Jumat, 24 April 2015

Makna Filsafat Sebuah Tradisi

Dalam literatur dan kaidah kebudayaan Jawa tidak ditemukan adanya pakem dalam kalimah doa serta tata cara baku menyembah Tuhan. Dalam budaya Jawa dipahami bahwa Tuhan Maha Universal dan kekuasaanNya tiada terbatas. Pun dalam kejawen, karena bukan lah agama, maka dalam falsafah kejawen yang ada hanyalah wujud “laku spiritual” dalam tataran batiniahnya, dan “laku ritual” dalam tataran lahiriahnya. Laku ritual merupakan simbolisasi dan kristalisasi dari laku spiritual. Ambil contoh misalnya mantra, sesaji, laku sesirih (menghindari lakupantangan) serta laku semedi atau meditasi. 

Banyak kalangan yang tidak memahami asal usul dan makna dari semua itu, lantas begitu saja timbul suatu asumsi bahwamantra sama halnya dengan doa. Sedangkan sesaji, laku sesirih dan laku semedi dipersepsikan sama maknanya dengan ritual menyembah Tuhan. Asumsi dan persepsi ini salah besar. Menurut para pengamat, kaum akademisi dan budayawan, ada suatu unsur kesengajaan untuk mempersepsikan dan mengasumsikan secara tidak tepat dan melenceng dari makna yang sesungguhnya. Semoga hal itu bukan termasuk upaya politisasi sistem kepercayaan, untuk mendestruksi budaya Jawa yang sudah “mbalung sungsum” di kalangan suku Jawa, dengan harapan supaya terjadi loncatan paradigma kearifan lokalkepada paradigma asing yang secara naratif menjamin surga. 

Awal dari penggeseran dilakukan oleh bangsa asing yang akan menjalankan praktik imperialisme dan kolonialisme di bumi nusantara sejak ratusan tahun silam. Baiklah, terlepas dari semua anggapan, asumsi maupun persepsi di atas ada baiknya dikemukakan wacana yang mampu mengembalikan persepsi dan asumsi terhadap ajaran kejawen sebagaimana makna yang sesungguhnya. Setidaknya, kejawen dapat menjadi monumen sejarah yang akan dikenang dan dikenal oleh generasi penerus bangsa ini. Agar menumbuhkan semangat berkarya dan nasionalisme di kalangan generasi muda. Di samping itu ada kebanggaan tersendiri, sekalipun zaman sekarang dianggap remeh namun setidaknya nenek moyang bangsa Indonesia pernah membuktikan kemampuan menghasilkan karya-karya agung bernilai tinggi.
MELURUSKAN MAKNA
Mantra tidaklah sama maknanya dengan doa. Bila doa merupakan permohonan kepada Tuhan YME, sedangkan mantra itu umpama menarik picu senapanyang bernama daya hidup. Daya hidup manusia pemberian Tuhan Yang Mahakuasa. Pemberian sesaji, laku sesirih(mencegah) dan laku semedi memiliki makna tatacara memberdayakan daya hidup agar dapat menjalankan kehidupan yang benar, baik dan tepat. Yakni menjalankan hidup dengan mengikuti kaidah “memayu hayuning bawana”. Daya kehidupan manusia menjadi faktor adanya aura magis (gelombang elektromagnetik) yang melingkupi badan manusia. Aura magis memiliki sifatnya masing-masing karena perbedaan esensi dari unsur-unsur yang membangun menjadi jasad manusia. Unsur-unsur tersebut berasal dari bumi, langit, cahya dan teja yang keadaannya selalu dinamis sepanjang masa. Untuk menjabarkan hubungan antara sifat-sifat dan esensi dari unsur-unsur jasad tersebut lahirlah ilmu Jawa yang bertujuan untuk menandai perbedaan aura magis berdasarkan weton dan wuku.
Aura magis dalam diri manusia dengan aura alam semesta terdapat kaitan erat. Yakni gelombang energi yang saling mempengaruhi secara kosmis-magis. Dinamika energi yang saling mempengaruhi mempunyai dua kemungkinan yakni pertama; bersifat saling berkaitan secara kohesif dan menyatu (sinergi) dalam wadahkeharmonisan, kedua; energi yang saling tolak-menolak (adesif). Laku sesirih (meredam segala nafsu) dan semedi (olah batin) merupakan sebuah upaya harmonisasi dengan cara mensinergikan aura magis mikrokosmos dalam kehidupan manusia (inner world) dengan aurora alam semesta makrokosmos. ‎Agar tercipta suatu hubungan transenden yang harmonis dalam dimensi vertikal (pancer) antara manusia dengan Tuhan dan hubungan horisontal yakni manusia sebagai jagad kecil dengan jagad besar alam semesta.

PRINSIP KESEIMBANGAN, KESELARASAN & HARMONISASI

Sesaji atau sajen jika dipandang dari perspektif agama Abrahamisme, kadang dianggap berkonotasi negatif, sebagai biang kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Tapi benarkah manusia menyekutukan dan menduakan Tuhan melalui upacara sesaji ini ? Seyogyanya jangan lahterjebak oleh keterbatasan akal-budi dan nafsu golek menange dewe (cari menangnya sendiri) dan golek benere dewe (cari benernya sendiri). Maksud sesaji sebenarnya merupakan suatu upaya harmonisasi, melalui jalan spiritual yang kreatif untuk menselaraskan dan menghubungkan antara daya aura magis manusia, dengan seluruh ciptaan Tuhan yang saling berdampingan di dunia ini, khususnya kekuatan alam maupun makhluk gaib. Dengan kata lain sesaji merupakan harmonisasi manusia dalam dimensi horisontal terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan. 

Harmonisasi diartikan sebagai kesadaran manusia. Sekalipun manusia dianggap (menganggap diri) sebagai makhluk paling mulia, namun tidak ada alasan untuk mentang-mentang merasa diri paling mulia di antara makhluk lainnya. Karena kemuliaan manusia tergantung dari cara memanfaatkan akal-budi dalam diri kita sendiri. Bila akal-budi digunakan untuk kejahatan, maka kemuliaan manusia menjadi bangkrut, masih lebih hina sekalipun dibanding dengan binatang paling hina.

Apa iya TUHAN perlu sesajen? Sesajen adalah kata yang lebih akrab di telinga kita orang Indonesia dari pada kata aslinya ‘sesaji’ yang berarti sajian yang disajikan kepada yang diperTUANkan atau yang diperTUHANkan. Kata ini sangat berhubungan erat dengan dunia klenik alias perdukunan. Dalam imaginasi kita ketika mendengar kata ini mungkin akan terbayang sepiring lengkap buah buahan segar atau ditambah disisipi beberapa lembaran uang nominal tertinggi, bahkan terkadang rokok juga diikut sertakan dalam sajian tersebut. 

Beberapa tempat di Nusantara ada yang mensajikan kue kue tradisional, makanan mewah seperti ayam panggang utuh, tumpeng dan lain lain. Kalau di kampung saya sesajian tersebut dilengkapi dengan ‘beurteh’ (seperti pop corn tapi berasal dari padi beras hitam) disajikan diatas daun pisang dalam piring besar berhias, dibuat bulat kerucut dengan satu butir ayam kampung di puncaknya dan beberapa pisang mas mengelilingi lingkaran bawahnya, disajikan satu paket dengan kue apam (serabi) lengkap dengan santannya. Sesajen tersebut disajikan dalam aroma dupa atau kemenyan yang sangat menyengat. Anehnya sajian ini disajikan kepada kuburan kuburan tua yang kelihatan angker, gua, pohon pohon besar, batu besar dan sebagainya. 

Kebanyakan dari mereka yang melakukan ritual ini adalah orang yang berprofesi sebagai dukun atau orang orang yang “berilmu”. Sebenarnya bukan mereka saja yang melaksanakan “acara” tersebut melainkan juga orang orang yang memanfaatkan jasa dukun tersebut sehingga notabene semuanya terlibat dalam aktivitas ini. Kenapa harus menyediakan sesajen? Selain sebagai bentuk puja puji kepada si “penunggu” pohon besar atau  “empunya” tempat, diduga lebih karena sebagai syarat agar dikabulkannnya keinginan si klien untuk memikat seorang gadis misalnya atau ingin kaya dan seterusnya. Syarat itu bisa berupa harus menyembelih sekor ayam putih pada waktu tertentu, melakukan menggigit lidah bayi yang baru dikubur dan banyak hal yang aneh aneh bin tak masuk diakal demi transaksi dengan “mbah anu” atau “eyang polan”. Saudara, itulah sekelumit pengertian yang kita punya tentang sesajen sampai hari ini, namun demikian apakah makna sebenarnya dari sesajen?

Saudara, sesajen atau sesaji adalah bentuk fisik dari pemujaan yang bersinonim dengan kata ‘persembahan’. Sesuatu yang disajikan adalah sesuatu yang dipersembahkan. Sesuatu yang dipersembahkan adalah sesuatu yang dikorbankan. Korban berasal dari kata ‘qurban’ dari bahasa arab yang berarti mendekatkan diri. Berkorban atau berqurban adalah bentuk fisik dari penyerahan dan kerelaan sebagai wujud penghambaan diri dalam memuja sesuatu yang di perTUHANkan. Saya kira inilah dasar mengapa para ulama mengharamkan umat pergi ke dukun dengan fatwa syirik

Dari sejarahnya Qurban pertama sekali dipraktekkan oleh dua putra Adam, Habil dan Qabil ketika memperebutkan saudara selahiran Qabil untuk diperistri. Adam lalu memerintahkan keduanya untuk berqurban kepada ALLAH dan barang siapa yang qurbannya diterima maka dialah yang berhak menikahi suadara selahiran Qabil. Tuhan menerima qurban Habil yang mempersembahkan domba domba yang gemuk dan menolak qurban Qabil yang mempersembahkan sayur mayur yang busuk. Cerita berqurban ini terus berlanjut kepada Ibrahim yang mengqurbankan Ismail anaknya demi puja pujinya kepada Tuhannya yang kemudian Tuhan menggantikannya dengan seekor Qibas, kewajiban tersebut terus berlanjut sampai hari ini kepada kita yang diwajibkan berqurban pada momen Idul Adha. Ketika kita berqurban kambing misalnya, tidaklah sampai  dagingnya ke TUHAN, tidak pula darahnya atau bulunya, melainkan keikhlasan kita dalam mempersembahkan sajian kurban tersebut.

Kalau di lihat dari sisi kepentingan orang membuat sesajen, sepertinya mempersembahkan sesajen merupakan wujud dari kesepakatan atau transaksi oleh yang empunya hajat dengan yang “memenuhi hajat”, misalnya ada orang pergi ke dukun anu agar memelet si gadis ani dengan syarat harus menyembelih seekor ayam serba hitam (berbulu hitam, berkulit hitam, berkuku hitam) pada malam tertentu. Dalam kasus ini mengapa perlu dukun? Tidak lain adalah karena dukun  tersebut mampu menghubungkan  atau berfungsi sebagai perantara antara yang punya hajat dengan setan yang memenuhi hajat dan ayam hitam merupakan permintaan si setan tersebut. Jadi bukanlah si dukun yang mampu memenuhi hajat orang tadi melainkan setannya. Menurut pengalaman orang orang yang telah pergi ke dukun ada kalanya hajat mereka terpenuhi sehingga bisa jadi hal tersebut yang membuat mereka yakin dan percaya kalau bertransaksi dengan setan bakal terkabul keinginannya. Apakah orang yang punya hajat bisa berhubungan langsung dengan setannya? Tentu bisa jika ia juga belajar menjadi dukun.

Saudara sekalian, semua orang tahu kalau TUHAN adalah maha kaya, maha perkasa dan seterusnya. Dalam logika kita kenapa harus bertransaksi dengan setan kalau TUHAN maha mengabulkan permintaan? Masalahnya adalah kebanyakan orang tidak bisa berhubungan langsung dengan TUHANnya karena tidak kenal walaupun banyak orang yang pergi ke dukun adalah orang orang yang rajin shalat. Apakah kita bisa berhubungan langsung dengan TUHAN? Tentu bisa jika kita belajar kepada orang yang telah mengenal TUHAN, dalam Al Quran disebutkan sebagai WASILAH, yaitu ahli silsilah sebagai pewaris Nabi. ‘mereka adalah AHLIKU’ demikian firman ALLAH. Lalu bagaimana membuat transaksi sesajen dengan TUHAN? Kalau anda tak kenal TUHAN minimal carilah orang yang mengenal TUHAN dan belajar kepadanya. 

Bertransaksilah melaluinya. Anda akan merasakan keterkejutan keterkejutan  spiritual langsung sehingga tingkat keyakinan anda meningkat dari ‘Ilmal Yaqin (yakin karena diberitahu orang yang di percaya) ke ‘Ainal Yaqin (yakin karena di lihat ) sampai ke Haqqul Yaqin (yakin karena merasakan sendiri). Maksud saya adalah dalam beragama anda jangan hanya sekedar ikut ikutan seperti kebanyakan orang. Misalnya orang shalat anda ikut shalat, orang ketemu TUHANnya anda tidak, sementara shalat itu mi’rajnya kaum mukminin (Asshalatu mi’rajul mu’minin) kata Nabi. 

Anda mungkin pernah mendengar cerita seorang sahabat meminta mencabut anak panah yang tertancap dipunggungnya ketika ia sedang shalat sewaktu ikut berjihad bersama Nabi. Kenapa harus ketika sedang shalat? Karena dia tidak merasakan sakit ketika anak panah tersebut di cabut. Kok bisa nggak terasa? Apakah karena khusuk? Saya lebih suka menggunakan istilah fana ketimbang khusuk walau sebenarnya yang saya maksud disini adalah khusuk. Saya tidak suka dengan istilah khusuk karena banyak orang bilang shalat harus khusuk tanpa bisa mendefinisikannya. Ada yang mendefinisikan khusuk itu adalah mata harus tertuju pada satu titik di sajadah, pikiran harus dikosongkan… d‎an seribu omong kosong lainnya dari ustad ustad dan kyai kyai yang tidak mengenal TUHAN. 

Kalau kita fana terhadap sesuatu maka kita tidak sadar akan hal lainnya. Itulah fana yang saya maksud. Seperti cerita Nabi Yusuf ketika Zulaikha mengumpulkan istri2 pembesar istana yang sedang mengupas mangga dan membawa Yusuf kehadapan mereka, tanpa sadar dan tanpa terasa mereka telah mengiris jari mereka sendiri karena terpana oleh ketampanan Yusuf. Kalau anda percaya ‘terpana’ dalam cerita Nabi Yusuf, anda akan mudah percaya Fananya sahabat yang meminta mencabut anak panah dipunggungnya ketika ia sedang shalat.  Kira-kira berdasar cerita tersebut yang bisa saya gambarkan Fana itu adalah asyik masyuk bersama TUHAN, terpana dengan kehadiran TUHAN sehingga lupa dan tidak merasakan apapun selain kehadiran TUHAN.


Saudara, banyak orang musyrik mempersembahkan sesajen kepada setan untuk transaksi transaksi temporer,  tanpa kita sadari kita yang mengaku muslim tak pernah memberi apapun untuk TUHAN yang memberi nafas dalam setiap detik hidup kita. Sesajen tak harus selalu merupakan perjanjian transaksi atau suatu kewajiban karena disuruh melainkan lebih dari itu sebagai persembahan sebagai wujud penghambaan diri dan rasa cinta hamba kepada KHALIKnya. Pacar saja kita kasi bunga, ngajak nonton dan lain lain untuk menyenang nyenangkan sang kekasih.. Masak ke TUHAN kita lupa?!!!

Kalau dukun saja membuat sesajen kepada setan, mengapa kita tidak mempersembahkan  sesajen kepada TUHAN?

Habil mempersembahkan domba yang gemuk adalah sesajen

Ibrahim menyembelih putranya tersayang Ismail adalah sesajen

Ismail mempersembahkan nyawanya sendiri adalah sesajen

Umat islam hari ini berkurban pada Idul Adha sesungguhnyalah adalah sesajen

Apakah TUHAN perlu sesajen?

TUHAN tak butuh sesajen!!!

Manusialah yang perlu mempersembahkan sesajen…!!!

Sesajen adalah warisan dari zaman Kerajaan masa lalu.... berarti umurnya sudah tua sekali, tetapi orang-orang yang masih memegang budaya Jawa dengan erat tetap membuat sesajen pada saat-saat spesial. Sesajen dibuat untuk mengucap syukur kepada Alloh atau sebagai tanda penghormatan kepada leluhur.

Karena kaitannya dengan hal-hal paranormal/ghaib, dan fungsinya untuk berdoa kepada leluhur, banyak yang mengatakan bahwa penggunaan sesajen adalah hal yang musrik atau menantang nilai-nilai agama.

Nah, niat saya di postingan saya hari ini adalah untuk menjelaskan apa arti dan simbolisme di balik sesajen, supaya semua bisa mengerti bahwa sesajen bukanlah hal yang musrik, namun hal yang sungguh indah maknanya.

Sesajen terbuat dari banyak hal, biasanya nasi, kembang/bunga, telur, buah-buahan dan lain sebagainya. Tiap bagian dari sesajen memiliki maknanya tersendiri.. apakah itu?

1. Beras/nasi/padi: biasanya dibentuk seperti gunungan (tumpeng) - melambangkan kesempurnaan, ke-total-an, ketuntasan. Sebagai manusia, jika melakukan sesuatu, harus dengan sungguh-sungguh, tidak setengah-setengah, selesaikan apa yang kau mulai. Tumpeng, adalah singkatan dari "tumungkulo sing mempeng" yang berarti, "jika ingin selamat, rajinlah beribadah." (Selalu ingat Tuhan).

2. Urap: Selama kita hidup di dunia ini, jadilah orang yang berarti bagi masyarakat sekitar, alam semesta, lingkungan, agama, dan negara. Kalau diartikan dengan mudah - jadilah orang yang berguna, yang baik, yang positif. Berikan kontribusi yang baik.

3. Bubur panca warna: (panca artinya lima/5) - Bubur jagung, ketan putih, bubur kacang hijau, ketan hitam dan bubur beras merah - Mereka diletakkan di semua arah mata angin, yang satu diletakkan di tengah, orang Jawa menyebutnya sebagai "Kiblat Papat Limo Pancer". Menyimbolkan kelima elemen alam yaitu: air, udara,  api, tanah dan angkasa.

4. Jajanan pasar: Representasi dari kerukunan, walaupun manusia dan komunitasnya selalu berbeda, hendaknya selalu ada tenggang rasa.

5. Pisang Raja Gandeng: Simbolisasi dari cita-cita yang besar dan luhur. Sebagai manusia, hendaknya kita terus membangun bangsa dan negara.

6. Ayam ingkung: Melambangkan cinta kasih dan pengorbanan. Selama kita hidup, berilah kasih sayang, perhatian, kepedulian, pengorbanan.

7. Ikan bandeng atau ikan asin (yang berduri banyak): Artinya, rejeki berlimpah. Jika memakaiikan teri, yang hidupnya biasa bergerombol, ini melambangkan kerukunan.

8. Telur: Simbol dari asal mula kehidupan yang selalu berada dalam dua sisi yang berbeda seperti laki-laki / perempuan, siang / malam.

9. Air dan bunga: Melambangkan air yang menjadi kebutuhan pokok manusia sehari-hari

10. Kopi pahit: Melambangkan elemen air tetapi juga sebagai simbol kerukunan dan persaudaraan (karena kopi biasanya diminum pada saat pertemuan, acara sosial, perkumpulan.

Dari sepuluh komponen sesajen yang sudah saya sebutkan, yang manakah yang musrik? Semuanya melambangkan cinta, kerukunan, dan cita-cita yang luhur. Tidak ada isi atau bagian dari sesajen yang melambangkan pembohongan, pembunuhan, kehancuran, apalagi keharusan untuk merugikan orang lain atas nama Tuhan.

Mengertilah bahwa sesajen adalah hal yang indah, bukan sesuatu yang menantang nilai Agama. ‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar