Kamis, 14 Januari 2016

Penjelasan Tentang Akal

Segala puji bagi Allâh Azza wa Jalla , yang telah menganugerahkan kepada umat manusia hati nurani, yang dengannya mereka menjadi berakal, mampu berfikir, merenung, dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Allâh Azza wa Jalla berfirman : 

وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dialah yang menjadikan kalian memiliki pendengaran, penglihatan, dan hati, supaya kalian bersyukur [an-Nahl/16:78]

Ibnu Katsîr rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, "Allâh Azza wa Jalla memberikan mereka telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan hati -yakni akal yang tempatnya di hati- untuk membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan… Dan Allâh Azza wa Jalla memberikan umat manusia kenikmatan-kenikmatan ini, agar dengannya mereka dapat beribadah kepada Rabb-nya."


Allah Swt berfirman:

كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya (hukum-hukumNya) supaya kalian memahaminya”(QS. Al Baqarah 242)

يَادَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

“…maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS. Al Shaad 26)

Ada kesalahpahaman yang berkembang di masyarakat kaum muslimin, yakni menempatkan masalah akal pada tempat yang seharusnya ditempati oleh hawa nafsu. Sebagai contoh, ketika sebagian orang (ulama?) mengeluarkan fatwa yang membolehkan riba dengan dalil-dalil tertentu, maka ada orang yang menegur sang pemberi fatwa (mufti) itu dengan mengatakan, “Dalil yang anda gunakan itu bukan dari dalil syara’, tetapi dari akal”. Teguran tersebut kurang tepat. Sebab sang mufti itu tidak membawa dalil baik dari syara’ maupun dari akal, justru dia membawa dalil dari hawa nafsunya! Sebab orang yang berakal dan berbicara atas nama akan menolak sistem riba. Sebagaimana Aristoteles menyatakan bahwa uang itu tidak bisa bertelor!

Berikut ini sekilas mengenai akal dan betapa pentingnya akal dalam beragama. Lawan dari akal adalah jahl, atau sering pula diistilahkan dengan hawa nafsu. Kita semua tahu, ditinjau dari keberadaan akal dan nafsu, mahluk2 yang Allah karuniai kemampuan berpikir itu ada tiga jenis: malaikat, yang dikaruniai akal saja, tanpa nafsu; hewan, yang hanya dikaruniai nafsu, tanpa akal; dan manusia dan jin, yang Allah swt karuniai akal maupun nafsu.

Ayat-ayat Al Quran berikut dengan tegas memaksa kita untuk menyimpulkan bahwa hanya kaum Muslimin-Mu’minin lah yang menggunakan akalnya. Kaum yang lain, entah itu kafirin, musyrikin, munafikin, Nasrani, Yahudi, ataupun lainnya, oleh Al Quran dikatakan sebagai kaum yang tidak berakal (laa ya’qilun).

Al Baqarah: 164
إِنَّ فىِ خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ اخْتِلَافِ الَّيْلِ وَ النَّهَارِ وَ الْفُلْكِ الَّتىِ تجَْرِى فىِ الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ وَ مَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِن مَّاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتهَِا وَ بَثَّ فِيهَا مِن كُلّ‏ِ دَابَّةٍ وَ تَصْرِيفِ الرِّيَحِ وَ السَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَ الْأَرْضِ لاََيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُون

“Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi; dan pertukaran malam dan siang; dan (pada) kapal-kapal yang belayar di laut dengan membawa benda-benda yang bermanfaat kepada manusia; demikian juga (pada) air hujan yang Allah turunkan dari langit lalu Allah hidupkan dengannya tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya, serta Ia biakkan padanya dari berbagai-bagai jenis binatang; demikian juga (pada) peredaran angin dan awan yang tunduk (kepada kuasa Allah) terapung-apung di antara langit dengan bumi; sesungguhnya ada tanda-tanda (yang membuktikan keesaan Allah, kekuasaanNya, kebijaksanaanNya, dan keluasan rahmatNya) bagi kaum yang menggunakan akal fikiran (liqaumiy ya’qiluun)”.‎

Fungsi Akal

Banyak sekalai ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menebut kata-kata seputar akal atau penggunaanya, yaitu berfikir. Misalnya yang hadir dalam bentuk afala ta’qiluun (apakah kamu tdak mengerti) yang berulang sebanyak 13 kali. Atau dalam ungkapan “la’alakum ta’qiluun” (agar kalian memahaminya) berulang sebanyak 8 kali. Atau dalam ungkapan liqaumi ya’qiluun” (bagi kaum yang berfikir) sebanyak 8 kali. Juga dalam ungkapan “liqaumi yatafakkaruun” (bagi kaum yang memikirkan yang berulang sebanyak 7 kali. Semua ungkapan tentang akal dalam ayat-ayat tersebut berkonotasi positif.

Akal adalah nikmat besar yang Allah titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah yang sangat menakjubkan. (Al-’Aql wa Manzilatuhu fil Islam, hal. 5)

Oleh karenanya, dalam banyak ayat Allah memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:

وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12).

وَفِي اْلأَرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيْلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي اْلأُكُلِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ

“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ra’d: 4)

Sebaliknya Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya:

وَقَالُوْا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِيْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ

“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 10)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “(Maknanya yaitu) tidak berakal dan tidak punya tamyiz (daya pemilah)… Bagaimanapun (hal itu) tidak terpuji dari sisi itu, sehingga tidaklah terdapat dalam kitab Allah Subhanahu wa ta’ala serta dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallampujian dan sanjungan bagi yang tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala telah memuji amal, akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat, serta mencela keadaan yang sebaliknya di beberapa tempat…” ‎

Kitapun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan beberapa bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti:

1. Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga orang yang tidak berakal tidak dibebani hukum. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلىَ عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمُ

“Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya tertutup sampai sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak kecil sehingga baligh.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ad-Daruquthni dari shahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Umar)

2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta, jiwa dan kehormatan.

3. Allah Subhanahu wa ta’ala mengharamkan khamr untuk menjaga akal. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah: 90)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٍ

“Setiap yang memabukkan itu haram.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Musa Al-Asy‘ari)‎

Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan: “Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr.” ‎

4. Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan (kemantapan) akal. Artinya, keimanan tidak berarti mematikan akal, bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yang memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya, tidak menyepelekan dan tidak pula berlebihan. Sedangkan yang dilakukan para pengkultus akal yang mereka beritikad memuliakan akal, pada hakikatnya mereka justru menghinakan akal serta menyiksanya karena mambebani akal dengan sesuatu yang tidak mampu.

Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adalah sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan keterbatasan.

As-Safarini rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah Subhanahu wa ta’ala telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105)

Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti pengetahuan tentang Allah Subhanahu wa ta’aladan sifat-sifat-Nya, arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَفَكَّرُوْا فِيْ أَلاَءِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِيْ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada Dzat Allah.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, lihat Ash-Shahihah no. 1788)

وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)

Oleh karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena, tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi, justru terlalu banyak hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada syariat.

Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)

Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah mengatakan: “Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)

Orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yang ingin memuliakan akal dan mengangkatnya –demikian perkataan mereka– belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. (Minhajul Istidlal, dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal. 21)
Akal yang terpuji dan akal yang tercela‎

Menengok penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang terpuji, yaitu ketika pada tempatnya. Dan terkadang tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:

1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.
3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah Subhanahu wa ta’ala, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As Sunnah.
5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka. (Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104-106, Al-Intishar, hal. 21, 24, Al-’Aql wa Manzilatuhu)

Jadi, manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal kita, kemudian ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima yang tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yang tercela dan salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan kepada syariat.

Akal yang sehat tidak akan menyelisihi syariat‎

Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam –ringkasnya– bahwa tatkala bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan akal. (Asasuttaqdis, hal. 172-173)

Dengan prinsip ini, mereka menolak sekian banyak nash yang shahih dulu maupun sekarang. Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adalah salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat mereka dengan singkat dan mudah cukup dengan kita merujuk kepada lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim rahimahullah di atas.

Lebih rinci para ulama seperti Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan: Sesuatu yang diketahui dengan jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bartentangan dengan syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yang shahih tidak akan bertentangan dengan akal yang lurus, sama sekali. Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yang diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati, sesuatu yang menyelisihi nash yang shahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui kebatilannya dengan akal. Bahkan diketahui dengan akal kebenaran kebalikan dari hal tersebut yang sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuat akal terkesima. Para Rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu untuk menjangkaunya.
Kita tahu bahwa akal merupakan karunia Allah kepada manusia yang membedakan dan melebihkannya dari seluruh makhluk yang lain. Dengan akal itulah Allah memuliakan anak cucu Adam As., ini atas kebanyakan ciptaanNya. Akal merupakan alat manusia untuk mentafakuri alam sehingga ia mendapat petunjuk untuk beriman kepada Allah dan RasulNya. Akal pulalah yang dipakai manusia sebagai alat untuk menggali ilmu-ilmu/sains eksperimental dan rahasia-rahasia alam untuk dimanfaatkan buat kepentingan manusia.

Dalam masalah-masalah diniyah (agama) akal berfungsi sebagai :
- Alat untuk memahami fakta (manath) dimana hukum syara’ diturunkan terhadapnya;
- Alat untuk memahami nash-nash syar’I (Kitab dan Sunnah) sekaligus menggali darinya hukum-hukum syara’.

Dalam poin ini akal tak melampaui batas kemampuannya. Ia tak mungkin mengubah fungsinya sendiri, yakni dari memahami nash-nash syara’ dan mengikatkan diri kepadanya, menjadi penilai dari nash-nash syara’ yang kemudian mengubah dan menggantinya. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh akal, sebab ia telah memahami nash-nash syara’ itu wahyu dari Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana yang tak mungkin terselip kebathilan. Akal menyadari bahwa dirinya lemah, penuh kekurangan dan bisa berbuat salah. Jika akal bertentangan dengan wahyu, dia menyadari bahwa wahyulah yang benar dan akallah yang salah, sehingga ia mengoreksi diri dan menundukkan diri dari wahyu. Ia pun menjadi tenteram dengannya. Jika anda melihat manusia yang merasa lebih tinggi dari wahyu dan menakwilkannya, mengoreksinya, lalu mengubahnya, ketahuilah bahwa yang berfungsi dalam diri orang tersebut pada waktu itu bukanlah akalnya melainkan hawa nafsunya.

Akal Tidak Ma’shum

Sekalipun akal cenderung kepada kebenaran, bukan berarti akal itu ma’shum, terbebas dari kesalahan. Justru ia bisa keliru dan salah. Akal terkadang berbuat salah sekalipun aktivitasnya terbatas di wilayahnya dan batas-batas jangkauannya. Oleh karena itu, orang yang berakal membutuhkan saran dan pendapat dari orang lain (yang berakal pula). Dan kalau nyata kebenaran (dari yang lain) ia mesti kembali kepadanya. Rasulullah Saw bersabda :“Tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah”

‎Ketika dalil bertentangan dengan akal
Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Sedangkan dalil, maka pasti benarnya.

Hal ini berangkat dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para shahabat yang berpengalaman dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab: “Wahai manusia, curigailah akal kalian terhadap agama ini.” (Riwayat Ath-Thabrani, lihat Marwiyyat Ghazwah Al-Hudaibiyyah, hal. 177, 301)

Beliau mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pendapatnya, walaupun pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata maslahat dari keputusan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya.

Oleh karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan: “Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allah meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.” (Mukhtashar As-Shawa’iq, hal. 82-83 dinukil dari Mauqif Al-Madrasah Al-‘Aqliyyah, 1/61-63)

Abul Muzhaffar As-Sam’ani ketika menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah berkata: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al Kitab dan As Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya (Al Kitab dan As Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang hak sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 99)‎
 ‎
Bila akal didahulukan‎

Jika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya:

1. Menyerupai Iblis –semoga Allah melaknatinya– ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam alahissalam, kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍْ

“Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab: ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (Al-A’raf: 12)

2. Menyerupai orang kafir yang menolak keputusan Allah dengan akal mereka, seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka katakan:

وَقَالُوْا لَوْلاَ نُزِّلَ هَذَا الْقُرْآنُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيْمٍ

“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’.” (Az-Zukhruf: 31)

3. Tidak mengambil faidah dari Rasul sedikitpun karena mereka tidak merujuk kepadanya pada perkara-perkara ketuhanan. Sehingga adanya Rasul menurut mereka seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lebih jelek karena mereka tidak mengambil manfaat sedikitpun justru butuh untuk menolaknya.

4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah berfirman:

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Qashash: 50)

5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim.

6. Berkata dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” (Al-Hajj: 8)

Ini termasuk larangan terbesar.

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوْا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33)

7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.

8. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang. [Al-Mauqih, 1/81-92]

Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan tentang orang-orang yang tetap mengedepankan akalnya: “Jika kamu melihat ahlul kalam ahli bid’ah mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari Al Qur’an dan hadits ahad dan tampilkan akal,’ maka ketahuilah bahwa ia adalah Abu Jahal.” (Siyar A’lamin Nubala, 4/472)‎
Hawa Nafsu Cenderung kepada Keburukan

Tidak terdapat kata ‘al Hawa’ dalam Al Qur’an melainkan dalam konotasi negatif. Sorang muslim tidak sempurna imannya, kecuali ia menundukkan hawa nafsunya -yang cenderung negatif itu- dan mengikatnya dengan syari’at Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda :
“tidak beriman salah seorang dari kalian, hingga ia mengikutkan (menundukkan) hawa nafsunya dengan (Islam) yang aku bawa” (HR. Imam An Nawawi dalam Kitab Al Arba’in An Nawawiyyah)

Dalam Al Qur’an terdapat kata ‘nafsu’ yang berarti ‘hawa’ atau ‘hawa nafsu’, seperti :

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ

“Karena sesunguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan”. (QS. Yusuf 54)

Juga dalam firman-Nya :

فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ


“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah”. (QS. Al Maidah 30)

Banyak di antara manusia yang berilusi bahwa sesuatu yang muncul dari hawa nafsunya ia anggap berasal dari akal mereka, lantaran mereka puas dengannya. Demikan pula mereka berilusi bahwa was-was (bisikan - bisikan buruk) yang dibuat syaitan (dari kalangan jin maupun manusia) dalam dirinya dan mereka puas dengannya, dia anggap dari akal mereka sendiri. Padahal pada hakikatnya mereka itu telah dihiasi oleh syaitan, sehingga memandang indah keburukan mereka dan merekapun menuruti hawa nafsu tanpa bukti (hujjah syar’iyyah) dari Rabb mereka sebagaimana firman-Nya :

أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ

“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang syaitan menjadikan dia memandang baik perbuatannya dan mengikuti hawa nafsunya”. (QS. Muhammad 14)
وَقَدْ تَوَاتَرَتِ الأَخْبَارُ عَنْ رَسُوِلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثُبُوْتِ عَذَابِ الْقَبْرِ, وَنَعِيْمِهِ لِمَنْ كَانَ لِذَلِكَ أَهْلاً, وَسُؤَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ , فَيَجِبُ إِعْتِقَادُ ثُبُوْتِ ذَلِكَ , وَالإيْمَانُ بِهِ , وَلاَ نَتَكَلَّمُ فِي كَيْفِيَّتِهِ , إِذْ لَيْسَ لِلْعَقْلِ وُقُوْفٌ عَلَى كَيْفِيَّتِهِ, لِكَوْنِهِ لاَ عَهْدَ لَهُ بِهِ غَيْرُ هَذِهِ الدَّارِ, وَالشَّرْعُ لاَ يَأْتِي بِمَا تُحِيْلُهُ الْعُقُوْلُ , وَلَكِنَّهُ قَدْ يَأْتِي بِمَا تُحَارُ فِيْهِ الْعُقُوْلُ

Telah datang keterangan dalam banyak hadits yang telah mencapai derajat mutawatir, tentang adanya adzab kubur dan nikmatnya bagi orang yang berhak, serta pertanyaan kubur bagi mereka yang mukallaf. Maka itu wajib diyakini dan diimani kebenarannya, dan kita tidak boleh membicarakan tentang gambaran detailnya, karena memang akal tidak boleh menerka gambaran detailnya, demikian itu, karena akal tidaklah menyaksikan kecuali dunia yang ada ini. Dan Syariat tidak akan datang dengan sesuatu yang dimustahilkan akal, meski kadang datang dengan sesuatu yang membingungkannya.‎

Kita memohon kepada Allah Swt agar Dia melindungi kita dari buruknya hawa nafsu dan bisikan-bisikan syaitan. Juga kita memohon agar Dia menjadikan kita termasuk orang-orang yang berakal yang mendapat petunjuk ke jalan-Nya yang lurus (ash shiroth al mustaqiim), Aamin!
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar