Selasa, 17 Maret 2015

Sekilas Perjalanan dan Awal Nama Sukoharjo

Ijinkan saya kembali bercerita tentang perjalanan pribadi dalam menggapai visi ideal menyangkut kualitas diri dan peran dalam kehidupan: Satrio Pinandhito. Sesungguhnya, Nusantara saat ini membutuhkan kehadiran ribuan bahkan jutaan satrio pinandhita untuk mengisi ruang-ruang kepemimpinan di berbagai sektor, sektor pemerintahan, militer, maupun masyarakat sipil. Di tengah gonjang-ganjing politik yang terus meningkat, ketimpangan sosial yang demikian akut, kualitas lingkungan yang memburuk, kekacauan budaya, plus ancaman bencana alam, jelas dibutuhkan kehadiran manusia-manusia yang mampu memberikan terobosan, ide-ide segar, dan kepemimpinan yang bisa membawa negeri ini ke arah yang baru.

Lalu mengapa harus satrio pinandhito? Satrio pinandhito menggambarkan sosok ksatria, pemimpin komunitas, politik atau militer, yang juga memiliki jiwa kepanditaan. Jiwa kepanditaan ini tercerminkan dalam kesadaran spiritual yang tinggi dan budi pekerti luhur. Kontras dengan yang terjadi saat ini: tengah meruyak fenomena “Petruk dadi ratu”. Petruk, sejatinya adalah profil punakawan atau pengemong para satria yang baik. 

Namun, ketika ia memaksakan diri menjadi ratu atau satria tingkat puncak, ia justru melahirkan berbagai kekacauan dan ketidakselarasan. Sebabnya adalah, tanpa kapasitas menjadi pemimpin, ia memaksakan diri menjadi pemimpin. Lebih jelas, “Petruk dadi ratu” menggambarkan sosok “pemimpin yang gagal dalam kepemimpinannya, karena tidak memiliki kecakapan, kharisma, kualitas moral, keteladanan dalam budi pekerti, dan justru terjebak oleh egoisme dan nafsu tercela”. Berlawanan dengan itu, satrio pinandhito mengandaikan keberadaan sosok pemimpin yang benar-benar bisa menjadi pemimpin dan sanggup menghadirkan kebaikan karena memang memiliki semua kualitas yang dibutuhkan: kualitas spiritual, manajerial, emosional. Dalam konsepsi modern, satrio pinandhito sebanding dengan pemimpin profetik – pemimpin yang memiliki kualitas “kenabian”, yang sanggup melakukan hal-hal yang tak bisa dilakukan manusia pada umumnya, melampaui tantangan yang teramat sulit, bahkan menciptakan keajaiban.


Di kisahkan setelah tahta Kerajaan Majapahit runtuh karena serbuan bala tentara Kerajaan Demak, Sebagian besar para pembesar kraton melarikan diri ke berbagai daerah untuk menyelamatkan diri. Dengan  menyamar seperti rakyat jelata, mereka berlari menyelamatkan diri agar identitas mereka tidak diketahui dan membantu Kerajaan Demak dari luar. Dan  untuk menghindari kejaran musuh, mereka sering keluar masuk hutan, menyeberangi sungai yang besar sampai mendaki gunung untuk menyelamatkan diri melakukan pengembaraan tak tentu arah.

Di antara para pembesar Kerajaan Majapahit  yang melakukan pengembaraan itu, ada yang telah sampai di Pegunungan Seribu ( daerah diperbatasan Jawa Tengah dan DIY). Namanya Pangeran Banjaran (nama Samaran)

Pangeran Banjaran adalah Bangsawan yang sangat mencintai rakyat dan beliau adalah seorang pemuda yang gagah dan sakti dengan menguasai beberapa ajian dan ilmu kesaktian Majapahit.

Dalam pengelanaannya, suatu ketika, dia dicegat oleh segerombolan begal yang akan merampoknya. Namun, karena kemampuan kanuragan yang dia miliki, Pangeran Banjaran tak sedikitpun gentar dengan begal yang hendak merampoknya itu. Bahkan malah menantang begal-begal tersebut. Namun, sebelum adu kanuragan terjadi antara Pangeran Banjaran dan begal-begal terjadi, maka, muncullah sosok manusia yang melerai perkelahian itu. 

Dengan bijaknya, sosok laki-laki yang melerai tersebut menasehati para begal agar tidak melawan laki-laki yang dicegatnya, yang adalah Pangeran Banjaran. Para begal tetap akan kalah ketika melawan Pangeran Banjaran. Tetapi, apa yang dinasehatkan pada para begal seolah menguap begitu saja. Bahkan laki-laki yang meleraipun akan dibininasakan juga.

Namun, sebelum hal itu terjadi, sosok laki-laki dengan pakaian wali tersebut mengaku di sebagai Sunan Kalijaga. Maka, terkejutlah para begal dan Pangeran Banjaran dengan kemunculan Sunan Kalijaga. Selanjutnya, Pangeran Banjaran dan begal yang hendak merampoknya berlutut di hadapan Sunan Kalijaga agar diterima menjadi muridnya. Dengan ketakutan sekaligus kagum, para begal mengatakan bahwa mareka sebenarnya ingin bertobat sejak lama. Maka diterimalah para begal dan Pangeran Banjaran menjadi murid Sunan Kalijaga. Dan berangkatlah mereka menuju padepokan sang Sunan.

Setelah sekian lama belajar pada Sunan Kalijaga, maka Pangeran Banjaran mendapat tugas membabat alas Taruwongso dan membantu penduduk sekitarnya untuk keluar dari paceklik yang tengah melanda mereka. Maka dengan segala ilmu yang dimilikinya, didatangilah alas Taruwongso yang terkenal sebagai istana para jin. 

Dan dalam pengembaraannya sampailah Sang Pangeran di kaki Gunung.
Dalam pandangan Sang Pangeran Gunung didepannya mempunyai kekuatan aneh yang membuat perasaan ingin tahu dan tertantang untuk mengetahuinya. Maka dengan sikap hati-hati Pangeran melangkah mendaki gunung tersebut. 

Belum sejengkal melangkah Pangeran  dikejutkan dengan serangan hebat dari sekelompok bangsa jin penunggu gunung Taruwangsa. dengan segera Pangeran  mengerahkan kesaktiannya untuk menangkis serangan bangsa jin dengan membungkus diri dengan himpunan tenaga sakti, hingga tak satupun serangan bangsa jin itu berhasil menyentuh tubuhnya. 

Dengan kesaktian Pangeran Banjaran tersebut, bangsa jin  yang jumlahnya ratusan tersebut sangatlah tidak sepadan dengan kesaktian Sang Pangeran Namun bangsa jin tersebut bukannya berhenti untuk menyerang, hingga  dengan segenap kemampuannya ingin segera menghentikan pertempuran ini. 

Mendadak, dari tubuh Pangeran keluar pusaran angin yang sangat dahsyat. Pusaran angin yang keluar dari tubuh Pangeran yang  seperti angin puyuh tersebuat membuat  pohon-pohon bertumbangan dan batu-batu tebing berhamburan hingga membuat ratusan bangsa jin terhempas kemana-mana. 


Setelah terjadi pertempuran denan para jin penghuni alas Taruwongso, keluarlah Pangeran Banjaran ebagai pemenangnya. Pemimpin bangsa jin akhirnya mengakui kesaktian Pangeran  dan pergi dari gunung itu dan diperintahkan untuk ke gunung Lawu. 
Maka sejak itu, Pangeran berkeinginan menetap di puncak Gunung Taruwangsa itu. 


Melihat keadaan masyarakat sekitar alas Taruwongso yang sedang dilanda paceklik dan mengidam-idamkan keadaan Raharjo, maka Pangeran Banjaran menamakan daerah tersebut dengan nama Sukoharjo.


Ki Ageng Sutawijaya atau Ki Ageng Majastan yang tinggal di puncak gunung Majasto mendengar bahwa di Gunung Taruwangsa sekarang tidak angker lagi berkeinginan untuk mengetahui kebenaran cerita itu dengan datang sendiri ke Gunung Taruwangsa. Sesampai sampai di lereng Gunung Taruwangsa, Ki Ageng merasa kehausan dan ingin meminum buah kelapa yang banyak tumbuh dilereng itu. Ki Ageng Majastan yang sakti itu melemparkan sabitnya ke atas dan ada beberapa buah kelapa jatuh di dekat Ki Ageng Majastan. 

Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Ki Ageng Majastan ," Apabila  Ki Ageng masih haus, Ki Ageng bisa  memilih buah kelapa muda yang masih segar di sini ", terdengar suara itu dan di lihatnya seorang pemuda.
Tiba-tiba saja pohon kelapa itu menunduk didepan Ki Ageng Majastan. Ki Ageng Majastan itu pun tak kuasa menolak dan memilih beberapa buah kelapa muda segar. 

Ki Ageng Majastan sangat kagum terhadap kesaktian pemuda didepannya itu maka dengan serta merta Ki Ageng Majastan mengajak berkenalan. Dari perkenalan itu diketahui bahwa ternyata mereka adalah sama-sama keturunan Majapahit. Ki Ageng Majastan sangat senang, begitu pula Pangeran Banjaran. Untuk mempererat persaudaraan keduanya, Ki Ageng Majastan berkehendak untuk menikahkan Sang Pangeran dengan salah satu putrinya.

Hari pun berganti, tibalah musim penghujan kini tiba saatnya untuk bertanam padi. Bertani adalah pekerjaan utama  bagi masyarakat di sekitar Gunung Majasto tempat Ki Ageng Majastan tinggal. Ki Ageng Majastan yang  telah tua itu bersedih. Ki Ageng tak mampu lagi untuk mengerjakan sawah yang sangat luas itu. Di tengah kesedihannya ia berguman menyesalkan pada Sang Pangeran yang tak datang membantunya. " Orang tua kesulitan mengerjakan sawah kok anakku bersenang-senang di puncak gunung ", begitu guman Ki Ageng. Anehnya, guman Ki Ageng yang tak terdengar oleh oarang disekitarnya itu terdengar jelas oleh Sang Pangeran  di puncak gunung taruwangsa. Maka dengan mengerahkan kesaktiannya Sang Pangeran diam-diam datang ke Majasta untuk menegerjakan sawah seorang diri, menjadi tanah banjaran yang siap di tanamai.

Alangkah terkejutnya Ki Ageng Majastan melihat sawahnya telah siap ditanami ketika bersama warga desa datang ke sawah. Kemudian ia berkata," Hanya satu orang di sekitar sini yang bisa melakukan pekerjaan menakjubkan ini, dialah menantuku Wahai warga desaku, jadilah saksi bahwa menantuku sekarang bernama BanjaranSari. 

Maka sejak saat itu Pangeran Banjaran  di kenal dengan sebutan Ki Ageng Banjarasari sampai akhir hayatnya dan konon di makamkan di puncak Gunung Taruwangsa.
Dan sebagai Salah satu tempat dalam perjuangan nya. 

Tertarik dengan wisata sejarah, plus mencari suasana alam dengan panorama menarik? Perjalanan ke makam Ki Ageng Banjaran Sari di Dukuh Tengklik, Desa Watubonang, Kecamatan Tawangsari, Sukoharjo, boleh dicoba. Makam yang terletak di kaki Bukti Taruwangsa ini cukup ramai dikunjungi warga dan memiliki daya tarik tersendiri dari sisi sejarah.

Selain terdapat makam Ki Ageng Banjaran Sari, Bukit Taruwangsa terdapat tujuh mata air atau sendang. Tujuh sendang itu adalah Sendang Jaya Kusuma, Sendang Sikapa, Sendang Clarat, sendang Cahyawati, Sendang Gendong, dan dua mata air yang namanya Sendang Kembar. Deretan bebatuan unik ikut menambah daya tarik sekitar makam Ki Ageng Banjaran Sari. Batu-batu itu diberi nama sesuai dengan bentuknya, yakni Batu Gajah, Batu Kandang, Batu Pecak, Batu Manten, Batu Gua, Batu Gebyok dan Batu Amben. 

1 komentar: