Minggu, 09 Agustus 2015

Tokoh Filsafat Islam Dan Pemikirannya

Filsafat Islam dan tokoh filsafat Islam Tentu hal ini sangat menarik untuk kita bahas dan pengupas dengan seksama guna menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang filsafat, terutama filsafat Islam. Filsafat merupakan bagian dari hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan filsafat Islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian, manusia dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis serta dasar-dasar atau pokok-pokok pemikirannya dikemukakan oleh para filosof Islam.

Tokoh-tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya

A.    Al-Kindi

Sejarah Hidup

Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu al-Shabbah ibnu ‘Imron ibnu Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais al-Kindi. Kindah merupakan suatu nama  kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar kesusasteraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.

Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H dari keluarga kaya dan terhormat. Ayahnya, Ishaq ibnu Al- Shabbah, adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Ar-Rasyid. Al-kindi sendiri mengalami masa pemerintahan lima khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin, Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, Al- Wasiq, dan Al-Mutawakkil.

Dalam hal pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi  Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad, ibukota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun mempelajari berbagai  disiplin ilmu. Oleh karena itu tidak heran jika ia dapat menguasai ilmu astronomi,ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik meteorologi,, optika, kedokteran, matematika, filsafat, dan politik. Penguasaannya terhadap filsafat dan ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran filosof terkemuka. Karena itu pulalah ia  dinilai pantas menyandang gelar Faiasuf al-‘Arab ( filosof berkebangsaan Arab).

Filsafat atau Pemikirannya

Bahwa filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang yang berfikir. Al-Kindi meninjau filsafat secara internal dan eksternal,s ecara internal mengikuti pendapat filosof-filosof besar tentag arti kata filsafat. Secara eksternal memberikan definisi filsafat.
Menurut Al-Kindi, filsafat ialah ilmu tentang hakekat kebenaran segala sesuatu menurut kesanggupan manusia, yang mencakup ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah), semua cara meraih luas lahat dan menghindar dari madharat. Tujuan seseorang filsafat bersifat teoritis, yaitu mengetahui kebenaran praktis dan mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Semakin dekat kepada kebenaran, semakin dekan pula kepada kesempurnaan.

Talfiq

Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya filsafat adalah pengetahuan yang benar ( knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan  dari keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas tentang Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya. Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.

Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping itu, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita harus menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya. Sebab, “tidak ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri”. Karena itu tidak tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang yang mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika diibaratkan maka orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan orang yang memperdagangkan agama, dan pada akikatnya orang itu tidak lagi beragama.

Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini menurut Al-Kindi, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena hal itu dapat dilakukan ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaaan antara keduanya, yaitu:

1)      Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.

2)      Jawaban filsafat menunjukan ketidakpastian ( semu ) dan memerlukan berpikir atau perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an memberi jawaban secara pasti dan menyakinkan dengan mutlak.

3)      Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan.

Walaupun Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak mendewa-dewakan akal.

Jiwa

Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.

Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato ketimbang pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun Al-Kindi tidak menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan oleh Tuhan.

3.      Moral

Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates. Dalam kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi prihatin kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah Socrates.

Filsafat Fisiki

Al Kindi mengatakan bahwa ala mini dalah illat-Nya (sebab) yang jauh dan menjadikan sebagian illat bagian yang lain. Oleh karena itu, ala mini asalnya tidak ada, kemudian menjadi ada karena diciptakan oleh Tuhan. Dan karena pula, ia tidak dapat membenarkan qadimnya alam.

Al Kindi mengatakan bahwa benda-benda langit mempunyai kehidupan serta mempunyai indra-indra yaitu indra penglihatan dan indra pendengaran saja sebagai indra yang diperlakukan untuk berfikir dan membedakan. Oleh karena itu, benda-benda langit adalah benda-benda yang berfikir dan bisa membedakan tiap-tiap gerak berarti merupakan bilangan masa benda, oleh karena itu gerak hanya terdapat pada apa yang mempunyai zaman. 

Berdasarkan hal ini, gerak itu ada, apabila ada benda, karena tidak mungkin ada benda jika semula diam kemudian bergerak. Sebab benda alam ini adakalanya baru/qodim. Wujudnya dari tiada adalah kejadian, sedangkan kejadian merupakan salah satu macam gerak. Jadi, barunya benda alam adalah gerakan, maka baru dan gerak selalu bergandengan. Jika benda itu qodim dan diam mungkin bisa bergerak, kemudian bergerak sesudah itu. Hal ini berarti bahwa sesuatu yang azali mengalami perubahan, akan tetapi yang qodim tidak mungkin mengalami perubahan,

Metafisika

Pembicaraan dalam soal ini meliputi:
a.       Hakikat Tuhan
Tuhan adalah wujud yang hak (benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian ada, ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada akan selalu ada.
b.      Bukti-bukti wujud Tuhan
Beliau menggunakan jalan, yaitu
1)      Barunya alam
Alam ini baru dan ada permulaan waktunya, karena alam terbatas. Tidak mungkin ada benda yang ada dengan sendirinya
2)      Keanekaragaman dalam wujud
Al Kindi mengatakan bahwa dalam alam ini baik alam indrawi maupun alam lain yang menyamainya, tidak mungkin ada keragaman tanpa keseragaman
3)      Kerapian alam
Yaitu kerapian alam dan pemeliharaan tuhan terhadapnya.

Sifat-Sifat Tuhan

Di antara sifat-sifat Tuhan ialah keesaan, suatu sifat yang paling khas bagi-Nya. Tuhan itu satu zat-Nya dan satu hitungan. Karena itu pula sifat Tuhan ialah yang Maha Tahu, Yang Maha Berkuasa, Yang Maha Hidup dan seterusnya.

Kesimpulannya ialah bahwa Tuhan adalah sebab pertama (first Cause) dimana wujud-Nya bukan karena sebab yang lain. Ia adalah zat yang menciptakan, tetapi bukan diciptakan, menciptakan segala sesuatu dari tiada. Ia adalah zat yang menyempurnakan, tetapi bukan disempurnakan.

B.     Al-Farabi

Biografi Beliau

Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr. Ia lahir di Wasij, Distrik Farab (sekarang kota Atrar), Turkistan pada 257 H. Pada tahun 330 H, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah al-Hamdan, sultan dinasti Hamdan di Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang sangat besar, tetapi Al-Farabi memilih hidup sederhana dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.

Menurut Massiqnon, orientaslis Perancis, al Farabi adalah seorang filsafat islam pertama dengan penuh arti kata, sebelum beliau memang al Kindi telah membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia islam. Akan tetapi ia tidak menciptakan sistem (madzhab) filsafat tertentu, sebaliknya al Farabi telah menciptakan suatu sistem filsafat yang lengkap dan memainkan peran penting dalam dunia islam, seperti peranan yang dimiliki plotinus bagi dunia barat, begitu juga al Farabi menjadi guru bagi Ibnu Sina dan filsafat-filsafat islam lain yang datang sesudahnya. Oleh karena itu ia mendapat gelar “Guru Kedua” (Al Mu’allim Ats Tsani) sebagai kelanjutan dari aristoteles yang mendapat gelar “Guru Pertama” (Al Mu’allim Al Awwal).

Di antara karangan-karangannya adalah :

a.       aghradhu ma ba’da ath-thabi’ah
b.      Al-Jam’u baina Ra’yai Al Hakimain (mempertemukan pendapat kedua filsafatm maksudnya Plato dan Aristoteles)
c.       Tahsil as sa’adah (mencari kebahagiaan)
d.      ‘Uyun ul-Masail (pokok-pokok persoalan)
e.       Arau ahl-il madinah al fadhillah (pikiran-pikiran penduduk kota utama negeri utama)
f.       Il sha’u al ulum (statistik ilmu)
Dalam buku terakhir ini al Farabi membicarakan macam-macam ilmu (bagian-bagiannya, yaitu ilmu bahasa, ilmu mantik, ilmu matekatika, fisika, ketuhanan, fiqih, perkotaan dan ilmu kalam)


Pemikiran Al-Farabi

a)      Pemaduan Filsafat

Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran  filsafat yang berkembang sebelumnya terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. Karena itu ia dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam hal matematika, ia dipengaruhi oleh Plotinus.

Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah idea, karena apabila hal itu diterima berarti alam realitas ini tidak lebih dari alam khayal atau sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea merupakan satu hal yang berdiri sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya. Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan pikiran antara kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari tiga kemungkinan:

1)      Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar

2)      Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara keduanya terdapat perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.

3)      Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal definisi keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara mutlak.

Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya mengacu kepada kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu, kendatipun posisi dan cara memperoleh kebenran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari kebenaran. Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada hakikatnya, dan untuk menghindari itu digunakab ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsafat Yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak berarti Al-farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran Islam mutlak kebenarannya.

b)     Jiwa

Adapun  jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.

Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan.

c)      Politik

Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara’ al-Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang Negara Utama) banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena kepalalah (otak) segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan  kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara. 

Menurut Al-Farabi yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya sebagai mana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut. Pengusa ini harus orang yang lebih unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada. Disamping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki kualitas-kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta kesehatan jasmani dan kefasihan berbicara.

Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi kepala negara seorang saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat seorang pun yang memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut, pemimpin negara dapat dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.

Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal sebagaimana halnya konsepsi yang ditawarkan oleh Plato. Hal ini dimungkinkan, Al-Farabi tidak pernah memangku suatu jabatan pemerintahan, ia lebih menyenangi berkhalawat, menyendiri, sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang melatarbelakangi pemikiran Al-Farabi itu adalah situasi  pada waktu itu, kekuasaan Abbassiyah diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan.

Logika

Tampaknya dalam lapangan logika al Farabi banyak mengikuti Aristoteles. Adalah :
a.       Definisi logika ialah ilmu tentang pedoman (peraturan) yang dapat menegakkan pikiran dan menunjukkan pada kebenaran dalam lapangan yang tidak bisa dijamin kebenarannya.
b.      Guna logika, maksudnya logika ialah agar kita dapat membetulkan pikiran orang lain, atau agar orang lain dapat membenarkan pemikiran kita, atau kita dapat membetulkan pemikiran diri kita sendiri
c.       Lapangan lgika, lapangannya ialah segala macam pemikiran yang bisa diutarakan dengan kata-kata dalam kedudukannya sebagai alat menyatakan pemikiran.
d.      Bagian-bagian logika, yaitu kategori (al-ma’qulat al ‘asyr); kata-kata (al ibaroh, termas); analogi pertama (al qiyas); analogi kedua (al burhan); jadal (debat; sofistika; retorika dan poetika (syair), pembagian qiyas ada lima yaitu
1)      kias meyakinkan (qiyas – burhani), yaitu kias memberi keyakinan
2)      qiyas jadali, yaitu kiyas yang terdiri dari hal yang sudah dikenal dan bisa diterima (al-masyhurat wal musallamat)
3)      kias sofistika ialah kias yang menimbulkan sangkaan bahwa sesuatu yang tidak benar kelihatan benar dan sebalinya.
4)      Qiyas-khatabi, yaitu kias yang menimbulkan dugaan yang tidak begitu kuat
5)      Qiyas syi’I, yaitu kias yang memakai perasaan dan khayalan untuk dapat menarik orang lain.


Filsafat Metafisika

Hal-hal yang dibicarakannya adalah :
a.       Tuhan

Al faribi terlebih dahulu membagi wujud yang ada pada hakikat Tuhan dan sifat-sifat-Nya
1)      wujud yang mumkin atau wujud yang nyata karena lainnya (wajib ligharbi) seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau tidak ada matahari.
2)      Wujud yang nyata dengan sendirinya (wajib al wujud lidzatih). Wujud adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya)

b.      Hakekat Tuhan

Allah adalah wujud yang sempurna dan ada tanpa suatu sebab, karena kalau ada sebab bagi-Nya berarti ia tidak sempurna, sebab bergantung kepadanya, ia adalah wujud yang paling mulia dan yang paling dahulu adanya. Oleh karena itu, tuhan adalah zat yang azali (tanpa permulaan) yang selalu ada zat-Nya itu sendiri sudah cukup menjadi sebab bagi keabadian wujud-Nya. Wujud-Nya tidak berarti terdiri dari Hule (matter, benda dan shurroh). Yaitu dua bagian yang terdapat pada makhluk, kalau itu terjadi dari kedua perkara tersebut, tentunya akan terdapat susunan (bagian-bagian pada zat-Nya)

c.       Sifat-sifat Tuhan

Sifat Tuhan tidak berbeda dari Zat-Nya, karena tuhan adalah tungal. Juga zat tuhan menjadi objek pemikiran tuhan sendiri (ma’qul) karena yang menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi objek pemikiran ialah benda itu pula. Tuhan juga adalah zat yang Maha Mengetahui (‘alim) tanpa memerlukan sesuatu yang lain untuk dapat mengetahui.

Tuhan sangat puas terhadap keagungan dan kesempurnaan zat-Nya. Oleh karena itu ia mencintai dan merindukan zat-Nya sendiri dengan demikian, tuhan itu adalah zat yang merindukan dan yang dirindukan pula (al-‘asyiq dan al-ma’syuq)

Teori al Farabi yang menyatakan bahwa tuhan tidak mengetahui alam dan tidak memikirkannya pula. Yakni tidak menjadikan alam sebagai objek pemikiran-Nya, diambil dari Aristoteles. Pendapat tersebut didasarkan atas anggapan bahwa alam terlalu rendah tingkatannya untuk dijadikan objek pemikiran Tuhan, zat yang Maha Sempurna dan Maha Agung. Jadi pemikiran Tuhan terhadap alam ini tidak langsung. Melainkan cukup melalui zat-Nya, yakni dalam kedudukan-Nya sebagai sebab adanya alam beserta segala perstiwanya. Pendapat al Farabi itu menjadi dasar Ibnu Rusyd yang berpengaruh luas di kalangan dunia piker islam.

Emanasi
Emanasi ialah teori tentang keluarnya suaru wujud yang mukmin (alam makhluk) dan zat yang wajib-ul-wujud (zat yag mesti adanya; Tuhan)

C.    Ibnu Sina

Biografi

Nama lengkapnya Abu Ali al- Husien ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan didesa Afsyanah, dekat Buhkara, Persia Utara pada 370 H. Ia mempunyai kecerdasan dan ingatan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab dan juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, filsafat dan bahkan ilmu kedokteran dipelajarinnya sendiri.

Karya-karyanya yang terkenal
a.       Asy-syifa terdiri dari logika fisika, matematika dan metafisika (ketuhanan)
b.      An najat
c.       Al-isyarat wat-tanbihat
d.      Al-hikmah al-masyriqiyyah mengenai tasawuf tetapi menurut carlos nallino, berisi filsafat timur sebagai imbangan filsafat barat
e.       Al-qonun

Dasar-dasar fisika

Ibnu Sina seperti halnya al Farabi, mengambil teori tersebut dari Aristoteles, dengan mengatakan bahwa benda alam terdiri darinya (maddah) sebagai tempat dan dari shurat sebagai perkara yang bertempat padanya. Pertalian benda shurah sama dengan pertalian perunggu dengan patuh, jadi benda alam mempunyai tambahan (perkara yang mengikutinya) yaitu aradh (sifat-sifat) seperti gerak, diam dan lain-lain.

Perbedaan shurah dengan aradh ialah kalau aradh terdapat sesudah ada benda, sedangkan shurah terdapat sebelum benda,

Gerak dan diam menurut Ibnu Sina “tiap-tiap gerak terdapat perkara yang bisa bertambah atau berkurang. Sedangkan Jauhar (benda kecil/atom) tidak demikian keadaannya (tidak mengenal gerak). Dengan demikian perpindahan dari satu tempat ke tempat lain adalah gerak, begitu pula perpindahan dari putih ke hitam (dalam bahasa arab disebut istihalah) dan bertambah atau berkurangnya sesuatu bentik dikarakan juga gerak 

Pemikirannya

a)      Kenabian

Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu Sina membagi manusia kedalam empat kelompok:  mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka  yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang. Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang daya teoretisnya sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.

Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang Nabi, yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia mampu mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada umumnya. Dengan imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi, melalui keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi percaya  tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu. Apabila kita lapar atau haus, imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji yang hidup tentang makanan dan minuman. Pelambangan dan pemberi sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal dan jiwa Nabi, menimbulkan imaji-imaji yang kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan dirasakan oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya.

b)     Tasawuf

Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.

Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri manusia tidak diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan. Karena manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al.

D.    Al-Razi

Sejarah lahir

Nama lengkap al-razi adalah Fakhruddin Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. Dalam wacana keilmuan barat, beliau dikenal dengan sebutan Razhes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhoges, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 H/865 M. Perlu diingat bahwasanya tempat yang ia tinggali yakni Iran ,yang sebelumnya terkenal dengan sebutan Persia, merupakan tempat dimana terjadinya pertemuan berbagai kebudayaan terutama kebudayaan Yunani dan Persia. Dengan suasana seperti lingkungan seperti ini mendorong bakat Al-Razi tampil sebagai seorang intelektual.

Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggil al-razi, yakni Abu Hatim Al-Razi dan Najmun Al-Razi. Oleh karena itu, untuk membedakan Al-Razi dengan yang lainnya, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).

Beliau pernah menjadi tukang intan pada mudanya, penukar uang, dan pemain kecapi. Lalu beliau memusatkan perhatiannya pada ilmu kimia dan meninggalkannya akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya yang menyebabkan mata terserang penyakit. Setelah itu, beliau mendalami ilmu kedokterang dan filsafat yang ada pada masa itu.

Ayahnya berharap Al-razi menjadi seorang pedagang besar, maka dari itu ayahnya membekali Al-razi ilmu-ilmu perdagangan. Akan tetapi, Al-Razi lebih memilih kepada bidang intelektual ketimbang dengan perdagangan karena menurutnya bidang intelektual merupakan perkara yang lebih besar ketimbang urusan dengan materi belaka.

Karena ketekunannya dalam bidang kedoteran dan filsafat, Al-Razi menjadi terkenal sebagai dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, oleh karena tiu dia sering memberi pengobata cuma-Cuma kepada orang miskin. Dan karena reputasinya dalam kedokteran, dia pernah mejabat sebagai kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian dia berpindak ke Baghdad dan memimpin rumah saki di sana pada masa pemerintahan Khlifah Al-Muktafi. Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya, kemudian id berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 dalam usia 60 tahun.

Karyanya

Mengenai karyanya, tentu berkaitan dengan siapa dia belajar, dan siapa yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepadanya. Menurut Al-Nadim, beliau belajar filsafat kepada Al-Bakhli yang menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Ia sangat rajin dalam menulis dan membaca, mungkin inilah yang menyebabkan penglihatannya secara berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Ia menolak akan untuk di obati dengan mengatakan bahwa pengobatan untuknya itu sia-sia karena tak sebentar lagi dia akan meninggal.

Tak heran jika karya-karyanya sangat banyak sekali bahkan dia menuliskan pada salah satu kitabnya, bahwasanya dia menulis tidak kurang sari 200 karya tulis dalam berbagai ilmu pengetahuan.
Karya-karyanya yang meliputi:
Ilmu Falak,
Matematika,
Bidang kimia, yang terkenal dengan Kitab As-rar
Bidang kedoteran, yang terkenal denganal-mansuri Liber al-Almansoris
Bidang Medis, yang terkenal dengan kitab Al-Hawi,
Mengenai penyakit cacar dan pencegahannya, yakni Kitab al-Judar wa al-Hasbah

Sebagian dari karyanya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al-Rasa’il Falsafiyyat dan buku-buku yang lainnya seperti Thib al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafah dan lain sebagainya. Dia terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding dengan sebagai filosof.

Filsafatnya

Lima Kekal ( Al-Qadiim )

Karena filsafatnya terkenal dengan 5 yang kekal, maka kami sebagai pemakal memasukannya dalam makalah kami. Sebenarnya pemikirannya sangat banyak, akan tetapi yang akan kami bahas disini hanya pada pemikirannya mengenai 5 hal yang kekal.

5 hal yang kekal itu antara lain; Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolut), dan al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut). Dan dia juga mengklasifikasinya pada yang hidup dan aktif. Yanghidup dan aktif itu Allah dan jiwa, yang tidak hidupdan pasif itu materi, yang tidak hidup, tidak aktif, dantidak pula pasif itu ruang dan waktu.

Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), menurutnya Allah itu kekal karena Dia-lah yang menciptakan alam ini dari bahan yang telah ada dan tidak mungkin dia menciptakan ala mini dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal),menurutnya jiwa merupakan sesuatu yang kekal selain Allah, akan tetapi kekekalannya tidak sama dengan kekekalan Allah. Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), disebut juga materi mutlak yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi, dan menurutnya mengenai materi pertama, bahwasanya ia juga kekal karena diciptakan oleh Pencipta yang kekal.

Sebelumnya dia berpendat bahwa materi bersifat kekal dank arena materi ini menempati ruang, makaAl-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolute) juga kekal. Ruang dalam pandangannya dibedakan menjadi dua kategori, yakni ruang pertikular yang terbatas dab terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya,  dan ruang universal yang tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.

Seperti ruang, dia membedakan pula Al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut) padad dua kategori yakni; waktu yang absolut/mutlak yang bersifat qadiim dan substansi yang bergerak atau yang mengalir (jauhar yajri), pembagian yang kedua yaitu waktu mahsur. Waktu mahsur adalah waktu yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan mentari. Waktu yang kedua ini tidak kekal. Menurutnya, bahwasanya waktu yang kekal sudah ada terlebih dahulu sebelum adanya waktu yang terbatas.

E.     Ibnu Miskawaih

 Sejarah lahir dan kehidupan nya

Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’kub ibnu Miskawaih. Ia dilahirkan di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H/ 941 M dan wafat di asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Februari 1030 M. Dari buku yang kami dapatkan, tidak ada penjelasan yang sangat rinci mengungkapkan biograpinya. Namun, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan, bahwa ibnu miskawaih belajar sejarah terutama Taarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ibnu Kamil Al-Qadhi dan belajar filsafat kepada Ibnu Al-Khammar, mufasir kenamaan karya-karya aristoteles.

Ibnu Miskawaih adalah seorang penganut syi’ah. Hal ini didasarkan pada pengabdiannya kepada sultan dan wazir-wazir syi’ah pada masa pemerintahan Bani Buwaihi ( 320 – 448 M ). Dan ketika sultan Ahmad ‘Adhud Al-Daulah menjabat sebagai kepala pemerintahan, ibnu Miskawaih menduduki jabatan yang penting, seperti pengangkatannya sebagaiKhazin, penjaga perpustakaan Negara dan bendarahara negara.

Karyanya

Dalam karyanya dalam disiplin ilmu meliputi kedokteran, sejarah dan filsafat. Akan tetapi, dia lebih terkenal sebagai seorang filosof akhlak, ( al-falsafat al-‘amaliyat ) ketimbang dengan seorang filosof ketuhanan ( al-falsafat al-nazhariyyat al-Illahiyat ).

Dalam buku The History of the Muslim Philoshopy disebutkan bahwa karya tulisannya itu; Al-Fauz al-Akbar, al-Fauz al-Asghar, Tajaarib al-Umaan (sebuah sejarah tentang banjir besar yana ditulis pada tahun 369 H/ 979 M), Uns al-Fariid ( yakni koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah ), Tartiib al-Sa’adat ( isinya ahlak dan politik ), al-Mustaufa ( isinya syair-syair pilihan ), al-Jaami’, al-Siyaab, On the Simple Drugs ( tentang kedokteran ), On the composition of the Bajats ( tentang kedokteran ), Kitaab al-Ashribah ( tentang minuman ), Tahziib al-Akhlak ( tentang akhlak ), Risaalat fi al-Lazza wa al-Aalam fil jauhar al-Nafs, ajwibaat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql, Al-Jawaab fi Al-Masaa’il al-Salas, Risaalat fi Jawaab fi Su’al Ali ibnu Muhammad Abuu Hayyan al-Shufii fi HAqiiqat al-‘Aql, dan Tharathat al-Nafs.

Akhlak

Ibnu miskawaih yang terkenal sebagai seorang yang moralis berpendapat bahwa akhlak  adalah suatu sikap atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa berpikir dan sama sekali tidak ada pertimbangan. Dengan kata lain, ahklak adalah tindakan yang tidak ada sama sekali pertentangan dalam dirinya untuk melakukan sesuatu. Menurut kami, ungkapan beliau mengenai hal ini sama dengan perkataan plato yang mengatakan bahwasanya cinta adalah gerak jiwa yang kosong.

Ibnu Miskawaih juga membagi tingkah laku pada dua unsur yakni; unsur watak naluriah dan unsur watak kebiasaan dengan melakukan latihan ( riyadhoh ). Serta dia berpandangan bahwa jiwa mempunyai tiga daya yang mana apabila ketigak daya ini beserta sifat-sifatnya selaras, maka akan menimbulkan sifat yang keempat yakni adil.

Adapun tiga daya yang dia maksud adalah; daya pikir, daya marah, dan daya keinginan. Sedangkan yang dia maksud dengan sifat utama mengenai ketiga daya ini antara lain adalah; sifat hikmah merupakan sifat utama bagi jiwa yang berpikir yang mana hikmah ini lahir dari ilmu. Rasa berani merupakan sifat utama bagi jiwa marah yang mana sifat berani ini timbul dari sifat hilm ( mawas diri ). Sedangkan sifat utama bagi jiwa keinginan adalah sifat murah yang merupakan sifat utamanya yang lahir dati ‘iffah ( memelihara kehormatan diri ).

Dapat disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain; hikmah, berani, dan murah yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifati keempat akan timbul darinya, yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh, rakus, penakut, dan zalim.

F.     Ibnu Rusyd

Sejarah kelahiran dan kehidupan nya

Nama asli dari Ibnu Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd, beliau dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510 H/ 1126 M, 15 tahun setelah kematiannya imam ghazali. Di dunia barat dia lebih terkenal dengan sebutan Averros, sedang di dunia islam sendiri lebih terkenal dengan nama ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd adalah keturunan keluarga terhormat yang terkenal sebagai tokoh keilmuwan, sedang ayah dan kakeknya adalah mantan hakim di andalus. Pada tahun 565 H/ 1169 M dia diangkat menjadi seorang hakim di Seville dan Cordova. Dan pada tahun 1173 ia menjadi ketua mahkamah agung, Qadhi al-Qudhatdi Cordova.

Salah satu faktor yang membuatnya menjadi seorang ilmuwan adalah karena dia tumbuh dan hidup dalam keluarga yang Ghirah-nya besar sekali dalam bidang keilmuwan. Akan tetapi yang menjadi faktor utamanya karena ketajamannya dalam berpikir serta kejeniusan otaknya. Dengan semua faktor-faktor di atas, tidaklah heran apabila dia menjadi seorang ilmuwan Muslim yang terkemuka.

Hal yang sangat mengagumkan dari ibnu Rusyd adalah semenjak dia sudah mulai berakal ( masa baligh ) hampir semua hidupnya ia pergunakan untuk belajar dan membaca. Tak pernah dia melewatkan waktunya selain untuk berpikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan ketika malam pernikahannya. Dengan keadaan seperti ini, membuat pemikirannya semakin tajam dan kuat dari waktu ke waktu.

Kehidupannya sebagai seorang hakim tidaklah mulus, ibnu Rusd pernah mengalami akan tuduhan pahit, yang pada dasarnya hanya untuk keperluan mobilisasi menghadapi pemberontakkan Kristen Spanyol, dia di tuduh kafir, lalu dia di adili dan sebagai hukumannya dia di buang ke Lucena, dekat Cordova. Tidak hanya itu saja, semua jabatannya sebagai hakim mahkamah agung dicopot serta semua bukunya di bakar, kecuali buku yang bersifat ilmu pengetahuan murni ( sains ), seperti kedokteran, matematika dan astronomi.

‎Setahun lamanya ibnu Rusyd mengalami masa yang sangat getir itu, dan pada tahun 1197 M, khlifah mencabut hukumannya dan mengembalikkan semua pangkat yang pernah dia pegang sebelumnya. Ibnu Rusyd meninggal 10 desember 1198 M/ 9 Shafar 595 H di marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijriyah.

Karyanya

Tulisan ibnu Rusyd yang dapat kita dapati pada sekarang ini antara lain; Fashl al-Maqaal fi maa bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishaal, buku ini berisikan korelasi antara agama dan filsafat. Al-Kasyf’an Manaahij al-Sdillah fi Aqaa’id al-Millat, sedang buku ini berisikan tentang kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi. Tahaafut al-Tahaafut, kitab ini berisikan tentang kritikan terhadap imam ghazali yang kitabnya berjudul Tahaafut al-Falaasifah. Sedangkan karnyanya dalam bidah fiqih yaitu buku yang berjudul Bidaayat al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid.

Hukum Sebab-Akibat dan Hubungannya dengan Mukjizat

Berikut ini merupakan bantahan Ibnu Ruysd terhadap imam ghazali mengenai sebab-akibat yang memang merupakan kejadian yang keluar dari kebiasaan;

Terdapat hubungan yang dharuuriiy ( pasti ) antara sebab dan akibat

Menurut ibnu rusyd, bahwasanya semua benda atau segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki sifat dan cirri tertentu yang disebut dengan zatiyah. Dengan arti bahwasanya untuk terwujudnya sesuatu keadaan mesti ada daya atau kekuatan yang telah ada sebelumnya. Menurut ibnu Rusyd, kita bisa mengenali mawjud yang ada ini dengan adanya hukum sebab-akibat zatiyah, maka dengan itu pula kita bisa membedakan antara satu dengan lainnya.

Misalnya, api yang sifat zatiyyah-nya adalah membakar, air yang sifat zatiyyah­-nya adalah membasahi. Sifat membakar dan membasahi ini adalah sifat zatiyyah-nya dan merupakan pembedan antara api dengan air, jika tidak ada sifat tertentu, tentunya air dan api sama saja, tidak ada bendanya, akan tetapi hal ini adalah sesuatu yang mustahil.

Hubungan sebab-akibat dengan adat atau kebiasaan

Menurut ibnu rusyd, bahwasanya al-ghazali tidaklah jelas dalam mengemukakan pendapatnya mengenai sebab-akibat yang dianggap sebagai adat atau kebiasaan. Ibnu Rusyd mempertanyakan apakah yang al-ghazali maksud ini adalah adat fa’il (Allah), atau adat maujud, atau juga adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat terhadap maujud ini.

Kalaulah yang dimaksudnya adalah adat Allah, hal ini mustahil karena apa yang disebut dengan adat adalah suatu kemampuan atau potensi yang diusahakan oleh fa’il yang mengkibatkan berulang-ulangnya perhatin mawjud ini. Hal ini sangat bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa sunnatullah tidak akan berganti dan tidak berubah‎. Jika yang dimaksudnya adalah adat bagi maujud, maka hal ini hanya akan berlaku bagi yang memiliki roh atau nyawa karena bagi yang selain itu, bukanlah adat namanya, tetapi tabia’at. Dan apabila yang dia maksud adalah adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat terhadap ‎mawjud, sepert si fulan baik san sebagainya, maka hal ini mawjud terlepas daripada nisbat (hubungan)-nya kepada fa’il (Allah).

Hubungan sebab-akibat dengan akal

Menurut ibnu Rusyd; pengetahuan akal tidak lebih daripada pengetahuan tentang gejala yang mawjud beserta sebab-akibatnya yang menyertainya. Pengingkaran terhadap sebab-akibat berarti pengingkaran terhadap akal dan ilmu pengetahuan.

Hubungan sebab-akibat dengan mukjizat

Di awali dengan pendapatnya imam Ghazali, ketika seseorang percaya akan keniscayaan, maka akan mengakibatkannya tidak percaya terhadap adanya mukjizat nabi. Mengenai hal ini, ibnu rusyd membedakan antara dua mukjizat; mukjizat al-Barraaniy dan mukjizat al-Jawaaniy.

Mukjizat al-Barraaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang Nabi, tetapi tidak sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti tongkat nabi musa yang merumbah menjadi ular, nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati, dan lainnya. Mukjizat seperti ini yang saat itu dipandang sebagai mukjizat atau perbuatan diluar kebiasaan dan boleh jadi satu waktu dapat diungkapkan oleh pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan dapat mengungkapkannya, maka ia tidak dipandang sebagai mukjizat lagi.

Mukjizat al-Jawaaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang nabi yang sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti mukjizat Nabi Muhammad yakni al-Quran. Mukjizat seperti inilah yang dipandang oleh ibnu Rusyd sebagai mukjizat yang sebenarnya, karena al-quran tidak dapat diungkapkan oleh pengetahuan (sains) dimana pun dan kapan pun.

G. AL-GHAZALI

Nama lengkapnya abu hamid Muhammad ibn Muhammad al-ghazali, ath thusi, merupakan orang Persia asli yang dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Thus (dekat Mashed) dan wafatnya di nisbur pada tahun 505 H/1111 M dalam usia 54 tahun.

‎Karya-karya al-ghazali

Sulaiman dunya menyatakan dan mencatat bahwa karya tulis imam al-ghozali mencapai kurang lebih 300 buah, meliau mengarang dari umur 25 tahun yang di antaranya

a.       Ilmu Kalam Dan Filsafat

1)      Maqashid Al Falasifah
2)      Tahafut Al Falasifah
3)      Al Iqtishad Fi Al I’tiqad
4)      Al Muqid Min Adh Dhalal
5)      Maqashid Asma Fi Al Ma’ani, Asma Al Husna
6)      Faial Al Mustaqim, dll

b.      Kelompok fiqih dan ushu; fiqih

1)      Al Basith
2)      Al Wasith
3)      Al Wajiz
4)      Al Khulashah Al Mukhtashar
5)      Al Mustashfa
6)      Al Mankul
7)      Syifakh Al Alifi Qiyas Wa Ta’lil
8)      Adz Dzari’ah Ila Makarim Al Syari’ah

c.       Kelompok tafsir meliputi

1)      Yaqul At Ta’wil Fi Tafsir At Tanzil
2)      Tawahir Al-Qur’an

d.      Kelompok ilmu tasawuf dan akhlak secara integral bahasannya ilmu kalam, fiqih dan tasawuf antara lain:

1)      Ihya’ ‘Ulum Ad-Din
2)      Mizan Al Amanah
3)      Kimya As Sa’adah
4)      Misykat Al Anwar
5)      Muh As Syafat Al-Qulub
6)      Minhaj Al Abiding
7)      Ad Dar Fiqhiratfi Kasyf’ulum
8)      Al Aini Fi Al Wahdat
9)      Al Qurbat Illa Alah Azza Wajalla
10)  Akhlak Al Abrarwa Najat Min Al Asrar, dll

Pandangan Al-Ghazali tentang Tauhid dan Kalam

Ilmu ini membahas tentang dzat Allah, siat-sifatnya yang eternal (al qadimah), yang aktif kreatif (al’fi’liyyah) yang esensial, dengan nama-nama yang sudah dikenal, juga membahas, keadaan para Nabi, para pemimpin umat sesudahnya dan para shabat. Beliau begitu pula membahas tentang keadaan mati dan hidup. Keadaan di bangkitkan dari kubut (al ba’ats), berkumpul di mahsyar, perhitungan amal dan melihat tuhan.

Al ghazali dalam kitabnya ihya’ ‘ulum ad0din menyesalkan adanya pergeseran istilah “tauhid” pada “kalam” tauhid yang berarti mengesakan Allah merupakan isti akidah islam yang dibawa nabi Muhammad SAW, sedangkan kalam yang beratti perkataan, hanya merupakan cara yang digunakan dalam membahas masalah-masalah aqidah.

Menurut al ghazali pengertian tauhid pada masa salaf yang terfokus pada kalimat. “La Ilaha Illa Allah” (tidak ada Tuhan selain Allah), ditanggapi dan dihayati bervariasi oleh umat waktu itu. Ada orang munafik yang bertauhid itu dihatinya dan mengucapkannya dengan sadar.

Filsafat al-Ghazali

a.      Epistimologi

Sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidz Min Al-Dhalal, ia ingin mencari kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga. “sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa tiga itu lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang memang betul ia laksanakan, saya akan kagum melihat kemampuannya, sungguhpun demikian keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyah”. Seperti inilah menurut Al-Ghazali pengetahuan yang sebenarnya.

Pada mulanya Al-Ghazali beranggapan bahwa pengatahuan itu adalah hal-hal yang dapat yang ditangkap oleh panca indera. Teatapi, kemudian ternyata baginya bahwa panca indera juga berdusta. Seumpama: “bayangan (rumah) kelihatannya tidak bergerak, tetapi berpindah tempat,” atau seperti “bintang-bintang dilangit, kelihatannya kecil tetapi perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi”.

Karena tidak percaya kepada panca indera, Al-Ghazali kemudiaan meletakkan kepercayaannya kepada akal. Tetapi akal juga tak dapat dipercaya. Sewaktu bermimpi, demikian menurut Al-Ghazali, orang melihat hal-hal yang kebenarannya betul-betul, namun setelah bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar atau karena ia melihat bahwa aliran-aliran yang menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal. Artinya, akal pada dirinya membenarkan pandangan-pandangan yang bertentangan itu. Seperti yang disebut diatas bahwasannya Al-Ghazali mencari ‘ilm al-yaqini yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Namun, Al-Ghazali tidak konsekuen dalam menguji kedua sumber pengetahuan itu. Ketika menguji pengetahuan inderawi, ia menggunakan argumentasi faktual atas kelemahannya. 

Tetapi, ketika membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal, ia menggunakan kesimpulan hipotesis (fardhi) saja. Ketika itu, ia tidak berhasil membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi daripada akal secara faktual.
Akhirnya Al-Ghazali mengalami puncak kesangsian, karena ia tidak menemukan sumber pengetahuan yang dapat dipercaya. Tetapi dua bulan kemudian, dengan cara tiba-tiba tuhan memberikan nur- yang disebut juga oleh Al-Ghazali sebagai kunci ma’rifat- ke dalam hatinya, sehingga ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran pengetahuan a priori yang bersifat aksiomatis. Dengan demikian, bagi Al-Ghazali bahwa al-dzawaq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya dari pada akal untuk menangkap pengetahuan tertinggi tersebut dinamakan juga al-nubuwwat,yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan ada manusia bisaa berbentuk ilham.

Pengetahuan yang bersifatrabbaniyah (ladunniyah) adalah tingkat tertinggi pengetahuan. Pengetahuan yang membutuhkan ibadah, kezuhudan,mujahadah (mendekatkan diri kepada AllahSWT), dan olah batin (riyadhah an-nafs). Lapangan filsafat menurut Al-Ghazali ada enam yaitu: matematika, logika, fisika, politik, etika, dan metafisika.

Logika menurut Al-Ghazali, juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Logika berisi penyelidikan tentang dalil-dali pembuktian, silogisme, syarat-syarat pembuktian, definisi-definisi, dsb. Bahaya yang ditimbulkan logika adalah menjadikan logika sebagai pendahuluan dalam persoalan ketahunan (metafisika), sedangkan sebenarnya tidak demikian.

Al-Ghazali membagi filsuf kepada tiga golongan, yaitu materialis (dahriyyun), naturalis (thabi’iyyun), dan theis (ilahiyun). Kelompok pertamamaterialis, terdiri dari para filsuf awal, seperti Emepodokles (490-430 SM) dan Demokritus (460-360 SM), mereka pencipta dan pengatur dunia, dan yakin bahwa dunia ini telah ada dengan sendirinya sejak dahulu. Al-Ghazali menganggap mereka tidak beragama.

Kelompok keduanaturalis,terpesona oleh keajaiban penciptaan dan sadar akan maksud yang berkelanjutan dan kebijaksanaan dalam rencana segala sesuatunya, mengakui eksistensi suatu pencipta bijaksana tetapi menyangkal kerohanian dan sifat immateriality jiwa manusia mereka menjelaskan perihal jiwa dalam istilah naturalis sebagai sautu epifenomena jasad dan yakin bahwa kematiaan jasad menyebabkan jiwa tak berwujud sama sekali.

Kelompok ketiga theis, tergolong para filsuf lebih modern, meski mereka menyerang menyerang kaum materialis dan naturalis Al-Ghazali berpendapat kaum theis ini masih menyimpan sisa kekafiran dan paham bi’ah. Sebab itu dia menilai mereka maupun para filsuf muslim yang mengikutinya sebagai kaum kafir. Menurut pendaatnya diantara pengukut mereka, Al-Farabi dan Ibn Sina adalah penerus terbaik filsafat Aristoteles ke dalam dunia islam.

b.      Metafisika

Dalam lapangan metafisika (ketuhanan), Al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap Neo-Platonisme islam, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Untuk itu secara langsung Al-Ghazali mengecam dua tokoh Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), dan Aristoteles, guru mereka.

Menurut Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, para pemikir bebas tersebut ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan islam dan mengabaikan dasardasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka. Kekeliruan filsuf tersebut sebanyak dua puluh persoalan (enam belas dalam bidang metafisika dan empat dalam bidang fisika). Dalam tujuh belas soal mereka harus dinyatakan sebagai ah-bida’, sedangkan dalam tiga soal lainnya, mereka dinyatakan sebagai kafir, karena pikiran-pikiran mereka dalam tiga soal teresbut berlawanan sama sekali dengan pendirian semua kaum muslimn.

Diantara dua puluh soal persoalan yang dimaksud adalah:
·         Alam qadim (tidak bermula).
·         Keabadian (abadiah) alam, masa, dan gerak.
·         Konsep tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk citaan-Nya,ungkapan ini bersifat metaforis.
·         Demonstrasi/pembuktian eksistensi penciptaan alam.
·         Penolakan akan sifat-sifat tuhan.
·         Argumen rasional bahwa tuhan itu satu dan mungkinnya pengandaian dua wajib al-wujud.
·         Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan.
·         wujud tuhan dalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi.
·         Argumen rasional tentang sebab dan pencipta alam (hukum tak dapat berubah).
·         Argumen rasional bahwa tuhan bukan tubuh (jism).
·         Pengetahuan tuhan tentang selain diri-Nya, dan tuhan mengetahui species dan secara universal.
·         Pembuktian bahwa tuhan mengetahui diri-Nya sendiri.
·         Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum.
·         Langit adalah makhluk hidup dan mematuhi tuhan dengan gerak putarnya.
·         Tujuan yang menggerakkan langit.
·         Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula (al-juziyyat al-haditsah).
·         Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa.
·         Jiwa manusia adalah subtansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak terpateri pada tubuh, daan bukan tubuh.
·         Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi kita membayangakan kehancurannya.
·         Penolakan terhadap kebangkitan jasmani.
Tiga persoalan yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir adalah:
·         Alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal.
·         Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular (juziyyat) yang terjadi di dalam.
·         Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasry al-ajsad) di akhirat.

Dalam persoalan ini, terlepas dari besarnya pengaruh dan jasa Al-Ghazali, setidaknya ada tiga hal yang patut dicermati, yaitu: 

Pertama: bahwa ia sesungguhnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya Al-Farabi dan Ibn Sina dan tidak menyerang pemikiran filsafat secara keseluruhan. sebab Al-Ghazali tetap mengakui pentingnya logika atau epistimologi dalam penjabaran ajaran-ajaran agama. 

Kedua: dalam bukunya Al-Ghazali menilai Al-Farabi dan Ibn Sina serta filsuf yang lainnya telah kufur karena mengajarkan tentang keqodiman alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan tuhan terhadap hal-hal yang partikular. 

Ketiga: tentang pembagian filsafat yunani dalam tiga bagianmateralisme (Dahriyun), naturalisme (Thabi’iyyun), dan theisme (Ilahiyyun) bahwa betul Al-Farabi adalah Aristoteles tapi ia hanya mengambil dan mengembangkan aspek logikanya belaka seperti yang kita lihat pada bagian epistimologi burhani.

Al-Ghazali juga membagi manusia kepada tiga golongan, yaitu: 
(1) kaum awam, yang cara berpikirnya sederhan sekali, 
(2) kaum pilihan (elect) yang akalnya tajam dan berpikir secara mendalam, dan 
(3) kaum penengkar.
Sebagai filosof-filosof dan ulama-ulama lain, Al-Ghazali dalam hal ini, membagi manusia kedalam dua golongan besar,awam dan khawas, yang daya tangkapnya tidak sama, dan oleh karena itu apa yang dapat diberikan kepada golongan khawastidak selamanya dapat diberikan kepada kaum awam. Dan sebaliknya pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acap kali berbeda, dan berbeda menurut daya berfikir masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat dan kaumkhawas, sebaliknya, membaca apa yang tersirat.

c.       Moral

Ada tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu:

·         Mempelajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoretis, yang berusaha memahami ciri kesusilaan(morlitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku orang yang mempelajarinya.

·         Mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan perilaku sehari-hari.
·         Karena akhlak terutama merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalampenyelidikan akhlak harus terdapat kritik yang terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga akhlak menjadi suatu subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri.

Prinsip-prinsip moral dipelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih dari pada kebodohan. Akhlak yang dikembangkan Al-Ghazali bercorak teologis (ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada akibatnya. Suatu derat baik atau buruk berbagai amal berbada oleh sebab perbedaan dalam hal pengaruh yang ditimbulkannya dalam jiwa pelakunya.

Masalah kebahagian, menurut Al-Ghazali kebahagian yang menjadi tujuan manusia adalah kebahagian ukhrawi. Kebahagian ukhrawi mempunyai empat ciri khas, yakni berkelanjutan tanpa akhir, kegembiraan tanpa dukacita, pengetahuan tanpa kebodohan,dan kecukupan (ghina), yang tak membutuhkan apa-apa lagi guna kepuasan yang sempurna. Kebahagian yang dimaksud adalah kebahagian yang sesuai Al-qur’an dan Hadits adalah surga.

d.      Jiwa

Manusia diciptakan menurut Al-Ghazali dicitakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa, menjadi inti hakekat manusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sabgat halus (lathifa rabbaniyah ruhaniyah). Istilah-istilah yang digunakan Al-Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs, dan ‘aql.

Jiwa bagi Al-Ghazali merupakan suatu zat (jauhur) sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa, dan bukan sebaliknya. Jiwa berada didalam spiritual, sedangkan jasad dialam materi. Jiwa bagi Al-Ghazali, berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilahiyah. Disamping itu jiwa mempunyai kemampuan memahami, sehingga persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat membawa makan dalam kehidupan manusia.

Mengenai kekekalan jiwa Al-Ghazali menegaskan bahwa tuhan sesungguhnya dapat menghancurkan jiwa (al-nafs), tetapi ia tidak melakukannya. Disini Al-Ghazali berada dipersimpangan pandangan sebagai mutakallimin(kemungkinan hancurnya jiwa apabiala dikehendaki tuhan), dan pandangan sebagai filsuf (jiwa mempunyai sifat substanai kekla). Dengan demikin bantahan Al-Ghzali terhadap filsuf dalam bukunya Tahafut al-Falasafah, bukan ditekankan pada kekalnya jiwa, yang dibantahnya dalil-dalil rasional yang digunakan para filsuf untuk memebuktikan jiwa itu. Menurutnya, hanya syara’ yang bisa menjelaskan persoalan al-ma’ad (kehidupan di akhirat).

Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah, setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuanya iwa bisa mendatapkan bekal bagi hidup kekal. Semua yang ada pada jasad merupakan “pembantu” jiwa. Meskipun jiwa dan jasad merupakan wujud yang berbeda tetapi kedunya mempengruhi dan menentukan jalannya masing-masing. Karena itu, bagi Al-Ghazali setiap perbuatan akan menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualitas jiwa, asalkan perbuatan itu dilakukan secara sadar.
H.    Mulla Shadra
   
Biografi Mulla Sadra

Shadr al-Din Muhammad ibn Ibrahim ibn Yahya Qawami al-Syirazi atau yang lebih dikenal dengan Mulla Shadra, dilahirkan di Syiraz pada tahun 1572 M. Pendidikan dasarnya dijalani dikotanya dalam bidang al-Qur'an, Hadis, Bahasa Arab dan Bahasa Persia kemudian dilanjutkan di Isfahan sebuah kota pusat studi yang penting pada masa itu. Di sana, Mulla Shadra berguru kepada Baha' al-Din al-Amili (w. 1622 M), Mir Damad (w. 1631) dan Mir Abu Al-Qasim Findereski (w. 1640).

Konon, Mulla Shadra pernah melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki sebanyak tujuh kali, dan wafat di Basrah sekembalinya dari menunaikan ibadah haji yang ketujuh pada 1641.

Karya-Karya Mulla Sadra

Sumbangan filsafat Mulla Shadra sangatlah banyak diantaranya; Al- Suhrawadi,Hikmah Al-Isyraq, Al-Abhari, Al-Hidayah fi Al-Hikmah, dan Ibn sina, Al-Syifa bersanding dengan risalah-risalahnya tentang organization, Resurraction (Awal Penciptaan dan Hari Akhir), Predicating Essence of Existence, dan beberapa makalah singkatnya dalam tema-tema serupa. Namun, karya filsafatnya yang berpengaruh adalah Al-Masya'ir (Keprihatinan), Kasr Asnam Al-Jahiliyah (Menghancurkan Arca-Arca Paganisme), dan "Hikmah Transedental", yang lebih dikenal sebagai "Empat Pengembaraan" (Al-Asfar Al-Arba'ah).

Filsafat Mulla Sadra

Dalam bagian pendahuluan kitab Al-Asfar, Mulla Shadra menyesalkan sikap berpaling masyarakat Muslim dari studi filsafat. Padahal, prinsip-prinsip filsafat yang dipadukan dengan kebenaran wahyu Nabi adalah cermin nilai kebenaran tertinggi.

Menurutnya, keharmonisan itu menunjukkan kebenaaran tunggal yang dibawa
oleh Adam. Dari Adam, kebenaran ini diturunkan kepada Ibrahim, kemudian para filosof Yunani, lalu para sufi, dan akhirnya, para filosof pada umumnya. Orang-orang Yunani, tulisannya, semula menjadi penyembah binatang. Akan tetapi, dalam perjalanannya, mereka mengambil filsafat dan teologi dari Ibrahim.

Dalm konteks ini, Mulla Shadra membedakan dua kategori filosof Yunani kuno. Kategori pertama dimulai oleh Thales dan berakhir pada Socrates dan Plato. Dan kategori kedua dimulai oleh Pythagoras yang menerima filsafat dari sulaiman dan para rahib Mesir-seperti yang terungkap dari banyak catatan sejarah filsafat Arab. Di antara "tiang-tiang filsafat", Mulla Shadra menyebut nama Empedocles, Pythagoras, Socrates, Plato, dan Aristoteles, sedangkan mengenai hubungan Plotinus-yang dijulukinya dengan guru Yunani dan acp disebutnya dengan rasa hormat dengan Plato dan Aristoteles, Mulla Shadra, seperti kebanyakan filosof Muslim lainnya, samasekali berskap diam. Semua "tiang filsafat" Yunani  yang disebutkan di atas, menurut Mulla Shadra, menerima "cahaya Hikmah" dari "mercusuar kenabian".

Inilah sebabnya, para filosof itu secara keseluruhan bersesuaian dengan para nabi dalam persoalan-persoalan menyangkut keesaan Tuhan, penciptaan alam, dan hari kebangkitan. Terlepas dari pandangannya tentang sejarah filsafat ini, sosok metodologi

Mulla Shadra yang mesti diperhatikan adalah penerapan kategori-kategori filsafat dan tasawuf pada ajaran-ajaran Syi'ah. Dia berpendapat bahwa tahapan kenabian dalam sejarah dunia berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad Saw., "pamungkas para nabi". Tahapan selanjutnya ialah imamah (wilayah/wishayah) yang terdiri dari dua belas imam Syi'ah. Imamah akan terus berlanjut hingga kembalinya imam kedua belas yang saat ini masih gaib menurut doktrin Syi'ah.

Empat perjalanan jiwa, seperti yang dikemukakan dalam Al-Asfar Al-Arba'ah,
adalah sebagai berikut:
·         Perjalanan dari makhluk (khalaq) menuju Tuhan (Haqq).
·         Perjalanan menuju Tuha melalui (bimbingan )Tuhan.
·         Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk melalui (bimbingan) Tuhan.
·         Perjalanan di dalam makhluk melalui (bimbingan) Tuhan.

Jiwa manusia berbeda dengan semua entitas makhluk lantaran ia merupakan sebuah perpaduan cahaya dan kegelapan. Karena itulah ada keterkaitan antara alam akal, atau "alam perintah", demikian para sufi menyebutnya, dan alam materiil, atau "alam ciptaan". Yang terakhir dimulai dengan garis lintas universal-yang memisahkan "alam akal" atau alam jiwa dengan alam materiil atau alam entitas-entitas indriawi.

Diagram berikut akan melukiskan hierarki atau "mata rantai wujud" dalam konsep‎ Mulla Shadra yang pada dasarnya mirip konsep Neoplatinos:

Cahaya Tertinggi
(Wajib Al Wujud)

Alam Perintah atau Entitas-Entitas Tunak
(Alam Kawruhan)

Bentuk-Bentuk Kawruhan
(Jiwa Manusia)

Falak Universal
(Falak Luar)

Alam Ciptaan
(Alam Materiil)
Dari diagram ini dapat kita lihat bagaimana Mulla Shadra seperti halnya para filosof Isyraqi lain melanjutkan tradisi Ibn Sina dan neo Platonisme dengan variasivariasi yang lebih bersifat verbal atau semantic.
Pandangan yang sempurna yang diperkaya oleh Mulla Shadra dengan kutipan ekstensif dari Al-Qur'an, Hadits, dan ucapan-ucapan Imam Syi'ah, memiliki tujuan melindungi keyakinan tentang kebangkitan kembali. Melalui penyulingan subtil ini, status raga yang tadinya kabur itu kini diasumsikan memiliki bentuk etereal. Dan dalam kondisi seperti ini, raga dinyatakan identik dengan jiwa. Etereal berasal dari bahasa Inggris ethereal, yaitu unsur sangat halus yang memenuhi lapisan teratas luar angkasa.

Semoga bermanfaat ‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar