Minggu, 05 April 2015

Sekilas Babad Sokaraja

Raden Kaligenteng adalah nama seorang tokoh kontroversial yang lahir di tlatah Purbalingga. Raden Kaligenteng dan Kali Pelus di Sokaraja adalah dua nama yang sangat berhubungan dalam cerita Babad Purbalingga - Sokaraja. 
 
Kaligenteng bukan nama sungai tapi nama seorang pemuda sakti dari tlatah Purbalingga. Dalam cerita ini minimal ada tiga wilayah yang berada di tiga kabupaten yang perlu disebut dalam hubungannya dengan Raden Kaligenteng yaitu Purbalingga, Sokaraja, dan Watukumpul.

Kisah antara keturunan dua orang bersaudara yang sama-sama memimpin sebuah wilayah tanah perdikan, dalam cerita tutur wilayah kekuasaan walaupun tidak teramat luas lazim disebut sebagai kadipaten. Saudara yang tua bernama Ki Jebugkusuma menjadi adipati di Sokaraja, dan yang muda bernama Ki Kertabangsa menjadi adipati di Bangsakerta, masuk wilayah Purbalingga sekarang

Ki Jebugkusuma mempunyai anak laki-laki bernama Raden Kuncung dan Ki Kertabangsa mempunyai anak laki-laki bernama Raden Kaligenteng. Kedua pemuda ini oleh orang tua masing-masing dicita-citakan untuk menjadi penguasa yang mumpuni di wilayahnya masing-masing.

Raden Kuncung menimba ilmu baca, tulis, kesustraan dan kanuragan di perguruan Krapyak, Gunungjati, Cirebon. Di perguruan ini ia mendapat bimbingan dari keturunan Sunan Gunungjati yaitu Pangeran Kusuma Waningyun. Raden Kuncung mendapat pelajaran dengan metode pengajaran para wali yaitu pelajaran Agama Islam yang dibungkus dengan budaya tradisional seperti gending dan wayang, juga mempelajari tentang ilmu kanuragan semacam kesaktian baik secara individu maupun kemampuan taktik dalam pertempuran besar.

Sedang Raden Kaligenteng berguru di Perguruan Karang Permisan, di sekitar Pulau Nusakambangan gurunya bernama Ki Sura Sarunggi. Namun pada akhirnya ia berguru ke sebuah padepokan yang bernama Kandangbolong, di wilayah Kadipaten Karanglewas. Mendapat bimbingan dari Ki Ageng Reksanata. Ki Ageng Reksanata adalah seorang pengelana dari Kadipaten Pasirluhur. Ia sesungguhnya pernah menjadi pejabat kadipaten yang disegani, ia memiliki ilmu pemerintahan yang mumpuni. Waskita dalam menilai bakat seseorang. Ki Ageng Reksanata suka mengurai rambutnya yang panjang maka ia terkenal juga sebagai Ki Ageng Ngorean. Raden Kaligenteng yang sebenarnya memiliki watak keras kepala, suka marah dan bandel pun dengan kemampuan mata batinnya dapat dibimbing untuk menjadi siswa perguruan yang baik dan memiliki kesaktian yang mapan. Raden Kaligenteng di saat berguru suka berada di sekitar Kandangbolong sehingga ia lebih dikenal sebagai warga Kandangbolong dibandingkan sebagai anak adipati di Kadipaten Bangsakerta.

Dikisahkan bahwa pada suatu hari saat Ki Kertabangsa di sanggar pamujan Kadipaten Bangsakerta, bersemedi dengan sungguh-sungguh, datanglah sebuah petunjuk gaib atau wangsit dari sebuah sosok berwibawa, dengan sorot mata tajam, dahi datar, bentuk rahang yang kokoh yang seakan memancarkan sikap tegas, mengatakan bahwa siapapun dapat menjadi seorang adipati di suatu wilayah yang sangat luas dan akan sangat disegani oleh penguasa wilayah sekitarnya. Syaratnya orang tersebut harus memiliki pegangan keris Kyai Brongot Setan Kober. 

Usai semedi Ki Gede Kertabangsa tercenung lama sekali. Dalam ketercenungannya ia sempat berpikir bahwa yang memberi wangsit itu tentu pemilik Keris Kyai Brongot Setan Kober yaitu Adipati Jipang Panolan yang bernama Aryo Penangsang. Aryo Penangsang gugur dalam pertempuran melawan Sutawijaya pada sekitar tahun 1549. Raden Sutawijaya berhasil menusukkan tombak Kyai Plered tepat ketika Aryo Penangsang mendaki tebing setelah berhasil dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang menyeberangi Bengawan Sore. Sedangkan wilayah yang sangat luas dalam pikiran Ki Gede Kertabangsa adalah wilayah yang meliputi Kadipaten Bangsakerta, Karanglewas, Merden, Onje, Cipaku, Sokaraja, Purbadana dan sampai wilayah utara yaitu Tanah Perdikan Cahyana.

Dalam hal Keris Kyai Brongot Setan Kober, Ki Kertabangsa pernah ditunjukkan oleh Ki Ageng Reksanata. Keris dengan dapur luk tigabelas, dengan bilah keris pudak setegal yang indah, gonjonya berwarna emas dan wrangkanya pun sederhana namun indah. Pada saat menunjukkan keris itu Ki Ageng Reksanata pun bercerita bahwa keris tersebut ditempa oleh Empu Bayuaji di tepi sebuah hutan angker di wilayah Cirebon. Saat keris hampir jadi datanglah sesosok jin yang datang dan ingin ikut menjadi inti isi keris tersebut. Maka setelah benar-benar sempurna keris ini diberi nama Kyai Setan Kober. 

Ki Ageng Reksanata menyebutnya sebagai Keris Brongos Setan Kober. Masalah keris yang saat itu ada di tangannya, Ki Ageng Reksanata sedikit tidak yakin akan keaslian keris tersebut. Sesungguhnya keris yang dipegangnya itu asli atau keris turunan, Ki Ageng Reksanata tidak paham benar. Namun Ki Ageng Reksanata yakin bahwa Keris Brongos Setan Kober yang ada ditangannya, apabila keris diberikan dan disimpan sebagai senjata andalan oleh orang yang tidak tepat maka keris ini dapat mempengaruhi pemiliknya untuk menjadi jahat dan sangat ambisius.

 Akhirnya pada satu hari yang dianggap baik oleh Ki Kertabangsa, diceriterakanlah wangsit dari sosok Aryo Penangsang kepada putranya bahwa jika Raden Kaligenteng ingin menjadi adipati yang memiliki wilayah yang luas dan disegani para adipati di sekitarnya hendaklah Raden Kaligenteng memiliki Keris Brongos Setan Kober.
 “Dan yang memiliki Keris Brongos Setan Kober kebetulan adalah Ki Reksanata, gurumu di Padepokan Kandangbolong” kata Ki Kertabangsa kepada Raden Kaligenteng. Sinar mata Raden Kaligenteng seketika bercahaya-cahaya, ada emosi yang meluap di dadanya. Ia ingin menjadi penguasa yang kajen keringan, terhormat dan disegani. Ia yakin Ki Ageng Reksanata pasti akan mendukungnya. Ia akan meminta Keris Brongos Setan Kober untuk menjadi piyandel, senjata andalan baginya.

Ki Gede Reksabangsa dan Raden Kaligenteng tidak tahu bahwa sesungguhnya keris Brongos Setan Kober sudah diberikan kepada Raden Kuncung. Kenapa diberikan kepada Raden Kuncung? Karena Ki Ageng Reksanata, di samping menjadi guru Raden Kaligenteng, setiap kali juga memberikan wejangan hal pemerintahan kepada Raden Kuncung. 

Memang Raden Kuncung setiap kali berkunjung ke Kandangbolong. Dari hasil olah kawaskitannya, Ki Ageng Reksanata yakin bahwa di tangan Raden Kuncung Keris Brongos Setan Kober tidak akan berpengaruh negatif. Hal tersebut dimungkinkan karena Raden Kuncung pernah berguru di Cirebon, tempat ditempanya keris tersebut. Raden Kuncung juga sudah dibekali dengan pengetahuan dan penghayatan agama yang sangat baik, sehingga mampu mengendalikan segala emosi negatifnya.

 Raden Kaligenteng yang ingin menjadi adipati nan berwibawa, segera ia menemui Ki Ageng Reksanata di Desa Kandangbolong. Ternyata jawaban Ki Ageng Reksanata sangat mengecewakannya. Keris sudah diberikannya kepada Raden Kuncung, calon Adipati Sokaraja. Raden Kaligenteng sangat kecewa dan tidak percaya dengan keterangan Ki Reksanata. Seketika watak asli Raden Kaligenteng muncul. Ia marah dan mengancam akan membunuh Ki Ageng Reksanata jika keris andalan itu tidak diberikan kepada nya 

Untuk menghindari hal yang lebih buruk Ki Ageng Reksanata 
Pura-pura menyetujui permintaan Raden Kaligenteng. Namun sebenarnya Ki Ageng Reksanata yang sudah tua itu segera bergegas menghindar dan menaiki kudanya. Dengan cepat memacu kudanya ke arah selatan. Ia ingin minta perlindungan kepada Adipati Sokaraja, Jebugkusuma.

Di Sokaraja pada saat itu Ki Jebugkusuma ada di pendapa bersama istrinya dan beberapa prajurit jaga. Ki Ageng Reksanata segera saja turun dari kuda dan masuk ke pendapa.  “Seperti tergesa-gesa, ada apa Ki Ageng Reksanata?” pertanyaan Adipati Jebugkusuma kepada Ki Ageng Reksanata setelah suasana sedikit tenang.

 “Maaf, tolong lindungi saya. Saya sedang dikejar oleh ponakanpanjenengan Raden Kaligenteng. Sepertinya ia ingin membunuh saya!” jawaban Ki Ageng Reksanata sambil mengadu. Betapa kagetnya Adipati Jebugkusuma mendengar penjelasan tersebut sebab Ki Ageng Reksanata adalah guru Raden Kaligenteng.

 “Apa sebabnya Raden Kaligenteng berlaku di luar tata krama ini?” tanya Adipati Jebugkusuma. Semua yang ada di pendapapun ikut mendengarkan pembicaraan keduanya. 

Dengan sedikit sabar dijelaskannya masalah tuntutan Raden Kaligenteng yang ingin memiliki Keris Brongos Setan Kober yang kebetulan sudah menjadi milik Raden Kuncung. Adipati Jebugkusuma sendiri juga sudah lama diberi tahu bahwa Keris Brongos Setan Kober sudah diwariskan kepada Raden Kuncung. Tanggap kepada masalah yang sangat serius tersebut segera Adipati Jebugkusuma memerintahkan seorang prajurit untuk mencari dan memanggil Raden Kuncung.

Benar!  Tidak lama kemudian Raden Kaligenteng sudah sampai di halaman pendapa Kadipaten Sokaraja. Segera pula ia naik ke pendapa dan berterus-terang minta agar Keris Brongos Setan Kober diberikan kepadanya untuk menjadi miliknya. Ki Ageng Reksanata tetap menolaknya karena ia tahu betapa berbahayanya pengaruh inti isi keris terhadap watak Raden Kaligenteng yang keras kepala dan paenuh ambisi kekuasaan. Pendirian Ki Ageng Reksanata pun dibenarkan dan didukung oleh Adipati Jebugkusuma.

Semakin marah Raden Kaligenteng di Pendapa Sokaraja. Ditantangnya Adipati Jebugkusuma oleh Raden Kaligenteng untuk bertempur. Belum lagi tantangan itu ditanggapi oleh Adipati Jebugkusuma, hadir di tengah mereka Raden Kuncung.

Setelah tahu permasalah dengan jelas atas tuntutan Raden Kaligenteng yang ingin memiliki Keris Brongos Setan Kober maka Raden Kuncung berkata:
 “Dimas Kaligenteng, Keris Brongos Setan Kober sudah sah menjadi milikku, sah pula Ki Ageng Reksanata memberikannya padaku, maka jika Dimas menginginkannya mintalah kepadaku. Dan aku tidak akan pernah memberikannya kepadamu!” sangat halus tantangan Raden Mas Kuncung.

Seketika itu juga seperti ada halilintar di sorot mata Raden Kaligenteng, ia marah bukan kepalang. Diserangnya Raden Kuncung dengan serangan yang mematikan. Dengan sedikit kaget Raden Kuncung dapat menghindari serangan mendadak tersebut.

Pertempuran dua anak muda dari perguruan yang berbeda itupun segera berlansung sengit. Halaman pendapa Sokaraja menjadi saksi kehebatan Raden Kaligenteng yang menggunakan ilmu kanuragan dari Karang Permisan, Nusa Kambangan melawan ilmu dari Perguruan Krapyak, Gunungjati, Cirebon. 

Arena pertempuran lama-lama bergeser, Raden Kaligenteng yang merasa sedikit terdesak harus mencari cara untuk tidak kalah apalagi terbunuh sia-sia. Ia harus mencari sungai. Untuk mengalahkan Raden Mas Kuncung, ia ingin bertempur di dalam air. Pertempuran di dalam air adalah pelajaran wajib di Perguruan Karang Permisan. Ia ahli menyelam dan ahli bertempur di dalam air.

Di sebelah utara Rumah Kadipaten Sokaraja memang terdapat sebuah sungai yang cukup besar, maka terjunlah Raden Kaligenteng ke dalam sungai yang airnya cukup dalam. Raden Kuncung berhenti di pinggir sungai. Ia ragu untuk terjun ke sungai. Sangat berbahaya jika saat terjun dan melayang justru ia diserang mendadak. Raden Kuncung juga tahu bahwa Raden Kaligenteng punya kemampuan yang melebihi kemampuannya jika bertempur di dalam air. 

Sejenak kemudian ia memerintahkan para prajuritnya dan penduduk sekitar sungai untuk melempari Raden Kaligenteng yang dikiranya ada di sungai tersebut dengan batu, panah dan benda-benda lain yang dapat melukai orang. 

Puas melempari sungai dan memperkirakan bahwa Raden Kaligenteng tentu sudah tewas di dalam air. Raden Kuncung memerintahkan prajuritnya untuk mencari jasad Raden Kaligenteng. Ia juga terjun ke sungai. Dicarinya dengan cermat jasad musuhnya dengan merata. Ia meraba-raba dalam air. Raden Kuncung bergejolak hatinya ketika terpegang benda lembut, licin, bulat memanjang berbau amis. Mungkinkah paha Raden Kaligenteng yang telah terpisah dari badannya? Bukan! Ternyata yang dipegangnya adalah ikan belut yang sangat besar, moa. Masyarakat setempat menamakannnya ikan pelus.
   “Ternyata, pelus!” katanya dalam hati dengan sedikit rasa geli.

Untuk memperingati peristiwa tersebut maka sungai itu diberi nama Kali Pelus. Seluruh prajurit dan rakyat sekitar tentu saja menyetujui pesan Raden Kuncung tersebut. Sejak saat itu sungai di sebelah utara Kadipaten Sokaraja itu, resmi disebut sebagai Kali Pelus atau Sungai Pelus. 

Pencarian jasad Raden Kaligenteng belum selesai. Raden kuncung heran; “Kemana perginya Raden Kaligenteng?” Ia yakin bahwa musuhnya masih di dalam sungai. Prajurit dan masyarakat sekitar sungai tidak melihat Raden Kaligenteng keluar dari dalam sungai. Maka disusurinya Sungai pelus kearah hilir. Sampailah Raden Kuncung di sebuah lubuk,kedhung, yaitu bagian sungai yang dalam dan airnya tampak tenang.

Raden Kuncung memerintahkan para prajuritnya untuk memeriksa isi sungai sambil berharap jasad Raden Kaligenteng segera mengapung. Saat ia memperhatikan para prajurit di sungai dan menunggu munculnya jasad Raden Kaligenteng ia keheranan, bukan bau amis atau anyir yang sampai ke hidungnya, tapi bau harum. Ia tertegun sejenak. Bau harum yang dikenalnya. 

 “Harumnya Bunga Kenanga!” katanya dalam hati. Lalu diumumkannya kepada orang-orang yang ada di sekitar sungai bahwa kedhung yang berbau harum itu diberi nama: Kedhung Kenanga! 

Belum puas mencari jasad Raden Kaligenteng, Raden Kuncung mengajak prajuritnya untuk mencari lebih ke hilir lagi. Dalam hatinya ia yakin bahwa Raden Kaligenteng pasti telah meninggal dunia, jasadnya telah remuk redam tertembus panah batu dan benda-benda lain yang telah dilemparkan ke sungai untuk mengeroyoknya. 

Pada sebuah tempat yang sepi jauh dari desa, saat ia memperhatikan sungai banyak ikan kecil-kecil hilir-mudik, bagian perutnya yang besar berwarna putih, ekornya panjang. Menurut Raden Kuncung ikan-ikan kecil itu seperti mencit, tikus kecil. 

Lalu ia memanggil beberapa prajuritnya dan berkata: “Besok rejaning jaman, jika tempat ini menjadi ramai, banyak penghuninya, maka gerumbul ini kuberi nama Kaliencit! Dan gerumbul di bagian akhir Kali Pelus ini, yang kulihat ada pohon jeruknya kuberi nama: Pajerukan!

 Akhirnya Raden Kuncung memutuskan bahwa Raden Kaligenteng telah tewas di Kali Pelus. Seluruh prajuritnya diperintahkan untuk kembali ke kadipaten. Kejadian yang berhubungan dengan Raden Kaligenteng segera ia beritahukan kepada Ki Ageng Reksanata dan Adipati Jebugkusuma.

 Alkisah sesungguhnya Raden Kaligenteng telah menyelamatkan diri dengan ajian uling putih yang dipelajarinya di Karang Permisan. Begitu sampai di air segera ia menyelam ke hilir sejauh-jauhnya dengan bantuan kesaktiannya. Sehingga ketika para prajurit mengeroyoknya dengan melemparkan segala benda, batu dan anak panah ke dalam sungai, Raden Kaligenteng sudah berada di hilir, keluar dari sungai di tempat yang sepi dan berlari ke utara menuju Bangsakerta. 

Diceriterakanlah segala polahnya kepada ayahnya, bahwa ia telah mengejar Ki Reksanata, menantang uwaknya, Adipati Sokaraja dan bertempur dengan Raden Kuncung. Ia telah meloloskan diri dengan melalui sungai di belakang Kadipaten Sokaraja. Ki Kertabangsa sangat marah atas perilaku Raden Kaligenteng ini. Ia dinilai telah berperilaku di luar tata krama sebagai anak dan siswa.

 “Kaligenteng!” kata Ki Kertabangsa, “Saya tidak tahu apakah kamu dianggap masih hidup atau sudah tewas. Tapi hukuman untukmu adalah selama 40 hari kamu tidak boleh keluar dari kamar!” perintah Ki Kertabangsa dengan tegas dan tajam penuh ancaman. Ia malu dengan perilaku putranya tersebut.

Sejak peristiwa kali Pelus itu hubungan antara Kadipaten Bangsakerta dengan Sokaraja seakan terputus. Ki Ageng Reksanata kembali ke Kandangbolong. Hubungan tlatah Purbalingga dengan tlatah Sokaraja tidak harmonis lagi. Bahkan orang Purbalingga dengan orang Sokaraja menjadi saling menghindar saat berpapasan.

Hukuman empat puluh hari terus di dalam kamar tidak membuat Raden Kaligenteng kapok. Ia ingin keluar kamar. Ia ingin melihat keramaian pasar. Ingin makan di kedai pasar. Ingin nonton lengger. Ingin mandi di sungai.

Wilayah kekuasaan Kadipaten Bangsakerta cukup luas sampai meliputi wilayah Watukumpul. Ketika Ki Kertabangsa berkunjung ke Watukumpul untuk mengarahkan pembuatan pasar desa, Raden Kaligenteng keluar kamar dan mandi-mandi di sungai. Dua puluh tujuh hari ia bertahan terus di dalam kamar. 

Hari berikutnya dia makan di kedai pasar. Saat itulah ada orang Sokaraja yang sempat melihatnya dan melaporkan kepada Raden Kuncung bahwa Raden Kaligenteng masih hidup, tidak tewas di Kali Pelus seperti disangkakan. Segeralah Raden Kuncung menyebar mata-mata untuk menyelidiki kegiatan Raden Kaligenteng.

Di mana saat itu Raden Kuncung putra Adipati Jebug Kusumo  diperintahkan  menuntut ilmu kepada Kyai Datuk Barul di Bumiayu tidak lama dari itu Raden Kuncung pun kembali ke Kadipaten. Kepada ibunya, R. Kuncung menanyakan kenapa ayahnya tidak berada di kadipaten? Oleh ibunya lalu diberi penjelasan bahwa saat ini ayahnya sedang berada di pinggir sungai menunggu munculnya Kaligenteng yang menjadi buronnya. Mendengar penuturan ibunya itu, Raden  Kuncung lalu mohon izin untuk menyusulnya dan sekaligus memberi bantuan kepada ayahnya.

Saat itu adipati Jebug Kusumo masih berada di tepi sungai menanti munculnya Kaligenteng. Konon selama menunggu di pinggir sungai, Adipati Jebung Kusumo sampai lupa makan dan minum, tidurpun tidak bisa lelap karena kuatir Kaligenteng dapat lolos dari intaiannya. Kedatangan Raden  Kuncung tentu saja sangat menggembirakan hatinya disamping memang sudah rindu sekali kepada putranya itu 

Raden Kuncung sangat terharu melihat kondisi ayahnya. Untuk itu ia bermaksud membantu ayahnya dan mohon izin agar ia sendiri yang akan menangkap Kaligenteng. Kemudian Raden Kuncung terjun ke dalam sungai, menyelam dan berenang dengan gesitnya. Adipati Jebung Kusumo sangat terheran-heran melihat kegesitan putranya dalam berenang dan menyelam itu. Gesit seperti layaknya seekor pelus. Karena saking bangganya kepada putranya itu, maka sebagai peringatan sungai itu diberi nama Kali Pelus.

Setelah lama menyelam, Raden Kuncung muncul kepermukaan kembali dan mengatakan bahwa Kaligenteng tidak ditemukan di dasar sungai, namun ia melihat sebuah goa di lampeng sungai. Ada kemungkinan Kaligenteng sebelumnya bersembunyi di goa itu dan berhasil lolos setelah ayahnya agak lengah. Pendapat itu dapat dimaklumi Adipati Jebug Kusumo, namun ia tetap bersikukuh untuk menangkap Kaligenteng.

Atas dasar itulah maka adipati Jebug Kusumo lalu menugaskan Raden Kuncung untuk meringkus Kaligenteng hidup atau mati. Dengan dibekali pusaka Brongsot Setan Kober sebagai piandel Kadipaten Sokaraja Raden Kuncung berangkat melaksanakan perintah ayahnya. Adipati Jebung Kusumo sendiri pulang ke Kadipaten.

Dalam usahanya menangkap Kaligenteng, Raden Kuncung selalu memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa dan pada suatu ketika ia mendapatkan petunjuk bahwa untuk mengangkap Kaligenteng harus menyamar menjadi dhalang jemblung atau disebut dhalang macakandha, dengan nama Ki Wicorosandi. Tempat dimana Raden Patemon, artinya disitu ia memperoleh wangsitnya. Selanjutnya Raden Kuncung diharuskan menuju ke desa Watukumpul.

Raden Kaligenteng mendapat kabar dari ayahnya bahwa di Watukumpul akan diadakan keramaian, ada tontonan lengger untuk merayakan keberadaan pasar desa yang baru. Raden Kaligenteng ingin menonton wayang maka ia mohon kepada ayahnya agar dalam keramaian itu ada juga tontonan wayang. Wayang dengan lakon Babad Purbalingga – Sokaraja.

Ki Kertabangsa agak heran dengan lakon yang diminta Raden Kaligenteng. Setahu ayahnya lakon wayang adalah dari cerita Mahabarata dan Ramayana namun demikian untuk menyenangkan hati Raden Kaligenteng disuruhnya beberapa pembantunya untuk mencari dalang wayang yang bisa mementaskan lakon Babad Purbalingga – Sokaraja.

Setelah tiga hari ternyata ada seorang dalang yang sanggup mementaskan Babad Purbalingga – Sokaraja. Namun dalang tersebut bukan dalang wayang kulit seperti umumnya tapi dalang jemblung. Dalang jemblung adalah dalang yang saat mendalang iringannya bukan dari gamelan tapi seluruh bunyi-bunyi gamelan keluar dari mulut Ki Dalang dan para pembantunya. Dalang jemblung harus mampu menampilkan bahasa pengantar, tembang, suluk, percakapan antar wayang, bunyi kecrek, bunyi cempala dan bunyi gending pengiring. Dan dalang jemblung yang akan manggung di Watukumpul bernama Ki Mertakandha.

Malam keramaian di Desa Watukumpul pun datang. Ada tratag dengan penerangan seadanya saat itu. Raden Kaligenteng tidak sempat berkenalan dengan Ki Dalang Mertakandha. Setelah pertunjukkan lengger dianggap selesai maka dalang Mertakandha menempatkan diri di bawah blencong yang tidak begitu terang, sebab yang penting adalah wayangnya dapat dilihat dan suaranya dapat didengarkan oleh para penonton. Penonton tidak butuh melihat dalangnya tapi yang dicermati adalah alur ceritanya. Raden Kaligenteng pun sangat antusias ingin mendengarkan kisah yang diidamkannya yaitu Babad Purbalingga – Sokaraja.

Menurut hematnya babad Purbalingga – Sokaraja adalah sebuah cerita yang mengisahkan berdirinya Kadipaten Bangsakerta dan Kadipaten Sokaraja. Yang berkuasa di kedua kadipaten itu adalah ayahnya dan uwaknya. Kadipaten Bangsakerta lebih luas dan lebih sejahtera, gemah ripah loh jinawi, murah sandang, murah pangan karena tumbuhan mudah tumbuh.

Cerita dibuka dengan menceritakan tentang kedua wilayah sebagai anugrah Yang Maha Kuasa. Berikutnya menceritakan tentang hasil bumi, danraja kaya, hewan peliharaan yang ada di sana. Ada adegan pembagian wilayah oleh kakeknya kepada Ki Jebugkusuma dan Ki Kertabangsa. Suara Ki Dalang demikian memikat dalam bertutur. Ada di dalam hati Raden Kaligenteng terselip kesan sepertinya warna suara ki dalang telah dikenalnya. Namun ditepisnya karena ia lebih terpukau saat Ki Dalang memuji kebijakan dan kemampuan ayahnya Ki Kertabangsa dalam memimpin kadipaten Bangsakerta yang sangat luas dibandingkan dengan Ki Jebugkusuma yang wilayahnya tak seluas Bangsakerta.

Kemudian sampailah Ki Dalang menceriterakan tentang keturunan kedua adipati itu. Pertama keturunan Ki Jebugkusuma yang bernama Raden Mas Kuncung. Raden Mas Kuncung seorang pemuda yang taat beragama dan suka menolong bercita-cita meneruskan kedudukan ayahnya untuk membangun Sokaraja dengan segala hasil bumi yang diolah dan dipasarkan ke luar daerah. Ingin membangun pesantren untuk belajar agama bagi anak-anak dan remaja. 

 Telinga Raden Kaligenteng agak risi ketika penyebutan Raden Kuncung menjadi Raden Mas Kuncung. Ada kata “mas” setelah kata “raden”. Padahal biasanya hanya disebut Raden Kuncung!

 Lalu diceriterakan bahwa Ki Kertabangsa yang sangat bijaksana mempunyai seorang putra bernama Raden Kaligenteng. Begitu ki dalang menyebut namanya segera seluruh perhatian Raden Kaligenteng dicurahkan untuk menyimak tutur kata sang dalang. Betapa senangnya ketika ki dalang memuji ketampanannya. Namun ternyata kemudian menceritakan pula keburukan watak dirinya. Bahkan kini ki dalang menceriterakan perlakuannya saat mengejar Ki Ageng Reksanata dan akan membunuhnya. Perlakuan murang tata itu karena ingin memiliki Keris Brongos Setan Kober. 
Panas telinga Raden Kaligenteng, bola matanya berputar, dadanya seakan-akan meledak. Segera ia masuk ke tratag, naik ke panggung dan ditendangnya Ki Dalang Mertakandha yang sedang mendalang, bercerita tentang Raden Kaligenteng yang kalah bertempur dan terjun ke Sungai Pelus! 

 Dhes! Pinggang Ki Dalang Mertakandha terkena tendangan.  Ki Dalang pun segera meloncat, menyiapkan diri untuk melawan. Keduanya beradu muka di bawah penerangan blencong. Raden Kaligenteng kini sadar bahwa ternyata yang menjadi dalang Mertakandha adalah Raden Kuncung.
   “Oh, pantas saya seperti sudah kenal suaranya!” batin Raden Kaligenteng. Memang saat mendalang tadi Raden Kuncung berusaha mengubah warna suaranya, ternyata masih dapat sedikit dikenali oleh Raden Kaligenteng. 

Kemarahan Kaligenteng sudah tak dapat dikendalikan lagi. Saat ini Raden Kuncung harus dimusnahkan karena telah membeberkan kebusukkannya di depan banyak penonton. Membuat malu bagi diri dan ayahnya.  

Kembali dua ilmu dari kutub yang berbeda diuji kehandalannya. Untuk kali ini Raden Kaligenteng lebih mapan dibanding Raden Kuncung. Tenaga Raden Kuncung sudah sangat berkurang karena ia kurang beristirahat. Dua hari ia menyamar menjadi pedagang dan kini barusan mendalang. Raden Kuncung terdesak, pinggangnya yang pertama kena tendang masih terasa sakit dan kini dadanya sempat terkena tendangan kaki pula. 

 Apa boleh buat dalam remangnya sinar lampu yang tidak terang, secara diam-diam dia hunus keris Brongos Setan Kober yang ada di pinggang sebelah kanannya. Terlambat Raden Kaligenteng untuk melihat kilatan warna merah yang dipancarkan oleh perbawa keris sakti. Begitu melihat ternyata bilah keris secara cepat telah meluncur ke perutnya. Raden Kaligenteng tidak sempat mengelak. 

 Jebp!  Raden Kaligenteng mengaduh sejenak, badannya kemudian meliuk dan jatuh ke tanah. Ilmu Raden Kaligenteng yang dipadu dengan pengaruh kesaktian Brongos Setan Kober menjadikan Raden Kaligenteng berubah wujud menjadi seekor ular besar. Raden Kaligenteng belum sadar ia telah berubah menjadi seekor naga, yang ia tahu adalah ia segera berlari kembali ke Bangsakerta. 

Ketika itu di Kadipaten Bangsakerta, Adipati Kertabangsa sedang mempersiapkan diri untuk memenuhi undangan Lurah Watukumpul yang akan meresmikan pasar anyar. Mendadak semua yang hadir dikejutkan dengan munculnya seekor naga besar dan sangat menakutkan memasuki pendapa kadipaten. Namun yang mengherankan, naga tersebut lalu merebahkan diri di hadapan Adipati Kertabangsa dan menangis minta dikasihani. Naga itu tidak lain adalah jelmaan dari Raden Kaligenteng yang dalam perang tanding melawan Raden Kuncung terkena pusaka Setan Kober.

Adipati Kertabangsa sangat keheranan melihat tingkah laku naga tersebut dan menanyakan siapa dirinya sebenarnya serta kenapa minta dikasihani. Naga menjawab bahwa sebenarnya ia adalah Kaligenteng yang kena pusaka Setan Kober sewaktu terjadi perang tanding di Desa Watukumpul dengan Raden  Kuncung, putra Adipati Sokaraja. Ia merasa bersalah telah melanggar larangan adipati Kertabangsa untuk tidak meningalkan kadipaten selama 40 hari.

Mendengar penuturan itu semua yang ikut mendengarkan merasa bersedih dan terharu, namun bagaimanapun semua ini sudah terjadi. Lama Adipati Kertabangsa merenung memikirkan langkah apa yang harus dilakukan terhadap putranya itu. Dengan perasaan sedih akhirnya adipati Kertabangsa bersabda kepada putranya yang berujud naga itu.

“Ngger Kaligenteng……semua ini sudah terjadi sebagai akibat dari kelakuanmu sendiri, namun bagaimanapun juga engkau tetap putraku, namun dengan wujudmu yang sekarang ini, tidak mungkin engkau masih tetap di kadipaten”. Dengan panjang lebar Adipati Kertabangsa memberikan nasihat kepada putranya dan memberikan petunjuk bahwa apabila ia ingin wujudnya kembali sebagai manusia, maka ia harus ruwat dan semedi di Gunung Sikasur selama 40 tahun sampai Yang Maha Kuasa memberikan pengampunan dan mengabulkan permohonannya. 
Adipati Kertabangsa juga berpesan bahwa selama putranya bertapa di Gunung Sikasur, ia harus menjaga dan mengawat-awati kawula atau rakyat di Purbalingga. Kepada Demang Sirongge yang juga dianggap bersalah karena tidak bisa mengasuh dan menasehati Raden Kaligenteng, kepadanya diberi hukuman untuk meninggalkan kademangan dan bermukim di Gunung Jimat sambil menjaga Raden Kaligenteng yang sedang bertapa.
  (pertapaan tersebut yang sekarang terkenal dengan Goa Genteng di desa Karang jengkol Kec Kutasari)

Kemudian ular naga dan Demang Sirongge meninggalkan Kadipaten Purbalingga dengan perasaan duka yang mendalam dan sedih karena harus berpisah dari orang-orang yang dicintainya. Mereka pergi dengan tujuannya masing-masing. Sebagai orangtua Adipati Kertabangsa merasa sedih sekali atas kehilangan putra lelaki satu-satunya, namun takdir telah menentukan nasibnya. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Dan bagaimana kelanjutan waris Kadipaten Purbalingga. Setelah lama merenung, adipati Kertabangsa memutuskan untuk pergi ke Kadipaten Sokaraja. Dia akan meminta pertanggungjawaban dari Adipati Jebug Kusumo.

‎Ki Kertabangsa segera pergi ke Kandangbolong, untuk mengadu kepada Ki Ageng Reksanata serta memintakan maaf atas segala kesalahan Raden Kaligenteng yang kini telah salah kedaden, salah kejadian, ia telah menjadi seekor ular naga.

Ki Ageng Reksanata memaafkan segala kesalahan Raden Kaligenteng dan menyarankan kepada Ki Kertabangsa untuk tidak mendendam apalagi membuat perhitungan dengan Ki Jebugkusuma maupun Raden Kuncung. Kesalahan awal adalah pada Raden Kaligenteng yang terlalu bernafsu ingin mempunyai kekuasaan yang lebih besar dibandingkan dengan kekuasaan ayahnya. 

Ki Kertabangsa sangat menyadari kesalahan Raden Kaligenteng maka Ki Kertabangsa pun membuang dendamnya dan harus berdamai dengan Ki Jebugkusuma. 

Untuk menghindari persoalan-persoalan yang mungkin muncul dalam hubungannya orang Purbalingga dengan orang Sokaraja maka dalam perdamaian tersebut Ki Jebugkusuma mengeluarkan sebuah pamali yaitu"Orang Purbalingga tabu menikah dengan orang Sokaraja dan sebaliknya". 

Lalu Ki Kertabangsa pun membuat sebuah pamali yaitu "sebaiknya orang Purbalingga tidak mandi di Sungai Pelus karena dikhawatirkan akan menimbulkan perkara yang tidak baik".

Konon pada akhirnya Ki Kertabangsa menyerahkan Kadipaten Bangsakerta kepada Raden Kuncung. Raden Kuncung menjadi Adipati di Bangsakerta dengan julukan Adipati Kertabangsa II. Keris Brongos Setan Kober dan Tombak Umbul Wulung milik Kadipaten Sokaraja dibawanya ke Kadipaten Bangsakerta yang berada di tlatah Purbalingga.

Barangkali karena pengaruh kedua benda keramat itu maka kemudian tlatah Purbalingga tetap menjadi kadipaten yaitu Kabupaten Purbalingga, sedangkan Kadipaten Sokaraja surut dan kini hanya menjadi sebuah kecamatan. 

                                ============================= 

Pusat Kadipaten Bangsakerta yang sekarang desa Banjarkerta
Padepokan Kandangbolong yang sekarang desa Kandanggampang
Adipati Jebugkusuma yang Makamnya berada di Sokaraja tengah dikenal dengan Dewa Kusuma 
Kyai Ageng Reksanata Mantan Patih Pasirluhur 
Adipati Kertabangsa yang Makamnya berada di desa Banjarkerta
           
                                       =============

Cerita di atas adalah sebuah legenda atau cerita rakyat yang diyakini benar-benar terjadi. 
Legenda yang menyangkut Raden Kaligenteng ini cenderung diceritakan sebagai Babad Sokaraja.
Bagi orang Purbalingga nama Adipati Kertabangsa dan Raden Kaligenteng belum banyak yang mengenal, ia tidak seterkenal nama Adipati Onje, atau Ki Arsantaka yang marak ditulis di berbagai kesempatan. 
Dengan tulisan ini semoga sedikit mengenalkannya!
Semoga bermanfaat .‎

10 komentar:

  1. bravo broo ceritanya gue kebetulan orang kulon tinggal disokaraja..
    kalo dari paparan isi ceritanya menurut gue ini asli otentik pas banget sama susunya..walaupun gue bukan orang sokaraja..

    BalasHapus
  2. Alhamdulilah inyonggg nembe ngerti sejarah sokaraja,dan ini salah satu tanah leluhur orang tuaku,inyonggg asli lahir neng kene walopun pahala neng ujung Jawa(Banten).

    BalasHapus
  3. Setahu saya ki Jebugkusumo sebagai adipati Sokaraja makamnya di Makam Keboetoeh, nama aslinya juga ada di sana. Kalo ki Jebugkusumo adalah Dewa Kesuma, maka makam Dewa Kesuma yg di luar "Keboetoeh" adalah petilasan saja.

    BalasHapus
  4. Di daerah kamiwonten sing nyritakaken daerah krangean kec kertanegara tepatnya grumbul dukuh karang gude woten petilasane ki jebug kusuma teng bukit si plupuh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Krangean nggone eyange aku,sejarah nya juga me aruk utk di ekspos..
      Kebanyakan dahulu pe duduknya adalah para prajurit Dipanegara, ada yg dari Jogjakarta ataupun Banyumas.Mereka menyingkir ke arah utara setelah perang sampyuh di Gembrungan ( sekarang ) dan terkenal dengan nama lerang Biting ( bithing )

      Hapus
  5. Mantaps .... tambah pengalaman sejarah perang biting adalah perang pasukan Diponegoro di wilayah Barat ... mirisnya yang berperang adalah saudara sebangsa sendiri antara yang pro belanda dan pendukung Diponegoro Gembrungan Desa Selakambang Kec. Kaligondang ... Ada Tokoh Salah Satu Panglima Perangnya Eyang Purwo Suci dari jogjakarta sampai ahir hayatnya tinggal di Selakambang.

    BalasHapus
  6. Aq orang Sokaraja dan lahir di sokaraja, masalah orang purbalingga mandi di kali pelus sampai sekarang jadi pantangan, soalnya udah berulang kali orang purbalingga yg mati di kali pelus, anehnya walaupun dangkal orangnya bisa mati

    BalasHapus