Senin, 23 Maret 2015

Kulon Progo dan Sejarah Perjuangan masa Lalu

Kulon Progo adalah sebuah kabupaten diProvinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,Indonesia. Ibukotanya adalah Wates. Kabupaten ini berbatasan denganKabupaten Sleman dan Kabupaten Bantuldi timur, Samudra Hindia di selatan,Kabupaten Purworejo di barat, sertaKabupaten Magelang di utara. Nama Kulon Progo berarti sebelah barat Sungai Progo (kata kulon dalam Bahasa Jawa artinyabarat). Kali Progo membatasi kabupaten ini di sebelah timur.

Kabupaten Kulon Progo terdiri atas 12kecamatan, yang dibagi lagi atas 88 desadan kelurahan, serta 930 Pedukuhan (sebelum otonomi daerah dinamakan Dusun). Pusat pemerintahan di KecamatanWates, yang berada sekitar 25 km sebelah barat daya dari pusat Ibukota Provinsi DIY, di jalur utama lintas selatan Pulau Jawa (Surabaya - Yogyakarta - Bandung. Wates juga dilintasi jalur kereta api lintas selatan Jawa. Kulon Progo menggunakan kodepos 55611 (lama) dan 55600/55651 (baru).

Bagian barat laut wilayah kabupaten ini berupa pegunungan (Bukit Menoreh), dengan puncaknya Gunung Gajah (828 m), di perbatasan dengan Kabupaten Purworejo. Sedangkan di bagian selatan merupakan dataran rendah yang landai hingga ke pantai. Pantai yang ada di Kabupaten Kulonprogo adalah Pantai Congot, Pantai Glagah (10 km arah barat daya kota Wates atau 35 km dari pusat Kota Yogyakarta) dan Pantai Trisik.

Sejarah Kulon Progo

Daerah yang termasuk wilayah Kabupaten Kulon Progo hingga berakhirnya pemerintahan kolonial Hindia Belanda merupakan wilayah dua kabupaten, yaitu Kabupaten Kulon Progo yang merupakan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten Adikarto yang merupakan wilayah Kadipaten Pakualaman. Kedua kabupaten ini digabung administrasinya menjadi Kabupaten Kulon Progo pada tanggal 15 Oktober 1951. Nama Kulon Progo asal usulnya adalah sesuai namanya, karena letak lokasi daerah ini berada di barat Sungai Progo.

WILAYAH KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT (KABUPATEN KULON PROGO)

Sebelum Perang Diponegoro di daerah Negaragung, termasuk di dalamnya wilayah Kulon Progo, belum ada pejabat pemerintahan yang menjabat di daerah sebagai penguasa. Pada waktu itu roda pemerintahan dijalankan oleh pepatih dalem yang berkedudukan di Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah Perang Diponegoro 1825-1830 di wilayah Kulon Progo sekarang yang masuk wilayah Kasultanan terbentuk empat kabupaten yaitu:

Kabupaten Pengasih, tahun 1831
Kabupaten Sentolo, tahun 1831
Kabupaten Nanggulan, tahun 1851
Kabupaten Kalibawang, tahun 1855

Masing-masing kabupaten tersebut dipimpin oleh para Tumenggung. Menurut buku 'Prodjo Kejawen' pada tahun 1912 Kabupaten Pengasih, Sentolo, Nanggulan dan Kalibawang digabung menjadi satu dan diberi nama Kabupaten Kulon Progo, dengan ibukota di Pengasih. Bupati pertama dijabat oleh Raden Tumenggung Poerbowinoto.

Dalam perjalanannya, sejak 16 Februari 1927 Kabupaten Kulon Progo dibagi atas dua Kawedanan dengan delapan Kapanewon, sedangkan ibukotanya dipindahkan ke Sentolo. Dua Kawedanan tersebut adalah Kawedanan Pengasih yang meliputi kepanewon Lendah, Sentolo, Pengasih dan Kokap/sermo. Kawedanan Nanggulan meliputi kapanewon Watumurah/Girimulyo, Kalibawang dan Samigaluh.
Yang menjabat bupati di Kabupaten Kulon Progo sampai dengan tahun 1951 adalah sebagai berikut:

RT. Poerbowinoto
KRT. Notoprajarto
KRT. Harjodiningrat
KRT. Djojodiningrat
KRT. Pringgodiningrat
KRT. Setjodiningrat
KRT. Poerwoningrat

WILAYAH KADIPATEN PAKUALAMAN ( KABUPATEN ADIKARTA)

Di daerah selatan Kulon Progo ada suatu wilayah yang masuk Keprajan Kejawen yang bernama Karang Kemuning yang selanjutnya dikenal dengan nama Kabupaten Adikarta. Menurut buku 'Vorstenlanden' disebutkan bahwa pada tahun 1813 Pangeran Notokusumo diangkat menjadi KGPA Ario Paku Alam I dan mendapat palungguh di sebelah barat Sungai Progo sepanjang pantai selatan yang dikenal dengan nama Pasir Urut Sewu. Oleh karena tanah pelungguh itu letaknya berpencaran, maka sentono ndalem Paku Alam yang bernama Kyai Kawirejo I menasehatkan agar tanah pelungguh tersebut disatukan letaknya. Dengan satukannya pelungguh tersebut, maka menjadi satu daerah kesatuan yang setingkat kabupaten. Daerah ini kemudian diberi nama Kabupaten Karang Kemuning dengan ibukota Brosot.

Sebagai Bupati yang pertama adalah Tumenggung Sosrodigdoyo. Bupati kedua, R. Rio Wasadirdjo, mendapat perintah dari KGPAA Paku Alam V agar mengusahakan pengeringan Rawa di Karang Kemuning. Rawa-rawa yang dikeringkan itu kemudian dijadikan tanah persawahan yang Adi (Linuwih) dan Karta (Subur) atau daerah yang sangat subur. Oleh karena itu, maka Sri Paduka Paku Alam V lalu berkenan menggantikan nama Karang Kemuning menjadi Adikarta pada tahun 1877 yang beribukota di Bendungan. Kemudian pada tahun 1903 bukotanya dipindahkan ke Wates. Kabupaten Adikarta terdiri dua kawedanan (distrik) yaitu kawedanan Sogan dan kawedanan Galur. Kawedanan Sogan meliputi kapanewon (onder distrik) Wates dan Temon, sedangkan Kawedanan Galur meliputi kapanewon Brosot dan Panjatan.

Bupati di Kabupaten Adikarta sampai dengan tahun 1951 berturut-turut sebagai berikut:

Tumenggung Sosrodigdoyo
R. Rio Wasadirdjo
RT. Surotani
RMT. Djayengirawan
RMT. Notosubroto
KRMT. Suryaningrat
Mr. KRT. Brotodiningrat
KRT. Suryaningrat (Sungkono)

PENGGABUNGAN KABUPATEN KULON PROGO DENGAN KABUPATEN ADIKARTA

Pada 5 September 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah beliau yaitu Kasultanan dan Pakualaman adalah daerah yang bersifat kerajaan dan daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Pada tahun 1951, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII memikirkan perlunya penggabungan antara wilayah Kasultanan yaitu Kabupaten Kulon Progo dengan wilayah Pakualaman yaitu Kabupaten Adikarto. Atas dasar kesepakatan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII, maka oleh pemerintah pusat dikeluarkan UU No. 18 tahun 1951 yang ditetapkan tanggal 12 Oktober 1951 dan diundangkan tanggal 15 Oktober 1951. Undang-undang ini mengatur tentang perubahan UU No. 15 tahun 1950 untuk penggabungan Daerah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Adikarto dalam lingkungan DIY menjadi satu kabupaten dengan nama Kulon Progo yang selanjutnya berhak mengatur dan mengurus rumah-tanganya sendiri. Undang-undang tersebut mulai berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1951. Secara yuridis formal Hari Jadi Kabupaten Kulon Progo adalah 15 Oktober 1951, yaitu saat diundangkannya UU No. 18 tahun 1951 oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.

Selanjutnya pada tanggal 29 Desember 1951 proses administrasi penggabungan telah selesai dan pada tanggal 1 Januari 1952, administrasi pemerintahan baru, mulai dilaksanakan dengan pusat pemerintahan di Wates.

Nama-nama yang menjabat Bupati Kulonprogo sejak tahun 1951 sampai sekarang adalah sbb:

KRT.Suryoningrat (1951-1959)
R.Prodjo Suparno (1959-1962)
KRT.Kertodiningrat(1963-1969)
R.Soetedjo (1969-1975)
R.Soeparno (1975-1980)
KRT.Wijoyo Hadiningrat (1981-1991)
Drs.H.Suratidjo (1991-2001)
H.Toyo Santoso Dipo(2001-2011)
dr.H.Hasto Wardoyo,Sp.OG(K) (2011-sekarang)

Raden Mas Sodewo/Ki Sodewo, Pahlawan Mataram yang terlupakan.

Dalam dinasti Mataram, dikenal beberapa tokoh sebagai Pahlawan Nasional, antara lain Sultan Agung, Pangeran Diponegoro dan Pangeran Sambernyowo. Dari sekian banyak raja, ratu, pangeran dan tokoh-tokoh Mataram mungkin sebetulnya terdapat banyak cerita kepahlawanan yang belum terungkap. Penyebab utamanya bisa karena dokumen sejarah pendukung yang kurang. Sebagian besar kisah kepahlawanan hanya beredar dari mulut ke mulut. Lain halnya tokoh yang rajin menulis seperti Raden Mas Said (Pangeran Sambernyowo) misalnya yang mendokumentasikan sendiri perjuangannya melalui tulisan-tulisannya. Oleh karenanya ajaran Pangeran Sambernyowo mengenai Tri Dharma ( handarbeni, hangrungkepi, mulat sarira hangrosowani) menjadi populer. Cukup sulit membedakan mana yang merupakan fakta sejarah obyektif dan mana yang subyektif atau bahkan sekedar dongeng.

Belum banyak masyarakat yang tahu kisah kepahlawanan Ki Sodewo, Putra kandung Pangeran Diponegoro yang berjuang di wilayah Bagelen dan Kulonprogo pada masa Perang Diponegoro atau yang dikenal Belanda sebagai Perang Jawa. Hanya sedikit penduduk di sekitar kota Wates yang tahu lokasi makam tubuh Ki Sodewo. Bahkan makam ini tidak terletak di Taman Makam Pahlawan Giripeni yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari pemakaman umum Sideman, tempat dimana Ki Sodewo dimakamkan.

Sungguh ironis bagi Ki Sodewo yang asli 1000% seorang pahlawan. Dan mungkin tinggal tersisa sangat sedikit orang yang tahu bahwa di daerah Jrangking, dekat pemandian Clereng Kulon Progo ada daerah bernama Gunung Songgo yang merupakan petilasan tempat disangganya kepala Ki Sodewo dengan bambu. Belanda sengaja memisahkan kepala dari makam tubuhnya karena menurut cerita apabila kepala dan tubuh Ki Sodewo masih menyatu Belanda khawatir Ki Sodewo bisa hidup kembali karena kesaktiannya yang luar biasa. Ki Sodewo terlahir di wilayah Madiun pada tahun 1810, bernama Bagus Singlon. Putera Pangeran Diponegoro dengan R. Ayu Citrowati (dari Madiun) ini pada masa kecilnya dititipkan pada seorang kyai bernama Ki Tembi di Madiun. Hal ini untuk menghindari penangkapan yang dilakukan Belanda terhadap anak turun Pangeran Diponegoro.

Ketika berumur 15 tahun pada tahun 1825 setelah mulai mengenal asal usul dan jati dirinya, Bagus Singlon mencari ayahnya. Bersama dengan Ki Tembi, Bagus Singlon menuju Tegal Rejo, Goa Selarong dan route perjuangan Diponegoro lainnya. Sambil menunggu saat perjumpaan dengan ayahandanya, Bagus Singlon tinggal bersama Kyai Gothak di daerah Panjatan Kulon Progo. Bagus Singlon rajin menempa ilmu kanuragan dari Kyai Gothak maupun para guru lain. Bahkan Bagus Singlon belajar ilmu Pancasona sampai ke daerah Bagelen. Dengan bantuan telik sandi, Bagus Singlon akhirnya berjumpa dengan ayahandanya Pangeran Diponegoro.

Oleh ayahandanya Bagus Singlon diberi julukan Ki Sodewo karena kesaktian dan kehebatannya dalam bertempur. Nama itu berasal dari kata Laksono Dewo (bagaikan dewa), dewa yang maha sakti dalam berperang. Ki Sodewo lalu membantu pertempuran bersama para pengikut Diponegoro. Salah satu bukti kedidayaan Ki Sodewo adalah kemampuannya membunuh Jendral Van De Cohlir, salah satu jendral andalan Jendral Van De Kock, panglima perang Hindia Belanda.

Ki Sodewo membangun persaudaraan dengan tokoh-tokoh seperti Kyai Gothak dan Kyai Josuto untuk mendapatkan bala tentara. Sebuah benteng pertahanan dibangun di wilayah dusun Bosol. Benteng tersebut terbuat dari pohon bambu ori yang ditanam di sepanjang sungai serang di wilayah dusun Bosol. Wilayah tersebut lalu terkenal dengan Jeron Dabag (dalam dabag atau benteng).

Bersama pengikutnya yang disebut Laskar Sodewo beliau melakukan perlawanan secara gerilya melawan Belanda. Rute gerilya yang pernah dilewati Ki Sodewo antara lain Panjatan, Milir, Beji, Sentolo, Pengasih, Brosot, Lendah, Nanggulan, Kalibawang, Bagelen dan Wates. Bagi rakyat Kulon progo pada masa itu Ki Sodewo adalah pahlawan, namun Belanda melakukan propaganda bahwa Ki Sodewo adalah pemimpin gerombolan perampok.

Salah satunya tercatat dalam sejarah kabupaten Purworejo bahwa Ki Sodewo adalah sekutu penjahat bernama Amat Sleman pada tahun 1838 yang merupakan musuh dari Bupati Cakranegoro yang pro Belanda.

Darah Biru

Darah yang mengalir dalam diri Bagus Singlon memang penuh dengan kisah yang mewarnai babad para raja di tanah Jawa mulai abad 12 dari masa kerajaan Singasari sampai dengan ayahandanya Diponegoro.

Menurut sejarah, Mahisa Wongateleng, salah satu anak dari Ken Dedes dan Ken Arok-lah yang menurunkan raja-raja penerus Singasari, Raja-raja Majapahit, Raja-raja Demak sampai Raja-Raja Mataram. Dari Raden Wijaya , Tribuwana Tunggadewi, Brawijaya, Ki Ageng Selo, Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senopati, Hamengku Buwono I, Hamengku Buwono II, Hamengkubuwono III adalah para simbah dan leluhur Ki Sodewo.

Mungkin sangat sedikit literature tentang Ibu Bagus Singlon, R. Ay. Citrowati yang menurunkan Bagus Singlon sebagai hasil pernikahan dengan Pangeran Diponegoro. Hanya sedikit diceritakan bahwa Ibu Bagus Singlon, turut dibunuh Belanda pada masa perjuangan. Sehingga Bagus Singlon dititipkan kepada Ki Tembi di Madiun. Kematian Ibunya dan semangat para simbah dan leluhur Bagus Singlonlah mungkin yang membakar jiwa kepahlawanan Bagus Singlon dalam membantu Pangeran Diponegoro mempertahankan martabat keluarga dan bangsanya.

Makam Seorang Pahlawan ?

Seperti diceritakan turun-temurun keluarga trah Ki Sodewo maupun buku dongeng rakyat Kulon Progo, kesaktian ilmu ‘pancasona bumi’ Ki Sodewo mampu membuatnya hidup kembali meskipun terbunuh selama raganya masih menyentuh bumi. Perjuangan Ki Sodewo berakhir ketika dikhianati, yaitu ketika rahasia kesaktiannya dibocorkan oleh adik seperguruan di Bagelen. Karena khawatir akan kesaktian Ki Sodewo, Belanda kemudian memenggal kepala Ki Sodewo dan kemudian tubuh dan kepalanya dimakamkan secara terpisah.

Makam tubuh Ki Sodewo berada di kota Wates. Namun pada saat Kota Wates dibangun, makam tersebut sempat dipindahkan. Pada saat hendak dipindahkan terdapat kendala ketika tidak seorangpun mampu memindahkan makam tersebut. Sehingga dicarilah keturunan Ki Sodewo untuk dimintai tolong memindahkan makam. Akhirnya salah satu keturunan Ki Sodewo yang bernama Resosemito mampu memindahkannya ke makam Sideman.

Adapun petilasan makam kepala Ki Sodewo saat ini sungguh memprihatinkan. Menurut cerita turun temurun pada zaman Belanda kepala Ki Sodewo tidak dikebumikan namun disangga dengan bambu-bambu di atas perbukitan, yang kemudian dinamakan Gunung Songgo. Saat ini terdapat 2 versi cerita mengenai makam kepala Ki Sodewo.

Versi pertama menyebutkan setelah dirasa aman kemudian Belanda memindahkan makam kepala tersebut menyatu dengan tubuhnya.

Versi lainnya menyebutkan kepala telah dimakamkan di lokasi Gunung Songgo tersebut dengan hanya ditandai dengan beberapa buah batu bata. Sungguh memprihatinkan untuk ukuran seorang Putra Diponegoro yang ikut berjuang menjaga martabat Mataram.


Wisata Sejarah Kulon Progo

Makam Nyi Ageng Serang

Makam ini terletak di desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang. Jarak sekitar 32 km dari Yogyakarta. Kompleks makam Nyi Ageng Serang memiliki nilai sejarah yang tinggi untuk mengenang perjuangan beliau dalam melawan penjajahan.

Pemandian Clereng

Berada di Desa Sendangsari, Kecamatan Pengasih. Pemandian ini merupakan salah satu obyek wisata tirta dengan keberadaan kolam alami bersumber mata air Clereng dan didukung fasilitas kolam renang. Lingkungan sekitar Pemandian Clereng merupakan perbukitan yang dibawahnya mengalir mata air jernih yang juga dimanfaatkan untuk air minum dan irigasi pertanian. Pemandian Clereng terdiri dari kolam mata air alami serta dua buah kolam renang buatan manusia dengan kedalaman 0,5 - 2 meter. Oleh masyarakat sekitar, mata air pemandian Clereng kemudian dipercaya dapat membuat awet muda, serta dapat mendatangkan keselamatan dan ketentraman bagi siapa saja yang membasuh muka atau mandi di tempat ini.

Makam Girigondo

Terletak di Dusun Girigondo, Kaligintung, Temon, Kulon Progo. merupakan makam keluarga Paku Alam. Di sini telah dimakamkan Almarhum Paku Alam ke V, VI, dan VII beserta keluarganya. Makam ini terletak di atas bukit, seperti halnya makam raja-raja Mataram dan keturunannya yang ada di Imogiri.

Tembok Pagar Pengasih

Berada di Kantor Kecamatan Pengasih, tepatnya di Jalan Purbo Winoto 06 Pengasih Kulonprogo. Tembok kecamatan ini memiliki kaitan erat dengan kabupaten Kulonprogo. Tembok pagar tesebut memiliki ketebalan 40 cm. Pada bagian tengah pintu masuk kantor kecamatan terdapat bangunan gapura berbentuk Semar Tinandu. Ketinggian tembok pagar sebelah barat gapura sekitar 150 cm dan sebelah timur gapura sekitar 200 cm.

Secuil Sejarah Waduk Sermo

Tujuan pembangunan Waduk Sermo ialah untuk memberikan suplai air untuk sistem irigasi di daerah Kalibawang yang memiliki luasan daerah mencapai 7.152 Hektar. Waduk Sermo dibuat dengan membendung sungai Ngrancah dan dapat menampung air hingga 25 juta meter kubik. Waduk Sermo memiliki luas hingga 157 hektar, bahkan jika dikelilingi menggunakan motor maka jarak tempuhnya bisa mencapai 15 km.

Pembangunan Waduk Sermo dilakukan selama dua tahun delapan bulan, tercatat dari bulan Maret 1994 hingga bulan Oktober 1996 dan menghabiskan dana hingga 22 milyar rupiah. Di tahun tersebut, wilayah ini bukan tanpa penduduk, tercatat Pemerintah Daerah Kulonprogo harus melakukan “bedol desa” yaitu melakukan transmigrasi besar-besaran untuk memindahkan 107 kepala keluarga, tentu bukan hanya kepalanya yang dipindahkan tetapi seluruh tubuh anggota keluarganya juga dipindahkan ke Propinsi Bengkulu dan Propinsi Riau. Waduk Sermo baru diresmikan pada tanggal 20 November 1966 oleh Presiden Soeharto.

SEPENGGAL SEJARAH KEKALAHAN KUMPENI BELANDA
DI NANGGULAN, KULON PROGO

Makam Kapten Hermanus Van Ingen terletak di Dusun Jatingarang Kidul (Kauman), Jatisarono, Nanggulan, Kulon Progo, Propinsi DIY. Jika dari arah Yogyakarta, lokasi ini dapat dicapai melalui Jl. Diponegoro (barat Tugu) ke arah barat-lurus hingga melewati Pasar Godean-ke barat menyeberang Sungai Progo. Sesudah sampai di perempatan Nanggulan ambil jalan ke arah kiri (selatan). Pada jarak sekitar 400 meter dari perempatan ini akan ditemukan kompleks makam di Dusun Jatingarang Kidul pada sisi barat jalan. Pada kompleks makam inilah akan kita temukan nisan dari Kapten Hermanus Van Ingen.

Data Fisik

Makam atau nisan Hermanus van Ingen berada di kompleks makam umum/ kampung Jatingarang kidul. Di kompleks makam ini kecuali nisan Kapten Hermanus van Ingen juga terdapat nisan-nisan lain di sisi kanan kirinya yang menurut sumber setempat merupakan nisan dari kuda-kuda kesayangan Kapten Hermanus van Ingen.

Makam ini memiliki prasasti berbahasa Belanda yang ditakikkan di atas permukaan lempengan batu andesit. Sayangnya, tulisan dalam prasasti tersebut sekarang sudah sangat sulit dibaca secara utuh. Akan tetapi ada selarik tulisan yang masih cukup jelas berbunyi Hier Onder Rust ‘di sini beristirahat’ Onkh Hermanus Olkert Van Ingen.

Nisan Van Ingen ini berbentuk persegi dalam bangunan menyerupai balok tembok dengan ukuran panjang 166 Cm, tinggi 100 Cm, dan lebar 142 Cm. Sedangkan kenampakan prasasti Van Ingen berukuran panjang 62 Cm, lebar 40 Cm. Sedang ketebalan prasasti ini tidak bisa diketahui karena prasasti tersebut tertanam di dalam tembok.

Latar Belakang

Perang Jawa/Perang Diponegoro/de Java Oorlog pecah tanggal 20 Juli 1825. Perang ini berlangsung selama 5 tahun dan sempat membuat pemerintah Negeri Belanda diliputi kecemasan yang luar biasa. Keuangan Belanda bisa dikatakan hampir bangkrut, tenaga militer kurang, dan banyak jatuh korban.

Siasat gerilya yang diterapkan Pangeran Diponegoro dengan pasukannya waktu itu hampir tidak bisa ditandingi. Belanda dibuat pontang-panting oleh pergerakan pasukan lawan yang sangat mobil dan militansi yang sangat kuat. Untuk memotong dan membendung jalur-jalur mobilitas itu Belanda menerapkan strategi perang yang terkenal dengan nama benteng stelsel. Benteng stelsel ini sangat efektif untuk untuk menguasai dan mengontrol daerah-daerah di sekitar benteng; mencegah mobilitas dan perhubungan pasukan rakyat pimpinan Pangeran Diponegoro; memadamkan benih perlawanan rakyat di sekitar benteng; mengurung pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro.

Seperti biasa, Belanda mengetrapkan politik licik dan rendahnya yakni, devide et impera-nya. Banyak keluarga raja-raja Jawa baik dari Kasultanan, Kasunanan, Paku Alaman, dan Mangkunegaran yang dibujuk rayu dan direkrut untuk membantu Belanda dengan banyak iming-iming. Mulai dari kedudukan, gelar, hadiah material (kain, emas, minuman keras), dan uang. Akibatnya mereka pun saling bunuh dengan pasukan Pangeran Diponegoro.

Strategi benteng stelsel ini mengakibatkan benteng-benteng atau pos pertahanan Belanda dibangun di banyak tempat. Tidak kurang dari 200-an benteng yang dibangun Belanda di Jawa, khususnya Jawa Tengah-Yogyakarta-Surakarta sehingga seolah-olah Belanda menaburkan benteng di tanah Jawa. Benteng-benteng itu di antaranya dibuat di Bantul, Brosot, Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Delanggu, Pasar Gede, Kemulaka, Trayem, Jatianom, Delanggu, Pijenan, Tegalwaru, Beliga, tepian Sungai Bedog, Kanigoro, Mangir, Grogol, Brosot, Danalaya, Grobyak, dan sebagainya.

Salah satu benteng Belanda dibuat pula di Nanggulan, Kulon Progo. Hanya saja benteng Belanda di Nanggulan ini tidak aman dari serbuan pengikut Pangeran Diponegoro. Pada tanggal 20 Desember 1828 benteng di Nanggulan ini diserbu pasukan Pangeran Diponegoro yang dikepalai oleh Alibasyah Sentot Prawirodirdjo. Penyerbuan itu diulanginya lagi pada tanggal 28 Desember 1828. Penyerangan yang kedua ini mengakibatkan pertempuran sengit. Berpuluh-puluh orang tewas di pihak Belanda bersama sekutunya maupun di pihak pasukan penyerang. Bahkan salah seorang perwira Belanda yang bernama Kapten Hermanus Van Ingen tewas dalam peperangan ini. Pangeran Prangwadana yang membantu Belanda waktu itu juga tewas di tempat itu.

Nama Nanggulan diduga berasal dari kata nanggul atau nanggulangi yang berarti membentengi/menghalangi. Semula diduga ada benteng pertahanan buatan pasukan Pangeran Diponegoro. Kemudian dihancurkan oleh Belanda. Pada gilirannya benteng itu diserbu pasukan Pangeran Diponegoro di bawah Sentot Prawirodirdjo. Berdasarkan hal itulah kemudian muncul nama Nanggulan seperti yang kita kenal sekarang ini.

Menyingkap Misteri Gunung Lanang

Selama ini, Gunung Lanang populer sebagai tempat berburu wahyu. Setiap bulan Suro ritual berskala besar digelar disertai pagelaran wayang. Tetapi, ada misteri lain terkait asal mula gunung ini, yang nyaris tertutup oleh berbagai mitos lain. Gunung Lanang terletak di kawasan Pantai Congot, Kulonprogo. Gunung ini terkenal sebagai tempatnya para pelaku tirakat yang memburu pangkat dan derajat. Bahkan, wahyu keprabon.

Tetapi, realitas Gunung Lanang ini membuat orang bertanda tanya. Pasalnya, berbagai bangunan yang ada di komplek petilasan Gunung Lanang ini diberi nama-nama berbau Hindu. Misalnya, Astana Jingga, Badraloka Mandira, Candi Wisuda Panitisan dan Tirta Kencana. Kecuali itu, di komplek Tirta Kencana juga didapati sebuah prasasti Ajisaka, terbuat dari semen berbentuk mirip sebuah pohon dengan dahan dan batangnya penuh aksara Jawa.

Nama-nama berbau Hindu yang disematkan pada sejumlah bagian komplek Gunung Lanang, memiliki arti yang sungguh menggugah daya tarik mistis seseorang. Astana Jingga artinya sebuah tempat yang memancarkan sinar kuning kemerahan. Badraloka Mandira berarti sebuah bangunan dari batu bata yang memancarkan sinar keagungan. Sedangkan kata ‘Lanang’ diartikan sebagai lelaki, yang merujuk pada keyakinan bahwa Gunung Lanang tersebut merupakan petilasan seorang bangsawan dari Mataram Kuno.

Gunung LanangMelihat nama-nama bercirikan Hindu dan maknanya, serta keyakinan sejumlah orang yang mengatakan Gunung Lanang sebagai petilasan bangsawan Mataram Kuno, tentu akan terhenyak jika kemudian melihat langsung petilasan ini. Sebab, segala nama dan ciri-ciri Mataram Kuno sebagaimana diyakini itu sungguh terasa bagai mitos yang dipaksakan. Sebab, tak ada satu pun ciri peninggalan zaman Mataram Kuno yang bisa didapatkan di tempat ini. Mengapa nama-nama itu disematkan, dikenal luas dan bagaimana sesungguhnya riwayat Gunung Lanang?

Nuansa Hindu

Gunung Lanang sebenarnya hanya sebuah bukit kecil di kawasan dusun Bayeman, Sindutan, Temon Kulonprogo, Jogjakarta. Pada puncaknya, didapati sebuah bangunan mirip monumen yang diberi nama Sasana Sukma. Puncak ini merupakan tempat dilakukannya berbagai ritual. Sebelum masuk ke puncak itu, di bawahnya terdapat bangunan terbuka yang terdiri dari empat trap. Tempat ini disebut Candi Wisuda Panitisan.

Di sebelah barat Gunung Lanang, terdapat komplek bangunan Purna Graha atau Graha Kencana dan Tirta Kencana. Purna Graha merupakan tempat ritual khusus yang keberadaannya selalu terkunci untuk melindungi benda-benda yang dianggap berharga seperti pusaka. Tirta Kencana merupakan tempat air suci yang terbagi dalam dua bilik. Kedua bilik diberi genthong besar sebagai tempat menampung air suci. Dua bilik itu diberi nama Nawangwulan dan Nawangsih. Dua nama bidadari zaman Joko Tarub ini semakin membuyarkan kesan mistis zaman Mataram Kuno. Misteri apa yang sebenarnya tersembunyi di balik semua ciri fisik Gunung Lanang ini?

Gunung Lanang ini sudah dikenal sejak zaman Jepang. Di kala itu, Gunung Lanang adalah sebuah pasar yang ramai pada malam Selasa dan Jumat Kliwon. Bersamaan dengan itu, Gunung Lanang juga sudah dikenal keramat. Tak bisa dijelaskan bagaimana kemudian nama-nama Hindu itu disematkan di berbagai bagian komplek Gunung Lanang. Juru kunci  hanya menerima saja setiap bentuk sumbangan dari pelaku tirakat, yang hendak membangun kawasan Gunung Lanang berdasarkan wangsit.

Juru kunci Gunung Lanang, menurut Prawiro, sudah berganti selama empat generasi. Prawiro sendiri sudah 15 tahun menjadi juru kunci di gunung itu. Menurutnya, juru kunci diwariskan secara turun-temurun. Tak seorang pun kuat menjadi juru kunci jika bukan dari garis keturunan juru kunci. Masyarakat setempat meyakini, Gunung Lanang adalah pengayomnya. Apa yang terungkap dari penuturan jujur Prawiro Suwito tentang riwayat Gunung Lanang ini, ternyata semakin membuat ciri-ciri Hindu sebagaimana tampak pada nama-nama bagian komplek gunung tersebut menjadi samar. Pasalnya, Prawiro justru mengemukakan fakta tutur yang sungguh lain dari mitos Gunung Lanang yang selama ini dikenal sebagai petilasan bertapa bangsawan Mataram Kuno.

Petilasan Adipati Anom

Gunung Lanang Sedikit saja yang bisa digali dari penuturan juru kunci Gunung Lanang. Tetapi, sepenggal riwayat menampakkan titik terang terkait kebenaran asal-mula Gunung Lanang. Gunung Lanang sebenarnya adalah petilasan Adipati Anom, putra Sunan Mangku Rat I. Adipati Anom yang bersekutu dengan Belanda, disebutkan oleh Prawiro singgah di Gunung Lanang, setelah berhasil lolos dari kejaran para musuh di Cilacap.

Keterangan ini mengungkap sejarah Mataram Hadiningrat, pasca Geger Trunojoyo di tahun 1675-1677 Masehi. Seperti diketahui, Mataram Hadiningrat di Pleret memang pernah runtuh oleh pemberontakan besar yang dipimpin oleh putra Adipati Cakraningrat di Madura, Trunojoyo. Runtuhnya Keraton Mataram di Pleret itu memaksa Sunan Mangku Rat I melarikan diri ke arah barat, bersama putra pangerannya. Sunan Mangku Rat I kemudian dalam Babad Ing Sengkala disebutkan wafat pada 10 Februari 1677 Masehi di Wanayasa, Banyumas. Sunan Mangku Rat I dimakamkan di Tegal Arum, sehingga kemudian dikenal pula dengan julukan Sunan Tegal Arum.

Sebelum meninggal, Sunan Mangku Rat I telah menunjuk putranya, Adipati Anom, untuk menggantikannya sebagai raja dengan dukungan pihak Belanda. Dengan demikian, Adipati Anom segera kembali ke Jogjakarta, guna merebut kembali Keraton Mataram di Pleret yang saat itu sudah dikuasai oleh Adipati Trunojoyo. Menjadi logis  jika pada saat perjalanan kembali dari Banyumas/Cilacap itu, Adipati Anom singgah di Gunung Lanang bersama seorang putri yang tidak diketahui namanya.

Prawiro mengatakan, selama beberapa hari lamanya, Adipati Anom menetap di puncak Gunung Lanang. Sedangkan putri yang dibawanya dari Cilacap itu tinggal di sebelah barat Gunung Lanang, yang kini menjadi komplek Tirta Kencana. Prawiro mengatakan, Tirta Kencana itu dulu hanya sebuah Sendang bernama Sinongko.

Hubungan dengan Mataram

Riwayat Gunung Lanang versi juru kunci tersebut, pada kemudian hari dikuatkan oleh kedatangan sejumlah kerabat Keraton Mataram di Jogjakarta yang bertirakat di gunung itu. Bahkan, Prawiro mengatakan, Sultan HB IX mendapatkan wahyu keprabon di Gunung Lanang. Banyak lagi menurut Prawiro, kerabat Keraton Mataram yang datang ke Gunung Lanang dengan menyamar. Hubungan antara Keraton Jogjakarta dengan Gunung Lanang ini juga dikuatkan lagi dengan adanya pemberian tombak pusaka dari Keraton Jogjakarta. Sayang, menurut Prawiro, tombak pusaka itu telah hilang dicuri orang dan hanya tinggal gagangnya saja.

Prawiro juga mengatakan, ketika Sultan HB IX jumeneng praja, kakek buyutnya yang menjadi juru kunci diberi nama keraton, Harjowiyono. “Nama asli buyut saya itu Singojoyo. Dari mbah buyut saya itulah diceritakan riwayat Adipati Anom yang setelah bertahta bergelar Sunan Mangku Rat II”, ujar Prawiro.

Pada perkembangan selanjutnya, di sebelah selatan komplek Sendang Sinongko atau Tirta Kencana, terdapat bangunan tinggi yang disebut Gapura atau Astana Silongok. Bangunan ini menurut Prawiro digunakan oleh kerabat Keraton yang ingin menatap keluasan Laut Kidul. Diduga, bangunan ini dibuat di masa Sultan HB IX, sebagai sarana kontak batin dengan Ratu Kidul.

Adanya kesaksian mistis tentang didapatkannya wahyu keprabon Sultan HB IX di Gunung Lanang, pada masa berikutnya menarik sejumlah tokoh penting di negara ini. Prawiro mengatakan, seseorang yang mengaku utusan Pak Harto, pengusa ORBA, pernah datang bertirakat selama beberapa hari di Gunung Lanang. Prawiro juga menyebut pernah datangnya seseorang yang mengaku sebagai utusan Megawati.

Kini, Gunung Lanang tetap dilestarikan. Ritual besar diselenggarakan setiap malam 1 Suro. Dari para pelaku tirakat, diketahui godaan di Gunung Lanang ini cukup berat. Antara lain cobaan dari siluman Ular putih, Macan putih, Perkutut putih dan sejenisnya. Ada pun sang mbaurekso Gunung Lanang menurut Prawiro adalah Eyang Sidik Permana. Para pelaku tirakat yang berhasil ujubnya akan ditemui oleh Eyang Sidik Permana yang menurut Prawiro berjenggot panjang nyaris menyentuh tanah. Mengenakan udheng dan busana serba hitam. “Dari kesaksian lain, Sunan Kalijaga juga bisa muncul jika ujubnya terkabul”, pungkas Prawiro.

Puncak Suroloyo, Meneropong Borobudur dari Pertapaan Sultan Agung

Matahari muncul dalam warna kemerahan kurang lebih pada pukul 5.00 WIB, menyembul di antara ranting pohon yang berwarna hijau. Sinarnya membuat langit terbagi dalam tiga warna utama, biru, jingga dan kuning. Serentak saat warna langit mulai terbagi, sekelompok burung berwarna hitam mulai meramaikan angkasa dan membuat suara serangga tanah yang semula kencang perlahan melirih.

Empat gunung besar di Pulau Jawa, yaitu Merapi, Merbabu, Sumbing dan Sindoro menyembul di antara kabut putih. Ketebalan kabut putih itu tampak seperti ombak yang menenggelamkan daratan hingga yang tersisa hanya sawah yang membentuk susunan tapak siring dan pepohonan yang terletak di dataran yang lebih tinggi. Dari balik kabut putih itu pula, stupa puncak Candi Borobudur yang tampak berwarna hitam muncul di permukaan lautan kabut.

Itulah pemandangan yang bisa dilihat saat fajar ketika berdiri di Puncak Suroloyo, buykit tertinggi di Pegunungan Menoreh yang berada pada 1.091 meter di atas permukaan laut. Untuk menikmatinya, anda harus melewati jalan berkelok tajam serta menakhlukkan tanjakan yang cukup curam, dan memulai perjalanan setidaknya pada pukul 2 dini hari. Dua jalur bisa dipilih, pertama rute Jalan Godean - Sentolo - Kalibawang dan kedua rute Jalan Magelang - Pasar Muntilan - Kalibawang. Rute pertama lebih baik dipilih karena akan membawa anda lebih cepat sampai. Tentu anda mesti berada dalam kondisi fisik prima, demikian juga kendaraan yang mesti berisi bahan bakar penuh serta bila perlu membawa ban cadangan.

Setelah berjalan kurang lebih 40 km, anda akan menemui papan penunjuk ke arah Sendang Sono. Anda bisa berbelok ke kiri untuk menuju Puncak Suroloyo, namun disarankan anda berjalan terus dahulu sejauh 500 meter hingga menemui pertigaan kecil dan berbelok ke kiri karena jalannya lebih halus. Dari situ, anda masih harus menanjak lagi sejauh 15 km untuk menuju Puncak Suroloyo. Sebuah perjalanan yang melelahkan memang, namun terbayar dengan keindahan pemandangan yang dapat dilihat.

Pertanda anda telah sampai di bukit Suroloyo adalah terlihatnya tiga buah gardu pandang yang juga dikenal dengan istilah pertapaan, yang masing-masing bernama Suroloyo, Sariloyo dan Kaendran. Suroloyo adalah pertapaan yang pertama kali dijumpai, bisa dijangkau dengan berjalan kaki menaiki 286 anak tangga dengan kemiringan 300 - 600. Dari puncak, anda bisa melihat Candi Borobudur dengan lebih jelas, Gunung Merapi dan Merbabu, serta pemandangan kota Magelang bila kabut tak menutupi.

Pertapaan Suroloyo merupakan yang paling legendaris. Menurut cerita, di pertapaan inilah Raden Mas Rangsang yang kemudian bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo bertapa untuk menjalankan wangsit yang datang padanya. Dalam kitab Cabolek karya Ngabehi Yosodipuro yang ditulis pada abad 18, Sultan Agung mendapat dua wangsit, pertama bahwa ia akan menjadi penguasa tanah Jawa sehingga mendorongnya berjalan ke arah barat Kotagede hingga sampai di Pegunungan Menoreh, keduia bahwa ia harus melakuykan tapa kesatrian agar bisa menjadi penguasa.

Menuju pertapaan lain, anda akan melihat pemandangan yang berbeda pula. Di puncak Sariloyo yang terletak 200 meter barat pertapaan Suroloyo, anda akan melihat Gunung Sumbing dan Sindoro dengan lebih jelas. Sebelum mencapai pertapaan itu, anda bisa melihat tugu pembatas propinsi DIY dengan Jawa Tengah yang berdiri di tanah datar Tegal Kepanasan. Dari pertapaan Sariloyo, bila berjalan 250 meter dan naik ke pertapaan Kaendran, anda akan dapat melihat pemandangan kota Kulon Progo dan keindahan pantai Glagah.‎

Usai melihat pemandangan di ketiga pertapaan, anda bisa berkeliling wilayah Puncak Suroloyo dan melihat aktivitas penduduk di pagi hari. Biasanya, mulai sekitar pukul 5 pagi penduduk sudah berangkat ke sawah sambil menghisap rokok linting. Bila anda berjalan di dekat para penduduk itu, aroma sedap kemenyan akan menyapa indra penciuman sebab kebanyakan pria yang merokok mencampur tembakau linting dengan kemenyan untuk menyedapkan aroma.

Selain memiliki pemandangan yang mengagumkan, Puncak Suroloyo juga menyimpan mitos. Puncak ini diyakini sebagai kiblat pancering bumi (pusat dari empat penjuru) di tanah Jawa. Masyarakat setempat percaya bahwa puncak ini adalah pertemuan dua garis yang ditarik dari utara ke selatan dan dari arah barat ke timur Pulau Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar