Sabtu, 25 Juli 2015

Kerajaan Daerah Rokan Hulu Riau

Dahulunya, daerah Rokan Hulu dikenal dengan nama Rantau Rokan atau Luhak Rokan Hulu, karena merupakan daerah tempat perantauan suku Minangkabau yang ada di daerah Sumatera Barat
Sebelum kemerdekaan yakni pada masa penjajahan Belanda, wilayah Rokan Hulu terbagi atas dua daerah:
– wilayah Rokan Kanan yang terdiri dari Kerajaan Tambusai, Kerajaan Rambah dan Kerajaan Kepenuhan.
– wilayah Rokan Kiri yang terdiri dari Kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan Kunto Darussalam serta beberapa kampung dari Kerajaan Siak (Kewalian negeri Tandun dan kewalian Kabun)

Kerajaan-kerajaan di atas sekarang dikenal dengan sebutan Lima Lukah.

Pada tahun 1905, kerajaan-kerajaan di atas mengikat perjanjian dengan pihak Belanda. Diakuilah berdirinya kerajaan-kerajaan tersebut sebagai landscape. Setiap peraturan yang dibuat kerajaan mendapat pengesahan dari pihak Belanda.

‎Kerajaan Rokan berdiri pada abad ke-14 M. Pusat kerajaan berada di Kota Lama, Rokan. Nama kerajaan diambil dari sebuah sungai yang mengalir di daerah tersebut, yaitu Sungai Rokan. Sungai Rokan merupakan salah satu sungai besar yang mengalir di bagian utara Riau daratan. Hingga saat ini, sungai ini masih memainkan peranan penting sebagi jalur perhubungan antara rakyat daerah pantai dan pedalaman.

Menurut suatu riwayat, kata Rokan berasal dari bahasa Arab rokana, artinya damai atau rukun. Konon, nama ini merupakan refleksi dari keadaan rakyat yang selalu rukun dan mementingkan kedamaian, baik dengan sesama penduduk negeri, maupun dengan orang luar negeri. Dari nama tersebut yang menunjukkan adanya pengaruh Arab, juga bisa disimpulkan bahwa, Kerajaan Rokan berdiri setelah Islam masuk ke kawasan tersebut.

Dalam sejarahnya, Rokan termasuk kerajaan yang cepat berkembang, berkat hasil rempah-rempah yang dimilikinya, dan juga relasi perdagangannya dengan negeri lain, seperti Malaka. Bahkan, Raja Malaka, Mahmud Syah menjalin hubungan kekerabatan dengan Rokan, dengan  memperistri putri Raja Rokan, dan menjadikannya sebagai permaisuri. Dengan demikian, hubungan antara Malaka dan Rokan jadi semakin erat.

Dari perkawinan Mahmud Syah dengan putri Raja Rokan, lahir kemudian seorang anak yang bernama Ibrahim. Setelah Mahmud Syah wafat, Ibrahim sempat menjadi raja di Malaka selama 1 tahun 5 bulan. Namun, Raja Ibrahim kemudian dibunuh oleh Raja Kasim Muhammad Syah, saudara seayah dari ibu asli Malaka.

Sejak Malaka dikalahkan Portugis, Kerajaan Rokan mengalami kemunduran, karena terus mendapatkan ancaman dari Aru dan Aceh bagian utara. Menurut sejarah, kehancuran Rokan akibat dari serangan Aceh. Namun, ketika Rokan menghilang, muncul kerajaan baru menggantikannya, yaitu Kerajaan Pekaitan dan Batu Hampar.

Setelah Kerajaan Pekaitan dan Batu Hampar lenyap, kemudian muncul  tiga kerajaan  lagi di bagian hilir Sungai Rokan, yaitu: Kerajaan Kubu dengan ibunegeri Teluk Merbabu; Kerajaan Bangko dengan ibunegeri Bantaian; dan Kerajaan Tanah Putih dengan ibunegeri Tanah Putih. Sementara di bagian hulu, muncul lima kerajaan yang diperintah secara turun-temurun oleh bangsawan raja. Limakerajaan tersebut adalah:

Kerajaan Tambusai, ibunegerinya Dalu-dalu,
Kerajaan Rambah, ibunegerinya Pasir Pengaraian,
Kerajaan Kepenuhan, ibunegerinya Koto Tengah,
Kerajaan Kunto Dar el-Salam, ibunegerinya Kota Lama,
Kerajaan Rokan, ibunegerinya Rokan IV Koto.


Slsilah raja Rokan belum diketahui secara pasti. Hanya saja, ada pendapat yang mengatakan bahwa, sebenarnya Raja Rokan adalah keturunan Sultan Sidi. Problem selanjutnya adalah, siapa dan dari mana Sultan Sidi ini juga tidak diketahui.

Struktur Pemerintahan

Dalam struktur pemerintahan, kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Untuk berhubungan dengan kelompok suku di masyarakat, raja mengangkat seorang pembantu yang bergelar Datuk Bendahara. Diduga, susunan pemerintahan di wilayah Rokan terpengaruh oleh sistem yang berkembang di Minangkabau dan Mandailing.

Kehidupan Sosial Budaya

Masyarakat Rokan disusun atas kelompok-kelompok suku, dan setiap suku dikepalai oleh pucuk suku. Kepala dari semua pucuk suku dipegang oleh Datuk Bendahara. Datuk Bendahara mendampingi raja dalam kerapatan adat. Dalam kehidupan sehari-hari, sistem sosial budaya masyarakat setempat menunjukkan adanya pengaruh kebudayaan Minangkabau, dan dalam tataran tertentu, Mandailing.

Manuskrip milik perpustakaan Nasional Indonesia dengan nombor cod ML. 100. Berukuran 15.4 X 19.8 cm. Setiap halaman terdiri daripada 3-19 baris. Jumlah keseluruhan halaman manuskrip 58 halaman. Terdapat empat halaman yang kosong. Manuskrip di tulis dengan tulisan Jawi menggunakan dakwat hitam. Kertas ini tidak mempunyai klofon.

Isinya terdiri daripada empat bahagian (fasal). Bahagian pertama menceritakan tentang silsilah Raja Rambah, bahagian kedua silsilah Raja Mandang Kota Raja dan bahagian ketiga tentang silsilah Raja Kepenuhan dan Mandang Kota Raja.

Ada beberapa catatan tentang Silsilah kerajaan yang ada di wilayah Rokan Hulu, yang berdiri setelah runtuhnya Kerajaan Tua Rokan di Rantau Kasai.
Bekas Kerajaan inilah pada zaman Belanda yang disebut dengan Luhak disesuaikan nama kerajaannya.

Silsilah Kerajaan Tambusai :
Raja-raja di Kerajaan Tambusai
Raja I. Sultan Mahyudin Gelar Mohamad Kahar (850-951M)
Raja II. Sultan Zainal
Raja III. Sultan Ahmad
Raja IV. Sultan Abdullah
Raja V. Sultan Syaifuddin
Raja VI. Sultan Abdurahaman
Raja VII. Sultan Duli Yang Dipertuan Tua
Raja VIII. Sultan Duli Yang Dipertuan Akhir Zaman
Raja IX. Sultan Duli Yang Dipertuan Saidi Muhamil
Raja X. Sultan Duli Yang Dipertuan Sakti
Raja XI. Sultan Duli Yang Dipertuan Ngagap
Raja XII. Sultan Duli Yang Dipertuan Akhir Zaman
Raja XIII. Sultan Duli Yang Dipertuan Djumadil Alam (Abdul Hamid)
Raja XIV. Sultan Duli Yang Dipertuan Besar
Raja XV. Sultan Abdul Wahid (1864-1887)
Raja XVI.Sultan Zainal Abidin (1887-1916)
Raja XVII. Sultan Ahmad (Glr T. Muhamad Silung 1916)
Raja XVIII. Yang Dipertuan Tengku Muhammad Yudo
Raja XIX. Tengku Ilyas Gelar Tengku Sulung.

(disusun dari sumber tertulis Terombo Siri pegangan Raja Tambusai dalam memimpin kerajaan, disimpan oleh Haji Tengku Ilyas, Gelar Tengku Sulung Raja Tambusai XIX)
Raja I s.d ke-4 kedudukan di Karang Besar, Raja ke-5 Pindah ke Tambusai lalu ke Dalu-dalu, pada masa Raja VII Sultan Yang Dipertuan Tua dibentuklah Datuk Non Berempat : Datuk Bendaharo, Datuk Rangkayo Maharajo, Datuk Paduko Sumarajo, Datuk Paduko Majolelo
Raja XV Sultan Abdul Wahid, mendirikan Istana darurat di Rantau Binuang, setelah di nobatkan Sultan Mohammad Zainal Abidin sebagai raja XVI Tambusai berkedudukan di Istana II di Rantau Kasai
(sumber executive summary Sejarah Perjuangan Sultan Mohammad Dzainal Abidin menentang Kolonial Belanda di Rokan - Riau - Indonesia 1887-1916, oleh Pemdaprov Riau, BKS Pekanbaru 2006)

Silsilah Raja Rambah

Pada ketika itu Tambusai adalah Kerajaan terbesar di Rokan. Ia keturunan daripada Pagaruyung. Pada masa itu yang memerintah ialah yang di Pertuan Tua. Ia ada dua orang bersaudara, yang seorang perempuan bernama To’ Permaisuri. Yang Dipertuan Tua mempunyai tiga orang adik beradik, dua laki-laki dan seorang perempuan. Yang Perempuan bernama Siti Dualam, yang laki-laki Tengku Raja Muda dan Yang Dipertuan Akhir Zaman. Kemudian Tengku Raja Muda meminta kebenaran dari ayahndanya untuk mendirikan sebuah kerajaan sendiri. Setelah dipersetujui perjanjian maka Tengku Raja Muda pun dibenarkan membuka negeri. Isi perjanjian tersebut berbunyi begini:

“Pertama-tama apabila menaikkanlah pihak kami akan raja/kerajaan, melainkan raja Tambusyailah akan menaikkan kami hingga sampai kepada anak cucu kami. Dan kedia pabila putus raja yang kerajaan pihak kami yang pergi ini, melainkan raja Tambusyailah yang boleh menggantikannya. Ketiga janganlah berdengki aniaya antara dua pihak itu. Keempat apabila suku pihak yang di Tambusai masuk pihak kami, atau suku pihak yang kami /suku/ masuk pihak yang tinggal di Tambusyai, yang tidaklah boleh ditegah dan dilarang. Kelimaanya apabila pihak kami yang pergi itu tiada menurut adat pusaka, melainkan bolehlah ia pulang ke Tambusyai. Segala rakyat yang pergi itu, raja Tambusyai empunya rakyat yang tidak boleh ditegah dilarang. Keenam apabila mengikut raja kepada pihak yang pergi itu, melainkan segeralah memberitahu kepada Tambusyai, mengantarkan baju helat dan syahab muka, di Tambusyai demikian juga”.

Setelah dipersetujui perjanjian tersebut, maka Tengku Raja Muda di anugerahkan rakyat dan alat kebesaran. Kemudian Tengku Raja Muda pun membuka negeri di Kalu Batang Lubuk. Kerena negeri tersebut di rambah oleh orang Tambusai, maka negeri tersebutpun di namakan negeri Rambah.

Setelah Tengku Raja Muda mangkat di gantikan oleh anaknya bergelar Yang Dipertuan Besar. Kemudian setelah Yang Pertuan Besar mengkat diganti oleh Yang Dipertuan Jamalul Alam. Setelah Yang Dipertuan Jamalul Alam di ganti oleh Yang Dipertuan Sakti. Setelah Yang Dipertuan Sakti mangkat diganti oleh Yang Dipertuan Besar. Setelah yang Dipertuan Besar mangkat di ganti oleh Putera baginda yang bergelar Yang Dipertuan Besar (Marhum Galia). 


Silsilah Kerajaan Rambah :
Raja I. Yang Dipertuan Muda
Raja II. Yang Dipertua Besar
Raja III. Yang Dipertuan Djumadil Alam
Raja IV. Yang Dipertuan
Raja V. Yang Dipertuan Besar
Raja VI. Yang Dipertuan Besar
Raja VII. Yang Dipertuan Besar
Raja VIII. Yang Dipertuan Besar
Raja IX. YanG Dipertuan Besar Rambah
Raja X. Yang Dipertuan Djumadil Alam Sari 1901
Raja XI. Mohamad Syarif Yang Dipertuan Besar
Raja XII. Sultan Zainal Puan Kerajaan Rambah
Raja XIII. Sultan Mahmud Manjang
Raja XIV. Tengku Saleh Yang Dipertuan Besar Rambah.


Silsilah Raja Kepenuhan

Setelah Negeri Johor pecah kerana diserang musuh, Rajanya yang bernama Raja Purba masuk lari ke Rokan bersama sebelas orang panglima yang gagah-gagah dan sejumlah rakyat. Kemudian mereka mudik ke Kuala Batang Syasah. Setelah sampai di kuala sungai Rokan mereka tertarik pada tempat tersebut dan bermaksud untuk menetap di situ. Raja Purba pun menghantar utusan kepada Raja Tambusai yang bernama Raja Abdullah untuk meminta kebenaran tinggal dan membuat negeri di situ. Raja Tambusai setuju dan diberi kuasa hingga ke hilir Sungai tersebut, tetapi tetap di bawah naungan raja Tambusai. Kawasan tersebut diperintah berdasarkan peraturan (Teromba besar) yang berlaku dalam negeri Tambusai. Sebarang peraturan baru atau perubahan dari peraturan yang berlaku dalam negeri Tambusai harus dengan izin raja Tambusai. 

Pada mulanya Raja Tambusai mengaturkan orang-orang Raja Purba kepada tujuh suku, tetapi Raja Purba mahu dibahagi kepada sebelas suku berdasarkan sebelas panglima yang dibawa bersama. Kemudian sebuah perjanjian dipersetujui bersama yang berbunyi: 

“Dan barang siapa kami yang sebelas pihak serta kami segala raja-raja mengubahi ata ‘aturan adat dan pusaka yang datang daripada Raja Tambusai itu, dan lagi jikalau ada perkara yang di dalam kami yang tiada habis, melainkan hendaklah kami kabarkan melainkan kena hukumanlah kami daripada Raja tambusai serta akan sumpah setia yang diperbuat ini hingga sampai kepada anak cucu yang terkemudian kepada kami ini. Dan lagi tiadalah kami mengubahi segala-gala perkataan teromba besar yang pegangan Raja Tambusai itu adanya. Dan lagi jikalau barang siapa sekalian kami mungkir daripada segala padan janji ikat karangan yang diikrarkan dahulu itu, melainkan kena kutuk seribu siang dan seribu malam serta ditimpa daulat sultan Iskandar Zulkarnain dan tiada selamat selama-lamanya adanya”. 

Perjanjian ini terjadi pada tahun 2745 tahun zai. Setelah itu Raja Purba terus hilir. Setelah sampai di kuala Batang Syasah Raja Purba tertarik pada tempat tersebut dan mengambil keputusan untuk membuat negeri di situ, tetapi empat orang pembesarnya tidak setuju, mereka mahu membuat negeri di pulau berhampiran Kuala Sungai Rokan seperti rancangan awal. Tetapi Raja Purba tetap berkeras untuk membuka negeri di kawasan kuala Batag Syayah. Maka pecahlah mereka. Akhirnya sebelas pembesar (kerapatan) itu mengadap Raja Tambusai. Ketika mengadap Raja Tambusai tujuh suku setuju untuk membuka negeri di Kuala Batang Syasya mengikut raja mereka, sedangkan empat suku lagi tetap berkeras tidak mahu mengikut Raja Purba, mereka tetap mahu membuka negeri di hilir dari kuala Sungai Batang Syasa. Setelah berbincang dengan pembwsar sembilan suku di Tambusai, Raja Tambusai mengambil keputusan untuk memecahkan kumpulan tersebut. Tujuh suku membuka negeri di Kuala Batang Syasya mengikut raja mereka. Empat suku lagi dihantarkan oleh ke tujuh suku yang mengikut raja mereka untuk membuka negeri di Pulau ke hilir dari Kuala Sayasa. Kerana mereka di hantar oleh ke tujuh suku yang mengikut Raja Purba ke pulau tersebut maka di namakanlah pulau itu Pulau Antar. 

Sedang tujuh pembesar yang mengikut raja Purba pun membuat istana yang lengkap, rajanya enggan kerana tetap tidak mahu pindah dari rakit. Ia mahu dibuatkan sebuah rakit yang besar dan indah sebagai istana. Akhirnya dibuat sebuah rakit yang besar, lengkap dan indah sebagai istana Raja Purba. Tetapi setelah membuka negeri tersebut, raja Purba sebuk dengan hiburan dan bersuka ria sahaja. Makin lama makin lalai, lama-kelamaan ia zalim, habis semua perempuan sama ada gadis atau isteri orang diambilnya untuk memuaskan nafsu. Sehingga para pembesar tujuh suku menjadi marah, kehidupan rakyat menjadi miskin dan sentiasa dalam ketakutan. Akhirnya ketujuh pembesar tersebut berpakat dengan empat pembesar yang membuka negeri di Pulau Antar untuk menghadap Raja Tambusai. 

“Baiklah kita mupakat dengan kaum kita yang empat pihak yang didalam paulau Antar, sebarang mana mupakatkan dengan kaum kita yang empat pihak yang di dalam Pulau Antar, dan sebarang mana-mana mupakat yang baik boleh sama-sama kita mempahamkan daripada hukuman raja kita ini”.

Baiklah kita mudik ke hulu mengadap raja Tambusai supaya ia tahu akan hal kita ini, minta carikan adat pusakanya akan hal kita yang demikian ini”.

Mereka mengadap raja Tambusai dan meminta supaya dikenakan tindakan terhadap raja mereka sesuai dengan undang-undang (tambo besar) yang berlaku di negeri Tambusai dan meminta supaya Raja Purba di bunuh, tetapi Raja Tambusai menolak permintaan para pembesar tersebut. 

“Tiadalah sampai hemat kita akan merusak raja itu, kerana kita tua di dalam Luwa’ Rokan ini, lagipun kita pegang aturan yang dahulu-dahulu sampai sekrang ini, maka tiadalah sampai hemat kami yang demikian itu”…Maka habiskanlah dahulu mufakat dan kebulatan mereka sebarang mana-mananya kerana belumlah kita putuskan hukumannya, demikianlah adanya”.

Akhirnya para pembesar tersebut pergi ke Rokan Kiri dan berjumpa dengan raja Kuanta. Raja Kuanta setuju untuk membunuh raja Purba, tetapi dengan syarat jika berjaya membunuh Raja Purba segala harta yang di dalam istana rakit itu harus diserahkan kepada Baginda. 
“maka jawab Raja Kuanta kepada orang yang datang itu. “Dan jikalau begitu akan kelakuan raja itu yang tiadalah patut, maka tidaklah di dalam adat dan pusaka raja itu membuat yang demikian itu kepada mereka sekalian…”

“Adalah padan janji kita apabila mati raja mereka itu dengan sebab aku perbuat, maka hendaklah mereka pulangkan seisi rakit itu kepada yang demikian itu, tetapi yang patik pohonkan segala anak buah patik di dalam rakit itu boleh patik pulangkan sekalian kepada ibu bapanya” 

Para pembesar tersebut setuju tetapi perempuan yang diambil oleh Raja Purba harus diserahkan kembali kepada orang tua mereka.

Setelah kesepakatan diambil, maka Raja Kuanta dan pembesar tersebut pergi ke istana Raja Purba. Mula-mula mereka memutuskan tali pengikat rakit tersebut. Orang-orang yang di dalam istana rakit tersebut tidak sedar kerana mereka sebuk dengan menari dan bersuka ria. Sehingga istana rakit tersebut hanyut ke Teluk Rantau Kenawang. Di situlah Raja Kuanta membunuh Raja Purba. Semua barang dalam rakit itu diambil oleh Raja Kuanta dan perempuan yang diambil oleh Raja Purba dipulangkan kepada orang tuanya sesuai dengan perjanjian. 

Kemudian para pembesar pergi menyerah diri kepada Raja Tambusai dan meminta keluarga Tambusai untuk dijadikan raja di negeri Kepenuhan. Raja Tambusai menyerahkan adik perempuannya yang bernama To’ Permaisuri untuk menjadi raja di negeri Kepenuhan. Kemudian itu Yang Dipertuan Tua Pinang Awan meminang adik Raja Aru. Kemudian Yang Dipertuan Tua kahwin dengan adik Raja Aru itu yang bernama Baruni Tarligan. Tidak lama kemudian Raja Aru nikah pula dengan To’ Permaisuri.

Bila raja Aru itu, ia meninggalkan putera yang bergelar Datuk Negeri Tinggal. Kemudian mangkat Datuk Negeri Tinggal digantikan oleh anaknya Sultan Sulaiman. Mangkat Sultan Sulaiman di gantikan oleh puteranya Tuk Maruhum Kaya, kemudian diganti pula oleh anaknya Tuk Muruhum Sutan Makula, kemudian diganti oleh Tuk Muruhum Sutan Sulaiman.

Maruhum Akhir Zaman menjadi Raja di Tambusai isteri pertamanya adik Sutan Abdullah tidak beranak. Isteri keduanya mendapat dua orang anak Tengku Mansur dan Siti Jadah. Siti Jadah ibu kepada Tengku Muda yang menggantikan Maruhum Akhir Zaman.

Silsilah Kerajaan Kepenuhan :
Periode Awal
Raja I. Raja Purba
Raja II. To' Permaisuri
Raja III. Raja Aru
Raja IV. Datuk Negeri Tingga
Raja V. Maruhum Sultan Sulaiman
Raja VI. To' Maruhum kayo
Raja VII. To' Maruhum Sultan Makulah Yang Dahulu
Raja VIII. To' Sultan Makula Yang Dahulu 
Raja IX. To' Maruhum Sultan Sulaiman
Raja X. Sultan Makula
Raja XI. Sultan Sulaiman Yang Dipertuan Muda

Periode Kedua
Raja XII. Yang Dipertuan Besar (Yang Dipertuan Muda dari Pagaruyung)

Periode Ketiga
Raja XIII. Datuk Maruhum Merah Dada
Raja XIV. Tengku Muda Sahak
Raja XV. Montuo Muda (Mencong)
Raja XVI. Tengku Sultan Sulaiman.


Silsilah Kerajaan Rokan IV Koto
yang berdiri pada pertengahan Abad ke-14 sebagai berikut :

Raja I. Sultan Seri Alam 1340-1381
Raja II. Tengku. Raja Rokan 1381-1454
Raja III. Tengku Sutan Panglima Dalam 1454-1519
Raja IV. Tengku Sutan Sepedas Padi 1519-1572
Raja V. Tengku Sutan Gemetar Alam 1572-1603
Raja VI. Yang Dipertuan Sakti Mahyuddin (Raja Pertama dari Pagaruyung) 1603-1645
Raja VII. Yang Dipertuan Sakti Lahid 1645-1704
Raja VIII. Tengku Sutan Rokan (Pemangku) 1704-1739
Raja IX. Yang Dipertuan Sakti Selo 1739-1805
Raja X. Andiko Yang Berempat (Wakil) 1805-1817
Raja XI. Dayung Datuk Mahudun Sati (Pemangku) 1817-1837
Raja XII. Yang Dipertuan Sakti Ahmad 1837-1859
Raja XIII. Yang Dipertuan SaktiHusin 1856-1880
Raja XIV. Tengku Sutan Zainal (Pemangku) 1880-1903
Raja XV. Yang Dipertuan Sakti Ibrahim 1903-1942
Catatan dari Gazali pewaris Kerajaan Rokan IV Koto (juga salinan dari catatan sejarah Rokan IV Koto, sudah hilang aslinya)

Desa Kuntu, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar yang terletak kurang lebih 85 km, di sebelah selatan Pekanbaru ibu kota Provinsi Riau. Desa Kuntu termasuk desa tertua di Propinsi Riau yang syarat dengan lembaran. Dalam buku Sejarah Minangkabau terbitan Bathara Jakarta tahun 1970, di katakan bahwa Kuntu termasuk Wilayah Minangkabau Timur (Kerajaan Kuntu Timur).

Sejak abad ke-6 pedagang dari Gujarat India mengembangkan agama Budha di Kuntu. Ini dibuktikan dimana di Kota Tinggi (Sungai Sontan Kuntu) terdapat kuburan raja darah Putih (Gagak Jao) dengan batu nisan bertuliskan huruf Kawi yang belum bisa diartikan oleh penduduk setempat, pada masa inilah Permaisuri Raja Putri Lindung Bulan menyebut daerah ini dengan sebutan “Kuntu Turoba” yang berarti aku dari tanah tempatku berpijak.

Pada tahun 670-730 M, terdapat dua kerajaan besar yaitu Cina di timur (beragama budha Mahayana) dan Khalifah Muawiyah di barat (beragama islam) masing-masing hendak memonopoli perdagangan, menanamkan pengaruh ekonomi dan agama. Namun politik Muawiyah lebih berhasil dibanding Cina sehingga abad ke-8 agama islam (syi’ah) masuk dan berkembang di Kuntu.

Dakwah pengembangan islam terhenti selama 4 abad disebabkan Cina merasa terganggu kepentingan ekonomi dan pengembangan agamanya, maka Cina mengutus dua orang sarjana agama Budha yaitu: Wajaro Bodhi dan Amogha Bajra. Sejak saat itu, pedagang dari Arab dan Persi tidak datang lagi ke Kuntu Timur. Pada masa inilah apa yang diistilahkan “Apik Tupai, Panggang Kaluang” dimana pada saat itu penduduk kehilangan pedoman/tuntunan agama.

Pada permulaan abad ke-7 sesudah Rajendra Cola dari India Selatan berhasil melumpuhkan Sriwijaya. Maka raja Palembang bernama Aria Darma mengirim surat ke Muawiyah meminta dikirimkan Ulama/mubaligh. Menindak lanjuti permohonan raja Palembang tersebut, maka Khalifah Muawiyah mengutus Syekh Burhanuddin. Yang akhirnya sampai ke Kuntu untuk mengembangkan Islam Mazhaf syafi’i kurang lebih selama 20 tahun.

Kesultanan Kuntu Kampar terletak di Minangkabau Timur, daerah hulu dari aliran Kampar Kiri dan Kanan. Kesultanan Kuntu atau juga disebut dengan Kuntu Darussalam di masa lalu adalah daerah penghasil lada dan menjadi rebutan Kerajaan lain, hingga akhirnya Kesultanan Kuntu dikuasai oleh Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Kini wilayah Kesultanan Kuntu hanya menjadi sebuah cerita tanpa meninggalkan sedikitpun sisa masa kejayaan, Kesultanan Kuntu kini berada di wilayah Kecamatan Kampar Kiri (Lipat Kain) Kabupaten Kampar.

Kuntu di masa lalu adalah sebuah daerah yang sangat strategis baik dalam perjalanan sungai maupun darat. Di bagian barat daya Kuntu, di seberangnya ada hutan besar yang disebut Kebun Raja. Di dalam hutan yang bertanah tinggi itu, selain batang getah, juga ada ratusan kuburan tua. Satu petunjuk bahwa Kuntu dulu merupakan daerah yang cukup ramai adalah ditemukannya empat buah pandam perkuburan yang tua sekali sehingga hampir seluruh batu nisan yang umumnya terbuat dari kayu sungkai sudah membatu (litifikasi). Salah satu di antara makam-makam tua itu makam Syekh Burhanuddin, penyiar agama Islam dan guru besar Tarekat Naqsabandiyah yang terdapat di Kuntu. Makam itu berada dekat Batang Sebayang. Syekh Burhanuddin diperkirakan lahir 530 H atau 1111 M di Makkah dan meninggal pada 610 H atau 1191 M. Dengan peninggalannya yang ada sampai saat ini: Sebuah stempel dari tembaga bertuliskan Arab “Syekh Burhanuddin Waliyullah Qodi Makkatul Mukarramah” dan Sebilah Pedang, tongkat, sebuah kitab Fathul Wahab dan sebuah Khutbah. Sejak masuknya Syekh Burhanuddin di Kuntu mengembangkan islam Mazhaf Syafi’i, Islam Syi’ah yang datang sebelumnya ke Kuntu kehilangan kekuatan politik dan mundur pada tahun 1238 M.

Menurut buku Sejarah Riau yang disusun oleh tim penulis dari Universitas Riau terbitan tahun 1998/1999, Kuntu adalah daerah yang pertama di Riau yang berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari Cina, India, dan negeri Arab Persia. Kuntu juga daerah pertama yang memainkan peranan dalam sejarah Riau, karena daerah lembah Sungai Kampar Kiri adalah daerah penghasil lada terpenting di seluruh dunia dalam periode antara 500-1400 masehi. Zaman dahulu, Kuntu dikenal sebagai daerah yang subur dan berperan sebagai gudang penyedia bahan baku lada, rempah-rempah dan hasil hutan. Pelabuhan ekspornya adalah Samudra Pasai, dengan pasar besarnya di Gujarat. Kuntu juga adalah wilayah yang strategis sebab terletak terbuka ke Selat Melaka, tanpa dirintangi pegunungan.

Kuntu juga adalah tanah tua yang mula-mula dimasuki Islam yang dibawa oleh para pedagang dan di masa itu baru dianut di kalangan terbatas (pedagang) karena masih kuatnya pengaruh agama Budha yang menjadi agama resmi Sriwijaya di masa itu. Ketika Cina merebut pasaran dagang yang menyebabkan para pedagang Islam Arab-Persia terdesak, maka penyebaran Islam sempat terhenti. Para pedagang Arab-Persia-Maroko mulai kembali berdagang di Kuntu dalam abad ke XII Masehi di masa kekuasaan Kesultanan Mesir era Fatimiyah, dinasti yang mendirikan Universitas Al-Azhar di Kairo. Kuntu juga memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Islam Dayah di Aceh di bawah Sultan Johan Syah dalam hal perniagaan. Setelah kerajaan Pasai berdiri, mereka bahkan berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah di Kuntu.

Silsilah Kerajaan Kuntodarussalam :

Raja I. Tengku Panglima Besar Kahar Yang Dipertuan Besar 1878-1885
Raja II. Tengku Syarif Yang Dipertuan Besar1885
Raja III. Tengku Ali Kasim Yang Dipertuan Besar 1895-1905
Raja IV. Tengku Ali Tandun Yang Dipertuan Besar 1905-1910
Raja V. Tengku Ischak Yang Dipertuan Muda 1910-1921
Raja VI. Tengku Ali Momad Tengku Panglima Besar 1921-1925
Raja VII. T. Kamaruddin Tengku Sultan Machmud 1925-1935
Raja VIII. Tengku Maali Tengku Pangeran 1935-1942

Keterangan diatas hanya yang bisa penulis kumpulkan. ‎

1 komentar:

  1. assalamualaikum, afwan sebelumnya saya izin untuk mengutip tulisan anda, kalau boleh tau tulisan ini dikutip dari sumber apa ? wassalamualaikum..

    BalasHapus