Jumat, 18 Desember 2015

Penjelasan Tentang Tanggung Jawab Manusia


حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Telah menceritakan kepada kami Ismail Telah menceritakan kepadaku Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya."(Sahih Bukhari)

Manusia adalah makhluk yang paling mulia di sis Allah SWT. Manusia memiliki keistimewaan yang menyebabkannya berbeda dengan makhluk yang lain, karena padanya terdapat, akal, daya berpikir, kalbu, dan nafsu. Oleh karena itu, ia menjadi makhluk yang menerima taklif, memiliki ikhtiar dan iradah.

Manusia sebagai makhluk individual artinya manusia harus bertanggung jawab terhadap dirinya (baik jasmani maupun rohani). Sedangkan dalam konteks sosial manusia merupakan makhluk sosial. Ia tidak dapat memisahkan diri dari lingkungannya, karena dirinya terikat dan butuh terhadap masyarakat. Selain makhuk individual dan sosial, juga merupakan makhluk Tuhan. Dengan demikian, manusia harus mempertanggung jawabkan dirinya dihadapan Tuhan, baik secara individual, sosial, maupun sebagai makhluk Tuhan.

Tanggung jawab manusia terhadap dirinya muncul sebagai akibat keyakinan terhadap suatu nilai. Demikian pula tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya, kesadaran atas keyakinan dan ajaran-Nya, larangan dan perintah-Nya. Rasa tanggung jawab inilah yang akan memanusiakan manusia, dan mengantarkan manusia pada Tuhannya. Namun, jika tanggung jawab ini diabaikan, maka akan semakin terperosok dalam kebinatangannya hingga tidak lagi mengenal lagi nilai-nilai manusia.


Alloh S‎ubhanahu Wata'ala Berfirman;

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (93)
 

Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. (QS An-Naml: 93)
 
Ayat tersebut memaparkan sebuah landasan dan kaidah umum yang menyangkut hubungan Allah Swt dengan manusia lewat firman-Nya, Allah Swt tidak berkehendak memaksa manusia untuk beriman kepadanya, tapi Allah menginginkan manusia memilih akidah dan ajaran atas kehendak dan pilihan mereka sendiri. Tapi karena manusia tidak memilih agama dan akidah yang satu, mereka memiliki beragam agama dan kepercayaan. Meski demikian, Allah Swt telah memberikan sarana yang dapat menjadi petunjuk bagi manusia, yaitu petunjuk fitrah dan akal yang berasal dari dalam diri manusia dan para nabi dan kitab suci. Manusia dapat memilah antara kebenaran dan kebatilan lewat sarana tersebut.
 
Allah Swt tidak akan menghalangi orang-orang yang memilih jalan kesesatan dan berpaling dari jalan kebenaran. Demikian juga, orang-orang yang memilih jalan kebenaran, Allah akan membantu mereka meniti jalan yang benar ini. Perlu diketahui bahwa kehendak dan kebebasan untuk memilih ini bukan berarti bentuk penistaan atas tanggung jawab. Manusia harus bertanggung jawab atas apa yang mereka pilih. Manusia tidak dipaksa untuk memilih sesuatu. Setiap orang berhak menentukan pilihannya; baik itu jalan kebenaran atau kesesatan. Tapi tanggung jawab, pahala dan siksa tetap pada posisinya.
 
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Di antara Sunnah Ilahi adalah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan pilihan dan mereka juga bebas memilih jalan hidupnya masing-masing.
2. Semua perbuatan dan tingkah laku manusia baik itu kecil atau besar akan dimintai pertanggungjawaban di Hari Kiamat.
 
Firman Alloh Ta'ala
 
وَلَا تَتَّخِذُوا أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ فَتَزِلَّ قَدَمٌ بَعْدَ ثُبُوتِهَا وَتَذُوقُوا السُّوءَ بِمَا صَدَدْتُمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (94) وَلَا تَشْتَرُوا بِعَهْدِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا إِنَّمَا عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (95)
 

Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar. (QS An-Naml: 94)
 
Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah), sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS An-Naml: 95)

 
Ayat ini menjelaskan tentang haram dan pentingnya sumpah dan janji. Allah Swt berfirman, penyalah gunaan ajaran-ajaran sakral agama seperti sumpah untuk kepentingan dunia akan berdampak pada melemahnya keyakinan dan kepercayaan masyarakat terhadap agama dan akan menyebabkan mereka menyimpang dari jalan kebenaran. Orang-orang yang telah menghalangi manusia dari jalan kebenaran akan mendapat kesulitan dan masalah pertama mereka di dunia. Mereka juga akan mendapat siksa yang pedih di Hari Kiamat. Oleh sebab itu, jangan menjual nama Allah sebagai sumpah untuk memperoleh kepentingan dunia dan materi di dunia.
 
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sebagian dosa dapat menjadi pendorong untuk melakukan dosa-dosa lain. Kita harus mengenal dosa-dosa tersebut guna mencegah merebaknya perbuatan dosa itu di tengah masyarakat.
2. Setiap perbuatan yang bertujuan melemahkan pondasi agama harus kita cegah, meski perbuatan itu tergolong kecil.
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (96)
 
Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(QS An-Naml: 93)
 
Ayat ini menjelaskan tentang orang-orang yang runtuh imannya karena godaan harta dan dunia. Mereka juga mempermainkan nilai-nilai suci agama dan menjual akhirat yang kekal dengan dunia yang bersifat sementara. Allah berfirman, mungkin saja perbuatan tersebut akan memenuhi keinginan duniawi mereka, tapi bukankah kalian mengetahui bahkan kalian tidak hidup kekal di dunia ini. Dan apa yang telah kalian peroleh juga akan hilang begitu cepat. Padahal, jika kalian melakukan transaksi dengan Allah, perbuatan baik kalian akan terjaga dan kekal di sisi-Nya.
 
Namun semua mengetahui bahwa meninggalkan perbuatan haram dan merasa cukup dengan hal-hal yang halal dibutuhkan kesabaran dan kemampuan menahan diri. Orang-orang yang mampu menahan diri dari perbutan haram, mereka tidak diberikan balasan biasa, tapi Allah akan memberikan balasan terbaik untuk mereka.
 
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ketabahan untuk menjaga janji-janji dengan Allah Swt dan menjauhi perbuatan haram, merupakan perbuatan yang sulit dan harus siap melawan hawa nafsu. Namun ketabahan dan kesulitan ini akan mendatangankan kebahagiaan dan kesuksesan di akhirat.
2. Allah Swt adalah sebaik-baik pembeli manusia. Dia akan membeli barang yagn sedikit dengan harga yang sangat tinggi dan menjadikan manusia sukses.


Ada sebuah hadits yang selalu menjadi alas perbincangan dalam masalah kepemimpinan. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar sebagai berikut:

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Telah menceritakan kepada kami Ismail Telah menceritakan kepadaku Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya." (HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy,IV/6, hadits no. 2751 dan HR Muslim, Shahîh  Muslim, VI/7, hadits no. 4828)

Salah satu syarah (penjelasan atas hadits tersebut menyatakan bahwa sejak penghujung abad yang lalu hingga sekarang, diskursus mengenai pemimpin atau kepemimpinan mencuat ke permukaan. Sebagian sosiolog menyatakan bahwa terjadinya gejala semacam itu memiliki beberapa sebab. Menurut pendapat mereka, ada dua penyebabnya utamanya. Pertama, banyak pemimpin dalam berbagai bidang terlibat pelanggaran moral (Moral Hazard). Kedua, mungkin karena usianya yang makin menua, dunia kita sekarang tidak ber-‘kuasa’ lagi melahirkan pemimpin-pemimpin besar (Great Leader) seperti pada masa-masa silam.

Kenyataan ini dikeluhkan – misalnya — oleh seorang sosiolog Barat, Jeremie Kubicek (2011) dalam bukunya yang sangat kontroversial, “Leadershipis Dead: How Influence is Riviving it” (Kepemimpinan Telah Mati: Bagaimana Pengaruh yang Merupakan Inti Kepemimpinan Bisa Dihidupkan Kembali). Dikatakan olehnya, bahwa para pemimpin di masa sekarang ini lebih banyak menuntut, bukan memberi, menikmati, bukan melayani, dan banyak mengumbar janji, bukan memberi bukti.

Dalam Fikih Politik Islam, prinsip akhlak terpuji (mabda’ al-akhlâq al-karîmah) yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan para pemimpin adalah “kemaslahatan umat”. Dikatakan dalam kaedah fikih: tasharruf al-imâm`alâ al-ra`iyyah manûthun bi al-mashlahah(tindakan pemimpin atas rakyat seharusnya selalu terikat oleh kepentingan atau kemaslahatan umum). Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan rakyat yang dipimpinnya, bukan – justeru — untuk kebaikan diri dan kelompoknya.

Kaedah ini diturunkan dari prinsip akhlak kepemimpinan Nabi Muhammad s.a.w., seperti yang disebutkan di dalam al-Quran.

Ada tiga karakteristik (panduan akhlak) kepemimpinan Nabi Muhammad s.a.w. berdasarkan Firman Allah,

لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS al-Taubah [9]: 128).

Pertama, azîzun ‘alaihi mâ ‘anittum (berat dirasakan oleh Nabi s.a.w. – sebagai pemimpin — penderitan orang lain yang dipimpinnya). Dalam bahasa modern, sifat ini disebut sense of crisis, yaitu kepekaan atas kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung.

Secara kejiwaan, empati berarti kemampuan untuk memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Empati dengan sendirinya mendorong simpati, yaitu dukungan, baik moral maupun material, untuk mengurangi penderitaan orang yang tengah mengalami kesulitan.

Kedua, harîshun `alaikum (amat sangat berkeinginan agar orang lain merasa tenang, aman, nyaman, nikmat dan sentosa). Dalam bahasa modern, sifat ini dinamakan sense of achievement, yaitu semangat yang mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa yang dipimpinnya meraih kemajuan.

Tugas pemimpin, antara lain — memang sudah seharusnya — menumbuhkan harapan dan membuat peta jalan politik menuju cita-cita dan harapan itu.

Ketiga, raûfun rahîm (pengasih dan penyayang). Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nabi Muhammad s.a.w. adalah juga pengasih dan penyayang.

Orang-orang beriman wajib meneruskan kasih sayang Allah dan Rasulullah s.a.w. itu dengan mencintai dan mengasihi umat manusia. Kasih sayang (rahmah) adalah pangkal kebaikan. Tanpa kasih sayang, sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat baik.

Sabda Rasulullah s.a.w.,

مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ.

“Orang yang tak memiliki kasih sayang, tak bisa diharap (kebaikan) kasih-sayang darinya.” (Hadits Riwayat al-Bukhari dari Jarir bin Abdullah, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, halaman 12, hadits nomor 6013)

Dalam sejarah  kehidupan manusia, telah muncul istilah kepemimpinan sejak Nabi Adam di turunkan kemuka bumi ini.pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan - khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang , sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu beberapa tujuan.

Begitu juga sejak awal agama islam berkembang, Nabi Muhammad selain sebagai  seorang utusan Rasul yang menyampaikan ajaran-ajaran agama islam tetapi juga seorang kepala negara dan kepala rumah tangga. paling tidak dalam catatan sejarah kenabian yang terdokumentasi dalam hadits-hadits yang tetap terjaga dan masih bisa digunakan sampai saat ini, Nabi memberikan contoh bagaimana seorang pemimpin menyelesaikan persoalan-persoalan pribadi maupun sosial kemasyarakatan berdasarkan musyawarah untuk tercapainya kemaslahatan.

“Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya” .Meskipun yang di pimpin hanyalah diri sendiri tetap akan di minta pertanggung jawaban nantinya dan setiap pemimpin itu adalah pelayan masyarakat karena ia harus memenuhi segalanya apa yang di inginkan rakyat dalam hal kebaikan bersama dan rakyatpun mempunyai keterbatasan dalam hal mematuhi pemimpin.

Tanggung Jawab Kepada Allah SWT.

Pertanyaan yang selalu membayangi kehidupan manusia ialah dari mana asala kita? untuk apa kita diciptakan? siapa pencipta alam semesta ini? apa yang diinginkan sang pencipta dari ciptaannya?. Mungkin saja sebagian orang dikarenakan kelalaian, ketidak tahuan, pembangkangan, dan pemberontakan mengabaikan panggilan fitrahnya hingga tidak mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Namun sudah selayaknya sebagai rasa terima kasih, manusia mimiliki tanggung jawab mencari dan mengenal penciptanya. Atas dasar ini, ada beberapa tanggung jawab yang dipikul manusia, diantaranya adalah;

a. Makrifatullah (Mengenal Allah).

Makrifah adalah mengenal hakekat atau menemukan jalan menuju hakekat. Dan puncak hakekat itu sendiri adalah Dzat Allah SWT. Sebagaimana imam Ali as berkata;

معرفة الله سبحانه اعلى المعارف

“Pengetahuan tentang Allah adalah pengetahuan yang paling tinggi”

Pengetahuan semacam ini akan mensucikan dan memberiskan diri manusia, bahkan sampai pada pengesahan Allah SWT. Sebagaimana imam Ali as mengatakan;

من عرف الله توحّد

“Barangsiapa yang mengenal Allah, ia akan men-tauhidkan-Nya”.

من عرف كفّ

“Barangsiapa yang mengenal Allah, dirinya akan terjaga”.

Rasulullah Saw juga mengatakan;

من عرف الله و عظّمه منع فاه من الكلام و بطنه من الطعام و عنّى نفسه بالصيام و القيام

“Barangsiapa yang mengenal Allah dan mengagungkan-Nya, mulutnya akan tercegah (dari perkataan keji) dan perutnya akan tercegah dari makanan (haram), serta memberatkan dirinya dengan puasa dan sholat malam”.

Sebaliknya al-Quran mengecam orang-orang yang taklid buta, tanpa punya dasar pengetahuan yang benar. Sebagaimana firman-Nya;

و من الناس من يجادل في الله بغير علم و يتبع كل شيطان مريد كتب عليه انه من تولّاه فانه يضلّه و يهديه الى عذاب السعير

“Dan di antara manusia ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu dan hanya mengikuti para setan yang sangat jahat. Telah ditetapkan bahwa siapa yang berkawan dengan dia, maka dia akan menyesatkannya, dan membawahnya ke azab neraka”.

b. Taat dan Penghambaan Pada Allah.

Manusia makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Tuhan manusia wajib taat dan menghambakan dirinya pada Tuhan. Penghambaan berati penyerahan diri sepenuhnya pada Allah, dan itu merupakan perwujudan tanggung jawab Allah SWT. Akan tetapi penghambaan tanpa makrifat mustahil terealisasi, karena penghambaan buah dari makhrifat.

Sebagaimana Quran membagi manusia pada mukmin dan kafir, hidayat dan dhalal, taat dan membangkang, muwahid dan musyrik, alim dan jahil, mukmin dan fasiq, muslih dan mufsid berdasarkan penghambaan pada Allah SWT. Dalam al-Quran Allah SWT berfirman;

و من يطع الله و رسوله و يخش الله و يتّقه فأولئك هم الفائزون

“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan”.

Dalam hadits mi’raj, Allah juga menjelaskan kepada Rasulullah tentang hakekat penghambaan dengan menyebutkan 7 sifat, yakni;

يا احمد! ها تدري متى يكون (لي) العبد عابدا قال لا يا ربّ قال اذا اجتمع فيه سبع خصال: ورع يحجزه عن المحارم، و صمت يكفّه عمّا لا يعنيه، و خوف يزداد في كل يوم من بكائه، و حياء يستحى مني في الخلاء، و اكل ما لابدّ منه و يبغض الدنيا لبغضى لها، و يحب الاخيار لحبى لهم

“Ya Ahmad! Apakah kamu tahu kapan seorang hamba menjadi seorang ‘abid’, Rasul menjawab, ‘tidak ya Allah’. Lalu Allah SWT berkata ketika 7 sifat ada padanya; Sifat wara’ yang mencegahnya dari hal-hal yng diharamkan, Sifat diam yang tidak berbicara hal yang tidak penting, Sifat takut yang setiap harinya membuat ia bertambah menangis, Sifat malu padaku meskipun dalam kesendirian, makan yang tidak ada jalan lain, membenci dunia dikarenakan Aku membencinya, mencintai orang-orang baik dikarenakan Aku menyukainya”.

c. Cinta Ilahi

Cinta dalam bahasa Arab, antara lain, disebut hubb atau mahabbah. Kedua kata ini mengandung arti cinta sepenuh hati, tulus, penuh komitmen dan ketaatan. Orang yang mencintai Allah berarti selalu menghadirkan Allah dalam hati, pikiran dan amal perbuatannya. Buah dari makrifat dan penghambaan diri adalah kecintaan yang tulus pada Allah SWT.

Energi cinta Ilahi melahirkan rasa ikhlas dan tidak berat hati dalam beribadah, komitmen kuat untuk berbuat yang terbaik semata-mata mengharapkan ridha-Nya. Mahabbah yang sejati hanya menomorsatukan cintanya kepada Allah, tidak kepada diri sendiri, orang tua, atau orang lain. Sebagaimana imam Ja’far Shodiq as berkata;

لا يمحض رجل الايمان بالله احب اليه من نفسه و ابيه و امّه و ولده و اهله و ماله و من الناس كلهم

“Tidak ada seorang yang tulus keimanannya kecuali Allah SWT lebih ia cintai dari dirinya, ayahnya, ibunya, anaknya, keluarganya, dan hartanya serta seluruh manusia”.

 Sebagaimana dalam surat at-Taubah ayat 24 Allah SWT menjelaskan dengan gamblang hasil dari cinta ilahi. Bahwa mencintai Allah akan menafikan selain-Nya.

d. Berprasangka Baik Kepada Allah.

Berprasangka baik kepada Allah merupakan ibadah hati yang mulia. Sikap ini tidak hanya berpengaruh secara lahiriah saja, bahkan berpengaruh besar pada hati, akal dan pikiran manusia. Seorang mukmin tidak akan berprasangka buruk kepada Allah SWT. Ia selalu memanggil-Nya dengan penuh cinta dalam keadaan apapun. Sebagaimana al-Quran menggambarkan getaran cinta seorang mukmin ketika mendengar nama-Nya;

انما المؤمنون الذين اذا ذكر الله وجلت قلوبهم

“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya”.

Sebaliknya Allah SWT mengecam orang-orang yang berprasangka buruk kepada-Nya, dan memanggilnya dengan sebutan nifaq dan syirk, sebagaimana firman-Nya;

ويعذّب المنافقين و المنافقات و المشركين و المشركات الظانين بالله ظنّ السوء

“Dan ia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, dan juga orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah SWT”.

Baik sangka kepada Allah dan terhadap janji kasih sayang, kemurahan, rahmat, dan inayah-Nya adalah salah satu tanda keimanan, sekaligus perantara keselamatan dan kebahagiaan. Rasulullah Saw berkata, “Tiada seorang hamba bersangka baik terhadap Allah, melainkan Allah akan berlaku terhadapnya sebagaimana yang ia sangkakan”.

Dalam hadits lain imam Ali bin Musa as berkata, “Berbaik sangkalah terhadap Allah! karena Allah SWT (dalam hadis qudsi) berfirman, “Aku ada dalam sangka baik hamba-ku yang beriman! jika ia berbaik sangka terhadap-Ku, aku berlaku baik terhadapnya. Jika ia berburuk sangka terhadap-Ku, Aku berlaku buruk terhadapnya”.

Tanggung Jawab Terhadap Diri Sendiri

Setiap manusia adalah pemimpin termasuk bagi dirinya sendiri. Setiap perbuatan dan tindakan  memiliki resiko yang harus dipertanggung jawabkan. Setiap orang adalah pemimpin meskipun pada saat yang sama setiap orang membutuhkan pemimpin ketika ia harus berhadapan untuk menciptakan solusi hidup di mana kemampuan, keahlian, dan kekuatannya dibatasi oleh yang ia ciptakan sendiri dalam posisinya sebagai bagian dari komunitas. Dengan demikian, setiap orang islam harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dan segala tindakannya tanpa di dasari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu. Maka dari itu setiap manusia memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

Tanggung jawab terhadap diri sendiri yaitu menentukan kesadaran setiap orang untuk memenuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian sebagai manusia pribadi. Sehingga dapat memecahkan masalah-masalah kemanusiaan mengenai dirinya sendiri. Menurut sifat dasarnya manusia adalah mahluk yang memiliki rmoral, tetapi manusia juga merupakan makhluk yang pribadi. Makhluk pribadi adalah manusia mempunyai pendapat sendiri, perasaan sendiri, cita-cita sendiri, dan sebagai perwujudan dari pendapat, perasaan dan angan-angan itu manusia berbuat dan bertindak. Dalam hal ini manusia tidak luput dari kesalahan, kekeliruan, baik yang sengaja maupun yang tidak. Tanggung jawab terhadap diri sendiri di antaranya, jujur terhadap diri sendiri, menjaga kesehatan dan kesejahtraan mental dan fisik, menjaga keseimbangan hidup, mengenali kekuatan  dan kelemahan diri, menilai diri secara rutin, tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak diri sendiri, menjaga seluruh yang terdapat dalam diri, serta menggunkan anggota tubuh sesuai dengan kegunaannya.

Tanggung Jawab Pemimpin Negara

Seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah untuk memimpin rakyat dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat, maka ia harus bisa menjaga dan melaksanakan amanat tersebut, jika tidak ia tidak akan merasakan harumnya surga, apalagi merasakan kenikmatan menjadi penghuni surga.

حـديث معقـل بن يسـار عن الحسـن أنّ عبيد الله بن زيـاد عـاد معقل بن يستار في مـرضه الّذي مـات فيه ,فقـال له معقل : اني محـدّثك حـديثـا سمعته من رسـول الله صـلي الله عليه وسـلّم . سمعت رسـول الله صـلي الله عليه وسـلّم يقول : مـامن عبد استرعـاه الله رعـيّة فـلم يحـطّهـا بنصيحة الاّ لم يجـد رائحة الجـنّة ( أخرجه البـخـاري في كتب الأحـكـام, بـاب من استرعي رعـيّة فـلم ينصـح )

"Al-hasan berkata, Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma'qal ibn Yasar R.A ketika ia sakit yang menyebabkan kematianya, maka Ma'qal berkata kepada Ubaidilah Ibn Ziyad "aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadith yang telah aku dengar dari Rasulullah SAW, aku mendengar nabi bersabda: tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik maka Allah tidak akan merasakan kepadanya harumnya surga". (dikeluarkan oleh imam Bukhori dalam kitab Hukum bab orang yang diberi amanat kepemimpinan).

Seorang pemimpin bukanlah manusia yang bebas berbuat dan memaksakan kehendaknya dan kemauanya terhadap masyarakat, tetapi seorang pemimpin adalah orang yang bisa mengayomi masyarakat, bisa memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat sebagaimana Firman Allah SWT:

واحـفض جنـاحك لمن اتبعـك من المؤمنين (الشعـراء :‎215)

Artinya : Rendahkanlah sikapmu terhadap pengikutmu dan kaum mukminin (Al-Syuara' : 215).

Seorang pemimpin wajib memiliki hati yang melayani atau akuntabilitas (accountable). Istilah akuntabilitas adalah berarti penuh tanggung jawab dan dapat diandalkan. Artinya seluruh perkataan, pikiran dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dan kepada Allah kelak di akhirat nanti. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar. Mau mendengar setiap kebutuhan, impian, dan harapan dari mereka yang dipimpin. Oleh karena itu pemimpin mempunyi tanggung jawab yang sangat besar bagi bangsa ataupun organisasi yang dipimpin, baik itu di dunia ataupun di akhirat nanti.

Tanggung Jawab Terhadap Keluarga

Setiap muslim wajib bertanggung jawab terhadap keluarganya, suami memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak istri dan anak-anaknya, begitupun sebaliknya seorang istri mempunya keharusan untuk memelihara suami dan anak-anaknya. Islam memberikan tanggung jawab yang begitu agung kepada keluarga baik dia seorang ayah maupun ibu untuk memberikan pendidikan, pengetahuan, dakwah dan bimbingan kepada anggota keluarga. Pembinaan yang demikian inilah yang akan menyelamatkan dan memberikan penjagaan kepada diri dan keluarga sebagaimana perintah Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (6)


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”( Q.S.at-Tahrim/66:6).

Seorang suami wajib melindungi, memelihara dan menjaga keluarganya dengan pendidikan dan akhlak yang mulia serta memberi nafkah. Nafkah  yaitu harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Quran.

Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).

Seorang istri juga mempunyai keharusan untuk menjaga suami dan anak-anaknya dari hal-hal yang melanggar syariat islam, serta memelihara harta dan kehormatan keluarga sebagaimana yang di ajarkan oleh agama islam.


Q.S.Luqman/31:12-19


وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (12) وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13) وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15) يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ (16) يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (17) وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (18) وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (19)

Artinya: ”Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”(12) Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”(13) Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.(14) Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (15) Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.(16) Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).(17) Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.(18) Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.(19)”.(Q.S.Luqman/31:12-19).

Pengertian Anak dan Hakikatnya Bagi Orangtua

Secara etimologi dapat diartikan anak yang sudah berumur enam tahun.Secara terminologi anak adalah masa kanak-kanak dimulai setelah melewati masa bayi yang penuh ketergantungan yakni kira-kira usia dua tahun sampai saat anak matang secara seksual.

Sedangkan hakikat anak bagi orangtua adalah:

1) Anak adalah Amanah.

Anak merupakan amanah dari Allah Swt yang diberikan kepada setiap orangtua,anak juga buah hati,anak juga cahaya mata,tumpuan harapan serta kebanggaan keluarga.Anak adalah generasi mendatang yang mewarnai masa kini dan diharapkan  dapat membawa kemajuan dimasa mendatang.Anak juga merupakan ujian bagi setiap orangtua sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surah al-Anfal ayat 28 yang berbunyi :

    وَاعْلَمُواأَنَّمَاأَمْوَالُكُمْ أَوْلَادُكُمْوَفِتْنَةأَنَّوَهُعِندَ اللَّهَ أَجْرٌعَظِيمٌ     

Artinya :”Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya disisi Allahlah pahala yang besar.” (QS.al-Anfal ayat 28).
            
 Ayat tersebut diatas,menjelaskan salah satu ujian yang diberikan Allah kepada orang tua adalah anak-anak mereka.Itulah sebabnya setiap orangtua hendaklah benar-benar bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan Allah Swt sekaligus menjadi batu ujian yang harus dijalankan.Jika anak yang di didik mengikuti ajaran Islam maka orangtua akan memperoleh ganjaran pahala yang besar dari hasil ketaatan mereka.
           
Namun,fenomena yang ada menunjukkan masih banyak orangtua yang tidak bertanggung jawab terhadap anak-anaknya.Masih banyak anak-anak yang tidak memperoleh haknya dari orangtua mereka seperti;hak mendapatkan perawatan dengan penuh kasih sayang,hak memperoleh pendidikan yang baik dan benar,hak menerima nafkah yang halal dan baik,dan sebagainya.

Surah Al-Anfal/8:27


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman,janganlah kalian mengkhianati (amanat) Allah dan Amanat Rasul,dan janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang diamanatkan kepada kalian,sedangkan kamu mengetahui”. (Q.S. al-Anfal/8:27)
                                                            

Surah An-Nisa/4:09

Artinya:”Dan hendaklah takut (kepada Allah daripada melakukan aniaya kepada anak-anak yatim) oleh orang-orang (yang menjadi penjaganya), yang jika ditakdirkan mereka pula meninggalkan anak-anak yang daif (yatim) di belakang mereka, (tentulah) mereka akan merasa bimbang terhadap (masa depan dan keselamatan) anak-anak mereka; oleh itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang betul (menepati kebenaran)”. (Q.S.an-Nisa/4:09)

2) Anak adalah Batu Ujian Keimanan Orangtua.

Anak adalah sumber kebahagiaan keluarga.Tetapi disisi lain ia pula merupakan batu ujian keimanan.Sebagaimana dijelaskan dalam Surah al-Anfal/8:28:

عَظِيمٌ جْرٌأَ عِندَ اللَّهَ   فِتْنَةٌ وَاعْلَمُواأَنَّمَاأَمْوَالُكُمْأَوْلَادُكُمْوَأَنَّوَهُ   

Artinya:”Dan ketahuilah,bahwa harta kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah (batu ujian keimanan) dan sesungguhnya disisi Allahlah pahala yang besar.”(QS. al-Anfal/8:28)26

3) Anak adalah Makhluk Independen.

Yang dimaksud dengan makhluk independen dalam hal ini adalah ciptan Allah yang berdiri sendiri,memiliki takdir tersendiri  dan merupakan individu tersendiri yang terlepas dari individu lain termasuk kedua orangtuanya sekalipun.

Orangtua memang berkewajiban merawat,mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Namun perlu disadari bahwa mereka adalah makhluk independen,dimana para orangtua tidak berhak memaksakan kehendak kepada anak-anak mereka.Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an Surah al-Mu’minun/23:12-14:

 * مّكِينٍ  قَرَارٍ فِي نُطْفَةً جَعَلْنَاهُ ثُمّ * طِينٍ مّن  سُلاَلَةٍ مِن  الإِنْسَانَ  خَلَقْنَا لَقَدْوَ
 فَكَسَوْنَا عِظَاماً الْمُضْغَةَ فَخَلَقْنَا مُضْغَةً لْعَلَقَةَ ا فَخَلَقْنَا عَلَقَةً لنّطْفَةَ ا خَلَقْنَا ثُمّ
الْخَالِقِينَ أَحْسَنُ اللّهُ فَتَبَارَكَ آخَرَ خَلْقاً أَنشَأْنَاهُ  ثُمّ لَحْماً الْعِظَامَ

Artinya:”Dan sesungguhnya kami (Allah) telah menciptakan manusia (Adam) dari saripatih tanah.Kemudian kami jadikan manusia (berikutnya) dari air mani yang tersimpan dalam tempat yang kokoh (rahim ibu).Kemudian air mani itu kami ciptakan menjadi segumpal darah,dari segumpal darah kami ciptakan menjadi segumpal daging,dari segumpal daging kami ciptakan menjadi tulang-belulang,lalu kami jadikan tulang-belulang yang terbungkus daging itu sebagai makhluk tersendiri. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (al-Mu’minun/23:12-14)

Kata Khalqun Akhar dalam ayat di atas maksudnya sekalipun anak dilahirkan orangtua,namun pada hakikatnya dia merupakan individu yang berbeda dengan siapapun, termasuk kedua orangtuanya.Bahkan dia juga memiliki takdir tersendiri yang belum tentu sama dengan kedua orangtuanya.

4) Anak Sebagai Sumber Kasih Sayang.

Surah Al-Furqan/25:74

إِمَامًا لِلْمُتَّقِينَ  وَاجْعَلْنَا أَعْيُ قُرَّةَ  وَذُرِّيَّاتِنَا أَزْوَاجِنَا مِنْ لَنَا هَبْ رَبَّنَ يَقُولُونَ  وَالَّذِينَ

”Dan orang-orang yang berkata,”ya Tuhan kami,anugerakanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al-Furqan/25:74)

5) Anak Sebagai Pelestari Pahala

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh”‎ (HR. Muslim no. 1631)

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

1 komentar:


  1. Segenap Manajemen Bolavita Mengucapkan Selamat Merayakan Tahun Baru Imlek 2570

    Kongzili Semoga Di Tahun Babi Tanah Diberikan Rejeki Lebih Banyak
    Dibandingkan Tahun Sebelumnya

    WA : +62812-2222-995

    BalasHapus