Senin, 13 April 2015

منقيب شيخ الحج اسناوي القدسي. (sejarah Mbah Asnawi)

Kudus adalah daerah yang terkenal dengan nama kota Kretek dan kota Santri dalam wilayah propinsi Jawa Tengah. Kota ini dibangun oleh Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shodiq) dengan rentetan historisitas yang berpusat pada kerajaan Islam pertama di Jawa (Demak). Hal ini ditengarai dari inskripsi batu nisan yang ada di atas mihrab Masjid al-Aqsha Menara Kudus.

Di belakang Masjid al-Aqsa Menara Kudus inilah, di Komplek Makam Sunan Kudus, hampir selalu ada saja yang mengaji. Baik yang dengan tujuan untuk berziarah, maupun santri yang niat tabarrukan agar diberi kemudahan dalam berbagai urusan. Di antara deretan nisan di komplek makam tersebut, terdapat makam KH Raden Asnawi. Salah seorang ulama keturunan ke-14 Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 KH Mutamakkin Kajen, Margoyoso, Pati. Yang hidup sezaman dengan Sultan Agung Mataram.

Kelahiran Beliau

Pada hari Jum’at Pon, kisaran tahun 1861 M (1281 H) di daerah Damaran lahir seorang bayi yang diberi nama Raden Ahmad Syamsyi. Putra dari pasangan H. Abdullah Husnin dan Raden Ayu Sarbinah ini lahir di sebuah rumah milik Mbah Sulangsih di desa Damaran Tempat tinggal Mbah Sulang begitu ia akrab disapa menjadi ramai didatangi oleh sanak saudara dan tetangga sekitar lantaran kelahiran anak pembarep. Sudah menjadi tradisi masyarakat Kudus, setiap ada babaran (melahirkan bayi), tetangga ikut merasakan bahagia dengan menjenguk ibu dan anak yang dilahirkan. 

H. Abdullah Husnin terkenal seorang pedagang konfeksi yang tergolong besar. Memang sudah menjadi hal yang lumrah, rata-rata penduduk di desa ini mempunyai penggautan (kerja) di bidang konfeksi. Potensi ekonomi masyarakatnya mengandalkan kreatifitas memproduksi kain menjadi pakain, kerudung, rukuh, dan lain sebagainya.

Sejak kecil, Ahmad Syamsyi diasuh oleh kedua orang tuanya, dikenalkan pada pelajaran agama dan tata cara bermasyarakat menurut ajaran-ajaran Islam. Selain itu, Ahmad Syamsyi juga diajarkan berdagang sejak dini. Kemudian semenjak usia 15 tahun, pada kisaran tahun 1876 M. orang tuanya memboyong ke Tulungagung Jawa Timur. Di sana H Abdullah Husnin mengajari anaknya berdagang pagi hingga siang. 

Keinginannya mencetak putra sholih mengantarkan Husnin untuk mengikutsertakan Syamsi mengaji di Pondok Pesantren Mangunsari Tulungagung. Waktu mengaji adalah sepulang dari berdagang mulai sore hingga malam. Tidak diketahui apa kitab yang ditekuni kala itu. Selain mengaji di Tulungagung, Ahmad Syamsi kemudian melanjutkan mengaji kepada KH. Irsyad Naib Mayong, Jepara. 

Masa Mudanya

Sejak kecil beliau diajar oleh orang tuanya sendiri, terutama dalam mengaji Al-Qur’an. Setelah berumur 15 tahun beliau diajak oleh orang tuanya ke Tulung Agung Jawa Timur untuk mengaji sambil belajar berdagang. Sesudah mendapat asuhan dan didikan dari orang tuanya, beliau kemudian mengaji di pondok pesantren Tulungagung, lalu berguru dengan Kyai H. Irsyad Naib Mayong Jepara sebelum pergi haji. Selama di Mekah beliau berguru antara lain dengan Kyai H. Saleh Darat Semarang, Kyai H. Mahfudz Termas dan Sayid Umar Shatha.

Pergantian Nama dan Mengajar Agama

Sewaktu umur 25 tahun, kira-kira pada tahun 1886 M. Ahmad Syamsi menunaikan ibadah haji yang pertama dan sepulangnya dari ibadah haji ini, KHR. Asnawi mulai mangajar dan melakukan tabligh agama. 

Kira-kira umur 30 tahun KHR. Asnawi diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu KHR. Asnawi juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adik yang bernama H. Dimyati yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu KHR. Asnawi telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya.

Sepulangnya dari haji pertamanya, nama Raden Ahmad Syamsi diganti dengan Raden Haji Ilyas. Pergantian nama sepulang dari tanah suci sudah menjadi hal yang wajar, namun nama Ilyas juga tidak menjadi nama hingga wafatnya. Nama Ilyas ini kemudian diganti lagi dengan Raden Haji Asnawi, setelah pulang dari menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya. 

Selanjutnya nama Asnawi ini yang menjadi terkenal dalam pengembanagan Ahlussunnah Waljama’ah di daerah Kudus dan sekitarnya. Dari sinilah kharismanya muncul dan masyarakat memanggilnya dengan sebutan Kiai. Sehingga nama harum yang dikenal masyarakat luas menyebut dengan Kiai Haji Raden Asnawi (KHR. Asnawi).

Sebagaimana lazimnya, sebutan Kiai ini tidaklah muncul begitu saja, atau dedeklarasikan dalam sebuah peristiwa, namun ia diperoleh melalui pengakuan masyarakat yang diajarkan agama secara berkesinambungan sejak KHR. Asnawi berumur 25 tahun. Pada setiap Jumu’ah Pahing, sesudah shalat Jumu’ah, KHR. Asnawi mengajar Tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak + 18 Km dari kota Kudus, dan jalan pegunungan yang menanjak ini ditempuhnya dengan berjalan kaki. KHR. Asnawi juga selalu berkeliling mengajar dari masjid ke masjid sekitar kota saat shalat Shubuh. 

Secara khusus KHR. Asnawi juga mengadakan pengajian rutin, seperti Khataman Tafsir Jalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus. Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan al-Hikam dalam bulan Ramadlan diTajuk Makam Sunan Kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama bulan Ramadhan bertempat di Masjid al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai KHR. Asnawi wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh al-Hafidh KHM. Arwani Amin sampai khatam.

Kegiatan tabligh KHR. Asnawi untuk menyebarkan akidah Ahlusunnah wal Jamaah tidaklah terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, melainkan juga menjangkau ke daerah lain seperti Demak, Jepara, Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora. 

Di antara ilmu yang diutamakan oleh KHR. Asnawi adalah Tauhid dan Fiqih. Karenanya, bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya, KHR. Asnawi hingga kini masih selalu diingat melalui karya populernya yang kini dikenal dengan “Shalawat Asnawiyyah.”  Selain itu karya Asnawi sepertiSoal Jawab Mu’taqad Seket, Fasholatan Kyai Asnawi (yang disusun oleh KH. Minan Zuhri),Syi'ir Nasihat, Du’aul ‘Arusa’in, Sholawat Asnawiyyah dan syi’iran lainnya juga tetap diajarkan di pengajian-pengajian pesantren dan masjid-masjid hingga saat ini.

Diantaranya pada setiap hari Jum’ah Pahing sesudah shalat Jum’ah beliau mengajar ilmu tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak 18 Km dari kota Kudus, dan ini dilakukan dengan jalan kaki. Beliau berkeliling di masjid-masjid sekitar kota bila melakukan shalat subuh. Kira-kira umur 30 tahun beliau diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu beliau juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adik yang bernama H. Dimyati yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu beliau telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya.

Mukim Di Tanah Suci

Semula beliau tingal di rumah Syekh Hamid Manan Kudus, kemudian setelah kawin dengan ibu Nyai Hajjah Hamdanah (janda Almaghfurlah Kyai Nawawi Banten), beliau pindah tempat di kampung Syamiah Mekah dengan dikaruniai 9 orang anak, tetapi yang hidup sampai tua hanya 3 orang yaitu: H. Zuhri, H. Azizah istri KH. Shaleh Tayu dan Alawiyah istri R. Maskub Kudus. Selama bermukim di tanah suci, disamping menunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga, beliau masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama dengan para Ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah. 

Beliau juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, diantara yang ikut belajar antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang, KH. Bisyri Samsuri Jombang, KH. Dahlan Pekalongan, KH. Shaleh tayu, KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KH. A. Mukhit Sidoarjo. 

Disamping belajar dan mengajar agama Islam, beliau turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di Mekah bersama dengan kawannya yang lain. Pada waktu beliau bermukim ini, pernah mengadakan tukar pikiran dengan salah seorang ulama besar, Mufti Mekah bernama Syekh Ahmad Khatib Minangkabau tentang beberapa masalah keagamaan. 

Pembahasan ini dilakukan secara tertulis dari awal masalah hingga akhir, meskipun tidak memperoleh kesepakatan pendapat antara keduanya. Karena itu beliau bermaksud ingin memperoleh fatwa dari seorang Mufti di Mesir, maka semua catatan baik dari tulisan beliau dan Syekh Ahmad Khatib tersebut dikirim ke alamat Sayid Husain Bek seorang Mufti di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir itu tidak sanggup memberi ifta’-nya. (sayang, catatan-catatan itu ketinggalan di Mekah bersama kitab-kitabnya dan sayang keluarga KH.R.Asnawi lupa masalah apa yang dibahas beliau, meskipun sudah diberitahu). 

Melihat tulisan dan jawaban beliau terhadap tulisan Syekh Ahmad Khatib itu, tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan dengan beliau. Karena belum kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syekh Hamid Manan untuk diperkenalkan dengan KH.Asnawi Kudus. 

Akhirnya disepakati waktu perjumpaan yaitu sesudah shalat Jum’ah. Oleh Syeikh Hamid Manan maksud ini diberitahukan kepada beliau dan diatur agar beliau nanti yang melayani mengeluarkan jamuan. Sesudah shalat Jum’ah datanglah Sayyid Husain Bek ke rumah Syekh Hamid Manan dan beliau sendiri yang melayani mengeluarkan minuman. Sesudah bercakap-cakap, bertanyalah tamu itu: “Fin, Asnawi?” (Dimana Asnawi?), “Asnawi? Hadza Huwa” (Asnawi ? Inilah dia) sambil menunjuk beliau yang sedang duduk di pojok, sambil mendengarkan percakapan tamu dengan tuan rumah. Setelah ditunjukkan, Mufti segera berdiri dan mendekat beliau, seraya membuka kopiah dan diciumlah kepala beliau sambil berkenalan. Kata Mufti Sayyid Husain Bek kepada Syeikh Hamid Manan: Sungguh saya telah salah sangka, setelah berkenalan dengan Asnawi. Saya mengira tidaklah demikian, melihat jasmaniahnya yang kecil dan rapuh. 

Pada tahun 1916 beliau meninjau tanah airnya yang ada di Kudus, serta mengadakan hubungan dengan kawan-kawannya antara lain Bapak Sema’un, H. Agus Salim, Hos Cokroaminoto dan lain-lain dari tokoh SI. Berangkatlah beliau sendiri, sedang anak istri ditinggal di Mekah. Sesampainya di Kudus beliau bersama dengan kawan-kawannya mendirikan sebuah Madrasah yang di beri nama Madrasah Qudsiyyah pada tahun 1916 M. Dan tidak lama kemudian diadakan pembangunan Masjid Menara Kudus yang dilakukan secara gotong royong. Kalau malam para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan pada siang harinya. Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itu, terjadi suatu peristiwa huru-hara Kudus pada tahun 1918, dimana beliau dengan kawan-kawannya yang lain terpaksa harus menghadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah yang menghina Islam. Itulah sebabnya niat kembali ke tanah suci menjadi gagal, sedang istri dan anak masih di Mekah.

Huru-Hara Kudus

Di tengah-tengah umat Islam mengadakan gotong royong untuk membangun Masjid Menara yang dikerjakan siang dan malam, oleh orang-orang Cina diadakan pawai yang akan melewati depan Masjid Menara. Oleh Ulama dan pemimpin-pemimpin Islam telah mengirim surat kepada pemimpin Cina, agar tidak menjalankan pawainya di muka Masjid Menara, mengingat banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari. 

Permintaan itu ternyata tidak digubris, bahkan dalam rentetan pawai itu ada adegan dua orang Cina yang memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita yang berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam menamakan Cengge. Pawai Cina yang datang dari muka Masjid Manara menuju ke selatan kemudian berpapasan dengan santri-santri yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu dengan kendaraan grobak dorong (songkro). Kedua-duanya tidak ada yang mau mundur. Akhirnya seorang santri yang menarik songkro itu dipukul oleh orang Cina. Dengan adanya pemukulan terhadap orang Islam yang dilakukan oleh orang Cina, ditambah adanya Cengge yang menusuk perasaan umat Islam, maka terjadilah pertikaian antara para peserta pawai orang Cina dengan orang Islam yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu. Sekalipun pertikaian ini dapat dihentikan dan selanjutnya diadakan perdamaian, namun orang-orang Cina belum mau menunjukkan sikap damai, bahkan masih sering melontarkan ejekan terhadap orang Islam yang tengah mengambil pasir dan batu sepanjang jalan yang dilalui dari Kaligelis sampai menuju ke Masjid Manara Kudus. Karena itulah orang-orang Islam terpaksa mengadakan perlawanan terhadap penghinaan orang-orang Cina. 

Para ulama memandang beralasan untuk menyetujui adanya penyerangan pembelaan, tetapi tidak diadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina, pembakaran rumah maupun perampasan barang-barang milik orang Cina. Tetapi ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan untuk mengambil barang-barang orang Cina dan tersentuhnya lampu gas pom sehingga menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang Cina maupun orang Jawa. Dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah, maka para Ulama ditangkap dan dimasukkan dalam penjara. Akhirnya KH.R.Asnawi yang dituduh sebagai salah satu penggerak, dijatuhi hukuman selama 3 tahun. Semula di penjara Kudus, kemudian pindah di penjara Semarang bersama-sama dengan KH.AhmadKamal Damaran, KH. Nurhadi dan KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain.

Selama Dalam Penjara

Pada saat di penjara, istrinya (Nyai Hj. Hamdanah) beserta 3 orang putra-putrinya datang ke Kudus dari Mekah. Menurut cerita beliau, selama berada di penjara Kudus pada setiap malam Jum’ah, beliau mengadakan berjanjenan (membawa kitab Al-Barjanji) bersama dengan penghuni penjara dan selalu mengadakan shalat jamaah lima waktu. Di samping itu, beliau sempat menterjemahkan kitab jurumiyah (ilmu Nahwu) ke dalam bahasa Jawa, sayang karangan ini tidak dicetak dan disiarkan.

Sesudah Keluar Dari Penjara

Sebagai seorang yang memiliki jiwa pejuang, setelah keluar dari penjara beliau langsung terjun di tengah masyarakat untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang pemimpin masyarakat, diantaranya dengan berda’wah mengajar agama dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Diantara ilmu yang diutamakan oleh beliau adalah Tauhid dan Fiqih. Pada tahun 1927 berdiri pondok pesantren yang diasuh oleh beliau di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih dan mendapat dukungan dari para dermawan dan umat Islam di Kudus. 

Kegiatan beliau dalam melakukan tabligh tidak terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, akan tetapi meluas ke daerah lain untuk menyebarkan aqidah Ahlusunnah Wal Jamaah antara lain sampai ke Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora. Demikian halnya dalam mengadakan pengajian meliputi daerah Demak, Jepara, dan Kudus. Di pondok pesantrennya sendiri setiap tanggal 14 bulan hijriyah diadakan majelis ta’lim yang disebut Patbelasan, ribuan Muslimin dan Muslimat mendatangi majelis ini. Sayang majelis ini terhenti karena dihapus oleh pemerintah Jepang. Juga setiap tanggal 29 Rabiul Awal beliau menyelenggarakan peringatan maulud Nabi Muhammad Saw. Bersamaan mengadakan majelis khataman Al-Quran baik binnadzar maupun bil-ghaib yang diasuh oleh putranya (HM. Zuhri). 

Disamping melayani kebutuhan para santri yang ada di pondok pesantren tentang pengajian kitab, secara khusus beliau juga mengadakan wiridan, antara lain:Khataman Tafsir Jalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus.Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan Hikam dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus.Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama bulan Ramadlan bertempat di Masjid Al-Aqsha Kauman MenaraKudus, sampai beliau wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh Al-Hafidh KH. M. Arwani Amin sampai khatam. Sesudah selesai mendirikan pondok pesantren pada tahun 1927 M, pernah datang ke rumah beliau seorang tokoh Belanda yang faham tentang agama Islam bernama Van Der Plas. Kedatangannya di rumah untuk minta agar dilayani dengan bahasa Arab, demikian ujar petugas Kabupaten yang memberitahukan akan datangnya Van Der Plas dan menyampaikan kehendaknya. Adapun maksud Van Der Plas menemui beliau adalah bermaksud minta kesediaan beliau untuk memangku jabatan penghulu di Kudus. Secara tegas penawaran itu ditolaknya, sebab kalau diangkat sebagai penghulu tidak bebas lagi dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para pejabat, lain kalau saya menjadi orang partikelir, dapat melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap siapapun tanpa ada rasa segan (ewuh pekewuh).

Kegemarannya

Pada masa hidupnya beliau sangat gemar melakukan: Silaturrahim, baik di tempat yang dekat maupun yang jauh, baik terhadap orang tua maupun terhadap yang lebih muda. Amar ma’ruf nahi mungkar, terhadap siapapun terutama terhadap keluarganya asal terdapat hal-hal yang kurang baik apalagi terhadap hal yang nyata-nyata melanggar syara’. Beliau tidak segan-segan memberikan peringatan atau teguran. Ringan tangan bila diundang, asal undangan yang tidak melanggar syara’. Setiap tahunnya asal undangan tiada udzur, beliau pasti hadir dalam upacara Maulud Nabi yang diselengarakan oleh Sayid Ali Al-Habsyi Kwitang Jakarta. Pernah beliau berpesan: “Apabila ada orang yang minta pertolongan dan ada kemampuan untuk memenuhi, laksanakanlah permintaan itu, sebab Allah akan menolongmu”. Selalu memberi nasehat, baik kepada siapa saja terutama kepada anak dan cucunya. Kalau nasehat (pidato) suaranya lantang, sekalipun pahit, keras dan tegas sesuai dengan ajaran syariat di telinga tetapi manis dirasa.

Perjuangannya

Pada tahun 1924 M beliau ditemui oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang untuk bermusyawarah untuk membuat benteng pertahanan Aqidah Ahlussunah Wal Jamaah. Akhirnya beliau menyetujui gagasan KH.A. Wahab Hasbullah dan selanjutnya bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama. Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati. 

Pada zaman awal revolusi kemerdekaan terutama pada masa menjelang agresi ke-1, beliau mengadakan gerakan ruhani dengan membaca sholawat Nariyah dan doa surat Al-Fil. Tidak sedikit para pemuda-pemuda kita yang tergabung dalam laskar-laskar bersenjata berdatangan untuk minta bekal ruhaniyah kepada beliau sebelum berangkat ke medan pertahanan di Genuk, Alastuo dan lain-lain. 

Oleh Bupati Kudus, Raden Surbakah pernah beliau dimintai untuk menempati pendopo Kabupaten sebagai tempat pengajian dan itu dipenuhi sehingga Bapak Bupati pindah. Majelis pengajian umum yang masih berjalan sampai sekarang ini ialah Sanganan di Masjid Agung Kauman Wetan Kudus dan majelis Pitulasan di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus. Pondok Pesantrennya masih berjalan untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan beliau.

Keluarga Almarhum

Sesudah pergi haji yang pertama beliau menikah dengan putri KH. Abdullah Faqih Langgar dalem Kudus bernama Mudasih dan dianugrahi dua orang putra: 1. HM. Zaini mempunyai 5 orang anak. 
2. Masy’ari mempunyai 2 orang anak. 

Pada waktu bermukim di Mekah beliau menikah dengan Nyai Hj. Hamdanah (janda almarhum Syeh Nawawi Banten) dan dianugrahi tiga orang anak: 

1. HM. Zuhri mempunyai 5 orang anak
2. H. Azizah ( istri KH. Saleh Tayu ) mempunyai 5 orang anak.
3. Alawiyah, mempunyai 6 orang anak 

Sewaktu kembali ke Kudus pada tahun 1916, beliau dinikahkan dengan anak keponakan Khatib Khair di Kudus bernama Subandiyah tetapi tidak tidak dianugrahi anak hingga wafat. Sesudah itu kemudian nikah dengan ibu Muthi’ah mempunyai 2 anak: Siti Budur dan K. Mufadh. Beliau juga pernah menikah dengan Ibu Munijah Damaran dan tidak dikaruniai anak. Sewaktu beliau wafat meninggalkan 3 orang istri, 5 orang anak, 23 cucu dan 18 cicit (buyut).

KH. R. Asnawi Pulang Ke Rahmatullah

Hari Sabtu Kliwon tanggal 25 Jumadil Akhir 1378 H, bertepatan tanggal 26 Desember 1959 M, tepatnya jam 03.00 fajar beliau telah dipanggil pulang ke rahmatullah. KH.R.Asnawi, seorang ulama besar dan salah seorang pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama wafat dalam usia 98 tahun. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun

Kepulangan ulama besar Kudus ke rahmatullahini tidak terduga. Sebab satu minggu sebelum wafatnya KHR. Asnawi masih masih nampak segar bugar ketika turut bermusyawarah dalam muktamar NU XII di Jakarta. 

Pukul 02.30 WIB Sabtu itu Asnawi bangun dari tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi yang tidak jauh dari kamarnya untuk mengambil air wudlu. Setelah dari kamar mandi Asnawi dengan didampingi istrinya, Nyai Hj. Hamdanah, kembali berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya semakin tidak berdaya. 
Dan dua kalimat syahadat(syahadatain/Asyhadu an laa ilaaha illallah wa Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah) adalah kalimat terakhir yang mengantarkan arwahnya kerahmatullah. 

Kabar wafatnya KH.R Asnawi disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat Jakarta lewat berita pagi pukul 06.00 WIB. Penyiaran itu atas inisiataif Menteri Agama RI KH Wahab Chasbullah yang ditelephon oleh HM. Zainuri Noor. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar