Selasa, 13 Januari 2015

Sejarah Somolangu

Pondok  Somalangu Kebumen merupakan Pondok Pesantren yang telah terhitung cukup tua keberadaannya..
Karena Pondok Pesantren ini telah ada semenjak tahun 1475 M. Adapun tahun dan waktu berdirinya dapat kita ketahui diantaranya dari Prasasti Batu Zamrud Siberia (Emerald Fuchsite) berbobot 9 kg yang ada didalam Masjid Pondok Pesantren tersebut.

Sebagaimana diketahui menurut keterangan yang dihimpun oleh para ahli sejarah bahwa ciri khas Pondok Pesantren yang didirikan pada awal purmulaan islam masuk di Nusantara adalah bahwa didalam Pondok Pesantren itu dipastikan adanya sebuah Masjid. Dan pendirian Masjid ini sesuai dengan kebiasaan waktu itu adalah merupakan bagian daripada pendirian sebuah Pesantren yang terkait dengannya.

Prasasti yang mempunyai kandungan elemen kimia Al, Cr, H, K, O, dan Si ini bertuliskan huruf Jawa & Arab. Huruf Jawa menandai candra sengkalanya tahun. Sedangkan tulisan dalam huruf Arab adalah penjabaran dari candra sengkala tersebut. Terlihat jelas dalam angka tanggal yang tertera dengan huruf Arabic :“25 Sya’ban 879 H”

Ini artinya bahwa Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu resmi berdiri semenjak tanggal 25 Sya’ban 879 H atau bersamaan dengan Rabu, 4 Januari 1475 M.
Pendirinya adalah Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al_Hasani.

Beliau semula merupakan seorang tokoh ulama yang berasal dari Hadharamaut, Yaman. Lahir pada tanggal 15 Sya’ban 827 H di kampung Jamhar, Syihr. Datang ke Jawa tahun 852 H/1448 M pada masa pemerintahan Prabu Kertawijaya Majapahit atau Prabu Brawijaya I (1447 – 1451).
Jadi setelah 27 tahun pendaratannya di Jawa, Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani barulah mendirikan Pondok Pesantren Al_Kahfi Somalangu.

Biografi Pendiri

Nama aslinya adalah Sayid Muhammad ‘Ishom Al_Hasani.
Merupakan anak pertama dari 5 bersaudara. Ayahnya bernama Sayid Abdur_Rasyid bin Abdul Majid Al_Hasani, sedangkan ibunya bernama Syarifah Zulaikha binti Mahmud bin Abdullah bin Syekh Shahibuddin Al Huseini ‘Inath.
Ayah dari Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani adalah keturunan ke-22 Rasulullah saw dari Sayidina Hasan ra, melalui jalur Syekh As_Sayid Abdul Bar putera Syekh As_Sayid Abdul Qadir Al_Jaelani Al_Baghdadi.

Beliau datang dari Bagdad, Irak ke Hadharamaut atas permintaan Syekh As_Sayid Abdullah bin Abu Bakar Sakran (Al_Idrus Al_Akbar) untuk bersama – sama ahlibait nabi yang lain menanggulangi para ahli sihir di Hadharamaut.

Setelah para ahli sihir ini dapat dihancurkan, para ahlibait nabi tersebut kemudian bersama – sama membuat suatu perkampungan dibekas basis tinggalnya para ahli sihir itu.

Perkampungan ini kemudian diberi nama “Jamhar” sesuai dengan kebiasaan ahlibait waktu itu yang apabila menyebut sesamanya dengan istilah Jamhar sebagaimana sekarang apabila mereka menyebut sesamanya dengan istilah “Jama’ah”. Sedangkan wilayah tempat kampung itu berada kini lebih dikenal dengan nama daerah Syihr, Syihir, Syahar ataupun Syahr. Yaitu diambil dari kata “Sihir” (mengalami pergeseran bunyi dibelakang hari),
untuk menandakan bahwa dahulu wilayah tersebut memang sempat menjadi basis dari para ahli sihir Hadharamaut, Yaman.

Ayah dari Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-HAsani ini akhirnya tinggal, menetap dan wafat di Palestina, karena beliau diangkat menjadi Imam di Baitil Maqdis (Masjidil Aqsha). Di Palestina beliau masyhur dengan sebutan Syekh As_Sayid Abdur_Rasyid Al_Jamhari Al_Hasani. Makam beliau berada di komplek pemakaman imam – imam masjid Al_Quds.
Sedangkan 4 saudara Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al_Hasani yang lain tinggal serta menetap di Syihr, ‘Inath serta Ma’rib, Hadharamaut.

Sayid Muhammad ‘Ishom Al_Hasani semenjak usia 18 bulan telah dibimbing dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan keagamaan oleh guru beliau yang bernama Sayid Ja’far Al_Huseini, Inath dengan cara hidup didalam goa – goa di Yaman.
Oleh sang guru setelah dianggap cukup pembelajarannya, Sayid Muhammad ‘Ishom Al_Hasani kemudian diberi laqob (julukan) dengan Abdul Kahfi. Yang menurut sang guru artinya adalah orang yang pernah menyendiri beribadah kepada Allah swt dengan berdiam diri di goa selama bertahun – tahun lamanya.

Nama Abdul Kahfi inilah yang kemudian masyhur dan lebih mengenalkan pada sosok beliau daripada nama aslinya sendiri yaitu Muhammad ‘Ishom.

Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al_Hasani ketika berusia 17 tahun sempat menjadi panglima perang di Yaman selama 3 tahun. Setelah itu beliau tinggal di tanah Haram, Makkah. Kemudian Pada usia 24 tahun, beliau berangkat berdakwah ke Jawa.
Mendarat pertama kali di pantai Karang Bolong, kecamatan Buayan, Kabupaten Kebumen.

Setelah menaklukan dan mengislamkan Resi Dara Pundi di desa Candi Karanganyar, Kebumen lalu menundukkan Resi Candra Tirto serta Resi Dhanu Tirto di desa Candi Wulan dan desa Candimulyo kecamatan Kebumen,
beliau akhirnya masuk ke Somalangu.

Ditempat yang waktu itu masih hutan belantara ini, beliau hanya bermujahadah sebentar, mohon kepada Allah swt agar kelak tempat yang sekarang menjadi Pondok Pesantren Al_Kahfi Somalangu dapat dijadikan sebagai basis dakwah islamiyahnya yang penuh barokah dikemudian hari.

Selanjutnya beliau meneruskan perjalanannya ke arah Surabaya, Jawa Timur.
Di Surabaya, Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al_Hasani tinggal di Ampel. Ditempat itu beliau diterima oleh Sunan Ampel dan sempat membantu dakwah Sunan Ampel selama 3 tahun.

Kemudian atas permintaan Sunan Ampel, beliau diminta untuk membuka pesantren di Sayung, Demak. Setelah pesantren beliau di Sayung, Demak mulai berkembang Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani kemudian diminta oleh muballigh – muballigh islam di Kudus agar berkenan pindah dan mendirikan pesantren di Kudus.
Problem ini terjadi karena para muballigh islam yang telah lebih dahulu masuk di Kudus sempat kerepotan dalam mempertahankan dakwah islamiyahnya sehingga mereka merasa amat membutuhkan sekali kehadiran sosok beliau ditengah – tengah mereka agar dapat mempertahankan dakwah islamiyah di wilayah tersebut.

Setelah Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani tinggal di Kudus dan mendirikan pesantren ditempat itu, Sunan Ampel kemudian mengirim muridnya yang bernama Sayid Ja’far As_Shadiq belajar pada beliau di Kudus.

Tempat atsar pesantren Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani di Kudus ini sekarang lebih dikenal orang dengan nama “Masjid Bubrah”

Ketika berada di pesantren beliau ini, Sayid Ja’far As_Sahdiq sempat pula diminta oleh beliau untuk menimba ilmu pada ayah beliau yang berada di Al-Quds, Palestina yaitu Syekh As_Sayid Abdur Rasyid Al-Hasani.
Oleh karena itu setelah selesai belajar di Al-Quds, Palestina atas suka citanya sebagai rasa syukur kepada Allah Swt bersama Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani, Sayid Ja’far As_Shadiq kemudian mendirikan sebuah masjid yang ia berinama “Al-Aqsha”. Oleh Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani, Sayid Ja’far As_Sahadiq kemudian ditetapkan sebagai imam masjid tersebut dan Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani kemudian pindah ke Demak guna membantu perjuangan Sultan Hasan Al-Fatah Pangeran Jimbun Abdurrahman Khalifatullah Sayidin Panatagama di Kerajaan Islam Demak

Adapun nama Somalangu sendiri ada kisah Kata Somalangu muncul dari suatu ungkapan kalimat dalam bahasa Arab, yang diakhiri dengan kata “Tsumma Dha’u”.
Yang berarti “Silahkan anda menempati”.

Adapun awal muasalnya kata tersebut yaitu bermula dari titah R. Hasan Al-Fatah Sultan Demak pada waktu memberikan tanah perdikan kepada Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al_Hasani yang sekarang ditempati sebagai Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu.

Adapun pemberian ini merupakan suatu bentuk hadiah dari Sultan atas jasa Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani dalam membantu menemukan solusi pemecahan hukum yang timbul bagi para pengikut Syekh Siti Jenar dari akibat dikenai hukuman matinya sang pemimpin mereka.

Lengkap kisahnya begini ;

Syekh Siti Jenar adalah seorang tokoh pembawa ajaran tasawuf faham hulul atau wahdatul wujud pada masa pemerintahan Sultan Al-Fatah, Demak. Faham hulul ini dalam istilah Jawa dikenal sebagai faham “Manunggaling Kawulo Gusti”. Yaitu suatu faham tasawuf yang mengajarkan dapat terjadinya suatu keadaan penyatuan sifat - sifat ketuhanan pada diri seorang Salik (pengamal).

Aliran ini (Syekh Siti Jenar) ditentang oleh kebanyakan para tokoh ulama tasawuf yang menganut faham ‘wahdatus syuhud’. Yaitu faham yang menyatakan bahwa tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang Salik hanyalah berupa kemampuan mengetahui hal - hal yang dikehendaki oleh Allah Swt. Jadi Si Salik hanya mampu menjalankan apa yang dikehendaki oleh Allah Swt bukan bertindak sebagai “Tuhan”.

Karena faham mayoritas tasawuf kesultanan Demak waktu itu adalah faham wahdatus syuhud maka Syekh Siti Jenar ahirnya diadili oleh Majlis Ulama Kesultanan.
Vonis hukuman mati dijatuhkan pada Syekh Siti Jenar karena beliau tidak mau merubah faham atau setidak - tidaknya menghentikan faham yang diajarkannya itu pada ummat.

Pendek kisah, setelah Syekh Siti Jenar dikenai hukuman mati ahirnya muncul masalah sosial ditingkat lapis bawah masyarakat Kesultanan Demak. Mereka yang selama ini menjadi pengikut Syekh Siti jenar tetap beranggapan bahwa faham tasawuf yang mereka anut itu adalah benar dan mereka tetap bersikap tidak mau mengikuti faham mayoritas ummat islam. Para ulama menjadi jengah dengan sikap mereka itu.

Fatwa - fatwa liar pun bermunculan. Ada yang memfatwakan bahwa para pengikut Syekh Siti Jenar ini juga harus dihukum mati sebagaimana pemimpin mereka jika tidak bertaubat. Namun ada pula yang berfatwa bahwa para pengikut Syekh Siti Jenar itu cukup dibina saja.

Keadaan sosial keagamaan yang runyam ini berlangsung sampai beberapa saat, sehingga Kesultanan sampai mengkhawatirkan terjadinya instabilitas politik kenegaraan. Sebagai sebuah kesultanan Islam pertama di Jawa yang merasa bertanggung jawab pada keadaan warga serta stabilitas politik maka Sultan Demak R. Hasan Al-Fatah ahirnya memprakarsai perlunya pertemuan tokoh - tokoh ulama (Walisongo dan Ulama lainnya) dari seluruh seantero kesultanan Demak untuk memtuskan hukum persoalan faham “Manunggaling Kawulo Gusti” ini.

Muktamar Ulama itu ahirnya dilaksanakan dengan mengambil tempat di pusat Kesultanan Islam Demak yaitu di komplek Masjid Demak. Pada saat muktamar ini, hadir pula tokoh Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani.

Dalam Muktamar Ulama untuk “Bahsul Masail” soal faham “Manunggaling Kawulo Gusti” itu muncullah perdebatan yang cukup sengit antara mereka yang berpendapat bahwa pengikut Syekh Siti Jenar juga harus dikenai hukuman mati dengan kelompok ulama yang berargumen jika pengikut Syekh Sidi Jenar itu cukup dibina saja dan tidak perlu untuk sampai dihukum mati. Alasan serta dalil yang mereka ajukan sama - sama kuat.

Kelompok pertama berargumen para pengikut Syekh Siti Jenar itu harus dihukum mati pula sebagaimana pemimpinnya karena sang pemimpin dihukum mati juga sebab mengikuti dan mengajarkan faham “Manunggaling Kawulo Gusti” itu pada orang lain.
Oleh karenanya siapa saja yang mengikuti dan mengajarkan ajaran tersebut pada orang lain juga harus dikenai hukuman mati.

Sementara itu kelompok yang kedua mengajukan dasar jika pengikut Syekh Siti Jenar cukup dibina saja dan tidak perlu dihukum mati karena tingkat berfikir mereka yang belum sampai serta terbatas.
Sehingga mereka dalam mengikuti faham “Manunggaling Kawulo Gusti” itu tidak sama derajatnya dengan sang pemimpin. Oleh karenanya hukumannya-pun juga berbeda dengan yang memimpin.

Beda pendapat ini hampir - hampir saja menimbulkan persoalan baru dikalangan para tokoh ulama. Karenanya Sultan R. Hasan Al-Fatah segera meminta pendapat Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani tentang cara mengatasi persoalan pelik ini menurut beliau.

Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani yang semula hanya mendengarkan saja argumen masing - masing tokoh ulama dua kelompok tersebut ahirnya angkat bicara.
“Begini Sultan”
“Menurut pendapat saya, jika para tokoh ulama ini setuju mari kita kembalikan saja persoalan ini pada asal akar adanya persoalan”

Para hadirin diam dan seksama mendengarkan uraian beliau.

“Akar masalah faham hulul ini adalah masalah hakekat. Bukan masalah Syariat.”
“Sehingga menurut pendapat saya jika langsung diputusi dengan cara syariat tetapi mengabaikan unsur hakekatnya maka hasilnya akan selalu menimbulkan perselisihan”
“Yang terbaik menurut saya adalah mengembalikan hakekat masalah ini kepada Allah Swt dengan cara Syariat. Biarlah Allah Swt yang memutuskan langsung hukum seperti apa yang terbaik bagi para pengikut Syekh Siti Jenar.”

Sultan-pun bertanya, “Maksud Syaikh  bagaimana?”

“Jika Sultan setuju dan hadirin juga sepakat, saya usul marilah kita semua menulis pendapat kita masing - masing tentang hukuman apa yang perlu dijatuhkan pada para pengikut Syekh Siti Jenar pada sebuah deluwang dengan disertai dalil - dalilnya sesuai dengan keyakinan serta pengetahuan masing - masing”
“Agar hati kita terjaga keikhlasannya dalam memutuskan masalah ini dengan tanpa ada rasa kebencian pada suatu golongan maka alangkah baiknya agar tulisan pada deluwang itu tidak diketahui isinya selain dirinya sendiri dan Allah Swt.”

“Sesudah itu, tulisan - tulisan tersebut digulung dan dimasukkan dalam sebuah kendi”
“Baru sesudah semuanya selesai, silahkan salah satu diantara kita yang hadir disini berkenan untuk memimpin doa. Adapun isi doanya adalah jika Allah Swt lebih ridha apabila para pengikut Syekh Siti Jenar dihukum mati maka mohon Allah Swt berkenan menghapuskan tulisan - tulisan yang berisikan bahwa pengikut Syekh Siti Jenar cukup dibina saja. Demikian pula jika Allah Swt lebih ridha apabila para pengikut Syekh Sidi Jenar cukup dibina saja, maka mohon Allah Swt kiranya berkenan untuk menghapus seluruh tulisan yang berisikan bahwa para pengikut Syekh Sidi Jenar itu harus dihukum mati.”

Sultan R. Hasan Al-Fatah pun mengangguk - anggukkan kepalanya tanda memahami.

Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani kemudian melanjutkan lagi,

“Ketika salah satu diantara kita yang hadir disini memimpin doa, saya mohon semuanya untuk ikhlash mengamini.”

“Sesudah hal itu selesai, maka marilah tulisan - tulisan tersebut kita buka dan baca bersama - sama. Manakah yang terhapus dan manakah yang masih ada”

Ketika pendapat ini selesai diajukan, semua tokoh ulama sepakat untuk menerimanya. Sultan-pun ahirnya setuju. Karena cara pemecahan ini dianggap sebagai sebuah cara pemecahan terbaik.

Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani ahirnya yang ditunjuk untuk berdoa. Mungkin salah satu pertimbangannya adalah karena beliau tidak terlibat konflik pro - kontra pendapat pada sebelumnya.

Setelah doa dipanjatkan dan isi masing - masing deluwang yang ada dalam kendi itu dibuka, ternyata tulisan yang masih ada adalah tulisan - tulisan pendapat ulama yang menyatakan bahwa para pengikut Syekh Siti Jenar itu cukup dibina saja. Sementara tulisan - tulisan pendapat yang menyatakan bahwa para pengikut Syekh Sidi Jenar itu wajib dihukum mati hapus tak berbekas.

Karena semua ulama yang hadir ditempat tersebut memang ikhlas ahirnya menerima hasil tersebut dan bersujud syukur bersama dari kesalahan mengambil ketetapan hukum

Sultan R. Hasan Al-Fatah pun senang. Sebagai imbalan atas jasa dari Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani tersebut kemudian beliau memberikan titah atau Sabdo Pandito Ratunya dengan menghadiahkan tanah keberadaan Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani sebagai sebuah tanah perdikan.
Adapun cara Sultan R. Hasan Al-Fatah memberikan Sabdo Pandita Ratunya waktu itu dengan menggunakan bahasa Arab yang diakhiri dengan kalimat “Tsumma Dha’u” (ثُــمَّ ضَـعُّــوْا). Huruf “Wawu” pada kalimat tersebut menunjukkan wawu jama’ lit ta’dzim. Sehingga artinya “Silahkan anda menempati”. Adapun naskah lengkapnya ada dalam kepustakaan Pengsuh Pesantren Al-Kahfi Somalangu.

Untuk mengenang peristiwa ini, ketika sepulangnya Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani ketempat tinggalnya beliau ceritakan kejadian tersebut pada para siswa - siswa beliau.
Oleh karenanya akhirnya mereka mengingat - ingat peristiwa itu dengan ungkapan “Tsumma Dha’u”nya. Lama kelamaan berita ini tersiar ramai keberbagai tempat.
Ketika itu warga dan santri yang mayoritas masyarakat Jawa tulen dan belum fasih mengucap huruf tsa ( ث ) dan dhod ( ض ) ahirnya dalam menirukan ucapan terjadi salah ejaan. Kalimat tsu menjadi “So” dan dho menjadi “la”.
Salah ejaan dalam lidah masyarakat Jawa tempo dulu terhadap pelafadzan Arabic memang merupakan hal yang belum dapat dihindari. Kata yang seharusnya diucapkan “tsu” menjadi “So” dan “Dha” menjadi “la” adalah hal yg wajar dan umum terjadi. Contoh kata “Wudhu” menjadi Wulu. Dan kata “Tsurya” menjadi Surya. Dari sinilah maka akhirnya kata “Tsumma Dha’u” menjadi sebuah kata yang memunculkan nama Somalangu.

Daerah Somalangu sebelum ini dikenal masyarakat dengan nama daerah “Alang - Alang Wangi”. Adapun sebab musabab disebut dengan Alang - Alang Wangi adalah karena daun alang - alang yang digunakan sebagai atap Masjid Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu menurut kisahnya memgeluarkan bau harum yang mewangi.


 Dan kemudian hari pesantren ini di kenal sebagai pesantren al kahfi somalangu. umur beliau kurang lebih mencapai 182 tahun dalam mengasuh pondok pesantren al kahfi somalangu. Dan mengalami 4 zaman (akhir Mojopahit. Demak. Pajang dan awal Mataram)

Beliau  wafat pada malam jum'at 15 sya'ban 1018 hijriyah/12 november 1609 masehi. Dan di makamkan di bukit lemah lanang dan beliau lah orang pertama yang di makam kan di sana .

konon sebelum beliau datang di somalangu ada peradaban hindu terdapat candi lingga dan yoni dari abad ke-8M ,konon dulu banyak candi di somalangu yang sudah rusak dan sekrang tinggal 2,dan konon oleh warga somalangu candi ini hendak di guang di laut bersama sama tetapi apa yang terjadi candi ini muncul kembali di situ,dan sekrang jadi cagar budaya.

Pondok Pesntren al kahfi pernah di kunjungi oleh Hang Tuah seorang ulama keturunan cina melayu yang datang di Somalangu ketika dari Mojopahit.

Konon cerita menurut para sesepuh di desa di somalangu sewaktu penjajahan belanda,masjid al kahfi somalangu tidak terlihat oleh pasukan belanda dan mereka mengira tidak ada apa-apa.
banyak tokoh terkenal yang pada masanya yang mondok di al kahfi somalangu seperti putra2 Demak. Djoko Tingkir. Panembahan Senopati. Pangeran Singosari. Pangeran Purboyo. Pangeran Juminah. Sultan Agung Adipati Arungbinang, Pngeran Diponegoro pernah mondok di Alkahfi somalangu,juga mbah kh Dalhar watu congol.

masjid al kahfi masih seperti dulu bangunanya hanya tembok dan halaman yang di renovasi,mustaka dan tiang masjid masih asli seperti dulu.konon atap masjid dulu menggunakan daun illalang yang mengelurkan bau wangi karna dulu daerah somalangu di kenal sebagai alang alang wangi. Di Somalangu banyak terdapat rumah-rumah kuno zaman dulu yang masih ada dan di sana ada juga joglo.dan konon di sungai ada penunggunya yaitu Sarasuta,

Menurut para warga yang percaya, peninggalan syekh Abdul Kahfi yaitu kolam tempat wudu yang konon dulu rumah syekh Abdul Kahfi,rumah panggung yang biasanya santri menyebut bangkongreang, di pintu tertulis kyai bongkong yang konon dapat berubah menjadi kodok(sebutan orang jawa untuk katak).
Di utara masjid juga ada mulangan tempat syekh Abdul Kahfi mengajar dulu.
Dan di sebelah selatan masjid ada bekas rumah yang hanya tersisah puing-puing dan pondasinya saja ,konon bekas rumah Abdul Kahfi awal

Syekh Abdul Kahfi Tsani adalah pendiri Ponpes Somalangu Kebumen periode ke 2, setelah sebelumnya pernah berdiri pondok Somalangu Kuno yang didirikan oleh Syekh Abdul Kahfi Awal pada masa pemerintahan Panembahan Senopati ( raja pertama Mataram Islam ) yang sepeninggal Beliau kemudian hilang dimakan zaman seiring dengan tidak adanya regenerasi pada waktu itu ( Fatroh ) dan juga karena bentuk bangunan yang masih sangat sederhana.

Syekh Kahfi Tsani adalah salah seorang putra dari Syaikh Marwan "Ali Menawi " bin Syaikh Zaenal Abidin Banjursari Buluspesantren bin Syekh Yusuf Buluspesantren bin. Syaikh Djawahir bin Syaik Muhtarom bin Syaikh Abdul Kahfi Awal.

Sejak kecil, Abdul Kahfi dititipkan oleh ayahnya di Pondok milik Sayyid Taslim Tirip Purworejo bin Tolabudin bin Sayyid Muh. Alim Basaiban Bulus Purworejo.

Di sana Abdul Kahfi dididik berbagai ilmu tentang Islam. Karena sejak kecil sudah di asuh oleh Sayyid Taslim, maka tidak heran jika Beliau juga sudah dianggap seperti anaknya sendiri, sehingga pada waktu khitan pun, keluarga Sayyid Taslim lah yang mengkhitan Beliau.

Setelah dewasa, Sayyid Taslim melarang Abdul Kahfi untuk tetap bermukim di Tirip, sebab menurut Beliau, bukan di Tirip lah seharusnya Abdul Kahfi hidup karena Sayyid Taslim yakin bahwa kelak Abdul Kahfi akan menjadi seorang ulama besar di daerah asalnya seperti Leluhurnya dahulu.

Selanjutnya Sayyid Taslim mengantar Abdul Kahfi pulang ke Kebumen, akan tetapi bukan diantar pulang ke Banjursari ( tempat orangtuanya ) melainkan ke desa Somalangu. Sesampainya di desa Somalangu, Sayyid Taslim memberitahukan kepada Abdul Kahfi bahwa didesa inilah dahulu pendahulunya ( Syekh Kahfi Awal ) bermukim dan mendirikan Pondok.

Sayyid Taslim juga memberitahukan bekas Pondok Syekh Kahfi Awal yang pada waktu itu sudah tinggal pondasinya saja. Lokasi tersebut saat itu barada di atas tanah yang telah menjadi milik salah seorang penduduk setempat. Tanah tersebut kemudian dibeli oleh Sayyid Taslim dari pemilik waktu itu dan memberikannya kepada murid kesayangan Beliau yang sudah seperti putranya sendiri itu dan berpesan agar Abdul Kahfi bermukim ditempat itu dan membangun kembali pondok untuk meneruskan syiar Islam pendahulunya.

Sejak itulah pondok Somalangu baru ( periode ke 2 ) berdiri. Untuk membedakan maka kemudian ditambahlah nama "Awal " di belakang Abdul Kahfi pendiri pondok pertama dan nama " Tsani " di belakang Abdul Kahfi pendiri pondok ke 2.

1 komentar:

  1. Subhanallah, terimakasih banyak atas posting artikel ini. Sangat membantu saya. Jazakallahu khoiron katsiro.

    BalasHapus