Rabu, 03 Februari 2016

Penjelasan Tentang Air Mani

Mani atau cairan semen adalah cairan yang keluar ketika mimpi basah atau berhubungan intim. Ciri-ciri mani adalah warnanya keruh, memiliki bau yang khas, keluar dengan syahwat, keluar dengan memancar dan membuat lemas. Bedanya madzi dan mani, madzi adalah cairan tipis dan putih, keluar tanpa syahwat, tanpa memancar, tidak membuat lemas dan keluar ketika muqoddimah hubungan intim. Madzi itu najis, sedangkan mengenai status mani apakah najis ataukah suci terdapat perselisihan di kalangan ulama.
 At-Taqrirot as-Sadidah, hal. 115-116‎

الفرق بين المني والمذي والودي
المني : ماء أبيض يتدفق حال خروجه ويخرج بشهوة ويعقب خروجه فتور
المذي : ماء أبيض رقيق لزج يخرج عند ثوران الشهوة بلا شهوة كاملة
الوذي : ماء أبيض ثخين كدر يخرج بعد البول أو عند حمل شيئ ثقيل
الحكم عند خروج أحدها
المني : يوجب الغسل ولا ينقض الوضوء وهو طاهر
المذي والودي : حكمهما كالبول : فينقضان الوضوء وهما نجسان
علامات المني: يجب الغسل إذا وجد إحدى هذه العلامات ولا يشترط كلها. والمرأة مثل الرجل في ذلك. وهي ثلاثة
التلذذ بخروجه أي يخرج بشهوة
التدفق أي يخرج على دفعات
الرائحة : إذا كان رطبا كرائحة العجين أو الطلع. وإذا كان جافا كرائحة بياض البيض
فليس من علامات المني كونه أبيضا أو يعقب خروجه فتور ولكن هذا على سبيل الغالب



Perbedaan sifat antara mani, madzi, dan wadi adalah:

1. Mani : Cairan yang keluar dari alat kelamin dengan ciri-ciri; berwarna putih, memancar (muncrat) saat keluar, keluarnya dengan syahwat, dan akan terasa lemas setelah keluar.

2. Madzi : Cairan yang keluar dari alat kelamin dengan ciri-ciri; berwarna putih, encer dan lengket, dan keluarnya ketika bergejolaknya syahwat, namun syahwatnya belum sempurna (memuncak).

3. Wadi : Cairan yang keluar dari alat kelamin dengan ciri-ciri; berwarna putih, kental dan keruh, biasanya keluar setelah kencing atau ketika membawa barang yang berat.

Sedangkan perbedaan hukumnya:

1. Keluarnya mani mewajibkan mandi besar, namun tidak mewajibkan wudhu, dan mani dihukumi sebagai benda yang suci.

Keluarnya mani mewajibkan mandi besar besar jika ditemui salah satu dari 3 tanda berikut ini:

A. Terasa enak saat keluar, karena keluarnya saat syahwat telah memuncak.

B. Keluarnya memancar, maksudnya keluar sedikit demi sedikit.

C. Ketika masih basah baunya seperti adonan roti atau mayang kurma, sedangkan jika sudah kering baunya seperti putih telur.

Jadi warna putih dan lemasnya badan saat keluar bukanlah ciri-ciri utama mani, namun kebanyakan memang warnanya putih dan terasa lemas saat keluar. 

2. Hukum madzi dan wadi sebagaimana hukumnya air kencing, keduanya membatalkan wudhu dan dihukumi najis.

Kewajiban mandi besar bagi orang yang mengeluarkan mani didasarkan pada beberapa hadits diantaranya hadits yang diriwayatkan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau mengisahkan;

جَاءَتْ أَمُّ سُلَيْمٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ اللهِ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ»

“Ummu Sulaim dating kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia berkata; “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tak pernah “malu” dalam hal kebenaran, apakah wanita diharuskan mandi apabila ia mimpi basah?” Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wasallam menjawab; “Ya, (wanita tersebut wajib mandi), jika ia melihat ada air (keluar maninya),” (Shahih Bukhari, no.282 dan Shahih Muslim, no.313)

Sedangkan dalil tidak diwajibkannya wudhu ketika seseorang mengeluarkan madzi berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ali karromallahu wajhah, beliau menceritakan;

كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ: «يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ»

"Aku adalah lelaki yang sering keluar madzi, tetapi aku malu untuk bertanya Nabi Shallallahu'alaihiwasallam karena puteri beliau adalah istriku sendiri. Maka kusuruh al-Miqdad bin al-Aswad supaya bertanya beliau, lalu beliau bersabda, "Hendaklah dia membasuh kemaluannya dan berwudhu."(Shahih Bukhari, no.209 dan Shahih Muslim, no. 303)

Imam Nawawi menjelaskan, bahwa hadits ini merupakan dalil bahwa madzi tidak mewajibkan mandi, namun mewajibkan wudhu.

Adapun mengenai alasan tidak wajibnya mandi bagi orang yang mengeluarkan wadi adalah sebab  tidak adanya dalil yang mewajibkan mandi ketika mengeluarkan wadi, karena kewajiban sesuatu harus ada dalilnya, selain itu jika madzi tidak mewajibkan mandi, padahal madzi mendekati sifat-sifat mani, tentunya wadi juga tidak mewajibkan mandi, karena sifat-sifat wadi lebih dekat dengan sifat-sifat air kencing. 

Diriwayatkan dari Zur'ah Abu Abdurrohaman, beliau berkata;

سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ: الْمَنِيُّ وَالْوَدْيُ وَالْمَذْيُ، أَمَّا الْمَنِيُّ: فَهُوَ الَّذِي مِنْهُ الْغُسْلُ، وَأَمَّا الْوَدْيُ وَالْمَذْيُ فَقَالَ: اغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ

"Aku mendengar Ibnu Abbas menjelaskan mengenai mani, madzi dan wadi, beliau berkata; "(Keluarnya) Mani mewajibkan mandi", sedangkan mengenai (keluarnya) wadi dan madzi beliau berkata; "Basuhlah dzakar (kemaluan)mu, dan wudhulah sebagaimana engkau wudhu ketika hendak sholat." (Sunan Baihaqi, no.800).
Hukum Mani‎

Dalil-dalil yang berkaitan dengan hal ini adalah

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: { كُنْت أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَذْهَبُ فَيُصَلِّي فِيهِ }. رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا الْبُخَارِيَّ
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Aku pernah menggosok mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan akar rumput idzkir. Lalu ia pergi, kemudian ia shalat dengan pakaian itu. (HR Jama’ah , kecuali Bukhari, Nailur Authar No. 41 )

وَلِأَحْمَدَ { كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْلُتُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِهِ بِعِرْقٍ الْإِذْخِرِ ، ثُمَّ يُصَلِّي فِيهِ وَيَحُتُّهُ مِنْ ثَوْبِهِ يَابِسًا ثُمَّ يُصَلِّي فِيهِ }

Dan bagi Ahmad (dikatakan) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menghilangkan mani dari pakaiannya dengan akar idzkhir, kemudian ia shalat dengan pakaian itu dan mengerik mani dari pakaiannya dalam keadaaan kering, lalu ia shalat dengan pakaian itu.
وَفِي لَفْظٍ مُتَّفَقٍ عَلَيْهِ . { كُنْت أَغْسِلُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَخْرُجُ إلَى الصَّلَاةِ وَأَثَرُ الْغَسْلِ فِي ثَوْبِهِ بُقَعُ الْمَاءِ }

Dan dalam lafadz hadist yang di riwayatkan Bukhari, Muslim dan Ahmad, “Aku pernah mencuci mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam”, lalu ia keluar untuk shalat, sedang bekas cuciannya itu masih nampak pada bajunya, yaitu basah-basahnya air itu.

وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ عَنْهَا : { كُنْت أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا كَانَ يَابِسًا وَأَغْسِلُهُ إذَا كَانَ رَطْبًا }
Dan bagi Daraquthni, dari ‘Aisyah : Aku biasa mengerik mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan mencucinya kalau basah.

وَعَنْ إِسْحَاقَ بْنِ يُوسُفَ قَالَ : حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَطَاءِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : { سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمَنِيِّ يُصِيبُ الثَّوْبَ ، فَقَالَ : إنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُخَاطِ وَالْبُصَاقِ وَإِنَّمَا يَكْفِيك أَنْ تَمْسَحَهُ بِخِرْقَةٍ أَوْ بِإِذْخِرَةٍ } . رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ وَقَالَ : لَمْ يَرْفَعْهُ غَيْرُ إِسْحَاقَ الْأَزْرَقِ عَنْ شَرِيكٍ
Dari Ishaq bin Yusuf, ia berkata: Telah memberitahu kepadaku, Syarik, dari Muhammad bin Abdirrahman, dari Atha dari Ibnu Abbas ra, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, ia menjawab : “Sebenarnya mani itu seperti dahak/lendir dan air liur, karena itu cukup bagimu mengusapnya dengan kain atau rumput idzkhir” HR Riwayat Daraquthni dan ia berkata: Tidak ada yang memarfu’kan hadist ini selain Ishaq al Azraq dari Syarik. (Nailur Authar No. 42)

Ada yang mengatakan bahwa mani itu najis seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya.
Dalil ulama yang menyatakan bahwa mani itu najis adalah riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَغْسِلُ الْمَنِىَّ ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ فِى ذَلِكَ الثَّوْبِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ الْغَسْلِ فِيهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencuci bekas mani (pada pakaiannya) kemudian beliau keluar untuk melaksanakan shalat dengan pakaian tersebut. Aku pun melihat pada pakaian beliau bekas dari mani yang dicuci tadi.”‎
Sedangkan ulama lainnya menganggap bahwa mani itu suci. Ulama yang berpendapat seperti ini adalah para pakar hadits, Imam Asy Syafi’i, Daud Azh Zhohiri, dan salah satu pendapat Imam Ahmad.Dalil yang mendukung pendapat kedua ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa ‘Aisyah pernah mengerik pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkena mani. ‘Aisyah ‎radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
“Aku pernah mengerik mani tersebut dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam lafazh lainnya, dari ‘Alqomah dan Al Aswad, mereka mengatakan,
أَنَّ رَجُلاً نَزَلَ بِعَائِشَةَ فَأَصْبَحَ يَغْسِلُ ثَوْبَهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ إِنَّمَا كَانَ يُجْزِئُكَ إِنْ رَأَيْتَهُ أَنْ تَغْسِلَ مَكَانَهُ فَإِنْ لَمْ تَرَ نَضَحْتَ حَوْلَهُ وَلَقَدْ رَأَيْتُنِى أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرْكًا فَيُصَلِّى فِيهِ.
“Ada seorang pria menemui ‘Aisyah dan di pagi hari ia telah mencuci pakaiannya (yang terkena mani). Kemudian ‘Aisyah mengatakan, “Cukup bagimu jika engkau melihat ada mani, engkau cuci bagian yang terkena mani. Jika engkau tidak melihatnya, maka percikilah daerah di sekitar bagian tersebut. Sungguh aku sendiri pernah mengerik mani dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat dengan pakaian tersebut.”
Penulis Kifayatul Akhyar, Taqiyuddin Abu Bakr Ad Dimaysqi rahimahullah mengatakan, “Seandainya mani itu najis, maka tidak cukup hanya dikerik (dengan kuku) sebagaimana darah (haidh) dan lainnya. Sedangkan riwayat yang menyatakan bahwa mani tersebut dibersihkan dengan dicuci, maka ini hanya menunjukkan anjuran dan pilihan dalam mensucikan mani tersebut. Inilah cara mengkompromikan dua dalil di atas. Dan menurut ulama Syafi’iyah, hal ini berlaku untuk mani yang ada pada pria maupun wanita, tidak ada beda antara keduanya.”
“Sudah maklum bahwa para sahabat pasti pernah mengalami mimpi basah di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pasti pula mani tersebut mengenai badan dan pakaian salah seorang di antara mereka. Ini semua sudah diketahui secara pasti. Seandainya mani itu najis, maka tentu wajib bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk menghilangkan mani tersebut dari badan dan pakaian mereka sebagaimana halnya perintah beliau untuk beristinja’ (membersihkan diri selepas buang air), begitu pula sebagaimana beliau memerintahkan untuk mencuci darah haidh dari pakaian, bahkan terkena mani lebih sering terjadi daripada haidh. Sudah maklum pula bahwa tidak ada seorang pun yang menukil kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan salah seorang sahabat untuk mencuci mani yang mengenai badan atau pakaiannya. Dari sini, diketahui dengan yakin bahwa mencuci mani tersebut tidaklah wajib bagi para sahabat. Inilah penjelasan yang gamblang bagi yang ingin merenungkannya.”
Yang dimaksud dengan mengerik di sini adalah menggosok dengan menggunakan kuku atau pengerik lainnya.Seseorang bisa membersihkan badan atau pakaian yang terkena mani dengan cara mengerik jika mani tersebut dalam keadaan kering. Dan jika hanya dikerik masih banyak tersisa, maka lebih baik dengan dicuci.
Ada beberapa dalil dari hadits nabi tentang hukum mani, diantaranya adalah sebagai berikut :‎

كنت أغسله من ثوب رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فيخرج إلى الصلاة وإن بقع الماء في ثوبه

“dulu saya (aisyah) pernah mencuci mani yang menempel pada pakaian rosululloh. Kemudian rosululloh langsung pergi sholat walaupun ada bekas air di pakaiannya” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Dan juga hadits lain menyebutkan :

أنه - صلى الله عليه وسلم - كان يغسل المني ثم يخرج إلى الصلاة في ذلك الثوب وأنا أنظر إلى أثر الغسل فيه

Sesungguhnya rosululloh mencuci air mani kemudian langsung sholat dengan pakaiannya. Dan saya melihat bekas cucian mani tersebut).”(H.R. Muslim)

Dan juga hadits lain menyebutkan :‎

عن عمار بن ياسر قال «أتى علي رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وأنا على بئر أدلو ماء في ركوة قال: يا عمار ما تصنع؟ قلت: يا رسول الله بأبي وأمي أغسل ثوبي من نخامة أصابته، فقال: يا عمار إنما يغسل الثوب من خمس: من الغائط والبول، والقيء، والدم، والمني، يا عمار ما نخامتك ودموع عينك والماء الذي في ركوتك إلا سواء

Rosululloh SAW bersabda : “ wahai ammar ,,sesungguhnya pakaian itu dicuci karena 5 perkara : karena kotoran,air kencing,muntah,darah dan air mani.”.( HR. Ad-Daruqutni )

Dan juga hadits lain menyebutkan :

أنه سئل عن المني يصيب الثوب فقال: إنما هو بمنزلة المخاط أو البزاق، وقال: إنما يكفيك أن تمسحه بخرقة أو إذخرة

Nabi pernah ditanya tenang air mani, beliau bersabda : air mani itu seperi ingus atau air ludah. Cukup bagimu untuk menghilangkannya dengan kain.” (HR. Ad-Daruqutni)
Dari sinilah muncul perbedaan pendapat di kalangan para ulama fiqih mengenai hukum air mani. Berikut ini akan saya paparkan beberapa pendapat ulama fiqih pada tiap tiap madzhab mengenai hukum air mani.
Madzhab Hanafi
Ibnul Humam (w. 681 H) dalam kitab Fathul Qadir mengatakan secara tegas bahwa air mani itu hukumnya najis.
والمني نجس يجب غسله إن كان رطبا (فإذا جف على الثوب أجزأ فيه الفرك) لقوله - عليه الصلاة والسلام - لعائشة «فاغسليه إن كان رطبا وافركيه إن كان يابسا» وقال الشافعي - رحمه الله -: المني طاهر، والحجة عليه ما رويناه

Air mani hukumnya najis dan wajib mencucinya jika masih basah, jika air mani tersebut sudah kering maka cukup dengan mengeriknya.

Ibnu Abdin (w. 1252 H) dalam kitab Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar mengatakan bahwa air mani termasuk benda najis mugholadzoh. Akan tetapi dalam madzhab hanafi istilah najis mugholadzoh tidak sama seperti istilah mugholadzoh dalam madzhab syafii. Karena yang dimaksud dengan najis mugholadzoh dalam madzhab hanafi adalah najis yang secara tegas dalilnya disebutkan oleh syara’.
نجاسة المني عندنا مغلظة

Kenajisan air mani menurut pendapat kami adalah termasuk najis mugholadzoh.

Madzhab Maliki
Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) dalam kitab Al-kafi Fi Fiqhi Ahli Al-Madinah mengatakan bahwa air mani termasuk benda najis. Karena menurut beliau sesuatu yang keluar dari kemaluan adalah termasuk benda najis. Termasuk juga disini air mani.
والنجاسات كل ما خرج من مخرجي بني آدم

Najis adalah sesuatu yang keluar dari dua jalan kemaluan.
Al-Qarafi (w. 684 H) dalam kitab Adz-Dzakhirah berpendapat bahwa air mani hukumnya najis.
وكل رطوبة أو بلل يخرج من السبيلين فهو نجس ومنه المني

Dan setiap benda basah yang keluar dari kemaluan termasuk benda najis. Diantaranya adalah air mani.
Madzhab Asy-Syafi’i
Imam An-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab Roudhotu At-Tholibiin Wa Umdatu Al-Muftiin mengatakan bahwa air mani hukumnya suci.
وأما المني، فمن الآدمي طاهر

Adapun air mani anak adam hukumnya suci.
Asy-Syirbiniy (w. 977 H) penulis kitab Mughni Al-Muhtaj syarh Al-Minhaj mengatakan bahwasanya air mani itu suci. Dalam hal ini beliau sependapat dengan Imam An-Nawawi.
 

وأما مني الآدمي فطاهر على الأظهر لحديث عائشة - رضي الله تعالى عنها - «أنها كانت تحك المني من ثوب رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ثم يصلي فيه

Adapun air mani anak adam hukumnya adalah suci. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh aisyah. dia telah mengerik mani dari pakaian rosululloh kemudian rosululloh sholat.‎

Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah (w. 620 H) di dalam kitab Al-Mughni mengatakan bahwa air mani hukumnya suci. Bahkan ini adalah salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang paling masyhur.
 

والمني طاهر. وعن أبي عبد الله، رحمه الله رواية أخرى، أنه كالدم اختلفت الرواية عن أحمد في المني، فالمشهور: أنه طاهر. وعنه أنه كالدم، أي أنه نجس. ويعفى عن يسيره. وعنه: أنه لا يعفى عن يسيره. ويجزئ فرك يابسه على كل حال. والرواية الأولى هي المشهورة في المذهب. ولنا، ما روت عائشة - رضي الله عنها - قالت: «كنت أفرك المني من ثوب رسول الله - صلى الله عليه وسلم -، فيصلي فيه» . متفق عليه. وقال ابن عباس: امسحه عنك بإذخرة أو بخرقة، ولا تغسله، إنما هو كالبزاق والمخاط

Air mani itu hukumnya suci. Dan ada dua riwayat dari imam Ahmad, akan tetapi yang paling masyhur adalah air mani itu suci. Dan ini pendapat masyhur dalam madzhab. Hal ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah : aku telah mengerik mani dari pakaian nabi kemudian nabi sholat. Dan berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Abbas : hilangkanlah air mani itu dengar kain. Dan jangan kamu cuci. Karena air mani itu seperti air ludah dan ingus.

Ibnu Taimiyah (w. 728 H) mengatakan di dalam kitabnya Al-Fatawa Al-Kubro bahwa air mani hukumnya ada tiga pendapat. Namun beliau lebih condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa air mani itu tidak najis. Hanya saja air mani termasuk benda yang menjijikkan.
 

الفصل الثاني في مني الآدمي وفيه أقوال ثلاثة

أحدها: إنه نجس، كالبول، فيجب غسله رطبا ويابسا من البدن والثوب. وهذا قول مالك، والأوزاعي، والثوري، وطائفة. وثانيها: إنه نجس، يجزئ فرك يابسه، وهذا قول أبي حنيفة، وإسحاق، ورواية عن أحمد

ثم هنا أوجه قيل يجزئ فرك يابسه، ومسح رطبه من الرجل دون المرأة؛ لأنه يعفى عن يسيره، ومني الرجل يتأتى فركه ومسحه، بخلاف مني المرأة، فإنه رقيق كالمذي، وهذا منصوص أحمد

وقيل: يجزئ فركه فقط منهما، لذهابه بالفرك، وبقاء أثره بالمسح

وقيل: بل الجواز مختص بالفرك من الرجل دون المرأة، كما جاءت به السنة كما سنذكره. وثالثها: إنه مستقذر، كالمخاط، والبصاق، وهذا قول الشافعي، وأحمد في المشهور عنه، وهو الذي نصرناه

Ada tiga pendapat dalam masalah air mani. Pendapat pertama mengatakan bahwa air mani termasuk benda najis yang harus dicuci bersih. Ini adalah pendapat imam Malik, Al-Auzaiy, dan Tsauriy. Pendapat kedua mengatakan bahwa air mani juga najis. Tapi cara mensucikannya hanya cukup dengan mengerik air mani tersebut. ini adalah pendapat imam Abu Hanifah, ishaq dan salah satu riwayat Ahmad. Adapun pendapat yang ketiga adalah air mani termasuk benda yang menjijikkan seperti air ludah dan ingus. Dan ini adalah pendapat imam Syafii dan imam Ahmad yang masyhur. Dan pendapat ini pula yang kami unggulkan.‎
Ibnu Hazm (w. 456 H) berpendapat di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar bahwa air mani hukumnya suci. Bahkan tidak diwajibkan bagi seseorang untuk menghilangkannya atau mencucinya.
والمني طاهر في الماء كان أو في الجسد أو في الثوب ولا تجب إزالته، والبصاق مثله ولا فرق
Air mani itu hukumnya suci. Baik berada di air atau yang menempel pada tubuh atau pada pakaian. Dan tidak diwajibkan untuk menghilangkannya. Begitu juga dengan air ludah dan yang semisalnya.
Jadi kesimpulan dari tulisan ini bahwasanya hukum air mani itu berbeda beda. Ada diantara para ulama yang mengatakan bahwa air mani itu najis. Dan ini adalah pendapat dari kalangan madzhab Hanafi dan Maliki. Adapun madzhab Syafii, Hanbali dan Dzohiri mereka berpendapat bahwa air mani itu hukumnya suci. 

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar