Minggu, 18 Oktober 2015

Hukum Berobat Dengan Sesuatu Yang Diharamkan

Sakit merupakan tabiat raga manusia yang diciptakan dalam keadaan lemah. Besi yang keras saja dapat termakan karat jika tak terawat. Oleh karena itu, bukanlah satu hal yang luar biasa sebenarnya apabila ada di antara kita terkena cobaan sakit, baik sakit ringan ataupun berat.
Allah ta’ala berfirman tentang sakit yang menimpa sebagian hamba-hamba-Nya yang shaalih :
وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَى كُرْسِيِّهِ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ
“Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat” [QS. Shaad : 34].

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ * فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya : "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang". Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah” [QS. Al-Anbiyaa’ : 83-84].
فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا * فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ.....
“Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma” [QS. Maryam : 22-23].
Tidak terkecuali Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
عن عبيدالله بن عبدالله؛ قال: دخلت على عائشة فقلت لها: ألا تحدثيني عن مرض رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قالت: بلى. ثقل النبي صلى الله عليه وسلم. فقال "أصلى الناس؟" قلنا: لا. وهم ينتظرونك. يا رسول الله! قال "ضعوا لي ماء في المخضب" ففعلنا. فاغتسل. ثم ذهب لينوء فأغمي عليه
Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku pernah masuk ke tempat ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, lalu aku bertanya kepadanya : “Tidakkah engkau sudi memberitahuku tentang sakit Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?”. Ia menjawab : “Tentu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sakit berat. Beliau bertanya :‘Apakah orang-orang telah shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum, mereka menunggumu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda : ‘Ambilkan aku air dalam bejana’. Kami pun mengambilkannya. Beliau mandi, lalu keluar hendak menuju pintu masjid, kemudian beliau pingsan [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 713 dan Muslim no. 418].

Orang yang sedang sakit, maka akan hinggap padanya derita dan rasa lemah. Aktifitasnya terhambat, dan amalnya pun berkurang dibandingkan di kala sehat. Oleh karena itu, Islam menganjurkan orang yang sakit untuk berobat.
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ شَرِيكٍ، قَالَ: قَالَتْ الْأَعْرَابُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا نَتَدَاوَى؟ قَالَ: " نَعَمْ يَا عِبَادَ اللَّهِ، تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً، أَوْ قَالَ: دَوَاءً، إِلَّا دَاءً وَاحِدًا، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ "
Dari Usaamah bin Syariik, ia berkata : Seorang Arab Baduwi berkata : “Wahai Rasulullah, apakah kami boleh berobat ?”. Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya, wahai hamba-hamba Allah. Berobatlah kalian. Sesungguhnya Allah tidaklah meletakkan satu penyakit kecuali Ia juga akan meletakkan padanya obat, kecuali satu penyakit saja (yang tidak ada obatnya)”. Mereka bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah itu ?”. Beliau menjawab :“Pikun” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2038, Ath-Thayaalisiy no. 1328, Al-Humaidiy no. 845, Ibnu Abi Syaibah 8/2, Ahmad 4/278, Al-Bukhaariy dalam Al-Abadul-Mufrad no. 291, Abu Daawud no. 3855, Ibnu Maajah no. 3436, Ibnu Hibbaan no. 6061 & 6064, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 463-467 & 469 & 471 & 474 & 477-480 & 482-484, Al-Haakim 1/121 & 4/198 & 399 & 400, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalamShahih Sunan At-Tirmidziy, 2/396-397, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1420].
Akan tetapi, tidak semua jalan berobat diperbolehkan dalam syari’at. Misalnya saja, berobat dengan mendatangi dukun yang meruqyah dengan ruqyah kesyirikan (mantera).
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ، قَال: كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: " يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟، فَقَالَ: اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا "
Dari ‘Auf bin Maalik, ia berkata : Dahulu kami melakukan ruqyah di jalan Jaahiliyyah. Lalu kami berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal itu ?”. Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :“Tunjukkan kepadaku riqyah kalian. Tidak mengapa meruqyah selama tidak mengandung kesyirikan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2200, Abu Daawud no. 3886, Al-Haakim, 4/209, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 2744, dan yang lainnya].
Begitu pula berobat dengan sesuatu yang diharamkan. Pernah satu ketika Thaariq bin Suwaid Al-Ju’fiy bertanya tentang khamr yang hendak ia pergunakan sebagai obat. Maka Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ
“Sesungguhnya khamr itu bukanlah obat, akan tetapi justru penyakit” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1984, ‘Abdurrazzaaq no. 17100, Ibnu Abi Syaibah 8/22, Ahmad 4/311 & 317 & 5/292 & 6/399, Abu Daawud no. 3873, At-Tirmidziy no. 2046, Ad-Daarimiy no. 2101, Ibnu Hibbaan no. 1389-1390 & 6065, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 8212, dan Al-Baihaqiy 10/4].
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang berobat dengan sesuatu yang kotor/haram” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3870, Ibnu Maajah no. 3459, At-Tirmidziy no. 2045, Ibnu Abi Syaibah 8/5, Ahmad 2/305 & 446 & 478, Al-Haakim 4/410, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/375, dan Al-Baihaqiy 10/5; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud, 2/465, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1419 H].
‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhuberkata :
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حُرِّمَ عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan obat bagi kalian pada sesuatu yang diharamkan kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 8/23 & 130, ‘Abdurrazzaaq no. 17097 & 17102, Ahmad dalam Al-Asyrabahno. 130 & 133, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/108, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah 4/174, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. Thn. 1415 H].
Kaum muslimin hendaknya bertaqwa kepada Allah ta’ala dalam permasalahan ini. Janganlah sampai aduhan dan erangan membuatnya mengambil dzat yang diharamkan, sementara obat-obat yang halal berserakan di sekitarnya. Seandainya ikhtiyar syar’iy kita belum mewujudkan satu kesembuhan, yakinkan pada diri kita bahwa hal itu semata-mata dikarenakan Allah ta’ala belum menakdirkan kita bertemu obat yang sesuai, padahal sebenarnya ia telah ada.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يُنْزِلْ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ "
Dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidaklah menurunkan satu penyakit kecuali Ia menurunkan juga obatnya, yang diketahui oleh orang yang mengetahui dan tidak diketahui oleh orang yang memang tidak mengetahuinya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/377 & 413 & 443 & 453, Al-Humaidiy no. 90, Abu Ya’laa no. 5183, Asy-Syaasyiy no. 752, Al-Haakim 4/192 & 393, Al-Baihaqiy 9/342, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 7036 dan dalam Al-Kabiir no. 10331, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah, 1/813-814 no. 451, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. Thn. 1415].
Sebagian ulama memasukkan hadits di atas dalam bahasan iman, sebagaimana Ibnu Mandah memasukkan hadits itu dalam Al-Iiimaan (dari jalan lain, yaitu hadits Abu Hudzaifah).

Ilustrasi yang mudah adalah : Dua orang menderita penyakit sama – misalnya batuk –, diberikan obat yang sama, namun kesembuhan keduanya berbeda. Yang satu mungkin sembuh lebih cepat dari yang lain, atau bahkan yang lain itu tidak sembuh sama sekali.

Ini menunjukkan bahwa kesembuhan hanyalah datang dari Allah ta’ala semata, bukan dari obat, karena ia hanyalah wasilah.
Betapa banyak obat herbal atau kimia yang dipromosikan mampu mengobati penyakit pada satu orang, namun tidak pada orang yang lain padahal penyakit keduanya sama ? Seandainya Allah ta’ala telah menghendaki kita sembuh pada satu obat, sembuhlah kita.
عَنْ جَابِرٍ، عن رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَال: " لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ "
Dari Jaabir, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Setiap penyakit itu pasti ada obatnya. Seandainya obat itu sudah mengenai penyakit, niscaya akan sembuh dengan ijin Allah ta’ala” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2204, Ahmad 3/335, Abu Ya’laa no. 2036, Ibnu Hibbaan no. 6063, Ibnu Mandah dalam At-Tauhiid no. 110, Al-Haakim 4/401, Al-Baihaqiy 9/343, dan yang lainnya].
Tidak perlu mencari-cari dan mencoba-coba barang haram sebagai obat. Inilah madzhab jumhur ulama. Sebagian ulama lain membolehkan berobat dengan yang haram (khamr) karena alasan darurat dengan mengqiyaskan masalah kebolehan makan darah dan daging babi dalam situasi yang sama (darurat). Jumhur menyanggah bahwa pengqiyasan itu tidak tepat, sebab makan daging babi atau yang semisalnya menyebabkan terangkatnya kondisi darurat (rasa lapar), sedangkan berobat dengan yang haram belum pasti (menyembuhkan penyakitnya).
Seandainya berobat (kuratif) dengan barang yang haram dalam kondisi yang (benar-benar) sakit saja menjadi larangan (menurut pendapat yang raajih), lantas bagaimana halnya tindakan yang hanya bersifat pencegahan (preventif) yang dilakukan pada orang yang sehat ? Seperti misalnya : tindakan vaksinasi. Qiyas aulanya, tentu lebih pantas untuk diharamkan dibanding jenis yang pertama. Sungguh musykil rasanya, ada seorang muslim sehat dan berakal, kemudian ia ber-effortuntuk mendapatkan vaksin yang ia ketahui berasal dari barang haram atau minimal diragukan kehalalannya, padahal ia mengetahui sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam larangan berobat dengan barang yang haram.
Kriteria Obat Haram

Obatan-obatan yang haram berkisar pada tiga kriteria utama saja. Pertama, bila obat itu mengandung benda-benda najis yang masih nyata ada. Kedua, bila obat-obatan itu memabukkan. Ketiga, bila obat-obatan itu membahayakan.

1. Mengandung Najis

Obat yang mengandung benda najis atau malah terbuat langsung dari benda najis hukumnya haram dikonseumsi. Meski boleh bersentuhan dengan benda-benda najis, namun seorang muslim haram hukumnya untuk memakan, meminum atau mengkonsumsi benda-benda yang jelas-jelas hukumnya najis, meski dengan alasan pengobatan. Keharaman mengkonsumsi benda-benda najis merupakan kriteria nomor satu dalam daftar urutan makanan haram.

Dalil yang menjadi dasarnya pengharamannya adalah firman Allah SWT :

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (QS. Al-A'raf : 157)

Berikut benda-benda yang najis dan disepakati kenajisannya oleh para ulama.

a. Darah

Darah manusia dan darah hewan najis hukumnya, sebagaimana firman Allah SWT :

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai dan darah…. (QS. An-Nahl : 115).

Darah yang najis adalah yang mengalir keluar dari tubuh, sebagimana firman Allah SWT dalam Al-Quran.

أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا

atau darah yang mengalir. (QS. Al-An'am : 145)

Beberapa kepercayaan masyarakat beranggapan bahwa meminum darah ular bisa mengobati penyakit, seperti asma, rematik, asam urat. Darah ular juga dipercaya ampuh menjadi obat kuat.

Tidak ada penelitian yang bisa dipercaya atau ilmiah mengenai hal ini. Yang ada hanya pembicaraan dari mulut ke mulut.

Bagaimanapun, penjualnya memang ada. Ular yang masih hidup dipenggal kepalanya, lalu darah segarnya dikucurkan ke dalam gelas. Kadang darah itu dicampur dengan arak dan madu, yang konon untuk menghilangkan bau anyir darah sang ular.

Di daerah Mangga Besar Jakarta Barat, beberapa pedagang secara khusus menyediakan darah ular segar selain sate ular, daging biawak, dan otak monyet.

Hukum minum darah jelas haram, karena darah pada hakikatnya adalah benda najis. Apalagi ditambahi arak yang juga haram hukumnya. Keharamannya jadi berlipat.

b. Urine

Air kencing atau urine adalah benda yang najis menurut jumhur ulama. Dasarnya kenajisan kotoran atau tinja adalah sabda Rasulullah SAW :

إِنَّمَا يُغْسَل الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ : مِنَ الْغَائِطِ وَالْبَوْل وَالْقَيْءِ وَالدَّمِ وَالْمَنِيِّ

Baju itu dicuci dari kotoran, kencing, muntah, darah, dan mani. (HR. Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthny)

Urine adalah air seni atau air kencing, baik yang keluar dari tubuh manusia atau hewan, adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang kemudian dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Para ahli mengatakan bahwa eksreksi urine diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh.

Di beberapa tempat kita menemukan orang melakukan pengobatan dengan terapi urine. Orang yang berobat dengan cara ini diharuskan meminum urinenya sendiri.

Konon kabarnya, minum air kencing sebagai pengobatan sudah dilakukan di India sekitar 5000 tahun lalu.

Orang Eropa kabarnya juga mengenal terapi ini sejak 4000 tahun lalu. Di China, pengobatan ini baru dikenal sejak 1700 tahun lalu.

Sementara itu di Jepang, terapi ini baru dikenal pada 700 tahun lalu. Di Indonesia sendiri sebagian masyarakat kita menerapkan terapi ini.

Memang ada perbedaan pendapat tentang apakah air kencing itu mengandung racun penyakit atau tidak.

Pihak yang bilang urine tidak mengandung racun berpatokan pada laporan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) tahun 1992. Laporan itu menyatakan bahwa air urine bersifat steril jika tidak tercemari tinja.

Para pakar yang sudah lama mempraktikkan terapi ini mengatakan bahwa urine itu mengandung berbagai senyawa berharga, seperti mineral, vitamin, hormon, enzim, antibodi, antialergen, antigen, asam amino, serta bahan nutrien lain yang berguna bagi tubuh. Bahan-bahan senyawa yang ditemukan di dalam urine ini bersifat murni, bioaktif, dan mempunyai kemampuan menyembuhkan sendiri (bio-self healing power).

Lepas dari apakah terapi urine itu ilmiah dan dapat dipertanggung-jawabkan, juga lepas dari apakah terapi ini berhasil menyembuhkan penyakit, dalam syariat Islam air kencing hukumnya tetap najis. Dan karena kenajisannya, hukum berobat dengan terapi urine termasuk hal yang diharamkan apabila urine itu diminum. Hal ini tidak terbatas pada urine manusia saja, tapi juga urine hewan.

2. Terbuat Dari Hewan Yang Diharamkan

Ada cukup banyak jenis hewan yang diharamkan dalam syariat Islam. Di antaranya adalah :

a. Babi

Di antara hewan yang jelas-jelas diharamkan tanpa menyebutkan ‘illat-nya adalah babi. Setidaknya kitab suci Al-Quran empat kali menyebutkan ihwal keharaman babi di empat ayat yang terpisah.

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah dan daging babi(QS. Al-Baqarah : 173)

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ

Diharamkan bagimu bangkai, darah dan daging babi (QS. Al-Maidah : 3)

قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi (QS. Al-An'am : 145)

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِير

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi.(QS. An-Nahl : 115)

Seluruh ulama baik di kalangan mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah telah bersepakat atas haramnya daging babi untuk dimakan. Tidak ada khilaf sedikit pun tentang keharaman daging babi di antara para ulama.

Banyak orang mengira bahwa ketika Allah SWT mengharamkan babi, alasannya karena faktor-faktor kesehatan. Padahal keharamannya tidak ada kaitannya dengan hal-hal seperti itu. Sebab di dunia ini ada ratusan juta manusia yang mengkonsumsi daging babi secara rutin sepanjang hayat tanpa mengalami masalah kesehatan yang serius.

Bangsa Cina umumnya makan babi, tapi kita tahu ilmu kedokteran Cina luar biasa hebat. Teknologi bangsa Cina pun tidak kalah maju dengan teknologi bangsa lain. Kita juga tidak pernah mendapatkan angka bahwa bangsa Cina termasuk bangsa yang penyakitan gara-gara makan babi.

Keharaman babi semata-mata bersifat ketetapan langsung dari Allah SWT, bukan berdasarkan analisis ilmiah seperti yang disangka kebanyakan orang, atau yang yang dituntut oleh nonmuslim.

Dengan demikian, seorang muslim tidak makan babi bukan karena takut cacing pita, virus tertentu, atau karena babi itu hewan yang kotor. Alasan-alasan itu akan kehilangan sandaran manakala ditemukan teknologi yang bisa mengolah daging babi agar bebas cacing pita atau virus tertentu.

Kalau pun babi itu dikaitkan hewan yang hidupnya kotor dan bahkan sering dibilang suka memakan kotorannya sendiri, itu pun bukan alasan kenapa babi diharamkan.

Sebab bisa saja para penyayang binatang mengawinkan ras-ras tertentu dari babi sehingga lahir varian babi tertentu yang bisa dipelihara dengan higienis, dimandikan dengan air bersih sehari dua kali dengan shampo, berbulu putih mulus, wangi, bersih dan bebas kuman, sehingga menjadi hewan peliharaan dalam rumah, bukan di dalam kandang. Babi itu tidak diberi makan kecuali makanan yang baik, bergizi, steril dan mahal.

Toh semua itu tetap tidak menjadikan babi hewan yang halal dimakan dan suci.

b. Bangkai atau Yang Tidak Disembelih Sesuai Syar’iah

Dalam bahasa Arab, bangkai disebut dengan maitah (ميتة). Dan pengertian secara syar'i atas istilah bangkai adalah seperti yang didefinisikan oleh Al-Jashshash dalam kitab tafsirnya :‎

اسْمُ الْحَيَوَانِ الْمَيِّتِ غَيْرِ الْمُذَكَّى

Nama yang disematkan pada hewan yang mati di luar cara penyembelihan.

Matinya hewan tanpa penyembelihan itu bisa dengan dua cara. Pertama, hewan itu mati dengan sendirinya tanpa penyebab dari manusia. Kedua, hewan itu mati oleh sebab manusia, dengan tidak memenuhi aturan dalam ketentuan penyembelihan yang syar'i.

Para ulama juga menambahkan pengertian bangkai adalah potongan tubuh hewan yang terlepas dari badannya, seperti kaki, paha, telinga dan lainnya, sementara hewan itu masih dalam keadaan hidup. Karena hal itu secara khusus disebutkan oleh Rasulullah SAW :

مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَهِيَ مَيْتَةٌ

Semua yang terpotong dari hewan ternak yang masih hidup, maka potongan itu termasuk bangkai (HR. Abu Daud dan At-Tirmizy)

c. Hewan Buas

Hewan yang juga termasuk diharamkan untuk dimakan oleh seorang muslim adalah hewan buas, atau hewan pemakan hewan lain. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw berikut ini.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r نَهَى عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ

Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW melarang memakan hewan yang punya taring dari binatang buas dan yang punya cakar dari unggas. (HR. Muslim)

أَكْل كُل ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ حَرَامٌ

Memakan semua hewan yang buas hukumnya haram (HR. Malik dan Muslim)

Para ulama menyebutkan bahwa ciri dari hewan buas adalah hewan yang mempunya taring dan cakar, dimana taring dan cakar itu digunakan untuk membunuh mangsanya dan mengoyak serta memakannya.

Meski secara biologis ada hewan yang punya gigi taring dan kuku, namun yang dimaksud dengan taring bukan sembarang gigi taring, melainkan taring dalam arti dia membunuh mangsanya yang merupakan hewan lain dengan menggunakan taringnya itu.

Dan tentunya bukan sekedar membunuh, tetapi juga mengoyak, menguliti dan memakannya. Sehingga inti dari sebutan hewan bertaring adalah hewan yang memakan hewan lain. Dalam istilah ilmiyah disebut carnivora.

Demikian juga dengan cakar, fungsinya adalah untuk membunuh mangsanya, mengoyak atau menguliti hewan lain yang jadi mangsanya. Cakar disini bukan sekedar kuku, tetapi lebih kepada fungsinya.

Ayam, itik, kambing dan kuda adalah hewan yang punya kuku, tapi kita tidak mengelompokkannya sebagai hewan buas. Sebab cakarnya ayam tidak digunakan untuk memangsa dan memakan mangsa. Kita menyebut cakar ayam itu sebagai ceker.

d. Hewan Harus Dibunuh

Termasuk jenis hewan yang haram dikonsumsi adalah hewan yang Allah perintahkan kita untuk membunuhnya dan hewan yang justru kita dilarang untuk membunuhnya.

Rasulullah SAW memerintahkan kita umatnya untuk membunuh beberapa jenis hewan tertentu. Tentu maksudnya bukan untuk membasmi atau membuat satwa itu menjadi punah. Perintah ini bersifat kasuistik, dimana salah stu hikmahnya adalah untuk menyelematkan diri dari kejahatan atau kecelakaan yang bisa ditimbulkan oleh satwa tersebut.

Penggunaan istilah bunuh (قتل) berbeda makna dan konotasinya dengan penyembelihan (ذبح). Membunuh hewan akan membuat hewan itu menjadi bangkai, dan hukum bangkai najis serta tidak boleh dimakan.

Sedangkan penyembelihan akan membuat hewan itu mati dalam keadaan suci, sehingga tubuh hewan itu tidak menjadi najis dan boleh dimakan.

Kelima hewan ini disebutkan secara bersamaan oleh Rasulullah SAW dalam satu hadits, yang intinya bila kita berhadapan atau terancam oleh hewan-hewan itu, maka kita diperintah untuk membunuhnya.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ r قَالَ خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْحُدَيَّا وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ

Dari Aisyah radhiyallahuanha, Rasulullah SAW bersabda,"Lima macam hewan yang hendaklah kamu bunuh dalam masjid: Gagak, elang, kalajengking, tikus, dan anjing. (HR. Bukhari Muslim)

Dan oleh karena hewan itu mati dengan cara dibunuh dan tidak disembelih, maka hewan itu menjadi bangkai. Dan bangkai itu najis serta haram untuk dimakan.

Bagaimana hukumnya bila hewan-hewan itu tidak dibunuh tetapi disembelih, apakah hukumnya menjadi halal? Jawabnya tetap tidak halal, sebab perintah untuk membunuh hewan-hewan itu maknanya bahwa hewan itu kalau pun disembelih, hukumnya tidak sah juga.

Tokek

Perintah untuk membunuh tokek datang dari hadits yang levelnya shahih, yaitu diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam kitab beliau, Ash-Shahih.

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahuanhu berkata, “Nabi SAW memerintahkan untuk membunuh tokek dan menyebutnya fasiq kecil” (HR. Muslim)

Belakangan ini marak orang berjual-beli tokek, yang harganya selangit. Harga tokek mulai beranjak tinggi jika memiliki berat di atas 3 ons. Harga tokek dengan berat 3 ons sendiri, konon bisa berharga Rp. 30 juta hingga Rp. 100 juta-an, sedangkan tokek dengan berat 3,5 sampai 4 ons biasa dihargai dengan Rp. 100 juga hingga Rp. 800 juta. Lalu untuk apa tokek itu sehingga harganya bisa setinggi itu dan membuat banyak orang menjadi gila karena berburu tokek?

Konon tokek itu dipercaya bila menjadi obat berbagai penyakit termasuk HIV/AIDS. Tentu saja belum pernah ada penelitian tentang hal itu, apalagi pembuktian yang bersifat ilmiyah. Tetapi begitulah ciri masyarakat Indonesia, mudah terkena eforia.

Namun lepas dari kotroversi harga tokek dan khasiatnya sebagai obat, syariat Islam mengharamkan umatnya memakan tokek, dengan alasan karena tokek itu termasuk hewan yang diperintahkan kepada kita untuk membunuhnya.

Secara sekilas hadits di atas menyebutkan tentang nama-mana hewan dimana Rasulullah SAW perintahkan kita untuk membunuhnya itu adalah gagak, elang, kalajengking, tikus, anjing dan tokek.

Tentunya tidak boleh dipahami bahwa ada perintah khusus dalam syariat Islam untuk membasmi atau membunuh semua hewan itu di atas permukaan bumi ini.

Namun dalam hal ini, yang harus dipahami adalah bahwa seseorang berhadapan secara tidak sengaja dengan hewan-hewan buas yang bisa mencelakakan dirinya, termasuk bisa melukai dan barangkali memakan, maka kita diwajibkan untuk melawan dengan cara membunuhnya.

Tentu saja tidak perlu dilakukan proyek berburu secara sengaja untuk melenyapkan hewan-hewan itu secara masif.

Makanya disebutkan hewan itu liar dan merusak, bahkan merugikan kita, salah satunya karena hewan itu masuk ke dalam masjid, tempat ibadah yang seharusnya tenang.

Kalau hewan itu ketahuan masuk masjid dan lari menyelamatkan diri, tentu tidak perlu dikejar-kejar sampai tertangkap. Perintahnya tidak sampai kesana, tetapi hanya sebatas bila hewan itu mengganggu, maka kita tangkap dan kita bunuh.

Karena Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuhnya, oleh para ulama ditafsirkan sebagai hewan yang tidak baik untuk dimakan.

Beberapa hewan disebutkan di dalam hadits di atas, yaitu gagak, elang, kalajengking, tikus, dan anjing, adalah hewan yang kalau mengganggu keselamatan kita, wajib untuk dibunuh.

Perintah untuk membunuh ini berbeda dengan perintah untuk menyembelih. Membunuh sekedar melakukan perbuatan yang membuat hewan itu mati, entah dengan cara dipukuli, dilempar, diikat, dijebak, diracun, dan beragam cara lain yang dikenal manusia. Intinya dibunuh dan bukan disembelih.

Dan karena hanya dibunuh dan bukan disembelih, maka hewan itu kalau sudah mati menjadi bangkai. Dan bangkai itu adalah hewan itu haram dimakan.

e. Dilarang Membunuh

Di antara hewan yang secara langsung Rasulullah SAW larang atas kita untuk membunuhnya adalah semut, labah, hud-hud dan shurad. Selain itu Rasulullah juga melarang kita untuk membunuh kodok dan tokek.

Dalil yang mendasari larangan itu adalah sabda Rasulullah SAW dalam hadits berikut ini :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه أَنَّ النَّبِيَّ r نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِ : النَّمْلَةِ وَالنَحْلَةِ وَالهُدْهُد وَالصُّرَدِ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, Rasulullah SAW melarang membunuh empat macam hewan: semut, lebah, hud-hud, dan shurad. (HR. Abu Daud)

Kodok

Hewan yang secara ekplisit diharamkan bagi kita untuk membunuhnya adalah kodok. Dasar haditsnya adalah sebagai berikut :

سَأَلَ طَبِيْبٌ النَّبِيَّ r عَنْ ضِفْدَعِ يَجْعَلُهَا فيِ دَوَاءٍ فَنَهَاهُ عَنْ قَتْلِهَا

“Dari Abdurrahman bin Utsman Al-Quraisy, bahwa seorang tabib (dokter) bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat. Maka Rasulullah SAW melarang membunuhnya.” (Ditakharijkan oleh Ahmad, Al-Hakim dan Nasa’i)

Keharaman kodok untuk dimakan bukan hanya karena hewan itu termasuk hidup di dua alam, sebagaimana yang disebutkan dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, melainkan juga karena adalah larangan dari Rasulullah SAW untuk membunuh kodok untuk dijadikan obat. Sehingga kalau pun alasan hidup di dua alam masih menjadi khilaf di kalangan ulama, kodok tetap hewan yang haram dimakan oleh sebab hadits di atas.

Kenapa hewan yang kita dilarang membunuhnya menjadi haram kita makan?

Logikanya adalah bahwa hewan yang tidak boleh dibunuh itu berarti mati dengan sendirinya. Dan hewan yang mati dengan sendirinya termasuk bangkai, sebab kalau mau dibilang halal, maka harus disembelih.

Padahal kita dilarang membunuhnya, tentu saja pengertiannya termasuk dilarang juga untuk menyembelihnya.

Maka kalau hewan-hewan yang kita dilarang untuk membunuhnya itu jadi haram, salah satu illatnya karena hewan itu menjadi bangkai juga

3. Memabukkan

Kriteria obat-obatan yang diharamkan adalah bila obat-obatan itu dapat membuat seseorang menjadi mabuk bila mengkonsumsinya. Dan segala apa yang dimakan atau diminum, bila membuat pelakunya menjadi mabuk, disebut dengan istilah khamar.

Khamar dalam bahasa Arab berasal dari akar kata “khamara” (خمر) yang bermakna sesuatu yang menutupi. Disebutkan (ما خمر العقل) yaitu sesuatu yang menutupi akal.

Sedangkan jumhur ulama memberikan definisi khamar yaitu segala sesuatu yang memabukkan, baik sedikit maupun banyak. Definisi ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW :

عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِى الدُّنْيَا فَمَاتَ وَهُوَ يُدْمِنُهَا لَمْ يَتُبْ لَمْ يَشْرَبْهَا فِى الآخِرَةِ

Dari Ibni Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Segala yang memabukkan itu adalah khamar dan semua jenis khamar itu haram. Siapa yang minum khamar di dunia dan mati terbiasanya meminumnya tanpa bertaubat, maka dia tidak akan meminumnya di akhirat ” (HR. Muslim dan Ad-Daruquthuny)

كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ.

”Segala minuman yang memabukkan adalah khamar.” (HR. Bukhari Muslim).

Namun para ulama berbeda pendapat tentang apakah Alkohol itu khamar atau bukan. Sebagian mengatakan Alkohol adalah khamar, sehingga semua hukum khamar juga berlaku pada Alkohol. Namun kebanyakan ulama tidak menganggapnya sebagai khamar, sehingga hukum Alkohol berbeda dengan hukum khamar.

a. Alkohol Adalah Khamar

Mereka yang mengatakan bahwa Alkohol adalah khamar menyandarkan pendapat mereka atas dasar bahwa minuman yang asalnya halal, akan menjadi khamar begitu tercampur Alkohol. Padahal sebelum dicampur Alkohol, makanan atau minuman itu tidak memabukkan, dan hukumnya tidak haram.

Karena keharaman itu datangnya setelah ada pencampuran dengan Alkohol, maka justru titik keharamannya terletak pada Alkohol itu sendiri.

Oleh karena itu menurut pendapat ini, titik keharaman khamar justru terletak pada keberadaan Alkoholnya. Sehingga Alkohol itulah sesungguhnya yang menjadi intisari dari khamar. Atau dalam bahasa lain, Alkohol adalah biangnya khamar.

Maka menurut pendapat ini, semua hukum yang berlaku pada khamar, otomatis juga berlaku pada Alkohol, bahkan lebih utama. Misalnya dalam urusan najis, karena jumhur ulama menajiskan khamar, maka otomatis Alkohol pun merupakan benda najis, bahkan biang najis.

Ketika para ulama mengatakan bahwa wudhu’ menjadi batal karena terkena najis, maka orang yang memakai parfum beralkohol pun dianggap terkena najis, sehingga wudhu’nya dianggap batal.

Di antara mereka yang berpendapat bahwa Alkohol adalah khamar dan najis adalah Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’qub, MA, yang menjelaskan dalam disertasinya. [6]

b. Alkohol Bukan Khamar

Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa Alkkohol bukan termasuk khamar, juga punya argumentasi yang sulit dibantah. Di antaranya :
Alkohol Terdapat Secara Alami Dalam Makanan

Alkohol itu terdapat pada banyak buah-buahan secara alami. Prof. Made Astawan, ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan bahwa setiap buah dan sayuran mengandung ethanol (salah satu unsur alkohol). Unsur ini akan semakin dominan bila buah dan sayur mengalami pembusukan (fermentasi).

Dr. Handrawan Naedesul, redaktur ahli Tabloid SENIOR, mengatakan bahwa setiap buah diindikasikan memiliki kandungan alkohol. Contoh yang jelas adalah nangka dan durian, kadar alkohol buah tersebut di bawah lima persen.

Anggur segar diperkirakan mengandung Alkohol kira-kira 0,52 mg/Kg.

Kalau Alkohol itu khamar, lalu bagaimana dengan semua makanan sehat dan halal di atas? Kita tidak pernah mendengar ada fatwa ulama dimana pun yang mengharamkan semua makanan di atas, hanya semata-mata karena dianggap mengandung Alkohol.

Dan alasan dimaafkan tentu bukan alasan yang tepat, sebab kalau memang Alkohol itu khamar, tentunya banyak atau sedikit seharusnya tetap dianggap haram.

Alkohol Tidak Dikonsumsi

Di antara argumentasi bahwa Alkohol bukan khamar adalah pada kenyataannya, Alkohol tidak pernah dikonsumsi oleh manusia secara langsung. Dengan kata lain, pada dasarnya Alkohol itu memang bukan minuman yang lazim dikonsumsi, dan orang tidak mejadikan Alkohol murni sebagai minuman untuk bermabuk-mabukan.

Orang yang minum Alkohol murni, atau setidaknya yang kandungannya 70% seperti yang banyak dijual di apotek, dia tidak akan mengalami mabuk, tetapi langsung meninggal dunia.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa Alkohol bukan khamar, sebab pengertian khamar adalah makanan atau minuman yang kalau dikonsumsi tidak akan langsung membuat peminumnya meninggal dunia, melainkan akan membuat pelakunya mengalami mabuk.

Sedangkan Alkohol murni tidak membikin seseorang mabuk, tetapi langsung meninggal. Maka kesimpulannya, Alkohol bukan khamar melainkan racun. Sebagai racun, Alkohol memang haram dikonsumsi, karena memberi madharat atau membahayakan jiwa dan nyawa kita. Pembahasan tentang makanan yang membahayakan adalah kriteria ketiga dalam ketentuan makanan haram.

Memabukkan Tetapi Tidak Ber-Alkohol

Pendapat bahwa Alkohol itu bukan khamar juga dikuatkan dengan kenyataan bahwa begitu banyak benda-benda yang memabukkan, atau termasuk ke dalam kategori khamar, tetapi justru tidak mengandung Alkohol.

Misalnya daun ganja yang dibakar dan asapnya dihirup ke paru-paru, sebagaimana yang dilakukan oleh para penghisap ganja. Asap itu mengakibatkan mereka mabuk dalam arti yang sebenarnya. Namun kalau diteliti lebih seksama, baik daun ganja maupun asapnya, tidak mengandung Alkohol.

Pil dan obat-obatan terlarang yang sering digunakan oleh para pemabuk untuk teler, rata-rata justru tidak mengandung kandungan Alkohol. Demikian juga dengan opium, shabu-shabu, ekstasy dan lainnya, rata-rata tidak beralkohol. Tetapi semua orang yang mengkonsumsinya dipastikan akan mabuk.

Artinya, Alkohol belum tentu khamar. Dan sebaliknya, khamar belum tentu mengandung Alkohol.

Hukum Dasar : Semua Benda Suci

Kalau kita perhatikan lebih saksama, tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang mengharamkan Alkohol. Bahkan kata alkohol itu tidak kita dapati dalam 6000-an lebih ayat Al-Quran.

Kita juga idak menemukan satu pun hadis Nabawi yang mengharamkan Alkohol, padahal jumlah hadis Nabawi bisa mencapai jutaan. Yang disebutkan keharamannya di dalam kedua sumber agama itu hanyalah khamar.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90)

Dan sesuai dengan makna bahasa pada masa itu, khamar adalah minuman hasil perasan anggur atau kurma yang telah mengalami fermentasi pada tingkat tertentu sehingga menimbulkan gejala iskar (الإسكار) atau memabukkan.

Lalu, bagaimana bisa kita mengharamkan ganja, mariyuana, opium, narkotika, dan yang lainnya sementara nama-nama tersebut juga tidak disebutkan dalam kitabullah dan sunah Rasul-Nya? Apakah benda-benda itu halal dikonsumsi?

Jawabnya tentu tidak. Alasannya, benda-benda tersebut punya kesamaan sifat dan ‘illat dengan khamar, yaitu memabukkan orang yang mengonsumsinya. Karena daya memabukkannya itulah benda-benda tersebut diharamkan dan juga disebut khamar.

Banyak jenis makanan dan minuman yang diduga mengandung khamar, antara lain bahan-bahan yang disinyalir memiliki kandungan alkohol.

Meskipun demikian, bukan berarti semua bahan makanan yang mengandung alkohol secara otomatis dianggap khamar. Perlu diingat bahwa khamar tidak identik dengan alkohol sebagaimana alkohol juga tidak selalu menjadi khamar.

Adapun obat-obatan yang mengandung kadar tertentu Alkohol, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam keterangannya memberikan batasan bahwa obat-obatan masih ditolelir bila mengandung kadar Alkohol di bawah 1 persen.

4. Berbahaya

Kriteria obat yang diharamkan adalah yang mengandung zat-zat berbahaya yang tidak diremendasikan oleh ilmu kedoktran. Sebab, pada dasarnya tindakan yang berakibat madharat —termasuk membunuh diri sendiri— adalah haram. Maka, mengkonsumsi obat yang akan merusak diri sendiri tentu haram hukumnya.

Dalam Al-Quran Al-Karim, Allah SWT menegaskan keharaman setiap muslim untuk melakukan hal-hal yang membahayakan atau membunuh diri sendiri.

وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah: 195)

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah sangat mengasihi kamu. (QS. An-Nisa: 29)

مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فيِ نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيْهَا خَالِدًا مُخْلِدًا فِيْهَا أَبَدًا

Orang yang melempar tubuhnya dari atas gunung, berarti dia melempar dirinya masuk ke dalam neraka jahanam, kekal untuk selama-lamanya. (HR. Bukhari)

Di antara bentuk-bentuk obat yang berbahaya adalah obat racikan yang tidak memenuhi ketentuan stantar badan obat, seperti obat tradisional yang dicampurkan dengan bahan-bahan yang tidak diizinkan sebagai obat.

Di antara jenis obat yang berbahaya misalnya bila dicampur dengan bahan kimia obat keras seperi Sibutramin Hidroklorida, Sildenafil Sitrat, Siproheptadin, Fenilbutason, Asam Mafenamat, Prednison, Metampiron, Teofilin, serta obat Parasetamol.

Seharusnya obat-obat yang dibuat seperti ini hanya boleh dikonsumsi dengan resep dari dokter yang ahli dan telah melakukan penelitian atas penyakit yang diderita pasien

Termasuk obat berbahaya adalah mengkonsumsi obat palsu, yang ternyata peredarannya cukup banyak di tengah masyarakat. Disinyalir bahwa setidaknya sekitar 25% obat yang beredar di Indonesia adalah termasuk jenis obat palsu, dengan mutu yang tidak terjamin, selain juga berbahaya bagi kesehatan. Obat palsu dapat menyebabkan kematian layaknya obat berbahaya. Efek negatif lainnya adalah penyakit tidak kunjung sembuh walaupun pengobatan intensif telah dilakukan.

Obat tanpa mutu dan resep yang jelas dari dokter sangat berbahaya. Walaupun harganya murah, tetapi efeknya sangat berbahaya. Obat akan menjadi lebih berbahaya jika penggunaannya berbenturan dengan obat lain yang memiliki kandungan kimia berbeda dan bertentangan. Selain itu, kandungan dalam obat juga berdampak buruk bagi penyakit lain di dalam tubuh.

Umumnya orang yang mengkonsumsi obat yang dibeli di pasaran bebas tidak mengetahui hal ini. Sebagai contoh, mereka tahunya mengkonsumsi obat merek X penyakit batuk bisa sembuh. Padahal, obat tersebut justru berpengaruh buruk bagi penderita penyakit jantung.

Laporan dari World Health Organization (WHO), 10 persen obat yang beredar di seluruh dunia adalah obat palsu. Bahkan, laporan terakhir yang dirilis United Stated Trade Representatives (USTR) menyebutkan, 25 persen obat yang beredar di Indonesia adalah palsu. Keberadaan pasar gelap yang menjual obat-obat palsu, kian memperparah kesehatan masyarakat.

Yang juga sangat beresiko dari obat adalah obat-obat peningkat gairah seksual yang banyak dijajakan di pinggir jalan.

B. Pendapat yang Menghalalkan

Mereka yang menghalalkan berobat dengan obat-obatan haram berdalil bahwa berobat merupakan hal yang bersifat darurat. Dan kedaruratan itu membolehkan hal yang hukumnya terlarang, sebagaimana kaidah fiqhiyah:

الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ المَحْظُورَاتِ

Kedarutan membolehkan hal-hal yang terlarang

Namun, kebolehan mengonsumsi obat haram ini tidak berlaku mutlak. Mereka yang mendukung pendapat ini mensyaratkan beberapa hal penting :

1. Usahakan yang halal terlebih dulu

Selama masih ada obat halal, obat haram tidak boleh digunakan, sebab unsur kedaruratannya hilang. Dengan kata lain, kita harus terlebih dulu berusaha mendapatkan obat-obatan halal sebelum berpindah kepada yang hukumnya haram.

2. Tidak menikmati

Orang yang dengan terpaksa mengonsumsi makanan yang haram karena keadaan darurat pengobatan tidak boleh menikmati makanan haram itu. Kalau dinikmati, status kedaruratannya menjadi tidak ada nilainya.

3. Berobat secukupnya

Terpaksa berobat dengan makanan yang haram hanya dibenarkan jika terbatas pada dosis yang telah ditoleransi dokter. Berlebihan dalam mengonsumsi yang haram karena alasan pengobatan sama saja dengan melanggar ketentuan kedaruratan itu sendiri.

4. Terbukti manjur secara mutlak

Syarat yang paling penting dari semua itu adalah obat yang dianggap bisa menyembuhkan tetapi haram itu selama ini memang telah terbukti khasiatnya. Dengan kata lain, sifatnya bukan coba-coba atau sekadar bereksperimen. Sesuatu yang darurat tidak dilakukan dengan jalan coba-coba, sebab risikonya terlalu besar sementara belum ada kepastian apakah makanan haram itu benar-benar bisa mengobati. Jangan sampai kita hanya terjebak mitos.

C. Pendapat yang Mengharamkan

Pendapat yang kedua adalah pendapat yang tidak bisa menerima tidak adanya obat halal menjadi unsur kedaruratan. Dalam pandangan mereka, mengonsumsi makanan haram dengan alasan pengobatan adalah hal yang tidak bisa dibenarkan secara syariah. Secara umum, mereka ingin mengatakan bahwa pengobatan bukan bagian dari kedaruratan.

Dalil pendapat mereka adalah Rasulullah SAW berkali-kali dan secara tegas melarang berobat dengan meminum khamar. Dalam banyak hadis kita temukan larangan tegas itu.

عَنْ طاَرِقِ بْنِ سُوَيدٍ الجَعْفِي أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولُ اللهِ r عَنِ الخَمْرِ فَنَهَاهُ عَنْهَا فَقَالَ: إِنَّمَا أَصْنَعُهَا لِلدَّوَاءِ. فَقَالَ: إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ

Thariq bin Suwaid al-Ja'fi radhiyallahuanhu berkata bahwa dirinya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hukum minum khamar dan Rasulullah saw. mengharamkannya. Dia bertanya,”Tetapi ini untuk pengobatan.” Maka Rasulullah saw. menjawab, “Khamar itu bukan obat, tetapi penyakit.” (HR. Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizy)

Dalam hadits ini Rasulullah Saw menegaskan bahwa khamar yang memabukkan itu memang banyak orang gunakan sebagai obat yang menyembuhkan. Namun dalam pandangan hukum Islam, meski kenyataanya memang ada penyakit yang bisa disembuhkan, tetapi pada hakikatnya khamar itu malah merupakan penyakit.Sehingga hukumnya tetap haram.

Selain hadits ini juga ada hadits lainnya,

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءَ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ: إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءُ فَتَدَاوُوا وَلاَ تَتَدَاوُوا بِحَرَامٍ

Dari Abi Ad-Darda' radhiyallahuanhu bahwa Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat. Dan Dia menjadikan buat tiap-tiap penyakit ada obatnya. Maka, makanlah obat, tapi janganlah makan obat dari yang haram. (HR. Abu Daud)

Dalam hadits ini Rasulullah SAW menegaskan bahwa berobat dengan barang yang haram itu hukumnya haram juga.

Di negeri sub tropis banyak orang memanfaatkan khamar untuk menghangatkan badan, bukan untuk mabuk. Bagaimana hukumnya dalam pandangan syariat Islam?

Jawabannya ditegaskan dalam hadits nabawi berikut ini :

أَنَّ دَيْلَمْ الحُمَيْرِي سَأَلَ النَّبِيَّ r فَقَالَ : يَا رَسُولَ الله إِنَّا بِأَرْضٍ بَارِدَةٍ نُعَالِجُ فِيْهَا عَمَلاً شَدِيْدًا وَإِنَّا نَتَّخِذُ شَرَابًا مِنْ هَذَا القَمْحِ نَتَقَوَّى بِهِ عَلَى أَعْمَالِنَا وَعَلىَ بَرْدِ بِلاَدِنَا. قَالَ رَسُولُ اللهِ : هَلْ يُسْكِر؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فاَجْتَنِبُوه، قَالَ: إِنَّ النَّاسَ غَيْرَ تَارِكِيْهِ. قاَلَ: فَإِنْ لَمْ يَتْرُكُوهُ فَقَاتِلُوهُمْ

Dailam Al-Humairi bertanya kepada Nabi saw.,”Ya Rasulullah, kami tinggal di negeri yang sangat dingin, tempat kami melawannya dengan perbuatan dahsyat, yaitu dengan cara meminum qamh ini. Khasiatnya bisa menguatkan tubuh kami dan melawan rasa dingin negeri kami.” Rasulullah saw. bertanya, ”Apakah minuman itu memabukkan?” “Ya, memabukkan,” jawabnya. "Tinggalkanlah,” kata Rasulullah saw. “Tapi orang-orang tidak mau meninggalkan minuman itu,” balasnya. Maka Nabi saw. bersabda,”Kalau mereka tidak mau meninggalkan minuman itu, perangilah mereka.” (HR. Abu Daud)

Berobat dengan barang yang haram itu hukumnya haram menurut sebagian ulama, namun bila dalam keadaan yang sangat mendesak demi menyelematkan nyawa, sebagian ulama mengatakan itu merupakan kedaruratan.‎
Pada dasarnya Islam telah mengatur apa saja yang boleh dikonsumsi ataupun dihindari oleh umatnya. Hal ini tentu saja berlaku pada makanan, minuman, obat-obatan serta berbagai penunjang kebutuhan manusia lainnya. Prinsip yang dikembangkan oleh Islam adalah menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk dampaknya bagi keberlangsungan kehidupan manusia secara keseluruhan. Hal ini sebagaimana tertuang dalam firman Allah surat al-A’raf ayat 157:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Artinya: dan Nabi yang ummi serta didapati dalam kitab Taurat dan Injil tersebut (Rasulullah saw) menghalalkan segala yang baik dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka.

Ayat diatas kemudian dijabarkan oleh Rasulullah saw melalui hadis-hadis beliau yang cukup banyak dan kemudian ditafsiri oleh generasi setelahnya dengan berbagai macam penafsiran.‎

Semut, cacing, dan undur-undur dalam istilah biologi termasuk hewan yang tidak mempunyai tulang belakang atau tulang punggung (Avertebrata/invertebrata), sementara dalam bahasa Arab ketiga jenis hewan ini dimasukkan dalam kategori serangga (al-hasyarat). Khusus untuk Semut hampir mayoritas ulama mengatakan bahwa hewan ini haram dimakan karena termasuk salah satu hewan yang dilarang oleh Nabi untuk dibunuh. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud bersumber dari Ibnu Abbas Rasulullah saw bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ: النَّمْلَةُ، وَالنَّحْلَةُ، وَالْهُدْهُدُ، وَالصُّرَدُ

Artinya: Dari Ibnu Abbas, Ia berkata: “Sesungguhnya Nabi saw melarang untuk membunuh empat binatang: semut, lebah, burung Hudhud, dan burung Shurod.”

Hadis di atas kemudian dijadikan dasar oleh para ulama mengenai tidak diperbolehkannya semut untuk dikonsumsi sebagai makanan, meskipun masih banyak diantara mereka yang beranggapan bahwa jenis semut yang dilarang untuk dibunuh hanyalah satu jenis semut tertentu.

Sementara untuk kedua jenis binatang lainnya (cacing dan Undur-undur), para ulama terbagi dalam dua kelompok:

Kelompok pertama berpandangan bahwa kedua jenis hewan ini termasuk dalam kategori al-hasyarat ( serangga) dan hukumnya haram (tidak boleh dimakan) dengan alasan menjijikkan (al-khabaist). Ulama yang berpendapat demikian diantaranya adalah Imam Abu Hanifah dan asy- Syafi'i.

Kelompok kedua dipelopori oleh Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan Auza'i berpendapat bahwa al-hasyarat hukumnya halal.

Selanjutnya mengenai tentang boleh tidaknya berobat dengan hal-hal yang haram, para ulama’ dengan berbagai argumentasi yang mereka kemukakan, berbeda pendapat menjadi empat:

1. Pendapat pertama menyatakan boleh berobat dengan yang haram dalam keadaan darurat (kritis) dan tidak ditemukan obat lain. 
2. Pendapat kedua menyatakan haram secara mutlak.
3. Pendapat ketiga menyatakan dalam kondisi darurat boleh berobat dengan yang haram/najis, kecuali khamar.
4. Pendapat keempat menyatakan tidak haram menggunakan obat dari jenis-jenis serangga meskipun menjijikkan.

Dari keempat pendapat ini tentunya akan berdampak pula pada jawaban atas pertanyaan berikutnya yakni hukum budidaya hewan-hewan tersebut dengan tujuan untuk diperjualbelikan. Di antara para ulama ada yang membolehkan disamping juga ada yang tidak memperbolehkan.
Wallohu a'lam‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar