Rabu, 27 Januari 2016

Penjelasan Tentang Pentingnya Belajar Sebelum Beramal

Allah ta’ala berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

 “Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” [Al-Mujadilah: 11]

 Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

يرفع الله المؤمن العالم على المؤمن غير العالم ورفعة الدرجات تدل على الفضل إذ المراد به كثرة الثواب وبها ترتفع الدرجات ورفعتها تشمل المعنوية في الدنيا بعلو المنزلة وحسن الصيت والحسية في الآخرة بعلو المنزلة في الجنة

1) Allah mengangkat derajat seorang mukmin yang berilmu melebihi mukmin yang tidak berilmu.
2) Terangkatnya derajat menunjukkan keutamaan, yaitu banyaknya pahala yang dengan itu terangkatlah derajat.
3) Ketinggian derajat mencakup ‘maknawiyah’ di dunia, seperti kedudukan yang tinggi dan disebut dengan kebaikan, dan juga mencakup ‘hissiyah’ di akhirat yaitu kedudukan yang tinggi di surga.
[Fathul Baari, 1/141]‎

Maka ayat yang mulia ini menunjukkan keutamaan ilmu agama dan keutamaan orang-orang yang memilikinya dan selalu berusaha mempelajarinya. Oleh karena itu Allah ta’ala tidaklah memerintahkan kepada Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam untuk meminta suatu tambahan selain ilmu.

Allah ta’ala berfirman,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

 “Dan katakanlah: Wahai Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” [Thaha: 114]

 Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

واضح الدلالة في فضل العلم لأن الله تعالى لم يأمر نبيه صلى الله عليه و سلم بطلب الازدياد من شيء الا من العلم والمراد بالعلم العلم الشرعى الذي يفيد معرفة ما يجب على المكلف من أمر دينه في عباداته ومعاملاته والعلم بالله وصفاته وما يجب له من القيام بأمره وتنزيهه عن النقائص ومدار ذلك على التفسير والحديث والفقه

1) Ayat ini jelas menunjukkan keutamaan ilmu, karena Allah ta’ala tidak memerintahkan Nabi-Nya shallallahu’alaihi wa sallam untuk meminta suatu tambahan kecuali ilmu.
2) Ilmu yang dimaksudkan di sini adalah ilmu syar’i (ilmu agama) yang dengan itulah kita mengenal kewajiban atas seorang hamba dalam ibadah maupun mu’amalat, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, dan kewajiban untuk menjalankan perintah-Nya serta menyucikan-Nya dari berbagai kekurangan.
3) Ilmu ini beredar pada tafsir, hadits dan fiqh.
[Fathul Baari, 1/141]

Beberapa_Pelajaran:

1) Kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu agama.

2) Hendaklah selalu bersemangat dalam menuntut ilmu agama dan senentiasa berdoa meminta tambahan ilmu kepada Allah ta’ala.

3) Manusia hanya bisa berusaha dan yang menganugerahkan hasilnya adalah Allah ta’ala, tidak terkecuali ilmu, oleh karena itu diantara bekal terbaik dalam menuntut ilmu adalah ketakwaan.

4) Kemuliaan para ulama dan penuntut ilmu agama, maka wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk memuliakan dan menghormati mereka serta mendoakan kebaikan untuk mereka.

5) Merendahkan para ulama dan penuntut ilmu termasuk dosa besar, karena Allah ta’ala telah memuliakan mereka, maka tidaklah patut merendahkan mereka. Oleh karena itu, betapa pun kita tidak setuju dengan pendapat seorang ulama karena kita lebih memilih pendapat ulama yang lain, namun tidak dibenarkan bagi kita untuk menjatuhkan kehormatan seorang ulama, meski kita tidak mengikuti pendapatnya dalam masalah yang diperbolehkan padanya perbedaan pendapat antara para ulama, karena merendahkan ulama sangat berbahaya dan termasuk ciri ahlul bid’ah yang paling jelas.

 Al-Imam Abu ‘Utsman Ash-Shabuni rahimahullah berkata,

علامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم: شدة معاداتهم لحملة أخبار النبي صلى الله عليه وسلم واحتقارهم واستخفافهم بهم

 “Tanda-tanda ahlul bid’ah nampak jelas pada orang-orangnya, dan tanda mereka yang paling jelas adalah, kerasnya permusuhan, perendahan dan peremehan mereka terhadap para ulama pembawa hadits-hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” [‘Aqidatus Salaf Ashhaabil Hadits: 101]

Keutamaan menuntut ilmu sudah tercakup dalam hadits berikut.

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ أَتَيْتُكَ مِنْ الْمَدِينَةِ مَدِينَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُ بِهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَمَا جَاءَ بِكَ تِجَارَةٌ قَالَ لَا قَالَ وَلَا جَاءَ بِكَ غَيْرُهُ قَالَ لَا قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانِ فِي الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Telah menceritakan kepada kami [Nashr bin Ali Al Jahdlami] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Daud] dari ['Ashim bin Raja` bin Haiwah] dari [Dawud bin Jamil] dari [Katsir bin Qais] ia berkata; "Ketika aku sedang duduk di samping [Abu Darda] di masjid Damaskus, tiba-tiba datang seseorang seraya berkata; "Hai Abu Darda, aku mendatangi anda dari kota Madinah, kota Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam karena satu hadits yang telah sampai kepadaku, bahwa engkau telah menceritakannya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam! " Lalu Abu Darda bertanya; "Apakah engkau datang karena berniaga?" Katsir bin Qais menjawab; "Bukan, " Abu Darda` bertanya lagi, "Apakah karena ada urusan yang lainnya?" Katsir bin Qais menjawab; "Bukan, " Katsir bin Qais berkata; "Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa meniti jalan untuk mencari ilmu, Allah akan permudahkan baginya jalan menuju surga. Para Malaikat akan membentangkan sayapnya karena ridla kepada penuntut ilmu. Dan seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampunan oleh penghuni langit dan bumi hingga ikan yang ada di air. Sungguh, keutamaan seorang alim dibanding seorang ahli ibadah adalah ibarat bulan purnama atas semua bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang sangat besar." [HR. ibnumajah No.219].

Dan sungguh sangat indah apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah,
ولو لم يكن في العلم الا القرب من رب العالمين والالتحاق بعالم الملائكة وصحبة الملأ الاعلى لكفى به فضلا وشرفا فكيف وعز الدنيا والآخرة منوط به ومشروط بحصوله

“Seandainya keutamaan ilmu hanyalah kedekatan pada Rabbul ‘alamin (Rabb semesta alam), dikaitkan dengan para malaikat, berteman dengan penduduk langit, maka itu sudah mencukupi untuk menerangkan akan keutamaan ilmu. Apalagi kemuliaan dunia dan akhirat senantiasa meliputi orang yang berilmu dan dengan ilmulah syarat untuk mencapainya” (Miftah Daaris Sa’adah, 1: 104).

Ilmu menghidupkan hati sebagaimana hujan menyuburkan tanah.
Dari Abu Musa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‎
مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ

“Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah  tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bukhari membawakan hadits ini dalam kitab shahihnya pada Bab “Orang yang berilmu dan mengajarkan ilmu”. An Nawawi membawakan hadits ini dalam Shahih Muslim pada Bab “Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengannya”.
Imam Nawawi –rahimahullah– mengatakan,‎
“Adapun makna hadits dan maksudnya, di dalamnya terdapat permisalan bagi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan al ghoits (hujan yang bermanfaat). Juga terdapat kandungan dalam hadits ini bahwa tanah itu ada tiga macam, begitu pula manusia.
Jenis pertama adalah tanah yang bermanfaat dengan adanya hujan. Tanah tersebut menjadi hidup setelah sebelumnya mati, lalu dia pun menumbuhkan tanaman. Akhirnya, manusia pun dapat memanfaatkannya, begitu pula hewan ternak, dan tanaman lainnya dapat tumbuh di tanah tersebut.
Begitu pula manusia jenis pertama. Dia mendapatkan petunjuk dan ilmu. Dia pun menjaganya (menghafalkannya), kemudian hatinya menjadi hidup. Dia pun mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang dia miliki pada orang lain. Akhirnya, ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya dan juga bermanfaat bagi yang lainnya.
Jenis kedua adalah tanah yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri, namun bermanfaat bagi orang lain. Tanah ini menahan air sehingga dapat dimanfaatkan oleh yang lain. Manusia dan hewan ternak dapat mengambil manfaat darinya.
Begitu pula manusia jenis kedua. Dia memiliki ingatan yang bagus. Akan tetapi, dia tidak memiliki pemahaman yang cerdas. Dia juga kurang bagus dalam menggali faedah dan hukum. Dia pun kurang dalam berijtihad dalam ketaatan dan mengamalkannya. Manusia jenis ini memiliki banyak hafalan. Ketika orang lain yang membutuhkan yang sangat haus terhadap ilmu, juga yang sangat ingin memberi manfaat dan mengambil manfaat bagi dirinya; dia datang menghampiri manusia jenis ini, maka dia pun mengambil ilmu dari manusia yang punya banyak hafalan tersebut. Orang lain mendapatkan manfaat darinya,sehingga dia tetap dapat memberi manfaat pada yang lainnya.
Jenis ketiga adalah tanah tandus yang tanaman tidak dapat tumbuh di atasnya. Tanah jenis ini tidak dapat menyerap air dan tidak pula menampungnya untuk dimanfaatkan orang lain.
Begitu pula manusia jenis ketiga. Manusia jenis ini tidak memiliki banyak hafalan, juga tidak memiliki pemahaman yang bagus. Apabila dia mendengar, ilmu tersebut tidak bermanfaat baginya. Dia juga tidak bisa menghafal ilmu tersebut agar bermanfaat bagi orang lain.” (Syarh Muslim, 15: 47-48)

Al imam abu hamid muhammad bin muhammad alghazali berkata dalam kitabnya yang bernama {ayyuhal walad}:   
 و لو قرأتَ العلمَ مائة سنة وجمعتَ الفَ كتاب لا تكون مستعدَّا لرحمة الله اٍلاّ بالعمل

“Meskipun kamu telah belajar ilmu selama seratus tahun dan sudah mengumpulkan {mengarang} sebanyak seribu kitab itupun kamu masih belum di katakan orang yang mengharap rahmat Allah kecuali dengan mengamalkannya”

Seperti halnya  merintahkannya allah kpd kita  untuk mengerjakan rukun islam yang ke dua ialah “shalat” kita tidak langsung mengerjakannya  sebelum mengetahui dulu tata cara seperti  fardlu dan rukunnya, lalu apabila sudah mengerti tata cara shalat maka misi selanjutnya ialah mengamalkannya dengan benar, Nah! Ketika kita sudah memiliki ilmunya akan tetapi masih tidak diamalkan apakah perintahnya{allah} sudah kita penuhi??

Syeikh muhammad amin alkurdiy menggambarkan dalam syair nya:

لو كِلتَ اَلفى رِطل خَمرٍ لم تكن # لِتَصيرَ نَشوانًا إذا لم تشربْ

“Meskipun engkau telah mngumpulkan sebanyak seribu botol khamr‎
Tidak akan mabuk jika tidak meminumnya”

Syeikh muhammad menggambarkan dalam syairnya bahwasanya tidak akan terpenuhi tujuan sesorang {mabuk} walaupun  fasilitas sudah ada yaitu sudah mengumpulkan sebanyak 1000 botol khamr,jika tidak diminum! BENAR! Apabila kita qiyaskan pada misalnya: kita sudah mengerti bahwasanya ghasab itu haram dan sudah pernah di diskusikan dimana mana akan tetapi kita dengan sadarnya  tetap tidak meninggalkan yang namanya ghasab!  Dan balasannya pun pasti akan dibalas kelak di hari kiamat!

Telah kita maklumi bersama bahwa sebelum seorang mengamalkan suatu amal ibadah, ia harus berilmu terlebih dahulu. Sebelum ia berdakwah, ia harus berilmu terlebih dahulu.
Al-Imam al-Bukhari menuliskan bab khusus dalam Shahihnya : Ilmu (Didahulukan) sebelum Perkataan dan Perbuatan. Beliau berdalil dengan ayat :

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“Maka ketahuilah (berilmulah), bahwasanya tidak ada yang sesembahan yang haq kecuali Allah dan mohonkanlah ampunan untukmu dan untuk kaum beriman laki-laki maupun wanita”. (Q.S Muhammad: 19).

Dalam ayat ini, Allah perintahkan untuk berilmu terlebih dahulu, kemudian berakidah bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan beristighfar (beramal atau berucap). Itu menunjukkan bahwa ilmu adalah pondasi sebelum seorang berakidah, berucap dan berbuat.

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala juga berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Janganlah engkau berkata terhadap apa yang engkau tidak berilmu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya” (Q.S al-Israa’: 36).

Dakwah (mengajak orang ke jalan Allah) juga harus didasarkan pada ilmu.

Seseorang ketika akan berdakwah, ia harus mendasarkan dakwahnya pada ilmu. Berdakwah dengan dilandasi ilmu adalah sikap dan perbuatan para pengikut Nabi. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي…

“Katakanlah: Ini adalah jalanku. Aku berdakwah (mengajak manusia) menuju Allah, di atas bashirah. (Ini dilakukan oleh ) aku dan orang-orang yang mengikuti aku…” (Q.S Yusuf ayat 108)

Apa yang dimaksud dengan bashirah? Padahal dakwah harus didasarkan pada bashirah. Makna bashirah adalah pengetahuan (ilmu) yang membedakan antara al-haq dengan al-batil. Definisi itu dijelaskan oleh al-Imam al-Baghowy (salah seorang Ulama bermadzhab Syafii) dalam tafsirnya (4/284)).

Dalil yang dijadikan acuan adalah al-Quran dan Sunnah Nabi yang shahih, dengan pemahaman para Sahabat Nabi.

Dalam sebagian hadits,Nabi menyebutkan keadaan orang yang diadzab di alam kubur adalah orang-orang munafik atau kafir yang mendasarkan akidahnya pada katanya dan katanya (hanya sekedar ikut-ikutan tanpa dalil).

وَأَمَّا الْكَافِرُ أَوْ الْمُنَافِقُ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ فَيُقَالُ لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ

“Sedangkan orang kafir atau munafiq mereka mengatakan: “Saya tidak mengetahui (tidak berilmu). Saya katakan seperti yang diucapkan orang-orang”. Maka dikatakan kepadanya (orang itu): Engkau tidak (mau) mengetahui dan engkau tidak (mau) membaca. Kemudian ia dipukul dengan palu dari besi sekali pukul di antara kedua telinganya, maka ia berteriak dengan teriakan yang didengar makhluk di sekelilingnya kecuali Jin dan manusia” (H.R al-Bukhari no 1252 dari Anas bin Malik)

Hadits ini memberikan pelajaran kepada kita untuk cermat dan semangat dalam mempelajari ilmu Dien. Karena sangat banyak sekali yang beredar di tengah-tengah masyarakat kita hal-hal yang sekedar katanya dan katanya, padahal hal itu tidak berdasar dalil al-Quran maupun hadits Nabi yang shahih. Padahal, jika kita melandaskan pengamalan Dien kita hanya berdasarkan katanya orang-orang awam, maka kita terancam mendapatkan adzab kubur seperti yang disebutkan dalam hadits di atas, karena kita tidak tergerak untuk mencari tahu dalilnya, dan belajar ilmu Dien secara benar. Merasa cukup dengan pengetahuan yang dimiliki padahal pengetahuannya hanya berdasarkan asumsi dan persangkaan saja.

Merasa diri sudah berilmu tentang itu padahal belum.Salah satu bentuk ketidakpedulian terhadap ilmu adalah ketidakpedulian terhadap penelitian status keshahihan hadits. Padahal itu adalah salah satu bentuk bashirah dalam berdakwah. Seseorang dikatakan memiliki bashirah dalam dakwah jika ia menyampaikan hadits-hadits yang jelas berasal dari Nabi, dan tidak menyampaikan hadits-hadits palsu atau lemah yang dianggap kebanyakan orang berasal dari Nabi. Memisahkan mana hadits yang bisa dijadikan hujjah dan mana yang tidak adalah bagian dari memisahkan al-haq dengan yang batil, dan itulah bashirah yang . merupakan salah satu syarat dalam berdakwah, seperti dalam surat Yusuf ayat 108 di atas.

Lalu, sampai batas mana ilmu yang kita miliki kita dakwahkan kepada orang lain?

Sebatas yang kita tahu ilmunya, itulah yang kita sampaikan. Jangan memaksakan diri menyampaikan hal-hal yang kita sendiri belum tahu ilmunya.

Sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu menyatakan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ مَنْ عَلِمَ شَيْئًا فَلْيَقُلْ بِهِ وَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ فَلْيَقُلْ اللَّهُ أَعْلَمُ فَإِنَّ مِنْ الْعِلْمِ أَنْ يَقُولَ لِمَا لَا يَعْلَمُ اللَّهُ أَعْلَمُ

“Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang mengetahui (berilmu) tentang sesuatu, maka ucapkanlah (sampaikan) sesuai ilmunya. Barangsiapa yang tidak mengetahui sesuatu, maka katakanlah : Allaahu A’lam (Allah yang Paling/ Lebih Tahu). Karena sesungguhnya termasuk bagian dari ilmu adalah seseorang mengatakan Allahu A’lam dalam hal-hal yang tidak diketahuinya”. (riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Bukanlah sebuah keharusan kita mengetahui dalil secara lengkap dengan tepat persis lafadznya kata per kata. Bukanlah sebuah keharusan setiap kali kita mengajak orang untuk mengamalkan sesuatu, kemudian kita sampaikan lafadz haditsnya diriwayatkan oleh siapa dari Sahabat siapa. Itu bukan keharusan. Jika itu dilakukan, itu adalah tambahan kebaikan dan kesempurnaan, tapi bukan keharusan.

Cukup seseorang yang melarang saudaranya sesama muslim laki-laki yang memakai sutera atau emas menyatakan: Wahai saudaraku, janganlah memakai itu. Bukankah Nabi kita telah melarangnya dalam hadits-hadits yang shahih? Ucapan demikian sudah termasuk menyertakan dalil. Tidak harus dia tahu dan hafal persis lafadz haditsnya. Tapi yang jelas ia tahu dengan yakin – karena pernah mendengar dari majelis ilmu atau sumber lain yang berasal dari Ahlul Ilmi- bahwa itu memang berasal dari hadits yang shahih. Maka, dalam hal ini ia telah berdakwah sesuai dengan dalil.

Tidak sedikit para Sahabat Nabi ketika melarang dari suatu hal mereka sekedar menyatakan: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melarang dari hal itu. Atau, para Sahabat menyatakan: termasuk Sunnah adalah begini dan begini…Kadangkala sebagian Sahabat menyatakan : Hal itu dilakukan oleh orang yang lebih baik dari aku (maksudnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam), atau dengan kalimat yang semakna dengan itu. Itu semua adalah bentuk penyampaian dalil. Walaupun banyak pula penyampaian dari Sahabat Nabi yang meriwayatkan persis secara lafadz kata per kata.

Dalam kondisi tertentu, dalam berdakwah cukup bagi kita untuk menyampaikan fatwa Ulama’ saja, karena fatwa Ulama Ahlussunnah adalah berisi ilmu. Allah perintahkan kepada kita untuk bertanya kepada para Ulama’ dalam permasalahan agama jika kita tidak tahu.

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada Ulama jika kalian tidak mengetahui “. (Q.S anNahl ayat 43 dan al-Anbiyaa’ ayat 7).

Allah perintahkan kepada kita untuk bertanya kepada Ulama dalam hal-hal yang tidak kita ketahui. Jawaban para Ulama itu berupa fatwa-fatwa. Kadangkala mereka sertakan dalil. Kadangkala dengan keadaan tertentu, mereka jawab secara ringkas, tanpa menyertakan dalil. Bukan karena mereka tidak tahu, tapi justru tidak disertakannya dalil itu sebagai bentuk kasih sayang kepada kita. Karena jika disebutkan semua dalil, kita yang lemah ilmu itu justru sulit menyimpulkan keterkaitan antar dalil itu. Karena kelemahan kita, kadangkala suatu dalil yang memang menunjukkan suatu hal, kita anggap tidak ada hubungannya sama sekali.

Inilah bedanya jika kita ikuti ucapan orang awam yang katanya dan katanya –seperti disebutkan contoh taklid di atas- dengan kalau kita beramal dengan fatwa Ulama’. Dalam kondisi kita belum sempat atau belum mampu mencari dalilnya secara langsung, fatwa Ulama bisa dijadikan patokan. Fatwa Ulama juga menjadi pedoman dalam memahami dan menerapkan dalil.

Hal yang salah adalah jika seseorang memanfaatkan ketergelinciran seorang Ulama dalam sebagian fatwanya padahal jelas bertentangan dengan dalil shahih –karena belum sampainya hujjah kepada beliau-, dan berbeda dengan penjelasan Ulama Ahlussunnah yang lain yang berhujjah dengan hujjah yang kuat dan benar.

Kadangkala, kita hanya perlu memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar tanpa harus menyertakan dalil.

Karena itu, seorang ayah yang memerintahkan anaknya usia tamyiz 7 tahun untuk sholat, tidaklah mesti menyajikan dalil-dalil yang detail dalam perintahnya. Karena dalam hadits Nabi, kewajiban sang ayah adalah sekedar ‘memerintahkan’, tidak harus menyertakan dalil.

Tentunya perintah ini harus diiringi dengan adab dan teladan yang baik serta pengarahan bagaimana tata cara sholat yang benar. Tentunya hal itu harus dilandasi dgn ilmu, bukannya tanpa ilmu sama sekali.

Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ

“Perintahkan anak-anak kalian untuk sholat pada saat usia mereka 7 tahun, dan pukullah mereka (jika meninggalkan sholat) pada saat usia 10 tahun”. (H.R Abu Dawud)
Sedangkan untuk menyuruh anak berpuasa, bisa melalui latihan berpuasa saat mereka masih belum baligh, dan barulah mereka berkewajiban menunaikan puasa saat sudah mencapai usia baligh (sekitar 15 tahun atau sebelum itu jika telah terpenuhi syarat-syarat baligh).

Menuntut ilmu bukanlah sekedar mengumpulkan riwayat dan hafalan atau tulisan. Bukan itu tujuannya. Menuntut ilmu bertujuan untuk membuahkan amal sholih, meningkatkan taqwa dan perasaan takut kepada Allah. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita.

Menuntut ilmu bertujuan –dengan niat ikhlas karena Allah- untuk menghilangkan kebodohan dalam diri kita sendiri kemudian setelah itu menghilangkan kebodohan (ketidaktahuan) pada saudara kita yang lain melalui ta’lim, dakwah, dan penyampaian (tabligh).

Sebagian orang meremehkan diadakannya majelis ilmu dan ta’lim, dianggap tidak berkontribusi banyak dan kurang manfaatnya bagi kaum muslimin. Padahal melalui majelis ilmu di masjid-masjidlah lahir para Ulama besar, bertaubat serta mendapat hidayah sekian banyak orang, tercetak generasi-generasi yang berakidah Islam dengan benar. Tidak ada yang bisa menghitung demikian banyak dan besar manfaatnya majelis-majelis ilmu itu secara pasti selain Allah.

Melalui majelis ilmu-lah terkumpul dua hal utama: menuntut ilmu dan dakwah (tabligh).

Majelis ilmu adalah Sunnahnya Nabi dan para Sahabatnya. Melalui majelis ilmu itulah kemudian berkembang dakwah Islam.

Abu Bakr as-Shiddiq radhiyallahu anhu segera bersemangat untuk mendakwahkan Islam kepada orang-orang yang dikenalnya. Sehingga melalui beliau masuk Islamlah beberapa Sahabat Nabi seperti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin al-Awwam, dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah.

Hal yang dilakukan oleh Abu Bakr as-Shiddiq radhiyallahu anhu adalah:
Mendakwahkan kepada orang –orang dekat dan yang sudah dikenal.‎
Mendakwahkan tauhid (Laa Ilaaha Illallah)/ akidah sehingga mereka mau masuk Islam.

Hal ini bertentangan dengan yang dilakukan sebagian orang yang meniatkan safar untuk berdakwah ke luar kota, mengajak orang-orang yang tidak dikenal. Dengan alasan, kalau menyampaikan kepada orang yang belum dikenal akan lebih mudah dan tidak malu. Sedangkan orang-orang terdekat dan yang dikenal serta bisa menerima dakwah masih butuh dengan dakwahnya, tapi lebih sering ia tinggalkan untuk tujuan dakwah ke tempat yang lebih jauh dan berpindah-pindah. Selain itu, mereka hanya mengajarkan fadhilah-fadhilah amal saja. Tidak menjelaskan tentang akidah dan fiqh Islam dengan alasan itu banyak khilafiyah di dalamnya dan bisa memecah belah kaum muslimin.

Padahal, yang didakwahkan Abu Bakr as-Shiddiq adalah masalah akidah. Akibat dari dakwah Abu Bakr itulah kemudian Sahabat-Sahabat yang diajaknya itu menjadi masuk Islam dan meninggalkan kesyirikan. Berbeda dengan sekelompok orang-orang tersebut yang justru meninggalkan pembicaraan tentang tauhid Uluhiyyah dan kesyirikan karena khawatir memecah belah kaum muslimin. Belum lagi tentang masalah fiqh, mereka juga tidak membahasnya. Padahal dengan pembahasan fiqh yang didasarkan pada dalil yang shahih seseorang bisa sholat dan beribadah dengan cara yang benar. Mereka hanya mengajak orang untuk sholat, tapi tidak mendetailkan bagaimana tata cara sholat yang benar. Sekali lagi pembahasan itu ditinggalkan/ diabaikan dengan alasan khawatir memecah belah umat.

Tidaklah umat bisa bersatu kecuali dengan cara bersatunya para Sahabat Nabi. Mereka hanya bisa dipersatukan di atas tauhid dan Sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam. Konsekuensi dari menyampaikan tauhid adalah memperingatkan dari bahaya kesyirikan. Konsukensi dari menyampaikan Sunnah Nabi adalah memperingatkan dari bahaya kebid’ahan. Dua sisi yang tidak bisa terpisahkan.

Nasehat Salafush Shalih untuk Kaum Muslimin

Berikut ini beberapa atsar yang berisi nasehat dan keterangan akan pentingnya ilmu dan mempelajarinya.

Pertama: Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Ilmu itu lebih baik daripada harta, ilmu akan menjagamu sedangkan kamulah yang akan menjaga harta. Ilmu itu hakim (yang memutuskan berbagai perkara) sedangkan harta adalah yang dihakimi. Telah mati para penyimpan harta dan tersisalah para pemilik ilmu, walaupun diri-diri mereka telah tiada akan tetapi pribadi-pribadi mereka tetap ada pada hati-hati manusia.” (Adabud Dunyaa wad Diin, karya Al-Imam Abul Hasan Al-Mawardiy, hal.48)
Kedua: Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau apabila melihat para pemuda giat mencari ilmu, beliau berkata: “Selamat datang wahai sumber-sumber hikmah dan para penerang kegelapan. Walaupun kalian telah usang pakaiannya akan tetapi hati-hati kalian tetap baru. Kalian tinggal di rumah-rumah (untuk mempelajari ilmu), kalian adalah kebanggaan setiap kabilah.” (Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr, 1/52)

Yakni bahwasanya sifat mereka secara umum adalah sibuk dengan mencari ilmu dan tinggal di rumah dalam rangka untuk mudzaakarah (mengulang pelajaran yang telah didapatkan) dan mempelajarinya. Semuanya ini menyibukkan mereka dari memperhatikan berbagai macam pakaian dan kemewahan dunia secara umum demikian juga hal-hal yang tidak bermanfaat atau yang kurang manfaatnya dan hanya membuang waktu belaka seperti berputar-putar di jalan-jalan (mengadakan perjalanan yang kurang bermanfaat atau sekedar jalan-jalan tanpa tujuan yang jelas) sebagaimana yang biasa dilakukan oleh selain mereka dari kalangan para pemuda.

Ketiga: Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Pelajarilah oleh kalian ilmu, karena sesungguhnya mempelajarinya karena Allah adalah khasy-yah; mencarinya adalah ibadah; mempelajarinya dan mengulangnya adalah tasbiih; membahasnya adalah jihad; mengajarkannya kepada yang tidak mengetahuinya adalah shadaqah; memberikannya kepada keluarganya adalah pendekatan diri kepada Allah; karena ilmu itu menjelaskan perkara yang halal dan yang haram; menara jalan-jalannya ahlul jannah, dan ilmu itu sebagai penenang di saat was-was dan bimbang; yang menemani di saat berada di tempat yang asing; dan yang akan mengajak bicara di saat sendirian; sebagai dalil yang akan menunjuki kita di saat senang dengan bersyukur dan di saat tertimpa musibah dengan sabar; senjata untuk melawan musuh; dan yang akan menghiasainya di tengah-tengah sahabat-sahabatnya.

Dengan ilmu tersebut Allah akan mengangkat kaum-kaum lalu menjadikan mereka berada dalam kebaikan, sehingga mereka menjadi panutan dan para imam; jejak-jejak mereka akan diikuti; perbuatan-perbuatan mereka akan dicontoh serta semua pendapat akan kembali kepada pendapat mereka. Para malaikat merasa senang berada di perkumpulan mereka; dan akan mengusap mereka dengan sayap-sayapnya; setiap makhluk yang basah dan yang kering akan memintakan ampun untuk mereka, demikian juga ikan yang di laut sampai ikan yang terkecilnya, dan binatang buas yang di daratan dan binatang ternaknya (semuanya memintakan ampun kepada Allah untuk mereka). Karena sesungguhnya ilmu adalah yang akan menghidupkan hati dari kebodohan dan yang akan menerangi pandangan dari berbagai kegelapan. Dengan ilmu seorang hamba akan mencapai kedudukan-kedudukan yang terbaik dan derajat-derajat yang tinggi baik di dunia maupun di akhirat.

Memikirkan ilmu menyamai puasa; mempelajarinya menyamai shalat malam; dengan ilmu akan tersambunglah tali shilaturrahmi, dan akan diketahui perkara yang halal sehingga terhindar dari perkara yang haram. Ilmu adalah pemimpinnya amal sedangkan amal itu adalah pengikutnya, ilmu itu hanya akan diberikan kepada orang-orang yang berbahagia; sedangkan orang-orang yang celaka akan terhalang darinya.” (Ibid. 1/55)

Keempat: Dari ‘Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:“Sesungguhnya seseorang keluar dari rumahnya dalam keadaan dia mempunyai dosa-dosa seperti gunung Tihamah, akan tetapi apabila dia mendengar ilmu (yaitu mempelajari ilmu dengan menghadiri majelis ilmu), kemudian dia menjadi takut, kembali kepada Rabbnya dan bertaubat, maka dia pulang ke rumahnya dalam keadaan tidak mempunyai dosa. Oleh karena itu, janganlah kalian meninggalkan majelisnya para ulama.” (Miftaah Daaris Sa’aadah, karya Al-Imam Ibnul Qayyim, 1/77)

Dan beliau juga berkata: “Wahai manusia, wajib atas kalian untuk berilmu (mempelajari dan mengamalkannya), karena sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai selendang yang Dia cintai. Maka barangsiapa yang mempelajari satu bab dari ilmu, Allah akan selendangkan dia dengan selendang-Nya. Apabila dia terjatuh pada suatu dosa hendaklah meminta ampun kepada-Nya, supaya Dia tidak melepaskan selendang-Nya tersebut sampai dia meninggal.” (Ibid. 1/121)

Kelima: Berkata Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu: “Sungguh aku mempelajari satu masalah dari ilmu lebih aku cintai daripada shalat malam.” (Ibid. 1/122)

Bukan berarti kita meninggalkan shalat malam, akan tetapi ini menunjukkan bahwa mempelajari ilmu itu sangat besar keutamaannya dan manfaatnya bagi ummat.

Keenam: Dari Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullaah, beliau berkata: “Sungguh aku mempelajari satu bab dari ilmu lalu aku mengajarkannya kepada seorang muslim di jalan Allah (yaitu mempelajari dan mengajarkannya karena Allah semata) lebih aku cintai daripada aku mempunyai dunia seluruhnya.” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab, karya Al-Imam An-Nawawiy, 1/21)

Ketujuh: Dari Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullaah, beliau berkata: “Tidak ada sesuatupun yang lebih utama setelah kewajiban-kewajiban daripada menuntut ilmu.” (Ibid. 1/21)
Adapun bait-bait sya’ir yang menjelaskan tentang permasalahan ilmu dan kedudukannya itu sangat banyak dan tidak bisa dihitung, dan di sini hanya akan disebutkan dua di antaranya:

“Tidak ada kebanggaan kecuali bagi ahlul ilmi (orang-orang yang berilmu) karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk bagi orang yang meminta dalil-dalilnya dan derajat setiap orang itu sesuai dengan kebaikannya (dalam masalah ilmu) sedangkan orang-orang yang bodoh adalah musuh bagi ahlul ilmi.”
Dan sya’irnya Al-Imam Asy-Syafi’i:

تَعَلَّمْ فَلَيْسَ الْمَرْءُ يُوْلَدُ عَالِمًا وَلَيْسَ أَخُوْ عِلْمٍ كَمَنْ هُوَ جَاهِلُ
وَإِنَّ كَبِيْرَ الْقَوْمِ لاَ عِلْمَ عِنْدَهُ صَغِيْرٌ إِذَا الْتَفَّتْ عَلَيْهِ الْجَحَافِلُ
وَإِنَّ صَغِيْرَ الْقَوْمِ إِنْ كَانَ عَالِمًا كَبِيْرٌ إِذَا رُدَّتْ إِلَيْهِ الْمَحَافِلُ

“Belajarlah karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dalam keadaan berilmu, dan tidaklah orang yang berilmu seperti orang yang bodoh. Sesungguhnya suatu kaum yang besar tetapi tidak memiliki ilmu maka sebenarnya kaum itu adalah kecil apabila terluput darinya keagungan (ilmu). Dan sesungguhnya kaum yang kecil jika memiliki ilmu maka pada hakikatnya mereka adalah kaum yang besar apabila perkumpulan mereka selalu dengan ilmu.”

Keutamaan Ilmu Dan Ahli Ilmu

1. Ampunan Dosa Karena Memandang Ulama

وقال صلى الله عليه وسلم: من نظر إلى وجه العالم نظرة ففرح بها خلق الله تعالى من تلك النظرة ملكا يستغفر له إلى يوم القيامة
 ‎
Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa memandang wajah orang ‘alim dengan pandangan yang menyenangkan maka Allah akan menciptakan malaikat dari pandangan tersebut yang akan memohonkan ampunan kepada orang tersebut di hari kiamat.”
2. Memuliakan Ulama, Surga Imbalannya

وقال النبي صلى الله عليه وسلم: من أكرم عالما فقد أكرمني، ومن أكرمني فقد أكرم الله، ومن أكرم الله فمأواه الجنة
Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa memuliakan orang ‘alim, berarti ia telah memuliakan aku. Barangsiapa memuliakan aku, berarti memuliakan Allah. Barang siapa memuliakan Allah, maka tempat kembalinya adalah surge.”
3. Keutamaan Tidurnya Ulama

وقال النبي صلى الله عليه وسلم: نَوْمُ العَالِمِ أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ الجَاهِلِ
Nabi SAW bersabda: “Tidurnya orang ‘alim adalah lebih utama dari pada ibadahnya orang bodoh.”
4. Belajar Satu Bab Lebih Utama

وقال النبي صلى الله عليه وسلم: مَنْ تَعَلَّمَ بَابًا مِنَ العِلْمِ، يَعْمَلُ بهِ أوْ لَمْ يَعْمَلْ بهِ كَانَ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ يُصَلِّي أَلْفَ رَكْعَةٍ تَطَوُّعًا
 ‎
Nabi SAW bersabda: “Barang siapa belajar ilmu satu bab, diamalkan atau tidak, adalah lebih utama dari pada shalat sunnat 1000 (seribu) rekaat.”
5. Keutamaan Berkunjung Kepada Orang ‘Alim

وقال النبي صلى الله عليه وسلم: مَنْ زَارَ عَالِمًا فَكَأَنَمَّا زَارَنِي، وَمَنْ صَافَحَ عَالِمًا فَكَأَنَّما صَافَحَنِي، وَمَنْ جَالَسَ عَالِمًا فَكَأَنَّما جَالَسَنِي في الدُّنْيَا، وَمَنْ جَالَسَنِي في الدُّنْيَا أَجْلَسْتُهُ مَعِيْ يَوْمَ القِيَامَةِ
 ‎
Nabi SAW bersabda: “Barang siapa mengunjungi orang alim, maka seolah-olah ia mengunjungiku. Barang siapa berjabat tangan dengan orang alim, maka seolah-olah ia berjabat tangan denganku. Barang siapa duduk berdampingan dengan orang alim, maka seolah-olah ia duduk berdampingan dengan denganku di dunia. Barang siapa duduk berdampingan denganku di dunia, maka ia akan duduk berdampingan denganku di hari kiamat.”


BELAJARLAH sebelum BERAMAL agar TIADA TERSESAT JALAN

وأما السادس فهو فوقانه على سائر العلوم لقوله صلى الله عليه وسلم من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين ولقوله صلى الله عليه وسلم إذا مررتم برياض الجنة فارتعوا قالوا وما رياض الجنة يا رسول الله قال حلق الذكر قال عطاء حلق الذكر هي مجالس الحلال والحرام كيف تشتري وكيف تصلي وكيف تزكي وكيف تحج وكيف تنكح وكيف تطلق وما أشبه ذلك والمراد معرفة كيفية الصلاة والزكاة والحج وذلك يكون بمعرفة أركانها وشروطها ومفسداتها إذ العبارة بغير معرفة ذلك غير صحيحة كما قال ابن رسلان وكل من بغير علم يعمل أعماله مردودة لا تقبل وعن ابن عمر رضي الله عنهما مجلس فقه خير من عبادة ستين سنة لقوله صلى الله عليه وسلم يسير الفقه خير من كثير العبادة

Yang ke Enam; Ilmu Fiqh kedudukannya melebihi ilmu-ilmu lainnya berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam “Barangsiapa oleh Allah dikehendaki menjadi baik, Allah fahamkan terhadap agama”. (HR. Bukhori-Muslim dari Mu’awiyah ra.)

Dan sabda Nabi “Apabila kamu melewati taman-taman syurga, minumlah hingga puas. Para sahabat bertanya,”Ya Rasulullah, apa yang dimaksud taman-taman surga itu?” Nabi menjawab,”majlis-majlis ta’lim.” (HR. Al-Thabrani)

Imam Athaa’ berkata “Majlis-majlis ta’lim” ialah tempat perkumpulan membahas halal, haram, bagaimana cara jualbeli, cara shalat, cara zakat, cara haji, nikah, thalak dsb.
Artinya perkumpulan untuk mengetahuitatacara shalat, zakat, haji dan yang demikian hanya dapat diketahui dengan mengetahui rukun-rukun, syarat-syarat dan yang membatalkan setiap ibadah karena tanpa mengetahui yang semacam ini tidak dapat dikatakan benar seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Ruslan :
”Dan setiap amal yang tanpa didasari ilmu # Amalan-amalannya tertolak tidak diterima”

Dari Ibn Umar ra disebutkan “Majelis ilmu lebih baik dari ibadah 60 tahun lamanya.” Berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam :

“Sedikit paham ilmu fiqih lebih baik dari banyak ibadah” (HR at-Thobroony)
I’aanah at-Thoolibiin I/14

Imam ‘Abdullah al-Haddad rh Menyebut di dalam kitabnya Risaalah al-Mu`aawanah:

واعلم أن من عبد الله بغير علم كان الضرر العائد عليه بسبب عبادته أكثر من النفع الحاصل له بها. وكم من عابد قد أتعب نفسه في العبادة و هو مع ذلك مصر على معصية يرى انها طاعة او انها غير معصية

Dan ketahuilah bahwasanya seseorang yang beribadat kepada Allah tanpa ilmu, maka kemudharatan yang kembali kepadanya sebab ibadatnya itu lebih banyak daripada manfaat yang terhasil baginya. Berapa ramai ahli ibadat yang memenatkan dirinya dalam ibadat sedangkan dia sebenarnya atas maksiat padahal dia beranggapan apa yang dilakukannya adalah ketaatan atau bukannya maksiat…..”

Sebagian Ahli Hikmah berkata :

العلم بغير عمل ذنب كبير- والعمل بغير علم ضلال شديد
والعمل مع العلم نور على نور – فطوبى للذي على هذين

Ilmu tanpa amal, dosa besar, manakala ‘amal tanpa ilmu, kesesatan yang amat sangat.
Dan ‘amal yang disertai ilmu itu adalah cahaya diatas cahaya. Maka beruntunglah bagi mereka yang memadukan keduanya (ilmu dan ‘amal)”

Ilmu adalah Pohon, dan Amal adalah Buahnya

Para pembaca yang budiman, tahukah Anda bahwa ilmu bukanlah ibadah yang independen? Ilmu hanya disebut ibadah dan terpuji apabila ilmu tersebut membuahkan amalan. Jika ilmu tidak membuahkan amal maka jadilah tercela dan akan menyerang pemiliknya. Hal ini dijelaskan dengan tegas oleh Al-Imam Asy-Syathibi dalam kitabnya yang luar biasa Al-Muwafaqat. Beliau berkata:

أَنَّ كُلَّ عِلْمٍ لا يُفيد عَمَلاً؛ فَلَيْسَ فِي الشَّرعِ مَا يَدُلُّ عَلَى استِحسَانِه

“Semua ilmu yang tidak membuahkan amal maka tidak dalam syariat satu dalil pun yang menunjukkan akan baiknya ilmu tersebut.” (Al-Muwafaqat 1/74)

Oleh karena itu, semua dalil yang berkaitan dengan keutamaan ilmu dan penuntut ilmu semuanya harus dibawakan kepada ilmu yang disertai dengan amal.

Firman Allah:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ (٩)

“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. Az-Zumar: 9)

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (١٨)

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu), tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Q.S. Ali Imran: 18)

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Q.S. Al-Mujadalah: 11)

Demikian juga semisal hadits Nabi saw.:

من يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan membuat dia faqih (paham) tentang ilmu agama.

Maksudnya adalah orang yang dikendaki kebaikan oleh Allah adalah orang yang diberi ilmu dan mengamalkan ilmunya. Adapun orang yang berilmu dan tidak mengamalkan ilmu maka tercela, karena jelas ilmunya akan menjadi bumerang baginya.

Asy-Syathibi rahimahullah membawakan banyak dalil yang menunjukkan akan hal itu. Beliau berkata: “Sesungguhnya ruh ilmu adalah amal. Jika ada ilmu tanpa amal maka ilmu tersebut kosong dan tidak bermanfaat. Allah telah berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah adalah para ulama. (Q.S. Fathir: 28)

Dan Allah juga berfirman:

وَإِنَّهُ لَذُو عِلْمٍ لِمَا عَلَّمْنَاهُ

Dan Sesungguhnya Dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. (Q.S. Yusuf: 68)

Qatadah berkata: “Maksudnya adalah لَذُو عَمَلٍ بِمَا عَلَّمْنَا  dia mengamalkan ilmu yang Kami ajarkan kepadanya…” (Al-Muwafaqat 1/75).

Dan yang paling menunjukkan akan hal ini adalah hadits Nabi saw:

لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا الْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يُسأَلَ عَنْ خَمْسِ خِصَالٍ”،

“Tidak akan bergerak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ditanya tentang lima perkara.” Di antara lima perkara tersebut yang disebutkan oleh Nabi saw.: وعَنْ عِلْمِهِ, مَاذَا عَمِلَ فِيهِ؟ “ Dia akan ditanyakan tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan dari ilmunya?”

Pernah ada seseorang yang bertanya (masalah agama) kepada Abu Ad-Darda’, maka Abu Ad-Darda’ berkata kepadanya: “Apakah semua masalah agama yang kau tanyakan kau amalkan?” Orang itu menjawab: “Tidak.” Maka Abu Ad-Darda’ menimpalinya: “Apa yang engkau lakukan dengan menambah hujjah yang akan menjadi bumerang bagimu?” (Al-Muwaafaqaat 1/82 sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil-Bar dalam Al-Jami’ no 1232).

Oleh karena itu, sungguh indah kesimpulan yang disampaikan oleh Asy-Syathibi dalam perkataannya: “Dan dalil akan hal ini (bahwasanya ilmu hanyalah wasilah untuk amal dan bukan tujuan) terlalu banyak. Semuanya memperkuat bahwa ilmu merupakan sebuah wasilah (sarana) dan bukan tujuan langsung jika ditinjau dari kacamata syariat. Akan tetapi, ilmu hanyalah wasilah untuk beramal. Maka semua dalil yang menunjukkan akan keutamaan ilmu hanyalah berlaku bagi ilmu yang disertai dengan amalan. Dan kesimpulannya bahwasanya seluruh ilmu syar’i tidaklah dituntut (dalam syariat) kecuali dari sisi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yaitu amal.” (Al-Muwafaqat 1/83-85)

Sungguh indah wasiat Al-Khathib al-Baghdadi kepada para penuntut ilmu:

إِنِّي مُوصِيكَ يَا طَالِبَ الْعِلْمِ بِإِخْلَاصِ النِّيَّةِ فِي طَلَبِهِ، وَإِجْهَادِ النَّفْسِ عَلَى الْعَمَلِ بِمُوجَبِهِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ شَجَرَةٌ وَالْعَمَلَ ثَمَرَةٌ، وَلَيْسَ يُعَدُّ عَالِمًا مَنْ لَمْ يَكُنْ بِعِلْمِهِ عَامِلًا، ... وَمَا شَيْءٌ أَضْعَفُ مِنْ عَالِمٍ تَرَكَ النَّاسُ عِلْمَهُ لِفَسَادِ طَرِيقَتِهِ ، وَجَاهِلٍ أَخَذَ النَّاسُ بِجَهْلِهِ لِنَظَرِهِمْ إِلَى عِبَادَتِهِ ...

وَالْعِلْمُ يُرَادُ لِلْعَمَلِ كَمَا الْعَمَلُ يُرَادُ لِلنَّجَاةِ ، فَإِذَا كَانَ الْعَمَلُ قَاصِرًا عَنِ الْعِلْمِ، كَانَ الْعِلْمُ كَلًّا عَلَى الْعَالِمِ ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ عِلْمٍ عَادَ كَلًّا، وَأَوْرَثَ ذُلًّا، وَصَارَ فِي رَقَبَةِ صَاحِبِهِ غَلًّا ، قَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: الْعِلْمُ خَادِمُ الْعَمَلِ، وَالْعَمَلُ غَايَةُ الْعِلْمِ

Aku memberi wasiat kepadamu wahai penuntut ilmu untuk mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu dan berusaha keras untuk mengamalkan konsekuensi ilmu. Sesungguhnya ilmu adalah pohon dan amal adalah buahnya. Seseorang tidak akan dianggap alim bila tidak mengamalkan ilmunya. Tidak ada yang lebih lemah dari kondisi seorang alim yang ditinggalkan ilmunya oleh masyarakat karena jalannya (yang kosong dari amal) dan seorang yang jahil yang diikuti kejahilannya oleh masyarakat karena melihat ibadahnya.”

Tujuan ilmu adalah amal, sebagaimana tujuan amal adalah keselamatan. Jika ilmu kosong dari amal maka ilmu itu akan menjadi beban (bumerang) bagi pemiliknya. Kita berlindung kepada Allah dari ilmu yang menjadi beban (bumerang) dan mendatangkan kehinaan, dan akhirnya menjadi belenggu di leher pemiliknya.

Sebagian ahli bijak berkata, “Ilmu adalah pembantu bagi amal, dan amal adalah puncak dari ilmu.” (Iqtidhaul Ilmi Al-’Amal 14-15)
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar