Selasa, 07 April 2015

Jejak Sejarah di Situs Denuh Tasikmalaya

Talaga Denuh merupakan suatu telaga alami yang dikelilingi oleh perbukitan dan juga aliran sungai. Talaga Denuh secara administratif berada di Kampung Daracana, Desa Cikuya, Kecamatan Culamega, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Lokasi ini terletak ±100 Km dari Tasikmalaya, Jawa Barat melalui jalur utama menuju Kecamatan Cipatujah di pesisir Selatan Kabupaten Tasikmalaya. Jalur ini melewati ruas jalan Provinsi yang secara keseluruhan kondisinya cukup baik, hanya akan ditemui beberapa ruas jalan yang rusak karena berlubang, seperti yang terdapat di Kecamatan Sukapura, Kecamatan Cibalong, dan Kecamatan Singajaya. Untuk menuju Kecamatan Culamega, ikuti jalan yang melewati Uurg, Karangnunggal, objek wisata Pamijahan, Bantarkalong, hingga tiba di persimpangan Darawati. Sudah terdapat papan penunjuk jalan dan ada pos ojek Darawati sebagai patokan. Dari persimpangan Darawati akan diperukan waktu kurang lebih 30-50 menit untuk tiba di Daracana, desa terakhir sebelum perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. 

Kondisi jalan dari Darawati hingga Desa Cikuya cukup rusak, tetapi tidak parah, kelas jalan Kabupaten dengan lapisan apsal paling atas yang sudah menghilang akan mendominasi jalur ini. Jalur Darawati-Nangelasari-Cikuya ini akan melewati permukiman penduduk dan areal perkebunan karet tepat sebelum memasuki Desa Bojongasih di Kecamatan Culamega. Apabila melintas di jalur ini dari pagi hingga sore hari, lalu lintas akan didominasi oleh sepeda motor, Elf, dan beberapa kendaraan pribadi, tetapi sore menjelang malam, lalu lintas akan didominasi oleh truk angkutan barang, yang kebanyakan mengangkut kayu hasil perkebunan. Kondisi jalan yang cukup baik akan mulai ditemui ketika memasuki areal perkebunan karet hingga persimpangan Desa Bojongsari. Apabila kesulitan mencari jalur pada peta, sebaiknya bertanya kepada warga setiap menemukan persimpangan jalan. Kebanyakan warga disekitar sudah mengetahui Talaga Denuh sehingga tidak akan sulit untuk meminta arahan jalan.
Memasuki Desa Bojongasih, kondisi jalan kembali tidak terlalu baik, dengan lubang disana-sini serta lapisan atas aspal yang sudah menghilang akan terus dilewati hingga persimpangan Kp. Daracana-Desa Bojongsari. Sepanjang jalur Desa Bojongsari ini padat dengan permukian penduduk, pertama-tama jalan akan menurun hingga menyebrang sebuah aliran sungai yang cukup besar didasar bukit dan kemudian jalan akan kembali datar dan menanjak meskipun tidak terlalu curam. Tidak peru khawatir tersesat, karena jalan yang ada hanya 1 dan sebagian besar warga sudah cukup mengenal Talaga Denuh. Di ruas jalan ini juga cukup banyak truk yang melintas mengangkut hasil kayu ketika menjelang sore hari. Sore hari, truk akan melakukan bongkar muat kayu dan kemudian sebagian besar akan berangkat ketika sudah mulai gelap. Perjalanan malam dilakukan agar tidak menghambat lalu lintas pada siang hari yang lebih banyak didominasi oleh sepeda motor dan Elf meskipun untuk ukuran yang terbiasa dengan lalu lintas di kota besar masih bisa digolongkan cukup sepi.
Jalur Desa Bojongsari ini sejajar dengan aliran sungai yang juga mengalir diantara perbukitan tempat Talaga Denuh berada. Aliran Sungai Cipatujah di Desa Bojongsari ini memisahkan jalur utama DesaBojongsari-Daracana dengan kampung-kampung lainnya di perbukitan dan areal sawah yang hampir mendominasi sepanjang aliran di dasar perbukitan. Desa Bojongsari bisa dikatakan cukup ramai, ada beberapa tempat peribadatan, warung-warung kecil yang sekaligus rumah, beberapa lokasi untuk menyimpan kayu hasil tebang di hutan-hutan di perbukitan, dan penjual bensin eceran pun cukup mudah ditemui. Untuk menuju Kp. Daracana yang letaknya diatas bukit, ikuti saja jalan Desa Bojongsari sampai didepan SD dan didepannya sudah merupakan arah menuju ke pinggir sungai, jalan buntu. Didepan SD ini ambil jalan menanjak disebelah kiri, jalurnya akan terus menanjak dan cukup berat dengan kondisi sudah di cor, sebaiknya lebih berhati-hati karena jalurnya lebih sempit, kira-kira hanya selebar 1 buah mobil minibus dengan sisi kanan berupa jurang dan sisi kiri merupakan tebing yang batu-batunya mudah terlepas. Bila hujan, jalannya akan sedikit lebih licin. Tidak berapa lama setelah berbelok dari depan SD, kita akan menemui persimpangan jalan di lokasi yang sedikit datar, ambil yang kearah kiri, jalan yang terus menanjak, ikuti terus jalur tesebut hingga nantinya jalan akan menurun dan sampai pada sebuah daerah datar yang cukup luas dengan kondisi jalan cor yang mulai habis. Di ujung jalan cor ini, ambil jalan yang kearah bawah disebelah kiri dan berhenti didepan SDN Denuh, tempat untuk menitipkan kendaraan sekaligus titik awal untuk memulai perjalanan dengan berjalan kaki.
Jalan setapak menuju Talaga Denuh berada diseberang SDN Denuh dengan kondisi yang pada saat itu berubah menjadi lumpur sampai menemui lapangan sepak bola. Di lapangan sepak bola ini ambil jalan yang berada tepat disebrang jalan setapak tempat kita tiba, karena memang cukup banyak percabangan jalan disekeliling lapangan sepak bola ini. Medan yang ditempuh akan berupa turunan selama kurang lebih 10-15 menit melalui jalan setapak didalam kebun milik warga yang kemudian akan sedikit menyusur disamping pematang sawah hingga akhirnya turun terus hingga ke pematang sawah tepat di pinggir aliran Sungai Cipatujah. Tidak ada jembatan untuk menyebrang aliran sungai ini, sehingga kami sempat diperingatkan oleh warga untuk tidak nekat menyebrang bila airnya meluap dan ketika hujan. Ketika hujan seluruh trek yang berupa jalan setapak yang sangat sempit itu akan menajdi sangat licin dan dikhawatirkan tergelincir jatuh langsung ke jurang yang tepat berada di sisi jalan setapak ini. Sebenarnya dari atas jalan setapak, sekilas terlihat jembatan dari bambu, tetapi karena memang letaknya sangat jauh, tidak sempat memastikan bagaimana kondisinya dan juga jalan yang harus diambil untuk menuju jalan setapak menuju Talaga Denuh jaraknya cukup jauh dan melalui pematang sawah yang sempit dan langsung berada ditepi sungai, sama-sama berisiko. 

Setelah menyebrang sungai, maka perjalanan dilanjutkan dengan medan jalan setapak yang semakin kecil dan tertutup semak belukar dan ranting pepohonan yang akan terus menanjak hngga puncak bukit yang dapat kita lihat sebelumnya pada saat berjalan keluar dari jalan setapak di kebun warga sebelum pematang sawah. Dari sini, menurut informasi perjalanan akan ditempuh selama 30 menit saja bagi yang sudah terbiasa dan bagi warga sekitar, itupun jika kondisi jalan setapak tidak licin dan tidak dalam kondisi hujan. Sebenarnya warga disana sudah sempat menghimbau agar cukup berhati-hati melewati jalan setapak disebrang sungai menuju puncak bukit, karena jalannya banyak yang tertutup pepohonan, cukup terjal, dan bila salah melangkah akan langsung terjatuh ke sungai. Setelah menanjak, kita akan menyusuri jalan yang cukup datar menuju puncak bukit dan sedikit menanjak lagi, dan akhirnya kita akan tiba di Talaga Denuh, yang berada sedikit lebih rendah.
Sebenarnya disekeliling Talaga Denuh merupakan hutan-hutan yang cukup lebat pada beberapa tahun lalu, tapi kondisinya sekarang cukup berbeda, hutan-hutan sudah berganti menjadi beberapa tanaman kebun seperti pisang, bahkan ada satu sisi di Talaga Denuh yang longsor karena bagian atasnya gundul. Lahan yang gndu berada di dekat dengan jalan masuk menuju Talaga Denuh dari Kp. Daracana, sedangkan di sisi lain Talaga, tepat diseberang jalan setapak tempat masuk menuju Talaga Denuh, hutannya masih cukup lebat. Hutan tersebut menuju ke deretan perbukitan yang memang mengelilingi Talaga Denuh. Suasana disini sangat sepi, mengingat lokasinya yang sangat jauh dari pusat-pusat kota kecamatan dan juga aksesnya yang cukup sulit, menjadikan Talaga ini tempat yang cocok untuk benar-benar keluar dari hiruk-pikuk rutinitas kota ataupun tempat-tempat wisata sejenis yang memang sudah ramai. Talaga Denuh merupakan lokasi untuk memancing, cukup banyak warga yang memancing di Talaga Denuh, terutama dari sekitar Desa Cikuya.

Sejarah situ Denuh ‎
Situ Denuh di Kampung Daracana tidak lepas dari peranan tokoh-tokoh dalam sejarah kebudayaan di tanah Sunda. Kepercayaan dan cerita turun temurun mengenai Situ Denuh masih sering disebarkan secara lisan oleh orang-orang yang dituakan, atau biasa disebut dengan ‘Kuncen’. Kisah mengenai Situ Denuh yang banyak berkaitan dengan sejarah kerajaan-kerajaan di tanah Sunda, khususnya Priangan Timur ini sayangnya tidak didokumentasikan secara baik, sehingga hanya dapat dikisahkan secara lisan kepada keturunan dan warga-warga yang bermukim di sekitar Situ Denuh. Kurang tersebarnya informasi (dalam hal ini hanya mengandalkan lisan) mengenai kaitan Situ Denuh dengan sejarah-sejarah di tanah Sunda pada zaman dahulu salah satunya disebabkan karena keberadaan Situ Denuh sendiri yang belum banyak diketahui oleh masyarakat luas.‎

Mengenai pembahasan arti Denah yang lebih spesifiknya masih belum dapat dijabarkan karena kurangnya referensi yang ada. Denuh dapat juga diartikan sebagai merenah,sopa santun. Secara umum mungkin Situ Denuh dapat diartikan sebagai suatu daerah yang nyaman dan masyarakatnya menjunjung sopan santun baik terhadap sesama maupun terhadap sejarah serta kepercayaan yang ada. Denuh dalam artiannya sebagai Denah sering dikaitkan dengan bentuk Situ Denuh yang jika dilihat dari atas (pada peta) akan tampak seperti telapak kaki, selain itu juga, denga di sini bisa dikaitkan dengan pembagian-pembagian wilayah kepemilikan tokoh-tokoh yang memiliki peranan dalam sejarah di tanah Sunda.
Daerah di sekitar Situ Denuh erat kaitannya dengan Kerajaan Galuh, salah satu kerajaan besar dan tua di tanah Sunda. Salah satu tokoh yang mendiami daerah di sekitar Situ Denuh yaitu Rahiyang Kidul/Eyang Jantaka yang memiliki gelar Batarahiang Karangnunggal (Batara Karang). Eyang Jantaka merupakan salah satu putera dari Raja Galuh yaitu Wretikandayun. Eyang Mudik Batara Karang diyakini sebagai tokoh pertama yang mendiami daerah di sekitar Situ Denuh, yaitu Sembah Lodong. Petilasannya berada di tempat yang disebut Cikudakeling, nama yang sama dengan salah satu Situs Purbakala yang bernama Situs Cikudakeling yang berada di Barat Situ Denuh. 

Menurut penuturan Bapak Ta’an, selaku kuncen di Situ Denuh, Eyang Mudik Batara Karang mendirikan kerajaan di Sembah Lodong karena menurutnya daerah di skeitar Kerajaan Galuh sudah terlalu Bincarung (ramai, padat, sumpek) dan daerah di sekitar Situ Denuh masih sangat sepi. Selain Situs Cikudakeling, ada juga peninggalan berupa pedang yang digunakan oleh Eyang Batara Karang yang saat ini tersimpan di Museum Alit di Sukaraja, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Tasikmalaya.‎

Dalam salah satu sumber, nama Eyang Mudik Batara Karang pun dikenal sebagai sososk yang berkaitan erat dengan Kampung Naga dan Sembah Eyang Singaparna. Eyang Singaparna sendiri merupakan salah satu abdi dari Sunan Gunung Jati yang ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam hingga tiba di Sukapura (Tasikmalaya). Dalam beberapa sumber sejarah, Eyang Singaparna ini merupakan salah satu pendiri Kampung Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Eyang Mudik Batara Karang sendiri merupakan salah satu dari enam saudara Eyang Singaparna dengan nama asli Ratu Ineng Kudratullah. Eyang Mudik Batara Karang dimakamkan di Karangnunggal dan memiliki kesaktian menguasai ilmu kekuatan fisik “Kabedasan”. Dengan adanya dua sosok Eyang Mudik Batara Karang (putera dari Raja Galuh dan saudara Eyang Singaparna) dan tidak adanya bukti sejarah mengenai Situ Denuh, maka kejelasan sejarah di sekitar Situ Denuh menjadi semakin kabur.‎
Bila kita mencari informasi mengenai Talaga Denuh di internet, pasti akan muncul juga “Situs Klasik Denuh”, Situs Klasik yang berupa peninggalan sejarah dan arkeologi yang berada tersebar di bukit-bukit yang mengelilingi Talaga Denuh. Situs tersebut terdiri dari 3 buah Situs dari batu, 4 buah situs berupa Goa, beberapa benda cagar budaya, 2 sumur kecil, serta makam keramat. Sayangnya pada kesempatan kali ini, kami tidak berhasil mengunjungi lokasi situs-situs tersebut karena keterbatasan waktu. Adapun situs-situs klasik tersebut adalah

Situs Tugu
Situs Balekambang
Situs Lemah Badong
Situs Goa Binuang
Situs Goa Potong Kujang
Situs Cikuda Keling
Situs Goa Pasir Leungit
2 buah sumur kecil
Makam Prabu Batara Karang (Eyang Djantaka)‎
Situs Pasir Karang
Kikis Kampung
Batu Lumpang 1 (Sang Hyang Lulumpang)
Batu Pangcalikan
Batu Lumpang 2 (Sang Hyang Lulumpang)
Batu Bedil
‎Padepokan
Artefak koleksi penduduk‎

Situs Tugu. 
Situs Tugu terletak di Blok Mekarbakti, Kampung Daracana, Desa Cikuya, Kecamatan  Culamega. Situs berupa bukit kecil dan kondisi saat sekarang merupakan lahan alam yang sebagian telah diolah oleh masyarakat. Adapun tinggalan arkeologis yang terdapat di situs ini adalah berupa batu datar dan beberapa batu lainnya. Keseluruhan batu merupakan batu alam dan berbentuk tidak beraturan. 
Tinggalan-tinggalan arkeologis tersebut ditempatkan 
dalam sebuah cungkup permanen berukuran 250 x 300 cm. 
Deskripsi singkat  tinggalan arkeologis tersebut adalah: 
Batu datar berukuran panjang 110 cm, lebar 60 cm, dan tebal/tinggi 13 cm. Batu datar tersebut dikelilingi oleh 9 (sembilan) batu lainnya yang berukuran lebih kecil.  
Penataan batu-batu lainnya adalah: 
Di sebelah selatan batu datar terdapat dua buah batu, 
Di sebelah barat terdapat 3 buah batu, ‎
Di sebelah utara terdapat 3 buah batu, dan 
Disebelah timur terdapat 1 buah batu. 
Di samping batu-batu alam yang tertanam di tanah, terdapat juga batu lepas berbentuk bulat dengan diameter sekitar 10 cm yang oleh masyarakat disebut “batu pelor”. Di luar cungkup, di bagian sebelah selatan cungkup,  ditempatkan tiga batu yang ditata berjajar. Semula batu-batu tersebut dalam posisi rebah, sekarang dipasang dalam posisi tegak.
Menurut informasi juru pelihara situs, Mahfud (71 th), tinggalan arkeologis tersebut merupakan petilasan tokoh yang berasal dari daerah Tugu, Balongan, Indramayu. Tokoh tersebut bernama Haji Ibrahim yang menjadi panglima Prabu Batara Karang (Eyang Djantaka)‎

Pasir Karang
Pasir (bukit) Karang merupakan bukit kecil yang dikelilingi perbukitan dan pada sisi selatan bukit terdapat aliran Sungai Cisenggong. Di sebelah selatan aliran sungai ini terdapat areal persawahan. Sebelah barat Pasir Karang terdapat bukit Cikudakeling dan di sebelah barat tedapat Pasir Gunung Putri. Pasir Karang merupakan punden berundak. 
Sedangkan pada beberapa lereng bukit ini terdapat talud batu yang cukup terjal

Kikis Kampung
Kikis Kampung berupa batu alam yang terletak sebelum sampai ke puncak bukit. Batu alam tersebut berbentuk tidak beraturan, berukuran 42 x 36 x 28 cm.

Batu Lumpang-1 (Sang Hyang Lulumpang).
Batu Lumpang-1 terletak di tepi bukit bagian sebelah selatan. Artefak tersebut  berupa batu bulat berlubang. Batu lumpang-1 berukuran tinggi 16 cm, diameter keseluran 49 cm, tebal bibir 3 cm, dan kedalaman lubang 23 cm 

Batu Pangcalikan 
Batu pangcalikan terletak pada bagian pinggir bukit sisi timur. Artefak  berupa batu datar dan tatanan batu di sekelilingnya. Batu pangcalikan berbentuk tidak beraturan, berukuran 136 x 89 x 24 cm.‎

Batu Lumpang-2 (Sang Hyang Lulumpang).
Batu Lumpang-2 terletak di sebelah utara Batu Pangcalikan. Artefak berupa batu berlubang. Batu lumpang-2 berukuran tinggi 14 cm, panjang 46, lebar 44 cm, tebal bibir 5 cm, dan kedalaman lubang 23 cm. Kondisi agak rusak.

Batu Bedil
Batu Bedil terletak di pinggir bukit bagian utara. Batu Bedil merupakan batu tegak berbentuk tidak beraturan, berkuran tinggi 50 cm. Batu bedil terdapat di sebuah tumulus berukuran 300 x 330 cm ‎
Padepokan
Di pesawahan di utara Pasir Karang terdapat tinggalan arkeologis berupa tatanan batu dua teras dan pada teras atas tedapat empat buah umpak batu. Teras pertama berukuran 730 x 540 cm dan teras atas berukuran 490 x 460 cm.
Di sebelah selatan padepokan terdapat 4 buah batu tegak berukuran tinggi berkisar 20 hingga 30 cm. Temuan lain berupa arca setengah badan (torso) berukuran tinggi 25 cm, lebar 25 cm, dan tebal 14 cm. 
Tidak terdapat atribut yang jelas pada arca ini.  

 Artefak Koleksi Penduduk
Koleksi penduduk berupa batu lumpang berukuran tinggi 8 cm, diameter 8 cm, tebal tepian (bibir) 1 cm, dan kedalaman lubang 5,5 cm. Batu Lumpang ini merupakan koleksi Bapak  Mahfud (jupel dan warga kampung Daracana, Desa Cikuya, Kec. Culamega).

Berdasarkan pembagian fisografi menurut Van Bemmelen, Talaga Denuh berada di Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat yang memanjang dari Teluk Ciletuh di Kabupaten Sukabumi hingga di Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. 

Medan jalan yang ditempuh semenjak memasuki Kecamatan Puspahiang hingga Kecamatan Culamega merupakan salah satu ciri khas Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat yang memang didominasi oleh perbukitan terjal.  Satuan bentang alam perbukitan mempunyai karakteristik lereng landai dan puncak bukit yang tumpul. Ketinggian puncak bukitnya berkisar anatara 216-774 m dpl. 

Arah perbukitan ini sesuai dengan arah umum struktur geologi berupa batuan sedimen dan vulkanik. Sungai yang mengalir di kaki bukit disekitar Talaga Denuh yaitu Sungai Cisenggong, yang kemudian akan menyatu dengan aliran Sungai Cipalu disekitar Darawati dan akhirnya menjadi satu aliran Sungai Cipatujah yang bermuara di Pantai Cipatujah di pesisir Selatan Kabupaten Tasikmalaya. Penduduk disekitar Daracana lebih sering menyebut aliran Sungai Cisenggong sebagai aliran Sungai Cipatujah. 

Hulu Sungai Cisenggong berada disekitar Pasir Karang, salah satu bukit yang mengelilingi Talaga Denuh. Talaga Denuh sendiri dikelilingi oleh perbukitan lainnya, seperti Pasir Gunungputri di sebelah Barat dan Pasir Cikudakeling di sebelah Timur serta areal pesawahan Kampung Daracana dan Sungai Cisenggong di sebelah Selatan. Sedangkan berdasarkan letak wilayahnya, Kecamatan Culamega, Kabupaten Tasikmalaya termasuk daerah tropis yang didominasi oleh hutan hujan tropis musiman dan saat ini mayoritas dipenuhi oleh tanaman Bambu, Perdu, dan tanaman produktif seperti Salak, Petai, Jengkol, Rambutan, Nangka, Enau, dan tanaman keras seperti Sengon, Mahoni dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar