Selasa, 20 Oktober 2015

Tidak Boleh Sembarangan Nulis Lafal Jalalah

Hakikat tulisan bahasa sebenarnya adalah teknik mensimbolkan bunyi-bunyi bahasa yang memiliki makna. Tulisan dibuat agar gagasan/ide yang dikandung bahasa yang diucapkan secara lisan bisa didokumentasikan dan ditransfer lintas generasi  Tulisan adalah jenis kesepakatan komunitas, karena itu bentuk-bentuk tulisan dalam berbagai peradaban bisa berbeda-beda. Tulisan Arab  berbeda dengan Cina, India, Jawa, Eropa, dst.
Islam sendiri tidak pernah memerintahkan jenis tulisan tertentu yang mengikat kaum Muslimin agar tulisan tersebut dipakai ketika menulis. Tidak ada dalil dalam Al-Quran maupun As-Sunnah yang mewajibkan seorang Muslim terikat dengan tulisan tertentu. Tulisan Arab pun tidak lebih adalah uslub (teknik) mensimbolkan bunyi-bunyi bahasa Arab  yang memiliki makna yang merupakan hasil peradaban. Taqrir (sikap diam) Nabi terhadap tulisan Arab  adalah taqrir terhadap Uslub penulisan, bukan Taqrir untuk mewajibkan kaum Muslimin untuk memakai tulisan Arab  ketika mengungkapkan‎
bahasa. 

Nabi sendiri pernah memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk mempelajari tulisan Yahudi.


عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَعَلَّمَ السُّرْيَانِيَّةَ

“Dari Zaid bin Tsabit beliau berkata; Rasulullah SAW memerintahkan kepadaku untuk belajar Assuryaniyyah (tulisan yahudi)” (HR. Attirmidzi)
Karena itu setiap Muslim tidak terikat untuk memakai tulisan Arab  dalam tulisan mereka, baik bahasa yang diungkapkan adalah bahasa Arab  maupun bahasa lokal (kecuali tulisan Al-Quran). Tiap-tiap Muslim boleh memakai tulisan apapun yang disepakati komunitas selama tidak mengandung mafhum (pemahaman) yang bertentangan dengan Islam. Jadi, boleh hukumnya menulis dengan tulisan Arab, Latin, India, Jawa, Cina, dll karena semua itu hanyalah teknik mengungkapkan/simbolisasi bunyi-bunyi bahasa.
Kata “4JJI” sendiri secara fakta digunakan oleh sebagian orang sebagai bentuk “kreasi” penulisan dalam SMS yang kemudian berkembang secara meluas. Penulisan tersebut sebenarnya adalah bentuk “keterpaksaan” ketika HP tidak mendukung font Arab, atau sebuah kesengajaan sebagai suatu karya seni. Belum bisa dipastikan siapa yang pertama kali membuat kreasi ini, meskipun desas-desusnya kreator tulisan ini adalah para aktivis pergerakan (harokiyyun).
Tidak bisa dikatakan bahwa lafadz “4JJI” dalam bahasa Indonesia tidak bermakna apa-apa, karena lafadz “4JJI” jika dibaca bunyinya “Empat-Je-je-El” bukan berbunyi الله /Allah. Tidak bisa dikatakan demikian. Karena tulisan adalah simbol-simbol bunyi bahasa yang bersifat ekslusif dan dimaknai berdasarkan kesepakatan komunitas, bukan orang yang diluar komunitas. Jika satu komunitas sepakat memaknai lafadz “i2” dengan makna “itu”, lafadz “s7” dengan makna “setuju”, lafadz “t4” dengan makna “tempat”, maka tidak ada hak bagi komunitas lain menyalahkan istilah tersebut. Karena istilah adalah alat komunikasi, dan komunikasi yang diperhatikan adalah unsur kesepahaman bersama.
Secara fakta, ada tulisan yang bentuknya sama tetapi dibunyikan dengan cara berbeda oleh komunitas yang berbeda sebagaimana ada tulisan yang sama dibunyikan dan diartikan secara berbeda oleh komunitas yang berbeda. Huruf “W” misalnya, dibunyikan orang Indonesia dengan bunyi “we”, sementara orang Inggris membacanya “dabelyuw”. Kata “alone” dibunyikan orang Inggris dengan cara mereka dan diartikan “sendirian”, sementara bagi orang Jawa kata tersebut bermakna “alangkah pelannya”. Jadi tidak cukup bahwa fakta kata “4JJI” tidak bisa dibaca Allah dalam bahasa Indonesia untuk melarang atau mengharamkan penggunaan kata tersebut. Tulisan adalah kesepakatan, sementara kata “4JJI” sudah dimaklumi bahwa kata ini berusaha meniru tulisan Arab  secara artistik untuk menggantikan lafadz الله.
Adapun klaim bahwa lafadz “4JJI” adalah singkatan dari “For Judas, Jesus, And Isa” maka ini adalah klaim yang belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Belum ada studi yang lebih bertanggung jawab yang menganalisis berdasarkan kajian linguistik, sosial, budaya, antropologi, dan peradaban untuk membuktikan bahwa kata tersebut memang singkatannya demikian. Kreasi singkatan bisa saja liar. Kata “4JJI” mungkin juga dianggap singkatan dari “For Joko, Johan, and Indri’, atau “for Juminten Jijik Ih”, “For Dajjal” atau “For Jabbar (Yang Maha Perkasa, Jalil (yang maha Agung ) and Islam”. Melarang lafadz “4JJI” dengan alasan singkatan itu lebih terkesan paranoid dan mirip orang yang mengatakan “jangan beli laptop merek ACER karena ACER itu singkatan dari Agak Cepat Rusak”.
Namun terkait lafadz Allah, hendaknya seorang Muslim berhati-hati. Mengangungkan lafadz Allah adalah wajib. Islam mengharamkan segala sesuatu yang mengantarkan penghinaan/pelecehan terhadap lafadz Allah. Oleh karena itu, jika penggunaan lafadz “4JJI” secara fakta bisa dibuktikan merendahkan lafadz Allah, maka hendaknya seorang Muslim menghindarinya. 
Allah berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ} [الأنعام: 108[
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki.


Yang semakna dengan ini adalah larangan mencaci orangtua orang lain yang menyebabkan orang lain mencaci orang tua kita:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
“Dari Abdulllah bin ‘Amr beliau berkata; Rasulullah SAW bersabda: termasuk dosa yang paling besar adalah seseorang melaknat kedua orangtuanya. Beliau ditanya; wahai Rasulullah, bagaimana (mungkin) seseorang melaknat kedua orangtuanya?. Beliau menjawab; seseorang mencaci ayah orang lain maka orang lain tersebut mencaci ayah pencaci dan ibunya” (HR. Bukhari) 
Atas dasar ini, menulis lafadz Allah dengan kata “4JJI” hukumnya mubah kecuali bisa dibuktikan secara fakta bahwa penggunaan kata tersebut berakibat merendahkan lafadz Allah atau bisa dibuktikan mengandung pemahaman Kufur. 

Berikut penjelasan Imam Abul Baqa’ al-Ukbari tentang asal usul  kata ‘الله’,

والأصل في الله الإلاه فألقيت حركة الهمزة على لام المعرفة ثم سكنت وأدغمت في اللام الثانيى ثم فخمت إذا لم يكن قبلها كسرة ورققت إذا كانت قبلها كسرة ومنهم من يرققها في كل حال، والتفخيم في هذا الاسم من خواصه

Asal kata ‘الله’ adalah al-ilah [arab: الإلاه] kemudian huruf hamzah di depan dibuang, kemudian lam pertama disukun dan dimasukkan ke lam kedua, lalu dibaca tebal (tafkhim) jika sebelumnya bukan kasrah, dan dibaca tipis (tarqiq) jika sebelumnya kasrah. Dan ada diantara mereka yang membaca tipis (tarqiq) dalam setiap keadaan.

Dan tafkhim (dibaca tebal) untuk kata ini, bagian dari kekhususan lafdzul jalalah. (at-Tibyan fi I’rab al-Quran, hlm. 2).

Contoh kata Allah yang dibaca tebal (tafkhim)

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

Kita baca: qul huwa-llohu ahad, kata Alloh dibaca tebal.

Contoh kata Allah yang dibaca tipis (tarqiq)

Lillahu mulkus samawati        :           لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ

Haajaruu fillaahi                      :           هَاجَرُوا فِي اللَّهِ

Bagaimana cara penulisan ‘Allah’ yang benar?

Kata Allah termasuk salah satu dari sekian kata dalam bahasa arab yang menjadi kita dalam bahasa Indonesia

Mengingat huruf bahasa Indonesia dan huruf bahasa arab berbeda, masyarakat akan sangat kerepotan jika harus menuliskan kalimat ini dengan teks arabnya. Sehingga kita perlu melakukan transliterasi untuk menuliskan kata ini dengan huruf latin.

Karena itu, sebenarnya mengenai bagaimana transliterasi tulisan [اللَّهُ] yang tepat, ini kembali kepada aturan baku masalah transliterasi kata asing dalam bahasa kita. Bagi sebagian orang, baku itu bukan suatu keharusan. Yang penting masyarakat bisa memahami.

Sebagai catata, transliterasi kalimat bahasa asing, dibuat untuk membantu pengucapan kalimat asing itu dengan benar. Anda bisa bandingkan, transliterasi teks arab untuk masyarakat berbahasa inggris dengan transliterasi teks arab untuk orang Indonesia. Karena semacam ini disesuaikan dengan fungsinya, yaitu untuk membantu pengucapan kalimat arab tersebut dengan benar.

Dengan demikian, sebenarnya transliterari kata [اللَّهُ] tidak bisa diberikan penilaian benar dan salahnya tulisan. Karena tidak ada aturan yang disepakati di sana. Semua kembali kepada selera penulis. Misalnya ditulis Allah, Alloh, ALLOH atau ALLAH. Yang lebih penting adalah bagaimana cara pengucapannya yang tepat, sehingga tidak mengubah makna.
Wallahua’lam ‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar