Kamis, 18 Februari 2016

Penjelasan Tentang Jinayah

Islam adalah agama yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Syari’at islam diterapkan tujuannya hanya demi kebaikan manusia semata, lain tidak. Allah Ta’ala yang telah menggariskan aturan hokum yang termodifikasi dalam Al-Qur’an Al-Karim telah melukiskan kemuliaan mukjizat nabi terakhir ini dengan sebutan al-Hakim yang artinya pemutus dari kebimbangan.

Manusia sangat terbatas menghadapi problema kehidupan yang terus berkembang dan berubah setiap saat. Tidak ada jaminan manusia akan mampu menyelesaikan masalah hidup dan kehidupan secara tuntas, melainkan mereka harus berpegang teguh pada sumber hokum islam yang utama, yakni al_qur’an dan Al-Hadits.

Kasus pembunuhan adalah salah satunya yang mendapatkan sorotan public dan media.
Padahal sejujurnya, hampir setiap kasus pembunuhan akhirnya dapat diungkap. Bahkan pelakunya dihukum dengan hukuman seberat-beratnya. Namun hukuman tersebut tidak membuat jera palaku, bahkan setelah bebas dari Lapas pun mereka berani melakukan tindakan-tindakan criminal lagi.

Adalah sebuah kemusykilan jika suatu kaum memiliki akal sehat dan dengan orientasi hidup yang benar, ketika disodorkan suatu pilihan yang lebih baik mereka akan menolak. Allah Ta’ala menegaskan dalam surat Thaha ayat 123, bahwa barangsiapa yang menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan teguh (istiqamah) padanya, maka tentu Allah akan memberikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

فَاِمَّا يَأتِيَنَّكُمْ مِنِّي هَدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَا فَلاَ يُضِلُّ وَلاَ يَشْقَى

“Maka jika dating kepadamu petunjuk-Ku, lalu kamu mengikuti petunjuk-Ku, niscaya kamu tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”

Untuk itulah para ulama menyusun kitab undang-undang pidana pembunuhan yang disebut “Kitab Jinayah”. Di mana  di dalamnya diungkap berbagai hal terkait aturan dan sanksinya menurut ajaran islam.

Hukum pidana atau fiqih jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang berlaku semenjak diutusnya Rosulullah. Oleh karenanya pada zaman Rosululah dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri.

Hukum pidana menurut syari’at islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan setiap muslim dimanapun ia berada. Syari’at islam merupakan hukum yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, karena syari’at islam merupakan bagian ibadah kepada Allah SWT.
Namun dalam kenyataanya, masih banyak umat islam yang belum tahu dan paham tentang apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan hukum tersebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka pada kesempatan ini pemakalah akan mencoba menjelaskan apa itu fiqih jinayah atau hukum pidana islam dan beberapa aspek didalamnya.
Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek bagi kehidupan manusia pastinya memiliki sebuah dasar yang paling penting yaitu keadilan. Ini terbukti dengan adanya firman Allah SWT

  إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

Manusia tidak mungkin mewujudkan tuhuan-tujuannya dan menggapai harapan-harapannya kecuali jika telah terpenuhi padanya seluruh unsur perkembangan dan mendapatkan hak-haknya secara penuh. Diantara hak yang dijamin oleh Islam ini yang paling utama adalah hak hidup, hak kepemilikan, hak menjaga kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan dan hak mendapatkan pendidikan. Hak-hak ini wajib bagi manusia dari sisi bahwa dia adalah manusia tanpa memandang warna kulit, agama, jenis kelamin, negara atau komunitas sosial.

Dalam pidato saat haji wada’ Rasulullah bersabda:

أيها الناس, إن دماءكم وأموالكم عليكم حرام كحرمة يومكم هذا فى شهركم هذا فى بلدكم هذا. ألا هل بلغت.اللهم فاشهد. كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه.
            ‎
“Wahai umat manusia sesungguhnya darah kalian dan harta kalian di haramkan atas kalian seperti keharaman hari kalian ini di bulan kalian ini di negeri kalian ini. Ketahuilah, bukan kah aku sudah menyampaikan, ya Allah, saksikanlah. Setiapmuslim atas muslim di haramkan darahnya, hartanya dan kehirmatannya.
            
Dengan demikian sesama manusia tidak boleh saling melakukan kejahatan, kajahatan itu sendiri yaitu suatu perbuatan yang dicegah dan ditolak oleh syari’at lantaran mengandung bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan atau harta. Para ulama’ sering menyebutnya dengan istilahAl-Jinayat.

PENGERTIAN JINAYAH
Fiqih jinayah terdiri dari dua kata yaitu fiqih dan jinayah. Pengertian fiqih secara bahasa berasal dari kata faqiha, yang berarti mengerti, paham. Sedangkan secara istilah sesuai yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf adalah sebagai berikut :
الفقه هو العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسب من ادلتها التفصلية . او هو مجموعة الاحكام الشرعية العملية المستفادة من ادلتها لتفصلية.
“fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Atau fiqih adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci”.
Adapun jinayah menurut bahasa adalah :
اسم لما يجنية المرء من شر ومااكتسبه.
“nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang dia usahakan”.
Kata jinayat adalah jama’ dari kata jinayah. Jinayah adalah akar kata (masdar) dan mashdar tidak dapat dijadikan kata jama’ kecuali apabila bertujuan memberi arti bermacam-macam yaitu disengaja, tersalah dan sengaja yang tersalah.
Pada dasarnya pengertian dari istilah jinayah mengacu pada hasil perbuatan seseorang yang dilarang. Dikalangan fuqoha’, perkataan jinayah berarti perbuatan yang terlarang menurut syara’, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah yaitu sebagai berikut :
فالجناية اسم لفعل محرم شرعا. سواء وقع الفعل علي نفس اومال او غير ذالك.
“jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta dan lainya” .
Dalam pengertian sempit Jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan dapat menimbulkan hukuman Had, bukan Ta’zir. Sedangkan pengertian luas Jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dapat mengakibatkan hukuman Had atau Ta’zir.
Jinayah adalah adalah suatu tindakan yang dilarang oleh syara` karena dapat menimbulkan bahaya bagi agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan sebagainya.
Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal atau harta benda. Kata jinayah berasal dari kata janayajni yang berarti akhaza (mengambil) atau sering pula diartikan kejahatan, pidana atau kriminal.
Dalam konteks ini pengertian jinayah sama dengan jarimah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al Mawardi, yaitu :
الجرائم محظورات شرعية زجر الله تعالي عنها بحد اوتعزير.
“jarimah adalah peruatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir”.
Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam al-Qur’an dan As-Sunnah (hudud jamaknya hadd, artinya batas). Had ‎adalah hukuman yang telah ditentukan dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul dan telah pasti macamnya serta menjadi hak Allah, tidak dapat diganti dengan macam hukuman lain atau dibatalkan sama sekali oleh manusia. ‎Jarimah ta’zir adalah perbuatan tindak pidana yang bentuk dan ancaman hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zir artinya: ajaran atau pelajaran) sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum ta’zir menjadi wewenang penguasa untuk menentukannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian fiqih jinayah adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumnya, yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.

Macam Jinayat (Tindak Pidana)
Jinayat (tindak pidana) terhadap badan terbagi dalam dua jenis:
Jenis pertama, jinayat terhadap jiwa (jinayat an-nafsi)
Jenis kedua, jinayat kepada badan selain jiwa (jinayat duna an-nafsi/al-athraf) adalah penganiayaan yang tidak sampai menghilangkan nyawa.
Jinayat terhadap jiwa (jinayat an-nafsi). Yaitu, jinayat yang mengakibatkan hilangnya nyawa (pembunuhan). Pembunuhan jenis ini terbagi tiga:

1.    Pembunuhan dengan sengaja (al-‘amd), Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja ialah seorang secara sengaja (dan terencana) membunuh orang yang terlindungi darahnya dengan cara dan menggunakan alat yang biasanya dapat membunuh (pisau, pedang, senjata api dll).

2.    Pembunuhan yang mirip dengan sengaja (syibhu al-’amdi).  Ini tidak termasuk sengaja dan tidak juga karena keliru (al-khatha’), tapi pertengahan di antara keduanya.

Seandainya kita melihat kepada niat kesengajaan untuk membunuhnya, maka ia termasuk dalam pembunuhan dengan sengaja. Namun, bila kita melihat jenis perbuatannya tersebut yaitu tidak membunuh, maka kita memasukkannya ke dalam pembunuhan karena keliru (al-khatha’). Oleh karenanya, para ulama memasukkannya ke dalam satu tingkatan di antara keduanya, dan menamakannya syibhu al-‘amdi.

Adapun yang dimaksud syibhu al-’amdi (pembunuhan yang mirip dengan sengaja) ialah seorang bermaksud membunuh orang yang terlindungi darahnya, dengan cara dan alat yang biasanya tidak membunuh.

Pembunuhan yang mirip dengan sengaja (syibhu al-’amdi),  dalil tentangnya diambil dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,beliau bersabda,

أَلاَ إِنَّ دِيّةَ الْخَطَأِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَانَ بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا مِائَةٌ مِنَ الإِبِلِ مِنْهَا أَرْبَعُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهَا أَوْلاَدُهَا

“Ketahuilah, bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja yaitu yang dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor unta. Di antaranya adalah empat puluh ekor yang sedang hamil. “

Jumhur sahabat dan lainnya seperti Al Hadawiyyah, Hanafi, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa bapak yang membunuh anaknya tidak diqishash, berdasarkan hadits: “dari Umar bin Khathab r.a berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda seorang ayah tidak ditutuntut karena membunuh anaknya”( HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah). Seorang kakek dan ibu sama kedudukannya dengan bapak menurut jumhur ulama’ dalam gugurnya hukuman qishash. 

Para imam madzhab berbeda pendapat, apabila seseorang dipaksa untuk membunuh orang lain. Hanafi berpendapat: yang dikenai hukum bunuh adalah orang yang memeaksa, bukan pelaku pembunuhan itu. Maliki dan Hambali berpendapat: yang dikenai hukum bunuh adalah pelakunya. Syafi’i berpendapat: yang dibunuh adalah orang yang memaksanya, sedangkan orang yang dipaksa, Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan pendapatnya yang paling kuat adalah keduanya diqishash (orang yang memaksa dan orang yang dipaksa).
            
Para imam madzhab berbeda pendapat apabila ada seseorang yang memegang orang lain, lalu orang itu dibunuh oleh orang lain. Hanafi dan Syafi’i mengatakan: qishash dikenakan kepada pembunuhnya saja, sedangkan yang memeganginya terkena ta’zir. Maliki berkata: hal demikian berarti telah bersekutu antara orang yang memegang dan yang membunuh, yaitu berserikat untuk memebunuhnya, oleh karena itu, keduanya dikenakan qishash, yaitu apabila pembunuh tidak memungkinkan untuk membunuhnya jika tidak memegang, dan yang terbunuh tidak mampu melarikan diri setelah dipegang. Hambali: pembunuhnya dihukum bunuh, sedangkan orang yang memegangi dipenjara hingga mati.

3.    Pembunuhan karena keliru (al-khatha’), yaitu seorang melakukan perbuatan yang mubah baginya, seperti kita sedang memainkan bola tiba tiba ada seorang lewat dan terkena bola kita, karena kaget orang itu meninggal.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلاَّ خَطَئاً وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ أَن يَصَّدَّقُواْ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مْؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةً فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللّهِ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً. وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً

“Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin untuk membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh seorang mumin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah Jahannam. Ia kekal di dalamnya. Allah pun  murka kepadanya, mengutuknya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. An-Nisa`: 92–93)

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang seseorang yang membunuh orang lain dengan tidak sengaja, memukul dengan sesuatu yang menurut kebiasaannya tidak mematikan, meninjunya dengan kepala tangan, atau menamparnya dengan keras. Menurut  pendapat Hanafi  dan Syafi’I: orang tersebut dikenai diyat saja. Namun menurut pendapat Syafi’I: jika pukulan itu berulang-ulang kali yang mengakibatkan kematian maka ia dikenai hukum bunuh pula. Sedang menurut pendapat Maliki: wajib dikenai hukum bunuh pula.

Jinayat kepada badan selain jiwa (jinayat duna an-nafsi/al-athraf) adalah penganiayaan yang tidak sampai menghilangkan nyawa. Jinayat seperti ini terbagi juga menjadi tiga:
1. Luka-luka الشُجَاجُ وَالْجَرَاحُ
2. Lenyapnya kegunaan anggota tubuh إِتْلاَفُ الْمَنَافِعِ
3. Hilangnya anggota tubuh إِتْلاَفُ الأَعْضَاءِ
QISHASH

Hadis-hadis dan dalil al Qur’an mengenai qihash

Hukum Pembunuhan dan Hikmahnya.

Membunuh atau pembunuhan merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan cara yang melanggar hukum, maupun yang tidak melawan hukum. Pembunuhan biasanya memiliki motif yang berbeda, misalnya politik, kecemburuan, dendam, membela diri dan sebagainya. Demikian pula caranya, ada yang menggunakan senjata atau benda tajam, bahan peledak atau bom dan sebagainya, baik itu sengaja maupun tidak.

Dasar hokum sebelum ijma adalah firman Allah SWT dalam surat al-Isra ayat 33,

وَلاَ تَقْتُلُوْا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ  اِلاَّ بِالْحَقَّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُوْمًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلاَ يُسْرِفْ فِى اْلقَتْلِ اِنَّهُ كَانَ مَنْصُوْرًا 

 “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunhnya0, melainkan dengan suatu alasan yang benar. Dan barang siapa dibbunuh secara zalim, maka sesungguhnya kami telahmemberikan kuasa kepada ahli warisnya, tetapijanganlah ahliwaris itu melampaui batas dalammembunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS. Al-Isra,17:33).

Dan firmanNya,

يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَامَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ اْلقِصَاصُ فِى اْلقَتْلَى

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kami qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh,… (QS. Al-Baqarah,2:178).)
عن ابن مسعود قال,قال رسول الله صلي الله عليه وأله وسلم, لا يحل دم امريء مسلم, يشهد أن لاإله إلاالله وأن محمد الرسول الله, إلا بإحدي ثلاث الثيب الزني, و النفس باالنفس, و التارك باالتارك لدينه المفارق للجماعة.

Rasulullah SAW bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim yang mengaku bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah sesungguhnya aku adalah Rasulullah kecuali dengan salah satu dari 3 orang, yaitu seorang duda yang berzina, pembunuh disebabkan oleh pembunuhannya, dan orang yang meninggalkan agamanya yang berpisah terhadap jama’ah”.(Muttafaq ‘alaih:1888)

وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رُبَيِّعَ بِنْتَ النَّضْرِ –عَمَّتَهُ- كَسَرَتْ ثَنِيَّةَ جَارِيَةٍ، فَطَلَبُوْ اِلَيْهَا الْعَفْوَ، فَأَبَوْا، فَعَرَضُوا الأَرْشَ، فَأَبَوْا، فَأَتَوا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبَوْا اِلاَّ الْقِصَاصَ، فَأَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ بِالْقِصَاصِ، فَقَالَ أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ:
 يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَتُكْسَرُ ثَنِيَّةُ الرُّبَيّعِ؟، لاَ، وَالَّذي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، لاَتُكْسَرُ ثَنِيَّتُهَا، فَقالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى الله عليه وسلّم: "يا أَنسُ، كِتَابُ اللهِ القِصَاصُ". فَرَضِيَ الْقَوْمُ، فَعَفَوْا، فقال رسول اللهِ صلّى اللهُ عليه وسلّم: "إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ".
(متّفق عليه، واللّفظ للْبخاري) 

Diriwayatkan dari Anas (r.a) bahawa al-Rubayyi’ bin al-Nadhr, pakcik dari sebelah ayahnya, pernah mematahkan gigi hadapan seorang jariah. Keluarga al-Rubayyi’ meminta maaf kepada keluarga perempuan tersebut, namun mereka menolak. Keluarga al-Rubayyi’ pula menawarkan ganti rugi namun keluarga jariah tersebut tetap menolaknya. Mereka menghadap Rasulullah (s.a.w) dan menyatakan mereka menuntut hukuman qiasas dijatuhkan. Rasulullah (s.a.w) pun memerintahkan untuk dijatuhkan hukuman qisas. Anas bin al-Nadhr berkata: “Wahai Rasulullah, adakah gigi hadapan al-Rubayyi’ mesti dipatahkan juga? Demi Allah yang mengutus tuan dengan kebenaran, (saya mohon) tuan tidak mematahkan gigi al-Rubayyi’.” Mendengar itu, Rasulullah (s.a.w) bersabda: “Wahai Anas, kitab Allah telah memerintahkan untuk dijatuhi hukuman qisas.” Akhirnya keluarga jariah itu meredhai dan bersedia memaafkan perbuatan al-Rubayyi’. Rasulullah (s.a.w) bersabda: “Di antara sekian hamba Allah ada seorang hamba yang kalau bersumpah, Allah tidak menjadikannya melanggar sumpah.” (Muttafaq ‘alaih dan lafaz hadis ini menurut al-Bukhari: 1200).‎

Riddah/Murtad, menurut bahasa adalah “kembali” ; perbuatan murtad adalah bentuk perbuatan kufur yang paling jahat, dan dengan kemurtadan sampai mati maka amal perbuatan kebajikan menjadi dilebur (habis). Sedangkan menurut syara’ adalah: memutuskan keislaman dengan bermaksud kufur seketika atau masa yang akan datang.

وعن أبي هريرة أن النبي صلي الله عليه وسلم قال: من قتل له قتيل فهو بخير النظرين: إما أن يفتدي, و إما أن يقتل. رواه الجماعة

Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang anggota keluarganya dibunuh, maka dia boleh memilih mana yang terbaik di antara dua pilihan: dia dapat menerima uang diyat, ataupun dia menuntut balas (membunuh si pembunuh)”

Dalam kitab Fathul Mu’in disebutkan, diyat adalah sebagai pengganti qishash di saat gugur lantaran diampuni/dimaafkan oleh wali a’dam dengan pengambilan diyat atau bukan karena diampuni, melainkan si pelaku jinayat telah mati sebelum diqishash.

عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلي الله عليه وسلم قال: إذا أمسك الرجل الرجل, وقتله الاخر يقتل الذي قتل و يحبس الذي أمسك. رواه الدار قطتني

Nabi SAW bersabda: “apabila ada seorang lelaki memegang tangan seseorang dan dapatlah orang lain membunuhnya, dibunuhlah si pembunuh, sedangkan yang turut membantu dipenjarakan” (HR. Daruquthniy)

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.

Qishash adalah hukuman balasan yang seimbang atau yang sama, setara dengan perbuatan kejahatan yang dilakukan bagi para pelaku sengaja dan pelaku peaniyayaan secara fisik dengan sengaja. Hukuman yang sama dengan perbuatan kejahatan yang dilakukan adalah, jika seseorang melakukan pembunuhan dengan sengaja maka pelakunya harus dihukum bunuh, jika seseorang melakukan peaniayaan secara fisik dengan sengaja kepada orang lain maka pelakunya harus dikenai hukuman yang sama dengan bentuk kejahatan yang dilakukanya.


Qishash ada 2 macam :
Qishash jiwa : hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.

Qishash anggota badan : hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota badan atau menghilangkan manfaat anggota badan.
Syarat-syarat Qishash
1.    Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash bagi anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa.
2.    Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qishash bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.
3.    Orang yang dibunuh sama derajatnya, islam dengan islam, merdeka dengan merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak dengan budak.
4.    Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
5.    Qishash itu dilakukan dengan jenis barang yang telah digunakan oleh yang membunuh atau yang melukai itu.

6.    Orang yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa orang kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits rasulullah, 'tidaklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya'.
Qishash dapat dibatalkan jika wali keluarga terbunuh tidak berkenan membunuh si pelaku, maka diganti dengan membayar diat (tebusan) sesuai dengan yang ditetapkan si wali. Yang lebih mulia lagi jika wali keluarga terbunuh memaafkan si pembunuh. Apa diat itu ? baca terus saja:)
HIKMAH QISHASH
Hikmah qishash ialah supaya terpelihara jiwa dari gangguan pembunuh. Apabila sesorang mengetahui bahwa dirinya akan dibunuh juga. Karena akibat perbuatan membunuh orang, tentu ia takut membunuh orang lain. Dengan demikian terpeliharalah jiwa dari terbunuh. Terpeliharalah manusia dari bunuh-membunuh.

Diat  (Denda)

Ketentuan Hukum Islam Tentang Diyat dan Hikmahnya.
1.      Pengertian dan Dasar Hukum.
Secara harfiyah diyat berarti denda atau ganti rugi. Menururt istilah ulama fiqh artinya sejumlah harta yang diberikan oleh pihak pelaku kepada pihak teraniaya atau keluarga untuk menghilngkan dendam, meringankan beban korban dan keluarganya.

Jadi diyat merupakan pengganti hukuman qishash sesuai dengan firman-Nya,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ اَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا اِلاَّخَطَئًا وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَئًا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍوَدِيَةٌ مًسْلِمَةٌ اِلَى اَهْلِهِ اِلاَّ اَنْ يَصَّدقَّوُاْ
 “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba shaya yang beriman serta membayar diat (dendaan) yang diserahkan kepada keluarganya (siterbunuh itu), kecualai jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.” (QS. Al-Nisa,4:92)

2.      Sebab-sebab diyat.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa diyat dibayarkan karena si pelaku pembunuhan tidak dihukum qishash, adapun penyebabnya :
a.          Pembunuhan disengaja yang dimaafkan oleh ahli warisnyan atau keluarganya.
b.         Pembunuh larinamun sudah diketahui identitasnya sehingga diyat dibebankan kepada ahli warisnya.
c.          Pembunuhan seperti sengaja.
d.         Pembunuhan tersalah.
e.          Qishash sulit dilaksanakan.

3.      Macam-macam diyat.
Diyat ada dua macam, yakni :
a.       Diyat mughallazhah (dendaan berat).
Adalah harta benda yang harus dikeluarkan oleh pelaku karena pembunuhan sengaja (qath’ul ‘amdi) yang dimaaafkna ahli waris atau keluarganya, pembunuhan seperti sengaja qath’ul syibhil ‘amdi), pembunuhan yang tidak ada unsur niat membunuh (qath’u lkhatha’) yang dilakukan di bulam haram, di tempat haram serta pembunuhan seseorang yang masih ada hubungan kekeluargaan.

Adapun jumlah dendaannya sesuai dengan hadits nabi SAW,

“Barangsiapa yang membunuh orang mukmin dengan sengaja diserahkan perkaranya kepada keluarga yang terbunuh, maka jika mereka menghendaki supaya membunuhnya dibunuh pula dan jika mereka kehendaki , mereka boleh menerima diyat yaitu 30 ekor unta yang berumur 3 tahun, 30 ekor unta yang berumur 4 tahun, 40 ekor unta yang berumur 5 tahun (bunting). Hasil perdamain itu adalah untuk mereka (ahli waris terbunuh). Demikian itu untuk memberatkan terhadap pembunuhan.” HR. Al-Turmidzy).

Jika unta tidak ada maka dikonfersi kenilai mata uang setempat.
Adapun diyat (dendaan) ini diwajibkan kepada :
1.      Pembunuh sengaja yang dimaafkan oleh keluarganya. Diyatnya tunai bias berupa uang atau unta 100 ekor.
2.      Pembunuh seperti sengaja, diyatnya 100 ekor unta boleh diangsur selama 3 tahun, tiap tahunnya sepertiga.
3.      Pembunuh pada bulan-bulan haram; Dzulqa’dah, Dzul hijjah, Muharram dan Rajab.
4.      Pembunuh di kota Haram yakni Mekkah.
5.      Pembunuh yang masih ada hubungan kekeluargaan, muhrim dan radha’ah.

b.      Diyat mukhaffafafh (dendaan ringan).
Adalah harta yang diambil dari pelaku pembunuhan karena :
1.      pembunuhan tersalah (qath’u al-khatha’),
2.      pelaku kejahatan sehingga membuat cacat fungsi anggota tubuhnya tapi dimaafkan oleh keluarganya,
3.      pembunuhan karena kesalahan obat bagi dokter,
4.      pembunuhan tersalah di luar tanah haram dan bukan bulan-bulan haram.
Sifatnya ringan karena bisa diangsur selama tiga tahun, tiap tahunnya sepertiga.

Diyat berupa unta bisa dikonfersi dengan nilai harga lain, semisal 100 ekor unta sama dengan 200 ekor sapi atau 2000 ekor domba.

4.      Diyat selain pembunuhan.
Yang terkena diyat bukan saja karena pembunuhan, tapi hal-hal lain yang mengancam jiwa dan menghilangkan fungsi anggota tubuh pun. Pelaku berikut masuk kategori diyat selain pembunuhan:
a.          Anggota yang berpasangan dan atau hidung atau lidah dengan dendaan 100 ekor unta.
b.         Salah satu anggota yang berpasangan dengan dendaan setengah diyat, yakni 50 ekor unta.
c.          Melukai kepala sampai botak atau badan sampai perut. Dendaannya adalah sepertiga diyat atau kira-kira 33 ekor unta.
d.         Melukai sampai terkelupas kulit di atas tulang, dengan dendaan 15 ekor unta.
e.          Melukai sampai putusnya jari-jari tangan atau kaki, dengan dendaan 10 ekor unta.
f.          Mengakibatkan patah/terkelupas gigi, dengan dendaan 5 ekor unta untuk satu gigi.

5.      Hikmah diyat.
Hikmah diyat di antaranya adalah :
a.       Ujian kesabaran karena menerima kenyataan pahit yang terjadi.
b.      Mendorong manusia berpikir sehat, karena hukuman diyat (dendaan) tersebut bisa membuat seseorang melarat dan sangat memberatkan.
c.       Menjaga jiwa yang lindungi oleh hokum dan syari’.

HUDUD
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan) Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama.

HAD BEBERAPA TINDAK PIDANA

Had Zina

عَن اَبِى هُريرة رَضيَ اللُه عَنهُ وزَيدُبْنُ خَالِدٍ الْجُمَتِىِّ اَنَّ رَجُلاً مِنَ الْاَعْرَابِ اَتىَ رسولَ اللهِ صلّ الله عليه وسلّمَ فقال: يارسولَ الله اَنْشُدُكَ اللهَ اِلاَّ قَضَيْتَ لِى بِكِتَابِ اللهِ تَعَلى، فَقَالَ الْاخَرُ وَهُوَ اَفْقَهُ مِنْهُ : نعم، فَاقْضِ بَيْنَنَا بِكِتابِ اللهِ وَائْذَنْ لِى فَقَاَل: قُلْ. قالَ: اِنَّ ابْنِى كَانَ عَسِيْفًا عَلَى هذَا فَزَنىَ بِامْرَأَتِهِ وَاِنِى اُخْبِرْتُ اَنَّ عَلَى ابْنِ الرَّجْمَ. فَافْتدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَوَلِيْدَةٍ فَسَاَلْتُ اَهْلَ الْعِلْمِ فَاَخْبَرُوْنِى اَنَّ مَاعَلَى ابْنِى جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبُ عَامٍ، وَاَنَّ عَلَى امْرَأَةِ هذَا الرَّجْمَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسِى بِيَدِه لَاَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللهِ. الْوَلِيْدَةُ وَالْغَنَمُ ردُّ عَلَيْكَ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبُ عَامٍ. وَاغْدُ يَا اُنَيْسُ اِلَى امْرَأةٍ هذَا. فَاِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا (متّفق عليه)

Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalidm r.a : sesungguhnya seorang lelaki Arab Badwi datang menghadap Rasullullah saw. Seraya berkata, “Ya Rasulullah saya tidak memaohon kepada engkau selain bagiku berdasarkan kitabullah (Al-Qur’an).” Periwayat yang lain dan dia lebiah mengerti dari pada dia, berkata, “ya, putuskanlah antara kami berdasarkan kitabullah dan izinkan saya.” Lalu beliau bersabda, “katakanlah (jelaskan dahulu perkaranya).” Dia berkata, “sesungguhnya anak saya menjadi buruh pada orang ini lalu dia berzina dengan isteri majiakan ini. Dengan sesungguhnya saya telah diberitahu bahwa hukuman atas anak saya ini adalah rajam lalu saya menebusnya dengan seratus ekor kambing dan seorang hamba wanita. Setelah saya menanyakan ulama, lalu mereka memberitahukan saya bahwa hukuman astas anak saya, dera seratus kali dan hukuman buangan setahun: dan sesungguhnya hukuman atas isteri majikannya itu adalah rajam.” Lalu Rasulullah saw. Bersabda, “Demi Allah yang jiwaku di tangan Nya, sungguh saya akan memutuskan perkara antara kamu berdasarkan Kitabullah; hamba sahaya dan kambing itu ambil kembali. Dan hukuman atas anakmu, dera seratus kali dan pembuangan/pengasingan setahun. Pergilah engkau wahai Unais kepada isteri lelaki ini. Jika dia mengakui perbuatannya, maka rajamlah dia.” Muttafaq ‘alaih, dan susunan matan Hadits ini menurut riwayat Muslim.

Had Pencurian

عَنْ عَا ئِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَتَشْفَعُ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِاللهِ؟ ثُمَّ قَامَ فَخَطَبَ فَقَالَ: يايُّهَا النَّاسُ اِنَّماَ اَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ اَنَّهُمْ كَانُوا  اِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ، وَاِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الضَّعِيْفُ اَقَاَمُوْا عَلَيْهِ الْحَدَّ (متّفق عليه واللّفظ لمسلم) وَلَهُ مِنْ وَجْهٍ اخَرَ عَنْ عَائِشَةَ: كَانَتِ امْرَأَةٌ تَسْتَعِيْرُ الْمَتَاعَ وَتَجْحَدُهُ، فَاَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَطْعِ يَدِهَا.

Dari Aisyah ra berkata : sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda (yang beliau tujukan kepada usamah) : apakah kamu menolong orang dari suatu hukuman-hukuman Allah? Kemudian beliau berdiri lalu beliau berpidato seraya bersabda : wahai manusia, yang membinasakan orang-orang sebelum kamu hanyalah karena sesungguhnya mereka itu biasanya apabila mencuri di tengah-tengah mereka orang yang terhormat maka mereka biarkan saja (tanpa dihukum); dan apabila orang yang lemah mencuri di tengah-tengah mereka, maka mereka tegakkan hukuman atasnya. Muttafaq ‘alaih. Dan susunan matan tersebut menurut riwayat muslim.
                        
Menurut riwayat muslim juga dari sanad yang lain dari Aisyah beliau berkata: Ada seorang wamita meminjam barang dan dia mengingkarinya, lalu Rasulullah saw. Menyuruh potong tangannya.

HAD PEMINUM KHOMR

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ، فَجَلَهُ بِجَرِيْدَتَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِيْنَ. قَالَ:
وَفَعَلَهُ أَبُوْبَكْرٍ، فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ اسْتَشَارَ النَّاسَ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: أخفّ الحدود ثمانون، فأمر به عمر.(متّفق عليه)

Daripada Anas bin Malik (r.a) bahawa Rasulullah (s.a.w) pernah ada seorang lelaki meminum arak lalu didatangkan kepada baginda untuk disebat dua pelapah kurma sebanyak empat puluh kali. Anas (r.a) berkata: “Abu Bakar (r.a) juga pernah melakukan perkara yang sama. Namun ketika masa pemerintahan Umar (r.a), beliau meminta pandangan orang ramai tentang hukuman meminum arak ini. Abdurrahman bin Auf (r.a) mencadangkan bahawa seringan-ringan hukumam bagi peminum arak adalah lapan puluh kali sebatan.” Umar (r.a) pun menerima cadangan ini dan mempraktikkannya.” (Muttafaq ‘alaih: 1267).
Hal 136
Hikmah Hudud
Menimbulkan efek jera pada pelaku
Menumbuhkan kesadaran kepada setiap orang agar menghormati hak dan menghargai orang lain serta tidak melakukan tindak kriminal terhadap manusia baik jiwa, harta, agama, akal pikiran dan kehormatannya.
Kafarat
Berasal dari kata dasar kafara (menutupi sesuatu). Artinya adalah denda yang wajib ditunaikan yang disebabkan oleh suatu perbuatan dosa, yang bertujuan menutup dosa tersebut sehingga tidak ada lagi pengaruh dosa yang diperbuat tersebut, baik di dunia maupun di akhirat. Kafarat merupakan salah satu hukuman yang dipaparkan secara terperinsi dalam syariat Islam. Kewajiban orang yang membunuh orang, yaitu menyerah agar ia dibunuh pula, atau membayar diyat, atau dibebaskan. Selain itu ia wajib juga membayar kafarat, yaitu memerdekakan budak, kalau tidak mampu memerdekakan budak atau hamba, misalnya keadaan sekarang yang tidak ada lagi hamba, maka ia wajib puasa dua bulan berturut-turut.

مَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا     

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An Nisa :92) 

Kifarat karena membunh binatang buruan pada waktu melaksanakan ihram.
Kifaratnya yaitu dengan mengganti binatang ternak yang seimbang atau memberi makan orang miskin atau dengan berpuasa.

Sebagai tambahan di sini penulis cantumkan juga beberapa kifarat bukan karena pembunuhan, di anntaranya:
1.      Kifarat melanggar sumpah.
Jika seseornag bersumpah dengan nama Allah lalu ia melanggarnya, maka tetap kepadanya kifarah salah satu dari empat pilihan ((lihat al-Maidah,5:89) :
a.       Memberi makan 10 orang miskin.
b.      Memberi makan.
c.       Memerdekakan seorang budak.
d.      Berpuasa selama tiga hari.
2.      Kifarat karena zhihar (ظِهَارٌ)
Yaitu menyerupakan istrinya dengan ibunya (ibu suami). Misalkan si suami berkata di depan kepada isterinya, “Punggungmu seperti punggung ibuku.” Maka sejak itu suami haram menggauli isterinya sehingga ia membayar kifaratnya, salah satu dari tiga pilihan ini:
a.       Memerdekakan seorang hamba sahaya.
b.      Berpuasa dua bulan berturut-turut.
c.       Memberi makan 60 orang miskin.

3.      Hikmah kifarat.
a.       Manusia menyesali perbuatannya yang keliru.
b.      Bertaubat dengan menyesali diri atas kelemahannya.
c.       Percaya diri dengan diterimanya taubat manusia akan lebih tenang karena tuntunan agama telah dipenuhi.
Ta’zir
Ta’zir menurut bahasa adalah mashdar (kata dasar) bagi ‘azzara yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, dan membantu. Maksud ta’zir di dalam syariat adalah memberi pelajaran bagi orang yang berdosa yang tidak ada hukuman dan tidak ada kafarah (tentang dosa yang dilakukan)-nya.
Para ulama membagi jarimah ta’zir menjadi dua bagian , yaitu
Jarimah yang berkaitan dengan hak Allah SWT. Yang dimaksud dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak Allah SWT adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemashlahatan umum. Misalnya, membuat kerusakan di muka bumi, perampokan, pencurian, perzinaan, pemberontakan, dan tidak taat kepada Ulul Amri.
Jarimah yang berkaitan dengan hak perorangan. Yang dimaksud dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak hamba adalah segala sesuatu yang mengancam kemashlahatan bagi seorang manusia, seperti tidak membayar utang ataupun penghinaan.
Jenis maksiat yang hukumannya tidak ditentukan oleh syariat atau syariat menentukan batasan hukuman bagi pelakunya tetapi syarat-syarat pelaksanaannya tidak diterangkan dengan sempurna, misalnya menyetubuhi wanita selain farjinya, mencuri sesuatu yang tidak mewajibkan penegakan hukuman potong tangan di dalamnya, wanita menyetubuhi wanita (lesbian) dan tuduhan selain zina, maka wajib ditegakkan ta’zir pada kasus-kasus itu, tersebut dalam hadits:
“Janganlah kamu mencambuk melebihi sepuluh kali cambukan kecuali dalam hukuman dari hukuman-hukuman Allah Azza wa Jalla.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).

Ta’zir dilakukan oleh seorang pemimpin (hakim), demikian pula bapak boleh melakukan terhadap anaknya, tuan terhadap budaknya dan suami terhadap istrinya -dengan syarat mereka tidak melakukannya dengan berlebih-lebihan. Dibolehkan menambah ta’zir untuk mencapai makrud (dalam memberi pelajaran) atas suatu kesalahan. Tetapi jika menambah ta’zir bukan untuk tujuan ini, berarti dia telah melampaui batas dan menimpakan hukuman yang menyebabkan binasanya seseorang.

BAB PERADILAN
TIGA TIPE HAKIM

عَنْ بُرَيْدَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: "الْقَضَاةُ ثَلَاثَةٌ: اِثْنَانِ فِي النَّارِ، وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ، رَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ، وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَلَمْ يَقْضِ بِهِ وَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ لَمْ يَعْرِفِ الْحَقَّ فَقَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ". (رواه الأربعه وصحّحه الحاكم)


Daripada Buraidah (r.a), beliau berkata: Rasulullah (s.a.w) bersabda: “Hakim itu ada tiga kumpulan; dua kumpulan masuk neraka dan satu kumpulan lagi masuk syurga. Pertama, hakim yang tahu kebenaran lalu ia memutuskan suatu perkara berdasarkan kebenaran itu, maka dialah hakim yang masuk syurga. Kedua, hakim yang tahu tentang kebenaran lalu menetapkan suatu perkara tidak
berdasarakan kebenaran itu dan memutuskannya secara zalim, maka dialah hakim yang masuk neraka. Ketiga, hakim yang memang tidak tahu kebenaran, namun berani memutuskan suatu perkara tanpa berdasarkan ilmu, maka inilah pula hakim yang masuk neraka. (Diriwayatkan oleh al-Arba’ah dan dinilai sahih oleh al-Hakim: 1411).

Makna Hadis
Betapa padat kata-kata yang ditulis oleh al-Bukhari pada permulaan kitabnya. Beliau menulis: “bab betapa penting ilmu sebelum bercakap dan berbuat sesuatu, kerana Allah (s.w.t) berfirman: “Maka ketahuilah bahawa tiada tuhan selain Allah…” (Surah Muhammad: 19).” Al-Bukhari memulakan tulisannya dengan bab ilmu. Mengapa demikian? Ini kerana setiap percakapan dan perbuatan seseorang tidak dapat lepas daripada aturan syari’at. Bayangkan bagaimana seseorang boleh melaksanakan suatu perkara selari dengan hukum syari’at sedangkan dia tidak mempunyai pengetahuan tentang sesuatu itu? Mengetahui syari’at merupakan perkara penting bagi seseorang untuk menyatukan perselisihan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat ketika mereka memahami dan melaksanakan hukum syari’at itu. Oleh kerana kebenaran tidak dapat ditegakkan melainkan dengan ilmu dan amal, maka dalam kaitan ini manusia itu dibahagikan kepada tiga
kumpulan:
1. Orang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya.
2. Orang beramal tetapi tidak mempunya ilmunya.
3. Orang berilmu sekali gus mengamalkan ilmunya.
Jika melihat klasifikasi itu, jelaslah bahawa orang yang menghimpunkanantara ilmu dengan amal hanya segelintir orang sahaja. Maka tidaklah hairan jika Rasulullah (s.a.w) bersabda seperti mana dalam hadis tersebut di atas: “Dua kumpulan masuk neraka dan satu kumpulan lagi masuk syurga.” Jika kita sudah klasifikasi ini, kita dapat memahami apa yang difirmankan oleh Allah (s.w.t):
Istimbat Hukum:‎
1.      Penegak hukum yang bisa selamat dari neraka ialah yang memahami kebanaran dan mengamalkannya. Yang penting adalah pengamalan kebenaran itu.
2.      Penegak hukum yang memahami kebenaran tapi tidak memutuskan perkara dengan kebenaran ia adalah penghuni neraka.
3.      Penegak hukum yang memutuskan perkara dengan kebodohan maka baginya neraka.
4.      Ancaman memutuskan perkara dengan kebodohan/bertentangan dengan kebenaran meskipun ia memahami kebenaran itu.
5.      Larangan mengangkat orang jahil sebagai penegak hukum.
                                                                                         
PERLUNYA KESETABILAN JIWA HAKIM

عن أبى بكر رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: لا يحكم أحد بين إثنين وهو غضبان. 
(متفق عليه)
Artinya: dari abu bakar r.a beliau berkata: saya mendengar Rasulullah SAW: tidak boleh orang memutuskan perkara antara 2 orang dalam keadaan dia marah.
Istimbat Hukum:
1.      Larangan hakim dalam memutuskan perkara diantara para pihak yang berperkara dalam keadaan marah, karena marah menyebabkan hakim tidak dapat memahami kasus dengan benar serta menentukan hukum syara’ pada kasus itu sehingga berpengaruh pada putusannya
2.      Jika memutuskan perkara, hendaknya hakim tidak disibukkan dengan persoalan lain kecuali kasus yang dihadapi
3.      Ketika hakim memutuskan perkara diantara para pihak, tidak  boleh dalam keadaan pikirannya terganggu seperti kegelisahan yang sangat atau sakit sehingga terganggu dalam pengambilan putusan
4.      Larangan bagi hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah mengakibatkan harta, kehormatan, kemerdekaan dan fisik orang terlindungi

IJTIHAD HAKIM ‎

عن عمروبن العاص أنّه سمع رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: إِذَا أَرَادَ الْحَاكِمُ أَنْ يَحْكُمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ. فَإِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ (متفق عليه) 

Artinya: dari annas bin al ash sesungguhnya dia mendengar Rasulullah SAW bersabda: apabila hakim memutuskan perkara lalu dia berijtihad kemudian benar ijtihadnya maka dia mendapatkan 2 fahala. Maka apabila ia memutuskan perkara lalu berijtihad kemudian salah maka dia mendapatkan 1 fahala.

Istimbat Hukum:‎
1.      Hadist ini merupakan dalil, bahwa hukum Allah yang berkaitan dalam setiap kasus (persoalan) itu hanya satu tertentu. Kadang-kadang kebenaran itu diberikan kepada hakim yang mencurahkan pikirannya, memajami dalil, dan mendapatkan taufik (ketetapan atau kesesuaian) dari Allah, maka dia mendapatkan 2 pahala yaitu pahala putusan yang benar dan pahala ijtihad
2.      Sedangkan hakim yang berijtihad kemudian ijtihadnya keliru, maka diamendapatkan satu pahala yaitu pahala ijtihad
3.      Disyaratkan bagi seorang hakim sebagai mujtahid.

DAKWAAN DAN PEMBUKTIAN  ‎

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى ناَسٌ دِمَاءَ رِجَالٍ وَ أَمْوَالَهُمْ، وَلَكِنِ الْيَمِيْنُ / وَلَكِنَّ الْيَمِيْنَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ". (متّفق عليه)

Dari Ibn ‘Abbas (r.a) bahwa Rasulullah (s.a.w) bersabda: “Andaikan orang-orang dibiarkan dengan dakwaan mereka maka orang-orang akan menumpahkan darah orang lain dan merampas harta mereka, tetapi sumpah wajib dikenakan kepada orang yang didakwa.” (muttafaq ‘alaih)

Istimbat Hukum:
1.      Perkataan seseorang tidak boleh diterima berdasarkan pada pengakuan saja (dari penggugat) tetapi dibutuhkan alat bukti atau sumpah dari orang yang digugat
2.      Penggugat berhak meminta sumpah dari tergugat
3.      Hadist tersebut sebagai sarana menutup kerusakan karena syari’t islam menghadirkan kemaslahatan dan menolak kerusakan

Asbabul Wurud:
Diceritakan ada dua wanita sedang menjahit di sebuah rumah atau sebuah kamar maka salah seorang diantara keduanya keluar dari rumah atau kamar tersebut dan telapak tangannya telah ditusuk dengan sebuah jarum, kemudian dia mendakwa bahwa teman yang satu telah menusuknya. Kemudian perkara ini disampaikan kepada sahabat Abdullah Bin Abbas ra. Maka beliau menyatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:
 لو
 يعطى النّاس بدعواهم لا ذهب دماء قوم وأمواله‎

ANCAMAN SUMPAH PALSU 

عن عبد الله بن عمرو (بن العاص) قال جاء اعرابيّ الى النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم فقال: يا رسول الله ما الكبائر؟ فذكر الحديث وفيه اليمين الغموس وفيه قلت. وما اليمين الغموس؟ قال: الّتي يقتطع بها مال امرئ مسلم هو فيها كاذب (أخرجه البخاري)

Artinya : dari abdullah bin Amru (bin Al Ash) r.a beliau berkata: seorang arab badwi datang menghadap Rasulullah saw. Lalu, dia bertanya : ya Rasulullah, apakah dosa-dosa besar itu? Lalu ia (abdullah bin amru) menyebutkan hadist itu. Dana dalamnya hadist itu disebutkan : sumpah palsu. Dan dalamnya, saya bertanya : apakah sumpah palsu itu? Beliau bersabda : ialah sumpah yang karenanya dia mengambil harta orang muslim padahal dia dusta dalam sumpahnya itu. Diriwayatkan oleh al bukhori.
Istimbat hukum:
1.      Sumpah palsu termasuk dosa besar
2.      Sahabat sangat berharap untuk mendapat jawaban itu tuntutan agama

PERDAMAIAN

عن عمرو بن  عوفٍ الْمُزَنِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم  قال : (الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا وَ اَحَلَّ حَرَامًا) رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَصَحَّحَهُ ، وَ اَنْكَرُوْا عَلَيْهِ : لِأَنَّ زَاوِيَهُ كَثِيْرَ بْنَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عمروبن عَوْفٍ ضَعِيْفٌ. وَ كَأَنَّهُ  إِعْتَبَرَهُ بِكَثْرَةِ طُرُقِهِ

Artinya: dari Amar Ibnu Auf Al Muzany r.a bahwa Rasulullah SAW Bersabda: perdamaian itu boleh dilakukan antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan hal yang halal atau menghalalkan hal yang haram. Kaum  muslim wajib berpegang pada syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan hal yang halal atau menghalalkan hal yang haram. “hadist soheh riwayat tirmidzi. Namun banyak yang mengingkarinya karena seorng perawinya yang bernama katsir Ibnu Abdullah Ibnu Amar Ibnu Auf adalah lemah. Mungkin tirmidzi menganggapnya baik karena banyak sanadnya.

Istimbat hukum:
1.      Disyari’atkan berdamai diantara orang yang bersengketa
2.      Perdamaian itu harus ditaati oleh semua orang asalkan perdamaian itu tidak bertentangan dengan syari’at‎

Keutamaan penegak hukum  dan anjuran melaksanakan penegakan hukum dengan  adil dalam penegakkan hukum dan usaha hukumnya orang yang kepingin memilih profesi penegak hukum.

Sesungguhnya kebanyakan pengarang dari sahabat kami (hanafi) berlebihan alam menakut-nakuti orang yang memilih profesi sebagai penegak hukum. Memperketatkan kebencian untuk berusaha menduduki profesi penegak hukum, menganjurkan agar berpaling dari jabatan penegak hukum. Sehingga terpola di dalam hati dan pikiran sebagian besar dari ahli fiqih dan orang yang menganjurkan kebaikan. Orang yang memilih hakim keimanannya buruk sekali. Pendapat ini  merupakan kesalahan yang buruk sekali kita wajib kembali daripendapat ini bahkan kita wajib bertaubat kepada allah karena memiliki pendapat seperti itu.Wajib bagi kita mengagungkan jabatan ini dan wajib bagi kita mengerti kedudukan profesi ini dalam agama kita. Di dalam masalah ini maka di utuslah para rasul dengan menegakkan hokum ini,langit dan bumi akan tegak. Nabi menjadikan kedudukan profesi hakim dari kenikmatan2, diperbolehkan iri (mengaharapkan kesenangan orang hilang dan datang kepada kita). dari abi mas’ud “tidak boleh iri kepada 2 orang ini”boleh iri kepada
·       Seseorang yang diberi harta dan diberi kemampuan oleh Allah untuk menggunakannya di jalan Allah
·      Seseorang yang diberi hikmah atau kebijakan dan memutus dan mengamalkan ilmunya dengan hikmah tersebut.

Siapakah pertama kali yang menuju ke Naungan allah? Allah yang maha tahu
Bahwa kanjeng nabi bersabda, apakah kamu tahu siapa yang paling duluan pertama kali menuju naungan Allah pada hari kiamat? Allah Maha Tahu dan rasul mengetahui berdasarkan wahyu yg diberikan Allah.

Jika diberikan orang-orang yang nanti paling duluan selamat dari hari kiamat itu orang-orang yg diberikan hak dia menerima hak itu, jika diminta menjadi saksi, dia berikan. Apabila dia memutuskan perkara di kalangan orang-orang muslim dia memutuskan perkara seperti memutuskan perkara untuk dirinya sendiri (berarti dia bersifat adil). Ada 7 org yg nanti di naungi ALLAH pada hari kiamat di bawah naungan arshnya. Yaitu seorang pemimpin yang adil. Maka rasulullah bersabda: org2 yg adil nanti berada di mimbar terbuat dari cahaya, pada hari kiamat di tangannya Allah yg maha pengasih lagi penyayang dan kedua tangannya adalah tangan kanan.  Abdullah bin mas’ud berkata jika kamu memutuskan perkara dalam sehari lebih senang daripada ibadah 70 tahun. Jika keputusannya sehari itu benar maka itu lebih utama drai pada ibadah 70 tahun. Berbuat adil diantara manusia termasuk perbuatan utama yang baik... yaitu derajat pahala yg paling puncak. Firman Allah: (dan jika menentukan perkara maka putuskanlah diantara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai org2 yg berbuat adil) apa saja lebih mulia dari cinta Allah.

Ketahuilah bahwa setiap apa yg ada dari hadist2 di dalamnya ada anjuran menakutkan dan ancaman hanya ditujukan kepada hakim2 yg dzolim, org tdk berpengatuhan yg memasukkan dirinya pd jabatan ini tanpa pengetahuan. Pada 2 kelompok inilah ancaman itu di tujukan. Sedangkan sabda nabi yg mengatakan begini barang siapa yg menegakkan peradilan maka dia disembelih dengan pisau. Banyak orang menampilkan hadist trsbt dalam artian sebagai ancaman bagi siapa yg memegang jabatan hukum. Org ngomong itu dari aspek ancaman aja. Sebagian ahli ilm mengatakan hadis ini menunjukkan dalil qodo’ dan ketinggian martabatnya.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar