bersifat maskulin atau Nyai jika bersifat feminin, misalnya Kyai Danumoyo sebuah guci tembikar, yang konon berasal dari Palembang, yang kini berada di Pemakaman Raja-raja di Imogiri.

Apabila pusaka tersebut sedang/pernah digunakan oleh Sultan, maupun dipinjamkan kepada orang tertentu karena jabatannya diberi tambahan gelar Kanjeng sehingga selengkapnya bergelar Kanjeng Kyai (KK) atau Kangjeng Nyai (KNy). Sebagai contoh adalah Kanjeng Nyai Jimat, sebuah kereta kuda yang dipergunakan oleh Sultan HB I - Sultan HB IV sebagai kendaraan resmi (sebanding dengan mobil dengan plat nomor polisi Indonesia 1 sebagai kendaran resmi Presiden RI dan merupakan kereta terkeramat dari Keraton Yogyakarta.

Beberapa pusaka yang menempati kedudukan tertinggi dan dipercaya memiliki kekuatan paling magis mendapat tambahan gelar Ageng sehingga selengkapnya bergelar Kanjeng Kyai Ageng (KKA). Salah satu pusaka tersebut adalah KKA Pleret, sebuah tombak yang konon pernah digunakan oleh Panembahan Senopati untuk membunuh Arya Penangsang. Tombak ini kini menjadi pusaka terkeramat di keraton Yogyakarta dan mendapat kehormatan setara dengan kehormatan Sultan sendiri. Penghormatan terhadap KKA Pleret ini telah dimulai sejak Panembahan Senopati. Sebagai simbol rasa Syukur karena dengan Wasilah Tombak Tersebut bisa mengalahkan Haryo Penangsang dan mendapatkan hadiah Bumi Mentaok.

Wujud benda pusaka di Keraton Yogyakarta bermacam-macam. Benda-benda tersebut dapat dikelompokkan menjadi: 
(1) Senjata tajam; 
(2) Bendera dan Panji kebesaran; 
(3) Perlengkapan Kebesaran; 
(4) Alat-alat musik; 
(5) Alat-alat transportasi; 
(6) Manuskrip, babad (kronik) berbagai karya tulis lain yang berkaitan dengan sejarah;
(7) Perlengkapan sehari-hari; dan 
(8) Lain-lain. 

Pusaka dalam bentuk senjata tajam diantaranya berupa tombak Kanjeng Kyai Gadatapan (Sebuah Tombak yang pada masa Perjuangan Pangeran Mangkubumi digunakan dalam peperangan di Bagelen)  dan Kanjeng Kyai Gadawedana, sebagai  pendamping Kanjeng Kyai Ageng Plered . Serta Tombak Kanjeng Kyai Wijoyo Kusumo dll.

Keris Kanjeng Kyai Kopek (Sebilah keris berdapur Jalak yang riwayat nya pemberian Sunan Kalijogo sebagai simbol berdirinya Mataram) Kanjeng Kyai Bathang Gajah. Kanjeng Kyai Maheso Gendari dll.

Pedang Kanjeng Kyai Pengarab-arab, untuk eksekusi mati narapidana dengan pemenggalan kepala dan Pedang Kanjeng Kyai Mangunoneng, pedang yang digunakan untuk memenggal seorang pemberontak, Tumenggung Mangunoneng.

Pusaka dalam bentuk bendera/panji misalnya Kanjeng Kyai Pujo dan Kanjeng Kyai Puji. Kanjeng Tunggul Wulung. 
Pusaka yang digunakan sebagai perlengkapan kebesaran terdiri dari satu set regalia kerajaan yang disebut Kanjeng Kyai  Upocorodan satu set lambang kebesaran Sultan yang disebut Kanjeng Kyai Ampilan serta perlengkapan Baju Kebesaran (Mahkota, sumping.akik [cicin dengan mata dari batu mulia] dan lain sebagainya).

Pusaka dalam kelompok alat-alat musik dapat berupa set gamelan (misal Kanjeng Kyai Kancil Belik yang berbentuk Gong) maupun alat musik tersendiri (misal cymbal Kanjeng Kyai Udan Arum dan Kanjeng Kyai Tundhung Mungsuh). [hiasan telinga], baju kebesaran,

Pusaka dalam golongan alat-alat transportasi dapat berupa kereta kuda maupun yang lain (misal tandu yang pernah digunakan oleh Sultan HB I, Kanjeng Kyai Tandu Lawak, dan pelana kuda yang disebut Kanjeng Kyai Cekathak). 
Benda pusaka dalam kelompok Manuskrip antara lain adalah Kanjeng Kyai Suryaraja (buku matahari raja-raja) yang dikarang oleh Sultan HB II semasa beliau masih menjadi putra mahkota, Kanjeng Kyai Alquran yang berupa manuskrip kitab suci Al - Qur'an Peninggalan Panembahan Senopati beserta tafsirnya dan Kanjeng Kyai Bharatayudha yang berupa ceritera wayang.

Pusaka dalam bentuk perlengkapan sehari-hari misalnya Ny Mrico, sebuah periuk yang hanya digunakan untuk menanak nasi saat upacara Garebeg Mulud tahun Dal (terjadi hanya delapan tahun sekali). 
Pusaka kelompok lain-lain misalnya wayang kulit tokoh tertentu (misalnya KK Jayaningrum [tokoh Arjuna], KK Jimat [tokoh Yudhistira], dan KK Wahyu Kusumo[tokoh Batara Guru]) maupun tembikar (misalnya K Danumurti sebuah enceh/kong (guci tembikar), yang konon berasal dari Aceh, yang juga terdapat di pemakaman Imogiri) dan lain sebagainya.

Regalia
Regalia merupakan pusaka yang menyimbolkan karakter Sultan Yogyakarta dalam memimpin negara berikut rakyatnya. Regalia yang dimiliki terdiri dari berbagai benda yang memiliki makna tersendiri yang kesemuanya secara bersama-sama disebut KK Upocoro. Macam benda dan dan maknanya sebagai berikut:
Banyak (berwujud angsa yang terbuat dari emas) menyimbolkan kelurusan, kejujuran, serta kesiap siagaan serta ketajaman;
Dhalang (berwujud kijang yang terbuat dari emas) menyimbolkan kecerdasan dan ketangkasan;
Sawung (berwujud ayam jantan dari Emas) menyimbolkan kejantanan dan rasa tanggung jawab;
Galing (berwujud burung merak jantan dari emas) menyimbolkan kemuliaan, keagungan, dan keindahan;
Hardawalika (berwujud raja ular naga dari emas) menyimbolkan kekuatan;
Kutuk (berwujud kotak uang peninggalan walisongo) menyimbolkan kemurahan hati dan kedermawanan;
Kacu Mas (berwujud tempat saputangan emas pemberian sultan usmani Turki)  menyimbolkan kesucian dan kemurnian;
Kandhil (berwujud lentera minyak) menyimbolkan penerangan dan pencerahan; dan
Cepuri (berwujud nampan sirih pinang), Wadhah Ses(berwujud kotak rokok), dan Kecohan (berwujud tempat meludah sirih pinang) menyimbolkan proses membuat keputusan/kebijakan negara.
KK Upocoro selalu ditempatkan di belakang Sultan saat upacara resmi kenegaraan (state ceremony) dilangsungkan. Pusaka ini dibawa oleh sekelompok gadis remaja yang disebut dengan abdi-Dalem Manggung.

Lambang kebesaran

Kanjeng Kyai Ampilan sebenarnya merupakan satu set benda-benda penanda martabat Sultan. Benda-benda tersebut adalah Dampar Kencana (singgasana emas) berikut Pancadan/Amparan (tempat tumpuan kaki Sultan di muka singgasana) dan Dampar Cepuri (untuk meletakkan seperangkat sirih pinang di sebelah kanan singgasana Sultan); 
Panah (anak panah); 
Gendhewa (busur panah); 
Pedang; Tameng (perisai); 
Elar Badhak (kipas dari bulu merak); 
Kanjeng Kyai Alquran (manuskrip Kitab Suci tulisan tangan); 
Sajadah (karpet/tikar ibadah); 
Songsong (payung kebesaran); 
dan beberapa Tombak. 
KK Ampilan ini selalu berada di sekitar Sultan saat upacara resmi kerajaan (royal ceremony) diselenggarakan. Berbeda dengan KK Upocoro, pusaka KK Ampilan dibawa oleh sekelompok ibu-ibu/nenek-nenek yang sudah menopause.

Gamelan

Gamelan merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa. Orkestra ini memiliki tangga nada pentatonis dalam sistem skala slendro dan sistem skala pelog. 
Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 18-19 set ansambel gamelan pusaka, 16 diantaranya digunakan sedangkan sisanya (KK Bremoro dan KK Panji) dalam kondisi yang kurang baik. 
Setiap gamelan memiliki nama kehormatan sebagaimana sepantasnya pusaka yang sakral. 
Tiga buah gamelan dari berasal dari zaman sebelum Perjanjian Giyanti dan lima belas sisanya berasal dari zaman Kasultanan Yogya. 
Tiga gamelan tersebut adalah 
Gamelan monggang yang bernama Kanjeng Kyai Guntur Laut, 
Gamelan kodhok ngorek yang bernama Kanjeng Kyai Maeso Ganggang,  
Gamelan sekati yang bernama Kanjeng Kyai  Guntur Madu. 
Ketiganya merupakan gamelan terkeramat dan hanya dimainkan/dibunyikan pada even-even tertentu saja.

Gamelan monggang KK Guntur Laut konon berasal dari zaman Majapahit. 
Gamelan yang dapat dikatakan paling sakral di Keraton ini merupakan sebuah ansambel sederhana yang terdiri dari tiga buah nada dalam sistem skala slendro. 
Pada zamannya gamelan ini hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang sangat penting yaitu upacara pelantikan/pemahkotaan Sultan, mengiringi keberangkatan Sultan dari istana untuk menghadiri upacara penting, perayaan maleman (upacara pada malam tanggal 21,23,25, 27 dan 29 bulan Romadhon), pernikahan kerajaan, upacara garebeg, dan upacara pemakaman Sultan. 
Gamelan ini memiliki nilai sejarah penting. Atas perkenan Sunan PB II KK Guntur laut dimainkan saat penyambutan Sri Sultan HB I pada penandatanganan Perjanjian Giyanti di tahun 1755.

Kanjeng Kyai Maeso Ganggang juga merupakan gamelan kuno yang konon juga berasal dari zaman Majapahit. 
Gamelan kodhok ngorek ini juga menggunakan sistem skala slendro. Gamelan ini didapatkan oleh Pangeran Mangkubumi dari Perjanjian Giyanti. Penggunaannya juga sangat sakral dan selalu dimainkan pada upacara kenegaraan seperti upacara pemahkotaan Sultan dan pernikahan kerajaan. 
Gamelan nomor dua di Keraton ini juga dimainkan dalam peringatan ulang tahun Sultan, upacara sunatan putra Sultan, dan untuk megiringi prosesi Gunungan ke Masjid Gede.

Gamelan sekati Kanjeng Kyai Guntur Madu dimainkan di Pagongan Kidul saat Upacara Sekaten, serta dalam upacara sunatan dan pernikahan Putra Mahkota. 
Konon gamelan ini berasal dari zaman Kasultanan Demak. Versi lain mengatakan alat musik ini buatan Sultan Agung saat memerintah Kerajaan Mataram. 
Gamelan ini menjadi milik Kesultanan Yogyakarta setelah perjanjian Giyanti sementara pasangannya KK Guntur Sari menjadi milik Kasunanan Surakarta.
.
Agar gamelan sekati ini tetap berjumlah sepasang maka dibuatlah duplikatnya (jw. dipun putrani) dan diberi nama KK Naga Wilaga yang dibunyikan di Pagongan Utara. Kekhususan gamelan ini adalah bentuknya yang lebih besar dari gamelan umumnya dan instrumen kendhang (gendang) yang mencerminkan Hinduisme digantikan oleh bedug kecil (dianggap mencerminkan Islam).

KK Guntur Sari dipergunakan untuk mengiringi Beksan Lawung, sebuah tarian sakral, pada upacara pernikahan putra Sultan. KK Surak diperdengarkan untuk mengiringi uyon-uyon (lagu-lagu tradisional Jawa), tari-tarian, dan wayang kulit. Gamelan-gamelan ada yang berpasangan secara khusus antara lain KK Harja Nagara (dalam skala slendro) dengan KK Harja Mulya(dalam skala pelog) dan KK Madu Murti (dalam skala slendro) dengan KK Madu Kusumo (dalam skala pelog).

Kereta kuda pilihan

Pada zamannya kereta kuda merupakan alat transportasi penting bagi masyarakat tak terkecuali Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta memiliki bermacam kereta kuda mulai dari kereta untuk bersantai dalam acara non formal sampai kereta kebesaran yang digunakan secara resmi oleh raja. Kereta kebesaran tersebut sebanding dengan mobil berplat nopol Indonesia 1 atau Indonesia 2 (mobil resmi presiden dan wakil presiden Indonesia). Kebanyakan kereta kuda adalah buatan Eropa terutama Negeri Belanda walaupun ada beberapa yang dibuat di Roto Wijayan (misal KK Jetayu).

KNy Jimat merupakan kereta kebesaran Sultan HB I sampai dengan Sultan HB IV. Kereta kuda ini merupakan pemberian Gubernur Jenderal Jacob Mossel. 
KK Garudho Yakso merupakan kereta kebesaran Sultan HB VI sampai X (walaupun dalam kenyataannya Sultan HB IX dan HB X sudah menggunakan mobil). Kereta kuda buatan Deen Haag tahun  1861 ini terakhir kali digunakan pada tahun1989, saat prosesi Kirab Jumenengan Dalem (perarakan pemahkotaan raja). 
KK Wimono Putro adalah kereta yang digunakan oleh Pangeran Adipati Anom (Putra Mahkota). KK Jetayu merupakan kendaraan yang digunakan Sultan untuk menghadiri acara semi resmi. KK Roto Praloyomerupakan kereta jenazah yang hanya digunakan untuk membawa jenazah Sultan. Konon kereta ini baru digunakan dua kali yaitu pada saat pemakaman Sultan HB VII dan HB IX.

Kyai Harsunaba adalah kendaraan yang digunakan dalam resepsi pernikahan, sementara K Jongwiyat, K Manik Retno, K Jaladaradan K Mondro Juwolo kadang-kadang digunakan oleh Pangeran Diponegoro

Selain itu juga terdapat kereta, K Noto Puro, K Roto Biru, K Kutho Kaharjo, K Puspo Manik, Rejo Pawoko, Landower Surabaya, Landower Wisman dan lain-lain. Masing-masing kereta tersebut memiliki kegunaan sendiri-sendiri.
Dan masih banyak lagi pusaka Kraton yang tidak berani untuk di tuliskan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar