Kamis, 14 Mei 2015

Sejarah Kerajaan Pagaruyung

Kerajaan Pagaruyung ialah sebuah Kerajaan Melayu yg pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatera Barat sekarang & daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yg ada pada masyarakat Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yg bernama Pagaruyung. Kemudian hari, nama kerajaan ini dapat juga dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar dari negeri Pagaruyung, yaitu pada tulisan beraksara Jawi dlm lingkaran bagian dlm yg berbunyi sebagai berikut: Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalifatullah yg mempunyai tahta kerajaan dlm negeri Pagaruyung Darul Qadar Johan Berdaulat Zillullah fil ‘Alam.

Kerajaan ini akhirnya runtuh pada masa Perang Padri. Ditandatanganinya perjanjian antara kaum Adat dengan pihak Belanda telah menjadikan kerajaan Pagaruyung berada dlm pengawasan Belanda. Sebelumnya kerajaan ini tergabung dlm Malayapura, sebuah kerajaan yg pada Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yg mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dlm Malayapura ialah kerajaan Dharmasraya, serta kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.

Berdirinya Pagaruyung

Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yg diterima oleh masyarakat Minangkabau tak ada yg memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yg diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yg ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar. 

Dari manuskrip yg dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupaken putra dari Adwayawarman seperti yg terpahat pada Prasasti Kuburajo & anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yg disebut dlm Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali & Palembang, pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.

Dari prasasti Suruaso yg beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yg senantiasa kaya akan padi yg sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yg menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak [paman] kepada kamanakan [kemenakan] telah terjadi pada masa tersebut. Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yg beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan India dlm jumlah yg signifikan pada kawasan tersebut. 

Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, & bertahta sebagai raja bawahan [uparaja] dari Majapahit. Namun dari prasasti-prasasti yg ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yg menyebut sesuatu hal yg berkaitan dengan bhumi jawa & kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377. Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.

Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yg bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yg merupaken lembaga musyawarah dari berbagai Nagari & Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupaken semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat [Suku Minang].

Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera

Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira pada abad ke-13, yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, & kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman & putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah & sekitarnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yg disandang oleh Adityawarman seperti yg terpahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yg ditemukan di hulu sungai Batang Hari [sekarang termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya].

Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melakukan ritual ajaran Tantris dari agama Buddha yg disebut hevajra yaitu upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang adanya utusan San-fo-ts’i kepada Kaisar Cina yg meminta permohonan pengakuan sebagai penguasa pada kawasan San-fo-ts’i.

Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha antara lain kawasan percandian Padangroco, kawasan percandian Padanglawas & kawasan percandian Muara Takus. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan Adityawarman. Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya ialah Kubilai Khan dari Mongol & raja Kertanegara dari Singhasari.

Pengaruh Islam di Pagaruyung

Perkembangan agama Islam sesudah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yg berkaitan dengan sistem patrialineal, & memberikan fenomena yg relatif baru pada masyarakat di pedalaman Minangkabau. Pada awal abad ke-16, Suma Oriental yg ditulis antara tahun 1513 and 1515, mencatat dari ke-tiga raja Minangkabau, hanya satu yg telah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya.

Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir & guru agama yg singgah atau datang dari Aceh & Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yg terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil [Tengku Syiah Kuala], yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, ialah ulama yg dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yg pertama dlm tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif. Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yg bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan & hal-hal yg pokok dlm adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yg terkenal: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, yg artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Quran. Namun dlm beberapa hal masih ada beberapa sistem & cara-cara adat masih dipertahankan & inilah yg mendorong pecahnya perang saudara yg dikenal dengan nama Perang Padri yg pada awalnya antara Kaum Padri [ulama] dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dlm peperangan ini.

Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi & beberapa istilah lain yg berhubungan dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yg mengandung kata kudus yg berasal dari kata Quduus [suci] sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat & Limo Kaum yg mengandung kata qaum jelas merupaken pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dlm perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik [Khatib], Bila [Bilal], Malin [Mu’alim] yg merupaken pengganti dari istilah-istilah yg berbau Hindu & Buddha yg dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito [pendeta].

Hubungan dengan Belanda & Inggris

“Terdapat keselarasan yg mengagumkan dlm corak penulisan, bukan saja dlm buku prosa & puisi, tetapi juga dlm perutusan surat, & pengalaman saya sendiri telah membuktikan kepada saya bahwa tak ada masalah dlm menterjemahkan surat dari pada raja-raja dari kepulauan Maluku, maupun menterjemahkan surat dari pada raja Kedah & Terengganu di Semenanjung Malaya atau dari Minangkabau di Sumatera”.

Pendapat dari William Marsden

Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan kesultanan Aceh, & mengakui para gubernur Aceh yg ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit & memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yg menyebut dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, & VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas & lada. Selanjutnya VOC melalui seorang regent-nya di Padang, Jacob Pits yg daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yg kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai. Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674 & digantikan oleh anaknya yg bernama Sultan Indermasyah.

Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666, melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau & pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupaken salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda & Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.

Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tak menyukai keberadaan VOC di Padang & pernah berusaha membujuk Inggris yg berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tak ditanggapi oleh pihak Inggris. Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai Padang untuk sementara waktu, & waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda dari Padang. Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak lama dianggap terkaya dengan emas, & waktu itu kekuasaan raja Minangkabau disebutnya sudah terbagi atas raja Suruaso & raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yg sama. Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa ada seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak & pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas. Walaupun kemudian sesudah pihak Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan cadangan emas yg signifikan dari kawasan tersebut.

Sebagai akibat konflik antara Inggris & Perancis dlm Perang Napoleon di mana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda & kembali berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yg sudah mulai dilanda peperangan antara kaum Padri & kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibukota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yg terjadi. Setelah terjadi perdamaian antara Inggris & Belanda pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera & Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.

Runtuhnya Pagaruyung

“Dari reruntuhan kota [Pagaruyung] ini menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri sebuah peradaban Melayu yg luar biasa, menyaingi Jawa, situs dari banyak bangunan kini tak ada lagi, hancur karena perang yg masih berlangsung”.


Pendapat dari Thomas Stamford Raffles

Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dlm pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.

Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri & kaum Adat. Dalam beberapa perundingan tak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dlm kerajaan Pagaruyung bergejolak, & puncaknya kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir & melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubuk jambi.

Karena terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda, & sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Tangkal Alam Bagagar, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yg berada di Padang, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama dlm melawan kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Kemudian sesudah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat & kemudian dimakamkan di Pagaruyung.

Sementara Sultan Tangkal Alam Bagagar pada sisi lain ingin diakui sebagai Raja Pagaruyung, namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya & hanya mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar. Kemungkinan karena kebijakan tersebut menimbulkan dorongan pada Sultan Tangkal Alam Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.

Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa, Madura, Bugis & Ambon. Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat & kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka & bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia [Jakarta sekarang] sampai akhir hayatnya, & dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.

Setelah kejatuhannya, pengaruh & prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada kalangan masyarakat Minangkabau yg berada di rantau. Salah satu ahli waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan. Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yg berada di Negeri Sembilan, & Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yg dianggapnya masih keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris. Sementara sesudah berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta pemerintah Hindia-Belanda untuk memberikan kedudukan yg lebih tinggi dari pada sekedar Regent Tanah Datar yg dipegangnya sesudah menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar, namun permintaan ini ditolak oleh Belanda, hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain masalah cultuur stelsel.


Wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung

Menurut Tomé Pires dlm Suma Oriental, tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatera tempat dimana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat [antara Aru & Rokan] ke Jambi & kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur [Barus], Tiku & Pariaman. Dari catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri, Siak & Arcat merupaken bagian dari tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar & Indragiri kemudian lepas & ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka & Kesultanan Aceh.

Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung ialah wilayah tempat hidup, tumbuh, & berkembangnya kebudayaan Minangkabau.

Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan tambo [legenda adat] berbahasa Minang ini:

Dari Sikilang Aia Bangih
Hingga Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
Hingga Sialang Balantak Basi

Sikilang Aia Bangih ialah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam ialah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo ialah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi ialah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang.

Secara lengkapnya, di dlm tambo dinyatakan bahwa Alam Minangkabau [wilayah Kerajaan Pagaruyung] ialah sebagai berikut:

Hinggo lauik nan sadidieh
Daerah yg berbatasan dengan Jambi
Daerah sekitar Indragiri Hulu sampai Gunung Sailan [Gunung Sahilan, Kampar]
Daerah sekitar Gunung Sailan & Singingi
Daerah sampai ke rantau pesisir sebelah timur
Daerah sekitar Danau Singkarak & Batang Ombilin
Daerah sampai Samudra Indonesia
Nan salilik Gunuang Marapi
Saedaran Gunuang Pasaman
Sajajaran Sago jo Singgalang
Saputaran Talang jo Kurinci
Dari Sirangkak nan Badangkang
Hinggo Buayo Putiah Daguak
Sampai ka Pintu Rajo Hilia
Hinggo Durian Ditakuak Rajo
Sipisau-pisau Hanyuik
Sialang Balantak Basi
Hinggo Aia Babaliak Mudiak
Sailiran Batang Bangkaweh
Sampai ka ombak nan badabua
Sailiran Batang Sikilang
Daerah sepanjang pinggiran Batang Sikilang [Pasaman Barat]
Daerah yg berbatasan dengan Samudra Indonesia
Daerah sebelah timur Air Bangis [Sungai Beremas, Pasaman Barat]
Daerah di kawasan Rao & Mapat Tunggua
Daerah perbatasan dengan Tapanuli selatan
Daerah sepanjang pantai barat Sumatra
Daerah sekitar Silauik & Lunang
Daerah sampai Tanjung Simalidu
Daerah sehiliran Batang Hari
Ka timua Ranah Aia Bangih
Rao jo Mapat Tunggua
Gunuang Mahalintang
Pasisia Banda Sapuluah
Taratak Aia Hitam
Sampai ka Tanjuang Simalidu
Pucuak Jambi Sambilan Lurah
Daerah Luhak nan Tigo
Daerah di sekeliling Gunung Pasaman
Daerah sekitar Gunung Sago & Gunung Singgalang
Daerah sekitar Gunung Talang & Gunung Kerinci
Daerah Pariangan Padang Panjang & sekitarnya
Daerah di Pesisir Selatan sampai Muko-Muko
Daerah Jambi sebelah barat

Nama-nama Raja Malayapura

Masa Dharmasraya

Trailokyaraja 1183
Tribhuwanaraja 1286–1316

Masa Peralihan

Akarendrawarman 1316–1347

Maharajadiraja

Adityawarman 1347–1375
Ananggawarman 1375–[?]

Yang Dipertuan Pagaruyung

Sultan Ahmadsyah [?]–1674
Sultan Indermasyah 1674–1730
Sultan Arifin Muningsyah 1780–1821

Dibawah Belanda

Regent Tanah Datar
Sultan Tangkal Alam Bagagar 1821–1833
Tuan Gadang di Batipuh 1833–1841

Kerabat diraja Pagaruyung

Kerajaan Inderapura
Kerajaan Negeri Sembilan
Kesultanan Siak Sri Inderapura


Nama Para Raja Pagaruyung

Adityawarman
Ananggawarman, anak Adityawarman
Dewang Pandan Putowano (Tuanku Marajo Sati I), menantu Ananggawarman
Puti Panjang Rambut I (Bundo Kandung)
Dewang Ramowano (Cindurmato)
Dewang Ranggowano (Sultan Lembang Alam)
Dewang Sari Deowano (Tuanku Marajo Sati II), Yamtuan Bakilap Alam
Dewang Sari Magowano (Sri Raja Maharaja), Yamtuan Pasambahan
Sultan Alif I Khalifatullah
Yamtuan Rajo Gamuyang I
Sultan Ahmadsyah Yamtuan Barandangan
Sultan Alif II, anak Sultan Ahmadsyah
Yamtuan Rajo Bagagar Alamsyah, anak Sulthan Alif II
Yamtuan Rajo Bagewang, anak dari Yamtuan Rajo Pangat I—cicit Sultan Alif I
Yamtuan Rajo Gamuyang II, anak dari Yamtuan Rajo Bagewang
Sultan Zainal Arifin Muningsyah
Yang Dipertuan Patah, anak dari Muningsyah
Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagarsyah, anak dari YDP Patah.

Menurut buku Tambo Alam Minangkabau (1976), silsilah para raja di Kerajaan Pagaruyung sebagai berikut:
Adityawarman (1347-1376)
Ananggawarman (1376-…)
Sultan Bakilapalam
Sultan Persembahan
Sultan Alif (sekitar tahun 1560-1583)
Sultan Banandangan
Sultan Bawang (Sultan Muning I)
Sultan Patah (Sultan Muning II)
Sultan Muning III
Sultan Sembahyang III
Tuan Gadih Reno Sumpur
Sultan Ibrahim
Sultan Usman

Akan tetapi di dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970), terdapat beberapa perbedaan dalam penulisan silsilah para raja di Kerajaan Pagaruyung. Menurut buku tersebut, silsilah para raja di Kerajaan Pagaruyung sebagai berikut:

Raja Adityawarman (1347-1376)
Ananggawarman (1376-…)
Sultan Alif (naik tahta sekitar tahun 1560-1583)
Yang Dipertuan Raja Alam Muningsyah I
Sultan Abdul Jalil
Yang Dipertuan Agung Rajo Basusu Ampek bergelar Sultan Alam Muningsyah II (naik tahta sekitar 1615 M)
Sultan Ahmad Syah (1650-1680 M)
Sultan Arifin Muning Alamsyah atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Bagagar Alamsyah (Sultan Muning III)

Aparat pemerintahan

Adityawarman pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yg ada di Majapahit masa itu, meskipun kemudian menyesuaikannya dengan karakter & struktur kekuasaan kerajaan sebelumnya [Dharmasraya & Sriwijaya] yg pernah ada pada masyarakat setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat. Setelah masuknya Islam, Raja Alam yg berkedudukan di Pagaruyung melaksanakan tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya [wakil raja], yaitu Raja Adat yg berkedudukan di Buo, & Raja Ibadat yg berkedudukan di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka bertiga disebut Rajo Tigo Selo, artinya tiga orang raja yg “bersila” atau bertahta. Raja Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila ada masalah yg tak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yg digunakan untuk mereka dlm bahasa Minang ialah tigo tungku sajarangan. Untuk sistem pergantian raja di Minangkabau menggunakan sistem patrilineal berbeda dengan sistem waris & kekerabatan suku yg masih tetap pada sistem matrilineal.

Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yg disebut Basa Ampek Balai, artinya “empat menteri utama”.

Mereka adalah:

Bandaro yg berkedudukan di Sungai Tarab.
Makhudum yg berkedudukan di Sumanik.
Indomo yg berkedudukan di Suruaso.
Tuan Gadang yg berkedudukan di Batipuh.

Belakangan, pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yg berkedudukan di Padang Ganting masuk menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser kedudukan Tuan Gadang di Batipuh, & bertugas menjaga syariah agama. Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekedarnya, yg disebut rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi ialah di VII Koto dekat Sijunjung, Indomo punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung Melayu, di daerah pemukiman orang Minangkabau di sana.

Selain itu dlm menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat pemerintah yg menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi masing-masing, yg sebut Langgam nan Tujuah.

Mereka terdiri dari:

Pamuncak Koto Piliang
Perdamaian Koto Piliang
Pasak Kungkuang Koto Piliang
Harimau Campo Koto Piliang
Camin Taruih Koto Piliang
Cumati Koto Piliang
Gajah Tongga Koto Piliang
Darek & Rantau

Dalam laporannya, Tomé Pires telah memformulasikan struktur wilayah dari tanah Minangkabau dlm darek [land] & rantau [sea/coast], walaupun untuk beberapa daerah pantai timur Sumatera seperti Jambi & Palembang disebutkan telah dipimpin oleh seorang patih yg ditunjuk dari Jawa. Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari, yg merupaken satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupaken dasar kerajaan, & mempunyai kewenangan yg luas dlm memerintah. Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri & memiliki pengadilan adatnya sendiri. Beberapa buah nagari kadang-kadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X ialah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, & sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dlm istilah pepatah yg ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dlm sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto & kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yg dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yg mendomisili kawasan tersebut.

Pemerintahan Rantau

Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh membuat peraturan & memungut pajak di sana. Rantau merupaken suatu kawasan yg menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia [kawasan pesisir timur] & Rantau di Mudiak [kawasan pesisir barat].

Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar merantau ke arah barat & tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara & barat, sedangkan penduduk Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan sekarang, yaitu Rantau Kampar, Rokan & Kuantan. Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak & rantau yg disebut sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-raja kecil, yg memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelar sultan. Sementara di kawasan lain mengambil gelar Yang Dipertuan Besar.

Pembagian daerah rantau ialah sebagai berikut:

Rantau Luhak Tanah Data
Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah
Basra
Sitinjua
Kopa
Taluak Ingin
Inuman
Surantiah
Taluak Rayo
Simpang Kulayang
Aia Molek
Pasia Ringgit
Kuantan
Talang Mamak
Kualo Thok
Lubuak Ambacang
Lubuak Jambi
Gunuang Koto
Benai
Pangian

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

Toboh Pakandangan
Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang
Tujuah Koto
Sungai Sariak
Anduriang Kayu Tanam
Guguak Kapalo Hilalang
Sicincin
Rantau Luhak Agam

Nagari-nagari pantai barat Sumatera

Pasaman Barat
Pasaman Timur
Panti
Rao
Lubuak Sikapiang

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

Palembayan
Silareh Aia
Lubuak Basuang
Kampuang Pinang
Simpang Ampek
Sungai Garinggiang
Lubuak Bawan
Tigo Koto
Garagahan
Manggopoh

Rantau Luhak Limopuluah

Mangilang
Tanjuang Balik
Pangkalan
Koto Alam
Gunuang Malintang
Muaro Paiti
Rantau Barangin
Rokan Pandalian
Kuatan Singingi
Gunuang Sailan
Kuntu
Lipek Kain
Ludai
Ujuang Bukik
Sanggan

Tigo Baleh Koto Kampar

Sibiruang
Gunuang Malelo
Tabiang
Tanjuang
Gunuang Bungsu
Muaro Takuih
Pangkai
Binamang
Tanjuang Abai
Pulau Gadang
Baluang Koto Sitangkai
Tigo Baleh
Lubuak Aguang

Limo Koto Kampar Kuok

Salo
Bangkinang
Rumbio
Aia Tirih
Taratak Buluah
Pangkalan Indawang
Pangkalan Kapeh
Pangkalan Sarai
Koto Laweh

Sementara kawasan Rantau Pasisia Panjang atau Banda Sapuluah [Bandar Sepuluh] dipimpin oleh Rajo nan Ampek [4 orang yg bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai]. Kawasan ini merupaken semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari [negeri], yg masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu. Nagari-nagari tersebut adalah;

Tapan
Tarusan
Batang Kapeh
Ampek Baleh Koto
Limo Koto
Airhaji
Bungo Pasang atau Painan Banda Salido
Kambang
Palangai‎
Lakitan
Nagari-nagari ini kemudian dikenal sebagai bagian dari Kerajaan Inderapura, termasuk daerah Anak Sungai, yg mencakup lembah Manjuto & Airdikit [disebut sebagai nagari Ampek Baleh Koto], & Muko-muko [Limo Koto].

Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yg terletak di wilayah Semenanjung Malaya [Malaysia sekarang]. Beberapa kawasan rantau tersebut menjadi nagari, kemudian masyarakatnya membentuk konfederasi [semacam Luhak], & pada masa awal meminta dikirimkan raja sebagai pemimpin atau pemersatu mereka kepada Yang Dipertuan Pagaruyung, kawasan tersebut dikenal sebagai Negeri Sembilan, nagari-nagari tersebut adalah;‎

Naning
Pasir Besar
Rembau
Segamat
Sungai Ujong
Jelai
Jelebu
Johol
Klang
Pemerintahan Darek
Pariangan Padangpanjang
Sungai Tarab Salapan Batua
Talawi Tigo Tumpuak
Tanjuang nan Tigo
Batipuah Sapuluah Koto Lawang nan Tigo Balai Lareh
Kubuang Tigobaleh Nagari-nagari Danau Maninjau Luhak
Langgam nan Tujuah Ranah
Limokaum Duobaleh Koto Sandi
Lintau Sambilan Koto
Lubuak nan Tigo
Nilam Payuang Sakaki
Sapuluah Koto di Ateh
Luhak nan Tigo
Luhak Tanah Data Luhak Agam Luhak Limopuluah
Alam Surambi Sungai Pagu Ampek-Ampek Angkek Hulu
Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3 luhak [Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tak nan Data, belakangan menjadi Luhak Tanah Data, Luhak Agam & Luhak Limopuluah]. Sementara pada setiap nagari pada kawasan luhak ini diperintah oleh para penghulu, yg mengepalai masing-masing suku yg berdiam dlm nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, & warga nagari untuk memimpin & mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu di Balai Adat, sesudah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya bertindak sebagai penengah & penentu batas wilayah.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar