Senin, 11 Mei 2015

Sejarah Kesultanan Deli

Kesultanan Deli adalah sebuah kesultanan yang didirikan pada tahun 1632 oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan di wilayah bernama Tanah Deli (kini Medan dan Kabupaten Deli Serdang, Indonesia). Kesultanan Deli masih tetap eksis hingga kini meski tidak lagi mempunyai kekuatan politik setelah berakhirnya Perang Dunia II dan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia.

Di Sumatera Utara terdapat dua kerajaan islam atau kesultanan Melayu yang terkenal, yaitu Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang. Kesultanan yang pertama kali berdiri adalah Deli. Dalam perkembangannya, kemudian terjadi friksi dan konflik internal antara keluarga raja dalam kesultanan Deli tersebut. Akibatnya, muncul kemudian kesultanan baru yang memisahkan diri dari Deli, yaitu Serdang.

Sejarah Pendirian

Sejarah berdirinya kesultanan deli dapat dilihat dari Hikayat Deli, seorang pemuka Aceh bernama Muhammad Dalik berhasil menjadi laksamana dalam Kesultanan Aceh. Muhammad Dalik, yang kemudian juga dikenal sebagai Gocah Pahlawan dan bergelar Laksamana Khuja Bintan (ada pula sumber yang mengeja Laksamana Kuda Bintan), adalah keturunan dari Amir Muhammad Badar ud-din Khan, seorang bangsawan dari Delhi, India yang menikahi Putri Chandra Dewi, putri Sultan Samudera Pasai. Dia dipercaya Sultan Aceh untuk menjadi wakil bekas wilayah Kerajaan Haru yang berpusat di daerah Sungai Lalang-Percut.

Sri Paduka Gocah Pahlawan bersama pasukannya pergi memerangi Kerajaan Haru di Sumatera Timur pada tahun 1612 M dan berhasil menaklukkan kerajaan ini. Pada tahun 1630, ia kembali bersama pasukannya untuk melumpuhkan sisa-sisa kekuatan Haru di Deli Tua. Setelah seluruh kekuasaan Haru berhasil dilumpuhkan, Gocah Pahlawan kemudian menjadi penguasa daerah taklukan tersebut sebagai wakil resmi Kerajaan Aceh, dengan wilayah membentang dari Tamiang hingga Rokan. Dalam perkembangannya, atas bantuan Kerajaan Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperkuat kedudukannya di Sumatera Timur dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di daerah tersebut.

Gocah Pahlawan menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal yang bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti. Sunggal merupakan sebuah daerah Batak Karo yang sudah masuk Melayu (sudah masuk Islam). Di daerah tersebut, ada empat Raja Urung Batak Karo yang sudah masuk Islam. Kemudian, empat Raja Urung Raja Batak tersebut mengangkat Laksamana Gocah Pahlawan sebagai raja di Deli pada tahun 1630 M. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana Gocah Pahlawan menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulon Janji, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut.

Dalik mendirikan Kesultanan Deli yang masih di bawah Kesultanan Aceh pada tahun 1632. Setelah Dalik meninggal pada tahun 1653, putranya Tuanku Panglima Perunggit mengambil alih kekuasaan dan Pada tahun 1669, Deli memisahkan diri dari Kerajaan Aceh, memanfaatkan situasi Aceh yang sedang melemah karena dipimpin oleh raja perempuan, Ratu Taj al-Alam Tsafiah al-Din. Setelah Gocah Pahalwan meninggal dunia, ia digantikan oleh anaknya, Tuanku Panglima Perunggit yang bergelar “Kejeruan Padang”. Tuanku Panglima Perunggit memerintah hingga tahun 1700 M.

Pada tahun 1669, Deli memisahkan diri dari Kerajaan Aceh, memanfaatkan situasi Aceh yang sedang melemah karena dipimpin oleh raja perempuan, Ratu Taj al-Alam Tsafiah al-Din. Setelah Gocah Pahalwan meninggal dunia, ia digantikan oleh anaknya, Tuanku Panglima Perunggit yang bergelar “Kejeruan Padang”. Tuanku Panglima Perunggit memerintah hingga tahun 1700 M.

Pada tahun 1780, Deli kembali berada dalam kekuasaan Aceh. Ketika Sultan Osman Perkasa Alam naik tahta pada tahun 1825, Kesultanan Deli kembali menguat dan melepaskan diri untuk kedua kalinya dari kekuasaan Aceh. Negeri-negri kecil sekitarnya seperti Buluh Cina, Sunggal, Langkat dan Suka Piring ditaklukkan dan menjadi wilayah Deli. Namun, independensi Deli dari Aceh tidak berlangsung lama, pada tahun 1854, Deli kembali ditaklukkan oleh Aceh, dan Raja Osman Perkasa Alam diangkat sebagai wakil kerajaan Aceh. Setelah Raja Osman meninggal dunia pada tahun 1858, ia digantikan oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam yang memerintah dari tahun 1861 hingga 1873. Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud ini, ekspedisi Belanda I yang dipimpin oleh Netcher datang ke Deli.

Perpecahan Keluarga Kesultanan Deli

Sultan Deli penerus Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, Tuanku Panglima Perunggit alias Panglima Deli, wafat pada tahun 1700 Masehi. Penerus tahta Kesultanan Deli berikutnya adalah Tuanku Panglima Paderap yang memerintah hingga wafatnya pada tahun 1720 M. Kesultanan Deli diguncang perpecahan internal tidak lama setelah Tuanku Panglima Paderap meninggal dunia. Anak-anak Tuanku Panglima Paderap meributkan soal siapa yang berhak menduduki posisi sebagai Sultan Deli berikutnya.

Dalam buku Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur yang disusun Tuanku Luckman Sinar Basarshah II disebutkan bahwa Tuanku Panglima Paderap mempunyai empat orang anak, yaitu 

(1) Tuanku Jalaludin Gelar Kejuruan Metar, berasal dari keturunan bangsawan Mabar, Percut, dan Tanjung Mulia;
(2) Tuanku Panglima Pasutan, berasal dari keturunan bangsawan Deli dan Bedagai;
(3) Tuanku Tawar (Arifin) Gelar Kejuruan Santun, berasal dari keturunan bangsawan Denao dan Serbajadi; dan
(4) Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan, berasal dari keturunan bangsawan Serdang dan Sei Tuan.

Meski berstatus sebagai anak tertua, namun Tuanku Jalaludin Gelar Kejuruan Metar dikesampingkan dari kandidat calon pemangku tahta Kesultanan Deli karena yang bersangkutan mempunyai cacat mata. Keadaan ini membuat Tuanku Panglima Pasutan, putra kedua almarhum Tuanku Panglima Paderap, berkehendak mengambil-alih tahta meski sebenarnya yang paling berhak memangku jabatan sebagai penerus kepemimpinan Kesultanan Deli adalah Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan (putra keempat) karena dilahirkan dari permaisuri. Terjadilah perang saudara di antara kedua putra almarhum Tuanku Panglima Paderap untuk memperebutkan tahta Deli. Sedangkan Tuanku Tawar (Arifin) Gelar Kejuruan Santun memilih menghindar dari peperangan di antara kedua saudaranya itu dengan menyingkir dan membuka negeri di Denai yang meluas hingga ke Serbajadi.

Dalam perang saudara yang memuncak pada tahun 1732 itu, Tuanku Panglima Pasutan berhasil mengusir Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan ke luar istana Kesultanan Deli. Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan bersama ibundanya, Tuanku Puan Sampali (permaisuri almarhum Tuanku Panglima Paderap), terpaksa berlindung ke daerah lain hingga akhirnya sampai di sebuah tempat yang kemudian dinamakan Kampung Besar (Serdang). Dengan keluarnya Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan dari istana, maka Tuanku Panglima Pasutan leluasa untuk mendeklarasikan diri sebagai Sultan Deli yang baru.

Sementara itu, Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan tidak tinggal diam dan bersiap-siap mendirikan Kesultanan Serdang. Pendirian Kesultanan Serdang dapat terwujud karena dukungan yang kuat kepada Tuanku Umar Johan Alamsyah, terutama dari dua orang Raja Batak Karo, yakni Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembah. Selain itu, Raja Urung Batak Timur yang menguasai wilayah Serdang bagian Hulu di Tanjong Merawa dan seorang pembesar dari Aceh bernama Kejeruan Lumu, turut menyokong berdirinya Kesultanan Serdang. Akhirnya, pada tahun 1723 Masehi, Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan dinobatkan sebagai Sultan pertama sekaligus pendiri Kesultanan Serdang. Putra ketiga almarhum Tuanku Panglima Paderap, Tuanku Tawar (Arifin) Kejeruan Santun, yang mendirikan negeri di Denai, kemudian menggabungkan wilayahnya dengan wilayah Kesultanan Serdang.

Kondisi internal pemerintahan Deli yang belum stabil membuat kesultanan menjadi incaran sejumlah kerajaan besar yang sedang berebut pengaruh. Kerajaan-kerajaan yang berupaya menguasai Deli tersebut antara lain Kesultanan Siak Sri Inderapura, Kesultanan Johor, dan Kesultanan Aceh Darussalam yang rupa-rupanya masih menginginkan Deli menjadi wilayah jajahannya kembali.

Wilayah Deli dirasa sangat menguntungkan terutama karena faktor kandungan sumber daya alamnya. Deli mashyur dengan hasil minyak wangi, kayu cendana, dan kapur barus. Selain itu, orang Belanda mendatangkan beras, lilin, dan kuda dari Deli. Oleh sebab itulah, Belanda merasa perlu memelihara hubungan baik dengan pihak penguasa Deli karena Belanda juga mendatangkan tekstil dari Deli.

Tuanku Panglima Pasutan atau Sultan Deli yang ke-4 wafat pada tahun 1761. Pemerintahan Kesultanan Deli diteruskan oleh Kanduhid yang bergelar Panglima Gandar Wahid. Pada tahun 1805, Panglima Gandar Wahid meninggal dunia dan digantikan oleh Tuanku Amaluddin. Karena saat itu Kesultanan Deli masih berada di bawah pengaruh Kesultanan Siak Sri Inderapura, maka penobatan Tuanku Amaluddin sebagai Sultan Deli pun berdasarkan akte Sultan Siak tanggal 8 Agustus 1814. Setelah resmi menjadi Sultan Deli, Tuanku Amaludin memperoleh nama kehormatan yakni dengan gelar Sultan Panglima Mangedar Alam.

Meuraxa dalam buku Sekitar Suku Melaju, Batak, Atjeh, dan Keradjaan Deli (1956) menulis bahwa tahun 1669 wilayah Kesultanan Deli direbut Kesultanan Siak Sri Inderapura dari kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Akan tetapi, ketika Kesultanan Siak Sri Inderapura takluk kepada Kesultanan Johor, wilayah Kesultanan Deli pun berada di bawah kekuasaan Johor.

Tahun 1854, Kesultanan Deli kembali dikuasai Kesultanan Aceh Darussalam, dipimpin oleh panglima yang bernama Teuku Husin. Sultan Osman Perkasa Alam Shah (1850-1858), Sultan Deli waktu itu, dibawa ke Istana Aceh Darussalam. Namun kemudian Kesultanan Deli diakui kembali berdiri sendiri di bawah naungan Kesultanan Aceh Darussalam yang waktu itu diperintah oleh Sultan Sulaiman Syah (1838-1857). Oleh Aceh Darussalam, wilayah Kesultanan Deli ditetapkan antara perbatasan Rokan ke selatan hingga perbatasan Tamiang.

Eksistensi Kesultanan Deli

Perang saudara yang terjadi antara Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang baru berakhir pada awal abad ke-20 setelah adanya tekanan dari Belanda. Hubungan antara Kesultanan Deli dengan Belanda sendiri berjalan cukup selaras karena antara Belanda dan Deli ternyata saling membutuhkan: Belanda mendatangkan berbagai jenis sumber daya alam dari Deli, sedangkan Deli membutuhkan jaminan keamanan.

“Keharmonisan” antara Kesultanan Deli dan pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin kental pada masa ketika Deli berada di bawah pengaruh Kesultanan Siak Sri Inderapura. Sepanjang Agustus 1862, Elisa Netscher yang menjabat sebagai Residen Riau, diiringi oleh Asisten Residen Siak dan para pembesar dari Kesultanan Siak, melakukan perjalanan ke negeri-negeri di Sumatra Timur. Perjalanan ini dilakukan atas permintaan dari pihak Kesultanan Siak karena beberapa kerajaan di Sumatra Timur enggan mengakui kekuasaan Siak atas negeri-negeri itu, termasuk Deli. Negeri-negeri di Sumatra Timur itu cenderung mendekat kepada Kesultanan Aceh karena Siak dianggap telalu lemah.

Tanggal 21 Agustus 1862, rombongan Elisa Netscher memasuki Kuala Sungai Deli dan disambut Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah. Kepada rombongan tamu tersebut, Sultan Deli mengatakan bahwa Kesultanan Deli tidak bersangkut-paut lagi dengan Kesultanan Siak dan tidak meminta pengakuan dari siapapun. Namun, Netscher tetap membujuk agar pengaruh Siak Sri Inderapura atas Deli tidak hilang dengan menyatakan bahwa “Deli mengikut pada Negeri Siak bersama-sama bernaung pada Gubernemen Hindia Belanda”. Sejak saat itu, pemerintahan Kesultanan Deli terikat kontrak politik dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Rezim pemerintahan Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah berakhir pada tahun 1873 dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Shah. Pada masa kepemimpinan Sultan Deli yang ke-9 ini, Kesultanan Deli mengalami masa-masa kemakmuran, yang terutama diperoleh dari sektor perkebunan tembakau. Kala itu, banyak pengusaha-pengusaha asing yang membuka perkebunan tembakau di tanah Deli. Pada tahun 1872, di Deli sudah beroperasi 13 perkebunan milik asing yang tentu saja menguntungkan Kesultanan Deli dari segi pemasukan finansial. Tanah Deli cocok untuk ditanami tembakau dan menghasilkan tembakau dengan mutu kelas dunia. Pasaran tembakau saat itu sangat laku di pasar Eropa sebagai bahan pembuat cerutu.

Ketika Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah mulai menduduki singgasana Kesultanan Deli pada tahun 1873, jumlah perkebunan tembakau di Deli sudah bertambah menjadi 44 perkebunan. Hasil panen tembakau yang dituai setahun berikutnya mencapai 125.000 pak sehingga menjadikan Deli sebagai salah satu produsen tembakau terbesar di dunia dan nama Amsterdam juga ikut terangkat sebagai pasar tembakau terbesar di dunia. Pembayaran pembukaan perkebunan dan uang sewa tanah dari para pengusaha asing membuat Sultan Deli jadi kaya-raya.

Di masa inilah Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah membangun sejumlah simbol kejayaan Kesultanan Deli, antara lain Kampong Bahari (Labuhan) pada 1886, Istana Agung Maimoon pada 1888. Pengganti Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah, yaitu Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Shah yang bertahta sejak tahun 1873, melanjutkan pembangunan simbol-simbol kebesaran Kesultanan Deli dengan mendirikan gedung Mahkamah Kerapatan Besar pada 1903 dan Masjid Raya Al Mansun pada 1906. Istana Maimoon sendiri dibangun di tempat yang sekarang menjadi pusat pemerintahan Kota Medan dan mulai dihuni Sultan beserta keluarga Kesultanan Deli sejak 18 Mei 1891. Sebelumnya, Sultan dan keluarga Kesultanan Deli tinggal di Istana Kampong Bahari di Labuhan. Adapun arsitek pembangunan Istana Maimoon adalah seorang tentara KNIL (Koninklijke Nederlandsche Indische Leger, Tentara Kolonial Hindia Belanda) bernama Kapten Th. van Erp.

Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 dan berlanjut dengan pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tahun 1949, Kesultanan Deli yang semula termasuk ke dalam wilayah Sumatra Timur, sejak tahun 1950 dilebur ke dalam Provinsi Sumatra Utara hingga kini. Di sisi lain, di masa itu situasi Deli khususnya dan Sumatra Utara pada umumnya belum juga berada dalam kondisi yang benar-benar damai. Keluarga-keluarga kerajaan di Sumatra Utara, termasuk keluarga Kesultanan Deli, terancam keselamatannya karena mendapat tentangan dari pihak-pihak yang menyatakan antikaum bangsawan. Keluarga kerajaan waktu itu dianggap sebagai antek Belanda dan termasuk ke dalam golongan feodal.

Masih dalam buku yang sama, Tengku Luckman Sinar juga menulis bahwa hasutan-hasutan pemberontakan itu sudah dihembuskan sejak bulan Juni 1942 pada era pendudukan Jepang di Indonesia. Saat dimulainya pemberontakan ialah tatkala kaum tani memulai panen padi yang dilakukan secara gotong royong dan diakhiri dengan pesta panen.

Aksi kekerasan terhadap kaum bangsawan mencapai puncaknya ketika terjadi peristiwa berdarah yang dikenal dengan nama Revolusi Sosial 1946. Banyak raja dan keluarga istana di Sumatra Utara yang dibunuh dan harta-bendanya dirampas, termasuklah penyair Tengku Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit. Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang selamat berkat penjagaan dari tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang. Setelah tragedi Revolusi Sosial 1946 berakhir, keluarga dan ahli waris Kesultanan Deli menempati Istana Maimoon sebagai tempat tinggal karena hampir semua istana yang ada di sana sudah hancur dibakar massa. Istana Maimoon merupakan satu-satunya istana yang tersisa karena pada saat terjadinya Revolusi Sosial dijaga ketat oleh tentara Sekutu.

Pada masa kemerdekaan, masa Revolusi Fisik, dan masa-masa selanjutnya, Kesultanan Deli masih tetap eksis kendati tidak lagi memiliki kewenangan politik karena telah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memasuki era Orde Baru, Kesultanan Deli dipimpin oleh Sultan Azmy Perkasa Alam Alhaj yang bertahta dari tahun 1967 sampai dengan 1998. Sejak 5 Mei 1998, yang menjabat sebagai pemangku Kesultanan Deli adalah Sultan Otteman Mahmud Perkasa Alam. Namun, Sultan Deli ke-13 yang berpangkat letnan kolonel ini meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat Angkatan Darat CN 235 yang terjadi di Lapangan Udara Malikus Saleh, Lhokseumawe, Aceh, pada tanggal 21 Juli 2005. Sebagai penggantinya, pada tanggal 22 Juli 2005 putra mahkota Deli dengan gelar Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam dinobatkan sebagai Sultan Deli yang ke-14.

Silsilah Raja-Raja

Berikut nama para pemimpin Kesultanan Deli sejak awal berdirinya hingga sekarang:

Tuanku Panglima Gocah Pahlawan (1632-1669).
Tuanku Panglima Parunggit (1669-1698).
Tuanku Panglima Paderap (1698-1728).
Tuanku Panglima Pasutan (1728-1761).
Tuanku Panglima Gandar Wahid (1761-1805).
Sultan Amaluddin Mangendar (1805-1850).
Sultan Osman Perkasa Alam Shah (1850-1858).
Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah (1858-1873).
Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Shah (1873-1924).
Sultan Amaluddin Al Sani Perkasa Alam Shah (1924-1945).
Sultan Osman Al Sani Perkasa Alam Shah (1945-1967).
Sultan Azmy Perkasa Alam Alhaj (1967-1998).
Sultan Otteman Mahmud Perkasa Alam (5 Mei 1998–21 Juli 2005).
Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam (sejak 22 Juli 2005).

Sistem Pemerintahan

Sejak awal didirikan oleh Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, Kesultanan Deli sudah memiliki Lembaga Datuk Berempat yang berfungsi sebagai dewan penasehat pemerintahan. Saat itu, Lembaga Datuk Berempat terdiri dari empat orang Raja Batak Karo yang sejak awal mendukung pendeklarasian Deli sebagai kerajaan yang berdiri sendiri. Lembaga Datuk Berempat juga mempunyai peran sentral ketika diadakan upacara penobatan Sultan Deli.

Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, Sultan Deli tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai kepala urusan agama dan sekaligus sebagai kepala adat Melayu. Dalam menjalankan tugasnya, Sultan Deli dibantu oleh bendahara, syahbandar, serta para abdi kesultanan yang mempunyai peran dan tugas masing-masing.

Pada era kolonial Hindia Belanda, sistem pemerintahan Kesultanan Deli diikat melalui perjanjian politik. Dalam buku Sejarah Medan Tempo Dolou yang ditulis Tengku Luckman Sinar disebutkan bahwa perjanjian politik Belanda dan Kesultanan Deli terbagi atas:

Acte van Verband (Akte Pengikat). Dalam akte ini disebutkan bahwa: 
(1) Sultan Deli bersedia melaksanakan perjanjian antara Belanda dengan Kesultanan Deli, begitu juga penggantinya, 
(2) Sultan Deli akan taat dan setia kepada Ratu Belanda/Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan melaksanakan pemerintahan di Deli sesuai adat dan peraturan, 
(3) Sultan Deli bersedia memajukan negeri dan rakyat, serta 
(4) Sultan Deli bersedia mematuhi syarat-syarat penambahan akte yang belum jelas atau belum tercantum. 
Akte ini ditandatangani oleh pegawai pemerintahan Belanda dan Orang-Orang Besar Deli sebagai saksi.

Acte van Bevestiging (Akte Penguatan). Dalam akte ini disebutkan bahwa pemerintah Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) mengakui Sultan tersebut selaku Raja Deli dan pengakuan ini juga disebutkan dalam Ordonansi Hindia Belanda.

Pemerintahan Kesultanan Deli dilaksanakan oleh Sultan Deli bersama-sama dengan Dewan Orang-Orang Besar (sebagai pengganti Lembaga Datuk Berempat) yang terdiri dari empat Urung dan Kejeruan Percut setelah bermusyawarah dan dengan petunjuk dari Residen selaku wakil dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Orang-Orang Besar itu diangkat dan diberhentikan Sultan Deli setelah bermusyawarah dengan Residen dengan memperhatikan aturan adat-istiadat. Selain itu, Residen berhak menghadiri rapat Orang-Orang Besar  Kesultanan Deli juga sudah mempunyai beberapa lembaga penting pendukung pemerintahan. Beberapa di antaranya adalah lembaga peradilan atau Kerapatan Besar, Kepolisian Swapraja Deli, dan Peradilan Agama.

System pemerintahan Kesultanan Deli bersifat federasi yang longgar sesuai dengan pepatah yang terdapat di Deli "Raja Datang, Orang Besar Menanti". Tuanku Panglima Gocah Pahlawan sebagai Raja Pertama di Tanah Deli yang ditunjuk oleh Sultan Aceh sebagai wakilnya di Sumatera Timur atau Tanah Deli.

Masa pemerintahan Panglima Parunggit (Raja Deli II), Deli memproklamirkan kemerdekaannya dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669mengikuti jejak-jejak negeri pesisir, dan berhubungan dagang dengan VOC di Melaka. Pada masa pemerintahan Panglima Paderap (Raja Deli III) terjadi perluasan wilayah di pesisir pantai hingga Serdang dan Denai.

Menurut laporan Jhon Anderson yang berkunjung ke Deli pada tahun 1823, bahwa Sultan Amaluddin Mangendar (Sultan Deli VI) adalah penguasa Deli pertama yang bergelar "Sultan" setelah Deli ditaklukan Kesultanan Siak pada tahun 1814. Menurut laporan Jhon Anderson pula, Sultan Deli dalam memerintah dibantu oleh 8 orang menteri dimana Sultan berkonsultasi soal perang, mengatur pemerintahan sehari-hari, mengadili perkara pidana, dan lain-lain.

8 Menteri tersebut adalah :
Nahkoda Ngah bergelar Timbal-Timbalu
Wak-Wak
Salim
Tok Manis
Dolah
Wakil
Penghulu Kampong

Masih ada lagi Syah Bandar (Hamad) yang mengurus hubungan perdagangan dan biasanya dibantu seorang mata-mata (seorang wanita yang pandai bernama Encek Laut) yang bertugas memungut cukai. Kemudian ada lagi para pamong praja, penghulu, para panglima, dan mata-mata yang melaksanakan tugas bila di kehendaki Sultan, serta kurir istana yang mengantar surat ke berbagai kerajaan. Jika Sultan mangkat, apabila penggantinya masih belia, maka Tuan Haji Cut atau Kadi (ulama tertinggi) bertindak dan melaksanakan semua fungsi pemerintahan kerajaan. 

Di bidang agama Islam Tuan Haji Cut juga bertindak sebagai mufti kerajaan, kemudian di bawahnya ada bilal, imam, khalif, dan penghulu masjid. Merekalah yang menangani masalah yang berhubungan dengan keagamaan. Kehidupan mereka diperoleh dari sumbangan masyarakat.

Struktur Pemerintahan

Kekuasaan tertinggi berada di tangan sultan. Permaisuri Sultan bergelar Tengku Maha Suri Raja, atau Tengku Permaisuri, sedangkan putera mahkota bergelar Tengku Mahkota. Putera dan puteri yang lain hanya bergelar tengku. Keturunan yang lain berdasarkan garis patrilineal hingga generasi ke lima juga bergelar tengku.

Dalam kehidupan sehari-hari, sultan tidak hanya berfungsi sebagai kepala pemerintahan, tapi juga sebagai kepala urusan agama Islam dan sekaligus sebagai kepala adat Melayu. Untuk menjalankan tugasnya, raja/sultan dibantu oleh bendahara, syahbandar (perdagangan) dan para pembantunya yang lain.

Periode Pemerintahan

Kerajaan Deli berdiri sejak paruh pertama abad ke-17 M, hingga pertengahan abad ke-20, ketika bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selama rentang masa yang cukup panjang tersebut, kerajaan Deli mengalami masa pasang surut silih berganti. Selama dua kali, Deli berada di bawah taklukan kerajaan Aceh. Ketika kerajaan Siak menguat di Bengkalis, Deli menjadi daerah taklukan Siak, kemudian menjadi daerah taklukan penjajah Belanda. Dan yang terakhir, Deli bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wilayah Kekuasaan

Wilayah yang menjadi daerah kekuasaan Kesultanan Deli meliputi Labuhan, Langkat, Suka Piring, Buluh Cina, Denai, Serbajadi, dan sejumlah negeri lainnya di sekitar pesisir timur pulau Sumatra. Ketika Kesultanan Aceh Darussalam kembali menguasai Deli pada tahun 1854, Kesultanan Deli dinyatakan berdiri sendiri di bawah kendali Aceh Darussalam dan wilayahnya ditetapkan antara perbatasan Rokan ke selatan hingga perbatasan Tamiang (Meuraxa, 1956:25).

Pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda, menurut kontrak politik antara Deli dengan pihak pemerintah kolonial, dirumuskan bahwa wilayah Kesultanan Deli meliputi:

Wilayah langsung Sultan (kotapraja).
Urung (Negeri) XII Kota Hamparan Perak yang dikepalai Datuk Hamparan Perak Setia Diraja.
Urung Serbanyaman-Sunggal, dikepalai oleh Datuk Sunggal Sri Indera Pahlawan.
Urung Sukapiring-Kampung Baru, dikepalai oleh Datuk Sukapiring Sri Indera Asmara.
Urung Senembah-Petumbak, dikepalai oleh Kejeruan Senembah Deli.
Negeri Percut, dikepalai oleh Kejeruan Percut Paduka Raja.
Jajahan Negeri Bedagai, dikepalai oleh Pangeran Nara Kelana Raja Bedagai.
Jajahan Negeri Padang, dikepalai oleh Maharaja Negeri Padang.
Secara garis besar, wilayah kekuasaan Kesultanan Deli terbagi dua, yakni wilayah Hilir yang didiami suku bangsa Melayu dan sudah memeluk agama Islam, serta wilayah Hulu yang dihuni suku bangsa Karo yang kebanyakan belum memeluk agama Islam atau masih mempercayai keyakinan leluhur.

Kehidupan Sosial-Budaya

Ketika Belanda menguasai Sumatera Timur, perkebunan tembakau dibuka secara luas. Tak ada yang menduga bahwa, dalam perkembangannya di kemudian hari, ternyata tembakau Deli ini sangat disukai di negeri yang menjadi jantung kolonialisme dunia Eropa. Berkat perkebunan tembakau tersebut, sultan Deli yang berkongsi dengan Belanda dalam membuka dan mengelola lahan perkebunan kemudian menjadi kaya raya. Dengan kekayaan yang melimpah ini, para sultan kemudian hidup mewah dan glamour dengan membangun istana yang mewah dan indah, membeli kuda pacu, mobil mewah dan sekoci pesiar, serta mengadakan berbagai pesta untuk menyambut para tamunya yang kebanyakan datang dari Eropa. Saksi bisu kekayaan tersebut adalah Masjid Raya al-Mashun Medan dan Istana Deli yang masih berdiri megah di kota Medan hingga saat ini.

Berbeda dengan kehidupan para keluarga istana, masyarakat awam tetap hidup apa adanya, dengan menggantungkan sumber ekonominya dari perladangan yang sederhana. Ketika komoditas tembakau sedang meledak di pasar Eropa, para petani tradisional tersebut banyak yang berpindah menanam tembakau, sehingga petani padi jadi berkurang. Komoditas pertanian lain yang banyak ditanam masyarakat adalah kopi, karet, cengkeh dan nenas. Tidak semua orang Deli menjadi petani, sebagian di antara mereka juga ada yang menjadi buruh tani di perkebunan tembakau bersama orang-orang Jawa dan Cina.

Dalam sistem kekerabatan, orang Deli lebih dominan menganut sistem patrilineal. Hal ini bisa dilihat dari kecenderungan para pasangan muda untuk mendirikan rumah di dekat lingkungan keluarga suami, terutama ketika pasangan muda tersebut telah dikarunia anak. Jika belum memiliki rumah dan anak, pasangan muda tersebut biasanya lebih sering tinggal bersama keluarga perempuan. Dari kenyataan ini, sebenarnya pola kekerabatan matrilineal dan patrilineal telah diterapkan dengan cukup seimbang oleh masyarakat Deli.

Masa Kolonial

Pada tahun 1858, Tanah Deli menjadi milik Belanda setelah Sultan Siak, Sultan Al-Sayyid Sharif Ismail, menyerahkan tanah kekuasaannya tersebut kepada mereka. Pada tahun 1861, Kesultanan Deli secara resmi diakui merdeka dari Siak maupun Aceh. Hal ini menyebabkan Sultan Deli bebas untuk memberikan hak-hak lahan kepada Belanda maupun perusahaan-perusahaan luar negeri lainnya.

Pada masa ini Kesultanan Deli berkembang pesat. Perkembangannya dapat terlihat dari semakin kayanya pihak kesultanan berkat usaha perkebunan, terutamanya tembakau, dan lain-lain. Selain itu, beberapa bangunan peninggalan Kesultanan Deli juga menjadi bukti perkembangan daerah ini pada masa itu, misalnya Istana Maimun dan Masjid Raya Medan.

Tembakau Deli merupakan komoditas unggul yang sangat bernilai jual di dunia internasional saat itu. Kemajuan perkebunan tembakau Deli berawal pada tahun 1862 ketika perusahaan Belanda, JF van Leuween, mengirimkan ekspedisi ke Tanah Deli yang kala itu diwakili oleh Jacobus Nienhuys. Setiba di Deli, mereka menemukan lokasi yang masih perawan, Deli saat itu adalah dataran rendah berawa-rawa dan mayoritas ditutupi hutan-hutan primer.

Usaha awal ini gagal, JF van Leuween memutuskan mundur setelah membaca laporan tim perusahaan, tetapi Jacobus Neinhuys tidak putus asa. Setelah mendapat konsesi tanah dari Sultan Mahmud Al Rasyid, Neinhuys menanam tembakau di Tanjung Spasi. Kali ini usahanya berasil, contoh daun tembakau hasil panen yang dikirim ke Rotterdam diakui sebagai tembakau bermutu tinggi. Sejak itulah, tembakau Deli yang bibitnya diperkirakan berasal dari Decatur County, Georgia, Amerika Serikat menjadi terkenal.

Deli Maatschappij, perusahaan perkebunan yang didirikan oleh Jacobus Neinhuys, P.W. Jenssen, dan Jacob Theodore Cremer, pada tahun 1870 telah berhasil mengekspor tembakau sedikitnya 207 kilogram. Pada tahun 1883 perusahaan ini mengekspor tembakau Deli hampir 3,5 juta kilogram, dan ditaksir nilai kekayaan perusahaan ini mencapai 32 juta gulden pada tahun 1890. Puncaknya pada awal abad ke-20 ketika Deli Maatschappij tampil sebagai "raja tembakau Deli". Diperkirakan lebih 92 % impor tembakau cerutu Amerika Serikatberasal dari Kesultanan Deli.

Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924) berusaha melakukan perubahan sistem pemerintahan dan perekonomian. Perubahan sistem ekonomi yang dilakukan adalah pengembangan pembangunan pertanian dan perkebunan dengan cara meningkatkan hubungan dengan pihak swasta yang yang menyewa tanah untuk dijadikan perkebunan internasional. Hubungan tersebut hanya sebatas antara pemilik dan penyewa. Hasil perkebunan yang meningkat dan hasil penjualan yang sangat menguntungkan membuat pihak Belanda semakin ingin memperluas lahan yang telah ada. Pihak Belanda kemudian melakukan negosiasi baru untuk mendapatkan lahan yang lebih luas dan lebih baik lagi. Keuntungan ini tidak hanya didapati oleh pihak swasta saja, pihak kesultanan juga mendapat hasil yang sangat signifikan. Dana melimpah kesultanan saat itu digunakan untuk meperbaiki fasilitas pemerintahan, pertanian, perkebunan, dan lainnya.

Masa Pendudukan Jepang

Tanggal 12 Maret 1942 mendarat pasukan "Imperial Guard" (pasukan penjaga kaisar yang sangat terlatih dan terpilih) di Perupuk Tanjung Tiram (Batubara) di bawah pimpinan Jenderal Kono dan dari sana mereka segera menuju Medan. Sementara itu pasukan KNILdan Stadwacht Belanda berhasil melarikan diri menuju Tanah Karo untuk bertahan di Gunung Setan (Tanah Alas), tetapi di tengah jalan banyak orang-orang pribumi yang merampas pakaian seragam Belanda itu dan kembali ke kampung masing-masing. Karena sisa pasukanBelanda yang 3.000 orang itu tidak akan sanggup melawan pasukan Jepang sebanyak 30.000 orang yang terlatih dan berpengalaman perang, maka pada tanggal 29 Maret 1942 Jenderal Overakker dan Kolonel Gosenson menyerah kepada Jepang.

Sejak direbutnya Malaya, Singapura, dan Sumatera oleh Bala Tentara ke 25 Jepang, maka tanggung jawab pemerintahan dipikul oleh markas Bala Tentara ke 25 yang berkedudukan di Singapura. Sampai sekitar April 1943, kesatuan pemerintahan masih dipegang oleh Bala Tentara ke 25 sebelum akhirnya dipindahkan ke Bukittinggi. Sejak itu pemerintahan administrasi Sumatera dan Malaya/Singapura terpisah. Di Sumatera, Jepang hampir-hampir tidak melakukan perubahan sistem pemerintahan yang ada. Setiap Residen disebut syu dan dibawah pengawasan seorang pejabat militer yang disebut gunseibu. Eksistensi kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur masih tetap diakui. Bala Tentara ke 25 membagi Sumatera Timur menjadi 5 pusat konsentrasi militer Jepang, yaitu sekitar Binjai (Padang Brarang), Sungai Karang (Galang), Dolok Merangir,Kisaran, dan perkebunan Wingfoot.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Revolusi Sosial Sumatera Timur adalah gerakan sosial di Sumatera Timur oleh rakyat yang dihasut oleh kaum komunis terhadap penguasa kesultanan-kesultanan Melayu. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem monarkidengan alasan antifeodalisme.

Karena sulitnya komunikasi dan transportasi, berita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus baru dibawa oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan selaku Gubernur Sumatera serta Mr. Amir selaku Wakil Gubernur Sumatera dan diumumkan di Lapangan Fukereido (sekarang Lapangan Merdeka), Medan pada tanggal 6 Oktober 1945. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan AFNEI dibawah pimpinan Brigjen. T.E.D. Kelly mendarat di Belawan. Kedatangan pasukan AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan dan membebaskan tawanan perang orang-orang Belanda di Medan.

Meletusnya revolusi sosial tidak terlepas dari sikap beberapa kelompok bangsawan yang tidak segera mendukung republik setelah adanyaProklamasi Kemerdekaan Indonesia. Beberapa kelompok bangsawan tidak begitu antusias dengan pembentukan republik, karena setelahJepang masuk, Jepang mencabut semua hak istimewa kaum bangsawan dan lahan perkebunan diambil alih oleh para buruh. Beberapa bangsawan merasa dirugikan dan berharap untuk mendapatkan hak-haknya kembali dengan bekerja sama dengan NICA, sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro-republik. Walaupun saat itu juga banyak kaum bangsawan dan sultan yang mendukung kelompok pro-republik, seperti Amir Hamzah dari Kesultanan Langkat dan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah dari Kesultanan Serdang.

Sementara itu, pihak pro-republik mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur agar sistem pemerintahan swaprajadihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dengan semangat perjuangan kemerdekaan. Namun pihak pro-repbulik sendiri terpecah menjadi dua kubu; kubu moderat yang menginginkan pendekatan secara kooperatif untuk membujuk beberapa bangsawan dan kubu radikal (yang didukung kaum komunis) yang menginginkan jalan kekerasan dengan penggalangan massa para buruh perkebunan.

Revolusi oleh kaum radikal akibat hasutan kaum komunis pecah pada Maret 1946. Berawal di Kesultanan Asahan, revolusi menjalar ke seluruh monarki Sumatera Timur, termasuk Kesultanan Deli. Istana Sultan Deli (Istana Maimun) beserta Sultan dan para bangsawan berhasil terlindungi karena penjagaan TRI dan adanya benteng pertahanan tentara sekutu di Medan.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar