Rabu, 28 Oktober 2015

Hukum Makan Daging Kuda

Daging kuda maksudnya ialah daging yang dihasilkan dari kuda yang disembelih. Daging kuda rasanya agak manis, empuk, rendah lemak, dan berprotein tinggi. Bentuk dari daging kuda mirip dengan daging sapi, daging babi juga daging kerbau loh namun daging kuda berwarna merah dan bebas lemak. Tidak adanya lemak pada daging kuda dibuktikan dengan tidak adanya asap saat daging dibakar. nah daging kuda ini dianggap tabu dalam banyak kebudayaan. 

Memang benar bahwa di beberapa tempat di negeri kita ada hidangan daging kuda. Misalnya di Makassar ada sop kuda. Namun sebagian orang masih merasa risih makan daging kuda, karena umumnya kuda bukan untuk dimakan melainkan untuk ditunggangi menjadi alat transportasi.

Lalu bagaimana hukum makan daging kuda, halal atau haram? 

Dalam hal ini kalau kita telusuri maraji; dan sumber rujukan fiqih dari kitab-kitab para ulama di masa klasik, kita akan menemukan bahwa para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Sebagian dari mereka menghalalkan makan daging kuda, namun sebagian lagi malah mengharamkan. Dan di tengah-tengah ada yang tidak sampai mengharamkan, tetapi juga tidak 100% membolehkan, jadi hukumnya makruh.

1. Halal

Jumhur ulama dari madzhab Asy-Syafi'iyah, Al-Hanabilah dan sebuah qaul yang rajih (kuat) dari madzhab Al-Malikyah bersepakat bahwa kuda itu halal dimakan dagingnya. Sehingga boleh disembelih juga, baik kuda itu kuda Arab ('irab) atau pun kuda yang bukan Arab (baradzin).

Dalilnya adalah dua hadits nabi berikut ini :

جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَال : نَهَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَْهْلِيَّةِ ، وَأَذِنَ فِي لُحُومِ الْخَيْل

Dari Jabir radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW pada perang Khaibar melarang makan daging keledai peliharaan dan mengizinkan untuk makan daging kuda. (HR. Al-Buhkari dan Muslim)

أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَتْ : نَحَرْنَا عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَسًا فَأَكَلْنَاهُ وَنَحْنُ بِالْمَدِينَةِ

Dari Asma' bin Abu Bakar radhiyallahu anhu berkata,"Kami menyembelih kuda di zaman Rasulullah SAW, dan kami makan sedangkan kami berada di Madinah. (HR. Al-Buhkari dan Muslim)

2. Makruh

Sedangkan madzhab Al-Hanafiyah dalam qaul yang rajih (yang lebih kuat) mengatakan bahwa kuda itu halal, namun dengan karahah tanzih. (kurang disukai). Hal yang sama juga dikatakan oleh Al-Auza'i dan Abu Ubaid.

Namun begitu mereka tidak menganggap bahwa kuda itu najis, demikian juga dengan liurnya, mereka tetap mengatakan kuda itu suci, hanya saja makruh kalau disembelih dan dimakan.

Dalil pendapat ini adalah

1. Di surat An-Nahl ayat 5 sampai 7, Allah menyebutkan tentang Bahimatul An’am (onta, sapi, dan kambing). Allah sebutkan manfaat yang didapat oleh manusia dengan binatang itu, termasuk manfaat untuk dimakan. Kemudian di ayat ke-8 Allah menyebutkan jenis hewan yang lain:

وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Dia menciptakan kuda, bighal (peranakan kuda dengan keledai), dan keledai, agar bisa kalian tunggangi dan sebagai hiasan. Dia juga menciptakan makhluk yang tidak kalian ketahui.” (QS. An-Nahl: 8).

Di ayat ke-8 ini Allah tidak menyebutkan fungsi mereka untuk dimakan. Padahal Allah sebutkan manfaat ‘dimakan’ pada Bahimatul An’am yang disebutkan di ayat sebelumnya.

Sanggahan:

Berdalil dengan ayat ini untuk menghukumi makruhnya makan daging kuda adalah menyimpulkan dalil yang kurang tepat. Karena penyebutan fungsi kuda, bighal, dan khimar untuk dinaiki dan sebagai hiasan, sama sekali tidak menunjukkan bahwa binatang ini tidak boleh dimanfaatkan untuk yang lainnya. Disebutkan manfaat ‘bisa tunggangi dan sebagai hiasan’ karena itulah umumnya manfaat yang diambil dari kuda.

2. Hadis dari Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu,

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن لحوم الخيل والبغال والحمير وكل ذي ناب من السباع

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan daging kuda, bighal, khimar, dan semua hewan buas yang bertaring.” (HR. Abu Daud, An-Nasai, dan Ibn Majah)

Sanggahan:

Hadis ini dinilai dhaif oleh banyak ulama. An-Nawawi dalam al-Majmu’ 9:4 mengatakan,

وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ مِنْ أَئِمَّةِ الْحَدِيثِ وَغَيْرِهِمْ عَلَى أَنَّهُ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ مَنْسُوخ

Ulama ahli hadis dan yang lainnya sepakat bahwa hadis ini adalah hadis dhaif. Sebagian ada yang mengatakan: Hadis ini mansukh.

Kemudian an-Nawawi menyebutkan beberapa penilaian ulama tentang hadis ini:

a. Al-Hafidz Musa bin Harus al-Hammal mengatakan:

هَذَا حَدِيثٌ ضَعِيفٌ

“Ini hadis dhaif”

b. Imam Bukhari mengatakan:

هذا الحديث فيه نظر

“Hadis ini sangat dhaif”

c. Al-Baihaqi mengatakan:

هذا إسناد مضطرب , ومع اضطرابه هو مخالف لأحاديث الثقات

“Hadis ini sanadnya goncang. Disamping itu, bertentangan dengan hadis shahih (yang membolehkan makan kuda).”

d. Abu Daud perawi hadis mengatakan:

هذا الحديث منسوخ

“Hadis ini mansukh”


3. Haram

Dan sebagian yang lain dari ulama madzhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa kuda itu haram dimakan dagingnya. Pendapat yang mengharamkan kuda ini bagian dari mazhab Abu Hanifah, yaitu lewat jalur periwayatan Al-Hasan bin Ziyad. Selain juga ada pendapat kedua dari mazhab Al-Malikyah yang minoritas yang mendukung fatwa ini.

Mereka yang memakruhkan dan mengharamkan daging kuda, berasalan bukan karena daging kuda itu najis, melainkan karena dua hal :

a. Alat Perang
Alasan pertama terkait dengan fungsi fungsi kuda di masa itu lebih utama bukan untuk dimakan, melainkan untuk alat berjihad.

Logikanya, kalau kuda disembelih dan dimakan dagingnya, maka hal itu dianggap mengurangi kekuatan umat Islam dalam berperang di jalan Allah.

Sebab secara khusus Allah SWT memang memerintahkan untuk mempersiapkan kuda untuk peperangan, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran :

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْل تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ

Dan persiapkanlah yang kamu mampu dari kekuatan dan kuda-kuda yang tertambat, dengan itu kamu dapat menakuti musuh Allah dan musuhmu. (QS. Al-Anfal : 60)

b. Alat Penganguktan dan Perhiasan
Selain untuk perang, di dalam Al-Quran Allah juga mengkhususkan kuda itu untuk kendaraan atau tunggangan serta perhiasan, sehingga kalau disembelih dan dimakan dagingnya, seperti melanggar ketentuan Allah SWT.

وَالْخَيْل وَالْبِغَال وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً

Dan kuda, bagal serta keledai, agar kamu menungganginya serta menjadi perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. (QS. An-Nahl : 8)

Pengkhususan kuda untuk dijadikan tunggangan serta perhiasan dalam pandangan mazhab ini merupakan isyarat yang melarang kuda untuk disembelih dan dimakan dagingnya. Seandainya boleh dimakan, seharusnya disebutkan dalam ayat sebagaimana hewan ternak lain.

وَالأَْنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ

Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfa'at, dan sebahagiannya kamu makan.(QS. An-Nahl : 5)

Dengan demikian tetaplah kehalalan daging kuda. So apakah teman-teman masih mergukan kehalalannya? Selain itu daging kuda juga banyak khasiatnya untuk kesehatan manusia. Dengan cara pemotongan, penyimpanan, hingga cara masak yang benar dapat mempengaruhi rasa dan khasiat daging kuda. Jadi cara pemotongan secara higienis, penyayatan daging mengikuti seratnya, dan memasak dengan api sedang agar membuat khasiat dan rasa daging kuda maksimal loh.

Dalam suatu website diceritakan juga bahwa khasiat daging kuda sendiri ternyata sangat banyak untuk tubuh manusia, Antara lain menambah stamina, keperkasaan pria, asma, diabetes, menurunkan kolesterol, dan menurunkan darah tinggi. Jadi jangan ragu lagi ya 

Wallahu a'lam bishshowab 

Hukum Keledai piaraan (jinak)

Mayoritas ulama berpendapat bahwa keledai jinak itu haram untuk dimakan. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Anas bin Malik,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتْ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتْ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُفْنِيَتْ الْحُمُرُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى فِي النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ فَأُكْفِئَتْ الْقُدُورُ وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِاللَّحْمِ

“Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Daging keledai telah banyak di konsumsi. ” Selang beberapa saat orang tersebut datang lagi sambil berkata, “Daging keledai telah banyak di konsumsi.” Setelah beberapa saat orang tersebut datang lagi seraya berkata, “Keledai telah binasa.” Maka beliau memerintahkan seseorang untuk menyeru di tengah-tengah manusia,sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian mengkonsumsi daging keledai jinak, karena daging itu najis.” Oleh karena itu, mereka menumpahkan periuk yang di gunakan untuk memasak daging tersebut.” (HR. Bukhari no. 5528 dan Muslim no. 1940)

Sedangkan keledai liar itu halal untuk dimakan dan hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan) ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya pun memakannya, sebagaimana terdapat riwayat yang shahih mengenai hal ini. Abu Qotadah menceritakan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ حَاجًّا ، فَخَرَجُوا مَعَهُ فَصَرَفَ طَائِفَةً مِنْهُمْ ، فِيهِمْ أَبُو قَتَادَةَ فَقَالَ خُذُوا سَاحِلَ الْبَحْرِ حَتَّى نَلْتَقِىَ . فَأَخَذُوا سَاحِلَ الْبَحْرِ ، فَلَمَّا انْصَرَفُوا أَحْرَمُوا كُلُّهُمْ إِلاَّ أَبُو قَتَادَةَ لَمْ يُحْرِمْ ، فَبَيْنَمَا هُمْ يَسِيرُونَ إِذْ رَأَوْا حُمُرَ وَحْشٍ ، فَحَمَلَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَى الْحُمُرِ ، فَعَقَرَ مِنْهَا أَتَانًا ، فَنَزَلُوا فَأَكَلُوا مِنْ لَحْمِهَا ، وَقَالُوا أَنَأْكُلُ لَحْمَ صَيْدٍ وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ فَحَمَلْنَا مَا بَقِىَ مِنْ لَحْمِ الأَتَانِ ، فَلَمَّا أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّا كُنَّا أَحْرَمْنَا وَقَدْ كَانَ أَبُو قَتَادَةَ لَمْ يُحْرِمْ ، فَرَأَيْنَا حُمُرَ وَحْشٍ فَحَمَلَ عَلَيْهَا أَبُو قَتَادَةَ ، فَعَقَرَ مِنْهَا أَتَانًا ، فَنَزَلْنَا فَأَكَلْنَا مِنْ لَحْمِهَا ثُمَّ قُلْنَا أَنَأْكُلُ لَحْمَ صَيْدٍ وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ فَحَمَلْنَا مَا بَقِىَ مِنْ لَحْمِهَا .

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama mereka (para sahabat) berangkat untuk menunaikan haji. Lalu sebagian rombongan ada yang berpisah, di antaranya adalah Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, kepada rombongan ini: “Ambillah jalan menyusuri tepi pantai hingga kita bertemu”. Maka mereka mengambil jalan di tepian pantai. Ketika mereka hendak berangkat, semua anggota rambongan itu berihram kecuali Abu Qatadah. Ketika mereka sedang berjalan, mereka melihat ada seeokor keledai liar. Maka Abu Qatadah menghampiri keledai itu lalu menyembelihnya yang sebagian dagingnya dibawa ke hadapan kami. Maka mereka berhenti lalu memakan daging keledai tersebut. Sebagian dari mereka ada yang berkata: “Apakah kita boleh memakan daging hewan buruan padahal kita sedang berihram?”. Maka kami bawa sisa daging tersebut. Ketika mereka berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, kami sedang berihram sedangkan Abu Qatadah tidak. Lalu kami melihat ada keledai-keledai liarkemudian Abu Qatadah menangkapnya lalu menyembelihnya kemudian sebagian dagingnya dibawa kepada kami, lalu kami berhenti dan memakan dari daging tersebut kemudian diantara kami ada yang berkata: “Apakah kita boleh memakan daging hewan buruan padahal kita sedang berihram?”. Lalu kami bawa sisa dagingnya itu kemari”. Beliau bertanya: “Apakah ada seseorang diantara kalian yang sedang berihram menyuruh Abu Qatadah untuk memburunya atau memberi isyarat kepadanya?”. Mereka menjawab: “Tidak ada”. Maka Beliau bersabda: “Makanlah sisa daging yang ada itu”.” (HR. Bukhari no. 1824 dan Muslim no. 1196

Wallohu A'lam

2 komentar: