Minggu, 03 Januari 2016

Penjelasan Tentang Proses Penciptaan Manusia

Diantara sekian banyak penemuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian canggih, masih ada satu permasalahan yang hingga kini belum mampu dijawab dan dijabarkan oleh manusia secara eksak dan ilmiah. Masalah itu ialah masalah tentang asal usul kejadian manusia. Banyak ahli ilmu pengetahuan mendukung teori evolusi yang mengatakan bahwa makhluk hidup (manusia) berasal dari makhluk yang mempunyai bentuk maupun kemampuan yang sederhana kemudian mengalami evolusi dan kemudian menjadi manusia seperti sekarang ini. Hal ini diperkuat dengan adanya penemuan-penemuan ilmiah berupa fosil seperti jenis Pitheccanthropus dan ‎Meghanthropus.

Ketika berbicara tentang manusia, Al-Qur’an menggunakan tiga (3) istilah pokok. 
Pertama, menggunakan kata yang terdiri atas huruf alif, nun, dan sin, seperti kata insan, ins, naas, dan unaas. 
Kedua, menggunakan kata basyar. 
Ketiga, menggunakan kata Bani Adam dan dzurriyat Adam.

Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Al-Qur’an menggunakan kata basyar sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna untuk menunjuk manusia dari sudut lahirnya serta persamaannya dengan manusia lainnya. Dengan demikian, kata basyar dalam Al-Qur’an menunjuk pada dimensi material manusia yang suka makan, minum, tidur, dan jalan-jalan. Dari makna ini lantas lahir makna-makna lain yang lebih memperkaya definisi manusia. Dari akar kata basyar lahir makna bahwa proses penciptaan manusia terjadi secara bertahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.

Allah swt. berfirman:

َ وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak (memiliki anak). (Q.S. ar-Rum [30]: 20)

Selain itu, kata basyar juga dikaitkan dengan kedewasaan manusia yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Akibat kemampuan mengemban tanggung jawab inilah, maka pantas tugas kekhalifahan dibebankan kepada manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah berikut ini.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ . فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Q.S. al-Hijr [15]: 28-29):

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ .

(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 30)

Sementara itu, kata insan terambil dari kata ins yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Musa Asy’arie menambahkan bahwa kata insan berasal dari tiga kata: anasa yang berarti melihat, meminta izin, dan mengetahui; nasiya yang berarti lupa; dan al-uns yang berarti jinak.

Dalam Al-Qur’an, kata insaan disebut sebanyak 65 kali. Kata insaan digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Bahkan, lebih jauh Bintusy Syathi’ menegaskan bahwa makna kata insaan inilah yang membawa manusia sampai pada derajat yang membuatnya pantas menjadi khalifah di muka bumi, menerima beban takliif dan amanat kekuasaan.

Dua kata ini, yakni basyar dan insaan, sudah cukup menggambarkan hakikat manusia dalam Al-Qur’an. Dari dua kata ini, kami menyimpulkan bahwa definisi manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna, yang diciptakan secara bertahap, yang terdiri atas dimensi jiwa dan raga, jasmani dan rohani, sehingga memungkinkannya untuk menjadi wakil Allah di muka bumi (khaliifah Allah fii al-ardl).

Asal-Usul Penciptaan Manusia

Al-Qur’an telah memberikan informasi kepada kita mengenai proses penciptaan manusia melalui beberapa fase: dari tanah menjadi lumpur, menjadi tanah liat yang dibentuk, menjadi tanah kering, kemudian Allah swt. meniupkan ruh kepadanya, lalu terciptalah Adam a.s. Hal ini diisyaratkan Allah dalam Surah Shaad [38] ayat 71-72.

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ . فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ .

(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka, apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu menyungkur dengan bersujud kepadanya.” (Q.S. Shaad [38]: 71-72.)

Perhatikan juga firman Allah dalam Surah al-H{ijr [15] ayat 28-29.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ . فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ .

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Q.S. al-Hijr [15]: 28-29)

Dalam Al-Qur’an, kata ruh (ar-ruh) mempunyai beberapa arti. Pengertian ruh yang disebutkan dalam ayat-ayat yang menjelaskan penciptaan Adam a.s. adalah ruh dari Allah swt. yang menjadikan manusia memiliki kecenderungan pada sifat-sifat luhur dan mengikuti kebenaran. Hal ini yang kemudian menjadikan manusia lebih unggul dibanding seluruh makhluk yang lain. 

Karakteristik ruh yang berasal dari Allah ini menjadikan manusia cenderung untuk mengenal Allah swt. dan beribadah kepada-Nya, memperoleh ilmu pengetahuan dan menggunakannya untuk kemakmuran bumi, serta berpegang pada nilai-nilai luhur dalam perilakunya, baik secara individual maupun sosial, yang dapat mengangkat derajatnya ke taraf kesempurnaan insaniah yang tinggi. Oleh sebab itu, manusia layak menjadi khalifah Allah swt.

Ruh dan materi yang terdapat pada manusia itu tercipta dalam satu kesatuan yang saling melengkapi dan harmonis. Dari perpaduan keduanya ini terbentuklah diri manusia dan kepribadiannya. Dengan memperhatikan esensi manusia dengan sempurna dari perpaduan dua unsur tersebut, ruh dan materi, kita akan dapat memahami kepribadian manusia secara akurat.

Kemudian, dalam ayat lain juga disebutkan mengenai permulaan penciptaan manusia yang berasal dari tanah.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ .

Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan, kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (Q.S. al-Hajj [22]: 5)

ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ . ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آَخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ .

Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka, Mahasuci-lah Allah, Pencipta yang paling baik. (Q.S. al-Mu’minuun [23]: 13-14)

Itulah di antara sekian banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang asal-usul penciptaan manusia. Penciptaan manusia yang bermula dari tanah ini tidak berarti bahwa manusia dicetak dengan memakai bahan tanah seperti orang membuat patung dari tanah. Akan tetapi, penciptaan manusia dari tanah tersebut bermakna simbolik, yaitu saripati yang merupakan faktor utama dalam pembentukan jasad manusia. Penegasan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dari tanah ini merujuk pada pengertian jasadnya. Oleh karena itu, Al-Qur’an menyatakan bahwa kelak ketika ajal kematian manusia telah sampai, maka jasad itu akan kembali pula ke asalnya, yaitu tanah.

Secara komprehensif,  proses penciptaan manusia terbagi ke dalam beberapa fase kehidupan sebagai berikut. 

Pertama, fase awal kehidupan manusia yang berupa tanah. Manusia berasal dari tanah disebabkan oleh dua hal: (1) manusia adalah keturunan Nabi Adam a.s. yang diciptakan dari tanah; (2) sperma atau ovum yang menjadi cikal bakal manusia bersumber dari saripati makanan yang berasal dari tanah. 
Kedua, saripati makanan yang berasal dari tanah tersebut menjadi sperma atau ovum, yang disebut oleh Al-Qur’an dengan istilah nutfah. 
Ketiga, kemudian sperma dan ovum tersebut menyatu dan menetap di rahim sehingga berubah menjadi embrio (‘alaqah). 
Keempat, proses selanjutnya, embrio tersebut berubah menjadi segumpal daging (mudlghah). 
Kelima, proses ini merupakan kelanjutan dari mudlghah. Dalam hal ini, bentuk embrio sudah mengeras dan menguat sampai berubah menjadi tulang belulang (‘idzaam). 
Keenam, proses penciptaan manusia selanjutnya adalah menjadi daging (lahmah). 
Ketujuh, proses peniupan ruh. Pada fase ini, embrio sudah berubah menjadi bayi dan mulai bergerak. Kedelapan, setelah sempurna kejadiannya, akhirnya lahirlah bayi tersebut di atas dunia.

Sabda Nabi Sholallohu 'Alaihi Wasallam

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا [رواه البخاري ومسلم]

Dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan kepada kami, dan beliau adalah ash-Shaadiqul Mashduuq (orang yang benar lagi dibenarkan perkataannya) beliau bersabda: “Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah(bersatunya sperma dengan ovum), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging).

Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu rizkinya, ajalnya, amalnya dan celaka atau bahagianya.

Maka demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia, sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli Surga sehingga jarak antara dirinya dengan Surga hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli Neraka, maka dengan itu ia memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli Neraka sehingga jarak antara dirinya dengan Neraka hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli Surga, maka dengan itu ia memasukinya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini mengandung beberapa pelajaran.

1. Tahapan Penciptaan Manusia

Pertama: Allah menciptakan manusia dari setetes air mani yang hina yang menyatu dengan ovum (fase nuthfah).

٦. خُلِقَ مِن مَّاء دَافِقٍ

 ٧. يَخْرُجُ مِن بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ

“Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi (tulang punggung laki-laki) dan tulang dada (perempuan).” (QS. Ath-Thaariq: 6-7)

Kedua: Kemudian setelah lewat 40 hari, dari air mani tersebut Allah menjadikannya segumpal darah yang disebut ‘alaqah.

 ٢. خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ

“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (QS. Al-‘Alaq: 2)

Ketiga: Kemudian setelah lewat 40 hari–atau 80 hari dari fase nuthfah–fase‘alaqah beralih ke fase mudhghah, yaitu segumpal daging.

ثُمَّ مِن مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ

“… Kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna …” (QS. Al-Hajj: 5)

Keempat: Kemudian setelah lewat 40 hari–atau 120 hari dari fase nuthfah–dari segumpal daging (mudhghah) tersebut Allah menciptakan daging yang bertulang, dan Dia memerintahkan Malaikat untuk meniupkan ruh padanya serta mencatat empat kalimat, yaitu rizki, ajal, amal dan sengsara atau bahagia.

١٤. ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَاماً فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْماً ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقاً آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al-Mu’minuun: 14)

2. Peniupan Ruh

Para ulama sepakat bahwa ruh ditiupkan pada janin ketika janin berusia seratus dua puluh hari, terhitung sejak bertemunya sel sperma dengan ovum. Ruh adalah sesuatu yang membuat manusia hidup dan ini sepenuhnya urusan Allah.

 ٨٥. وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً

“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah: ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (QS. Al-Israa’: 85)

3. Wajibnya Beriman Kepada Qadha dan Qadar

Pada hakikatnya, Allah telah mentakdirkan segala sesuatu sejak 50.000 tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

“Allah telah mencatat seluruh taqdir makhluk 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim [2653], At-Tirmidzi [2156], dan Ahmad [II/169] dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu)

a. Rizki

Allah Yang Maha Pemurah telah menetapkan rizki bagi seluruh makhuk-Nya, dan setiap makhluk tidak akan mati apabila rizkinya belum sempurna.

 ٦. وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”(QS. Huud: 6)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَوْفِي رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ خُذُوْا مَا حَلَّ وَدَعُوْا مَا حَرُمَ.

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan sederhanalah dalam mencari nafkah. Karena sesungguhnya seseorang tidak akan mati hingga sempurna rizkinya. Meskipun (rizki itu) bergerak lamban. Maka, bertakwalah kepada Allah dan sederhanalah dalam mencari nafkah, ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram.”

(HR. Ibnu Majah [2144], Ibnu Hibban [1084, 1085–Mawaarid], Al-Hakim [II/4] dan Al-Baihaqi [V/264] dari Sahabat Jabir Radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi‎)

b. Ajal

١٤٥. وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلاَّ بِإِذْنِ الله كِتَاباً مُّؤَجَّلاً وَمَن يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَن يُرِدْ ثَوَابَ الآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ

“Dan sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali-‘Imran: 145)

c. Amal

Allah telah mencatat amal-amal setiap makhluk-Nya, baik dan buruknya. Akan tetapi setiap makhluk Allah pasti akan beramal, amal baik ataupun amal buruk. Dan Allah dan Rasul-Nya memerintahkan para hamba-Nya untuk beramal baik.

d. Celaka atau Bahagia

Yang dimaksud “celaka” dalam hadits ini adalah orang yang celaka dengan dimasukkannya ke Neraka, dan yang dimaksud “bahagia” adalah orang yang selamat dengan dimasukkan ke dalam Surga.

Apabila ada yang bertanya: “Lalu untuk apalagi beramal jika semuanya telah tercatat (ditakdirkan)?” Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal ini ketika menjawab pertanyaan seorang Sahabat. Beliau bersabda,

اِعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ.

“Beramallah kalian karena semuanya telah dimudahkan oleh Allah menurut apa yang Allah ciptakan baginya. Adapun orang yang termasuk golongan orang-orang yang berbahagia, maka ia dimudahkan untuk beramal dengan amalan orang-orang yang berbahagia. Dan adapun orang yang termasuk golongan orang-orang yang celaka, maka ia dimudahkan untuk beramal dengan amalan orang-orang yang celaka.”

Kemudian beliau membacakan ayat,

 ٥. فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى

 ٦. وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى

 ٧. فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى

 ٨. وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى

 ٩. وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى

 ١٠. فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (QS. Al-Lail: 5-10)

(HR. Al-Bukhari [4949] dan Muslim [2647])

4. Yang Menjadi Penentu adalah Amal Seseorang di Akhir Kehidupannya

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dua keadaan manusia di akhir hayatnya.

Pertama, ada seseorang yang beramal dengan amalan ahli Surga akan tetapi di akhir hayatnya justru ia beramal dengan amalan ahli Neraka yang dengan itu ia masuk Neraka. Hal ini ada beberapa kondisi:

Dalam pandangan manusia bahwa kaum munafik pun beramal dengan amalan ahli Surga, seperti shalat, zakat, shadaqah dan lainnya, akan tetapi hatinya benci terhadap Islam, maka di akhir hayatnya dia akan beramal dengan amalan ahli Neraka yang dengan itu ia masuk Neraka.
Orang yang beramal dengan amalan ahli Surga, akan tetapi ia riya’ (ingin dilihat dan dipuji manusia), dan ia terus-menerus dalam keadaan demikian, oleh karenanya Allah hapuskan ganjaran amalannya. Allahu Musta’aan
Orang yang pada masa hidupnya beramal dengan amalan ahli Surga, akan tetapi di akhir hayatnya ia digoda syaithan dan terkena fitnah syahwat atau syubhat sehingga ia beramal dengan amalan ahli Neraka yang dengan itu ia masuk Neraka. Allahuma inna nas-alukal ‘afwa wal-‘afiah
Orang yang beramal dengan amalan ahli Surga, akan tetapi di akhir hayatnya ia tidak sanggup menghadapi cobaan dan ujian.
Orang yang beramal dengan amalan ahli Surga, akan tetapi di akhir hayatnya ia mengucapkan kata-kata kufur yang dengan itu ia masuk Neraka. Allahu Musta’aan

Kedua, yaitu orang yang beramal dengan amalan ahli Neraka akan tetapi di akhir hayatnya ia beramal dengan amalan ahli Surga–yaitu bertaubat kepada Allah dengan taubat yang jujur–yang dengan itu ia masuk Surga.

Ketahuilah–semoga Allah merahmati kita semua, hadits ini menunjukkan bahwa amal tergantung pada akhirnya. Oleh karena itu, kita tidak boleh tertipu dengan amal-amal yang telah kita kerjakan. Kita tidak boleh berkeyakinan bahwa banyaknya amal yang telah dilakukan menjamin kita masuk Surga. Akan tetapi yang harus dilakukan adalah senantiasa memohon kepada Allah Ta’ala agar memasukkan kita ke dalam Surga dan dijauhkan dari api Neraka serta memohon kepada Allah Ta’ala agar amal-amal kita diterima oleh-Nya. Hendaknya seorang Muslim berada dalam dua keadaan, yaitu khauf (takut) dan raja’ (harap).

Takhtimah

Sebagai kesimpulan akhir dari penjelasan yang relatif singkat di atas, dapat disederhanakan menjadi: Bahwa hadits tentang embriologi –sebagaimana sudah dijelaskna, selain dari sisi sanad tidak ada yang bermasalah, dari sisi matannya pun bisa dibuktikan secara ilmiah dan menurut penelitian mutakhir. Ini pula mengindikasikan bahwa sunnah bisa dibuktikan kebenarannya melalui sains. Tidak ada pertentangan.
            
Terdapat beberapa ayat dalam Al-Quran yang berkaitan erat dengan intisari hadits tersebut yakni:

 1.  Pengorbanan seorang Ibu yang mengandung:

 وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

 “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Q.S. Luqman: 14)

 2.   Teori reproduksi manusia:

 يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي الأرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى الأرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (Q.S. Al-Hajj: 5)

 ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (Q.S. Al-Mu’minun: 14)

3.   Tentang Takdir :

 مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Q.S. Al-Hadiid: 22)

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. At-Taghabuun: 11)

4.     Tentang Husnul khotimah :

 وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (Q.S. Al-Baqarah: 132)

Demikian, kenyataan ini –sekali lagi sebagai salah satu bukti kebenaran risalah Rasulullah Saw. Dan, tidak ada persoalan meskipun redaksi yang termuat di dalam al-Quran lebih lengkap daripada yang terkandung dalam sunnah yang shahih. Bagaimana pun juga satu sama lain memang salah satu fungsinya sebagai penjelas.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar