Selasa, 08 Desember 2015

Penjelasan Tentang Mengeraskan Suara Dalam Dzikir Dan Berdoa

Disebutkan dalam beberapa hadits shahih, kadang kala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dan berdoa dengan meninggikan suaranya, namun riwayat ini tidak menunjukkan bahwa itu menjadi suatu kelaziman (kebiasaan) baginya. 

Imam Muslim meriwayatkan bahwa ketika menjelang perang Badar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa demikian, dari Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu:

لَمَّا كَانَ يَوْمُ بَدْرٍ نَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمُشْرِكِينَ وَهُمْ أَلْفٌ وَأَصْحَابُهُ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَتِسْعَةَ عَشَرَ رَجُلًا فَاسْتَقْبَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقِبْلَةَ ثُمَّ مَدَّ يَدَيْهِ فَجَعَلَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ إِنْ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ مِنْ أَهْلِ الْإِسْلَامِ لَا تُعْبَدْ فِي الْأَرْضِ فَمَا زَالَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ مَادًّا يَدَيْهِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ حَتَّى سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ مَنْكِبَيْهِ فَأَتَاهُ أَبُو بَكْرٍ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ فَأَلْقَاهُ عَلَى مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ الْتَزَمَهُ مِنْ وَرَائِهِ وَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ كَفَاكَ مُنَاشَدَتُكَ رَبَّكَ فَإِنَّهُ سَيُنْجِزُ لَكَ مَا وَعَدَكَ

“Ketika hari Badar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memandang kaum musyrikin yang berjumlah seribu orang, sementara pasukannya 319 laki-laki, maka Nabi menghadap kiblat lalu mengangkat tangannya dan bedoa kepada Rabbnya: “Ya Allah penuhilah kepadaku apa-apa yang telah Kau janjikan kepadaku, Ya Allah datangkanlah kepadaku apa-apa yang telah Kau janjikan kepadaku, Ya Allah jika pasukan Islam ini dikalahkan, maka tidak ada lagi yang menyembahMu di muka bumi.” Rasulullah terus menerus demikian, menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya sampai-sampai selendang dipundaknya terjatuh, lalu Abu Bakar mendekatinya dan mengambil selendang itu serta meletakkannya kembali ke pu dak Rasulullah, lalu mengikutinya terus dibelakangnya, lalu beliau berkata: “Wahai nabi Allah, cukup sudah senandung doamu kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia akan memenuhi apa-apa yang tekah dijanjikanNya kepadamu.” (HR. Bukhari No. 1763, At Tirmidzi No. 5075, Ibnu Hibban No. 4793, Ahmad No. 208, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf,7/95 )

Mengometari doa di atas, Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

وَفِيهِ : اِسْتِحْبَاب اِسْتِقْبَال الْقِبْلَة فِي الدُّعَاء وَرَفْع الْيَدَيْنِ فِيهِ ، وَأَنَّهُ لَا بَأْس بِرَفْعِ الصَّوْت فِي الدُّعَاء 


“Dalam hadits ini, dianjurkan menghadap kiblat ketika berdoa dan mengangkat kedua tangan, dan tidak mengapa mengeraskan suara dalam berdoa.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/213. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Mengeraskan Dzikir Kadang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Melakukannya


Dari Abu Ma’bad –pelayan Ibnu Abbas- memberitakan:

أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

Bahwa Ibnu Abbas menceritakan kepadanya, tentang meninggikan suara dalam berdzikir ketika manusia selesai dari shalat wajib, dan hal itu terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkatalah Ibnu Abbas: "Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan (masjid).” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah berkata:

وَفِيهِ دَلِيل عَلَى جَوَاز الْجَهْر بِالذِّكْرِ عَقِب الصَّلَاة

“Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat.” (Fathul Bari, 3/248)

Di halaman yang sama beliau mengutip dari Imam An Nawawi:

وَقَالَ النَّوَوِيّ : حَمَلَ الشَّافِعِيّ هَذَا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُمْ جَهَرُوا بِهِ وَقْتًا يَسِيرًا لِأَجْلِ تَعْلِيم صِفَة الذِّكْر ، لَا أَنَّهُمْ دَاوَمُوا عَلَى الْجَهْر بِهِ ، وَالْمُخْتَار أَنَّ الْإِمَام وَالْمَأْمُوم يُخْفِيَانِ الذِّكْر إِلَّا إِنْ احْتِيجَ إِلَى التَّعْلِيم .

“Berkata An Nawawi: “Imam Asy Syafi’i memahami hadits ini bahwa mereka mengeraskan suara yang dengan itu menjadi waktu yang mudah untuk mempelajari sifat dzikir, tidak berarti mereka membiasakan mengeraskan suara, dan pendapat yang dipilih adalah bahwa Imam dan Makmum hendaknya merendahkan suara dalam dzikir, kecuali karena kebutuhan untuk mengajar.” (Ibid)

Dari Abdurrahman bin Abza dari ayahnya:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَكَانَ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثًا وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالثَّالِثَةِ

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam shalat witir membaca Sabbihisma Rabbikal A’la, Qul Yaa Ayyuhal Kafirun, dan Qul Huwallahu Ahad, dan jika selesai mengucapkan salam di membaca Subhanal Malikil Quddus tiga kali, dan meninggikan suaranya pada kali yang ketiga.” (HR. An Nasa’I No. 1732)

Bagaimana menyikapi dua dalil yang seakan-akan kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّياَءَ أَوْتَأَذَّى المُصَلُّوْنَ أَوْالنَّائِمُوْنَ. وَالجَهْرُ أَفْضَلُ فِيْ غَيْرِ ذَالِكَ لِأَنَّ العَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنََّ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيُصَرِّفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيُطَرِّدُ النَّوْمَ 

“Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz 3, hal. 306).


Tambahan: Doa Imam di aminkan makmum?

Ini adalah polemik tak berkesudahan. Saya walau cenderung berdoa sendiri-sendiri, tetap menghargai pihak-pihak yang berdoa dipimpin oleh imam dan diaminkan makmum. Di sini saya tidak akan membahasnya secara detil, hanya sekedar membuka mata kita bahwa khilafiyah ijtihadiyah itu benar-benar ada, agar kita lebih dewasa menghadapi perbedaan ini. Sesuai dengan maksudnya, ini hanya tambahan.

Berkata Syaikh Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri:

اعلم أن علماء أهل الحديث قد اختلفوا في هذا الزمان في أن الإمام إذا انصرف من الصلاة المكتوبة هل يجوز له أن يدعو رافعاً يديه ويؤمن من خلفه من المأمومين رافعي أيديهم فقال بعضهم بالجواز ، وقال بعضهم بعدم طناً منهم أنه بدعة ، قالوا إن ذلك لم يثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم بسند صحيح بل هو أمر محدث وكل محدث بدعة وأما القائلون بالجواز فاستدلوا بخمسة أحاديث....

“Ketahuilah, bahwa para ulama ahli hadits telah berbeda pendapat tenang seorang imam yang sudah selesai shalat wajib, bolehkah dia berdoa dengan mengangkat tangan dan diaminkan oleh makmum di belakangnya yang juga mengangkat tangan? Sebagian mereka mengatakan boleh, sebagian lain mengingkarinya dan menyatakan bid’ah. Mereka mengatakan sesungguhnya hal itu tidak ada yang pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sanad shahih. Bahkan itu adalah perkara baru, dan setiap yang baru adalah bid’ah. Ada pun kalangan yang membolehkan berdalil dengan lima hadits ..” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/198)

Lalu, Syaikh Al Mubarkafuri menyebutkan lima hadits itu secara rinci: (Saya akan sebutkan secara ringkas sebagai berikut)

1. Hadits terdapat dalam Tafsir Ibnu Katsir, bahwa setelah selesai shalat Nabi menghadap kiblat dan mengangkat tangan lalu mendoakan kebebasan bagi Al Walid bin Al Walid, ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah, dan Salamah bin Hisyam, serta kaum muslimin yang lemah, karena tidak mampu dan tidak ada petunjuk keluar dari mara bahaya orang kafir. Ibnu Jarir juga meriwayatkan hal serupa, dan disebutkan bahwa itu setelah shalat zhuhur. Hadits ini memiliki syahid (penguat) dalam kitab shahih. Namun, Syaikh Al Mubarkafuri mengatakan, dalam sanad hadits ini terdapat Ali bin Zaid bin Jud’an seorang rawi yang diperbincangkan.

2. Muhammad bin Yahya Al Aslami mengatakan: aku melihat Abdullah bin Az Zubeir, dia sedang memerhatkan seseorang yang berdoa mengangkat tangan sebelum shalat usai. Setelah itu beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah mengangkat tangannya dalam berdoa, kecuali setelah selesai shalat.” Al Haitsami mengatakan rijal hadits ini tsiqat (kredibel).

3. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wa Lailah, dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda: “Tidaklah seorang hamba menengadahkan tangannya setelah shalat lalu berdoa, “Ya Allah Tuhanku, Tuhannya Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Jibril, Mikail, ...dst.” Syaikh Al Mubarkafuri mengatakan dalam sanadnya terdapat Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Qursyi, seorang rawi yang didhaifkan para Imam seperti Ahmad, An Nasa’i, dan Ibnu Hibban, 

4. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushannaf, dari Al Aswad Al ‘Amiri, dari ayahnya, katanya: Aku pernah shalat subuh bersama Rasulullah, setelah selesai shalat beliau mengangkat tangannya dan berdoa.” Hadits ini tidak disebutkan sanadnya, Syaikh Al Mubarkafuri mengatakan tidak diketahui shahih tidaknya hadits ini.

5. Hadits Imam At Tirmidzi, dari Al Fadhl bin Abbas, bahwa Rasulullah mengatakan: “shalat it dua rakaat dua rakaat, dalam dua rakaat ada satu tasyahhud, lakukanlah secara khusyu’, tadharru’, kemudian bedoa mengangkat edua tangan, meninggikan keduanya menuju Rabbmu, menghadap kiblat dengan wajah dan badanmu, barangsiapa yang tidak demikian maka dia begini dan begini.” Dalam riwayat lain: “Tidak sempurna.”

Selain dengan lima hadits ini, kelompok ini juga berdalil dengan keumuman hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Mereka mengatakan bahwa berdoa setelah shalat wajib dianjurkan dengan mengangkat tangan, dan telah pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa beliau berdoa setelah shalatnya, dan mengangkat kedua tangan merupakan adab berdoa. Dan telah pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau mengangkat kedua tangan pada kebanyakan doanya, dan tidak ada larangan yang yang pasti tentang mengangkat kedua tangan ketika berdoa setelah shalat wajib. Oleh karena itu kelompk ini membolehkannya.

Selain alasan-alasan ini, Syaikh Al Mubarkafuri juga melandaskannya dengan dalik-dalil lainnya. Setelah panjang lebar beliau menjelaskan, beliau berkesimpulan sebagai berikut:

قلت: القول الراجح عندي أن رفع اليدين في الدعاء بعد الصلاة جائز لو فعله أحد لا بأس عليه إن شاء الله تعالى والله تعالى أعلم.


“Aku berkata: “Pendapat yang rajih (kuat) menurutku adalah bahwa mengangkat kedua tangan setelah shalat wajib adalah boleh, seandainya dilakukan oleh seseorang saja, maka itu tidak mengapa. Insya Allah. Wallahu A’lam.” (Idem, 2/202)

Jadi, Syaikh Al Mubarkafuri hanya mengatakan kebolehan bagi satu orang yang berdoa setelah shalat wajib dengan mengangkat kedua tangannya, beliau tidak mengatakan sunah apalagi wajib. Tidak pula mengatakan berjamaah, tetapi seseorang saja. Bahkan, di halaman yang sama, beliau mengkritik kalangan hanafiyah modern yang mewajibkan secara tekun mengangkat kedua tangan ketika berdoa setelah usai shalat wajib. Demikian. 



SEPUTAR SHALAWAT KEPADA NABI

Shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam amat dianjurkan, dan Allah Ta’ala telah menegaskan hal itu. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzab (33): 56)

Dalam hadits juga disebutkan keutamaan bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepada orang itu sepuluh kali.” (HR. Muslim No. 616, Abu Daud No. 1307, An Nasa’I No. 1279, Ahmad No. 8499. Syamilah)

Dalam hadits lain:

مَنْ صَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَلَائِكَتُهُ سَبْعِينَ صَلَاةً


“Barangsiapa yang bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam satu kali, maka Allah dan malaikatNya akan bershalawat kepada orang itu tujuh puluh kali.” (HR. Ahmad No. 6465, dalam sanadnya terdapat Ibnu Luhai’ah, yang didhaifkan para ulama. Syamilah)

Maka tidak ragu lagi, bahwa bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki keutamaan yang banyak, dan memiliki dasar syar’i dari Al Quran dan As Sunnah. Oleh karena itu, Shalawat termasuk ibadah yang telah memiliki landasan dan contoh khusus dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebaiknya, kita mengikuti apa-apa yang telah dicontohkannya.



Shalawat-Shalawat Sesuai Sunnah

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memberikan beberapa versi shalawat kepadanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh para Imam Ahli hadits, di antaranya:

1. Dari Abu Humaid As Sa’idi Radhiallahu ‘Anhu, bahwa mereka (para sahabat) bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ فَقَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

“Ya Rasulullah, bagaimana bershalawat kepadamu?”, Nabi menjawab: “Katakanlah: Allahumma shalli ‘Ala Muhammad wa azwajihi wa dzurriyatihi kama shalaita ‘ala Ali Ibrahim wa baarik ‘ala Muhammadin wa azwajihi wa dzurriyatihi kama baarakta ‘ala Ali Ibrahim innaka hamiidum majid.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

2. Dari Abu Mas’ud Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu:

قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ وَالسَّلَامُ كَمَا قَدْ عَلِمْتُمْ


Dia bersabda: “Katakanlah: “Allahumma shali ‘ala Muhammad wa ‘alaa Aali Muhamamad kamaa shalaita ‘alaa Ibrahim wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa Aali Muhammad kamaa baarakta ‘alaa Aali Ibrahim fil ‘Aalamiina innaka hamidum majid,” dan ucapkankanlah salam sebagaimana kalian ketahui.” (HR. Muslim No. 373, At Tirmidzi No. 3144, katanya: hasan shahih. Malik No. 358. Syamilah)

Ini sering disebut shalawat Ibrahimiyah. Redaksi ini tidak terdapat kalimat wa azwaajihi wa dzurriyatihi.

3. Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiallahu ‘Anhu

قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Rasulullah bersabda: “Katakanlah, Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘alaa Aali Muhammad kamaa shalaita ‘alaa Ibrahim wa ‘alaa Aali Ibrahim Innaka Hamidum majid, Allahumma Baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa Aali Muhammad kamaa barakta ‘alaa Ibrahim wa ‘alaa Aali Ibrahim Innaka Hamidum majid.” (HR. Bukhari no. 3119. Muslim No.614. At Tirmidzi No. 445. Syamilah

Redaksi ini kalimat Innaka hamidum majid-nya dua kali, dan ada tambahan kalimat wa ‘alaa Aali Ibrahim. 

4. Dari Abu Said al Khudri Radhiallahu ‘Anhu:

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ


Katakanlah: ”Allahumma shali ‘alaa Muhamamd ‘Abdika wa Rasulika kamaa shlaita ‘alaa Aali Ibrahim wa baarik ‘alaa Muhamamd wa ‘alaa Aali Muhammad kamaa baarakta ‘alaa Ibrahim.” (HR. Bukhari No. 4424)

Redaksi ini ada tambahan kalimat ‘Abdika wa Rasulika.

Semua redaksi di atas adalah shahih, maka lapanglah hati kita untuk mengamalkannya. Ada pun redaksi shalawat yang dhaif (lemah) adalah di antaranya sebagai berikut:

اللهم صل على محمد وأزواجه أمهات المؤمنين وذريته وأهل بيته كما صليت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد .

“Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa azwaajihi ummahatil mu’minin wa dzurriyatihi wa ahli baitihi kalaa shalaita ‘alaa Aali Ibrahim innaka hamidum majid.” (redaksi ini ada tambahan ummahatil mu’minin dan ahli baitihi). (HR. Abu Daud No. 832. Hadits ini dhaif. Lihat Misykah al Mashabih No. 932. Dhaif Jami’ush Shaghir no. 5626. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, No. 982. Syamilah)

Adapun shalawat dengan redaksi dibuat oleh manusia, selama yang menjadi fokus adalah memang bershalawat kepada nabi, tidak ada kata-kata kultus, atau kata-kata yang menodai aqidah, dan tidak disandarkan sebagai/berasal hadits nabi, maka tidak masalah. Hal ini pun sering diucapkan para ulama dalam kitab-kitab mereka ketika diawal atau pembukanya, ada yang bershalawat dengan: Allahumma Shalli ‘ala nabiyyina Muhammad ……… ada juga Allahumma Shalli ‘ala Sayyidina Muhammad … dst, dan ini sudah ma'ruf bagi yang terbiasa membaca kitab-kitab mereka. Yang penting modiv tidak dilakukan di dalam shalat yang shalawatnya sudah baku.


Kapankah Kita Bershalawat?

Ada momen tertentu memang kita disyariatkan untuk bershalawat. Artinya, jika kita melakukannya, maka kita telah melakukan shalawat sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

1. Ketika duduk tasyahud akhir, dan ini sangat masyhur. Hadits-haditsnya adalah yang telah saya paparkan di atas, baik dari Abu Mas’ud al Anshari (hadits. 2) , Ka’ab bin ‘Ujrah (hadits. 3), dan lainnya.

Namun para ulama mengatakan bershalawat saat tasyahud itu sunah, tidak wajib. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

وإنما كانت الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم مندوبة وليست بواجبة، لما رواه الترمذي وصححه، وأحمد وأبو داود عن فضالة بن عبيد 

“Sesungguhnya bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanyalah sunah, bukan wajib. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan dishahihkannya, Ahmad, dan Abu Daud dar Fadhalah bin ‘Ubaid.” (Fiqhus Sunnah, 1/173. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)

Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut:

فَضَالَةَ بْنَ عُبَيْدٍ صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَدْعُو فِي صَلَاتِهِ لَمْ يُمَجِّدْ اللَّهَ تَعَالَى وَلَمْ يُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجِلَ هَذَا ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَمْجِيدِ رَبِّهِ جَلَّ وَعَزَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ


Fadhalah bin Ubaid, seorang sahabat Nabi, berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam mendengar seorang yang berdoa ketika shalat, tanpa memuji Allah Ta’ala, belum bershalawat kepada Rasulullah, Maka beliau bersabda: “Segera kemari,” lalu dia memanggilnya dan berkata kepadanya –atau kepada lainnya: Jika salah seorang kalian selesai shalat, maka hendaknya dia memulai dengan memuji Allah ‘Azza wa Jalla, dan memuliakanNya, kemudian bershalawat atas Rasulullah, lalu berdoalah setelah itu sekehendaknya.” (HR. Sunan Abu Daud, Juz. 4, Hal. 280, No hadits. 1266. Sunan At Tirmidzi, Juz. 11, Hal. 381, No hadits. 3399, katanya hadits ini hasan shahih. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, Juz. 2, Hal. 148. Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shaihain, Juz. 2, Hal. 496, No hadits. 940, kata Al Hakim hadits ini shahih sesuai syarat syaikhan/Bukhari-Muslim. Asy Syamilah)

Syaikh Sayyid Sabiq melanjutkan:

قال صاحب المنتقى: وفيه حجة لمن لا يرى الصلاة عليه فرضا، حيث لم يأمر تاركها بالاعادة

“Berkata pengarang Al Muntaqa: “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi orang yang mengatakan bahwa bershalawat kepada Nabi tidaklah wajib, ini terbukti bahwa Beliau tidak memerintahkan laki-laki itu untuk mengulangi shalatnya.” (Ibid)

وقال الشوكاني: لم يثبت عندي ما يدل للقائلين بالوجوب.

“Berkata Imam Asy Syaukani: “Saya tidak menemukan dalil yang kuat bagi pandangan mereka yang mengatakan wajib.” (Ibid)

2. Bershalawat pada hari Jum’at. Ini pun memiliki kekuatan legalitas dalam syariat. Bahkan Rasulullah memerintahkan agar memperbanyak shalawat pada hari itu.

Dari Aus bin Aus Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ 


“Perbanyaklah bershalawat kepadaku pada hari itu (Jum’at) sesungguhnya shalawat kalian pada hari itu akan sampai kepadaku.” (HR. Abu Daud, Juz. 3, Hal. 329, No. 883. An Nasa’i, Juz. 5, Hal. 208, No. 1357. Ibnu Majah, Juz. 3, Hal. 386, No. 1075. Ahmad, Juz. 32, Hal. 389, No. 15575. Syaikh al Albany mengatakan hadits ini shahih, lihat Irwa’ al Ghalil, Juz. 1, Hal. 34, No.4, Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Juz. 3, Hal. 47, No. 1047. Syamilah)

Tentang hadits-hadits keutamaan shalawat pada hari Jum’at, berkatalah Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

وَالْأَحَادِيثُ فِيهَا مَشْرُوعِيَّة الْإِكْثَارِ مِنْ الصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَأَنَّهَا تُعْرَضُ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ حَيٌّ فِي قَبْرِهِ .

“Di dalam hadits-hadits ini, terdapat dalil disyariatkannya memperbanyak shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Jum’at, dan itu sampai kepadanya, dan sesungguhnya Rasulullah hidup di dalam kuburnya.” (Nailul Authar, 5/331. Syamilah)

Beliau menambahkan:

وَقَدْ ذَهَبَ جَمَاعَة مِنْ الْمُحَقِّقِينَ إلَى أَنَّ رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيّ بَعَدَ وَفَاته

“Telah menjadi pendirian jamaah para muhaqqiqin (peneliti) bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap hidup setelah wafatnya.” (Ibid)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah ketika menjelaskan berbagai keistimewaan hari Jum’at, beliau berkata:

الْخَاصّةُ الثّانِيَةُ اسْتِحْبَابُ كَثْرَةِ الصّلَاةِ عَلَى النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِيهِ وَفِي لَيْلَتِهِ لِقَوْلِهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَكْثِرُوا مِنْ الصّلَاةِ عَلَيّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ سَيّدُ الْأَنَامِ وَيَوْمُ الْجُمُعَةِ سَيّدُ الْأَيّامِ فَلِلصّلَاةِ عَلَيْهِ فِي هَذَا الْيَوْمِ مَزِيّةٌ لَيْسَتْ لِغَيْرِهِ مَعَ حِكْمَةٍ أُخْرَى


“Keistimewaan kedua, yaitu disunahkan banyak shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Jum’at dan malamnya, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Perbanyaklah bershalawat kepadaku pada hari Jum’at dan malamnya.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah pemimpin manusia, dan hari Jum’at adalah pemimpin-nya hari, maka bershalawat pada kepadanya pada hari itu merupakan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh hari lain, di samping memang adanya keistimewaan lainnya.” (Zaadul Ma’ad, 1/363. Syamilah)

3. Bershalawat dalam shalat jenazah, yakni setelah takbir kedua. Ini pun memiliki legalitas dalam syariat, di mana kalangan Hanafi dan Maliki menyebutnya sunah, sementara yang lain menyebutnya wajib. Ini juga masyhur.

4. Bershalawat ketika membuka khutbah Jum’at. Namun para ulama berbeda pendapat, apakah dia syarat khutbah atau sekedar sunah saja.

Berkata Imam Shidqi Hasan Khan Al Qunuji Rahimahullah dalam Raudhah an Nadiyah:

ثم اعلم أن الخطبة المشروعة هي ما كان يعتاده صلى الله عليه وسلم من ترغيب الناس وترهيبهم، فهذا
في الحقيقة روح الخطبة الذي لاجله شرعت.
وأما اشتراط الحمد لله أو الصلاة على رسوله أو قراءة شئ من القرآن فجميعه خارج عن معظم المقصود من شرعية الخطبة، واتفاق مثل ذلك في خطبته صلى الله عليه وسلم لا يدل على أنه مقصود متحتم وشرط لازم، ولا يشك منصف أن معظم المقصود هو الوعظ دون ما يقع قبله من الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله.

“Kemudian ketahuilah, bahwa khutbah yang disyariatkan adalah khutbah sebagaimana Rasulullah biasa lakukan, yakni berisi kabar gembira dan peringatan buat manusia. Inilah sebenarnya yang menjadi esensi khutbah dan tujuannya. Ada pun apa-apa yang dijadikan syarat-syarat khutbah seperti membaca pujian, shalawat kepada Rasul, atau membaca ayat Al Quran, semuanya adalah di luar tujuan utama dari pensyariatan khutbah. Apabila hal itu bertepatan ada pada khutbah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak berarti menunjukkan kewajibannya. Setiap kita yang sadar pasti memahami bahwa maksud dari berkhutbah adalah isi khutbah itu sendiri bukan membaca hamdalah dan shalawat kepada nabi.” (Fiqhus Sunnah, 1/310)

5. Bershalawat sebelum berdoa. 

فَضَالَةَ بْنَ عُبَيْدٍ صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَدْعُو فِي صَلَاتِهِ لَمْ يُمَجِّدْ اللَّهَ تَعَالَى وَلَمْ يُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجِلَ هَذَا ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَمْجِيدِ رَبِّهِ جَلَّ وَعَزَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ


Fadhalah bin Ubaid, seorang sahabat Nabi, berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam mendengar seorang yang berdoa ketika shalat, tanpa memuji Allah Ta’ala, belum bershalawat kepada Rasulullah, Maka beliau bersabda: “Segera kemari,” lalu dia memanggilnya dan berkata kepadanya –atau kepada lainnya: Jika salah seorang kalian selesai shalat, maka hendaknya dia memulai dengan memuji Allah ‘Azza wa Jalla, dan memuliakanNya, kemudian bershalawat atas Rasulullah, lalu berdoalah setelah itu sekehendaknya.” (HR. Sunan Abu Daud, Juz. 4, Hal. 280, No hadits. 1266. Sunan At Tirmidzi, Juz. 11, Hal. 381, No hadits. 3399, katanya hadits ini hasan shahih. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, Juz. 2, Hal. 148. Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shaihain, Juz. 2, Hal. 496, No hadits. 940, kata Al Hakim hadits ini shahih sesuai syarat syaikhan/Bukhari-Muslim. Syamilah)

6. Bershalawat Ketika Disebut Nama Nabi SHallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Ini juga sudah jelas.

7. Bershalawat pada waktu-waktu yang mutlak alias tak terikat.

Shalawat adalah bagian dari dzikir, dan kita diperintah untuk berdzikir sebanyak-banyaknya. Maka, dibolehkan bershalawat kapan pun kita mau, selama bukan di WC, tidak sedang buang hajat, tidak sedang jima’ (bersetubuh), dan tidak mengkhususkan waktu tertentu saja untuk bershalawat tanpa dalil. Ketika sedang di kendaraan, di jalan, di pasar, di rumah, di kantor, sedang belajar, sedang olah raga, sedang diskusi, dan semua aktifitas kita bisa bershalawat, keadaan itu semua kita boleh bershalawat asalkan tidak dibakukan atau dipatenkan seakan menjadi aturan khusus dan tersendiri. Sehingga itu menjadi ajaran baru ke dalam Islam.

8. Dengan suara sirr (pelan), tidak keras.

Karena membaca shalawat termasuk dzikir. Sedangkan di antara adab berdzikir, yaitu dengan suara pelan, kecuali ada dalil yang menunjukkan (harus) diucapkan dengan keras.

Allah berfirman,

وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِفْيَةً وَدُونَ الْجَهْرِمِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ وَلاَتَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ

“Dan dzikirlah (ingatlah, sebutlah nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 205).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Oleh karena itulah, Allah berfirman,

وَدُونَ الْجَهْرِمِنَ الْقَوْلِ

(dan dengan tidak mengeraskan suara), demikianlah, dzikir itu disukai tidak dengan seruan yang keras berlebihan.” (Tafsir Ibnu Katsir).

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan bahwa meninggikan suara dalam berdzikir (adalah) terlarang.” (Tafsir Al-Qurthubi, 7/355).

Muhammad Ahmad Lauh berkata, “Di antara sifat-sifat dzikir dan shalawat yang disyariatkan, yaitu tidak dengan keras, tidak mengganggu orang lain, atau mengesankan bahwa (Dzat) yang dituju oleh orang yang berdzikir dengan dzikirnya (berada di tempat) jauh, sehingga untuk sampainya membutuhkan dengan mengeraskan suara.” (Taqdisul Asykhas Fi Fikrish Shufi, 1/276, karya Muhammad Ahmad Lauh).

Abu Musa Al-Asy’ari berkata,

لَمَّا غَزَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ أَوْ قَالَ لَمَّا تَوَجَّهَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْرَفَ النَّاسَ عَلَى وَادَ فَرَفَعُوا اَصْوَاتَهُمْ بِالتَّكْبِيْرِ اللهُ أَكْبْرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لاَ لاَ تَدْعُونَ اَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُوا سَـمِيْعًا قَرِيْيًا وَهُوَ مَعَكُمْ وَأَنَّا خَلْفَ دَابَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَنِي وَأَنَا أَقُولُ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ فَقَالَ لِي يَـا عَبْدَاللهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ مِنْ كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ فَدَاكَ أَبَـِي وَأُمِّي قَالَ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَ بِالله

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi atau menuju Khaibar, orang-orang menaiki lembah, lalu mereka meninggikan suara dengan takbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illa Allah. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pelanlah, sesungguhnya kamu tidaklah menyeru kepada yang tuli dan yan tidak ada. Sesungguhnya kamu menyeru (Allah) Yang Maha Mendengar dan Mahadekat, dan Dia bersama kamu (dengan ilmu-Nya, pendengarAn-Nya, penglihatAn-Nya, dan pengawasAn-Nya -pen.).” Dan saya (Abu Musa) di belakang hewan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mendengar aku mengatakan, ‘Laa haula wa laa quwwata illa billah.’ Kemudian beliau bersabda kepadaku, ‘Wahai, Abdullah bin Qais (Abu Musa).’ Aku berkata, ‘Aku sambut panggilanmu, wahai Rasulullah,’ Beliau bersabda, ‘Maukah aku tunjukkan kepadamu terhadap satu kalimat, yang merupakan simpanan di antara simpanAn-simpanan surga?’ Aku menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah. Bapakku dan ibuku sebagai tebusanmu.’ Beliau bersabda, ‘Laa haula wa laa quwwata illa billah.’” (HR. Bukhari no. 4205; Muslim, no. 2704).

Shalawat Dinyanyikan dan Pakai Rebana: dzikir atau hiburan?

Jelas dan tidak diragukan lagi, ini merupakan cara baru dalam bershalawat. Tidak ada dalam Al Quran, tidak dalam As Sunnah, tidak dalam ijma’, tidak pula perilaku para sahabat, dan tidak pula rekomendasi imam empat madzhab dalam Ahlus Sunnah.

Ini, dan yang semisalnya,jika dimasukkan sebagai bentuk dzikir, maka dalam terminology para ulama diistilahkan dengan bid’ah idhafiyah. Pada satu sisi dia tidak bid’ah karena memang bershalawat memiliki dalil secara sah dan tegas. Namun, sisi lainnya, yaitu membakukan sebuah hai’ah (bentuk) dan kaifiyat shalawat seperti itu, dan ini telah menjadi kebiasaan sehingga dianggap bagian dari ajaran agama, bahkan sebagian menganggap sebagai cara taqarrub ilallah, maka ini menjadi sebuah kebiasaan baru.

Lirik lagu dlm hukum islam sebenarnyadiperbolehkan seperti tersurat dalam hadits abdullah bin umar :


" الشعر بمنزلة الكلام ، حسنه كحسن الكلام ، وقبيحه كقبيح الكلام " .

"Syair lagu laksana sebuah kalam, syair yg baik sama dg kalam yg baik syair yg jelek sama dg kalam yg jelek"

Dalam hadits ini jelas bahwa syair lagu boleh asal memang mengandung hal yg baik sprti wejangan, motivasi, atau hal-hal positif lainnya tapi bila mengandung kata-kata jorok, kotor, kebohongan dll hukumnya sama dg ucapan yakni haram, dan begitu pula lirik lagu bisa menjadi makruh bila berpotensimelalaikan dzikir pada Allah atau berlebihan.


Ada beberapa sudut pandang untuk menilai sebuah amalan.

1. Tinjauan Az Zaman (waktu). Puasa wajib pada bulan Ramadhan, puasa sunah senin-kamis, puasa tasu’a (9 Muharram) dan asyura (10 Muharram), puasa zulhijjah (9 Zulhijjah), puasa Sya’ban, puasa 6 hari Syawal, puasa ayyamul bidh (13, 14, 15 tanggalan hijriah), atau shalat dhuha pada waktu dhuha, shalat lima waktu pada waktunya masing-masing, shalat Jumat pada hari Jumat, pergi haji pada zulhijjah, dan yang semisalnya, ini semua memiliki dasar dan masyru’ (disyariatkan). Ada pun jika ada yang menganjurkan puasa anu pada bulan tertentu dengan fadhilah anu, atau shalat anu pada waktu anu dengan fadhilah anu, mengkhususkan malam tertentu untuk shalat tahajud tanpa malam lainnya secara terus menerus, nah .. semua tidak ada dalilnya sama sekali, maka tidak boleh.

2. Tinjauan Al Makan (tempat). Meyakini fadhilah shalat di Masjidil haram, Masjid Nabawi, dan masjid Al Aqsha, atau meyakini mustajabnya berdoa di multazam, dan yang semisalnya, maka ini semua memiliki dasar dan masyru’. Tetapi, menganjurkan manusia mengunjungi tempat tertentu dengan berkeyakinan fadhilah tertentu pula, maka ini membutuhkan dalil.

3. Tinjaun Al ‘Adad (jumlah/bilangan). Melafazkan istighfar antara 70 sampai 100 kali dalam sehari, atau tasbih, tahmid, dan takbir, masing-masing 33 kali setelah shalat fardhu, atau mengulang-ngulang doa sampai tiga kali, atau membaca Laa ilaha illallahu wahdahu laa syarikalah ..dst, sebanyak tiga kali setelah shalat fardhu, dan sepuluh kali setelah subuh dan maghrib, atau puasa enam hari syawal, tiga hari tengah bulan hijriyah, dan yang semisalnya, maka semua ini adalah memiliki dasar dan masyru’. Tetapi, menganjurkan dan membiasakan berdzikir dengan jumlah tertentu, puluhan, ratusan, bahkan ribuan, dengan keyakinan tertentu, maka ini juga harus membutuhkan dalil. Jika tidak ada, maka tertolak.

4. Tinjauan Al Jins (jenis/bentuk). Jika seorang bayi lahir lalu dilakukan beberapa jenis ritual seperti didoakan, tahnik (memasukkan kurma (boleh madu) ke mulut bayi), aqiqah, cukur, rambut, dan pemberian nama, maka jenis ini semua masyru’. Tetapi, membuat jenis ritual sendiri, misal jika ingin dapat jodoh, mesti puasa dulu, mandi kembang tengah malam, dan semisalnya, maka mengarang-ngarang jenis ibadah ini wajib mendatangkan dalil, jika tidak ada, maka tertolak.

5. Tinjauan Al Maqshud (maksud dan tujuan). Jika seseorang puasa Sya’ban agar catatan amalnya diangkat ketika dia puasa, puasa 6 hari Syawal supaya mendapatkan pahala sebagaimana puasa setahun penuh, membaca surat Al Mulk agar terhindar dari azab kubur, dan semisalnya, semua ini benar dan memiliki dalil shahih. Tetapi, puasa dengan maksud agar memiliki kesaktian, membaca surat tertentu agar kebal, maka ini semua tidak berdasar.

Nah, bershalawat dengan bernyanayi dan menabuh rebana, ditinjau dari Al Jins adalah hal yang baru (baca; muhdats).

Lalu, bagaimana jika dipandang sebagai hiburan semata? Sebagaimana shalawat a la munsyid Raihan, atau lainnya? Jika itulah yang dimaksud, maka ini sudah masuk zona hukum nasyid (lagu-lagu) relijius plus alat musik (khususnya alat musik pukul). Sebenarnya adalah hal yang melelahkan jika kembali membahas masalah ini.

Sebenarnya, dari sisi syair, jika kita perhatikan apa yang dibawakan oleh para munsyid dan juga dalam acara-acara di kampung-kampung kita, sudah tidak bisa dikatakan shalawat. Sebab, isinya berupa pujian-pujian kepada nabi; seperti dalam Barzanji, shalawat hanya beberapa bait saja, misal: ya nabi salam ‘alaika ya rasul salam ‘alaika shalawatullah ‘alaika. ……. Yang lebih banyak adalah sanjungan dan pujian … anta badrun anta syamsun anta nuurun fawqa nuuri …dst

Ada pun nasyid dan sya’ir yang dinadakan, dia tak ubahnya seperti perkataan biasa. Baiknya adalah baik, buruknya adalah buruk.

Sebagaimana perkataan Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah berikut:

سماحة الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز رحمه الله : 

الأناشيد الإسلامية مثل الأشعار؛ إن كانت سليمة فهي سليمة ، و إن كانت فيها منكر فهي منكر ... و الحاصل أن البَتَّ فيها مطلقاً ليس بسديد ، بل يُنظر فيها ؛ فالأناشيد السليمة لا بأس بها ، والأناشيد التي فيها منكر أو دعوة إلى منكرٍ منكرةٌ ) [ راجع هذه الفتوى في شريط أسئلة و أجوبة الجامع الكبير ، رقم : 90 / أ [ 



Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berkata:

“Nasyid-nasyid Islam itu seperti sya’ir-sya’ir. Jika dia saliimah (bersih/benar/lurus), maka dia benar. Jika di dalamnya terdapat kemungkaran, maka dia munkar .... wal hasil, memutuskan hukum nasyid secara mutlak (general/menyamaratakan) tidaklah benar, tetapi mesti dilihat dulu. Maka, jika nasyid-nasid tersebut baik, maka tidak apa-apa. Dan nasyid-nasyid yang terdapat kemungkaran atau ajakan kepada kemunkaran, maka dia munkar.” (Lihat fatwa ini dalam kaset tanya jawab, Al Jami’ Al Kabir, no. 90/side. A)

Ini juga pernah dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

والغناء ما هو إلا كلام حسنه حسن وقبيحه قبيح، فإذا عرض له ما يخرجه عن دائرة الحلال كأن يهيج الشهوة أو يدعو إلى فسق أو ينبه إلى الشر أو اتخذ ملهاة عن الطاعات، كان غير حلال.
فهو حلال في ذاته وإنما عرض ما يخرجه عن دائرة الحلال.

"Nyanyian tidak lain tidak bukan adalah ucapan; jika baik maka dia baik, jika buruk maka dia buruk. Jika nyanyian diarahkan untuk keluar dari lingkup kehalalan, seperti membangkitkan syahwat, atau ajakan kepada kefasikan, atau menyadarkan kepada keburukan, atau menjadikannya lalai dari ketaatan, maka itu tidak halal.
Maka, dia halal secara dzat, hanya saja diarahkan untuk keluar dari lingkup kehalalan. Untuk ini, banyak hadits-hadits bermakna demikian yang melarangnya." (Fiqhus Sunnah, 3/56)

Dan kemubahan ini menjadi pandangan jumhur. Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah (4/90) sbb:

الاِسْتِمَاعُ إلَى الْغِنَاءِ :
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إلَى أَنَّ اسْتِمَاعَ الْغِنَاءِ يَكُونُ مُحَرَّمًا فِي الْحَالاَتِ التَّالِيَةِ :
أ - إِذَا صَاحَبَهُ مُنْكَرٌ .
ب - إِذَا خُشِيَ أَنْ يُؤَدِّيَ إِلَى فِتْنَةٍ كَتَعَلُّقٍ بِامْرَأَةٍ ، أَوْ بِأَمْرَدَ ، أَوْ هَيَجَانِ شَهْوَةٍ مُؤَدِّيَةٍ إِلَى الزِّنَى .
ج - إِنْ كَانَ يُؤَدِّي إِلَى تَرْكِ وَاجِبٍ دِينِيٍّ كَالصَّلاَةِ ، أَوْ دُنْيَوِيٍّ كَأَدَاءِ عَمَلِهِ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ ، أَمَّا إِذَا أَدَّى إِلَى تَرْكِ الْمَنْدُوبَاتِ فَيَكُونُ مَكْرُوهًا . كَقِيَامِ اللَّيْل ، وَالدُّعَاءِ فِي الأَْسْحَارِ وَنَحْوِ ذَلِكَ .

Menurut mayoritas fuqaha (ahli fiqih/juris) mendengarkan nyanyian adalah HARAM, yakni JIKA:
1. Jika dibarengi dengan hal yang munkar
2. Jika ditakuti mengantarkan kepada fitnah seperti terperangkap oleh wanita, atau remaja yang masih sangat muda, atau bangkitnya syahwat yang mengantarkannya pada zina
3. Jika membuat pendengarnya meninggalkan kewajiban agama seperti shalat, dan meninggalkan kewajiban dunia yang harus dilakukannya, ada pun jika sampai meninggalkan perbuatan sunah maka itu makruh, seperti meninggalkan shalat malam, doa di waktu sahur, dan semisalnya. (Ihya ‘Ulumuddin, 2/269. Sunan Al Baihaqi, 5/69, 97. Asna Al Mathalib, 4/44, terbitan Al Maktabah Al Islamiyah. Hasyiah Al Jumal, 5/380, terbitan Dar Ihya At Turats. Hasyiah Ibnu ‘Abidin, 4/384 dan 5/22, Hasyiah Ad Dasuqi, 4/166. Al Mughni, 9/175, Al Manar Ats Tsalitsah. ‘Umdatul Qari, 6/271, terbitan Al Muniriyah) 


Musik; apa kata para imam umat Islam tentangnya?

Inilah mereka yang mengharamkan dan mencelanya ………… 

Ada pun musik, Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: 

صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة مزمار عند نعمة ورنة عند مصيبة

“Ada dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat; suara seruling ketika mendapatkan kenikmatan dan raungan ketika musibah.” (HR. Al Bazzar, para perawinya: tsiqat. Syaikh Al Albani menghasankan. Lihat Shahih At Targhib wat Tarhib No. 3527)

Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata:

الدف حرام والمعازف حرام والكوبة حرام والمزمار حرام.

“Rebana adalah haram, al ma’azif adalah haram, gendang adalah haram, dan seruling adalah haram.” (HR. Al Baihaqi, 10/222. Dari jalan Abdul Karim Al Jazari dari Abu Hasyim Al Kufi. Syaikh Al Albani mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Tahrim Alat Ath Tharb, Hal. 92. Cet. 3, 1426H-2005M. Muasasah Ar Rayyan)

Apakah Al Ma’azif? Berkata Imam Adz Dzahabi Rahimahullah:

اسم لكل آلات الملاهي التي يعزف بها، كالزمر، والطنبور، والشبابة، والصنوج.


“Nama untuk semua alat-alat musik yang dimainkan, seperti seruling, tamborin, syabaabah (sejenis seruling juga), simbal (sejenis alat musik).” (Siyar A’lam An Nubala, 21/158)

Sedangkan ‘Alim Rabbani Al Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengartikan:

أن المعازف هى آلات اللهو كلها، لا خلاف بين أهل اللغة فى ذلك.

“Bahwa Al Ma’azif adalah semua alat-alat musik, dan tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli bahasa tentang itu.” (Ighatsatul Lahfan, Hal. 260)

Imam Hasan Al Bashri Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:

ليس الدفوف من أمر المسلمين في شيء وأصحاب عبد الله يعني ابن مسعود كانوا يشققونها. 

“Rebana sama sekali bukan berasal dari budaya kaum muslimin, dan para sahabat Abdullah bin Mas’ud merobek-robeknya.” (Tahrim Alat Ath Tharb, Hal. 103-104)

Imam Abu Yusuf Rahimahullah –murid dari Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu, berkata, tentang mendengarkan suara alat musik dari rumah seseorang:

أدخل عليهم بغير إذنهم، لأن النهى عن المنكر فرض

“Masuklah ke rumah mereka dengan tanpa izin, karena mencegah kemungkaran adalah wajib.” (Ibid, Hal. 227)

Demikianlah kerasnya mereka dalam menyikapi music. Entah bagaimana sikap mereka jika melihat musik zaman sekarang.

Inilah yang menyatakan boleh …………


Di sisi lain, tidak diingkarinya imam kaum muslimin yang juga diakui keilmuwan dan moralitasnya, menyatakan kebolehannya.

Al Adfawy dalam Al Imta’ bi Ahkamis Sima’ meriwayatkan, Khalifah Harun ar Rasyid pernah bertanya kepada Ibrahim bin Said, “Apakah Anda tahu sikap Imam Malik terhadap musik?” Ibrahim menjawab: “Demi Allah, tidak! Tetapi ayahku pernah memberitahu bahwa dia pernah berkumpul pada undangan Bani Yarbu’. Saat itu mereka termasuk kaum yang lebih dalam pengetahuannya, sedangkan Malik paling sedikit ilmu dan kemampuannya, mereka membawa duff sambil bernyanyi dan bersenda gurau, sedangkan Malik hanya memegang duff. Beliau menyanyikan sebuah lagu untuk mereka:

Keselamatanku terancam di antara kita, dan
Di manakah aku temukan penyelasaian, di mana?

Sedangkan ucapan Imam malik, bahwa beliau mengharamkan penjualan jariyah yang suka bernyanyi, bukan berarti bernyanyi haram. Melainkan ia mencela jariyah yang selalu menyanyi, sehingga melupakan tugas pelayanan lainnya.

Ar Ruyani meriwayatkan dari Al Qaffal bahwa madzhab Malik bin Anas memperbolehkan nyanyian dengan menggunakan alat-alat musik. Ustadz Abu Manshur al Faurani meriwayatkan dari Imam Malik kebolehan menggunakan ‘Aud. Imam Malik adalah Imamnya Penduduk Madinah, berkata Ibnu Thahir bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama Madinah tentang bolehnya memainkan ‘Aud/kecapi. Ibnu Nahwi dalam al Umdah menyatakan bahwa, Ibnu Thahir berkata, “Pendapat itu sudah menjadi ijma’ penduduk Madinah.”

‘Atha bin Abi Rabah, dia adalah tokoh tabi’in terkenal. Luas ilmunya, wara’, zuhud, ‘abid (ahli ibadah) dan penghapal hadits dan atsar. Imam al Baihaqi mengatakan, dengan sanad sampai Ibnu Juraij, aku pernah bertanya kepada ‘Atha tentang masalah syair yang diiringi musik, beliau menjawab: “Aku berpendapat hal itu tidak mengapa, selama tidak terdapat hal yang buruk di dalamnya.”

Al hafizh Abu Fadhl Muhammad bin Thahir menceritakan dengan sanadnya yang sampai kepada al Ashmu’i tentang Al Qadhi Said bin Jubair; Umar bin Zaidah menceritakan kepada kami, Isteri Amr bin Al Asham menceritakan: “Kami melewati sebuah tempat dan di samping kami ada Said bin Jubair dan di antara kami ada seorang jariyah yang bernyanyi dengan memukul duff, dengan mendendangkan syair:

Kalaulah kamu tidak kagum kepadaku, maka kemarilah
Said mengagumiku, 
Dengan berkurban yang kaum muslimin
Sedikit sekali yang melakukannya ...dan seterusnya

Maka Said menimpali:

“Kau dusta, kau dusta!” (kecaman untuk syairnya, yang mengklaim Said bin Jubeir mengagumi jariyah itu)

Al Faqihi meriwayatkan dalam Tarikh Mekkah, bahwa Said mendengarkan lagu yang diiringi duff dengan tidak mengecam perbuatan itu. Namun, ketika diperbincangkan hal itu, ia menyanggahnya dengan tanpa mengecam.

Penulis kitab al Aghani meriwayatkan dalam al Kamil dan juga yang lainnya, dari Kharijah bin Zaid, dia mengatakan kami diundang dalam sebuah pesta pernikahan, di sana hadir pula Hassan bin Tsabit, saat itu sudah buta, ia bersama anaknya –Abdurahman. Setelah selesai makan, tuan rumah mendatangkan dua jariyah penyanyi, Rab’ah dan ‘Izzah al Maila’. Keduanya mengambil alat musik gambus lalu menabuhnya dengan merdu dan indah serta menyanyilan syairnya Hassan bin Tsabit.

Aku rasa, pandanganku senantiasa sempit 
Sehingga angin dan hujan memalingkan wajahnya dari ku .. 

Ketika Hassan mendengar syair tersebut ia berkata: “Sungguh kini aku bisa melihat dan mendengar.” Matanya mulai berkaca-kaca. Ketika dua jariyah itu berhenti menyanyi, air matanya mengering, ketika bernyanyi, ia menangis lagi. Aku melihat Abdur Rahman mengahmpiri dua jariyah tersebut dan berkata, “Teruslah nyanyikan syair ini.”(Al Aghani, XVII/176-179)

Dalam Al Hawy, diceritakan oleh Al Mawardi, bahwa Mu’awiyah dan Amr bin al Ash sering mengunjungi Abdullah bin Ja’far, yang dilihatnya sering sibuk dengan nyanyian, dan mereka menasihatinya. Mereka berdua pernah datang untuk bertanya kepada Abdullah bin Ja’far, ketika mereka berdua masuk ke rumah Ibnu Ja’far, semua jariyah terdiam. Berkatalah Mu’awiyah kepada mereka, “Saya harap kalian kembalilah bernyanyi seperti tadi.” Maka, Jariyah-jariyah kembali bernyanyi untuk Mu’awiyah, terlihat Mu’awiyah menggerak-gerakan kakinya di kursi. Lalu, Amr bin al Ash bertanya, “Apa yang sedang kau nikmati?” Mu’awiyah menjawab: “Wahai Amr, sesungguhnya orang mulia sedang bernyanyi.” 

Imam Ibnu Qutaybah juga meriwayatkan bahwa Mu’awiyah pernah menemani anaknya –Yazid- yang sedang memainkan ‘Aud. Mu’awiyah menemaninya dengan memainkan tharb (rebab-alat musik pukul). Masih banyak lagi kisah tentang masalah ini dari Mu’awiyah.

Kita dapati ada beberapa riwayat yang berbeda tentang sikap Abdullah bin Umar ini. Ketika sedang berjalan bersama Nafi’, Ia pernah menutup telinganya ketika terdengar suara seruling merdu sekali.lalu ia bertanya: “apakah engkau masih mendengar?” Nafi’ menjawab: “Tidak.” Ketika suara seruling sudah hilang barulah ia melepaskan jarinya. Lalu ia berkata: “Begitulah aku melihat Rasulullah melakukannya.”(HR. Abu Daud no. 4924)

Hadits ini sering dijadikan dalil untuk mengharamkan, padahal tidak. Jika benar haram, tentu Ibnu Umar juga memerintah Nafi’ untuk menutup telinga, tidak mungkin ia mendiamkan Nafi’ untuk tetap mendengarkan sesuatu yang haram. Bisa jadi ia sekedar tidak menyukainya, dan ‘tidak suka’ tidaklah bermakna haram. Sebagaimana kita ketahui, para sahabat nabi memang tidak menyukai kenikmatan duniawi, namun sikap itu tidak berarti haram sacara syara.’

Ternyata, hadits ini pun dinyatakan munkar oleh perawinya yakni Imam Abu Daud, begitu pula menurut Al hafizh al Mundziri dalam Mukhtashar lis Sunan, ia tidak mengingkari kemungkaran hadits tersebut. walau ada juga yang menyatakan shahih yakni pensyarahnya (kitab Aunul Ma’bud) menyatakan sanadnya kuat dan tsiqat. 

Al ‘Allamah Abu Umar al Andalusi meriwayatkan dalam Al ‘Aqd, bahwa Abdullah bin Umar pernah datang ke rumah Abdullah bin Ja’far, lalu di dapatinya seorang budak perempuan milik Abdullah bin Ja’far yang di dalam kamarnya terdapat alat musik ‘Aud (kecapi). Kemudian Abdullah bin Ja’far bertanya kepada Ibnu Umar, “Apakah Anda menganggapnya terlarang?” Ibnu Umar menjawab: “Tidak apa-apa.”

Abdullah bin Zubeir, dia adalah anak dari Zubeir bin Awwam Radhiallahu ‘Anhu dan Asma’ binti Abu Bakar. Ia wafat di tangan gubernur zalim Al Hajjaj pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan tahun 73H. Banyak manusia meriwayatkan hadits darinya. Imam Ibnu Daqiq al Id meriwayatkan dalam Iqtinash Sawanih dengan sanadnya dari Wahhab bin Sannan, di berkata: “Aku mendengar Abdullah bin Zubeir Radhiallahu ‘Anhu bersenandung dengan nyanyian.”

Imam Haramain (dalam An Nihayah) dan Ibnu Abid Dunya mengatakan, menurut perkataan yang bisa dipercaya dari para sejarawan, mereka menukil bahwa Abdullah bin Zubeir memiliki beberapa ‘Aud (kecapi/gitar zaman dulu). Ketika Ibnu Umar masuk ke rumahnya dan melihat ‘Aud itu, ia bertanya: “Apa ini wahai sahabat Rasulullah?” lalu Abdullah bin Zubeir memberikan ‘Aud itu kepada Ibnu Umar, dan dia mengamatinya. Lalu bertanya: “Apakah ini timbangan negeri Syam?” Abdullah bin Zubeir menjawab, “Ini timbangan untuk akal.”

Abu Manshur al Baghdadi mengatakan dalam As Sima’ bahwa, Abdullah bin ja’far Radhiallahu ‘Anhu dengan penuh perasaan sering membuat syair lagu untuk tetangga-tetangganya dan diperdengarkan kepada mereka dengan alat musik.

Az Zubeir bin Bakr menceritakan bahwa Abdullah bin ja’far sering ke kedai Manzil Jamilah, sebuah kedai yang terkenal pada masa sahabat, di dalamnya sering diperdengarkan nyanyian dari seorang penyanyi. (Al Ihya’, VII/566)

Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar-nya berkata: “Penduduk Madinah dan orang-orang yang menyetujuinya dari kalangan ulama Ahli Zhahir dan sejumlah ahli tasawwuf berpendapat membolehkan nyanyian. Meskipun dengan ‘Aud dan seruling. Abu Manshur al Baghdadi Asy Syafi’i menceritakan dalam As Sima’ bahwa Abdullah bin Ja’far tidak menganggap terlarang masalah nyanyian, bahkan ia membuat lagu untuk budak-budak perempuannya, serta mendengarkan nyanyian mereka dengan menggunakan alat musiknya, Ini terjadi pada masa kekhalifahan Ali Radhiallahu ‘Anhu.”


Menyanyikan Shalawat di Dalam Masjid dan Menggunakan Musik

Banyak riwayat shahih yang melarang bersyair di dalam masjid (juga bersama larangan lainnya seperti jual beli, mengumumkan barang hilang, membawa anak kecil) oleh karena itu sebagian imam ada yang membuat bab tentang kemakruhannya, baik dalam kitab-kitab matan atau fiqih. Ada pula yang membolehkan, lantaran Hasan bin Tsabit Radhiallahu ‘Anhu, pernah melakukannya dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendiamkannya. sebagaimana riwayat Imam Bukhari

Nah, itu adalah jika HANYA bersyair yakni sekedar berdeklamasi, bukan menadakannya, bukan menyenandungkannya, dan tidak mengiramakannya, serta tidak pula menambahkan dengan iringan tabuh-tabuhan.

Imam As Suyuthi Rahimahullah menyebutkan berbagai bid’ah dan kemungkaran di masjid:

ومن ذلك الرقص، والغناء في المساجد، وضرب الدف أو الرباب، أو غير ذلك من آلات الطرب.
فمن فعل ذلك في المسجد، فهو مبتدع، ضال، مستحق للطرد والضرب؛ لأنه استخف بما أمر الله بتعظيمه، قال الله تعالى: (في بيوت أذن الله أن ترفع " أي تعظم " ويذكر فيها اسمه)، أي يتلى فيها كتابه. وبيوت الله هي المساجد؛ وقد أمر الله بتعظيمها، وصيانتها عن الأقذار، والأوساخ، والصبيان، والمخاط، والثوم، والبصل، وإنشاد الشعر فيها، والغناء والرقص؛ فمن غنى فيها أو رقص فهو مبتدع، ضال مضل، مستحق للعقوبة.

“Di antaranya adalah menari, menyanyi di dalam masjid, memukul duf (rebana) atau rebab (sejenis alat musik), atau selain itu dari jenis alat-alat musik. Maka, barang siapa yang melakukan itu di masjid maka dia mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, patut baginya diusir dan dipukul, karena dia meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah Ta’ala berfirman: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.” Yaitu dibacakan kitabNya di dalamnya. Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran, najis, anak-anak, ingus, bawang putih, bawang merah, nasyid-nasyid dan sya’ir di dalamnya, nyanyian dan tarian, dan barang siapa yang bernyanyi di dalamnya atau menari maka dia adalah pelaku bid’ah, sesat dan menyesatkan, dan berhak diberikan hukuman.” (Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, Hal. 30. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Bisa Jadi Itu Tasyabbuh bil Kuffar?

Yang jelas, menyenandungkan lagu di masjid (walau itu lagu relijius) baik dengan musik atau tidak, itu merupakan tasyabbuh bil kuffar, paling tidak mendekatinya, yakni menyerupai nashrani yang memakmurkan gereja-gereja mereka dengan lagu-lagu puji-pujian, dan keagamaan mereka.

Menyerupai mereka telah sama kita sepakati keharamannya, berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.” (HR. Abu Daud, Kitab Al Libas Bab Fi Lubsi Asy Syuhrah, Juz. 11, Hal. 48, No. 3512. Ahmad, Juz. 10, Hal. 404, No. 4868) 

Imam As Sakhawi mengatakan ada kelemahan dalam hadits ini, tetapi hadits ini memiliki penguat (syawahid), yakni hadits riwayat Al Bazzar dari Hudzaifah dan Abu Hurairah, riwayat Al Ashbahan dari Anas bin Malik, dan riwayat Al Qudha’i dari Thawus secara mursal. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 215) Sementara, Imam Al ‘Ajluni mengatakan, sanad hadits ini shahih menurut Imam Al ‘Iraqi dan Imam Ibnu Hibban, karena memiliki penguat yang disebutkan oleh Imam As Sakhawi di atas. (Imam Ismail bin Muhammad Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, Juz. 2, Hal. 240. Darul Kutub Al ‘Ilmiah) Imam Ibnu Taimiyah mengatakan hadits ini jayyid (baik) dan Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya hasan. (Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 9, Hal. 54. Syamilah). SYaikh Al Albani menghasankan. (Misykah Al Mashabih, No. 4347) Demikian status hadits ini.

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا

“Bukan golongan kami orang yang menyerupai selain kami.” (HR. At Tirmidzi, Kitab Al ‘Ilmu ‘an Rasulillah Bab Maa Ja’a Fi Karahiyah Isyarah Al Yad bis Salam, Juz. 9, Hal. 317, No. 2619. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Ausath, Juz. 16, Hal. 169, No. 7593. Syamilah) 

Sebagaimana kata Imam At tirmidzi, Pada dasarnya hadits ini dhaif, karena dalam sanadnya terdapat Ibnu Luhai’ah seorang perawi yang terkenal kedhaifannya.

Begitu pula yang dikatakan Syaikh Abdul Qadir Al Arna’uth, bahwa hadits ini memiliki syawahid yang membuatnya menjadi kuat. (Raudhatul Muhadditsin, 10, Hal. 332, No. 4757)

Hadits ini dengan tegas menunjukkan larangan menyerupai perbuatan yang membuat terasosiasikan bahwa itu adalah perbuatan dan ciri orang kafir. Seperti saling memberikan hadiah bertepatan pada valentine day atau hari raya orang kafir lainnya, berpakaian yang mencirikan langsung orang kafir seperti peci Yahudi, baju Sari para biksu, mengalungkan salib di tubuh, ini semua haram tidak diragukan lagi. Dan sebagai perbuatan tasyabbuh yang sangat jelas. Termasuk juga melagukan nasyid puji-pujian di masjid, ini merupakan tasyabbuh terhadap Nasrani yang telah melagukan lagu-lagu pujian di dalam gereja mereka.

Imam Al Munawi dan Imam Al ‘Alqami menegaskan hal-hal yang termasuk penyerupaan dengan orang kafir: “Yakni berhias seperti perhiasan zhahir mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan perbuatan lainnya.” (Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 9, Hal. 54)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahkan mengatakan, bahwa hadits ini merupakan dalil, paling sedikit kondisi penyerupaan dengan mereka merupakan perbuatan haram, dan secara zhahir bisa membawa pada kekufuran, sebagaimana ayat: “Barangsiapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai wali, maka dia telah menjadi bagian dari mereka.” (Imam Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ Ash Shirath Al Mustaqim, Hal. 214)

Bahkan diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (walau saya tidak berhujjah dengan hadits ini):

مَنْ رَأَيْتُمُوهُ يَنْشُدُ شِعْرًا فِي الْمَسْجِدِ ، فَقُولُوا : فَضَّ اللَّهُ فَاكَ ، ثَلاثَ مَرَّاتٍ

“Kalau kamu lihat orang melantunkan sya’ir di masjid, maka katakanlah kepadanya, tiga kali : “Mudah-mudahan Allah memecahkan mulutmu." (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, Juz. 2, Hal. 127, no. 1436. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, Juz. 6, Hal. 370. Abu Nu’aim, Ma’rifatus Shahabah, Juz. 4, Hal. 326, no. 1323. Ibnu Sunni, ‘Amalul Yaum wa Lailah, Juz.1, Hal. 289, No. 152. Syamilah)

Berkata Syaikh Al Albani: Dhaif jiddan (lemah sekali).(As Silsilah Ad Dhaifah, Juz. 5, Hal. 130. No. 2131). Sementara Imam Al Haitsami mengatakan: hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Al Kabir, dari Abdurrahman bin Tsauban, dari ayahnya, dan aku belum temukan biografi ayahnya. (Majma’ Az Zawaid, Juz. 2 Hal. 25) Namun, Imam Al ‘Ajluni justru menjadikan hadits ini sebagai penguat dari hadits,” Jauhilah anak-anak kalian dari masjid-masjid kalian ... (Kasyful Khafa’, Juz. 1, Hal. 334-335).

Sementara Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Nataij Al Afkar: “Ibnu Mandah berkata dalam Ma’rifatush Shahabah, bahwa hadits ini gharib, Muhammad bin Humaid telah menyendiri dengannya. Aku (Ibnu Hajar) berkata: Muhammad bin Humaid adalah tsiqah dan dan termasuk rijal-nya Bukhari, hanya saja dia menyendiri dalam mewashalkan (menyambungkan) hadits ini. Abu Al Khutsaimah Al Ju’fi juga telah meriwayatkan dari ‘Ibad bin Katsir, tetapi tidak mengatakan dari kakeknya, dan kerusakan di dalamnya adalah Ad Darawardi. Dan Ad Darawardi ini ternyata tsiqah dan sanadnya ma’ruf (dikenal). Tsauban yang disebutkan di sini bukanlah Tsauban yang masyhur sebagai pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ini adalah Tsauban lain, dan dia tidak dikenal kecuali pada sanad ini dan tidaklah meriwayatkan dari Abdurrahman bin Tsauban kecuali anaknya, Muhammad, dan dia pun termasuk sejumlah golongan rawi majhul. (Raudhatul Muhadditsin, Juz. 11, Hal. 78, No. 5078) Tetapi hadits ini memiliki penguat, yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang jual beli di masjid, melantunkan sya’ir, dan mengumumkan barang hilang.” Hadits ini hasan. (Ibid, Juz. 11, Hal. 79)

Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq

1 komentar:

  1. Segenap Manajemen Bolavita Mengucapkan Selamat Merayakan Tahun Baru Imlek 2570

    Kongzili Semoga Di Tahun Babi Tanah Diberikan Rejeki Lebih Banyak
    Dibandingkan Tahun Sebelumnya

    WA : +62812-2222-995

    BalasHapus