Kamis, 23 Juli 2015

Sejarah Para Sultan Ngayogjokarto Hadiningrat

Kesultanan Ngayogjokarto Hadiningrat merupakan sedikit dari peninggalan sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara yang masih hidup hingga kini, dan masih mempunyai pengaruh luas di kalangan rakyatnya.

Kasultanan Ngayogjokarto Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo Kholifatulloh (Sri Sultan Hamengkubuwono I ) pada tahun 1755. Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan Ngayogjokarto Hadiningrat sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Kontrak politik terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941, No. 47.

Berikut ini merupakan Sultan-sultan yang memerintah di Kasultanan Ngayogjokarto Hadiningrat sejak awal didirikan hingga sekarang adalah :

Sri Sultan Hamengkubuwono I

Beliau (lahir di Kartasura, 6 Agustus 1717 – meninggal di Yogyakarta, 24 Maret 1792 pada umur 74 tahun) merupakan pendiri sekaligus Raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 – 1792

Nama aslinya adalah Raden Mas Sudjono yang setelah dewasa bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia merupakan putra Amangkurat IV raja Kasunanan Kertasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.

Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwono II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, PakubuwonoII pun berubah pikiran.

Pada tahun 1742 istana Kertasura diserbu kaum pemberontak . Pakubuwono II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh VOC dan Cokroningrat dari Madura.

Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwono II dan Mangkubumi) berhasil merebut tanah Sukowati. Pakubuwono II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah untuk siapa saja yang berhasil merebut kembali Sukowati. Mangkubumi dengan berhasil mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun ia dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut raja supaya membatalkan perjanjian sayembara.

Datang pula Baron Van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Ia mendesak Pakubuwono II supaya menyewakan daerah pesisir kepada VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron Van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.

Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sebagai pemberontak.Sebagai ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan puterinya yaitu Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.

Hamengku Buwana I secara geneologis adalah keturunan Brawijaya V baik dari ayahandanya Amangkurat IV maupun dari ibundanya Mas Ayu Tejawati. Dari garis ayahandanya silsilah ke atas yang menyambung sampai Brawijaya V secara umum sudah pada diketahui namun dari pihak ibundanya masih sedikit yang mengungkapkannya. Dari Brawijaya V seorang dari puteranya bernama Jaka Dhalak yang kemudian menurunkan Wasisrowo atau Pangeran Panggung. Pangeran Panggung selanjutnya berputera Pangeran Alas yang memiliki anak bernama Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan mengabdikan diri di pajang pada Sultan Hadiwijaya dan beliau berputera Kyai Cibkakak di Kepundung jawa Tengah. Selanjutnya Kyai Cibkakak ini menurunkan putra bernama Kyai Resoyuda. dari Resoyuda ini menurunkan putra bernama Ngabehi Hondoroko yang selanjutnya punya anak putri bernama Mas Ayu Tejawati, ibunda Hamengku Buwana I.

SEJARAH SINGKAT PERANG MANGKUBUMEN:

Perang antara Mangkubumi melawan Pakubuwono II yang didukung VOC disebut para sejarawan sebagai Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan kekuatan Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit. Perang ini dikenal dengan “Perang Tahta Jawa Ketiga”

Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada akhir tahun 1749, Pakubuwono II sakit parah dan merasa kematiannya sudah dekat. Ia pun menyerahkan kedaulatan negara secara penuh kepada VOC sebagai pelindung Surakarta tanggal 11 Desember.

Sementara itu Mangkubumi telah diangkat oleh Rakyat  sebagai Raja bergelar Pakubuwono III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwono II sebagai Pakubuwono III tanggal 15. Dengan demikian terdapat dua orang Pakubuwono III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut ‎Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di daerah Mataram.

Perang kembali berlanjut. Pertempuran besar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa menyebutnya Kapten Klerek.

Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Raden Mas Said terjadi perselisihan.Perselisihan ini berfokus pada keunggulan supremasi Tunggal atas Mataram yang tidak terbagi.Dalam jajak pendapat dan pemungutan suara dukungan kepada Raden Mas Said oleh kalangan elite Jawa dan tokoh tokoh Mataram mencapai suara yang bulat mengalahkan dukungan dan pilihan kepada Mangkubumi. Dalam dukungan elite Jawa menemui fakta kalah dengan Raden Mas Said maka Mangkubumi menggunakan kekuatan bersenjata untuk mengalahkan Raden Mas Said tetapi Mangkubumi menemui kegagalan. Raden Mas Said kuat dalam dukungan-pilihan oleh elite Jawa dan juga kuat dalam kekuatan bersenjata. Mangkubumi bahkan menerima kekalahan yang sangat telak dari menantunya yaitu Raden Mas Said. Akibat kekalahan yang telak Mangkubumi kemudian menemui VOC menawarkan untuk bergabung dan bertiga dengan Pakubuwono III sepakat menghadapi Raden Mas Said.

Tawaran Mangkubumi untuk bergabung mengalahkan Raden Mas Said akhirnya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diwakili Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sebagai perantara adalah Syaikh Ibrahim, seorang Ulama dari Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara langsung pada bulan September 1754.

Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwono III, sedangkan ia merelakan daerah pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real dibagi dua;10.000 real untuk dirinya Mangkubumi dan 10.000 real untuk Pakubuwono III.

Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah Perjanjian Giyanti yang mengakui Mangkubumi sebagai Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo Kholifatulloh (Hamengkubuwono I)‎. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwono III dibelah menjadi dua. Hamengkubuwono I mendapat setengah bagian. Perjanjian Giyanti ini juga merupakan perjanjian persekutuan baru antara pemberontak kelompok Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwono III dan VOC menjadi persekutuan untuk melenyapkan pemberontak kelompok Raden Mas Said.

Bergabungnya Mangkubumi dengan VOC dan Pakubuwono III adalah permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Dari persekutuan ini dapat dipertanyakan; Mengapa Mangkubumi bersedia membagi Kerajaan Mataram sedangkan persellisihan dengan menantunya Raden Mas Said berpangkal pada supremasi kedaulatan Mataram yang tunggal dan tidak terbagi? Dari pihak VOC langsung dapat dibaca bahwa dengan pembagian Mataram menjadikan VOC keberadaannya di wilayah Mataram tetap dapat dipertahankan. VOC mendapat keuntungan dengan pembagian Mataram.

Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Pakubuwono III tetap menjadi raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I menjadi raja di Yogyakarta. Mangkubumi sekarang sudah memiliki kekuasaan dan menjadi Raja maka tinggal kerajaan tempat untuk memerintah belum dimilikinya. Untuk mendirikan Keraton/Istana Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC saat itu belum memiliki yang diminta oleh Mangkubumi.

Pada bulan April 1755 Hamengkubuwono I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogiri. Oleh karena itu, ibu kota baru dari Kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarto Hadiningrat, atau disingkat Yogyakarta.

Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwono I pindah dari Kebanaran menuju Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu nama Yogyakarta sebagai ibu kota kerajaannya menjadi lebih populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwono I kemudian lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.

Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha ingin mengembalikan kerajaan warisan Sultan Agung menjadi utuh kembali. Surakarta memang dipimpin Pakubuwono III yang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwono I sulit diwujudkan, apalagi masih ada kekuatan ketiga yaitu Mangkunegoro I yang juga tidak senang dengan Kerajaan yang terpecah, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.

Pada tahun 1788 Pakubuwono IV naik takhta. Ia merupakan raja yang jauh lebih cakap daripada ayahnya. Pakubuwono IV sebagai penguasa memiliki kesamaan dengan Hamengkubuwono I. Pakubuwono IV juga ingin mengembalikan keutuhan Mataram. Dalam langkah politiknya Pakubuwono IV mengabaikan Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran Mangkubumi, hal yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengkubuwono I. Setelah pengangkatan saudaranya menjadi Pangeran, Pakubuwono IV juga tidak mengakui hak waris tahta putra Mahkota di Yogyakarta. Pihak VOC resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang terbuka bisa menyebabkan keuangan VOC terkuras kembali.

Pakubuwono IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tidak mau mencabut nama “Mangkubumi” untuk saudaranya. Memang dalam Perjanjian Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kasultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Pakubuwono IV ini dapat dimengerti bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung Jawab Kerajaan.

Sikap konfrontatif Pakubuwono IV ini beriring dengan munculnya penasehat penasehat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali.

Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias Mas Said) kembali bekerja sama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwono IV di Surakarta karena Pakubuwono IV memiliki penasehat penasehat Spiritual yang membuat khawatir VOC. Pakubuwono IV akhirnya menyerah untuk membiarkan penasehat penasehat spiritualnya dibubarkan oleh VOC. Ini adalah kerja sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah bersatunya penasehat spiritual dengan golongan Ningrat yang merupakan ancaman potensial pemberontakan kembali.

Hamengkubuwana I pernah berupaya agar putranya dikawinkan dengan putri Pakubuwono III raja Surakarta dengan tujuan untuk bersatunya kembali Mataram namun gagal. Pakubuwono IV yang merupakan waris dari Pakubuwono III lahir untuk menggantikan ayahnya.

Hamengkubuwono I meninggal dunia tanggal 24 Maret 1792. Kedudukannya sebagai raja Yogyakarta digantikan putranya yang bergelar Hamengkubuwono II.

Hamengkubuwono I adalah peletak dasar-dasar kesultanan Yogyakarta. Ia dianggap sebagai raja terbesar dari keluarga Mataram sejak Sultan Agung. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah berhasil mengungguli Surakarta. Angkatan perangnya bahkan lebih besar daripada jumlah tentara VOC di Jawa.

Hamengkubuwono I tidak hanya seorang raja bijaksana yang ahli dalam strategi berperang, namun juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta. Taman Sari di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di laut selatan dan menjadi ahli bangunan Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis.

Meskipun permusuhannya dengan Belanda berakhir damai namun bukan berarti ia berhenti membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda untuk mendirikan sebuah benteng di lingkungan Keraton Yogyakarta. Ia juga berusaha keras menghalangi pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di jawa (sejak 1619 – 1799).

Rasa benci Hamengkubuwono I terhadap penjajah asing ini kemudian diwariskan kepada Hamengkubowono II, Raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebihan jika pemerintah Repuplik Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwono I sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta.

Sri Sultan Hamengkubuwono II

Nama aslinya adalah Raden Mas Sundoro, putra Hamengkubuwono I, Ia dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 saat ayahnya masih menjadi Pangeran Mangkubumi dan melakukan pemberontakan terhadap Surakarta dan VOC di bumi Sukowati. Ketika kedaulatan Hamengkubuwono I mendapat pengakuan dalam Perjanjian Giyanti 1755, Mas Sundoro juga ikut diakui sebagai Adipati Anom.

Pada tahun 1774 (atau tahun jawa 1700) terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta  dan Kasunanan Surakarta akibat mitos akhir abad, bahwa akan ada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundoro menulis kitab Serat Suryaraja yang berisi ramalan bahwa mitos akhir abad akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut sampai saat ini dikeramatkan sebagai salah satu pusaka Keraton Yogyakarta.

Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta sebagai Hamengkubuwono II pada bulan Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan cita-cita. Para pejabat senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan dan diganti pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I diganti dengan cucunya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru merugikannya, karena Danureja II setia kepada Belanda, berbeda dengan rajanya.

Hamengkubuwono II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam keadaan bangkrut dan bobrok. Organisasi ini akhirnya dibubarkan oleh pemerintah negeri Belanda akhir tahun 1799.

Sejak tahun 1808 yang menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda (pengganti Gubernur Jendral VOC adalah Herman Daendels yang anti feodalisme. Ia menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan raja-raja jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen). Hamengkubuwono II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwono IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan Yogyakarta.

Hamengkubuwono II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang dekat dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Notodiningrat putra Pangeran Noto Kusumo (saudara Hamengkubuwono II). Kemudian Hamengkubuwono II juga merestui pemberontakan besanya, yaitu Raden Ronggo  Prawirodirjo I bupati Madiun yang menentang penjajahan Belanda. Putera KPR Prawirodirjo I, Raden Ronggo Prawirosentiko Bupati Toenggoel menikah dengan puteri Hamengkubuwono II dari isteri ampeyannya BMA Yati. Raden Ronggo  Prawirodirjo I adalah juga paman Hamengkubuwono II. Ibu Hamengku Buwono II Kanjeng Ratu Tegalraya adalah adik KPR Prawirodirjo bapak mereka adalah Kyai Ageng Derpoyudo.

Belanda berhasil menumpas Raden Ronggo Prawirodirjo dan melimpahkan beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwono II. Hal ini menyebabkan keributan antara kedua pihak. Pada bulan Desember 1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan Hamengkubuwono III, menangkap  Pangeran Noto Kusumo dan Pangeran  Notodiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.

Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara direbut oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwono II untuk kembali menjadi Raja, dan menurunkan Hamengkubuwono III sebagai Putera Mahkota kembali.

Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu letnan gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.

Pakubuwono IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwono II agar berani memerangi Inggris. Surat-menyurat antara kedua Raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegara menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwono II dibuang ke Pulau Penang, sedangkan Pakubuwono IV dirampas sebagian wilayahnya.

Hamengkubuwono III kembali diangkat sebagai raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkat sebagai Adipati Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.

Pada tahun 1825 terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwono III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa sejak tahun 1816). Saat itu Raja yang bertakhta di Yogyakarta  adalah Hamengkubuwono V.

Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwono II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwono II kembali bertakhta tahun 1826, sedangkan Hamengkubuwono V diturunkan oleh Belanda. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Rakyat tetap saja menganggap Pangeran Diponegoro sebagai Raja mereka.

Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil sebagai Sultan Sepuh) akhirnya meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1828. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwono V.

Sri Sultan Hamengkubuwono III

Beliau (lahir di Yogyakarta, 20 Februari 1769 – meninggal di Yogyakarta, 3 November 1814 pada umur 45 tahun) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah dalam dua periode, yaitu tahun 1810 – 1811 dan 1812 – 1814.

Nama aslinya adalah Raden Mas Surojo, putra Hamengkubuwono II yang lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Pada bulan Desember 1810 terjadi serbuan tentara Belanda terhadap Keraton Yogyakarta sebagai kelanjutan dari permusuhan antara Hamengkubuwono II melawan Herman Daendels.

Hamengkubuwono II diturunkan secara paksa dari takhta. Herman Daendels kemudian mengangkat Raden Mas Surojo sebagai Hamengkubuwana III berpangkat regent, atau wakil Raja. Ia juga menangkap dan menahan Pangeran Notokusumo saudara Hamengkubuwono II di Cirebon.

Pada tahun 1811 Inggris berhasil merebut jajahan Belanda terutama Jawa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hamengkubuwono II untuk naik takhta kembali dan menurunkan Hamengkubuwono III sebagai Putra Mahkota. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Desember 1811.

Kemudian terjadi permusuhan antara Hamengkubuwono II melawan Thomas Raffless, yaitu kepala pemerintahan Inggris di Jawa. Pertempuran terjadi di Keraton Yogyakarta, di mana Thomas Raffles membuang Hamengkubuwono II ke Pulau Penang, dan mengangkat kembali Hamengkubuwono III sebagai raja.

Akibat pertempuran tersebut, Kesultanan Yogyakarta harus menerima konsekuensi, antara lain:

Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya.
Angkatan perang Yogyakarta diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan keraton saja.
Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo yang berjasa mendukung Thomas Raffles, dan diangkat menjadi Paku Alam I.
Pemerintahan Hamengkubuwono III berakhir pada saat meninggalnya, yaitu tanggal 3 November 1814. Ia digantikan putranya yang masih anak-anak sebagai Hamengkubuwono IV. Sementara itu putra tertuanya yang lahir dari selir bernama Pangeran Diponegoro kelak melancarkan perang terhadap Belanda pada tahun 1825 – 1830.‎

Sri Sultan Hamengkubuwono IV

Beliau (lahir 3 April 1804 – meninggal 6 Desember 1822 pada umur 18 tahun) adalah Raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1814 – 1822.

Nama aslinya adalah Raden Mas Ibnu Jarot, putra Hamengkubuwono III yang lahir dari permaisuri tanggal 3 April 1804. Ia naik takhta menggantikan ayahnya pada usia sepuluh tahun, yaitu tahun 1814. Karena usianya masih sangat muda, Paku Alam I ditunjuk sebagai wali pemerintahannya.

Pada pemerintahan Hamengkubuwono IV, kekuasaan Patih Danurejo IV semakin merajalela. Ia menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di Keraton. Keluarga Danurejan ini terkenal tunduk pada Belanda. Mereka juga mendukung pelaksanaan sistem Sewa Tanah untuk swasta, yang hasilnya justru merugikan rakyat kecil.

Pada tanggal 20 Januari 1820 Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali Raja. Pemerintahan mandiri Hamengkubuwono IV itu hanya berjalan dua tahun karena ia tiba-tiba meninggal dunia pada tanggal 6 Desember 1822 saat sedang bertamasya. Oleh karena itu, Hamengkubuwono IV pun mendapat gelar anumerta Sultan Seda ing Pesiyar.

Kematian Hamengkubuwono IV yang serba mendadak ini menimbulkan desas-desus bahwa ia tewas diracun ketika sedang bertamasya. Putra Mahkota yang belum genap berusia tiga tahun diangkat sebagai Hamengkubuwono V.


Sri Sultan Hamengkubuwono V

Beliau lahir: 24 Januari 1820 – meninggal tahun 1855 adalah sultan kelima Kesultanan Yogyakarta, yang berkuasa tanggal 19 Desember 1823 – 17 Agustus 1826, dan kemudian dari 17 Januari 1828 – 5 Juni 1855 yang diselingi oleh pemerintahan Hamengkubuwono II karena ketidakstabilan politik dalam Kesultanan Yogyakarta saat itu.

Nama asli Sri Sultan Hamengkubuwono V adalah Raden Mas Gathot Menol, putra Hamengkubuwono IV yang lahir pada tanggal 24 Januari 1820. Sewaktu dewasa ia bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia juga pernah mendapat pangkat Letnan Kolonel tahun 1839 dan Kolonel tahun 1847 dari pemerintah Hindia Belanda. Melihat tahun pemerintahannya dimulai tahun 1823 sedang lahirnya adalah tahun 1820 maka Sultan Hamengkubuwono V waktu permulaan bertahta berumur 3 (dua) tahun.

Hamengkubuwono V sendiri mendekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Hindia Belanda yang berada di bawah Kerajaan Belanda, untuk melakukan taktik perang pasif, dimana ia menginginkan perlawanan tanpa pertumpahan darah. Sri Sultan Hamengkubuwono V mengharapkan dengan dekatnya pihak keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Belanda akan ada kerjasama yang saling menguntungkan antara pihak keraton dan Belanda, sehingga kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.

Kebijakan Hamengkubuwono V tersebut ditanggapi dengan tentangan oleh beberapa abdi dalem dan adik Sultan Hamengkubuwono V sendiri, yaitu Raden Mas Mustojo (nantinya Hamengkubuwono VI). Mereka menganggap tindakan Sultan Hamengkubuwono V adalah tindakan yang mempermalukan Keraton Yogyakarta sebagai pengecut, sehingga dukungan terhadap Sultan Hamengkubuwono V pun berkurang dan banyak yang memihak adik sultan untuk menggantikan Sultan dengan Raden Mas Mustojo Keadaan semakin menguntungkan Raden Mas Mustojo setelah ia berhasil mempersunting putri Kesultanan Brunai dan menjalin ikatan persaudaraan dengan Kesultanan Brunai. 

Kekuasaan Sultan Hamengkubuwono V semakin terpojok setelah timbul konflik di dalam tubuh keraton yang melibatkan istri ke-5 Sultan sendiri, Kanjeng Mas Hemawati. Sri Sultan Hamengkubuwono V hanya mendapatkan dukungan dari rakyat yang merasakan pemerintahan yang aman dan tenteram selama masa pemerintahannya.

Sri Sultan Hamengkubuwana V wafat pada tahun 1855 dalam sebuah peristiwa yang hanya sedikit diketahui orang, peristiwa itu dikenal dengan wereng saketi tresno (“wafat oleh yang dicinta”), Sri Sultan meninggal setelah ditikam oleh istri ke-5-nya, yaitu Kanjeng Mas Hemawati, yang sampai sekarang tidak diketahui apa penyebab istrinya berani membunuh Sri Sultan suaminya.

Tidak lama setelah Sultan Hamengkubuwono V meninggal, tiga bulan kemudian Permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono V pun meninggal setelah jatuh sakit semenjak suaminya meninggal dan sultan digantikan oleh adiknya Raden Mas Mustojo.
Sri Sultan Hamengkubuwono VI

Beliau lahir: 1821– wafat: 29 Juli 1877) adalah Sultan ke-enam Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1855 – 1877. Dia menggantikan kakaknya, Hamengkubuono V yang meninggal di tengah ketidakstabilan politik dalam tubuh Keraton Yogyakarta.

Nama asli Sultan Hamengkubuwono VI adalah Raden Mas Mustojo, putra Hamengkubuono IV yang lahir pada tahun 1821.‎

Hamengkubuwono VI naik takhta menggantikan kakaknya, yaitu Hamengkubuono V pada tahun 1855, setelah Hamengkubuwono V meninggal secara misterius.Dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono  Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo Kholifatulloh ingkang Jumeneng Kaping Enem“. ‎

Pada masa pemerintahannya terjadi gempa bumi yang besar yang meruntuhkan sebagian besar Keraton Yogyakarta, Taman Sari, Tugu Golong Gilig, Masjid Gedhe (masjid keraton), Lodji Kecil (sekarang Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta) serta beberapa bangunan lainnya di Kesultanan Yogyakarta.

Pada masa Hamengkubuwono V, Raden Mas Mustojo adalah seorang penentang keras kebijakan politik perang pasif kakaknya yang menjalankan hubungan dekat dengan pemerintahan Hindia belanda yang ada di bawah Kerajaan Belanda. Namun setelah kakaknya meninggal dan dia dinobatkan menjadi Hamengkubuwono VI, semasa pemerintahannya dia justru melanjutkan kebijakan dari kakaknya yang sebelumnya dia tentang keras.

Semasa pemerintahan Hamengkubuwono VI kemudian mulai timbul pemberontakan-pemberontakan yang tidak mengakui masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VI, namun pemberontakan-pemberontakan tersebut dapat diredam dan dibersihkan. Hal ini berkat kepemimpinan dan ketangguhan Danuredjo V, patih Keraton Yogyakarta saat itu. Hubungan dengan berbagai kerajaan pun terjalin kuat pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VI, apalagi setelah dia menikah dengan putri Kesultanan Brunai.

Walaupun sempat menimbulkan beberapa sengketa dengan kerajaan-kerajaan lain, tercatat bahwa Sultan Hamengkubuwono VI dapat mengatasinya dengan arif bijaksana. Tapi lambat laun hubungan dengan pemerintahan Hindia-Belanda agak mulai menuai konflik tertama karena Keraton Yogyakarta kala itu banyak menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang menjadi musuh pemerintah Hindia-Belanda dan Kerajaan Belanda.

Pemerintahan Hamengkubuwono VI berakhir ketika ia meninggal dunia pada tanggal 20 Juli 1877. Ia digantikan putranya sebagai Sultan selanjutnya bergelar Hamengkubuwono VII.

Sri Sultan Hamengkubuwono VII

Beliau lahir tahun 1839 – meninggal tahun 1931 adalah Raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1877– 1920. Ia dikenal juga dengan sebutan Sultan Ngabehi atau Sultan Sugih.

Nama aslinya adalah Raden Mas Murtejo, putra Hamengkubuwono VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Ia naik takhta menggantikan ayahnya sejak tahun 1877.Dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono  Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo Kholifatulloh ingkang Jumeneng Kaping Pitu“. ‎

Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar Rp 200.000,00. Hal ini mengakibatkan Sultan sangat kaya sehingga sering dijuluki Sultan Sugih.

Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda.

Pada tanggal 29 Januari 1920 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia 81 tahun memutuskan untuk turun takhta dan mengangkat Putra Mahkota sebagai penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya karena Putera Mahkota (GRM. Akhodiyat, putra Hamengkubuwno VII nomor 14) yang seharusnya menggantikan tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya.

Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak setuju dengan Putera Mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu menentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia.

Biasanya dalam pergantian takhta Raja kepada Putera mahkota ialah menunggu sampai sang Raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII masih hidup. Bahkan menurut cerita masa lalu sang ayah diasingkan oleh anaknya pengganti Putera Mahkota yang wafat ke Pesanggrahan Ngambarrukmo di luar Keraton Yogyakarta.

Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan Kerajaan. Setelah turun takhta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan “Tidak pernah ada raja yang meninggal di keraton setelah saya” yang artinya masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua Raja setelah dirinya yang meninggal di luar keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII meninggal dunia di tengah perjalanan ke luar kota dan Hamengkubuwono IX meninggal di Amerika Serikat. Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di Pesanggrahan Ngambarrukmo pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Imogiri.

Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada Belanda untuk madeg Pandito (menjadi Guru Spiritual dan Ulama) di Pesanggrahan Ngambarrukmo (sekarang Ambarrukmo). Sampai saat ini bekas pesanggrahan itu masih ada dan di sebelah timurnya dulu pernah berdiri Hotel Ambarrukmo yang sekarang sudah tidak ada lagi. ( Tapi sekarang sudah beroperasi lagi).
Sri Sultan Hamengkubuwono VIII

Beliau lahir di Kraton Yogyakarta Hadiningrat, 3 Maret 1880 – meninggal di Kraton Yogyakarta Hadiningrat, 22 Oktober 1939 pada umur 59 tahun adalah salah seorang Raja yang pernah memimpin di Kesultanan Yogyakarta tahun 1921-1939 ia bernama asli GRM Sujadi. 

Dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta pada tanngal 8 Februari 1921. Dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono  Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo Kholifatulloh ingkang Jumeneng Kaping Wolu“. 

Pada masa Hamengkubuwono VIII, Kesultanan Yogyakarta mempunyai banyak dana yang dipakai untuk berbagai kegiatan termasuk membiayai sekolah-sekolah kesultanan. Putra-putra Hamengkubuwono VIII banyak disekolahkan hingga perguruan tinggi, banyak diantaranya di Belanda. Salah satunya adalah GRM Dorojatun, yang kelak bertahta dengan gelar Hamengkubuwono IX, yang bersekolah di universitas Leiden.
Pada masa pemerintahannya, beliau banyak mengadakan rehabilitasi bangunan kompleks Keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah bangsal Pagelaran yang terletak di paling depan sendiri (berada tepat di selatan Alun-alun utara Yogyakarta). Bangunan lainnya yang rehabilitasi adalah tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe.

Beliau meninggal pada tanggal 22 Oktober 1939 di kereta api di daerah Wates, Kulon Progo dalam perjalanan pulang dari Jakarta untuk menjemput GRM Dorojatun dari negeri Belanda. GRM Dorojatun mendadak dipanggil pulang yang belum sempat menyelesaikan sekolahnya. Di Batavia Sultan menyerahkan Keris Kyai Ageng Joko Piturun kepada GRM Dorojatun sebagai tanda suksesi Kerajaan, sekaligus sebagai isyarat bahwa GRM Dorojatun lah yang kelak akan menggantikan sebagai Sultan.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX

Beliau lahir di Yogyakarta, 12 April 1912 – meninggal di Wasington, DC, Amerika Serikat, 2 Oktober 1988 pada umur 76 tahun. Beliau  adalah salah seorang Sultan yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta (1940-1988) dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama setelah kemerdekaan Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Ia juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.

Beliau Lahir di Yogyakarta dengan nama Bendoro Raden Mas Darodjatun di Ngasem, Hamengkubuwono IX adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Di umur 4 tahun Hamengkubuwono IX tinggal pisah dari keluarganya. Dia memperoleh pendidikan di “HIS” di Yogyakarta, “Mulo” di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930-an beliau berkuliah di Rijkuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden), Belanda (“Sultan Henkie”).

Sri Sultan Hamengkubuwono IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono  Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo Kholifatulloh ingkang Jumeneng Kaping Songo“. 

Beliau merupakan Sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong Kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar pemerintah RI memberi status “Khusus” bagi Yogyakarta dengan predikat “Istimewa”. Sebelum dinobatkan, Sultan yang berusia 28 tahun bernegosiasi secara alot selama 4 bulan dengan diplomat senior Belanda Dr. Lucien Adam mengenai otonomi Yogyakarta. Di masa Jepang, Sultan melarang pengiriman romusha dengan mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram. Sultan bersama Paku Alam IX adalah penguasa lokal pertama yang menggabungkan diri ke Republik Indonesia. Sultan pulalah yang mengundang Presiden untuk memimpin dari Yogyakarta setelah Jakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda I.

Peranan Sultan Hamengku Buwono  IX dalam Serangan umum 1 Maret oleh TNI masih tidak singkron dengan versi Soeharto. Menurut Sultan, beliaulah yang melihat semangat juang rakyat melemah dan menganjurkan serangan umum. Sedangkan menurut Pak Harto, beliau baru bertemu Sultan malah setelah penyerahan kedaulatan. Sultan menggunakan dana pribadinya (dari istana Yogyakarta) untuk membayar gaji pegawai Republik yang tidak mendapat gaji semenjak Agresi Militer ke-2.

Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai Wakil Presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa malari dan hanyut pada KKN.

Beliau ikut menghadiri perayaan 50 tahun kekuasaan Ratu Wilhelmina di Amsterdam, Belanda pada tahun 1938

Minggu malam 2 Oktober 1988, Beliau  wafat di George Wasington university Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di pemakaman para Sultan Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Indonesia.

Sultan Hamengkubuwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988.

JABATAN

Kepala dan Gubernur Militer DI Yogyakarta (1945)
Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947)
Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 – 11 November 1947 dan 11 November 1947 – 28 Januari 1948)
Menteri Negara pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 – 4 Agustvs 1949)
Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949)
Menteri Pertahanan pada masa RIS (20 Desember 1949 – 6 September 1950)
Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951)
Ketua Dewan Kurator universitas Gajah Mada Yogyakarta (1951)
Ketua Dewan Pariwisata Indonesia (1956)
Ketua Sidang ke 4 EAFE (Economic Commision for Asia and the Far East) dan Ketua Pertemuan Regional ke 11 Panitia Konsultatif Colombo Plan (1957)
Ketua Federasi ASEAN Games (1958)
Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (5 Juli 1959)
Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan Pariwisata (1963)
Menteri Koordinator Pembangunan (21 Februari 1966)
Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi 11 Maret 1966)
Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1968)
Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia/KONI (1968)
Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pasific Area Travel Association (PATA) di California, Amerika Serikat (1968)
Wakil Presiden Indonesia (25 Maret 1973 – 23 Maret 1978)
Sri Sultan Hamengku Buwono  IX diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia tanggal 8 Juni 2003 oleh presiden Megawati Soekarnoputri.‎

Sri Sultan Hamengkubuwono X

Beliau lahir di Yogyakarta, 2 April 1946, umur 69 tahun) adalah Raja Kasultanan Yogyakarta sejak tahun 1989 dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 1998.

Hamengkubuwono X lahir dengan nama BRM (Bandoro Raden Mas) Herdjuno Darpito. Setelah dewasa bergelar KGPH (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo) Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra mahkota diberi gelar KGPAA (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom) Hamengku Negoro  Sudibyo Rojoputro Nalendro ing Mataram. Sri Sultan Hamengkubuwono X adalah seorang lulusan Fakultas Hukum UGM.

Penobatan Hamengkubuwono X sebagai Raja dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) dengan gelar resmi Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono  Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo  Khalifatulloh ingkang Jumeneng Kaping Sadoso.

Hamengkubuwono X aktif dalam berbagai organisasi dan pernah memegang berbagai jabatan diantaranya adalah ketua umum Kadinda DIY, ketua DPD Golkar DIY, ketua KONI DIY, Dirut PT Punokawan yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi, Presiden Komisaris PG Madukismo, dan pada bulan Juli 1966 diangkat sebagai Ketua Tim Ahli Gubernur DIY. Pada 2010, bersama dengan Surya Paloh, Sri Sultan Hamengkubuwono X mencetuskan pendirian Nasional Demokrat.

Setelah Paku Alam VIII wafat, dan melalui beberapa perdebatan, pada 1998 beliau ditetapkan sebagai Gubernur DI Yogyakarta dengan masa jabatan 1998-2003. Dalam masa jabatan ini Hamengkubuwono X tidak didampingi Wakil Gubernur. Pada tahun 2003 beliau ditetapkan lagi, setelah terjadi beberapa pro-kontra, sebagai Gubernur DI Yogyakarta untuk masa jabatan 2003-2008. Kali ini beliau didampingi Wakil Gubernur yaitu Paku Alam IX.

Pada masa kepemimpinannya, Yogyakarta mengalami gempa bumi yang terjadi pada bulan Mei 2006 dengan skala 5,9 sampai dengan 6,2 Skala Richter yang menewaskan lebih dari 6000 orang dan melukai puluhan ribu orang lainnya.

Pada peringatan hari ulang tahunnya yang ke-61 di Pagelaran Keraton 7 April 2007, ia menegaskan tekadnya untuk tidak lagi menjabat setelah periode jabatannya 2003-2008 berakhir. Dalam P‎isowanan Agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga, ia mengaku akan mulai berkiprah di kancah Nasional. Ia akan menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk kepentingan Bangsa dan Negara Indonesia.

Pada 27 Desember 2011, ia menerima gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) dari Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Gelar tersebut karena kiprahnya dalam seni dan budaya, terutama seni pertunjukan tradisi dan kontemporer sejak 1989.

Dalam suatu kesempatan, ia pernah mengatakan, keberpihakan pada rakyat itu tetap harus dilakukan sebagai suatu panggilan. “Saya harus membentuk jati diri untuk tumbuh dan mengembangkan wawasan untuk keberpihakan itu sendiri sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan. Selain itu, masyarakat juga agar mengetahui setiap gerak langkah saya dalam membentuk jati diri, dan rakyat diberi kesempatan untuk melihat bener atau tidak, mampu atau tidak, sependapat atau tidak, dan sebagainya”, ujuarnya.

Keberpihakannya pada rakyat ini memang terbukti. Pada 14 Mei 1998, ketika gelombang demontrasi mahasiswa semakin membesar, Sultan mengatakan, “Saya siap turun ke jalan”. Ia benar-benar tampil dan berpidato di berbagai tempat menyuarakan pembelaan pada rakyat, sambil berpesan “Jogja harus menjadi pelopor gerakan reformasi secara damai, tanpa kekerasan”.Aksi turun ke jalan yang dilakukan Sri Sultan HB X itu bukan tanpa alasan. “Jika pemimpin tidak benar, kewajiban saya untuk mengingatkan. Karena memang kebangetan (keterlaluan), ya tak pasani sesasi tenan (ya saya puasai sebulan penuh)”, katanya.

Puasa itu dimulai 19 April dan berakhir 19 Mei 1998 saat Sri Sultan HB X dan Sri Paku Alam VIII tampil bersama menyuarakan “Maklumat Yogyakarta”, yang mendukung gerakan reformasi total dan damai. Itu yang dia sebut ngelakoni. Pada akhir puasa, ia mengaku mendapat isyarat kultural “Soeharto jatuh, manakala omah tawon sekembaran dirubung laron sak pirang-pirang” (sepasang sarang tawon dikerumuni kelekatu dalam jumlah sangat banyak).
“Bukan maksud saya mengabaikan peran mahasiswa. Saya hanya mendukung gerakan itu dengan laku kultural. Itu maksud saya”. Memang, sehari setelah banjir massa yang jumlahnya sering disebut lebih dari sejuta manusia di Alun-alun Utara Jogjakarta—mengikuti Aksi Reformasi Damai dengan mengerumuni sepasang berigin berpagar (ringin kurung)—Soeharto pun lengser.

Sri Sultan HB X dengan Keraton Jogjakarta-nya memang fenomenal. Kedekatannya dengan rakyat, dan karena itu juga kepercayaan rakyat terhadapnya, telah menjadi ciri khas yang mewarisi hingga kini. Lihat saja, misalnya, pada 20 Mei 1998, di bawah reksa Sultan, aparat keamanan berani melepas mahasiswa ke alun-alun utara. Sebelum itu hampir setiap hari mahasiswa bersitegang melawan aparat keamanan untuk keluar dari kampus.
Di pagi hari yang cerah di hari peringatan Kebangkitan Nasional 1998 itu, mahasiswa berbaris dengan amat tertib menyuarakan “mantra” sakti reformasi menuju Alun-alun Utara. Mereka pergi untuk mendengarkan maklumat yang akan dibacakan sebagai semacam pernyataan politik Sri Sultan.

Di era reformasi, bersama Gus Dur, Megawati dan Amien Rais, Sultan Hamengku Buwono X menjadi tokoh yang selalu diperhitungkan. Legitimasi mereka berempat sebagai tokoh-tokoh yang dipercaya rakyat bahkan melebihi legitimasi yang dimiliki lembaga formal seperti DPR. Mereka berempat adalah deklarator Ciganjur, yang lahir justru ketika MPR sedang melakukan bersidang. Mereka berempat, plus Nurcholis Madjid dan beberapa tokoh nasional lain, diundang Pangab Jenderal TNI Wiranto untuk ikut mengupayakan keselamatan bangsa, setelah pristiwa kerusuhan di Ambon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar