Kamis, 29 Oktober 2015

Jejak Sejarah Petinggi Mataram Di Burangrang

Gunung Burangrang terdapat didaerah JAWA BARAT , yang mana disana terdapat makam -makam Panembahan Adipati kerajaan Mataram ,yang melarikan diri pada penjajahan Belanda dan bersembunyi dikaki bukit Burangrang  tersebut sampai akhir hayatnya . Mitos keangkeran gunung Burangrang sudah menjadi mitos masyarakat Jawa Barat.,apabila ada pesawat ataupun burung melewati diatas makam tersebut pasti akan jatuh .


Tatar pasundan memang pantas disebut  tanah parahyangan, keindahan yang dimilikinya memang  pantas menjadikannya  rumah para dewa (parahyangan). Kepingan keindahan itu dapat kita nikmati di Curug Cijalu, Subang Jawa Barat.

Wana Wisata Curug Cijalu berada dalam kawasan cagar alam Gunung Burangrang termasuk KPH Bandung Utara. Kawasan wisata ini berada pada ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut. Menurut warga sekitar, jika hari cerah dari ketinggian kawasan tersebut kita bisa melihat kota Subang, kota Purwakarta dan Waduk Jatiluhur.

Curug Cijalu memiliki ketinggian sekitar 70 meter. Tumpahan airnya mengalir deras membelah bukit di kawasan gunung Burangrang jatuh ke kolam yang berada di dasar curug. Para pengunjung biasanya bermain-main air di kolam tersebut. Namun, karena suhu airnya yang sangat dingin para pengunjung biasanya tak berlama-lama bermain air.

Menurut cerita masyarakat sekitar, dahulu nama curug ini adalah curug Cikondang. Hingga suatu waktu ada seorang pendekar yang datang dan menetap di sana.  Konon, menurut masyarakat pendekar tersebut memiliki taji (jalu) hingga kemudian nama curug tersebut dikenal dengan nama curug Cijalu.


Di kawasan ini masih terdapat 2 curug lainnya, yaitu curug Putri / Perempuan dan curug Cilemper. Curug Putri berada 100 meter dari curug Cijalu. Curug ini dahulu dinamakan curug Cibuntu, namun sekarang lebih dikenal dengan curug Putri / Perempuan.

Masyarakat mengibaratkan kedua curug yang berdekatan ini seperti sepasang kekasih. Curug Cijalu dianggap curug “laki-laki” (dalam bahasa sunda, jalu artinya laki-laki) sedangkan curug Cibuntu sebagai “perempuan”nya. Curug ini tingginya hanya sekitar 30 meter. Meskipun tak terlalu tinggi namun curug ini begitu cantik, sesuai dengan namanya. Aliran air mengalir perlahan mengikuti tebing batu, menjadikan curug ini begitu eksotis di depan kamera.

Curug lainnya bernama curug Cilemper. Curug ini berada sekitar 500 meter dari curug Cijalu. Curug Cilemper lebih tinggi dari curug Cijalu yaitu sekitar 100 meter, debit airnya pun lebih besar. Namun karena letaknya yang tersembunyi dan jalan menuju curug ini cukup terjal sehingga tak banyak pengunjung yang sampai ke curug ini.

Belum puas menikmati keindahan kawasan curug di siang hari, pengunjung juga bisa menikmati suasana malam dengan camping di kawasan tersebut. Nikmati sensasi menginap ditengah hutan, ditemani gemuruh suara aliran air curug yang menghantam bebatuan.

Kawasan curug Cijalu sudah dibuka sejak 1 September 1984. Menurut warga sekitar, dahulu banyak keturunan Tionghoa yang berkunjung kesini untuk berdoa. Mereka menganggap curug ini tempat mandinya para bidadari.

Kawasan wana wisata curug Cijalu secara administratif masuk ke wilayah Desa Cipancar, Kecamatan Serang Panjang, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Curug ini dapat dicapai dari Kota Subang sekitar 37 Km ke arah selatan, atau sekitar 63 Km dari kota Bandung ke arah utara. Sedangkan dari kota Purwakarta, curug ini sekitar 40 Km ke arah selatan.

Dari Jalan Raya Wanayasa – Jalan Cagak Anda akan menemukan gerbang Kawasan Wisata Cijalu di daerah Serang Panjang. Kemudian Anda harus menyusuri jalan desa sepanjang 3 Km. Suasana pedesaan khas tanah pasundan dan hamparan kebun teh akan menyambut Anda sebelum memasuki wana wisata curug Cijalu.

Sejarah Wanayasa






Wanayasa adalah sebuah daerah di kaki Gunung Burangrang, dan sekian juta tahun yang lalu berada di kaki Gunung Sunda (lihat peta rekonstruksi Gunung Sunda). Ketika Gunung Sunda meletus, abu volkaniknya melahirkan tanah yang subur di daerah sekitarnya, termasuk Wanayasa. Selain itu juga, melahirkan cekungan-cekungan dalam radius 100 km, yang kemudian di bagian selatan Gunung Sunda dikenal dengan sebutan cekungan Danau Bandung Purba. Di bagian utara, diduga cekungan tersebut masih menyisakan jejaknya yang kini dikenal dengan nama Situ Wanayasa dan Situ Cibeber, yang disebut masyarakat setempat sebagai “pangparatan” Situ Wanayasa.

Tanda-tanda bahwa Situ Wanayasa merupakan situ alam antara lain dengan banyaknya sumber air di area dan di dalam Situ Wanayasa itu sendiri. Oleh karena itu, sampai sekarang belum diketahui kedalaman sesungguhnya dari Situ Wanayasa tersebut, karena tak pernah kering sama sekali. Bentuknya seperti kuali (katel), yang membuat “tambakan” Situ Wanayasa sangat kokoh, dengan bagian terdalam diduga berada di bagian barat daya Pasir Mantri sekarang. Oleh karena itu, anggapan bahwa Situ Wanayasa merupakan situ yang dibuat pada zaman Dalem Santri, sulit diterima. Pasalnya, beberapa catatan Belanda dan sumber-sumber naskah kuna mengisyaratkan, Situ Wanayasa sudah ada jauh sebelum Dalem Santri lahir. Kisah tentang Eyang Tambak, misalnya, menurut tokoh masyarakat Wanayasa yang sudah berusia lanjut seperti Kiai Atang (Ama Atang) serta beberapa tokoh tua lainnya, bukan “membuat” tambakan Situ Wanayasa, namun “memperbaiki” tambakan tersebut yang suka bocor dan “urug” di beberapa bagian yang tanahnya labil. Eyang Tambak (nama aslinya belum teridentifikasi) adalah salah seorang tokoh yang disegani di Wanayasa pada masanya, sehingga ia diangkat menjadi pengatur air dari Situ Wanayasa untuk kepentingan persawahan yang airnya mengandalkan Situ Wanayasa. Eyang Tambak diperkirakan hidup sektar abad ke-19. Dan jauh sebelum masa itu Situ Wanayasa sudah ada. Artinya usia Situ Wanayasa jauh lebih tua daripada Dalem Santri maupun EyangTambak.Luas Situ Wanayasa membentang sekitar 17 ha. Namun sekarang luasnya tinggal menyisakan sekitar 7 ha lagi. Sisanya telah berubah menjadi persawahan penduduk. Terdapat empat penclut (bukit kecil) di area Situ Wanayasa dan empat penclut lagi berada di pinggir situ tersebut. Kini yang tersisa hanya penclut Pasir Mantri. Di setiap penclut tersebut terdapat makam dan petilasan kuna, yang erat kaitannya dengan perjalanan sejarah Wanayasa. Makam dan petilasan lainnya juga terdapat di sekitar daerah Wanayasa. Misalnya saja Makam Dalem Santri, Bupati Karawang yang memindahkan ibukota Kabupaten Karawang dari Bunut ke Wanayasa, terletak di penclut pertama dari timur. Tepatnya di Kampung Cibulakan, Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa. Sedangkan di Pasir Mantri, penclut keempat yang kini merupakan satu-satunya penclut yang berada di tengah Situ Wanayasa, terdapat makam Kiai Warga Nala (Kiai Agung) dan Mas Bagus Jalani (Kiai Gede). Keduanya merupakan tokoh ulama di Wanayasa. Tampaknya Pasir Mantri ini merupakan kompleks pemakaman tokoh-tokoh agama (ulama) di Wanayasa. Sayangnya makam lainnya yang ada di Pasir Mantri, sekitar delapan atau sembilan makam lagi, belum teidentifikasi.Beberapa situs dan petilasan menandakan, bahwa sejak zaman prasejarah diduga telah ada kehidupan di Wanayasa. Antara lain dengan ditemukannya kapak batu di Pasir Kuda. Kemudian pada zaman sejarah, sebelum masuknya agama Islam ke Wanayasa, diduga telah ada kehidupan masyarakat yang mempunyai kepercayaan lama dan Hindu-Budha. Antara lain ditandai dengan ditemukannya Batu Kasur, Batu Tanceb, Batu Tapak, arca Nandi (Batu Babantengan) yang diduga saat itu merupakan wilayah Kerajaan Saung Agung.
Pada zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), tercatat dalam beberapa naskah kuna, antara lain Carita Parahiyangan dan Bujangga Manik, di Wanayasa terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ada dugaan bahwa Batu Tapak di Cekselong (Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa) merupakan tinggalan pada masa itu. Walaupun kepastiannya memerlukan penelitian lebih lanjut.


Kerajaan Saung Agung merupakan kerajaan-wilayah Kerajaan Sunda terakhir yang ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon pada masa kepemimpinan Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1530,bagian utara Tatar Sunda yang berbatasan dengan Sungai Citarum, sebelah timur telah dapat dikuasai oleh Kerajaan Cirebon. Sedangkan bagian barat dikuasai Banten. Nama Saung Agung, menurut Edi S. Ekadjati kemudian diganti dengan Wanayasa, yang merupakan reduplikasi dari nama yang dibawa dari Cirebon. Hal itu tampaknya ditandai pula dengan banyaknya kesamaan nama tempat yang berada di Wanayasa dan sekitarnya (termasuk Purwakarta) dengan nama yang terdapat di wilayah Cirebon (termasuk Kuningan, Majalengka, dan Indramayu). Nama-nama itu antara lain: Wanayasa, Sindangkasih, Ciracas (di Cirebon Caracas, sama dengan di Kalijati), Cibuntu, Panembahan, Pawenang, Lemah Duhur, Gandasoli, Leuwihujan, Gembong (di Cirebon Gembongan), Maniis, Plered, Palumbon (di Cirebon Plumbon), Bunder, Bongas, Depok, dan banyak lagi yang lainnya.

Di bagian selatan Wanayasa (Kecamatan Beber Kabupaten Cirebon), terdapat tiga nama berdekatan membentuk segitiga, yakni Bakom, Karanganyar, Cipulus. Nama yang sama terdapat pula di bagian selatan Wanayasa (Purwakarta), juga dengan posisi membentuk segitiga, yakni Cibakom, Karanganyar, Cipulus. Bedanya Bakom di Cirebon menjadi Cibakom di Wanayasa (Purwakarta). Di antaranya juga ada dua gunung yang bernama sama: Gunung Sembung (di Sukatani dan Cirebon) serta Gunung Karung (di Maniis dan Luragung). Walaupun pada perkembangan selanjutnya terdapat nama-nama kampung atau daerah yang tampaknya sangat lazim di wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram saat itu, antara lain Kampung Krajan. Nama Kampung Krajan terdapat hampir di seluruh Pulau Jawa, dari Jawa Timur hingga Banten. Teori reduplikasi ini didukung pula oleh hasil-hasil penelitian para ahli genetika sejarah seperti Paul Michel Munoz.

Di bidang pemerintahan, Wanayasa pernah menjadi kaumbulan dengan nama Umbul Aranon. Dan ketika merupakan bagian dari Tatar Ukur di bawah Dipati Ukur Wangsanata bernama Ukur Aranon dengan nama umbulnya Ngabei Mertawana. Bersama Ukur Sagalaherang dan Ukur Krawang disebut sebagai Ukur Nagara Agung, merupakan bagian dari Ukur Sasanga bersama enam wilayah lainnya di Bumi Ukur. Ketika Tatar Ukur diubah menjadi Kabupaten Bandung di bawah Tumenggung Wira Angun-angun, Ukur Aranon termasuk di dalamnya.

Diduga kuat nama Wanayasa pada saat itu sudah ada, walaupun belum menjadi nama wilayah administratif pemerintahan. Barulah pada tahun 1681 Wanayasa dipersiapkan untuk menjadi kabupaten. Lalu pada tanggal 16 Agustus 1684 Kabupaten Wanayasa diresmikan dengan bupatinya yang pertama Raden Demang Suradikara. Yang kemudian mendapat gelar Aria, sehingga namanya menjadi Radem Aria Suradikara, yang lebih dikenal dengan nama Dalem Aria. Pengganti Dalem Aria, menurut sumber-sumber tradisional berturut-turut adalah: Dalem Panengah, Dalem Rajadinata, Dalem Raden Suradikara II, Dalem Raden Suradikara III, dan Dalem Raden Suradikara IV atau Dalem Sumeren. Kabupaten Wanayasa dibubarkan pada tahun 1789 dan digabungkan dengan Kabupaten Karawang. Lalu sempat digabungkan dengan Kabupaten Sumedang, dan digabungkan kembali dengan Kabupaten Karawang.

Ketika Wanayasa merupakan afdeeling bagian dari Kabupaten Sumedang, Wanayasa dijadikan ibukota Keresidenan Priangan sejak tahun 1816, yang membawahi Kabupaten-kabupaten: Sumedang, Bandung, Cianjur, Sukapura, dan Limbangan. Residennya saat itu adalah W.C van Motman. Bahkan ketika Wanayasa digabungkan kembali dengan Kabupaten Karawang pada tahun 1820, ibukota Keresidenan Priangan masih tetap di Wanayasa, paling tidak sampai tahun 1824. Padahal saat itu Wanayasa juga dijadikan ibukota Kabupaten Karawang sejak tahun 1821. Keresidenan Priangan dipindahkan ke Cianjur tahun 1829.

Bupati Karawang saat itu adalah Raden Tumenggung Surianata yang berasal dari Bogor. Dan dikenal dengan seburan Dalem Santri. Ia meninggal dunia tahun 1827 dan dimakamkan di Wanayasa. Makamnya terletak di Kampung Cibulakan, Desa Babakan (Kecamatan Wanayasa). Menurut sumber-sumber di Wanayasa, penggantinya adalah Raden Suriadinata, yang dikenal dengan sebutan Dalem Bogor. Ia tidak lama menjadi Bupati Karawang, hanya sekitar dua tahun. Oleh karena itu disebut juga dengan istilah Dalem Panyelang. Meninggal dunia sekitar tahun 1829 dan dimakamkan di Wanayasa. Makamnya terletak di Pemakaman Blok Desel, Gang Mayit Wanayasa. Pada batu nisannya tertera: R. Suria di Nata bin R. Karta di Reja, wafat Rabiul Awal 1244 (H). Kemudian digantikan oleh Raden Tumenggung Suriawinata atau Dalem Sholawat pada tahun 1829. Ialah yang memindahkan ibukota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih, yang kemudian dinamai Purwakarta.

Wanayasa juga tercatat dalam sejarah perniagaan kopi di Priangan. Kopi-kopi yang berasal dari Bandung, Sumedang, Cisalak, Sagalaherang dan sekitarnya, serta tentu saja dari Wanayasa sendiri; dikumpulkan, ditimbang ulang, dan ditimbun di Gudang Kopi di Wanayasa. Kemudian dibawa dengan pedati ke Pelabuhan Cikao di tepi Sungai Citarum untuk dikapalkan ke Batavia. Bekas Gudang Kopi itu sekarang jadi gedung SDN 1 Wanayasa. Gudang Kopi tersebut tercatat dijadikan bangunan sekolah pada tahun 1864 dengan murid pertamanya 19 orang, yang berusia antara 10 – 23 tahun. Guru pertamanya adalah Mas Muharam dari Dawuan (Cikampek sekarang).

Wanayasa menjadi tempat transit hasil kopi, karena Wanayasa dilewati oleh jalan tradisional yang menghubungkan Kawali (di Ciamis sekarang) dengan Pakuan (di Bogor sekarang). Jalan yang disebut-sebut sebagai “Highway Pajajaran” tersebut diduga sudah ada sejak zaman Kerajaan Sunda di bawah kekuasan Prabu Wretikandayun. Menyusuri Kawali – Karang Sambung – Tomo – Kutamaya – Cisalak – Sagalaherang – Wanayasa – Kembang Kuning – Cikao – Tanjungpura – Cibarusah – Warung Gede – Cileungsi – Pakuan.

Menurut R.A Sumarsana, juru kunci situs Karang Kamulyan Ciamis, dari Wanayasa jalan tersebut belok ke utara melalui Rancadarah (lewat Situ Wanayasa) terus sampai Simpang (Purwakarta), dari sana berbelok ke Cigedogan lalu menyeberangi Sungai Cikao ke Kembang Kuning, dan seterusnya. Jadi anggapan bahwa jalan lama itu memutar ke arah Bojong, lalu di Cikeris berbelok ke Sindangpanon, sulit diterima. Karena jalan ke arah Bojong awalnya merupakan jalan kontrak, yang dibuat untuk kepentingan perkebunan teh, sama halnya dengan jalan Sindangpanon ke Pondoksalam. Begitu pula dengan anggapan bahwa jalan lama itu melalui Gandasoli yang keluar dari Galian. Secara logika pun, jika jalan tersebut yang dipergunakan, maka pusat Kota Wanayasa tidak akan berada di tempatnya yang sekarang, tapi di jalur jalan antara Babakan – Gandasoli. Dan ini lagi yang tak masuk akal, jauh dari Gudang Kopi. Logikanya, jalan “Highway Pajajaran” itu, ya jalan yang dekat ke Gudang Kopi dan melalui Alun-alun Wanayasa. Pasalnya, kopi sudah ditanam di Priangan, termasuk di Wanayasa pada awal abad ke-18. Mulai ditanam di Priangan tahun 1707, dan ditanam secara besar-besaran sepuluh tahun kemudian. Gudang Kopi di Wanayasa, diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-18, setelah tanaman kopi dipanen dan menampakkan hasilnya yang menggembirakan VOC (VOC dibubarkan tahun 1799).

Menurut Haryoto Koento, jalan yang menyusuri Sungai Cikapundung (Kota Bandung sekarang), mulai dari Alun-alun – Jalan Braga – Coblong – Dago hingga ke Maribaya, pada abad ke-17 bernama Jalan Wanayasa. Dari Maribaya berbelok ke utara, melewati jalan lama Cupunagara, Sanca, yang tembus ke Cisalak. Dari sana orang bisa memilih, ke selatan menuju Sumedang dan ke barat menuju Wanayasa. Jalur jalan yang sama juga dipergunakan oleh orang Bandung ketika mengangkuti material pembangunan gedung-gedung pemerintah, ketika ada wacana memindahkan ibukota Pemerintah Hindia Belanda ke Bandung sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Material-material itu dibawa dari Batavia dengan kapal ke Pelabuhan Cikao, kemudian diangkut dengan pedati kerbau ke Bandung melalui jalur “Highway Pajajaran”. Banyak orang Bandung yang harus “mondok-moek” bahkan bermukim di Cikao, sehingga sejak itu namanya menjadi Cikao bandung.

Wanayasa juga tercatat dalam sejarah perkebunan teh di Indonesia. Adalah Jacobson, ahli teh dari Belanda yang kali pertama membuat Kebun Percobaan di Cisurupan (Garut) dan Wanayasa (Purwakarta) pada tahun 1827. Diduga kebun percobaannya itu di sekitar Pasir Nagara Cina sekarang. Pasalnya, beberapa botanikus kenamaan Belanda saat itu seperti Christian Heinrich Macklot sempat berkunjung ke Pasir Nagara Cina tahun 1831. Tak hanya Macklot, beberapa botanikus terkenal pun sempat datang ke Pasir Nagara Cina. Lalu pada tahun 1828 Jacobson membuka perkebunan teh skala besar di Wanayasa. Yang diikuti dengan pembangunan pabrik teh Wanayasa (diduga di daerah Sindangpanon dan Sukadami sekarang). Merupakan pabrik teh yang pertama dibangun di Indonesia. Keberhasilan Jacobson itulah yang kemudian memicu Pemerintah Hindia Belanda, bekerja sama dengan pengusaha partikulir, membuka perkebunan teh di berbagai daerah.

Jacobson membawa beberapa tenaga untuk perkebunan teh dan pabriknya langsung dari Cina. Para pekerja lainnya juga kebanyakan orang-orang Cina dari Makao, sehingga disebut Cina Makao. Mereka ditempatkan di sebuah bukit di kaki Gunung Burangrang, yang kemudian dikenal dengan nama Pasir Nagara Cina. Artinya, sebelum perlawanan Cina Makao di Purwakarta tahun 1832, orang-orang Cina Makao sudah bermukim di Pasir Nagara Cina. Justru orang-orang Cina Makao sebagian besar hengkang dari Pasir Nagara Cina setelah peristiwa tersebut. Beberapa orang di antaranya memilih tinggal di daerah sekitar Wanayasa.

Macklot, sang botanikus muda kelahiran Jerman, pada tahun 1832 menjadi tentara KNIL. Ia ditempatkan di Wanayasa, memimpin pasukan artileri yang dilengkapi senjata berat seperti meriam. Tiga buah meriam di antaranya dibawa Macklot ketika memadamkan perlawanan Cina Makao di Purwakarta tanggal 8 – 9 Mei 1832. Perlawanan Cina Makao itu meluas hingga ke Tanjungpura. Tapi di sana mampu dipadamkan oleh pasukan Belanda pimpinan Alibasah Sentot Prawirodirjo, mantan senapati andalan Pangeran Diponegoro, yang saat itu sudah menyerahkan diri ke pihak Belanda setelah ditangkap nya Pangeran Diponegoro. Sisa-sisa “karaman” Cina Makao kembali ke timur. Mereka bertemu dengan pasukan Bupati Priangan serta pasukan Macklot di Dawuan. Terjadi lagi pertempuran hebat di sana. Macklot terluka di Dawuan dan meninggal dunia 12 Mei 1832 di Purwakarta pada usia 33 tahun.

Sehari kemudian, tanggal 10 Mei 1832 Cina Makao dari Pasir Nagara Cina mengikuti jejak teman-temannya yakni Cina Makao dari Cilangkap, melakukan penyerangan ke Purwakarta. Tapi mereka terhenti di tanjakan Pasir Panjang oleh tentara Belanda. Terjadilah pertempuran hebat sehingga memakan banyak korban di kedua belah pihak. Darah membasahi bumi hingga “ngaranca”, seperti layaknya rawa. Maka daerah itupun dinamai Rancadarah. Mayat-mayat ditumpuk di sebuah lembah (legok). Ketika pejabat Pemerintah Hindia Belanda akan mendata jumlah korban, ia harus menggunakan “sigay” untuk menuruni lembah tersebut. Maka sejak itulah dinamakan Legok Sigay.

Sisa-sisa pemukiman Cina Makao di Pasir Nagara Cina, di antaranya adalah Pintu Hek yang merupakan pintu gerbang ke pemukiman tersebut. Kemudian gang di samping Klinik Dokter Ridwan sekarang, menurut almarhum Bapak R. Moh. Idris (Bapak Eni) dulunya bernama Gang Babah Kecil, karena di ujung gang tersebut tinggal Cina Makao dari Pasir Nagara Cina yang tidak turut hengkang dari Wanayasa setelah Peristiwa Rancadarah. Ia disebut Babah Kecil karena berperawakan kecil. Tak ada keterangan Babah Kecil menikah dengan masyarakat setempat, namun ia ditakdirkan berusia lanjut, sehingga banyak orang Wanayasa saat itu yang sempat mendengar kisah perlawanan Cina Makao di Purwakarta langsung dari Babah Kecil.

Beberapa catatan penting tentang Wanayasa:Pada zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran) di Wanayasa sudah ada kerajaan wilayah bernama Kerajaan Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ia memberontak kepada Kerajaan Sunda, karena tidak setuju Prabu Jayadewata (Prabu Siliwangi) dan penggantinya Prabu Surawisesa, melakukan kontak (hubungan diplomatik) dengan Portugis.Wanayasa pernah menjadi kaumbulan, termasuk wilayah Tatar Ukur dibawah Dipati Ukur dengan nama Ukur Aranon dengan umbulnya bernama Ngabei Mertawana. 

Wanayasa menjadi kabupaten “anu madeg mandiri” antara tahun 1681 – 1789. Kabupaten tersebut dipersiapkan tahun 1681 dan diresmikan 16 Agustus 1684 dengan regent pertamanya Demang Suradikara. Batas-batas wilayahnya: sebelah timur Sungai Cilamaya, sebelah selatan Sungai Cisomang, sebelah barat Sungai Citarum, dan sebelah utara Ciasem. Wanayasa menjadi ibukota Keresidenan Priangan sejak tahun 1816. Saat itu Wanayasa menjadi bagian (afdeling) dari Kabupaten Sumedang. Residen Priangan saat itu W.C. van Motman. Ketika Wanayasa menjadi bagian dari Kabupaten Karawang, tahun 1820, Wanayasa masih tetap menjadi ibukota Keresidenan Priangan. Ibukota Keresidenan Priangan baru dipindahkan ke Cianjur tahun 1829. Tahun 1835, Asisten Residen Karawang, Jacobson, memindahkan kantornya dari Sindangkasih (Purwakarta) ke Wanayasa. Asisten Residen sebelumnya, G. de Seriere, turut pindah dari Wanayasa ke Sindangkasih bersamaan dengan dipindahkannya ibukota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Purwakarta.Wanayasa menjadi ibukota Kabupaten Karawang tahun 1821 – 1830. 

Kemudian ibukota Kabupaten Karawang dipindahkan ke Sindangkasih (Purwakarta) tahun 1830 oleh Dalem Sholawat yang menjadi Bupati Karawang tahun 1829. Sebelumnya Bupati Karawang di Wanayasa adalah Dalem Santri (R. Surianata) tahun 1821 – 1827 dan Dalem Bogor (R. Suriadinata) tahun 1827 – 1829, ia disebut juga Dalem Panyelang.Wanayasa dilalui jalan “Highway Pajajaran”, yakni jalan yang sekarang melalui Alun-alun Wanayasa dan Situ Wanayasa. Tidak lewat Cikeris, tidak juga lewat Gandasoli. Situ Wanayasa merupakan situ alam, yang sudah ada sebelum Dalem Santri menjadi Bupati Karawang dan Eyang Tambak lahir.

2 komentar:

  1. Menarik jadi tau isi sejarah tatar Pasundan

    BalasHapus
  2. menarik pembahasannya, saran agar ditambahkan gambar supaya lebih mendetail. alangkah lebih baik gambarnya diambil oleh penulis sendiri

    BalasHapus