Minggu, 18 Oktober 2015

Hukum Adopsi Dalam Islam

Apalagi yang paling ditunggu-tunggu pasangan suami istri yang telah menikah selain kehadiran si buah hati. Dengan hadirnya anak ditengah-tengah keluarga, tentu akan membuat hubungan pernikahan terasa lebih sempurna. Tetapi ketika usia perkawinan menginjak tahun pertama, kedua hingga ketiga, rasa cemas akan muncul saat tidak kunjung hamil juga. Ini saya alami sendiri, di usia pernikahan yang menginjak 3 tahun, saya belum dikaruniai keturunan.  Pada dasarnya setiap pasangan suami istri butuh waktu yang berbeda-beda. Ada yang segera setelah satu tahun pertama menikah, ada yang 2 tahun, 3 tahun dan adapula yang sudah bertahun-tahun menikah belum atau baru dikarunia keturunan. Jika sudah bertahun-tahun tak kunjung hamil, ada tekanan yang tinggi yang dirasakan seorang istri atau pasangan menikah. Saat baru menikah banyak dicecar ‘harus punya anak’, hal tersebut justru akan memicu stress yang dapat mengganggu ovulasi sehingga berpengaruh pula mengapa anda tak kunjung hamil. Banyak yang bertanya "gimana udah punya momongan belum?", "Kapan punya anaknya?" dan bla.. bla... bla... mungkin itu tidak terlalu menyakitkan, akan tetapi kalau pertanyaan dari mereka di tambah dengan ucapan yang kurang enak didengar seperti, mungkin kamu mandul, atau kurang subur dan lain-lain, itu akan membuat dada menjadi sesak.

Kadang pasangan yang tidak segera memiliki buah hati, berkeinginan untuk mengadopsi anak dengan tujuan untuk memancing supaya sang istri cepat hamil. Adopsi sendiri artinya pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri, dalam bahasa Arab disebut At-tabanni. Mengadopsi anak sebagai pancingan agar cepat hamil, sudah banyak diyakini oleh sebagain besar masyarakat di Indonesia. Namun tepatkah solusi seperti itu? Jika anda kekeh ingin mengadopsi anak. coba pertimbangkan, sudah siapkah kita dari segi mental?. Alangkah baiknya persiapkan mental anda terlebih dahulu sebelum memutuskan tindakan tersebut. Anda perlu mempersiapkan diri bahwa anak yang hendak anda diadopsi mungkin tidak akan seperti yang anda harapkan, baik itu dari fisik sampai sifatnya, kecerdasan, perilaku maupun kesehatan. Ubah pola pikir anda bahwa tujuan anda mengadoposi anak bukanlah semata-mata memancing kehamilan agar lebih cepat namun tegakan niat baik yang meletarbelakangi proses adopsi tersebut, yaitu ingin menolong dan menyayangi anak-anak yang kurang beruntung. Hal tersebut penting agar ikatan batin anda dengan si anak tak akan mengalami pasang surut, apalagi dikemudian hari jika anak kandung anda lahir kedunia. Sebaiknya mulai bicarakan dan berikan pengertian pada sang anak agar hubungan keluarga anda tetap terjalin secara harmonis. Dengan persiapan mental yang kuat, kasih sayang anda akan terbagi sama rata jika dikemudian hari anak kandung anda lahir kedunia.

Yang paling penting juga adalah kita harus paham betul hukum mengadopsi.‎
Islam sangat berusaha keras untuk menjaga harga diri dan keturunan dari kerancuan. Diantara aturan yang ditetapkan oleh syari'at Islam dalam hal ini ialah larangan mengadopsi.

Anak angkat dalam pemahaman jahiliyah pemahaman jahiliyah itu dapat menerima warisan dan menghalangi keluarga dekat asli yang mestinya berhak menerimanya. Oleh karena itu, tidak sedikit keluarga yang sebenarnya merasa dengki terhadap orang baru yang bukan dari kalangan mereka ini, yang merampas hak milik mereka dan menghalangi warisan yang telah menjadi harapannya.

Tradisi mengadopsi anak telah terjadi dari zaman jahiliyah di mana seseorang dibolehkan memungut anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak kandung sendiri, dan berhak dibangsakan namanya kepada orang tua angkatnya, dan berikut berlaku hukum saling mewarisi antara anak angkat dan orang tua angkat. Inilah yang diharamkan.dalam Islam.
Islam mengharamkan mengadopsi anak karena mengadopsi anak bermakna mengambil (mengangkat) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri, sementara penisbatan Nasab kepada orang yang tidak ada hubungan Nasab dicela keras dalam Islam. Dalam kamus besar bahasa  Indonesia dinyatakan;‎

adop·si n 1 pengangkatan anak orang lain sbg anak sendiri; 2 Huk penerimaan suatu usul atau laporan (msl dl proses legislatif); 3 pemungutan;

meng·a·dop·si v 1 mengambil (mengangkat) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri; 2memungut: bahasa Indonesia banyak ~ kata asing;‎
peng·a·dop·si n orang yg mengadopsi;
peng·a·dop·si·an n proses, cara, perbuatan mengadopsi

Pengertian Adopsi

Mengadopsi atau mengangkat anak banyak dilakukan oleh masyarakat yang tidak memiliki keturunan. Satu sisi, praktik adopsi anak merupakan tindakan yang mulia karena tidak jarang anak yang diangkat adalah anak yatim piatu yang membutuhkan perawatan, namun di sisi lain, jika salah dalam mengambil sikap, justru akan berakibat pada perbuatan dosa. Ada dua pengertian adopsi atau pengangkatan anak yang berkembang di masyarakat:
1- Mengambil anak orang lain untuk diasuh seperti anaknya sendiri tanpa memberi status anak kandung kepada anak tersebut.‎
2- Mengambil anak orang lain untuk diasuh seperti anak sendiri sampai melekatkan nasab anak tersebut kepada orang tua angkat tersebut sehingga membuat hak-hak keperdataan seperti saling mewarisi, menjadi wali nikah (jika anak tersebut perempuan) dan hak orang tua kandung lainnya.‎

Dengan definisi adopsi sebagaimana dinyatakan diatas, jelaslah bahwa aktifitas adopsi adalah aktifitas mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri. Artinya, anak orang lain yang tidak ada hubungan Nasab dengan pihak yang mengadopsi diangkat secara sah dan dilindungi hukum untuk menjadi anaknya untuk memperoleh konsekuensi-konsekuensi hukum sebagaimana anak sendiri.

Adopsi dengan makna seperti ini jelas diharamkan Islam karena bermakna menyambungkan Nasab (garis keturunan) kepada orang yang tidak ada hubungan Nasab, padahal Islam sangat menjaga kejelasan Nasab dan melarang pencampuradukan Nasab. Allah berfirman;

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ} [الأحزاب: 4]‎

Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar) (Al-Ahzab;4).

Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa anak-anak angkat/adopsi tidak akan pernah menjadi anak kandung selamanya. Itu semua hanya klaim mulut saja yang tidak ada nilainya sama sekali di sisi Allah dan tidak bisa mengubah konsekuensi-konsekuensi hukum.

Asbabun Nuzul ayat ini sebenarnya terkait dengan adopsi anak yang dilakukan Rasulullah SAW. Sebelum turun ayat ini Rasulullah SAW pernah mengadopsi anak yang bernama Zaid bin Haritsah. Zaid sendiri asalnya adalah seorang budak milik Khadijah, istri Rasulullah SAW. Ketika Khadijah melihat Rasulullah SAW menyukainya, maka Khadijah menghadiahkan Zaid kepada beliau. Setelah Zaid jadi miliknya, Rasulullah SAW membebaskannya dari status budak kemudian mengangkatnya menjadi anak. Dengan pengadopsian itu maka Zaid bukan lagi dipanggil Zaid bin Haritsah tetapi menjadi Zaid bin Muhammad. Setelah dewasa Zaid dinikahkan dengan wanita yang masih terhitung kerabat Rasulullah SAW sendiri yaitu Zainab binti Jahsy.

Namun ternyata Allah tidak ridha dengan sistem adopsi ini, maka diturunkanlah ayat;

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ} [الأحزاب: 4]

Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar) (Al-Ahzab;4).

Kemudian Allah memerintahkan agar anak-anak adopsi/angkat itu dipanggil dengan Nasab yang disambungkan pada ayah asli/sejati mereka. Allah berfirman;

{ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ} [الأحزاب: 5]

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (Al-Ahzab;5)

Zaid, setelah turunnya ayat ini, jika sebelumnya dipanggil Zaid bin Muhammad maka setelah itu dipanggil dengan dinisbatkan kepada ayahnya yang asli yaitu Haritsah. Sehingga panggilannya kembali lagi menjadi Zaid bin Haritsah.

Allah juga menegaskan bahwa Muhammad Rasulullah SAW tidak pernah menjadi ayah bagi salah seorang lelakipun.

{مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ} [الأحزاب: 40]

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(Al-Ahzab;40)

Memang benar Rasulullah SAW pernah memiliki sejumlah anak lelaki seperti Al-Qosim, Abdullah dan Ibrahim. Namun semua putra Rasulullah SAW ini wafat dalam usia kecil, sehingga tidak ada satupun anak kandung –yang masih hidup-yang secara syar’i boleh bernasab kepada Rasulullah SAW.

Bahkan, untuk menegaskan aturan syariat tentang adopsi ini Allah berkehendak menikahkan Zainab binti Jahsy (istri Zaid bin Haritsah) dengan Rasulullah SAW setelah Zaid menceraikannya. Menikahi istri anak angkat hukumnya mubah, karena istri anak angkat bukan menantu yang terkategori Mahram. Anak angkat tetaplah orang lain, sehingga istrinyapun juga orang lain yang halal dinikahi.

{فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا} [الأحزاب: 37]

Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Aku kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (Al-Ahzab;37)‎

Menabrak adat istiadat, tradisi dan kebiasaan umum adopsi memang cukup berat. Karena itu Allah mengingatkan Rasulullah SAW agar tidak menuruti adat istiadat, tradisi dan kebiasaan umum yang dijaga kaum kafir dan munafiq itu. Allah mengingatkan agar Rasulullah SAW hanya berpegang teguh kepada wahyu saja tanpa memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang lain.

{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّهَ وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (1) وَاتَّبِعْ مَا يُوحَى إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (2) وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا } [الأحزاب: 1 – 3]

1. Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,

2. dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhan kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

3. dan bertawakkallah kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara.(Al-Ahzab;1-3)

Nabi sendiri setelah itu, dengan tuntunan wahyu menegaskan larangan penisbatan Nasab kepada orang yang tidak ada hubungan Nasab dengan sabdanya;

صحيح البخاري (21/ 12)

عَنْ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

“Dari Sa’d beliau berkata; Aku mendengar Nabi SAW bersabda; Barangsiapa mengaku-ngaku bernasab kepada selain ayahnya sementara dia tahu dia bukan ayahnya, maka Surga haram baginya” (H.R.Bukhari)

Oleh karena itu, berdasarkan nash-nash di atas jelaslah bahwa Islam mengharamkan adopsi anak dengan pengertian menjadikan anak orang  lain sebagai anak sendiri yang diperlakukan sebagai anak sendiri dan dinisbatkan Nasabnya kepada Nasabnya sendiri.

Adapun mengadopsi anak dengan pengertian mengurus dan membiayai kebutuhan anak sampai mandiri, tanpa adanya penisbatan Nasab maka hal ini diperbolehkan bahkan dipuji karena aktifitas ini termasuk pengertian Kafalah (pengasuhan) bukan Tabanni (adopsi). Rasulullah SAW memuji orang yang bersukarela mengasuh anak yatim, yaitu mengurus dan membiayai kebutuhannya sampai dia mandiri.

صحيح البخاري (18/ 417)

عن سَهْل بْن سَعْدٍ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
“Dari Sahl bin Sa’d dari Nabi SAW beliau bersabda; Aku dan pengasuh anak yatim disurga seperti ini –beliau menunjukkan dua jarinya; telunjuk dan jari tengah- (untuk menunjukkan kedekatan)” (H.R.Bukhari)

Mengurus dan membiayai kebutuhan anak untuk meringankan beban orang lain juga termasuk keumuman perintah berbuat Ihsan (kebaikan) yang dinyatakan Allah dalam firmanNya;

{وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ } [النساء: 36]‎

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil  dan hamba sahayamu(An-Nisa; 36)‎

Atas dasar ini bisa disimpulan bahwa mengadopsi anak dengan makna mengambil (mengangkat) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri hukumnya haram sementara mengurus dan membiayai kebutuhan anak tanpa adanya penisbatan Nasab (Nasabnya tetap ke ayahnya yang asli) hukumnya sunnah. Perbedaan fakta adopsi ini perlu diperhatikan oleh seorang muslim jika ingin mengasuh seorang anak.

Patut diperhatikan pula, bahwa ketaatan terhadap syariat Islam secara ideal, pasti –tanpa diragukan lagi- akan menyelesaikan  masalah dan memblokir semua potensi masalah. Sebaliknya pelanggaran terhadap ketentuan Islam akan berakibat lahirnya masalah dan ruwetnya persoalan.

Mengangkat anak hukumnya Haram apabila, nasabnya dinisbatkan kepada orang tua yang mengangkatnya. Sedangkan mengangkat anak, apalagi anak yatim, yang tujuannya adalah untuk diasuh dan dididik tanpa menasabkan pada dirinya, maka cara tersebut sangat dipuji oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikatakan sendiri oleh Rasulullah SAW. dalam hadits riwayat Bukhari, Abu Daud dan Turmudzi: ‘Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini, sambil beliau menunjuk jari telunjuk dari jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya.’

Laqith atau anak yang dipungut di jalanan, sama dengan anak yatim, namun Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa anak seperti ini lebih patut dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam Islam dianjurkan untuk memeliharanya. Asy-Syarbashi mengatakan bahwa para fuqaha menetapkan, biaya hidup untuk anak pungut diambil dari baitul-mal muslimin. Hal ini sebagaimana dikatakan Umar bin Khattab r.a. ketika ada seorang laki-laki yang memungut anak, ‘pengurusannya berada di tanganmu, sedangkan kewajiban menafkahinya ada pada kami.’

Ummat Islam wajib mendirikan lembaga dan sarana yang menanggung pendidikan dan pengurusan anak yatim. Dalam kitab Ahkam al-Awlad fil Islam disebutkan bahwa Syari’at Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim. Oleh karena itu, agar mereka sebagai generasi penerus Islam, keberadaan institusi yang mengkhususkan diri mengasuh dan mendidik anak pungut merupakan fardhu kifayah. 

Karena bila pengasuhan mereka jatuh kepada non-muslim, maka jalan menuju murtadin lebih besar dan ummat Islam yang tidak mempedulikan mereka, sudah pasti akan dimintai pertanggungjawaban Allah SWT. Karena anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal dunia.
Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa kisah di atas sebagai latar belakang turunnya ayat tersebut. Berdasarkan analisis di atas, apabila kita mengadopsi anak orang lain untuk dicintai, diasuh, dididik, dibesarkan sebagaimana membesarkan anak sendiri, dan tidak memutuskan silaturahmi dengan orang tua kandungnya, serta tetap diberi status sebagai anak angkat, hukumnya mubah (boleh) bahkan bernilai ibadah kalau dilakukan dengan ikhlas lillahi ta’ala. 

Namun, jika kita mengadopsinya dengan memberi status sebagai anak kandung yang bisa saling mewarisi, bahkan memutuskan silaturahmi dengan orang tua kandungnya (dirahasiakan siapa orang tua kandungnya), hukumnya haram. Persoalan sensitif yang sering terjadi dalam kasus adopsi adalah masalah warisan. Menurut hukum Islam, antara anak angkat dan orang tua tidak bisa saling mewarisi. 

Alasannya, menurut para ahli hukum Islam ada tiga sebab seseorang bisa saling mewarisi. Pertama, al-qarabah (seketurunan/hubungan darah), kedua, al-mushaharah (karena hasil perkawinan yang sah), dan ketiga al-‘itqu (hubungan perwalian antara hamba sahaya dan wali yang memerdekakannya). 

Status anak angkat tidak masuk pada salah satu dari tiga sebab ini, maka disimpulkan bahwa anak angkat tidak bisa saling mewarisi dengan orang tua angkatnya. Anak angkat bisa menerima harta dari orang tua angkatnya melalui dua cara. 

Pertama, melalui hibah, yaitu pemberian mutlak dari orang tua angkat kepada anak angkat sehingga harta yang dihibahkan menjadi milik mutlak anak angkatnya. Jumlah hibah tidak dibatasi, berapapun bisa dihibahkan asal tidak menimbulkan kecemburuan dari keluarga lainnya, artinya harus bersikap adil. 

Kedua, melalui wasiat, yaitu pesan penyerahan/pemberian harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain (dalam konteks ini orang tua angkat kepada anak angkatnya) yang berlaku setelah orang itu wafat. Jadi, wasiat itu baru berlaku kalau orang yang berwasiatnya sudah wafat. 

Adapun jumlah wasiat, Para ulama sepakat berdasarkan hadits Nabi saw. bahwa batas maksimal harta yang boleh diwasiatkan adalah sepertiganya. Persoalan berikutnya menyangkut nama nasab dalam akte kelahiran atau ijazah. Banyak kasus, orang tua angkat menggantikan nama orang tua kandung anak angkatnya. Misalnya, kita punya anak angkat bernama Yayan, nama orang tua kandungnya Hidayat, sedangkan orang tua angkatnya bernama Kusnadi. 

Seharusnya di akte kalahiran Yayan bin Hidayat, karena Hidayat ayah kandungnya. Namun kenyataannya, namanya menjadi Yayan bin Kusnadi. Nah, cara seperti ini dilarang dalam Islam seperti diterangkan pada ayat di atas. Bagaimana kalau sudah telanjur? Bertaubat saja kepada Allah.Bukankah Allah swt. itu Maha Pengampun dan Penerima taubat? Bila anak angkat sudah dewasa, kita sebagai orang tua angkat harus berani menjelaskan duduk persoalannya kepadanya agar terhindar dari murka Allah. 

Lalu, bagaimana kalau tidak diketahui ayah kandungnya padahal nama ayah harus tercantum di akte kelahiran atau ijazahnya? Kalau kasusnya seperti ini, nggak masalah nama ayah angkatnya tercantum dalam akte. Namun tetap, suatu saat kalau anak itu sudah dewasa harus dijelaskan bahwa dia adalah anak angkat. Memang akan menyakitkan bagi anak dan orang tua angkat, namun inilah ketentuan Allah swt. yang harus kita laksanakan. 

KESIMPULAN DAN HIKMAH
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita keharaman melakukan penisbatan nasab bukan kepada orang tuanya. Begitu pula dalam hal adopsi. Kita harus mengimani bahwa setiap larangan Allah pasti terdapat keburukan di dalamnya yang hendak dijauhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari diri kita. Dan sebaliknya, yang diperbolehkan pasti terdapat hikmah kebaikan di dalamnya yang hendak dianugerahkan, atau bahkan ditambahkan, walaupun tanpa kita ketahui.

Mungkin saja, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menganugerahkan seorang anak kepada pasangan suami isteri, Allah Subhanahu wa Ta'ala hendak menghindarkan pasangan tersebut dari kekufuran, sebagaimana Allah memerintahkan nabi al-Khadhir untuk membunuh seorang anak yang apabila besar akan menjadi kafir dan menyeret kedua orang tuanya kepada kekufuran, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأَمَّا الْغُلاَمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا

"Dan adapun anak kecil itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya kesesatan dan kekafiran" [al-Kahfi/18:80] 

Dalam kenyataan hidup, kita sering menjumpai suatu pasangan yang tidak dikaruniai keturunan, kemudian berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Di antaranya dengan mengadopsi anak angkat. Akan tetapi, ternyata hidup mereka berubah, yang semula tenang dan tenteram, berbalik penuh bencana karena kedurhakaan sang anak angkat. Hingga akhirnya harta yang berlimpah milik pasangan tersebut benar-benar habis dan ludes. Ironisnya, ketika kedua orang tua angkat ini sudah tua renta, kemudian ditinggalkan begitu saja oleh sang anak angkat tersebut. 

Di sinilah letak ujian bagi keimanan kita kepada taqdir Allah dan kebijaksanaan-Nya, serta betapa penting kita berbaik sangka terhadap Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Adil.

Kesimpulannya, kita diperbolehkan mengadopsi anak untuk ikut mencintai, mendidik, dan membesarkannya dengan tidak memutuskan hubungan silaturrahmi dengan orang tua kandungnya, serta tetap menempatkannya sebagai anak angkat dalam hak waris, nasab, dll., dan haram mengadopsi anak dengan memberikan hak-hak anak kandung kepadanya.‎

Wallahu a’lam.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar