Senin, 26 Januari 2015

Sejarah Wadaslintang

Waduk Wadaslintang, merupakan objek wisata yang cukup unik. Karena letaknya diperbatasan Kabupaten Kebumen dan Wonosobo,Jawa Tengah. Daerahnya berudara sejuk, dengan panorama alam pegunungan di sekitarnya yang begitu alami. Sehingga cocok sebagai tempat rekreasi bagi kawula muda maupun keluarga. 

Disebut menarik, karena sebagian genangan air masuk wilayah Wonosobo. Sungai utama yang dibendung yakni Sungai Bedegolan. Sedangkan sekitar 113 ha, termasuk kantor dan lokasi bendung, PLTA beserta dua saluran induk masuk ke Wilayah Kebumen. 

Pada hari Minggu dan hari-hari libur, dipastikan padat oleh hadirnya wisatawan domestik. Bagi yang berhobi berat memancing sangat cocok, karena berkemah di alam bebas, situasinya sangat cocok. 

Waduk Wadaslintang dibangun cukup lama, sekitar 7 tahun. Arealnya di lembah yang cukup curam tapi pemandangannya mengasyikkan. Tanah yang diperlukan untuk kawasan waduk tersebut mencapai 2.626 ha. Sehingga pada awal pembangunannya harus memindahkan sekitar 7.000 penduduk di perbatasan Kabupaten Kebumen-Wonosobo di eks Karesidenan Kedu. Genangan airnya mencakup sembilan desa di sana 

Waduk Wadaslintang dilaksanakan oleh kontraktor Hydro Resource Coorporation Filipina, bekerja sama dengan PT Brantas Abipraya. Mulai dikerjakan tahun 1982, dan diresmikan oleh Presiden Soeharto awal tahun 1988.

Konstruksi beton bendungan tersebut dikagumi banyak pakar dari negara asing, dan diproyeksikan mampu berusia sampai sekitar 200 tahun. Waduk Wadaslintang termasuk cukup dalam. Tinggi bendungan 116 m lebar 10 m dan panjang 650 m, berisi air maksimal 443 juta M3. 

Kini, Waduk Wadaslintang benar-benar tidak saja berfungsi sebagai tempat wisata. Tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk olah raga air, serta yang lebih utama manfaatnya di bidang irigasi. Sebab, waduk tersebut mampu mensuplai kebutuhan irigasi bagi areal persawahan di daerah Kebumen dan Purworejo seluas 30.345 hektar sepanjang tahun. Dampak lansung mampu memberikan tambahan hasil sekitar 210.000 ton beras setahun. 

Sebagai catatan, dewasa ini dua daerah pertanian, Kebumen dan Purworejo, mampu menjadi salah satu lumbung padinya Jawa Tengah. Kebumen dengan dukungan irigasi Waduk Wadaslintang dan Sempor, mampu surplus beras 150 ribu ton per tahun. Sedangkan Purworejo mampu surplus beras 110.000 ton per tahun. Pola tanamannyadua kali padi dan sekali palawija. Dampak dari keberadaan wadk tersebut sepanjang tahun areal persawahan di Kebumen dan Purworejo bagian barat airnya cukup melimpah. 

Disamping itu, Waduk Wadaslintang kini menghasilkan listrik 16 MW, sedang transmisi jaringan lebih kurang 30 km. Masalah erosi tak begitu menjadi ancaman, lantaran sekitar waduk merupakan tanah pegunungan yang menghijau. Belum lagi hasil ikan, karena di sana juga dimanfaatkan untuk budidaya ikan. 

Untuk menuju ke objek wisata Waduk Wadaslintang, saran angkutan cukup mudah. Sebab, jalur Kebumen-Wonosobo lewat Wadaslintang dilayani angkutan umum jenis minibus. Dengan jalan yang berkelok dan udara sejuk, cukup menjadi daya pikat tersendiri. 

Dari Kota Prembun di Kebumen hanya sekitar 8 km ke utara. Jalannya beraspal hotmix dan tersedia angkutan umum. Sekitar kawasan genangan waduk dan objek wisatanya banyak dilindungi pepohonan rindang. Karena merupakan kawasan hutan pinus dan hutan milik perhutani, serta sebagian tanah dan permukiman penduduk. 

Pengelolaan objek wisata air itu dilakukan bergiliran. Mengingat lokasinya di dua Kabupaten. Maka dua daerah, Kebumen dan Wonosobo sepakat mengelola berbarengan. Setahun dikelola Wonosobo, tahun berikutnya dikelola Diparta Kebumen, dan begitu seterusnya. 

Salah satu kelebihan objek wisata Waduk Wadaslintang seperti disebut tadi, yakni kondisi alam sekitar yang mempesona. Bahkan setelah saluran induk ke bawah sampai Sungai Pejengkolan, mengalir air cukup bagus. Di bagian bawah kini dibangun Bendung Pejengkolan.

Debit airnya sepanjang tahun tetap, karena bisa diatur dari pintu turbin PLTA. Sehingga sangat cocok untuk olah raga petualang seperti arung jeram. 
Sejarah berdirinya Desa Wadaslintang 

Sejarah berdirinya desa Wadaslintang tidak dapat dilepaskan dengan Peristiwa Perang Diponegoro yang terjadi tahun 1825-1830. Wilayah Wadaslintang ketika itu masih berupa hamparan kawasan hutan belantara. Sekitar tahun 1827 datanglah pasukan Diponegoro yang mencari daerah persembunyian, yang akhirnya terdamparlah pasukan Diponegoro di wilayah Cangkring. 

Kedatangan pasukan Diponegoro di Cangkring ini untuk menghindari kejaran pasukan Belanda dari arah Kebumen ke Wonosobo. Mereka datang ke Cangkring lewat Kalipuru, Lancar kemudian Cangkring. Ki Selarong Magelang juga sempat tinggal beberapa lama di Cangkring. Beberapa anggota pasukan yang tinggal di Cangkring adalah Raden Joko Kanoman dan Raden Suryo Mataram. 

Mereka ditugaskan untuk membuka hutan dan mengubahnya menjadi tempat pemukiman, yang pada akhirnya berdirilah desa Wadaslintang. Raden Joko Kanoman diminta untuk menjadi Dhemang, namun Joko Kanoman tidak bersedia untuk diangkat menjadi Dhemang. Dengan alasan harus tetep maju ke medan pertempuran bersama Raden Suryo Mataram bergabung dengan laskar-laskar Diponegoro yang di Selomanik dan Gadingrejo.

Cadipura akhirnya diangkat sebagai Dhemang yang pertama di Wadaslintang yang diangkat secara langsung dari Kadipaten. Cadipura bukan merupakan penduduk asli desa Cangkring, beliau berasal dari desa Lamuk, Kaliwiro dan masih keturunan Dari Sunan Ampel. Daerah kekuasaannya adalah wilayah Wadaslintang, Cangkring dan Panerusan. 

Pada waktu itu pusat pemerintahannya berada di desa Cangkring, namun pada masa pemerintahan Dolah Sirod (1907-1910) yang merupakan Lurah yang diangkat oleh Camat maka pusat pemerintahannya dipindahkan ke desa Wadaslintang.

Pengangkatan Cadipura sebagai Dhemang adalah awal dari sebuah perjalanan panjang bagi bumi Wadaslintang, awal dari sebuah tatanan pemerintahan dan awal dari kumpulan sosial kemasyarakatan. Adapun nama-nama Lurah yang pernah memerintah Wadaslintang adalah sebagai berikut:

Dhemang Cadipura, memerintah antara tahun 1829-1848
Dhemang Cadireja, memerintah antara tahun 1848-1895
Kartodirjo, memerintah antara tahun 1895-1907
Lurah Dolah Sirod, memerintah antara tahun 1907-1910
Glondong Sastro Sukarno, memerintah antara tahun 1910-1955
Kepala Desa Maryo Sudarmo, memerintah antara tahun 1955-1973
Kepala Desa Sardi Susilo Miharjo, memerintah antara tahun 1973-1975
Kepala Desa Abdulholim, memerintah antara tahun 1975-1990
Kepala Desa Joyo Dipuro, memerintah antara tahun 1990-1998
Selanjutnya setelah 1998 Desa Wadaslintang dilikuidasi diganti Kelurahan

Adanya perbedaan nama antara nama Dhemang, Glondong, Kepala Desa maupun Lurah sebenarnya mempunyai sejarah tersendiri. 

Pada awalnya, sekitar tahun 1827 sedang terjadi Perang Diponegoro datanglah pasukan Joko Kanoman di Cangkring Wadaslintang dan kemudian dia diangkat oleh Adipati Setjonegoro di Kadipaten Wonosobo untuk menjadi Penguasa Wilayah Wadaslintang atau yang pada waktu itu disebut Dhemang, akan tetapi Raden Joko Kanoman tidak mau sehingga Kanjeng Adipati mengangkat Cadipura sebagai Dhemang pertama di Wadaslintang.

Setelah usai perang Diponegoro Para laskar-laskar terus melakukan perjuangan untuk mempertahankan bumi pertiwi. Dengan perlawanan terhadap kaum penjajah dengan bergerilya. Mendirikan perkampungan dan untuk memperbanyak pasukan dan kekuatan serta mengsejahterakan warganya.

Kyai Cadipura memperluas daerah kekuasaan dan membangun kekuatan dari beberapa laskar yang datang ke wilayah tersebut. 

Diantara mereka yang datang adalah Kyai Sayid Muhammad salah satu laskar Diponegoro dari Jepara yang lari ke Selomanik dan sempat adu tanding ilmu kesaktian dengan saudara seperguruan beliau Kyai Sayid Umar (kyai Giyombong) di kawasan Kaliwiro sebagai pembuktian kalau masih satu guru dan lama tidak ketemu. 

Oleh Kyai Cadipura Kyai Sayid Muhammad diperintahkan untuk membuka hutan di timur wadaslintang.. dan tempat baru tersebut di namakan Kemutug karena waktu babat alas Kyai Muhammad selalu di kutug oleh harimau penunggu hutan tersebut. Dan para hewan tersebut bisa dikalahkan. 

Sejak saat itu Kyai Muhammad  Disebut dengan Kyai Kemutug sementara saudara seperguruan beliau disebut dengan Kyai Giyombong karena sebelumnya beliau tinggal di Desa Giyombong Bruno.

Hingga saat ini sejarah masa lalu masih banyak yang tersimpan dan tersembunyi. Sehingga di masyarakat banyak terjadi pro kontra tentang sesepuhnya sendiri. 

Yang perlu dicatat adalah dimasa lalu para sepuh menggunakan nama yang berbeda di setiap daerah perjuangan Beliau.

6 komentar:

  1. wah mantap absi ams sejarahn ya josh dah sukses terus wadaslintang.....

    BalasHapus
  2. Infonya sangat menarik gans sangat membantu sekali untuk tujuan wisata.
    kunjung juga situs kami www.marikitapiknik.id

    BalasHapus
  3. Alhamdullilah akhirnya saya bisa menelusuri sejarah kakek buyut saya Eyang Cadipuro, mantap

    BalasHapus
  4. Memang benar saya juga buyut dari eyang cadipura,ingin rasanya menelusuri silsilah dari eyang cadipura.mkasih ya...sudah kasih info

    BalasHapus
  5. mohon admin untuk mengulas sejarah berdirinya desa ngalian, wadaslintang beserta dengan silsilah para sesepuhnya

    BalasHapus