Selasa, 05 Januari 2016

Penjelasan Tentang Hakikat Mencintai Alloh Dan Rosul-Nya

Seorang hamba, pada hakekatnya tidak pernah lepas dari pengawasan Allah. Hal itu merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada umatnya. Kemudian sebagai seorang hamba, hendaknya kita harus tahu bahwa cara Allah mengasihi hamba-hambaNYA. Tidak selalu diberikan kenikmatan sebagai wujudnya, tetapi cobaan juga merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada umatnya. Sehingga, selayaknya kita bisa mensyukuri apabila mendapat nikmat dan bersabar ketika mendapat ujian.
Sebagai wujud kecintaan seorang hamba kapada Allah, banyak hal yang bisa dilakukan. Beberapa diantaranya hendaklah selalu berbuat baik dan bersabar menghadapi kehidupan. Memanfaatkan semua anugrah Allah juga merupakan salah satu mencapai itu. Seorang hamba juga harus senantiasa ridho dengan keputusan Allah dan menerimanya dengan ikhlas. Hal ini akan semakin mendekatkan diri kepada-Nya di kala kita sedang mendapat kenikmatan ataupun dalam keadaan susah.
Begitu pula terhadap Rasulullah SAW. Sebagai seorang umat yang mengharapkan syafaatnya, sudah sepantasnya kita selalu memupuk rasa cinta kita kepadanya. Banyak cara mencapai itu semua. Dengasn mengamalkan ajaran-ajaran Rasulullah SAW dan juga senantiasa  bershalawat akan membantu wujudkan hal itu. Selainnnya, masih banyak lagi.

CINTA KEPADA ALLAH DAN RASUL-NYA

Ayat yg sangat indah dan halus dalam menjelaskan bahwa seharusnya kita meninggalkan semua bid’ah dalam agama. Allah ta’ala berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Katakanlah (wahai Muhammad kepada umatmu): Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian“. (QS. Alu Imron: 31).‎
عن عائشة رضى الله عنها انها قالت . من احب الله تعالى اكثر ذكره، وثمرته ان يذكره الله برحمته وغفرانه ويد خله الجنة مع انبيائه واوليائه ويكرمه برؤية جماله، ومن احب النبى عليه السلام اكثرمن الصلاة عليه وصحبته فى الجنة (كذافى الجامع الصغير)


Dari Aisyah RA, bahwa dia berkata:” Barang siapa mencintai Allah Ta’ala, maka dia banyak mengingat-Nya, sedang buahnya ialah, bahwa Allah mengingat dia dengan rahmat-Nya dan ampunan-Nya serta memasukanya ke dalam surge bersama para Nabi-Nya dan para Wali-Nya, dan dimuliakan dia oleh-Nya dengan melihat keindahan-Nya. Dan barang siapa mencintai Nabi SAW, maka dia banyak bershalawat kepadanya, sedang buahnya ialah, mencapai syafaatnya dan berteman dengannya di surga,” (Demikian tersebut dalam al-Jami ‘us-Shagir)

Islam adalah agama yang mendasari ajarannya dengan realitas, bukan agama yang didasarkan pada khayalan dan ilusi. Ia tidak menafikan adanya perasaan saling mencintai antar manusia, sebab itu adalah fitrah manusia. Secara naluri kita mencintai suami, istri, keluarga, harta dan tempat tinggal. Itu manusiawi dan sama sekali tidak salah.

Akan tetapi tidak sepatutnya sesuatu yang bersifat duniawi ini lebih ia cenderungi dan cintai dibanding ALLAH dan Rasul-Nya. Jika ia lebih mencintainya, berarti tidak sempurna imannya. Ia harus berusaha menyempurnakannya. ‎


وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ
“…Orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah [2] : 165)

Walaupun tampaknya membawa resiko yang sangat berbahaya, bahkan mengancam keselamatan jiwa sekalipun. Iman yang benar tersebut menumbuhkan keyaqinan yang sangat dalam bahwa semua perintah-perintah Allah pasti membawa kepada kebaikan dan keselamatan, walaupun tampaknya membahayakan, dan semua larangan Allah pasti mengakibatkan kehancuran bagi yang melanggarnya, sekalipun tampaknya menyenangkan.
Yang perlu kita perhatikan lagi dari kisah tersebut di atas adalah bahwa iman yang benar menjadikan orang sanggup mengorbankan apasaja yang dicintainya demi kecintaannya kepada Allah serta mengharapkan ridla-Nya.Dan orang yang benar-benar beriman akan mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi segalanya.

Ciri orang yang beriman adalah mencintai Allah dan RasulNya melebihi bapak, anak, saudara, istri, keluarga, kekayaan, bisnis, dan rumah mereka:

قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌۭ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍۢ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ

“Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. ” [At Taubah 9:24]

Orang yang beriman rela mengorbankan harta dan nyawa mereka demi Allah dan RasulNya:

مَا كَانَ لِأَهْلِ ٱلْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُم مِّنَ ٱلْأَعْرَابِ أَن يَتَخَلَّفُوا۟ عَن رَّسُولِ ٱللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا۟ بِأَنفُسِهِمْ عَن نَّفْسِهِۦ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌۭ وَلَا نَصَبٌۭ وَلَا مَخْمَصَةٌۭ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَطَـُٔونَ مَوْطِئًۭا يَغِيظُ ٱلْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّۢ نَّيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِۦ عَمَلٌۭ صَٰلِحٌ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ ٱلْمُحْسِنِينَ

“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik” [At Taubah 9:120]

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِۦ فَسَوْفَ يَأْتِى ٱللَّهُ بِقَوْمٍۢ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلْكَٰفِرِينَ يُجَٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَآئِمٍۢ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ ٱللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ ۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ


“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” [Al Maa-idah 5:54]
Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi kecintaan kepada yang lain sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam ayat tersebut akanmembuahkan kenikmatan iman.

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلاِيْمَانِ: اَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَ رَسُوْلُهُ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَ اَنْ يُحِبَّ اْلمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ اِلاَّ ِللهِ وَ اَنْ يَكْرَهَ اَنْ يَعُوْدَ فِى اْلكُفْرِ بَعْدَ اَنْ اَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ اَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ. البخارى و مسلم

Tiga perkara, barangsiapa memilikinya ia akan merasakan lezatnya iman : Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi kecintaannya kepada yang lain, cinta kepada orang lain karena Allah, dan membenci kekafiran sebagaimana ia merasa benci dicampakkan ke dalam neraka. [HR. Bukhari dan Muslim]
Kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya melebihi segelanya itu akan menjadikan orang mukmin tidak akan menjalin hubungan kasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka bapak-bapak atau anak-anak mereka sendiri.

لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلاخِرِ يُوَآدُّوْنَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَ رَسُوْلَه وَ لَوْ كَانُوْآ ابَآءَهُمْ اَوْ اَبْنآءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْ. المجادلة:22

Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. [QS. Al-Mujadilah : 22]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِي قَالَ: حَدَّثَنَا أَيُّوْبُ، عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ، عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَّكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلَهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُّحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ للهِ، وَأَنْ يَّكْرِهَ أَنْ يَّعُوْدَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُّقْذَفَ فِي النَّارِ) (رواه البخاري)

“Dari Anas r.a. dari Nabi saw. Bersabda: “ Barang siapa ada tiga perkara padanya, ia telah mendapatkan manisnya iman, yaitu hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai olehnya dari apa yang selain keduanya, hendaklah ia mencintai dan membenci seseorang semata karena Allah, dan hendaklah ia benci untuk kembali kepada kekafiran, sebagaimana ia benci jika akan dicampakkan ke dalam neraka”. (H.R. Bukhari)

Jadi kesempuraan iman itu menuntut kecintaan yang sempurna pula. Kecintaan yang berpangkal pada pemahaman, cinta yang tumbuh dari kesadaran dan mujahadah. Bukan kecintaan sebagai tabiat semata.
Jika manusia mencintai orang tua karena keduanya telah melahirkan, mendidik, dan membesarkannya, sesungguhnya ketiga hal itu takkan pernah terjadi kalau bukan karena Rahmat Allah. Maka kecintaan kepada Allah sudah seharusnya menjadi cinta yang paling utama. Lalu Allah memerintahkan hamba-Nya untuk mencintai Rasulullah, atas dasar cinta seorang hamba akan memenuhi perintah untuk mencintai Rasul-Nya melebihi mereka. Dan, bukankah orang tua hanya memberikan nafkah lahir sementara Rasulullah telah menyampaikan petunjuk Allah kepada umatnya hingga manusia terselamatkan dari kesesatan? Argumentasi ini menjadi dasar logika kecintaan kepada Rasulullah melebihi mereka.
Demikian pula anak. Secara tabiat manusia memiliki cinta padanya. Sebab ia adalah buah hati, penyejuk mata, dan harapan bagi orang tua untuk meneruskan garis keluarga, nasab, dan menjadi saham yang akan berbuah ketika lanjut usia menyapa dan di alam barzakh yang ia nantikan doanya. Lalu bagaimana dengan Rasulullah yang memiliki hak syafaat? Bukankah harapan itu jauh lebih besar. Dan tanpa dakwah Rasulullah, apalah gunanya memiliki anak dengan bergelimang dalam kesesatan? Argumentasi ini juga menjadi pondasi logika kecintaan kepada Rasulullah melebihi mereka.
Ada sebagian orang yang mencintai orang lain melebihi orang tua dan anak-anaknya. Bisa jadi mereka yang dicintai itu pemimpin, guru, atau orang yang berjasa dalam hidupnya, atau orang-orang yang dikaguminya. Hadits ini kemudian memberi standar bahwa siapapun orang itu, kecintaan kepada Rasulullah harus melebihi kecintaan kepadanya.
Sebenarnya dalam diri semua manusia ada kecintaan kepada satu orang yang dalam kondisi umum manusia selalu mencintainya melebihi siapapun. Ia maafkan kesalahannya. Ia puji kebaikannya meskipun hanya sedikit. Ia kagumi ia. Ia tempatkan di tempat yang terhormat. Selalu dijaga dan selalu dibela. Orang itu adalah dirinya sendiri. Namun dalam kesempurnaan iman, kecintaan kepada Rasulullah juga harus melebihi kecintaan kepada dirinya sendiri. Bukankah diri sendiri juga termasuk dalam kalimat "manusia seluruhnya"? maka hadits ini tidak mengkecualikannya.
Alangkah indahnya hidup dan alangkah berbahagianya ketika manusia mampu mengubah cintanya menjadi iman yang sempurna dengan mencintai Rasulullah melebihi semua manusia termasuk dirinya sendiri. Dan Umar bin Khattab, mampu mengubah cintanya menjadi seperti itu hanya dalam beberapa saat.
Ibnu Hajar Al Asqalani ketika menjelaskan hadits ini menggunakan kasus hawa nafsu sebagai pengganti diri sendiri. Betapa banyak orang yang menjadikan hawa nafsunya paling dicintai, namun iman yang sempurna harus menundukkannya hingga menjadi nafsu muthmainnah, dengan menjadikan Rasulullah lebih dicintai dari siapapun juga.
Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Salah satu syarat sekaligus tanda sempurnanya iman adalah mencintai Rasulullah melebihi orang tua, anak, dan seluruh manusia;
2. Kecintaan kepada Rasulullah yang melebihi kecintaan pada manusia seluruhnya itu juga berarti lebih mencintai Rasulullah daripada dirinya sendiri atau hawa nafsunya.‎

Mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengagungkannya sebagaimana para Sahabat Radhiyallahu anhum mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dari kecintaan mereka kepada diri dan anak-anak mereka, sebagaimana yang terdapat dalam kisah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu, ia berkata:

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِدٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ. فَقَالَ لَهُ عَمَرُ: فَإِنَّهُ اْلآنَ، وَاللهِ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اْلآنَ يَا عُمَرُ.

“Kami mengiringi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau menggandeng tangan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Kemudian ‘Umar berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apa pun selain diriku.’ Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: ‘Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu.’ Lalu ‘Umar berkata kepada beliau: ‘Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku.’ Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Sekarang (engkau benar), wahai ‘Umar.’”

Berdasarkan hadits di atas, maka mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah wajib dan harus didahulukan daripada kecintaan kepada segala sesuatu selain kecintaan kepada Allah, sebab mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah mengikuti sekaligus keharusan dalam mencintai Allah. Mencintai Rasulullah adalah cinta karena Allah. Ia bertambah dengan bertambahnya kecintaan kepada Allah dalam hati seorang mukmin, dan berkurang dengan berkurangnya kecintaan kepada Allah.
Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi kecintaan kepada yang lain sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam ayat tersebut akan membuahkan kenikmatan iman.

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلاِيْمَانِ: اَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَ رَسُوْلُهُ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَ اَنْ يُحِبَّ اْلمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ اِلاَّ ِللهِ وَ اَنْ يَكْرَهَ اَنْ يَعُوْدَ فِى اْلكُفْرِ بَعْدَ اَنْ اَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ اَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ. البخارى و مسلم

Tiga perkara, barangsiapa memilikinya ia akan merasakan lezatnya iman : Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi kecintaannya kepada yang lain, cinta kepada orang lain karena Allah, dan membenci kekafiran sebagaimana ia merasa benci dicampakkan ke dalam neraka. [HR. Bukhari dan Muslim]
Kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya melebihi segelanya itu akan menjadikan orang mukmin tidak akan menjalin hubungan kasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka bapak-bapak atau anak-anak mereka sendiri.

لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلاخِرِ يُوَآدُّوْنَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَ رَسُوْلَه وَ لَوْ كَانُوْآ ابَآءَهُمْ اَوْ اَبْنآءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْ. المجادلة:22

Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. [QS. Al-Mujadilah : 22]

Kecintaan dan kebenciaan orang-orang mukmin kepada orang lain tidak lagi didasarkan semata-mata pada faktor-faktor pribadi, melainkan didasarkan pada ridla Allah, sehingga orang-orang mukmin akan mencintai atau membenci seseorang karena Allah.

اَوْثَقُ عُرَى اْلاِيْمَانِ: اْلمُوَالاَةُ فِى اللهِ وَ اْلمُعَادَاةُ فِى اللهِ وَ اْلحُبُّ فِى اللهِ وَ اْلبُغْضُ فِى اللهِ. الطبرانى
Sekuat-kuat ikatan iman adalah bershahabat karena Allah, bermusuhan karena Allah, cinta karena Allah dan membenci karena Allah. [HR. Thabrani]
Atas dasar cinta kepada Allah dan Rasul-Nya itulah persaudaraan dalam Islam dibangun.Pertama-tama Allah menegaskan bahwa orang-orang mukmin itu bersaudara.

اِنَّمَا اْلمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ. الحجرات:10

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah bersaudara. [QS. Al-Hujurat : 10]
Sebagai orang-orang yang bersaudara orang-orang mukmin saling tolong-menolong

  اْلمُؤْمِنُوْنَ وَ اْلمُؤْمِنتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَآءُ بَعْضٍ. التوبة:71

Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. [QS. At-Taubah : 71]
Persaudaraan sesama orang-orang mukmin tersebut oleh Nabi digambarkan sebagai anggota dari tubuh yang satu, apabila salah satu anggota tubuh menderita sakit anggota tubuh yang lain ikut merasakan.

مَثَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ فِى تَوَادِّهِمْ وَ تَرَاحُمِهِمْ وَ تَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ اْلجَسَدِ، اِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ اْلجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَ اْلحُمَّى. احمد و مسلم

Perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai, saling kasih-mengasihi, bantu-membantu seperti satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasa sakit, maka seluruh tubuhnya merasa sakit, merasa demam dan tidak dapat tidur. [HR. Ahmad, dan Muslim]
Oleh karena itulah Nabi melarang sesama orang Islam saling medhalimi atau membelakangi. Kebalikannya, Nabi memerintahkan agar antara orang Islam yang satu dengan orang Islam yang lain saling membantu untuk meringankan  bebanpenderitaan mereka masing-masing.

اْلمُسْلِمُ اَخُو اْلمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَ لاَ يُسْلِمُهُ، مَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ اَخِيْهِ كَانَ اللهُ فِى حَاجَتِهِ، وَ مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَ مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ. البخارى و مسلم

Seorang muslim adalah saudara orang muslim lainnya. Tidak boleh ia medhalimi dan tidak boleh membiarkan tidak menolongnya. Barangsiapa yang memperhatikan kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memperhatikan kebutuhannya. Barangsiapa melepaskan kesusahan saudaranya, maka Allah akan melepaskan kesusahannya di hari qiyamat. Barangsiapa menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya pada hari qiyamat [HR. Bukhari dan Muslim].
Oleh  karena itu pula Nabi melarang sesama orang Islam  saling menghujat, meremehkan satu sama lain, apalagi mengolok-olok untuk menjatuhkan golongan lain.

ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مّنْ قَوْمٍ عَسى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مّنْهُمْ، الحجرات:11

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum (golongan) memperolok-olok kaum (golongan) yang lain. Boleh jadi mereka (yang diperolok-olok) lebih baik daripada yang mengolok-olok [QS. Al-Hujurat : 11].

ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مّنَ الظَّنّ، اِنَّ بَعْضَ الظَّنّ اِثْمٌ وَّ لاَ تَجَسَّسُوْا، وَ لاَ يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًا، الحجرات:12

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. [QS. Al-Hujurat 12].
Apabila kesukaan  menghujat dan memperolok kelompok atau golongan lain tidak dihentikan, niscaya perpecahan dalam agama Islam tidak bisa dihindarkan lagi. Padahal berpecah-belah dalam agama itu merupakan tindakan kemusyrikan.

وَ لاَ تَكُوْنُوْا مِنَ اْلمُشْرِكِيْنَ. مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَ كَانُوْا شِيَعًا، كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ. الروم:31-32


Janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka(Q.S. Ar-Rum: 31-32)

Setelah persaudaran dan cinta kasih sesama mukmin, pada gilirannya, Allah melarang orang-orang mukmin menjadikan orang-orang di luar kalangan mereka sebagai teman kepercayaan, penolong, pelindung dan pemimpin.

ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَ تَتَّخِذُوْا بِطَانَةً مّنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً، وَدُّوْا مَا عَنِتُّمْ، قَدْ بَدَتِ اْلبَغْضَآءُ مِنْ اَفْوَاهِهِمْ، وَ مَا تُخْفِيْ صُدُوْرُهُمْ اَكْبَرُ، قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلايتِ اِنْ كُنْتُمْ تَعقِلُوْنَ.ال عمران:118

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu. Mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudlaratan kepadamu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dalam hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terang-kan kepadamu ayat-ayat (Kami) jika kamu memahaminya. [QS. Ali Imran :118]
Ayat tersebut disamping melarang orang-orang mukmin untuk mengambil orang-orang di luar kalangan mereka sebagai teman kepercayaan sekaligus menjelaskan alasan pelarangan tersebut, yakni bahwa mereka tidak henti-hentinya  menimbulkan kemudlaratan kepada orang-oang mukmin dan bahwa mereka menyukai timbulnya kesusahan pada orang-orang mukmin. Hal ini ditegaskan lebih lanjut oleh Allah dalam Surat Ali Imran ayat 120.

اِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ، وَ اِنْ تُصِبْكُمْ سَيّئَةٌ يَّفْرَحُوْا بِهَا، وَ اِنْ تَصْبِرُوْا وَ تَتَّقُوْا لاَ يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا، اِنَّ اللهَ بِمَا يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطٌ. ال عمران:120

Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapatkan bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bershabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudlaratan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apayang mereka kerjakan. [QS. Ali Imran : 120].
Siapakah mereka ?  Mereka terutama adalah orang-orang yang suka menjadikan agama Islam sasaran ejekan, yakni Ahli Kitab.

ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَ تَتَّخِذُوا الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا دِيْنَكُمْ هُزُوًا وَّ لَعِبًا مّنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا اْلكِتبَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَ اْلكُفَّارَ اَوْلِيَآءَ، وَ اتَّقُوا اللهَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ. المائدة:57

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi walimu orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan (yaitu) diantara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang yang kafir, dan bertaqwalah kepada Allah jika kamu benar-benar termasuk orang-orang yang beriman. [QS. Al-Maidah : 57]
Auliyaa' dalam ayat tersebut adalah jamak dariwaliy, yang berarti : teman akrab, pemimpin, pelindung atau penolong.
Dalam Surat Al-Maidah ayat 51 secara lebih tegas disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani.

ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَ تَتَّخِذُوا اْليَهُوْدَ وَ النَّصرى اَوْلِيَآءَ، بَعْضُهُمْ اَوْلِيَآءُ بَعْضٍ، وَ مَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَاِنَّه مِنْهُمْ، اِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِى اْلقَوْمَ الظّلِمِيْنَ. المائدة:51

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi walimu, sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim [QS.Al-Maidah : 51].
Pengambilan  teman akrab, teman kepercayaan, pelindung, dan pemimpin oleh orang-orang mukmin ini bukan semata-mata urusan keduniaan, melainkan  urusan keimanan sehingga Allah menjadikannya tolok ukur beriman atau tidaknya seseorang.

اَمْ حَسِبْتُمْ اَنْ تُتْرَكُوْا وَ لَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا مِنْكُمْ وَ لَمْ يَتَّخِذُوْا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَ لاَ رَسُوْلِه وَ لاَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَلِيْجَةً، وَ اللهُ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ. التوبة:16

Apakah kamu mengira bahwa kamu akandibiarkan (saja), sedang Allah belum mengetahui orang-orang yang berjihad diantara kamu dan tidak mengambil pelindung selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [QS. At-Taubah : 16]
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah belum mengakui pengakuan keimanan seseorang sebelum terbukti orang tersebut mau berjihad di jalan Allah dan tidak menjadikan teman akrab, teman kepercayaan, atau pelindung, selain Allah, Rasul-Nya dan sesama orang-orang mukmin.
Orang-orang yang mengambil orang-orang kafir sebagai penolong, sesungguhnya sama dengan mencari kekuatan dari orang-orang kafir, bukan dari Allah.

َالَّذِيْنَ يَتَّخِذُوْنَ اْلكفِرِيْنَ اَوْلِيَآءَ مِنْ دُوْنِ اْلمُؤْمِنِيْنَ، اَ يَبْتَغُوْنَ عِنْدَهُمُ اْلعِزَّةَ فَاِنَّ اْلعِزَّةَ ِللهِ جَمِيْعًا. النساء:139

Orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin, apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang-orang kafir ? Maka sesungguhnya semua kekuatan itu adalah kepunyaan Allah. [QS. An-Nissa' : 139].
Penolong orang-orang mukmin sesungguhnya adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin sendiri.

اِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَ رَسُوْلُه وَ الَّذِيْنَ امَنُوا الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلوةَ وَ يُؤْتُوْنَ الزَّكوةَ وَ هُمْ رَاكِعُوْنَ. المائدة:55

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan tunduk kepada Allah. [QS. Al-Maidah : 55]

وَ مَنْ يَّتَوَلَّ اللهَ وَ رَسُوْلَه وَ الَّذِيْنَ امَنُوْا فَاِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ اْلغلِبُوْنَ. المائدة:56

Dan barangsiapa yang mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. [QS. Al-Maidah : 56]
Sehubungan dengan pengambilan seseorang menjadi pemimpin ini antara lain Nabi SAW memberi petunjuk sebagai berikut. 

 سَتَكُوْنُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ مِنْ بَعْدِى يَعِظُوْنَ بِاْلحِكْمَةِ عَلَى مَنَابِرَ، فَاِذَا نَزَلُوْا افْتُلِسَتْ مِنْهُمْ وَ قُلُوْبُهُمْ اَنْتَنُ مِنَ اْلجِيْفِ. الطبرانى

Sepeninggalku nanti kamu akan dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang pandai memberikan nasehat-nasehat dengan penuh hikmat diatas mimbar. Tetapi bila telah turun, mereka suka melakukan penipuan dan hati mereka lebih busuk daripada bangkai. [HR. Thabrani]
Hadits tersebut menjelaskan akan muncul pemimpin yang manis kata-katanya tetapi buruk perbuatannya.

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ اُرْسِلاَ فِى غَنَمٍ بِاَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ اْلمَرْءِ عَلَى اْلمَالِ وَ الشَّرَفِ لِدِيْنِهِ. احمد و الترمذى

Bahaya yang ditimbulkan oleh orang-orang yang rakus terhadap harta dan ambisius terhadap suatu jabatan bagi agamanya adalah lebih besar daripada bahayanya dua serigala yang lapar dilepas di tengah-tengah sekumpulan domba.[HR. Ahmad dan Tirmidzi]
Orang yang ambisius dan rakus dalam harta sangat berbahaya apabila menjadi pemimpin, lebih berbahaya dari dua ekor serigala yang lapar bagi sekumpulan domba. Oleh karena itulah Rasulullah tidak mau memberikan jabatan kepada orang yang ambisi terhadapnya  dan memintanya.

اِنَّا وَ اللهِ لاَ نُوَلِّى عَلَى هذَا اْلعَمَلِ اَحَدًا سَأَلَهُ وَ لاَ اَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ. البخارى و مسلم و اللفظ له
Demi Allah kami tidak akan mengangkat seseorang dalam suatu jabatan pada orang yang memintanya dan pada orang yang berambisi pada jabatan itu. [HR. Bukhari dan Muslim, dan lafadh ini bagi Muslim].
Itulah petunjuk Allah dan bimbingan Nabi SAW tentang hubungan kita kepada Allah, Rasul-Nya, dan sesama mukmin. Selanjutnya, bagaimanakah hubungan kita dengan selain orang-orang mukmin. Untuk itu marilah kita perhatikan firman Allah dalam Surat Al-Mumtahanah berikut ini.

لاَ يَنْهيكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدّيْنِ وَ لَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَ تُقْسِطُوْآ اِلَيْهِمْ، اِنَّ اللهَ يُحِبُّ اْلمُقْسِطِيْنَ. اِنَّمَا يَنْهيكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدّيْنِ وَ اَخْرَجُوْكُمْ مّنْ دِيَارِكُمْ وَ ظَاهَرُوْا عَلى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْ، وَ مَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولئِكَ هُمُ الظّلِمُوْنَ. الممتحنة:8-9

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari rumah/kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. [QS. Al-Mumtahanah : 8]
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari rumah/kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim. [QS. Al-Mumtahanah : 9]
Sehubungan dengan hal ini Allah berfirman: 

اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ اْلكِتبَ بِاْلحَقّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا اَرـكَ اللهُ، وَ لاَ تَكُنْ لّلْخَائِنِيْنَ خَصِيْمًا. النساء:105

Sesungguhnya Kami telah menurunkan  Kitabkepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang khianat. [QS. An-Nisaa' : 105].
Sebab turunnya ayat tersebut berkenaan dengan pencurian yang dilakukan oleh Thu'mah; ia menyembunyikan curiannya itu di rumah seorang Yahudi. Ia tidak mengakui perbuatannya melainkan malah menuduh orang Yahudi itu yang melakukan pencurian. Kerabat Thu'mah menyampaikan hal itu kepada Nabi dan meminta Nabi untuk membela Thu'mah dan menghukum orang Yahudi tersebut, meskipun mereka mengetahui bahwa Thu'mahlah yang mencuri. Nabi  hampir-hampir mempercayai tuduhan Thu'mah dan kerabatnya kepada orang Yahudi itu. Allah pun menurunkan ayat 105 Surat An-Nisaa' dan beberapa ayat berikutnya sebagai teguran kepada Nabi.
Berdasar ayat tersebut, apabila ada pertikaian antara orang-orang mukmin dengan orang-orang di luar kalangan orang-orang mukmin bukan karena perkara agama dan yang salah orang-orang mukmin, orang-orang mukmin tidak dibenarkan membela. "Benar atau salah adalah saudaraku dan oleh karenanya harus saya bela", itu bukan doktrin Islam. Berbeda halnya apabila pertikaian itu disebabkan karena agama dan orang Islam dibunuh, diusir, dan dijarah harta bendanya serta dibakar rumahnya karena keislamannya, maka wajib bagi orang-orang mukmin untuk membelanya, dan haram bagi orang-orang mukmin berkawan dengan para pembunuh dan penjarah tersebut. Di sinilah pemerintah, dalam hal ini TNI/POLRI, harus betul-betul siap dan sigap mencegah timbulnya pembunuhan dan pengusiran terhadap sesama bangsa Indonesia karena agamanya. Apabila TNI/POLRI lengah dan tidak adil dalam menangani pertikaian antar sesama bangsa Indonesia yang disebabkan oleh perbedaan agama, tidak bisa kita bayangkan lagi apa yang akan terjadi.

Takhtimah‎

Marilah kita telaah keadaan cinta itu. kita taarifkan bahawa cinta itu kepada kebersaman tubuh kita. Ini nyata sekali pada diri kita tiap-tiap satunya mencintai apa yang memberi  kepuasan kepadanya. Mata cinta kepada bentuk-bentuk yang indah. Telinga cinta kepada bunyi-bunyinya yang merdu, dan sebagainya. Inilah jenis cinta yang kita ada dan binatang(hewan) pun ada. hanya saja ada perbedaan antara cinta yang dimiliki manusia dan binatang dari makna yang terkandung dan akal manusia yang ALlah SWT telah disempurnakan. Dengan melalui inilah kita mengenal keindahan dan keagungan Allah SWT. Oleh itu, mereka yang terpengaruh dengan keinginan jasmaniah atau hal duniwi saja tidak akan dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh Rosulullah SWA. 

Cinta Manusia biasa yang memandang zhohir saja akan berkata bahawa kecantikan itu terletak pada warna kulit yang putih dan merah, kaki dan tangan yang elok bentuknya, tetapi orang ini buta kepada kecantikan akhlak, berbeda dengan Cinta Para Rasul, Para Nabi, Para Sahabat Nabi, Para Sufi, dan para orang-orang shaleh yang dikatakannya bahwa seseorang itu mempunyai sifat-sifat akhlak yang "indah". Cinta seperti ini bukan memandang kepada sifat-sifat zhohir sahaja, tetapi memandang kepada sifat-sifat batin.‎
Bahawa seseorang itu cinta kepada dirinya sendiri dan menyempurnakan keadaannya sendiri. Ini membawanya secara langsung menuju Cinta kepada Allah, kerana wujudnya dan sifatnya manusia itu adalah semata-mata Kurniaan Allah SWT semata. Jika tidaklah kerana izin Allah SWT, manusia tidak akan ada ke alam Dunia. Kejadian manusia itu dan pencapaian menuju kesempurnaan adalah juga dengan kurnian Allah semata-mata. Oleh itu, kenapa manusia itu tidak Cinta kepada Allah? Jika tidak cinta kepada Allah SWT bererti ia tidak mengenal-Nya. Tanpa mengenalNya orang tidak akan Cinta kepadaNya, kerana Cinta itu timbul dari pengenalan dan dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT 
Bahwa manusia itu cinta kepada orang yang menolong dan memberi kurniaan kepada dirinya. Pada hakikatnya yang memberi pertolongan dan kurniaan itu hanya Allah SWT. Semua pertolongan dan kurnian dari makhluk atau hamba itu adalah semata-mata dari Allah SWT. "kullu syaiin biqodarin (Segala Sesuatu adalah kehendak Allah SWT)"
Cinta yang ditimbulkan dengan cara renungan atau tafakur tentang Sifat-sifat Allah SWT, Kuasa Allah SWT dan Keagungan Allah SWT. Cinta ini adalah seperti cinta yang kita rasai, Cinta yang terus mesti dipupuk agar subur agar bisa Mencintai Allah SWT seperti para orang-orang shaleh.‎

Pada hakikatnya, cinta kepada Allah SWT benar-benar mengambil tempat seluruhnya didalam hati seseorang, maka cintanya kepada yang lain tidak akan dapat mengambil tempat langsung ke dalam hati itu sendiri. Hanya kepada Allah SWT ruang dan waktu dalam pekerjaan semuanya. Orang yang bisa dan mampu mencintai Allah SWT sepenuh hati akan selalu berpegang teguh pada keimanannya dan meningkatkan kedekatan dirinya kepada Allah SWT.  Semoga Kita bisa dan mampu mendekatkan diri kita kepada Allah SWT. amin yaa robbal 'alamin.

Ya Allah, Ighfirlana min khothoina,, wa ala walidaina, warham huma, warfa' darojatuhuma, kama robayani soghiro.

Semoga bermanfaat Hikmah Jadikanlah perlajaran dan pembelajaran Kita dalam meningkatkan ketaqwaan kita kepa Allah SWT.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar