Selasa, 06 Oktober 2015

Kisah Taubat Dan Zuhudnya Syaikh Malik Bin Dinar Rh

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ


Syekh Malik bin Dinar

“Dia seorang yang tsiqah dan sedikit bicara.“........(Ibnu Sa’ad)
Dialah Abu Yahya Malik bin Dinar. Sosok yang meninggalkan syahwat dunia. Penakluk jiwa ketika sedang bergejolak. Demikianlah Abu Nuaim memberikan sifat pada Malik bin Dinar dalam al-Hilyahnya.

Malik bin Dinar dilahirkan pada masa Ibnu Abbas R.a. Ia sempat bertemu dengan Anas bin Malik. Karenanya, ia diliputi berkah ilmu yang bermanfaat. Ia pun mengambil manfaat dari ulama shalih dari kalangan sahabat Nabi. Ia belajar akhlak suci dari mereka, adab dan sunah yang diridhoi Allah. Malik bin Dinar menjadi salah satu seorang pemimpin kaum muslimin yang ternama.

Ibnu Sa’ad berkata,”Dia seorang yang tsiqah dan sedikit bicara.”
Ibnu Hibban menambahkan dalam ats-Tsiqatnya,” Malik bin Dinar menulis Mushaf dan mendapatkan honor. Ia makan dari honor itu.”

Dialah imam zuhud. Terdepan dalam Wara’. Kezuhudannya menjadi perumpamaan. Mati kita renungi potongan kisah dari kehidupan ulama ini. Suatu ketika ia menemui Anas bin Malik R.a. Bersamanya ikut Tsabit dan Yazid ar-Raqasyi. Anas bin Malik memandang mereka dengan kagum, seraya berkata,”Betapa mirip kalian dengan para sahabat Rasulullah SAW. Sungguh kalian lebih aku cintai dari sekian anakku, kecuali mereka mempunyai keutamaan seperti kalian. Sungguh aku mendoakan kalian dimalam hari.”

Renungkanlah. Mereka didoakan oleh Abu Hamzah Anas bin Malik. Semata karena cinta pada Allah SWT. Apakah ada seseorang yang mencintai seperti Anas bin Malik kecuali orang-orang shalih dan ahli taat? Merekalah orang-orang yang benar bersama Allah dan Allah pun membenarkan mereka dengan kecintaan orang-orang shalih dan ahli ibadah.

Betapa tinggi kedudukan mereka! Suatu ketika ia membaca firman Allah SWT:

لَوْ أَنزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللَّه
Artinya: “Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quraan ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah.”(QS.al-Hasyr:21)

Malik bin Dinar berkata,”Aku bersumpah pada kalian, tidak beriman seorang hamba dengan al-Qur’an kecuali hatinya terpecah.”
Abdul Aziz bin Salman menuturkan,”Aku dan Abdul Wahid bin Zaid menemui Malik bin Dinar. Kami dapati dia berdiri dari majelisnya, lalu masuk kerumahnya. Kemudian dia menutup pintu kamar. Kami duduk menunggunya hingga keluar atau mendengar darinya suatu gerakan. Kami kemudian minta izin. Malik bin Dinar seperti mengucapkan sesuatu yang tidak bisa dipahami, lalu terdengar dia menangis. Sampai-sampai kami merasa kasihan mendengar tangisannya. Kemudian tubuhnya bergetar, bernafas lalu pingsan.”
Abdul Wahid berkata,”Kita pergi. Kita tidak ada urusan hari ini dengan laki-laki ini. Dia sibuk dengan dirinya sendiri.”‎

Malik bin Dinar al-Sami adalah putera seorang budak berbangsa Persia dari Sijistan (Kabul) dan menjadi murid Hasan al-Bashri, ia terhitung sebagai ahli Hadits Shahih dan merawikan Hadits dari tokoh-tokoh kepercayaan di masa lampau seperti Anas bin Malik dan Ibnu Sirin.
Malik bin Dinar adalah seorang kaligrafer al-Qur'an yang terkenal. Ia meninggal sekitar tahun 130 H/748 M.

Mengapa ia dinamakan Malik bin Dinar

Ketika Malik dilahirkan, ayahnya adalah seorang budak tetapi Malik adalah seorang yang merdeka. Orang-orang mengisahkan bahwa pada suatu ketika Malik bin Dinar menumpang sebuah perahu. Setelah berada di tengah lautan, awak-awak perahu meminta: "Bayarlah ongkos perjalananmu!".
"Aku tak mempunyai uang",jawab Malik.
Awak-awak perahu memukulinya hingga ia pingsan. Ketika Malik siuman, mereka meminta lagi: "Bayarlah ongkos perjalananmu!".
"Aku tak mempunyai uang", jawab Malik sekali lagi, dan untuk kedua kalinya mereka memukulinya hingga pingsan.
Ketika Malik siuman kembali maka untuk ketiga kalinya mereka mendesak.
"Bayarlah ongkos perjalananmu!".
"Aku tak mempunyai uang".
"Marilah kita pegang kedua kakinya dan kita lemparkan dia ke laut", pelaut-pelaut tersebut berseru.

Saat itu juga semua ikan di laut mendongakkan kepala mereka ke permukaan air dan masing-masing membawa dua keping dinar emas di mulutnya. Malik menjulurkan tangan, dari mulut seekor ikan diambilnya dua dinar dan uang itu diberikannya kepada awak-awak perahu. Melihat kejadian ini pelaut-pelaut tersebut segera berlutut. Dengan berjalan di atas air, Malik kemudian meninggalkan perahu tersebut. Inilah penyebab mengapa ia dinamakan Malik bin Dinar.‎

Malik bin Deenar atau Malik Ibn Dinar (meninggal 748 M atau 131 H adalah seorang Tabi'in . Dia disebutkan sebagai tokoh tradisionis handal, transmisi dari pemerintah seperti Anas bin Malik dan Ibnu Sirin . Ia adalah putra dari seorang budak Persia dari Kabul yang menjadi murid Hasan al-Basri . Ia meninggal pada usia sembilan puluh tahun (90 th) di Basra .

Kehidupannya dimulai dengan kesia-siaan, mabuk-mabukan, maksiat, berbuat zhalim kepada manusia, memakan hak manusia, memakan riba, dan memukuli manusia. Kulakukan segala kezhaliman, tidak ada satu maksiat melainkan aku telah melakukannya. Sungguh sangat jahat hingga manusia tidak menghargaiku karena kebejatanku. 

Malik bin Dinar Rohimahullah menuturkan: Pada suatu hari, aku merindukan pernikahan dan memiliki anak. Maka kemudian aku menikah dan dikaruniai seorang puteri yang kuberi nama Fathimah. Aku sangat mencintainya. Setiap kali dia bertambah besar, bertambah pula keimanan di dalam hatiku dan semakin sedikit maksiat di dalam hatiku. Pernah suatu ketika Fathimah melihatku memegang segelas khamr, maka diapun mendekat kepadaku dan menyingkirkan gelas tersebut hingga tumpah mengenai bajuku. Saat itu umurnya belum genap dua tahun. Seakan-akan Allah Subhanahu wa Ta’ala -lah yang membuatnya melakukan hal tersebut. 

Setiap kali dia bertambah besar, semakin bertambah pula keimanan di dalam hatiku. Setiap kali aku mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala selangkah, maka setiap kali itu pula aku menjauhi maksiat sedikit demi sedikit. Hingga usia Fathimah genap tiga tahun, saat itulah Fathimah meninggal. 

Maka akupun berubah menjadi orang yang lebih buruk dari sebelumnya. Aku belum memiliki sikap sabar yang ada pada diri seorang mukmin yang dapat menguatkanku di atas cobaan musibah. Kembalilah aku menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Setanpun mempermainkanku, hingga datang suatu hari, setan berkata kepadaku: “Sungguh hari ini engkau akan mabuk-mabukan dengan mabuk yang belum pernah engkau lakukan sebelumnya.” Maka aku bertekad untuk mabuk dan meminum khamr sepanjang malam. Aku minum, minum dan minum. Maka aku lihat diriku telah terlempar di alam mimpi. 

Di alam mimpi tersebut aku melihat hari kiamat. Matahari telah gelap, lautan telah berubah menjadi api, dan bumipun telah bergoncang. Manusia berkumpul pada hari kiamat. Manusia dalam keadaan berkelompok-kelompok. Sementara aku berada di antara manusia, mendengar seorang penyeru memanggil: Fulan ibn Fulan, kemari! Mari menghadap al-Jabbar. Aku melihat si Fulan tersebut berubah wajahnya menjadi sangat hitam karena sangat ketakutan. Sampai aku mendengar seorang penyeru menyeru namaku: “Mari menghadap al-Jabbar!” 

Kemudian hilanglah seluruh manusia dari sekitarku seakan-akan tidak ada seorangpun di padang Mahsyar. Kemudian aku melihat seekor ulat besar yang ganas lagi kuat merayap mengejar kearahku dengan membuka mulutnya. Akupun lari karena sangat ketakutan. Lalu aku mendapati seorang laki-laki tua yang lemah. Akupun berkata: “Hai, selamatkanlah aku dari ular ini!” Dia menjawab: “Wahai anakku aku lemah, aku tak mampu, akan tetapi larilah kearah ini mudah-mudahan engkau selamat!” 

Akupun berlari kearah yang ditunjukkannya, sementara ular tersebut berada di belakangku. Tiba-tiba aku mendapati api ada dihadapanku. Akupun berkata: “Apakah aku melarikan diri dari seekor ular untuk menjatuhkan diri ke dalam api?” Akupun kembali berlari dengan cepat sementara ular tersebut semakin dekat. Aku kembali kepada lelaki tua yang lemah tersebut dan berkata: “Demi Allah, wajib atasmu menolong dan menyelamatkanku.” Maka dia menangis karena iba dengan keadaanku seraya berkata: “Aku lemah sebagaimana engkau lihat, aku tidak mampu melakukan sesuatupun, akan tetapi larilah kearah gunung tersebut mudah-mudahan engkau selamat!” 

Akupun berlari menuju gunung tersebut sementara ular akan mematukku. Kemudian aku melihat di atas gunung tersebut terdapat anak-anak kecil, dan aku mendengar semua anak tersebut berteriak: “Wahai Fathimah tolonglah ayahmu, tolonglah ayahmu!” 

Selanjutnya aku mengetahui bahwa dia adalah putriku. Akupun berbahagia bahwa aku mempunyai seorang putri yang meninggal pada usia tiga tahun yang akan menyelamatkanku dari situasi tersebut. Maka diapun memegangku dengan tangan kanannya, dan mengusir ular dengan tangan kirinya sementara aku seperti mayit karena sangat ketakutan. Lalu dia duduk di pangkuanku sebagaimana dulu di dunia. 

Dia berkata kepadaku: “Wahai ayah, “belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” (Qs. Al-Hadid:16) 

Maka kukatakan: “Wahai putriku, beritahukanlah kepadaku tentang ular itu.” 

Dia berkata: “Itu adalah amal keburukanmu, engkau telah membesarkan dan menumbuhkannya hingga hampir memakanmu, maka hal itu akan memasukanmu ke dalam api neraka. Tidakkah engkau tahu wahai ayah, bahwa amal-amal di dunia akan dirupakan menjadi sesosok bentuk pada hari kiamat? Dan lelaki yang lemah tersebut adalah amal shalihmu, engkau telah melemahkannya hingga dia menangis karena kondisimu dan tidak mampu melakukan sesuatu untuk membantu kondisimu. Seandainya saja engkau tidak melahirkanku, dan seandainya saja tidak mati saat masih kecil, tidak akan ada yang bisa memberikan manfaat kepadamu.” ‎

Dia Rohimahullah berkata: Akupun terbangun dari tidurku dan berteriak: “Wahai Rabbku, sudah saatnya wahai Rabbku, ya, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” Lantas aku mandi dan keluar untuk shalat subuh dan ingin segera bertaubat dan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Dia Rohimahullah berkata: 

Akupun masuk ke dalam masjid dan ternyata imampun membaca ayat yang sama: 

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” (Qs. Al-Hadid: 16) 

Berkata Malik : "Maka akupun takut dan aku tuangkan seluruh minuman keras itu dan kupecahkan seluruh botol-botol minuman kemudian aku bertaubat pada Allah, dan inilah cerita tentang taubatku pada Allah".

Itulah kisah taubatnya Malik bin Dinar Rohimahullah yang beliau kemudian menjadi salah seorang imam generasi tabi’in, dan termasuk ulama Basrah. Dia dikenal selalu menangis sepanjang malam dan berkata: “Ya Ilahi, hanya Engkaulah satu-satunya Dzat Yang Mengetahui penghuni sorga dan penghuni neraka, maka yang manakah aku di antara keduanya? Ya Allah, jadikanlah aku termasuk penghuni sorga dan jangan jadikan aku termasuk penghuni neraka.” 

Malik bin Dinar Rohimahullah bertaubat dan dia dikenal pada setiap harinya selalu berdiri di pintu masjid berseru: “Wahai para hamba yang bermaksiat, kembalilah kepada Penolong-mu! Wahai orang-orang yang lalai, kembalilah kepada Penolong-mu! Wahai orang yang melarikan diri (dari ketaatan), kembalilah kepada Penolong-mu! Penolong-mu senantiasa menyeru memanggilmu di malam dan siang hari. Dia berfirman kepadamu: “Barangsiapa mendekatkan dirinya kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya satu hasta. Jika dia mendekatkan dirinya kepada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya satu depa. Siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari kecil.” 

Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberikan rizki taubat kepada kita. Tidak ada sesembahan yang hak selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim.

Syaikh Malik bin Dinar Rahimahullah wafat pada tahun 130 H. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya dengan rahmat-Nya yang luas. (Mizanul I’tidal, III/426)‎

Terkabulnya Doa Sang Sufi

Konon, ada seorang waliyullah bernama Syekh Abu Jahir. Beliau bersama istri dan keluarganya hijrah meninggalkan kampung halamannya. Di tempat baru ini, beliau mendirikan sebuah masjid dan majlis ta”lim.
Bersama dengan keluarganya beliau tekun beribadah dan mengajarkan agama Islam. Hampir setiap hari beliau dikunjungi orang dari berbagai daerah yang ingin belajar mendalami agama Islam kepadanya.‎

Pada suatu hari seorang waliyullah bernama Syekh Sholeh Al-Mari Al-Mari bermaksud ziarah untuk ngalap berkah (mengharapkan keberkahan) kepada beliau. Sampai hari yang telah ditentukannya, Syekh Sholeh Al-Mari menuju negeri tempat tinggal Syekh Abu Jahir. Di tengah perjalanan, beliau bertemu dengan Syekh Muhammad bin Wasi’ salah satu sahabatnya. 

“Assalamu”alaikum,” salam Syekh Sholeh Al-Mari. “Wa”alaikum salam warahmatullah,” jawab Syekh Muhammad. Kemudian mereka saling berpelukan dan bertanya kabar masing-masing serta berbincang-bincang melepas kerinduan, karena lama tidak berjumpa. “Engkau hendak pergi ke mana?,” tanya Syekh Muhammad. “Saya hendak ziarah kepada Syekh Abu Jahir,” jawabnya. “Ke kediaman Syekh Abu Jahir?,” tanyanya heran. “Ya, betul,” jawabnya tegas. “Masyaallah, saya juga hendak pergi kesana,” tanggapnya. Keduanya pun berangkat menuju ke tempat tinggal Syekh Abu Jahir. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang Syekh Hubaib al-Ajami. Mereka saling bersalaman dan juga bertanya kabar masing-masing. “Hendak ke mana anda berdua ini?,” tanya Syekh Hubaib Al-Ajami. “Kami hendak ziarah kepada Syekh Abu Jahir” “Saya juga dalam perjalanan ke sana,” sahut Syekh Hubaib. “Kalau begitu mari kita pergi bersama,” ajak mereka berdua.
Mereka bertiga meneruskan perjalanan dengan penuh kegembiraan karena perjalanan mereka bertambah ramai. Setelah menempuh perjalanan yang agak lama, tiba-tiba mereka berjumpa dengan Syekh Malik bin Dinar, seorang waliyullah yang masyhur pada waktu itu. Mereka kemudian saling bersalaman pula seperti biasanya ketika para waliyullah bertemu. “Kalian hendak pergi ke mana?,” tanya Syekh Malik bin Dinar. “Kami bertiga hendak ziarah kepada Syekh Abu Jahir,” jawab mereka bertiga. “Subhanallah, saya juga sedang menuju ke sana,” lanjut Syekh Malik bin Dinar. “Kalau begitu, mari kita pergi bersama-sama,” pinta salah satu dari mereka bertiga. Perjalanan lebih mengasyikkan karena jumlah mereka bertambah yakni menjadi empat orang dengan tujuan yang sama yaitu hendak ziarah kepada Syekh Abu Jahir.
Dengan kuasa Allah swt, sebelum sampai di kediaman Syekh Abu Jahir, mereka berempat berjumpa dengan waliyullah yang bernama Syekh Thabit Al-Bannani. Seperti biasanya mereka pun bersalaman dan berpelukan kemudian saling bertanya kabar masing-masing. “Kalian hendak ke mana?,” tanya Syekh Thabit. “Kami hendak ziarah ke kediaman Syekh Abu Jahir,” jawabnya bersamaan. “Masyaallah, saya juga hendak ke sana,” sahut Syekh Thabit. “Kalau begitu, mari kita pergi bersama,” ajak Syekh Sholeh Al-Mari. “Segala puji bagi Allah swt. yang telah mempertemukan kita dan pergi bersama-sama walaupun tanpa perjanjian untuk ziarah kepada Syekh Abu Jahir,” kata Syekh Thabit Al-Bannani. Kemudian mereka bersama meneruskan perjalanan menuju kediaman Syekh Abu Jahir. Sepanjang perjalanan, mereka tidak henti-hentinya memuji dan bersyukur kepada Allah swt. yang memberikan kesempatan berjalan untuk ziarah kepada Syekh Abu Jahir yang terkenal sebagai waliyullah. Setelah berjalan begitu lama, mereka beristirahat untuk menunaikan shalat. “Marilah kita istirahat dulu dan shalat dua rakaat di sini, agar tempat ini menjadi saksi di hadapan Allah swt. kelak di hari kiamat,” kata Syekh Thabit Al-Bannani. “Satu amal kebajikan sangat besar sekali pahalanya, ” sahut yang lain. Lalu mereka mengerjakan shalat bersama-sama dengan khusyu” dan tawadu”. Seusai shalat, mereka berdoa untuk kebaikan umat Islam di dunia dan di akhirat. Kemudian mereka meneruskan perjalanan dan akhirnya tiba di kediaman Syekh Abu Jahir.‎

Sesampainya di sana, mereka tidak terburu-buru mengetuk pintu untuk masuk tetapi mereka menunggu Syekh Abu Jahir sampai keluar untuk menunaikan shalat. Tidak lama kemudian waktu dhuhur tiba. Maka keluarlah Syekh Abu Jahir dari dalam kediamannya dengan tanpa bercakap apa-apa langsung masuk ke masjid dan shalat bersama para muridnya. Kelima tamunya pun ikut shalat berjamaah dengan beliau. Selepas shalat, mereka menemui Syekh Abu Jahir satu persatu. Pertama kali yang masuk adalah Syekh Muhammad bin Wasi’. “Assalamu”alaikum,” salam Syekh Muhammad. “Wa”alaikum salam,” jawab Syekh Abu Jahir “Anda ini siapa?,” tanyanya menyambung. “Saya saudaramu, Muhammad bin Wasi’,” jelasnya. “Masyaallah, Kalau begitu anda orang Basrah yang terkenal paling bagus shalatnya itu kan?,” tegasnya sambil tercengang. Syekh Muhammad diam tanpa berkata apa-apa. Selanjutnya disusul Syekh Thabit Al-Bannani masuk. “Siapakah anda ini?,” tanya Syekh Abu Jahir. “Saya saudaramu, Thabit Al-Bannani”. “Masyaallah, kalau begitu anda yang dikatakan orang Basrah yang paling banyak shalatnya itu kan?,” Tanya Syekh Abu jahir. Syekh Thabit juga diam tanpa berkata apa-apa. Tiba giliran Syekh Malik bin Dinar. Syekh Abu jahir bertanya kepadanya. “Siapakah anda ini?,” tanya Syekh Abu Jahir. “Saya saudaramu, Malik bin Dinar,” jawabnya. “Masyaallah, jadi kamulah yang termasyhur sebagai orang yang paling zuhud di kalangan penduduk Basrah, bukan?,” Syekh Malik juga tidak berkata apa-apa. Kemudian Syekh Hubaib Al-Ajami menghadap Syekh Abu jahir. Beliau pun sama bertanya dengannya. “Anda ini siapa?,” tanya Syekh Abu Jahir. “Saya saudaramu, Hubaib Al-Ajami,” jawabnya. “Masyaallah, kalau begitu anda yang terkenal di kalangan penduduk Basrah sebagai orang yang mustajab do”anya,” kata Syekh Abu Jahir. Seperti yang lain, Syekh Hubaib diam. Akhirnya tiba giliran Syekh Sholeh Al-Mari maju menghadap kepada Syekh Abu jahir.‎

Beliaupun bertanya. “Anda siapa?,” tanya Syekh Abu Jahir. “Saya saudaramu, Sholeh Al-Mari,” jawabnya. “Subhanallah, kalau begitu anda yang terkenal di kalangan penduduk Basrah sebagai qari” yang fasih dan bagus suaranya,” kata Syekh Abu jahir. Syekh Sholeh Al-Mari juga tidak menjawab. Syekh Abu jahir bertafsayar sebentar seperti mengenangkan sesuatu. “Saya sebenarnya sangat rindu dan ingin mendengar suaramu wahai saudaraku,” kata Syekh Abu Jahir kepada Syekh Sholeh Al-Mari. “untuk itu, bacakan empat atau lima ayat dari Al-Qur”an sebagai pengobat rinduku,” lanjtnya sambil memohon. Syekh Sholeh Al-Mari memenui permintaannya, lalu beliau membuka Al-Qur”an dan membaca surat Al-Furqan ayat 22-23 yang artinya ;“Pada hari mereka melihat malaikat di hari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa, dan mereka berkata “Hijran mahjuuraa”. Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan,” (Al-Furqan; 22-23).

Ketika Syekh Abu Jahir mendengar bacaan yang artinya; “debu yang berterbangan’, maka beliau berteriak sangat kuat, sehingga pingsan di tempat sujudnya yang disebabkan rasa ketsayatan yang teramat kepada Allah swt. ketika sadar dari pingsannya, beliau berkata, “ulangi bacaan ayat tadi”. Maka Syekh Sholeh Al-Mari mengulanginya, dan ketika sampai ayat yang sama Syekh Abu Jahir berteriak sangat kuat lagi, sehingga terjatuh untuk yang kedua kalinya dan wafat seketika itu juga. Syekh Sholeh Al-Mari dan teman-teman sangat terkejut menyaksikan kejadian tersebut. Yaitu wafat dalam keadaan amat ketsayatan mendengar kalam ilahi. Tidak lama kemudian istri Syekh Abu Jahir muncul dan bertanya. “Siapakah kalian ini?,” tanya istri Syekh Abu Jahir. “Kami datang dari Basrah, beliau Malik bin Dinar, Hubaib Al-Ajami, Muhammad bin Wasi’, Thabit Al-Bannani sedangkan saya sendiri adalah Sholeh Al-Mari,” jawab Sholeh sambil memperkenalkan satu-persatu kepada istri Syekh Abu Jahir. Tiba-tiba perempuan itu berkata, “Innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji”uun… Syekh Abu Jahir telah wafat”. Mendengar itu Syekh Sholeh Al-Mari dan sahabat-sahabatnya merasa heran terhadap istri beliau itu, karena tiba-tiba mengerti bahwa suaminya telah wafat. Padahal beliau tidak menyaksikannya dan mereka juga belum memberitahu apa yang telah terjadi. “Dari mana kamu tahu bahwa Syekh Abu Jahir telah wafat?,” tanya mereka keheranan. “Saya sering mendengar doanya, bahwa beliau sering mengucapkan, “Ya… Allah, kumpulkanlah para Aulia-Mu pada saat ajalku,” jelasnya. “Jadi, tidaklah kalian berkumpul di sini, melainkan untuk menyaksikan Syekh Abu Jahir wafat?,” sambungnya. Ternyata doa Syekh Abu Jahir telah dikabulkan Allah swt.‎

Nasihat Malik Bin Dinar Kepada Hamba Wanita Sombong.
Suatu ketika, Malik bin Dinar rah.a sedang berjalan di daerah Basrah. Ia melihat seorang hamba wanita dengan pakaian gemerlap berjalan dengan pembantunya dengan penuh angkuh dan gaya, berlagak bagaikan hamba wanita milik para raja. Melihat hal itu, Malik rah.a berteriak kepadanya, “Hai gadis kecil! Apakah tuanmu mau menjualmu?” Hamba wanita itu sangat terkejut atas pertanyaan Malik rah.a.

Ia berkata dengan tersinggung, “Orang tua, coba kau ulangi kata-katamu itu.”

Malik rah.a berkata, “Kukatakan, apakah tuanmu mau menjualmu?”

Gadis itu berkata, “Seandainya ia menjualku, dapatkah seorang miskin sepertimu membayar hargaku?”

Malik rah.a berkata, “Tentu, bahkan aku dapat membeli seorang hamba wanita yang lebih cantik darimu.”

Mendengar perkataan ini ia tertawa dan mengatakan pada pelayan-pelayannya untuk memegang Syaikh dan membawanya menyertai mereka.

Demikianlah Malik rah.a dibawa oleh mereka ke rumah mereka. Setibanya di rumah, hamba itu menceritakan kepada tuannya semua yang terjadi antara dirinya dengan Syaikh. Tuannya tertawa terbahak-bahak dan meminta agar laki-laki miskin itu dibawa kehadapannya. Begitu Malik rah.a muncul dihadapannya, orang kaya itu diserang oleh rasa kagum, tiba-tiba ia bertanya kepada Syaikh, Apa yang kamu inginkan?”

Syaikh menjawab, “Aku ingin membeli hamba wanitamu.”

Orang kaya itu berkata, “Dapatkah kamu membayar harganya?”

Syaikh berkata, “Menurut perkiraanku harganya senilai dua biji kurma.”

Mendengar ini, semua yang hadir tertawa. Orang kaya itu berkata, “Atas dasar apa kamu menentukan harga itu bagi wanita ini?”

Syaikh menjawab, “Jika hamba wanitamu tidak memakai wewangian, maka tubuhnya akan mengeluarkan bau yang menjijikan, jika ia tidak meminyaki atau menyisir rambutnya, ia akan Nampak kusut, rambutnya akan menjadi jelek dan bau busuk. Dalam waktu beberapa tahun lagi kemudaannya akan hilang dan semua daya tariknya akan luntur, ia mengalami menstruasi, mengeluarkan air seni, kotoran kecil maupun besar dan semua mengeluarkan kotoran dari tubuhnya. Ia suka murung ketika menderita kemalangan. Ia sangat mementingkan dirinya sendiri dan berpura-pura mencintaimu, walaupun sebenarnya yang ia cintai adalah kesenangan dan kenyamanan hidup yang dinikmatinya bersamamu. Dan yang paling tidak tetap adalah; ia tidak tulus dalam cintanya dan berkhianat, tidak setia kepada perkataannya sendiri dan palsu dalam pernyataan cintanya. Jika engkau menyuruhnya pergi atau engkau meninggal lebih dahulu , ia akan pergi kepada laki-laki lain dan disana ia juga menyatakan bahwa ia mencintainya dengan penuh gairah.

Akupun mempunyai seorang hamba wanita, yang jauh melampaui hambamu dalam hal kecantikannya, dan lebih mudah dimiliki. Ia telah diciptakan dari inti sari camphor dicampur dengan kasturi dan saffron. Ia dipakaikan pakaian dari nur yang indah dan memakai pakaian mutiara. Jika ia berbicara kepada seseorang yang telah meninggal, maka orang itu akan hidup kembali. Jika ia membuka pergelangan tangannya di dunia ini, matahari akan Nampak redup dibandingkan dengannya. Jika ia memasuki ruangan gelap, ia akan meneranginya dengan kehadirannya. Jika ia dating ke dunia ini dengan semua kecantikan dan perhiasannya, ia akan memenuhinya dengan keharuman dan sinar yang sangat terang. Ia telah dipelihara dan diasuh di dalam taman kesturi dan saffron. Ia bermain dan berayun-ayun di dahan yang terbuat dari rubi merah dan batu marjan. Tinggal di istana-istana, dikelilingi oleh semua tata karma penuh rahmat. Ia diberi minum dari air Tasniim (sebuah sungai di surga). Ia tidak pernah memungkiri janji, tidak pernah mengkhianati orang yang dicintainya atau mengubah kesetiannya.”

Demikianlah, setelah menceritakan beberapa sifat-sifat bidadari surga, Syaikh bertanya, “Sekarang katakana kepadaku, manakah diantara kedua gadis itu yang patut untuk diinginkan?”

Semua orang yang berkumpul di sana berkata, dengan satu suara, “Tentu saja gadis yang baru saja engkau gambarkan yang sebaiknya setiap orang mencoba untuk memilikinya.”

Syaikh berkata, “Gadis cantik ini dapat dimiliki hanya dengan harga yang setiap orang mampu membayarnya dan dalam setiap keadaan.”

Ketika ditanya berapa harganya, Malik rah.a berkata, “Seorang gadis dengan kebaikan dan keunggulan seperti itu dapat dimiliki sebagai balasan atas perbuatan-perbuatan baik walaupun kecil seperti: mengambil sedikit waktu pada malam hari untuk berdiri dalam ketaatan, mengerjakan setidak-tidaknya dua rakaat shalat Tahajjud dengan niat yang murni yaitu mencari ridha-Nya. Bila engkau duduk untuk makan, ingatlah juga orang-orang miskin (ajaklah mereka menikmati makananmu), jadikanlah keinginanmu tunduk kepada yang diingiankan Allah. Singkirkanlah dari jalanmu segala sesuatu yang dapat membahayakan orang-orang yang berlalu di sana, jalani kehidupan dengan sederhana. Merasa cukup dengan pemberian Allah, alihkan perhatianmu dari dunia ini, yang tidak lain adalah tempat penipuan dan pusatkan sepenuh hati ke tempat tinggal abadi; yaitu akhirat. Jika kamu bersungguh-sungguh dalam perbuatan-perbuatan baik ini, kamu tidak saja hidup terhormat di dunia, tetapi juga tidak akan mengalami kegelisahan di akhirat dan akan dibangkitkan dengan kedudukan yang terhormat dan tinggi, tinggal selama-lamanya di jannah di dalam lingkuangan yang diberkahi Allah SWT, Raja segala Raja.

Mendengar semua ini, orang kaya itu berkata kepada hamba wanitanya, “Apakah engkau mendengar apa yang dikatakan Syaikh?”

Hamba wanita itu berkata, “Ia telah mengatakan kebenaran, mengingatkan kita kepada keyakinan yang benar dan memberikan nasehat yang baik kepada kita.”

Orang kaya itu berkata, “Kalau begitu, aku memerdekakanmu dan kuberikan kepadamu sejumlah harta sebagai hadiahku.” Ia juga memerdekakan semua hamba-hambanya dan menghadiahi mereka masing-masing sejumlah harta yang cukup banyak, dan menyedekahkan rumahnya dan semua yang ada di dalamnya di jalan Allah. Ia membuka pakaiannya yang mahal, dan membalut tubuhnya dengan kain kasar, kain tirai kasar yang disobeknya dari pintu rumahnya.

Hamba wanita itu berkata, “Tuanku, akupun akan mengikuti cara hidupmu, karena bagiku tidak ada lagi daya tarik di dalam kenikmatan kehidupan dunia ini.” Kemudian ia pun menyedekahkan semua pakaiannya, perhiasan-perhiasan dan barang-barang berharga dan juga perabot-perabot rumah tangganya. Ia memakai pakaian dari bahan kasar dan menjalani kehidupan yang sangat sederhana bersama tuannya.

Malik rah.a meninggalkan mereka dan mendoakan keberkahan Allah atas kedua orang itu, majikan dan hamba wanitanya yang telah melepaskan kesenangan hidup mereka, meninggalkan kemewahan-kemewahan duniawi dan mengabdikan hidup untuk beribadah kepada Allah SWT, tekun dalam ketaatan hingga akhir hayat mereka. Semoga Allah SWT memberkahi mereka dengan ampunan dan memberkahi kita juga, bersama mereka.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar