Jumat, 23 Oktober 2015

Hukum Bersuci Dengan Air Hangat

Mandi atau wudhu dengan menggunakan air hangat bagi sebagian besar orang dianggap sebagai cara yang paling cepat untuk mengusir rasa dingin yang menusuk tubuh. Selain itu, mandi atau wudhu dengan air hangat seolah menjadi terapi tersendiri bagi mereka yang sering diserang nyeri rematik atau sekadar untuk melepas rasa penat setelah menjalankan aktifitas seharian penuh. Hangatnya air yang membasuh tubuh juga dapat membantu melancarkan sirkulasi darah dan memberikan efek rileks pada otot-otot maupun persendian manusia.

Mayoritas ulama', termasuk madzhab syafi'i berpendapat bahwa bersuci dengan menggunakan air yang dipanaskan dengan selain menggunakan sinar matahari, seperti dengan api itu diperbolehkan dan tidak makruh, pendapat berbeda diriwayatkan dari Imam Mujahid yang menyatakan hukum penggunaannya adalah makruh.

Alasan yang dikemukakan oleh mayoritas ulama' diantaranya adalah tidak adanya dalil yang melarang penggunaan air yang dipanaskan dengan api dan dikarenakan panas yang ditimbulkan oleh api mampu menghilangkan unsur unsur dari perabot yang terbuat dari tembaga yang katanya menguap apabila terkena panas. Dua hal ini yang membedakan air yang dipanaskan dengan api dan air yang dipanaskan dengan panas sinar matahari yang menurut sebagian ulama' makruh untuk digunakan karena adanya riwayat yang melarang penggunaannya dan karena panas yang ditimbulkan oleh sinar matahari akan menguapkan unsur-unsur yang berasal dari perabot yang terbuat dari logam yang membahayakan kulit.

Diantara dalil yang menguatkan diperbolehkannya menggunakan air yang dipanaskan dengan selain menggunakan sinar matahari adalah beberapa riwayat yang menjelaskan penggunaan air yang direbus oleh para sahabat dan tabi'in. Antara lain :

1. Aslam  Al-Qurasyiy Al-‘Adawy,mantan‎  budak sayyidina Umar, meriwayatkan ;

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يُسَخَّنُ لَهُ مَاءٌ فِي قُمْقُمَةٍ وَيَغْتَسِلُ بِهِ

"Sesungguhnya Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu 'anhu direbuskan air didalam qumqumah (wadah untuk merebus air), lalu beliau mandi dengan menggunakan air tersebut." (Sunan Kubro lil-Baihaqi, no.11 dan Sunan Daruquthni, no.85)

2. Diriwayatkan dari Ayyub, ia berkata ;

سَأَلْتُ نَافِعًا، عَنِ الْمَاءِ الْمُسَخَّنِ، فَقَالَ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَتَوَضَّأُ بِالْحَمِيمِ

"Aku bertanya pada Nafi' mengenai (penggunaan) air yang dipanaskan, beliau menjawab : "Ibnu Umar berwudhu dengan menggunakan air panas." (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.256)

3. Diriwayatkan dari Abu Salamah, ia berkata ;

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّا نَدَّهِنُ بِالدُّهْنِ وَقَدْ طُبِخَ عَلَى النَّارِ، وَنَتَوَضَّأُ بِالْحَمِيمِ وَقَدْ أُغْلِيَ عَلَى النَّارِ

"Ibnu Abbas berkata : "Kami (para sahabat) menggunakan minyak wangi yang dimasak diatas api, dan kami juga wudhu dengan air panas yang direbus diatas api" (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.258)

4. Diriwayatkan dari Qurroh, ia berkata ;

سَأَلْتُ الْحَسَنَ عَنِ الْوُضُوءِ بِالْمَاءِ السَّاخِنِ، فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِه

"Aku bertanya pada Al-Hasan, mengenai wudhu dengan air yang direbus, beliau menjawab : "Tidak apa apa". (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.259)

Sebagai tambahan, diperbolehkannya menggunakan air yang direbus untuk bersuci  tersebut selama tidak digunakan pada saat airnya masih terlalu panas, apabila digunakan saat masih terlalu panas hukumnya makruh, sebab bersuci dengan menggunakan air yang terlalu panas dikhawatirkan membahayakan kulit dan akan menyebabkan bersucinya tidak sempurna. 

Adapun hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, yang mengatakan,

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ سَخَّنْتُ مَاءً فِي الشَّمْسِ ، فَقَالَ : لَا تَفْعَلِي يَا حُمَيْرَاءُ فَإِنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ

Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- masuk menemuiku sementara saya telah menghangatkan air dengan sinar matahari. Maka beliau bersabda, “Jangan kamu lakukan itu wahai Humaira (Aisyah) karena itu bisa menyebabkan penyakit sopak.”

Hadis ini disebutkan oleh Ad-Daraquthni (1:38), Ibnu Adi dalam Al-Kamil 3:912, dan Al-Baihaqi 1:6 dari jalan Khalid bin Ismail dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah.

Tentang Khalid bin Ismail, Ibnu Adi berkomentar:

كَانَ يَضَعُ الْحَدِيثَ

“Dia telah memalsukan hadis”

Dalam sanad yang lain, hadis ini juga diriwayatkan dari jalur Wahb bin Wahb Abul Bukhtari dari Hisyam bin Urwah. Ibnu Adi mengatakan: “Wahb lebih buruk dari pada Khalid.”

Hadis diatas memang tidak dikategorikan oleh para ulama hadis dalam tingkatan shahih, namun hadis ini dapat digunakan sebagai acuan untuk meraih kesempurnaan dalam beramal (fadhail al-a’mal). Oleh karena itulah imam ar-Rafi’i menjadikan hadis ini sebagai acuan penetapan hukum bersuci dengan menggunakan air panas karena terik matahari hukumnya makruh. Pandangan ini tentu berbeda dengan ketiga madzhab lain (selain madzhab Syafi’i) yang tidak menghukumi makruh atas penggunaan air panas karena terik matahari untuk bersuci. 

Pendapat dari salah seorang imam besar dalam madzhab Syafi’i ini adalah bentuk kehati-hatian dalam menjalankan syariat dan ternyata selaras dengan pandangan para dokter yang menyebutkan adanya efek samping penggunaan air panas seperti munculnya penyakit kulit dan penyakit-penyakit lain. Sejatinya hukum kemakruhan dalam madzhab Syafii ini tidak serta merta disepakati secara bulat, diantara mereka masih terdapat perbedaan pendapat. Imam Nawawi tidak sepakat dengan pendapat yang menganggap bahwa bersuci dengan air panas akibat terik matahari hukumnya makruh. Beliau berpendapat bahwa menggunakan air panas karena terik matahari hukumnya boleh. Begitu juga dengan air panas atau hangat karena alat pemanas listrik atau kompor gas.

Para ulama yang berpandangan mengenai kemakruhan penggunaan air panas atau hangat tersebut juga memberikan banyak catatan sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih madzhab Syafi’i seperti Al-Bujairaimi, Kifayat al-Ahyar, Al-Bajuri dan lain-lain.

Diantara catatan yang menjadi titik tekan adalah apabila dalam penggunaan air tersebut berdampak negatif atau berpotensi negatif bagi penggunanya, seperti penderita jenis penyakit tertentu yang tidak diperkenankan menggunakan air panas atau akan bertambah sakit jika menggunakan air hangat atau perubahan suhu tubuh yang begitu drastis pasca mandi maupun wudhu. Hukum kemakruhan ini juga berlaku pula pada air yang sangat panas dan air yang sangat dingin meskipun dengan perantara selain matahari sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bujairimi ‘Ala al-Khatib:


فَالْجُمْلَةُ ثَمَانِيَةٌ كَمَا فِي شَرْحِ م ر. وَهِيَ الْمُشَمَّسُ وَشَدِيدُ الْحَرَارَةِ وَشَدِيدُ الْبُرُودَةِ، وَمَاءُ دِيَارِ ثَمُودَ إلَّا بِئْرَ النَّاقَةِ، وَمَاءُ دِيَارِ قَوْمِ لُوطٍ، وَمَاءُ بِئْرِ بَرَهُوتَ، وَمَاءُ أَرْضِ بَابِلَ، وَمَاءُ بِئْرِ ذَرْوَانَ. اهـ


Artinya: “Jumlah air yang makruh digunakan ada delapan sebagaimana terdapat dalam penjelasan Muhammad Ar-Ramli yaitu air musyammas (panas karena terik matahari), air sangat panas, air sangat dingin, air kaum tsamud, air kaum Luth, air sumur Barahut, air Babilonia, dan air sumur Dzarwan.”

Inti sari dari jawaban adalah apabila dalam penggunaan air hangat tersebut berpotensi menimbulkan penyakit atau berdampak semakin berat penyakit yang diderita maka hukumnya haram, namun apabila masih diperkirakan akan datangnya penyakit, hukumnya makruh, apabila tidak ada efek samping dalam penggunaan air hangat maka hukumnya mubah, bahkan bisa menjadi wajib seperti dalam kondisi sempitnya waktu shalat dan tidak ditemukan alat berwudhu selain air hangat tersebut.

Mudah-mudahan penjelasan ini dapat diterima  dan bermanfaat bagi kita semua. Saran kami dalam kondisi tertentu, misalnya ketika udara terasa sangat dingin, tidak masalah bersuci atau mandi menggunakan air hangat. Namun dalam kondisi normal lebih baik memakai air biasa saja, agar anggota badan yang terkena wudlu maupun air mandi terasa segar dan tentunya menyehatkan. Ketika badan kita segar dan sehat, maka kita bisa menjalankan ibadah dan aktifitas dengan penuh semangat. Wallahu a’lam .‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar