Sabtu, 25 April 2015

Sejarah Kekholifahan Bani Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu Al-Abbas, nama lengkapnya adalah Abul Abbas Abdullah Al-Saffah Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas pada tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M). 

Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Bani Abbasiyah terbentuk melalui kudeta atau revolusi yang dilakukan oleh Abu Abbas as-Shaffah dengan dukungan kaum Mawali dan Syiah terhadap dinasti Umayyah di pusat kota Damaskus pada tahun 132 H/750 M. 

Gelar as-Shaffah “bloodshedder” bearti “yang haus darah” diberikan belakangan oleh para penulis sejarah sehubung dengan kebijakannya membunuh seluruh keturunan Umayyah dan semua lawan politiknya termasuk kelompok Syiah yang sebelumnya membantu Abbasiyah menjatuhkan dinasti Bani Umayyah. 

Sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah terdapat tiga poros utama yang merupakan pusat kegiatan, anatara satu dengan yang lain memiliki kedudukan tersendiri dalam memainkan peranya untuk menegakan kekuasaan keluarga besar paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muthalib.Dari nama Al- Abbas paman Rasulullah inilah nama ini di sandarkan pada tiga tempat pusat kegiatan, yaitu Humaimah, Kufah,dan khurasan.

Di kota Mumaimah bermukim keluarga Abbasiyah, salah seorang pimpinannya bernama Al-imam Muhammad bin Ali yang merupakan peletak dasar-dasar bagi berdirinya dinasti Abbasiyah.Para penerang Abbasiyah berjumlah 150 orang di bawah para pimpinannya yang berjumlah 12 orang dan puncak pimpinannya adalah Muhammad bin Ali.

Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia.Akan tetapi,imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah,gerakannya diketahui oleh khalifah Ummayah terakhir,Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan dinasti Umayyah dan dipenjarakan di haran sebelum akhirnya diekskusi. Ia mewasiatka kepada adiknya Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu bahwa ia akan terbunuh,dan memerintahkan untuk pindah ke kufah.Sedangkan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salamah.Segeralah Abul Abbas pindah dari Humaimah ke kufah di iringi oleh para pembesar Abbasiyah yang lain seperti Abu Ja’far,Isa bin Musa, dan Abdullah bin Ali.

Penguasa Umayyah di kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah, ditaklukan oleh Abbasiyah dan di usir ke Wasit.Abu Salamah selanjutnya berkemah di kufah yang telah di taklukan pada tahun 132 H. Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abbul Abbas di perintahkan untuk mengejar khaliffah Umayyah terakhir, marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang melarikan diri, dimana akhirnya dapat di pukul di dataran rendah sungai Zab. Khlifah itu melarikan diri hingga ke fustat di mesir, dan akhirnya terbunuh di Busir, wilayah Al- Fayyum, tahun 132 H/750 M. Dan beririlah Dinasti Abbasiyah yang di pimpin oleh khalifah pertamanya, yaitu Abbul Abbas Ash- Shaffah dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah.

Pemberontakan terhadap Bani Umayyah 

Abu al-'Abbas merupakan pemimpin salah satu cabang Bani Hashim, yang menisbatkan nasabnya kepada Hasyim, buyut Nabi Muhammad, melalui al-Abbas, paman Nabi SAW.Bani Hasyim mendapat dukungan besar dari golongan Syi’ah yang berpikir bahwa keluarganya, yang telah diturunkan dari Nabi Muhammad dan Ali bin Abi Thalib, akan menurunkan pemimpin besar lainnya atau Mahdi yang akan membebaskan Islam. Kebijakan tanggung-tanggung penguasa terakhir Umayyah untuk mentoleransi Muslim non-Arab dan Syi’ah telah gagal memadamkan kerusuhan antara minoritas-minoritas itu.

Kerusuhan ini menimbulkan pemberontakan selama masa Hisyam bin Abdul-Malik di Kufah, kota terkenal di Irak selatan. Muslim Syi’ah memberontak pada 736 dan menguasai kota sampai 740, dipimpin Zaid bin Ali, cucu Husain bin Ali. Pemberontakan Zaid gagal, dan dipadamkan oleh pasukan Bani Umayyah pada 740. Pemberontakan di Kufah menandai kuatnya Bani Umayyah dan bertambahnya kekacauan di Dunia Islam.

Abu al-'Abbas memilih berfokus ke Khurasan, daerah militer penting di Iran timur. Pada 743, kematian Khalifah Bani Umayyah Hisyam bin Abdul-Malik meletuskan perang saudara di dalam Khilafah Islam. Abu al-'Abbas, didukung oleh Syi’ah, Khawarij, dan daerah Khurasan, memimpin pasukannya menang terhadap Bani Umayyah dan akhirnya menjatuhkan penguasa terakhirnya Marwan II pada 750.

Perang saudara ditandai dengan oleh kenabian 1000 tahun yang didorong sejumlah Syi’ahbahwa Abu al-'Abbas merupakan mahdi. Sejumlah sarjana Muslim yang menonjol menulis karya seperti Jafr yang mengatakan muslimin yang setia bahwa perang saudara yang brutal merupakan konflik besar antara yang hak dan batil. Pilihan Bani Umayyah memasuki pertempuran dengan bendera putih dan Bani Abbasiyah memasukinya dengan bendera hitam membesarkan teori-teori itu. Warna putih, bagaimanapun dianggap kebanyakan orang Persia sebagai tanda duka cita.

Mengenai bahwa ada kemungkinan kembalinya kekuatan Khilafah Bani Umayyah, Abu al-'Abbas mencari-cari seluruh anggota yang tersisa dari keluarga Umayyah untuk menghukum mati mereka. Itulah yang membuat, pelarian ke al-Andalus, atau Spanyol, dipimpin oleh Abd ar-Rahman I di mana Khilafah Bani Umayyah akan bertahan selama 3 abad. Karena usahanya untuk menyingkirkan keluarga Bani Umayyah, Abu al-'Abbas memperoleh julukanas-Saffah, atau tulisan berdarah.

Setelah kemenangan terhadap Bani Umayyah, pemerintahan pendek Abu al-'Abbasditandai dengan usaha mengkonsolidasi dan membangun kembali Khilafah. Para pendukungnya diwakili dalam pemerintahan baru, namun selain dari kebijakannya terhadap keluarga Umayyah, Abu al-'Abbas secara luas dipandang sejarawan sebagai pemenang yang mendingan. Orang-orang Yahudi, Kristen Nestorian, dan Persia secara baik diwakili dalam pemerintahan Abu al-'Abbas dan dalam meneruskan administrasi Abbasiyah. Pendudukan juga didorong, dan pabrik kertas pertama didirikan di Samarkand.

Sama-sama revolusioner merupakan perbaikan pasukan Abu al-'Abbas, yang beranggotakan termasuk non-Muslim dan non-Arab sangat berbeda dengan Bani Umayyah yang menolak pasukan dari 2 golongan itu. Abu al-'Abbas memilih yang berbakat Abu Muslim sebagai komandan militernya, yang akan menjabat sampai 755 dalam ketentaraan.


Pemerintahan dinasti 

Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode, yaitu: 
1) Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama. 
2) Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama. 
3) Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah.  Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. 
4) Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, Periode ini disebut juga masa pengaruh Turki kedua. 
5) Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad. 

Menurut Ira M. Lapidus menyederhanakan fase dinasti Bani Abbas menjadi dua, yaitu:
1) Masa awal dinasti Bani Abbas (750-833 M). 
2) Masa kemunduran dinasti Bani Abbas (833-945 M). 

Menurut Muhammad Hudlari Bek, kekuasaan Bani Abbasiyah ada lima periode, yaitu:
1. Periode kekuatan dan penuh karya, berlangsung 100 tahun (132-232 H/750-847 M) 
2. Periode berkuasanya Mamalik Turki, berlangsung 102 tahun (232-334 H/847-945 M) 
3. Periode berkuasanya raja- raja dinasti Buwaihi, berlangsung 113 tahun (334-447 H/945-1055 M) 
4. Periode berkuasanya raja- raja dinasti Saljuk, berlangsung 83 tahun (447-530 H/1005-1136 M) 
5. Periode Bani Abbasiyah mendapat kembali pengaruh politiknya, berlangsung 126 tahun (530-656 H/1135-1258 M) 

Pada periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Periode ini berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun, setelah periode pertama ini berakhir, pemerintah Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik. Meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang. Masa pemerintahan Abu Al- Abbas, pendiri dinasti Abbasiyah, sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Oleh karena itu, 

Pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adalah peminpin selanjutnya yaitu khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (754-775 M). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir, karena tidak bersedia membaitnya, dibunuh oleh Abu Muslim Al-Khurasani atas perintah Abu Ja’far. 
Abu Muslim Al-Khurosani  sendiri karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M. 

Selanjutnya, Abu Ja’far Al- Manshur melakukan perubahan mendasar bagi perkembangan dinasti Abbasiyyah sebagai Negara adikuasa di masa mendatang, yaitu:
1) Pada tahun 762 M, Abu memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi ke Baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibu kota Persia. Dengan demikian, ibu kota pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. 
2) Mengangkat sejumlah personil atau aparat untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. 
3) Di bidang pemerintahan, Al- Manshur menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. 
4) Membentuk lembaga protokol Negara dan sekretaris Negara 
5) Membentuk kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. 
6) Menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. 
7) Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah di tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. 

Kalau dahulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa Al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat dan memantapkan keamanan daerah pembatasan. 

Di antara usaha- usahanya tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 M. ke Utara, bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantive V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bazantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India. 

Pada masa Al-Manshur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata, “Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi”, artinya sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi- Nya. Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagai pada masa al-Khulafa al-Rasyadun. 

Di samping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, dalam penggunaan khalifah disebut “Khalifah Allah”, artinya penguasa yang diangkat oleh Allah. Dalam dinasti Abbasiyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar tahta”, seperti Al-Manshur adalah “gelar tahta” Abu Ja’far. “gelar tahta” itu lebih populer daripada nama yang sebenarnya. Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada delapan khalifah sesudahnya, yaitu 
Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (775-786 M), Al-Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-Amin (809-813 M), Al- Ma’mun (813-833 M), Al- Mu’tashim (833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M). 

Pada masa khalifah Al-Mahdi (775-785 M), perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan disektor pertanian, melalui irigasi, dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Serta dagang transit antara Timur dan Barat juga membawa kejayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Pada masa khalifah ketiga ini, para tahanan penjara yang sebelumnya dipenjara sebelum ia memerintah dikeluarkan kecuali yang melakukan kesalahan. Kemudian iapun membuat jalan untuk menuju Mekkah dan membangun perairan dari sumur- sumur besar untuk minum para musafir, dan dialirkan ke penjara-penjara serta dijaga kebersihannya. Ia pun merehabilitasi masjid Al-Haram dan ia menghilangkan nama al- Walaid bin Abdil Malaik dari dinding masjid Al-Haram dan diganti namanya. Kemudian ia juga membuat kantor-kantor pos surat untuk penduduk Mekkah, Madinah, dan Yaman, dan menunjuk wakil-wakil raja di berbagai Daulat Abbasiyah. 

Pada masa khalifah al-Mahdi, Baghdad menjadi pusat perdagangan internasional dan perkembangan berbagai ilmu, seperti Assyiir hikmah, adab,, dan musik. Pada masa Al-Harun Al-Rasyid (786-809 M), dan putranya Al- Ma’mun (813-833 M), daulat Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya. Pada masa Al- Harun Al-Rasyid sebagai khalifah menggantikan khalifah Al-Mahdi, kekayaan yang dimiliki dimanfaatkan untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya, sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. 

Di samping itu, pemandian pamandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada masa khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada masa keemasannya. Pada masa inilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi. 

Dalam tradisi Persia terdapat Jundishapur Academy, lembaga yang menjadi tempat menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja pada Sasania, kemudia Al-Harun Al-Rasyid melanjutkan tradisi itu dengan mendirikan Khizanat al-Hikmat yang berfungsi sebagai perpustakaan, tempat penerjemahan, dan penelitian. Pada masa Al-Harun Al-Rasyid, sebelum meninggal ia telah menyiapkan dua anaknya yang diangkat menjadi putra mahkota untuk menjadi khalifah, yaitu Al- Amin dan Al-Ma’mun. Al-Amin diberi hadiah berupa wilayah bagian Barat sedangkan Al- Ma’mun diberi hadiah berupa wilayah bagian timur. 

Pada masa khalifah Al-Ma’mun (813-833 M), yang menggantikan khalifah Al-Harun Al-Rasyid, dikenal dengan khilafah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku digalakkan. Untuk menerjemahkan buku- buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan menganut agama lain yang lain. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bayt al- Hikmat, yang dahulu bernama Khizanat al-Hikmat, didirikan oleh Al-Harun Al-Rasyid. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, Etiopia, dan India. Di Bayt al-Hikmat, Al-Ma’mun memperkerjakan Muhammad Ibn Musa Al-Hawarijmi yang ahli dalam bidang aljabar dan astronomi, dan orang-orang Persia.

Sejak abad ke 9 M. Bayt al- Hikmat dijadikan tempat penerjemah karya-karya filosof klasik di bawah bimbingan Hunyn Ibn Ishaq. mereka menerjemahkan buku-buku filsafat karya Galen, Aristoteles, dan Plato. Di Bayt al-Hikmat juga terdapat observatorium astronomi untuk meneliti perbintangan. Pada masa Al- Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Pada masa Al-Ma’mun, faham mu’tazilah menjadi madzhab resmi dinasti Bani Abbas (827 M), karena Al-Ma’mun penganut aliran Mu’tazilah dan banyak dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan falsafat Yunani.

Faham Mu’tazilah yang dijadikan alat oleh al-Ma’mun untuk menguji para pemuka agama dan hakim adalah ajaran tentang kemakhlukan Al-Qur’an.  
Dalam pandangan Mu’tazilah, al-Qur’an tidak qadim (dahulu), tetapi muhdats (baru). Karena sebagian (ayat) Al-Qur’an diturunkan lebih dahulu dari yang lainnya sedangkan sesuatu yang qadim tidak mungkin didahului oleh yang lain (idz al-qadim huwa ma la yataqaddamuh ghayruh). Aliran Mu’tazilah beragumentasi dengan Al-Quran surat Al-Hijr ayat 9. 

Pada masa Al-Mu’tashim (833-842 M), sebagai khalifah selanjutnya, memberikan peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keteribatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktik orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit professional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan- gerakan itu seperti gerakan Syi’ah dan konflik antarbangsa serta aliran pemikiran keagamaan, semua dapat dipadamkan. 

Pada Masa Al-Watsiq, sebagai khalifah selanjutnya. Al-Watsiq berusaha melepaskan diri dari pengaruh Turki dengan memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Samarra. Namun, khalifah Al-Watsiq menjadi mudah dikuasai oleh tentara pengawal Turki. Kemudian khalifah Al-Watsiq digantikan oleh Al-Mutawakkil sebagai khalifah besar terakhir, khalifah sesudahnya umumnya lemah-lemah dan tidak dapat melawan tentara pengawal dan Sultan-sultan yang menguasai ibu kota. Ibu kota kembali dipindahkan ke Baghdad oleh khalifah al-Mu’tadhid. 

Dari gambaran di atas terlihat bahwa, Terdapat beberapa perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah 
1) Dengan ibukota Bagdad, pemerintahan menjadi jauh dari pengaruh Arab 
2) Dalam stuktur Negara, Bani Abbas terdapat Wazir ( Perdana menteri ) 
3) Terbentuknya militer professional pada Bani Abbas 
4) Bani Abbas lebih menekankan kepada pembentukan peradaban Islam dan perkembangan kebudayaan daripada ekspansi.

Adapun seluruh Khalifah Dinasti Bani Abbasiyah yang berkuasa berjumlah 37 orang, diantaranya sebagai berikut:
1) Abu Abbas as-Saffah 132-136 H/749-754 M 
2) Abu Ja’far al-Mansur 136-158 H/754-775 M 
3) Abu Abdullah Muhammad al-
Mahdi 158-169 H/775-785 M 
4) Abu Muhammad Musa al- Hadi 169-170 H/785-786 M 
5) Abu Ja’far Harun ar- Rasyid 170-193 H/786-809 M 
6) Abu Musa Muhammad al- Amin 193-198 H/809-813 M 
7) Abu Ja’far Abdullah al- Ma’mun 198-218 H/813-833 M 
8) Abu Ishaq Muhammad al- Mu’tashim 218-227 H/833-842 M 
9) Abu Ja’far Harun al- Watsiq 227-232 H/842-847 M 
10)Abu Fadl Ja’far Muhammad al-Mutawakkil 232-247 H/847-861 M 
11)Abu Ja’far Muhammad al- Muntashir 247-248 H/861-862 M 
12)Abu Abbas Ahmad al-Musta’in 248-252 H/862-866 M 
13)Abu Abdullah Muhammad al- Mu’tazz 252-255 H/866-869 M 
14)Abu Ishaq Muhammad al- Muhtadi 255-256 H/869-870 M 
15)Abu Abbas Ahmad al- Mu’tamid 256-279 H/870-892 M 
16)Abu Abbas Muhammad al- Mu’tadhid 279-289 H/892-902 M 
17)Abu Muhammad Ali al-Muktafi 289-295 H/902-908 M 
18)Abu Fadl Ja’far al-Muqtadir 295-320 H/908-932 M 
19)Abu Mansur Muhammad al- Qahir 320-322 H/932-934 M 
20)Abu Abbas Ahmad ar-Radhi 322-329 H/934-940 M 
21)Abu Ishaq Ibrahim al-Muttaqi 329-333 H/940-944 M 
22)Abu Qasim Abdullah al- Mustaqfi 333-334 H/944-946 M 
23)Abu Qasim al-Fadl al-Mu’thi 334-363 H/946-974 M 
24)Abu Fadl Abdul Kari math- Tha’I 363-381 H/974-991 M 
25)Abu Abbas Ahmad al-Qadir 381-422 H/991-1031 M 
26)Abu Ja’far Abdullah al-Qa’im 422-467 H/1031-1075 M 
27)Abu Qasim Abdullah al-muqtadi 467-487 H/1075-1094 M 
28)Abu Abbas Ahmad al- Mustazhhir 487-512 H/1094-1118 M 
29)Abu Mansur al-Fadl al- Murtasyid 512-529 H/1118-1135 M 
30)Abu Ja’far al-Mansur ar- Rasyid 529-530 H/1135-1136 M 
31)Abu Abdullah Muhammad al- Muqtafi 530-555 H/1136-1160 M 
32)Abu Muzaffar al-Mustanjid 555-566 H/1160-1170 M 
33)Abu Muhammad al-Hasan al- Mustadhi’ 566-575 H/1170-1180 M 
34)Abu al-Abbas Ahmad an-Nashir
575-622 H/1180-1225 M 
35)Abu Nasr Muhammad az- Zhahir 622-623 H/1225-1226 M 
36)Abu Ja’far al-Mansur al- Mustanshir 623-640 H/1226-1242 M 
37)Abu Ahmad Abdullah al- Musta’shim 640-656 H/1242-1256 M 

Khalifah dinasti Bani Abbasiyah terakhir yaitu al-Musta’shim yang dibunuh oleh bangsa Mongol
di bawah pimpinan Hulagu Khan yang menaklukkan Baghdad tahun 656 H/1258 M. 
Seorang pangeran keturunan Abbasiyah berhasil lolos dari pembunuhan dan meneruskan khilafah dengan gelar Khilafah yang berkuasa di bidang keagamaan saja di bawah kekuasaan kaum Mamluk di Kairo, Mesir tanpa kekuasaan duniawi yang bergelar Sultan. 

Para khalifah dinasti Bani Abbasiyah yang ada di Mesir berjumlah 22 orang yaitu:
1) Al-Mustanshir 659-660 H/1261-1261 M 
2) Al-Hakim I 660-701 H/1261-1302 M 
3) Al-Mustakfi I 701-740/1302-1340 M 
4) Al-Watsiq I 740-741 H/1340-1341 M 
5) Al-Hakim II 741-753 H/1341-1352 M 
6) Al-Mu’tadhid 753-763 H/1352-1362 M 
7) Al-Mutawakkil I 763-779 H/1362-1377, pertama kali. 
8) Al-Mu’tashim 779 H/1377 M, pertama kali. 
9) Al-Mutawakkil I 779-785 H/1377-1383 M, kedua kali. 
10)Al-Watsiq II 785-788 H/1383-1386 M 
11)Al-Mu’tashim 788-791 H/1386-1389 M, kedua kali. 
12)Al-Mutawakkil I 791-808 H/1389-1406 M, ketiga kali. 
13)Al-Musta’in 808-816 H/1406-1414 M 
14)Al-Mu’tadhid II 816-845 H/1414-1441 M 
15)Al-Mustakfi II 845-855 H/1441-1451 M 
16)Al-Qa’im 855-859 H/1451-14-79 M 
17)Al-Mustanjid 859-884 H/1455-1479 M 
18)Al-Mutawakkil II 884-903 H/1479-1497 M 
19)Al-Mustamsik 903-914 H/1497-1508 M, pertama kali. 
20)Al-Mutawakkil III 914-922 H/1508-1516 M, pertama kali. 
21)Al-Mustamsik 922-923 H/1516-1517 M, kedua kali. 
22)Al-Mutawakkil III 923 H/1517 M, kedua kali. 

Jabatan khalifah yang di sandang oleh keturunan Abbasiyyah di Mesir berakhir ketika diambul oleh Sultan Salim I dari Turki Utsmani yang menguasai Mesir pada tahun 923 H/1517 M. Sejak saat itu, hilanglah Khalifah Abbasiyah untuk selama-lamanya

Ilmu-Ilmu Yang Dikembangkan Pada Masa Dinasti Bani Abbasiyah 

Pada masa Bani Abbasiyah, ilmu dibedakan menjadi dua yaitu ilmu naqli dan ilmu aqli. 
Dengan klasifikasinya sebagai berikut: 

Ilmu Naqli 
1) Ilmu Tafsir 
Tafsir bi al-Ma’tsur (metode penafsiran oleh sekelompok mufassir dengan cara memberi interpretasi al-Qur’an dengan hadis dan penjelasan para sahabat besarm, termasuk pendapat ahli kitab yang sudah masuk Islam dan pendapat orang yang menguasai kitab Taurat dan Injil). 
Tokohnya adalah Ibnu Jarir Ath Thabari dengan karyanya Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an terdiri dari 30 Juz, al- Suda (w. 127 H) menyandarkan tafsirnya kepada Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan sahabat-sahabat lainnya serta Muqotil Ibn Sulaiman yang menyandarkan tafsirnya kepada para sahabat yang mengutip dari Taurat yang diriwayatkan oleh orang Yahudi. 
Tafsir Diroyah/Tafsir bi al-Ra’yi/ Tafsir bi al-Aqli (menafsiran al- Qur’an dengan menggunakan akal lebih banyak daripada al- Hadis). Tokohnya adalah Abu Bakar al-Asham (w. 240 H), Abu Muslim Muhammad Ibn Baadr al- Ishfahani (w. 322 H) dengan tafsirnya Jami’ut Ta’wil 14 jilid, Ibn Jaru al-Asadi (w. 387 H), ar- Razy dengan tafsirnya Al- Muqthathaf, dan lain-lain. Mereka menganut paham Mu’tazilah.  

2) Ilmu Hadis 
Tokohnya adalah al-Aimmah al- Sittah (imam yang enam) yaitu 
Imam Al-Bukhari, (194-256 H) dengan kitabnya al-Jami al-Shahih dan Tarikh al-Kabir, 
Imam Al-Muslim (204-261 H) dengan kitabnya al- Jami Shahih Muslim, 
Imam Ibnu Majjah (209-273 H) dengan kitabnya Sunan Ibnu Majjah,
Imam  Abu Dawud (202-275 H) dengan kitabnya Sunan Abi Dawud, 
Imam al-Tarmidzi (wafat 279 H) dengan kitabnya Sunan al-Tirmidzi, dan 
Imam al-Nasa’I (225-303 H) dengan kitabnya Sunan al-Nasa’i. 

3) Ilmu Fiqih 
Tokohnya adalah
Imam  Abu Hanifah al- Nu’man Ibn Sabit (700-767 M) dengan kitabnya Musnad al-Imam al-A’dhom atau Fiqh al-Akbar, 
Imam Malik Ibn Anas (713-795 M) dengan kitabnya al-Muwatha, 
Imam Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i (767-820 M) dengan kitabnya al- Risalah, dan 
Imam Ahmad Ibn Hambal (780—855 M) dengan kitabnya al-Musnad. 

Para fuqaha terbagi menjadi dua golongan, yaitu: 
- Ahl al-Hadis yaitu golongan yang menyandarkan kepada hadis dalam mengambil hukum, pemukanya Ahmad Ibn Hambal dengan karyanya Musnad Ahmad ibn Hanbal 
- Ahl al-Ra’yi yaitu golongan yang menggunakan akal di dalam menggali hukum, pemukanya Abu Hanifah. 

4) Ilmu Tasawuf atau Mistisisme Islam 
Tokohnya adalah
Imam  Abu Bakr Muhammad al-Kalabadi dengan karyanya al-Ta’arruf li Mazhab al-Allaf, 
Imam Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) dengan karyanya Ihya ‘Ulum al-Din, 
Imam Abu Nasr as- Sarraj al-Tusi dengan karyanya al-Luma’, dan lain-lain.
 
5) Ilmu Kalama tau Theologi 
Tokohnya adalah dari kalangan Mu’tazilah adalah 
Imam Washil bin Atha’ (w. 748 M), 
Imam al-Nazam (185-221 H), dan 
Imam al-Jahir (w. 256 H), 

sedangkan golongan dari Ahli Sunnah seperti 
Imam Abu al-Hasan al- Asy’ari (873-935 M), 
Imam Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) , dan 
Imam Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 H). 

6) Ilmu Tarikh atau Sejarah 
Tokohnya adalah 
Syaikh Ibnu Hasyim (abad ke 8),
Syaikh  Ibn Sa’d (abad ke 9), dan
Syaikh  Abu Ja’far Muhammad at-Tabari (835-923 M) karyanya Kitab Akhbarul Rasul wa Mulk (The Book of the Annals of Prophets and Kings) tentang sejarah manusia hingga tahun 913, 
Syaikh Firdawsi (penyair dan Bapak Sejarah Persia) karyanya Book of Kings (Shah-Namah),
Syaikh  Ibnu Khaldun (1332-1406 M) ahli dalam
teori pendidikan, karyanya Muqaddimah. 

7) Ilmu Bahasa, Ilmu Tata Bahasa, Ilmu Al-Qori’ah, dan Ilmu Agama Lainya 
Tokohnya adalah 
al-Kindi (801-873 M), 
Ibn Sina (980-1037 M), 
al-Farabi (870-950 M), 
al-Razi (865-925 M), 
Ibn Miskawaih (932-1030 M), dan 
al-Ghazali (1058-1111 M). 8) 

Ilmu Sastra
Tokohnya adalah 
Abu al-Farraj al-Isfahani dengan karyanya Kitab al-Aghani, 
Firdawsi dari Tus, karya puisinya Shah-Namah (Book of Kings) merupakan karya sastra monumental terdiri dari 60.000 kuplet (120.000 baris), dan 
Al-Jasyiari dengan karyanya Alf Lailat wa Laila atau One Thousand Nigh and One (Seribu Satu Malam) di pertengahan abad ke 9. 

9) Ilmu Falak 
Tokohnya adalah 
Syaikh Muhammad al- Fazzari (w.158 H) yang dipandang ahli falak Islam yang awal sekali dan menerjemah buku al-Sind Hind yang dianggap orang karangan Rahma Sidhanta yang mengandung banyak info mengenai falak dan matematik. 

Ilmu Aqli 

1) Ilmu Kedokteran 
Tokohnya adalah 
Imam al-Razi (Rhazes) (865-925 M), karyanya Al-Hawi (Continens) (30 jilid),  al-A’sah (The Nerves), dan al-Jami (The Universal) menuliskan filsafat, teologi, matematika, astronomi, dan ilmu pengetahuan alam, dan
Imam  Ibn Sina (Avicenna) (980-1037 M) mengembangkang ilmu pengatahuan Hippocrates dan Galen maupun filsafat Aristoteles dan Plato yang berpengaruh terhadap alam berfikir Timur dan Barat 

2) Ilmu Kimia 
Tokohnya adalah 
Imam Jabir Ibn Hayyan yang berpendapat bahwa logam seperti timah, besi, dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan menggunakan obat rahasia. Ia mengetahui cara membuat asam belerang, asam sendawa, dan aqua regia yang dapat menghancurkan emas dan perak. 

3) Ilmu Astronomi 
Tokohnya adalah 
Al-Biruni dengan kitabnya al-Hind dan al- Qanun al-Mas’udl fi al-Hai’a wa al-Nuju. 
Ia secara akurat menentukan garis lintang dan garis bujur, mengukur secara teliti gaya berat khusus terhadap 18 batu dan logam mulia serta menguraikan kerja mata air alami sumur-sumur artesis,
Syaikh  Nasiruddin Tusi menyusun table astronomi Ilkanian (Zij), menulis tentang astronomi dan kalender, matematika, dan geomancy, dan 
Syaikh Qutubuddin Shirazi menulis pandangan terhadap alam, optic geometris, dan pelangi. 

4) Ilmu Matematika
 Tokohnya adalah 
al-Khawarizmi menemukan angka 0 pada abad ke 9. Sedangkam angka 1-9 berasal dari Hindu di India. 
Kemudian Abul Wafa (940-997 M) ahli matematika-astronom dari Persia, sebagai orang pertama yang menunjukkan keadaan umum dari teorema relativitas sinus segitiga yang berhubungan dengan bentuk bola, table susunan sinus, tangens, table kalkulasi tangens, memperkenalkan secant dan cosecant dan contoh hubungan antara enam garis trigonometric. 

5) Ilmu Optik 
Tokohnya adalah 
Syaikh Ali al-Hasan Ibn Haitsam (Alhaze) menulis buku tentang Optical Thesaurus, mengoreksi teori Euclid dan Ptolemy. 

6) Ilmu Fisika 
Tokohnya adalah
Imam  Al-Bakhi (934 M) karyanya dijadikan dasar dan prinsip karya-karya geografi setelahnya oleh al-Istakhir (950 M), Ibnu Hawqal (975 M) dan al- Maqdisi (985M) dan al-Biruni menulis deskripsi tentang India, dan Nasiri Khusraw, penulis otobiografi-geografis abad ke 9 menulis Diwan, Safar-Namah (Book of Trave) dan Rawshanai- Namah (Book of Light) 

7) Geografis 
Tokohnya adalah 
Imam Abu al-Hasan Ali al-Mas’ud (abad ke 10) menulis buku Maruj al-Zahab tentang geografi, agama, adat istiadat dan lain-lain, dan 
Imam Zamakhsyari (w.1144 M) seorang Persia, menulis Kitabul Amkina wal JIbal wal Miyah (The Book of Places, Mountains and Waters). 

Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Bani Abbasiyah

Lembaga pendidikan pada masa Abbasiyah terdiri dari dua tingkatan,yaitu: 

1) Maktab atau kutub atau masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar bacaan, hitungan, dan tulisan serta tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti Tafsir, Hadis, fiqih, dan bahasa 
2) Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seseorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. 

Lembaga pendidikan pada masa Bani Abbasiyah disimbolkan dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa Bani Abbasiyah merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab disana juga orang dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban untuk semua laki-laki dan perempuan. 

Pada masa Bani Abbas, anak-anak perempuan hanya belajar di rumah saja. Mereka tidak diizinkan pergi ke maktab atau masjid untuk belajar. Itu pun bagi yang mampu memanggil guru ke rumahnya dan bagi yang tidak mampu maka mereka tidak belajar. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak masa Bani Umayyah maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. 

Disamping itu, kemajuan itu ditentukan oleh dua hal, yaitu: 
1) Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan, misalnya pengaruh Persia terlihat dalam bidang pemerintahan, filsafat dan sastra, sedangkan pengaruh India dalam bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. 
2) Gerakan terjemahan berlangsung tiga fase, yaitu: 
a) Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang lebih banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. 
b) Fase kedua, berlangsung mulai masa khalifah al-Mm’mun hingga tahun 300H. buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran. 
c) Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas. 

Proses Runtuhnya Dinasti Abbasiyah 

Dinasti Bani Abbasiyah Setelah mengalami kemajuan, dinasti Bani Abbasiyah mengalami kemunduran dan kehancuran yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. 
Adapun faktor internal,yaitu: 

1) Lemahnya Khalifah Sejak berakhirnya kekuasaan dinasti Saljuk atas Baghdad, khalifah Abbasiyah merdeka kembali, namun kekuasaannya hanya di daerah Baghdad saja. Sementara itu, wilayah Abbasiyah lainnya diperintah oleh dinasti- dinasti kecil yang tersebar di sebelah timur dan barat Baghdad. Khalifah dinasti Bani Abbasiyah di Baghdad berhasil mengambil kesempatan dari kelemahan kaum Saljuk dan dari gerakan-gerakan pemisahan serta mengumumkan kemerdekaannya memerintah Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya. 

Usaha untuk mengembalikan kekuasaan khalifah dinasti Bani Abbasiyah ini dirintis oleh khalifah al- Mustarsyid (512-529 H/1118-1135 M), kemudian dilanjutkan oleh anaknya, khalifah al-Rasyid (529-530 H/1135-1136 M) dan dilanjutkan oleh khalifah al-Muqtafi (530-555 H/1136-1160 M). Dengan demikian, sejak masa itu khalifah Bani Abbasiyah mempunyai pengaruh kembali, meskipun dalam wilayah yang terbatas. 

2) Persaingan antar bangsa Adanya kecenderungan bangsa- bangsa Maroko, Mesir, Syia, Irak, Persia, Turki, dan India, untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak Abbasiyah berdiri. Periode I, pengaruh Persia, periode II, pengaruh Turki, Periode III, pengaruh Persia II, periode IV, pengaruh Turki II, dan periode V, bebas pengaruh tetapi hanya di Baghdad saja. 

3) Kemerosotan ekonomi Pada periode kemunduran, pendapatan Negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Hal ini disebabkan wilayah kekuasaannya semakin menyempit, banyak terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingankannya pajak, dan banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri tidak lagi membayar upeti. 4) Konflik keagamaan Kekecewaan orang Persia terhadap cita-cita yang tak tercapai mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Mazuisme, Zoroasterisme, dan Mazzdakisme.

Antara orang beriman dan kaum zindik terjadi konflik bersenjata seperti gerakan al-Afsyn dan Qaramitah. Adanya konflik Syiah dan Ahlussunnah. Terjadi Mihnah pada masa al-Ma’mun (813-833 M) yang menjadikan Mu’tazilah menjadi mazhab resmi Negara. Al- Mutawakkil (847-861 M) menghapus Mu’tazilah digantikan dengan golongan Salaf pengikut Hambali yang tidak toleran terhadap Mu’tazilah yang rasional, menyempitkan horizon intelektual. Mu’tazilah bangkit kembali pada masa Buwaihi dan Saljuk, Asy’ariah menyingkirkan Mu’tazilah yang didukung al-Ghazali tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas entelektual Islam. 

Sementara itu, faktor eksternal kemunduran dinasti Bani Abbasiyah, yaitu: 
1) Perang Salib Perang antara umat Kristen dengan umat Islam yang berlangsung dari tahun 1095-1291 M, telah menelan banyak korban jiwa, ini menyebabkan khilafah Bani Abbasiyah menjadi lemah. 
2) Serangan Hulagu Khan Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, melakukan serangan-serangan menuju Baghdad dengan mengalahkan Khurasan di Persia dan Hasysyasyin di Alamut terlebih dahulu. 

Pada tanggal 10 Februari 656 H/1258 M, ia dan pasukannya sampai ke tepi kota Baghdad. Perintah untuk menyerah ditolak oleh khalifah al-Musta’shim (khalifah terakhir Bani Abbasiyyah), sehingga Baghdad dikepung dan dihancurkan

Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:

Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.

Masa Disintegrasi (1000-1250 M)

Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.

Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. 
Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui diSpanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam kenyataannya, banyak daerah tidak dikuasai khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur provinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khilafah ditandai dengan pembayaran pajak.

Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari provinsi-provinsi tertentu, dengan pembayaran upeti itu. Alasannya adalah:

Mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya,
Penguasa Bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. 
Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara:

Seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulah Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah diMarokko.
Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyyah di Khurasan.

Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko, provinsi-provinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa di antaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.

Menurut Ibnu Khaldun, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di provinsi-provinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen. Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan baru seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya teryata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu'u arabiyah (kebangsaan/anti Arab).

Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.

Masa disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya, pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Dimana salah satu sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan.

Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.

Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan. Di samping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

Persaingan antar Bangsa

Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab.

Sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu.
Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.

Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam).

Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki, dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, di samping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.

Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. 

Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik takhta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk pada periode keempat, sebagaimana diuraikan terdahulu.

Munculnya dinasti-dinasti yang lahir dan ada yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:

Yang berbangsa Persia.
Bani Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
Bani Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
Bani Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
Bani Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).
Bani Buwaih, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M).

Yang berbangsa Turki.
Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).
Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).
Ghaznawiyah di Afganistan, (351-585 H/962-1189 M).

Bani Seljuk/Salajiqah dan cabang-cabangnya:

a. Seljuk besar, atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib Tuqhril Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar93 tahun (429-522H/1037-1127 M). Dan Sulthan Alib Arselan Rahimahullah memenangkan Perang Salib ke I atas kaisar Romanus IV dan berhasil menawannya.
b. Seljuk Kinnan di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M).
c. Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M).
d. Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M).
e. Seljuk Ruum atau Asia kecil di Asia tengah (Jazirah Anatolia), (470-700 H /1077-1299 M).

Yang berbangsa Kurdi:
al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).
Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M).
al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1250 M), didirikan oleh Sulthan Shalahuddin al-ayyubi setelah keberhasilannya memenangkan Perang Salib periode ke III.

Yang berbangsa Arab:
Idrisiyyah di Maghrib, (172-375 H/788-985 M).
Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).
Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).
'Alawiyah di Thabaristan, (250-316 H/864-928 M).
Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).
Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).
Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).

Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
Umayyah di Spanyol.
Fatimiyah di Mesir.
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antarbangsa, terutama antara Arab, Persia dan Turki. Di samping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatar belakangi paham keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi'ah maupun Sunni.

Kemerosotan Ekonomi

Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.

Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.

Munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme kesukuan.

Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orangPersia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Mansurberusaha keras memberantasnya, bahkan Al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.

Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaranSyi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang Syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.

Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiqatau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan salafy. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukanmihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan Sunni kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali terhadap Mu'tazilah yang rasional dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah menyempitkan horizon intelektual padahal para salaf telah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni sesuai dengan yang dibawa oleh Rasulullah.

Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa Dinasti Seljukyang menganut paham Sunni, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya. Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi ciri utama paham Ahlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam konon sampai sekarang.

Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:

Agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti juga agama Isa‘alaihis salaam, terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia... telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam ...Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah ... menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga
Ancaman dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Di samping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.

Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib. 

Pengaruh perang salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerusalem. ‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar