Sabtu, 31 Januari 2015

Sepenggal kisah Cinta

Syekh Junaid Al-Baghdadi adalah seorang ulama sufi dan wali Allah yang paling menonjol namanya di kalangan ahli-ahli sufi. Tahun kelahiran Imam Junaid tidak dapat dipastikan. Tidak banyak dapat ditemui tahun kelahiran beliau pada biografi lainnya. Beliau adalah orang yang terawal menyusun dan membahas tentang ilmu tasawuf dengan ijtihadnya. Banyak kitab-kitab yang menerangkan tentang ilmu tasawuf berdasarkan kepada ijtihad Imam Junaid Al-Baghdadi

Imam Junaid adalah seorang ahli niaga yg kaya raya. Beliau memiliki sebuah gedung tempat beliau berdagang di kota Baghdad yang ramai pelanggannya. Sebagai seorang guru sufi, beliau tidaklah disibukkan dengan mengurusi dagangannya sebagaimana para pedagang lain yang kaya raya di Baghdad.


Waktu berdagangnya sering cuma sebentar saja karena lebih mengutamakan pengajian murid-muridnya yang haus akan ilmu pengetahuan.

Setiap malam beliau berada di masjid besar Baghdad untuk menyampaikan kuliahnya. Banyak penduduk Baghdad datang ke masjid untuk mendengar kuliahnya sehingga penuh sesak.

Imam Junaid hidup dalam keadaan zuhud. Beliau ridha dan bersyukur kepada Allah SWT dengan segala nikmat yang dikaruniakan kepadanya. Beliau tidak pernah berangan-angan untuk mencari kekayaan duniawi dari sumber pekerjaannya sebagai pedagang.

Beliau selalu membagi-bagikan hasil dagangannya kepada golongan fakir miskin, peminta dan orang-orang tua yang lemah.

Bertasawuf Ikut Sunnah Rasulullah saw, begitulah fatwa beliau.

Imam Junaid seorang yang berpegang kuat kepada al-Quran dan as-Sunnah. Beliau sentiasa merujuk kepada al-Quran dan sunnah Rasulullah saw dalam setiap pengajiannya.

Beliau pernah berkata:

“Setiap jalan tertutup, kecuali bagi mereka yang sentiasa mengikuti perjalanan Rasulullah saw. Siapa yang tidak menghafal al-Quran, tidak menulis hadis-hadis, tidak boleh dijadikan guru dalam bidang tasawuf ini.”


Kelebihan dan Karamah

Imam Junaid mempunyai beberapa kelebihan dan karamah. Di antaranya ialah pengaruhnya yg kuat setiap kali menyampaikan kuliahnya. Kehadiran murid-muridnya di masjid, bukan saja terdiri dari orang-orang biasa malah semua golongan menyukainya.

Masjid-masjid sering dipenuhi oleh ahli-ahli falsafah, ahli kalam, ahli Fiqih, ahli politik dan sebagainya. Namun begitu, beliau tidak pernah angkuh dan bangga diri dengan kelebihan tersebut.


Diuji Dengan Seorang Wanita Cantik

Setiap insan yang ingin mencapai keridhaan Allah pastinya akan menerima ujian dan cobaan. Imam Junaid menerima ujian dari beberapa orang musuhnya setelah pengaruhnya meluas. Mereka telah membuat fitnah untuk menjatuhkan citra Imam Junaid.


Musuh-musuhnya telah bekerja keras menghasut khalifah di masa itu agar membenci Imam Junaid. Namun usaha mereka untuk menjatuhkan kemasyhuran Imam Junaid tidak berhasil.


Musuh-musuhnya berusaha berbuat sesuatu yang bisa memalukan Imam Junaid. Pada suatu hari, mereka menyuruh seorang wanita cantik untuk memikat Imam Junaid. Wanita itu pun mendekati Imam Junaid yang sedang tekun beribadat. Ia mengajak Imam Junaid agar melakukan perbuatan terkutuk.


Namun wanita cantik itu hanya dikecewakan oleh Imam Junaid yang sedikitpun tidak mengangkat kepalanya. Imam Junaid meminta pertolongan dari Allah agar terhindar daripada godaan wanita itu. Beliau tidak suka ibadahnya diganggu oleh siapapun. Beliau melepaskan satu hembusan nafasnya ke wajah wanita itu sambil membaca kalimah Lailahailallah. Dengan takdir Tuhan, wanita cantik itu rebah ke bumi dan mati.

Khalifah yang mendapat berita kematian wanita itu akhirnya marah kepada Imam Junaid karena menganggapnya sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum.

Lalu khalifah memanggil Imam Junaid untuk memberikan penjelasan di atas perbuatannya. “Mengapa engkau telah membunuh wanita ini?” tanya khalifah.

Saya bukan pembunuhnya. Bagaimana pula dengan keadaan tuan yang diamanahkan sebagai pemimpin untuk melindungi kami, tetapi tuan berusaha untuk meruntuhkan amalan yang telah kami lakukan selama 40 tahun,” jawab Imam Junaid.


Wafatnya

Akhirnya kekasih Allah itu telah menyahut panggilan Ilahi pada 297 Hijrah. Imam Junaid telah wafat di sisi As-Syibli, salah satu dari muridnya.


Ketika sahabat-sahabatnya hendak mengajar kalimat tauhid, tiba-tiba Imam Junaid membuka matanya dan berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melupakan kalimat itu sejak lidahku pandai berkata-kata.”


PEMIKIRAN TASAWUF AL-JUNAYD AL-BAGHDADI

Pendahuluan

Tasawuf merupakan ungkapan pengalaman keagamaan yang bersifat subjektif dari seseorang dalam menanggapi mendekatkan diri kepada Allah dengan menitikberatkan pada aspek pemikiran dan perasaan. Bahkan tasawuf banyak juga menyinggung akan penyatuan diri dengan Tuhan serta menjalankan konsep zuhud di dunia. Akan tetapi Secara umum dapat dikatakan bahwa tasawuf itu merupakan usaha akal manusia untuk memahami realitas dan akan merasa senang manakala dapat sampai kepada Allah SWT.

Artinya, orang yang melakukan tasawuf akan mengalami ketenangan pada dirinya. Karena hal itu telah dijamin oleh Allah didalam al-Qur’an bahwasanya ketika mengingat Allah. Maka ia akan mengalami ketenangan dalam hatinya. Apalagi didalam Tasawuf terdapat ajaran-ajaran yang menuntut agar ia selalu ingat kepada Allah, agar ia bisa menyatu denganNya.

Dalam aliran taswuf, Banyak aliran-aliran tasawuf didalam Islam yang antara satu dan lainnya tidak sama dalam titik tekannya, yang kadangkala membuat para pengikutnya saling mengklim bahwa ajarannyalah yang benar. Sehingga dengan demikian, dalam makalah ini akan membahas mengenai tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi. Yang corak pemikiran tasawufnya tidak terlepas dari al-Qur’an dan Hadis serta adanya hubungan antara ma’rifat dan syariat, dalam artian keseimbangan keduannya sangatlah penting dalam ranah tasawuf itu sendiri agar sampai pada bagaimana bisa bersama Allah SWT.


Biografi Al-Junayd al-Baghdadi

Abu AI-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd AI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn Al-Junayd. Ia adalah murid dari Sirri al-Saqati dan Haris al-Muhasibi.


Al-Junayd pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan Al-Junayd, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik. Dan ia meninggal tahun 297 H / 298 M. dan dianggap sebagai perintis dari tasawuf yang bercorak ortodoks.


Pengertian tasawuf meneurut Junayd al-Baghdadi dan tokoh lainnya

Mengenai penegertian tasawuf, Al-Junayd al-Baghdadi mengatakan bahwasanya tasawuf ialah bahwa engkau bersama Allah tanpa penghubung.

Sementara menurut Basyuni mendefinisikan tasawuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa kepada amal dan perbuatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari kehidupan dunia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat dengan-Nya.


Akan tetapi Al-Junayd al-Baghdadi, lebih memperinci lagi. Ia membagi definisi tasawuf ke dalam empat bagian, yaitu:


1. Tasawuf adalah Mengenal Allah, sehingga hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara. 
2. Tasawuf adalah Melakukan semua akhlak yang baik menurut sunah rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk. 
3. Tasawuf adalah Melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah. 
4. Tasawuf adalah Merasa tiada memiliki apapun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah SWT.

Sehingga dari definisi-definisi taswuf diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tasawuf ialah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan jalan menyucikan diri dari segala sesutu yang dapat mencegah untuk dekat kepadaNya. Baik yang berupa perintah maupun yang dilarang oleh Allah SWT.


Pemikiran dan Ciri Tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi

Sebelum ajaran tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi, terdapat Pandangan-pandangan para sufi cukup radikal, memancing para yuris (fukaha) atau ahli fikih untuk mengambil sikap. Sehingga muncul pertentangan antara para pengikut tasawuf dan ahli fikih. Ahli fikih memandang pelaku tasawuf sebagai orang-orang zindik, yang mengaku Islam tapi tidak pernah menjalankan syariatnya. Hal ini karena, banyak pelaku tasawuf yang secara lahir meninggalkan tuntunan-tuntunan syari’at. Sebaliknya, tokoh zuhud-tasawuf memandang tokoh-tokoh fikih sebagai orang-orang yang hanya memperhatikan legalitas suatu persoalan, banyak penyelewengan dilakukan untuk mendapatkan hal-hal yang sebenarnya dilarang.

Dari adanya hal itu, Al-Junayd al-Baghdadi memberikan penegasan lebih lanjut akan pentingnya amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut al-Junayd, tasawuf adalah pengabdian kepada Allah dengan penuh kesucian. Oleh karena itu, barang siapa yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Allah, maka ia adalah sufi.

Karena penekanan pada aspek amaliah inilah, maka tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi terkesan berusaha menciptakan keseimbangan antara syari’at dan hakikat. Ini merupakan kecenderungan yang berbeda sama sekali dengan tasawuf yang berorientasi pada pemikiran atau falsafah. syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat akan tertolak, demikian pula hakikat yang tidak diperkuat dengan syari’at juga akan tertolak. Syari’at datang dengan taklif kepada makhluk sedangkan hakikat muncul dari pengembaraan kepada yang Haq (Allah).

Hal itu berarti kedekatan kepada Allah dapat dicapai manakala orang telah melaksanakan amaliah lahiriah berupa syari’at dan kemudian dilanjutkan dengan amaliah batiniah berupa hakikat.


Al-Junayd dikenal pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada Al Quran dan Hadis.

Hal itu dapat dilihat pada pemikirannya yang disesuaikan dengan firman Allah:

Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah engkau lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumk Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Surah AI-Qashash : 77).

Dimana, pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak terlalu peduli.

Karena diakuiatau tidak bahwasanya Tasawuf sebenarnya telah ada sejak Rasulullah, akan tetapi Rasulullah tidak secara langsung meneyebutkannya dengan tasawuf secara gamlang. Hal itu dapat terlihat dari pola hidup serta tata cara beliau dalam segala bentuk hidupnya yang menampilkan dengan penuh kesederhanaan. Namun pada perkembangan selanjutnya tasawwuf mengalami kemajuan yang dikembangkan oleh masing-masing tokoh tasawuf dengan model masing-masing.

Begituhalnya mengenai masalah hulul dan ittihad yang tetap melandasinya dengan apa yang terdapat didalam ajaran al-Qur’an dan hadis. Artinya tasawuf Junaid al-Baghdady ini tetap memandang bahwa pentingnya syariat demi mencapai akhirat. Dimana, ajaran tasawuf al-Junaid ini sama dengan ajaran tasawuf Al-Muhibbi yang memberi tekanan besar pada disiplin diri atau lebih sepesifik pada disiplin kalbu. Ia memperjelas antara orientasi ukrawi dan moralitas.


Dari ajaran tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi ini sangat jelas bahwasanya, orang sufi itu tetap diwajibkan menjalankan syari’at untuk mencapai kehadirat Ilahi Rabbi. Tanpa menjalankan syari’at, seseorang tidak akan sampai kepada Allah SWT.


  
Pandngan Al-Junayd al-Baghdadi terhadap zuhud

Pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak terlalu peduli.

Pemahaman seperti itu jelas kurang tepat. Sebab banyak sufi tidak mengartikan zuhud seperti itu. Menurut Al-Junayd al-Baghdadi (210-298 H), misalnya, justru sangat tidak menyukai sikap zuhud demikian. Menurut dia, zuhud model itu hanya akan membawa orang, termasuk sufi, pada kondisi yang tidak menggembirakan. Padahal konsep Zuhud adalah dimana kita tetap memiliki harta, namun tidak terlalu mencintainya. Hal ini seperti yang dikatakan Husyain Assabuni bahwa tidak ada zuhud itu meninggalkan harta, akan tetapi bagaimana menggantinya dengan jalan rasa takut didalam hati dan tidak thama’.

Aplikasi zuhud, menurut Al-Junayd al-Baghdadi, bukanlah meninggalkan kehidupan dunia sama sekali, melainkan tidak terlalu mementingkan kehidupan duniawi belaka. Jadi, setiap Muslim termasuk juga para sufi, tetap berkewajiban untuk mencari nafkah bagi penghidupan dunianya, untuk diri dan keluarganya. Letak zuhudnya adalah, bila ia memperoleh rezeki yang lebih dari cukup. ia tidak merasa berat memberi kepada mereka yang lebih memerlukannya.

Berdasarkan pemahaman dan penghayatan Junayd al-Baghdadi tentang zuhud ini, maka tidak berlebihan kalau kemudian ia disebut sebagai “Sufi yang moderat”. Kemoderatan Junayd al-Baghdadi dalam bertasawuf jelas terlihat ketika ia bicara soal zuliud misalnya. Karena. zuhud merupakan pangkal atau dasar dari segala ajaran yang terkandung dalam sufisme yang diyakini oleh setiap sufi. Untuk menjadi sufi, setiap orang harus terlebih dulu menjalani zuhud atau menjadi zahid. Untuk menjadi zahid, seorang sufi harus melepaskan kesenangannya pada benda-benda yang selama ini telah memberinya kenikmatan duniawi. Sebab kesenangan kepada duniawi diyakini sebagai pangkal segala bencana. Sedangkan bencana yang paling besar bagi setiap sufi adalah ketika mereka tidak dapat mendekati dan bersatu dengan Tuhan.

Menurut Junayd al-Baghdadi, setiap Muslim, termasuk juga para sufi, seharusnya mengikuti jejak Rasulullah saw, yaitu menjalani kehidupan ini seperti manusia biasa, menikah, berdagang, berpakaian yang pantas. tapi juga dermawan, la tidak suka dengan sifat manusia yang apatis.

Kata Al-Junyad, “Seorang sufi tidak seharusnya hanya berdiam diri di masjid dan berzikir saja tanpa bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk menunjang kehidupannya orang tersebut menggantungkan diri hanya pada pemberian orang lain. Sifat-sifat seperti itu sangatlah tercela. Karena sekali pun ia sufi, ia harus tetap bekerja keras untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Dimana jika sudah mendapat nafkah, diharapkan mau membelanjakannya di jalan Allah SWT.”

Konsep taswuf Al-Junyad sperti itu dapat diterapkan pada keadaan zaman sekarang ini, karena pada kehidupan modern kali ini tidak mungkin seseorang melakukan zuhud yang meninggalkan kehidupan dunia secra total karena masih banyaknya tanggung jawab yang harus di pikilnya serta diperlukan adanya interaksi dengan banyak orang serta urusan dunia yang lain. Maka dengan demikian konsep zuhud yang ditawarkan Al-Junyad yang sangat cocok dengan tantangan zaman kali ini.

Selain itu, meski Al-Junayd seorang sufi, ia tidak melulu membicarakan soal tasawuf saja, tetapi juga berbagai masalah lain yang berhubungan dengan kemaslahatan umat Islam. Inilah juga yang membuat Al-Junayd agak berbeda dengan para sufi pada umumnya.

Misalnya. Al-Junayd sangat peduli terhadap berbagai penyakit yang timbul di masyarakat. Menurut dia, di dalam masyarakat lebih banyak ditemukan orang yang sakit jiwa ketimbang mereka yang sakit jasmani. Itu lantaran jiwa lebih sensitif dan lebih rapuh ketimbang fisik, sehingga jiwa lebih mudah menderita. Lebih lanjut, penyakit jiwa ini lebih merusak jika dibandingkan dengan penyakit fisik. Sebab penyakit tersebut lebih mudah menggerogoti jiwa dan moral manusia. Sedangkan jika jiwa seorang sudah rusak, maka dengan mudah ia akan terseret pada berbagai perbuatan yang menyalahi ajaran agama, yang lebih jauh akan menggiringnya masuk ke dalam neraka.


Al-Baghdadi dalam hal Ittihad dan Hulul

Berbicara Ittihad yang dikembangkan oleh al-Busthami dan Hulul yang dipopulerkan oleh al-Hallaj atau konsep cinta dan menyatu dengan Allah sangatlah menarik dalam taswwuf. Sehingga, Radikalisme dan liberalisme tasawuf dapat kita amati dalam fenomena ittihad dan hulul tersebut, yang keduanya memiliki kesamaan dalam menafikan realitas konkret manusia.

Keliaran pemikiran semacam itu dalam pandangan Junayd al-Baghdadi, tidaklah benar. Baginya, dunia tasawuf harus tetap berpijak pada realitas konkret manusia. Pencapaian tertinggi dalam dunia tasawuf hanyalah sampai level mahabbah dan ma’rifah. Dengan demikian eksistensi konkret hamba (ubudiah) tetap terpisah dari eksistensi tuhan (uluhiah). Menurut Al Junaid, syariat tetaplah penting dalam menuju mahabbah dan ma’rifah.

Kendati demikian, dari pemahan itu, manusia menurut Al-Junyad bisa mendekati bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk mencapai kebersatuan itu, orang harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada dirinya. Walau begitu, kata Al-Junayd, sufisme adalah suatu sifat (keadaan) yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia. Artinya, esensinya memang merupakan sifat Tuhan, Tapi gambaran formalnya (lahirnya) adalah sifat manusia.

Di sinilah Junayd al-Baghdadi ingin menegaskan bahwa sesungguhnya diri manusia telah dihiasi dengan sifat Tuhan, Sehingga, kondisi tingkat tertinggi dari suatu pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi pada persatuannya dengan Tuhan, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini seorang sufi akan kehilangan kesadarannya, la tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan lingkungannya. Seluruh perhatiannya hanya tertuju buat Tuhan dengan kehilangan kesadarannya akan keduniaan, maka ia otomatis sedang berada dengan Tuhan.

Pada tingkat yang demikian. seorang sufi merasakan tidak ada lagi jarak antara dirinya dengan Tuhan. Karena sifat-sifat yang ada pada dirinya semuanya sudah digantikan dengan sifat Tuhan. Segala kehendak pribadi manusia lenyap, digantikan dengan kehendakNya.

Ketika Al-Junayd al-Baghdadi ditanya mengenai al-Haaq yang dilontarkan pada diri al-Hallaj. Ia tidak mengartikan hal itu langsung kepada arti Allah SWT, Tetapi ia mengartikan al-Haqq itu merupakan lawan dari al-Bathil. Al-Hallaj dibunuh dijalan yang benar. 
Artinya, kata al-Haqq yang dikatakan oleh al-Hallaj tersebut menandakan bahwa ia adalah sesuatu yang benar bukanlah Allah SWT. Terlepas dari itu, dapat kita lacak apakah pernyataan al-Hallaj itu ada latar belakang dari apa yang dikatakan. Karna pada saat itu terdapat suatu kekuasan yang besar yang mungkin kebijakannya lepas dari ajaran agama, yang mendorong dirinya berkata demikian.

Al-Junayd al-Baghdadi bahkan berkata, bahwa yang mengetahui Allah hanyalah Allah sendiri. Demikian pula dengan orang yang dicintai Allah (Nabi Muhammad) yang telah dibukakan tabir 70.000 tabir hijab, hanya tinggal satu hijab antara ia dengan-Nya.

Hal itu dapat kita pahami dalam perjalanan Rasulullah saat kejadian Mi’raj. Begitu halnya dengan Nabi-Nabi lain disaat ia berhadapan dengan Allah, beliau tidak mampu melihat secara langsung. Apalagi manusia biasa yang derajatnya jauh dari Derajat kenabian itu sendiri.

Bahakan Al-Junayd al-Baghdadi memperlihatkan sikap cukup keras terhadap orang yang mengabaikan syari’at. Ketika diceritakan kepadnya tentang orang yang telah mencapai ma’rifat, kemudian ia dibebaskan oleh Allah dari amal ibadah. Ia justru berkata bahwa orang tersebut sebenarnya berada dalam lumuran dosa dan mereka lebih berbahya dari pada pencuri serta pembuat keonaran.

Dalam hal ini, Al-Junayd al-Baghdadi ingin menegaskan bahwasanya walaupun orang telah menyatu dengan Allah SWT. Baginya tetap dikenakan kewajiban melaksankan aturan-aturan syari’at, yang menandakan bahwa Manusia tetaplah manusia yang tidak akan berupah posisinya menjadi Allah SWT. walaupun ia sedang merasa dalam keadaan Ittihat ataupun Hulul itu sendiri.

Maka dengan demikian, untuk mencapai persatuan kepada Tuhan, menurut Al-Junayd al-Baghdadi. manusia harus menyucikan batin, mengendalikan nafsu, dan rnembersihkan hati dari segala sifat-sifat kemakhlukan. Setelah kebersatuan dengan Tuhan itu tercapai, seorang sufi kembali tersadar. Dan selanjutnya harus mengajak umat dan membimbingnya ke jalan yang diyakininya. Maksud dari apa yang ditawarkan Al-Junyad ini, diharapkan agar oaring yang bertaswuf harus seimbang antara urusan dunia dan ahirat serta bagaimana didalam perakteknya adanya keterkaitan antara syariat dan hakekat itu sendiri.

Rasa cinta di dalam diri adalah sebuah anugerah yang di berikan sang kholiq kepada hambanya. Cinta kepada anak,istri,harta benda dan pangkat adalah sebuah keindahan yang ada di dunia ini, apabila manusia bisa meletakkan perhiasan-perhiasan [dunia seisinya] tepat pada porsinya maka semua perhiasan itu akan memberi cahaya bagi kehidupan. 

Sebaliknya bila penempatannya bukan pada porsinya, maka semua perhiasan itu sewaktu-waktu membawa bencana dan kehancuran.
Fiman-NYA : “ Dijadikan indah pada [pandangan] manusia KECINTAAN kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,perak,kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah semua PERHIASAN DUNIA, dan di sisi Allah-lah tempat kembali terbaik.” [ QS.Ali imran [3] : 14 ]. 

Dalam meletakkan cinta diperlukan kecerdasan ruhani, mereka yang memiliki kecerdasan ruhani memiliki prinsip yang menampilkan sosok dirinya sebagai insan yang berakhlaq, mereka tahu bagaimana meletakkan cinta. Para ahli TASAWUF yaitu ahli sufi [Arif-Billah] berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah dengan lugas mengatakan, “ Mencintai pemilik dan pemberi hiasan jauh lebih mulia dan jauh lebih berharga dibanding mencintai sekedar hiasan saja “. Ungkapan tersebut berlandaskan Firman Allah Swt :

قل متا ع الد نيا قليل والا خرة خير لمن اتقى ولا تظممو ن فتيلا انساء

“ Katakanlah olehmu [Hai Muhammad] : Hiasan dunia ini hanya sebentar [terlalu sedikit] dan [perhiasan Akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa “. [qs.An-Nisa’ [4] : 77 ] 


Alkisah,seorang sufi dari PERSIA yang bernama Abu bakar bin Dulaf ibnu juhdar Asy-Syibly. Nama asy-syibli di nisbatkan kepadanya karena ia dibesarkan di kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Beliau di lahirkan pada Tahun 247 H. Di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang cukup terhormat. karena kepandaian dan kedalaman ilmunya membuat karirnya menanjak pesat, ia menduduki beberapa jabatan 

Penting selama bertahun – tahun. Antara lain : menjabat sebagai Gubernur di Provinsi Dermaven. Bersama dengan seorang pejabat baru, Abu bakar Asy-Syibly di lantik oleh Kholifah dan secara resmi dikenakan seperangkat jubah pada dirinya. Setelah pulang, ditengah jalan pejabat baru itu bersin dan batuk –batuk seraya mengusapkan jubah baru itu kehidung dan mulutnya. Perbuatan pejabat tersebut dilaporkan kepada Kholifah. Dan Kholifahpun memecat langsung dan menghukumnya. Asy-Syibly pun terheran-heran, mengapa hanya karena jubah seseorang bisa di berhentikan dari jabatannya dan dihukum. Tak ayal, peristiwa ini membuatnya merenung selama berhari-hari. Ia kemudian menghadap Kholifah dan berkata :
“ Wahai Kholifah, Engkau sebagai manusia tidak suka bila jubah jabatan di perlakukan secara tidak wajar. Semua orang mengetahui betapa tinggi nilai jubah itu. 

Sang MahaRaja alam semesta telah menganugerahkan jubah kepadaku di samping CINTA dan PENGETAHUAN. Bagaimana DIA akan suka kepadaku jika aku menggunakannya sebagai sapu tangan dalam pengabdianku pada manusia ? “. 
Sejak saat itu Abu bakar asy syibly meninggalkan karir dan jabatannya, dan ia ingin bertaubat. Dalam perjalan membersihkan hatinya ia bertemu dengan seorang ulama sufi yang bernama Junaid Al Baghdadi,

asy syibly berkata : “ ENGKAU DIKATAKAN SEBAGAI PENJUAL MUTIARA, MAKA BERILAH AKU SATU ATAU JUALLAH KEPADAKU SEBUTIR “.

Maka Junaid Al Baghdadi pu menjawab, “ JIKA KUJUAL KEPADAMU, ENGKAU TIDAK SANGGUP MEMBELINYA. JIKA KUBERIKAN KEPADAMU SECARA CUMA-CUMA, KARENA BEGITU MUDAH MENDAPATKANNYA ENGKAU TIDAK MENYADARI BETAPA TINGGI NILAINYA. LAKUKANLAH APA YANG AKU LAKUKAN, BENAMKANLAH DULU KEPALAMU DI LAUTAN, APABILA ENGKAU DAPAT MENUNGGU DENGAN SABAR, NISCAYA KAMU AKAN MENDAPAT MUTIARAMU SENDIRI. “ 

Lalu Asy-syibli berkata, “ lalu apa yang harus kulakukan sekarang ? ” ,

Imam Junaid Berkata : hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun [ untuk mengetahui nilai diri ] dan Mengemislah lalu sedekahkan uangnya selama setahun [ untuk membersihkan keangkuhan diri ] .“
Beberapa tahun telah berlalu dalam menjalani perintah sang Guru meskipun penuh dengan beribu-ribu kesulitan tapi ia jalani dengan penuh cinta [ikhlash] . akhirnya abu bakar asy-syibli menemukan mutiara di dalam dirinya. sehingga ia mengalami RASA CINTA yang teramat dalam di lubuk hatinya [ rindu kepada Allah ]. 

Suatu ketika disaksikan banyak orang, beliau berlari sambil membawa obor. Hendak kemana engkau wahai asy-syibli? , aku hendak membakar ka’bah, sehingga orang-orang dapat mengabdi kepada yang memiliki ka’bah dan akan aku BAKAR SURGA DAN NERAKA,sehingga manusia benar-benar ibadah hanya kepada Allah Swt [bukan yang lain-NYA]. Dalam keadaan MABUK CINTA yang dalam kepada Allah, ia selalu menyebut asma Alaah dan disetiap tempat yang ia temui, ia menuliskan lafadz Allah. Tiba-tiba sebuah suara berkata kepadanya,” Sampai kapan engkau akan terus berkutat dengan nama itu? Jika engkau merupakan pencari sejati, carilah pemiliknya! “ 

Kata-kata itu begitu menyentak Asy-sybly, sehingga tak ada lagi ketenangan dan kedamaian yang ia rasakan. Betapa kuatnya RASA CINTA yang menguasainya hingga ia menceburkan dirinya ke sungai Tigris dan akhirnya gelombang sungai membawanya kembali ketepi. Kemudian ia menghempaskan tubuhnya kedalam api, namun api tersebut kehilangan daya untuk membakar. Sehingga tubuhnya utuh tak terbakar sedikitpun. Lalu ia mencari tempat dimana sekelompok singa berkumpul lalu ia berdiam diri supaya dimangsa oleh singa tersebut, tapi singa-singa itu malah berlari tunggang langgang menjahui dirinya. Kemudian tanpa ada rasa takut sedikitpun ia terjun bebas dari puncak gunung, namun angin mencengkeram dan menurunkannya ketanah dengan selamat. 

Kegelisahannya semakain memuncak beribu-ribu kali lipat, sehingga ia berteriak,” terkutuklahia, yang tidak di terima oleh air maupun api, yang ditolak oleh binatang buas dan pegunungan! “ lalu terdengar sebuah suara. “ Ia yang diterima oleh Allah, tidak di terima oleh yang lain [makhluk-NYA]. 

Syeikh Al-ghozali menuliskan dalam kitabnya “ Raudhah al-Tholibin wa Umdah al-Salikin “ bahwa Al – Wushul adalh tersibaknya keindahan Al Haq kepada hamba,sehingga membuatnya luruh di dalamNYA. Jika dia melihat pengetahuan yang di milikinya, yang tampak hanyalah Allah swt, dan dia melihat ‘Himmah’ [keinginan kuat]nya,tidak ada Himmah selainNYA. Maka secara totalitas dia sibuk dengan kesaksian [ al-Musyahadah] dan keinginan kuat [Himmah]. Dan sama sekali tidak pernah berpaling dari keduanya, sampai-sampai dia tidak memiliki kesempatan untuk membenahi lahiriyahnya dalam bentuk-bentuk ibadah atau tidak sempat melihat batinnya. Baginya segala sesuatu yang di kerjakannya tampak suci. Sebagian kaum sufi mengatakan : 

وان طر فى موصول برء يته وان تبا عد عن مثواى مثوا ه

“ Sesungguhnya batas akhirku adalah dengan melihatNYA,sekalipun aksis [posisi]-NYA kian lama kian jauh dari aksis-ku. 

Dalam hal ini Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an, firmanNYA : 

قل ان كنتم تحبو ن الله فاتبعو نى يحببكم الله ويغفرلكم د نو بكم والله غفو ررحيم العمران

“ Katakanlah: “ jika kamu[benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku. niscayaAllah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” [ qs.Ali imran [3] : 31 ]. 

Imam Qusyairi mengatakan bahwa Mahabbah [cinta] adalah nikmat yang berupa kecintaan Allah kepada hambaNYA yang DIA kehendaki secara khusus. Apabila nikmat tersebut untuk semua hambaNYA secara umum maka di namakan rahmat. 

GAMBARAN CINTA AHLI MAHABBAH 

Raja Andalusia, Al-Hikam bin Hisyam bin Abdurrahman Ad-Dakhil, bersyair : karena cinta……. Ia menjadi hamba, padahal sebelumnya ia adalah raja. Kegirangan istana tiada lagi menyertai. Ia dipuncak gunung menyendiri sendiri pipi tertempel di tanah berdebu. Seakan bantal-bantal sutra untuk bertumpu. Begitulah kehinaan menimpa orang merdeka. Jika cinta melanda, ia laksana hamba sahaya. 
Junaid al-baghdadi, mengartikan kata yang bernilai sufistik ini dengan masuknya sifat-sifat Zat yang di cintai mengganti apa yang ada di dalam jiwa sang pencinta, mendorong seorang pencinta untuk tidak mengingat selain Zat tersebut serta melupakan dan mencampakkan secara total sifat-sifat yang dulunya melekat pada dirinya. 

Ibnu Arabi dalam puisi-puisi pemandu rindu mengisahkan manakala jiwa berpisah dengan raga, ia selalu bernostalgia dan rindu pada perpaduan itu, meskipun pada hakekatnya mereka berdua, namun tampak sebagai satu pribadi. Kerinduan itu tidak lain karena jiwa memperoleh pengetahuan dan apa saja yang ada dalam kehidupan melalui raga. Namun,karena sifat jiwa yang halus,lembut dan bersifat cahaya, maka tidak dapat di lihat oleh mata. Bila tidak karena rintihan raga, maka takkan pernah terasa kesaksian jiwa. Inilah gambaran jiwa ataupun keadaan hati. 

Syeikh Ibnu Atho’illah bermunajat, “ Ya illahi, alam benda ini telah mendorong aku untuk pergi kepada-MU dan pengetahuanku terhadap kemurahan-MU itulah yang memberhentikan aku untuk berdiri di depan pintu-MU. 

Rabi’ah al-adawiyah seorang sufi dari Bashrah ketika berziarah kemakam Rosulullah saw pernah mengatakan Maafkan aku ya Rosul, bukan aku tidak mencintaimu tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang 
Lain,karena telah penuh cintaku hanya kepada Allah swt .“ tentang cinta itu sendiri Rabi’ah mengajarkan bahwa cinta itu harus menutup dari segala hal yang di cintainya [ bukan berarti Rabi’ah tidak cinta kepada Rosul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini mengandung arti bahwa cinta kepada Allah adalh bentuk integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasulullah ]. 
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Saiyidina Husain [cucu Rosulullah saw] bertanya kepada ayahnya [saiyidina Ali], “ apakah engkau mencintai Allah ? Ali menjawab, “ ya”. Lalu Husain bertanya lagi, “apakah engkau mencintai kakek dari ibu?” Ali menjawab kembali,”ya”. Husain bertanya lagi, “ apakah engakau mencintai aku dan ibuku? Ali menjawab “ya”. Terakhir, Husain yang polos itu bertanya,” Ayahku,bagaimana Engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?” kemudian saiyidina Ali menjelaskan,”Anakku, pertanyaanmu hebat sekali! Cintaku pada kakek dari ibumu, ibumu dan kamu sendiri adalah karena cinta kepada Allah swt. Setelah mendengar jawaban dari ayahnya Husain jadi tersenyum ngerti. 

Rumusan cinta Rabi’ah termaktub dalam do’anya, “ Ya Allah, jika aku menyembah-MU karena takut neraka maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembahmu berharap surga, maka campakkanlah aku dari sana, tapi jika aku menyembah- MU karena Engkau semata, maka janganlah Engkau sembunyikan keindahan-MU yang abadi. “ dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman : 

ومن الناس من يتخد من دو ن الله اندادا تحبو نهم كحب الله والدين امنو اشد حبا الله البقراه

“ Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah swt.[ hatinya tertutup untuk mencintai selain-NYA].” [qs. Al baqarah [2] : 165 ] 

Demikianlah sekelumit sejarah para pecinta Allah swt yang perjalanannya begitu menyayat jiwa, penuh onak dan duri dalam setiap langkahnya tapi tidak menyurutkan keinginan besarnya untuk bertemu dengan-NYA. para KEKASIH ALLAH SWT jiwanya terjaga dari hal-hal yang dapat menyeret keimanannya, dengan ilmu pengetahuannya yang merasuk di dalam dada mengkristal bagaikan batu karang. Para KEKASIH Allah musuhnya tak terkira banyaknya dan sahabatnya hanya sedikit. Itulah SUNNATULLAH. 

Cepat susul barisan mereka mumpung masih ada kesempatan, renungkanlah firman Allah swt di bawah ini : 


قل ان كا ن ابااؤ كم وابنا ؤكم واخوا نكم وازوا جكم وعشيرتكم واموال اقتر فتموها وتجا رة تخشون كسا دها ومسكن ترضونها احب اليكم من الله ورسوله وجها د فى سبيله فتربصوا حتى ياء تي الله بامره والله لا يهدى القوم الفسقين اتوبه

“ katakanlah : jika bapak –bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu kwatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan RosulNYA dari jihad di jalan NYA [ mencari keridhoan-NYA]. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNYA. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. “ [ qs. At-Taubah [9] : 24 ].

“ katakanlah : “ jika bapak-bapakmu, anak-anakmu,saudara-saudaramu ,istri-istri kaum keluargamu , harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu kuwatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rosul-NYA dari jihad di jalan-NYA [mencari keridhoan-NYA]. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-NYA. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. “ [qs. At-Taubah [9] : 24].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar