Jumat, 12 Februari 2016

Penjelasan Tentang Rukhshoh (Keringanan) Dalam Ibadah

Allah mengutus Rasulullah SAW bukan untuk menyusahkan dan mempersulit manusia. Ia membawa syariah yang sesuai dengan karakter manusia dengan segala kemudahan dan kemurahan sebagai wujud kasih sayang Allah kepada hambanya. Adanya rukhsah dalam syariah merupakan anugerah Allah yang patut kita syukuri dan mencerminkan universalitas dan kemudahan dalam Islam. Allah berfirman :

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا

"Allah menghendaki untuk memberikan keringanan bagimu. Dan Dia menciptakan manusia sebagai makhluk yang lemah".
Banyak ayat-ayat al Quran dan hadits-hadits Rasulullah yang menjelakan tentang banyaknya kemudahan dalam Islam, yang semua itu menjadi bukti bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh penghuni alam (rahmatan lil `alamin). 

Tiada yang patut kita lakukan kecuali hanya bersyukur atas semua rahmat Allah dalam berbagai sendi kehidupan dengan menggerakkan anggota badan sesuai dengan tujuan penciptaan.

Rasulullah SAW bersabda:

إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا  يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

"Sesungguhnya Allah senang untuk memberi rukhshah (kemudahan), sebagaimana Dia benci untuk memberikan maksiatNya".

Menurut Al Imam Al-Ghazali, secara istilah, rukhsah ialah sebuah ungkapan untuk perkara yang dimudahkan dan dilapangkan bagi seorang mukallaf dalam melakukannya, sebab udzur dan tidak mampu melakukannya, disertai adanya penyebab yang menghalangi.

Rukhsah mempunyai keterkaitan makna dengan `azimah yang secara lughat berarti niat, kehendak yang kuat. Secara istilah azimah ialah ungkapan untuk sesuatu yang wajib bagi para hamba berdasar pewajiban dari Allah SAW. 

Rukhsah dan `azimah sebagai pembanding selalu berdampingan dan dinisbatkan pada hukum syar'i berdasar kesepakatan ulama. Kedua-duanya termasuk hukum wadl'i menurut pendapat yang rajih. Sedang menurut pendapat marjuh, keduanya termasuk hukum taklifi. Dengan demikian, taklif selalu ada dalam `azimah seperti keberadaannya dalam rukhshah. Tetapi taklif dalam `azimah bersifat pokok (ashli), global (kulli),berlaku umum dan jelas. Taklif dalam rukhsah bersifat insidensial (thori'),spesifik (juz'i), tidak berlaku umum, dan samar. `Azimah juga merupakan gambaran hak Allah atas hambaNya, sedang rukhsah adalah gambaran dari kasih sayang Allah untuk hambanya.

Rukhshah secara bahasa, berarti izin pengurangan atau keringanan. Sedangkan menurut ulama ushul diartikan dengan: 

الْحُكْمُ الثَّابِتُ عَلَى خِلاَفِ الدَّلِيْلِ لِعُذْرٍ 

Hukum yang berlaku berdasarkan dalil yang menyalahi dalil yang ada karena adanya udzur.

Dari pengertian di atas dipahami tiga syarat dari rukhshah yaitu: 

1. Rukhshah (keringanan) hendaknya berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah baik secara tekstual maupun konstektual melalui qiyas (analogi) atau ijtihad, bukan berdasarkan kemauan dan dugaan sendiri. 

2. Kata hukum mencakup semua hukum dan dalil hukum yang ada seperti wajib, sunnah, haram dan mubah semuanya bisa terjadi rukhshah di dalamnya. 

3. Adanya udzur baik berupa kesukaran atau keberatan dalam melakukannya.

HIKMAH ADANYA RUKHSHAH. 

Adanya rukhshah (keringanan) merupakan bagian dari kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala pada hamba-Nya dan bukti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan sebagaimana firman -Nya: 

{ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ } 

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [al Baqarah/ 2:185]

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

{ يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا } 

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [an Nisaa/4:28].

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

{ إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ }

Sesungguhnya agama ini mudah dan tidak ada orang yang berlebih-lebihan dalam agama ini kecuali akan mengalahkannya (tidak mampu melakukannya)”.[HR. Bukhari]

PEMBAGIAN RUKHSHAH. 

Ditinjau dari segi bentuknya rukhshah dibagi menjadi tujuh macam yaitu: 

1. Rukhshah dengan menggugurkan kewajiban seperti boleh meninggalkan perbuatan wajib atau sunnah karena berat dalam melaksanakannya atau membahayakan dirinya apabila melakukan perbuatan tersebut, misalnya orang sakit atau dalam perjalanan boleh meninggalkan puasa Ramadhan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain". [al-Baqarah/2:184].

Rukhshah juga diberikan kepada wanita untuk meninggalkan shalat ketika sedang haid atau nifas, tidak berpuasa ketika hamil atau menyusui. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : Diberikan rukhshah kepada orang tua jompo untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan memberi makan orang miskin setiap hari dan tidak wajib qadha (mengulangi) puasanya, begitu juga kepada wanita hamil dan menyusui kalau dia khawatir akan dirinya maka boleh tidak berpuasa dan memberikan makan seorang miskin setiap hari selama tidak berpuasa. Ibnu Abbas juga berkata: Apabila perempuan hamil khawatir atas kesehatan dirinya atau ibu menyusui yang khawatir atas anaknya maka mereka berdua boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan setiap hari seorang miskin dan tidak mengqadha’ puasanya.

Disebutkan riwayat Nafi’ bahwa puteri Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu menikah dengan seorang dari Qurays. Dalam keadaan hamil ia puasa Ramadhan dan mengalami kehausan. Abdullah bin Umar memerintahkan untuk berbuka dan menyuruhnya untuk memberi makan seorang miskin. 

Contoh rukhshah yang lain seperti bolehnya meninggalkan shalat jumat karena uzur musafir atau sakit tetapi menggantinya dengan shalat zuhur. Dari Thariq bin Syihab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ 

Shalat Jumat wajib bagi setiap muslim dengan berjamaah kecuali empat orang: hamba sahaya, perempuan, anak-anak dan orang sakit. [HR.Abu Daud, Baihaqi-Shahih].

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ 

Tidak wajib shalat jumat bagi orang yang musafir” 

Rukhshah tidak shalat jumat juga diberikan kepada orang yang sedang menjaga sesuatu yang sangat vital. Salah seorang yang bertugas di bagian sentral imformasi yang bertanggungjawab terhadap keamanan dan kebutuhan orang banyak pernah bertanya apakah dia boleh tidak ikut shalat berjamaah atau shalat jumat?. Hukum asal melakukan shalat Jum’at bagi setiap orang muslim yang berakal dan muqim adalah wajib, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegerahlah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [al-Jum’ah/62:9]

Dan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Muslim dari Ibn Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda terhadap kaum yang tidak melakukan shalat Jum’at:

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْ الْجُمُعَةِ بُيُوتَهُمْ

Sesungguhnya aku ingin menyuruh seseorang menggantikanku menjadi imam shalat bersama orang-orang, kemudian aku akan membakar rumah-rumah orang-orang yang tertinggal shalat Jum’at.”

Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dan Ibn Umar keduanya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ

Hendaknya kaum-kaum itu berhenti meninggalkan shalat Jum’at atau Allah benar-benar akan mengunci hati mereka kemudian mereka benar-benar termasuk golongan orang-orang yang lengah.

Dan ulama sepakat bahwa jika teradapat udzur syar’i bagi orang yang wajib Jum’at, misalnya sebagai penanggungjawab langsung pekerjaan yang berhubungan dengan keamanan umat dan menjaga kesejahteraan mereka yang diharuskan untuk tetap dilaksanakan pada waktu shalat Jum’at juga seperti petugas lalu lintas atau petugas sentral keamanan dan semacamnya, maka mereka boleh meninggalkan shalat Jum’at dan jama’ah berdasarkan keumuman firman Allah “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” [at-Thaghabun/64: 16]

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ 

Apa yang aku larang untukmu melakukannya maka tinggalkanlah, dan apa yang aku perintahkan melakukannya maka lakukanlah sesuai kesanggupan kamu.”

Hanya saja hal itu tidak menggugurkan kewajiban shalat dhuhur dan harus melakukannya pada waktunya.

2. Rukhshah dalam bentuk mengurangi kadar kewajiban, seperti mengurangi jumlah rakaat shalat yang empat pada waktu qashar atau mengurangi waktunya pada shalat jama’ karena musafir, Allah Subahnahu wa Ta'ala, berfirman : "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu [an-Nisaa/4:101].

Rukhshah menjama’ shalat juga diberikan karena ada uzur mendesak sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Zuhur dan Ashar di Madinah bukan karena takut atau musafir. Abu Zubair bekata; saya bertanya kepada Said kenapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuat demikian?. Said menjawab; saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana yang anda tanyakan dan beliau menjawab : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin agar tidak memberatkan umatnya". Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini mengatakan : “Mayoritas ulama membolehkan menjamak shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan)". Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjamak shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.

3. Rukhshah dalam bentuk mengganti kewajiban dengan kewajiban lain yang lebih ringan seperti mengganti wudhu’ dan mandi dengan tayamum karena tidak ada air atau tidak bisa atau tidak boleh menggunakan air karena sakit dan lainnya, mengganti shalat berdiri dengan duduk, berbaring atau isyarat, mengganti puasa wajib dengan memberikan makan kepada fakir miskin bagi orang tua yang tidak bisa berpuasa atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuhnya. 

4. Rukhshah dalam bentuk penangguhan pelaksanaannya kewajiban seperti penangguhan shalat Zuhur ke shalat Ashar ketika jama’ ta’khir atau menangguhkan pelaksanaan puasa ke luar bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau musafir. 

5. Rukhshah dalam bentuk mendahulukan pelakasanaan kewajiban seperti membayar zakat fithrah beberapa hari sebelum hari raya padahal wajibnya adalah pada akhir Ramadhan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu mengeluarkan zakat sehari atau dua hari sebelum hari raya [HR.Bukhari].

Atau seperti mendahulukan pelaksanaan shalat Ashar di waktu Zuhur ketika jama’ taqdim.

6. Rukhshah dalam bentuk merubah kewajiban seperti merubah cara melaksasnakan shalat ketika sakit atau dalam keadaan perang, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ 

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka'at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersalat,lalu bersalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata….. [an-Nisaa/4: 102].

7. Rukhshah dalam bentuk membolehkan melakukan perbuatan yang haram dan meninggalkan perbuatan yang wajib karena adanya uzur syar'i seperti bolehnya memakan memakan bangkai, darah, dan daging babi pada asalnya haram, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al-Baqarah/4: 173].

Melakukan jual beli selama dengan memberikan harga (pembayaran) terlebih dahulu dan barangnya menyusul dengan syarat ditentukan jumlah, sifat, dan tempat penerimaannya juga termasuk rukhshah, misalnya seorang petani menerima uang harga gabahnya yang belum dia panen karena dia butuh kepada uang, hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu.

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ 

Rasulullah tiba di Madinah dan mereka sedang melakukan jual beli salam pada buah-buahan setahun atau dua tahun, beliau bersabda,” Barangsiapa yang melakukan jual beli salam pada buah-buahan maka hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan waktu yang jelas”. [HR Bukhari dan Muslim].

Padahal hukum asal dalam jual beli adalah al-taqabudh yaitu serah terima barang dan harganya dan tidak boleh ada yang ditunda. 

Ada juga rukhshah yang diberikan karena adanya uzur ketererpaksaan misalnya bolehnya mengucapkan kata-kata yang mengkafirkan dengan syarat hatinya masih tetap beriman, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. [an-Nahl/16: 106].

Macam-macam Rukhsah

Ulama syafi'iyah membagi rukhsah menjadi empat macam dengan memandang hukumnya. Yaitu rukhsah wajib, rukhsah sunah, rukhsah mubah dan rukhsah khilaful awla.

Contoh rukhsah wajib adalah diperbolehkannya mengkonsumsi barang yang diharamkan bagi orang yang terdesak. Ada yang mengatakan hukum masalah ini adalah jaiz (boleh) berdasarkan alasan bahwa hukum wajib bertentangan rukhsah. Dengan demikian, seorang ulama mengatakan bahwa masalah ini bukan dalam kategori rukhsah, tetapi bisa disebut sebagai `azimah, sama halnya dengan berhenti berpuasa (ifthar) dalam bulan ramadlan bagi orang yang sakit.

Rukhsah sunah seperti shalat qashar bagi musafir dengan tujuan sejauh tiga marhalah atau lebih sekira dapat menimbukan kesulitan dalam perjalanan, melihat kepada wanita yang di-khithbah dan mencampur harta anak yatim dengan harta milik sendiri sebatas ada keperluan

Rukhsah mubah seperti diperbolehkannya akad bertentanga dengan qiyas, seperti aqad salam, `ariyah, masaqah, ijarah dan contoh-contoh lain yang diperbolehan karena ada keperluan.

Yang ke empat adalah rukhsah yang berhukum khilaf al awla. Seperti ifthar puasa bagi orang yang berpergian, padahal ia sebenarnya mampu dan kuat untuk melanjutkan puasa.

Melakukan rukhsah secara berturut-turut.

Rukhsah-rukhsah syar'iyah yang berdasarkan al-Quran dan hadits boleh dilakukan secara berturut-turut. Tetapi melakukan rukhsah yang timbul berdasar pendapat ulama yang bersifat ijtihadi dianggap sebagai perbuatan lari dari jaring-jaring taklif, lari dari tanggung jawab, merobohkan pilar-pilar perintah dan larangan, mengingkari hak-hak Allah atas hambanya, dan bertentangan dengan tujuan diberlakulannya syariah. Para ulama menyebut pelaku perbuatan ini sebagai orang yang fasiq, bahkan Ibnu Hazm menyatakan hal ini sudah menjadi consensus (ijma') para ulama. Beliau berkata: "Jika kamu melakukan setiap rukhsah ulama, maka akan berkumpul dalam dirimu semua keburukan".

Rukhsah Bersifat Idlafiyah

Rukhsah dengan banyaknya dalil yang mendukungnya, serta dorongan syariah untuk senang melakukannya adalah bersifat idlafi. Artinya setiap seorang mukallaf mengetahui kondisi dirinya untuk tidak atau melakukan rukhsah. Untuk penjelasan masalah ini, cukup dengan memahami bahwa masyaqah (kesulitan) yang menjadi penyebab terpenting timbulnya rukhsah, berbeda-beda kuat dan lemahnya sesuai dengan keadaan manusia. Hukum rukhsah bagi musafir pun bermacam-macam sesuai dengan keadaan musafir itu sendiri, waktu saat melakukan perjalanan, jauh tidaknya, sarana-sarananya dan hal-hal lain yang sulit untuk didefinisakan. Jadi, hukum rukhsah tidak tergantung pada masyaqah itu sendiri tetapi disandarkan pada perkara lain yang secara umum menunjukkan nilai masyaqah. Dalam contoh musafir, yang secara umum menunjukkan nilai masyaqah ialah safar itu sendiri, sebab safar diketauai sebagai tempat timbulnya masyaqah.

HUKUM MENGGUNAKAN RUKHSHAH. 

Apakah orang yang mendapatkan rukhshah karena uzur seperti di atas wajib melakukan rukhsah tersebut atau hukumnya ibahah (boleh mengamalnya atau meninggalkannya)?. Masalah ini menjadi perbincangan di kalangan para ulama. Imam Abu Ishaq Al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaaqat menyebutkan hukum menggunakan rukhsah adalah mubah, artinya boleh dilakukan atau tidak. Alasannya karena pada dasarnya rukhshah itu hanyalah keringanan agar tidak menyulitkan dan memberatkan, maka seseorang boleh memilih antara mengamalkan rukhshah tersebut atau tidak tergantung uzur kesulitan atau keberatan yang dia hadapi, misalnya orang musafir dia diberikan kelapangan untuk memilih apakah ia mau mengqashar shalatnya atau itmam (menyempurnakannya empat rakaat) tergantung kepada uzurnya. Kalau menggunakan rukhshah itu diperintahkan baik secara wajib maupun sunnah maka bukan lagi sebuah keringanan, tetapi kewajiban yang harus dilakukan dan tidak boleh ada pilihan lain. 

Pendapat dan argumentasi al-Syatibi di atas dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa menggunakan rukhsah adalah harus dan kembali kepada hukum asalnya apakah ia wajib atau sunat, misalnya menjaga jiwa agar tidak binasa adalah wajib, maka memakan babi bagi mereka yang terpaksa agar tidak mati kelaparan adalah wajib bukan mubah. Karena kalau dikatakan mubah maka orang tersebut boleh memilih antara makan atau membiarkan dirinya tidak makan walaupun dirinya mati kelaparan. 

Dalam kasus mengqashar dan menjama’ shalat bagi orang musafir, syaikh Abdul Adzim al-Khulaify mengatakan wajib bagi orang musafir untuk melakukannya. Ini artinya orang yang musafir wajib melakukan qashar shalat sekalipun dalam perjalanannya itu ia tidak mendapatkan kesulitan atau tidak berat melakukan shalat secara sempurna. Beliau memberikan beberapa dalil di antaranya:

Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas beliau berkata: 

فَرَضَ اللَّهُ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِي السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً 

Allah mewajibkan shalat melalui lisan nabimu ketika muqim empat rakaat, ketika dalam perjalanan dua rakaat dan ketika dalam keadaan takut satu rakaat” [HR Muslim].

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata: 

صَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ وَالْفِطْرُ وَالْأَضْحَى رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Shalat dalam perjalanan dua rakaat, shalat Jumat dua rakaat, shalat idul fithri dan idul adha dua rakaat, secara sempurna bukan dikurangi menurut perintah Rasulullah. [HR. Ibnu Majah dan Nasa’i].

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:

أَنَّ الصَّلَاةَ أَوَّلَ مَا فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ 

Pertama kali shalat difardhukan dua rakaat, kemudian ditetapkan demikian pada shalat musafir dan mengenapkan (empat rakaat) ketika tidak musafir. [HR.Bukhari dan Muslim].

Rukhshoh Bagi Orang Yang Sakit

Orang yang menderita penyakit diberikan begitu banyak keringanan dalam hukum-hukum syariah. Nash-nash yang kita miliki, baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah, banyak sekali mengandung penjelasan yang meringankan beban taklif bagi mereka yang sakit.

A. Dalam Masalah Thaharah

Dalam masalah thaharah yang menjadi syarat dari menjalankan shalat dan ibadah lainnya, ada keringanan khusus bagi mereka yang sedang sakit.

1. Sakit Membolehkan Tayammum

Salah satu penyebab dibolehkannya tayammum sebagai pengganti dari wudhu adalah tatkala seseorang dalam keadaan sakit. Sehingga walaupun terdapat air, tetapi manakala seseorang sedang dalam keadaan tidak mungkin terkena air, dia boleh bertayammum.

Dalilnya adalah hadits berikut ini :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ : خَرَجْنَا فيِ سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَر فَشَجَّهُ فيِ رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ هَلْ تَجِدُونَ ليِ رُخْصَةً فيِ التَّيَمُّم ؟ فَقَالُوا : مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلى المَاء فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلىَ رَسُولِ اللهِ أَخْبَرَ بِذَلِكَ فَقَالَ : قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ الله أَلاَ سَأَلُوا إِذَا لَم يَعْلَمُوا ؟ فَإِنَّمَا شِفَاءُ العَيِّ السُّؤَال إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِبَ عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ رواه أبو داود والدارقطني

Dari Jabir radhiyallahu anhu berkata"Kami dalam perjalanan tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada temannya"Apakah kalian membolehkan aku bertayammum ?". Teman-temannya menjawab"Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air". Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu bersabdalah beliau"Mereka telah membunuhnya semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu ? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayammum ...(HR. Abu Daud, Ad-Daruquthuny).

2. Mengusap Perban

Selain dibolehkan tayammum, orang yang sedang menderita luka pada kulit dan diperban, maka dia boleh tidak membasahi perbannya itu dengan air, tetapi cukup dengan mengusapkan tangannya yang basah. Artinya, lukanya tetap kering tidak kena air wudhu'.

Hal itu dibenarkan bagi mereka yang sedang sakit, dengan dasar hadits Ali bin Abi Thalib berikut ini.

كُسِرَ زَنْدِي يَوْمَ أُحُدٍ فَسَقَطَ اللِّوَاءُ مِنْ يَدِي فَقَال النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اجْعَلُوهَا فِي يَسَارِهِ فَإِنَّهُ صَاحِبُ لِوَائِي فِي الدُّنْيَا وَالآْخِرَةِ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُول اللَّهِ مَا أَصْنَعُ بِالْجَبَائِرِ ؟ فَقَال : امْسَحْ عَلَيْهَا

Ali bin Abi Thalib berkata,"Lenganku patah pada perang Uhud sehingga terjatuhlah bendera dari tanganku. Lalu Nabi SAW memerintahkan,"Pegang dengan tangan kiri, karena sesungguhnya dia (Ali) akan jadi pemegang bendera di dunia dan akhirat". Lalu Aku bertaka,"Apa yang aku kerjakan bila ada perbannya?". Beliau SAW bersabda,"Cukup diusap di atasnya". (HR. Ibnu Majah).

B. Keringanan Dalam Shalat

Keringanan dalam mengerjakan shalat pun diberikan kepada orang sakit. Di antaranya dibolehkannya shalat sambil duduk, tidak terlalu menghadap kiblat, tidak ikut shalat Jumat dan Id, menjama' shalat dan lainnya.

1. Tidak Bisa Berdiri

Berdiri adalah rukun shalat, sehingga orang yang shalatnya tidak berdiri maka shalatnya tidak sah.

Namun khusus buat orang yang sakit dan tidak mampu berdiri dengan benar kecuali dengan bersandar, dibolehkan berdiri dengan bersandar.

Bila tidak mampu juga, maka dibolehkan shalat dengan tanpa berdiri, sehingga posisinya cukup dengan duduk saja. Dan bila tidak mampu duduk sendiri, dibolehkan duduk sambil bersandar.

Dasarnya adalah hadits nabawi berikut ini :

كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ رَسُول اللَّهِ فَقَال : صَل قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِكَ

Dari Imran bin Hushain berkata,”Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda,”Shalatlah sambil berdiri, kalau tidak bisa, maka shalatlah sambil duduk. Kalau tidak bisa, shalatlah di atas lambungmu. (HR. Bukhari)

2. Tidak Bisa Ruku'
Bagaimana bila seorang yang sakit tidak mampu melakukan gerakan dan posisi ruku?

Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu pendapat jumhur ulama dan pendapt Al-Hanafiyah.

a. Jumhur Ulama

Menurut jumhur ulama, orang yang tidak bisa melakukan gerakan atau berposisi ruku’, dia harus berdiri tegak, lalu mengangguk kepala, namun masih tetap berdiri.

Dasarnya adalah hadits berikut ini :

وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Berdirilah untuk Allah dengan Khusyu’

Maksudnya, bila orang sakit tidak mampu melakukan gerakan ruku, maka dia mengambil posisi dasar yaitu berdiri. Ruku’nya hanya dengan mengangguk saja.

b. Mazhab Al-Hanafiyah

Namun menurut pendapat Al-Hanafiyah, orang yang tidak mampu melakukan gerakan ruku’, secara otomatis tidak lagi wajib melakukan posisi berdiri. Sehingga dia shalat sambil duduk saja, rukunnya dengan cara mengangguk dalam posisi duduk, bukan dari posisi berdiri. 

3. Tidak Bisa Sujud

Posisi sujud adalah bagian dari rukun shalat yang apabila ditinggalkan akan membuat shalat itu menjadi tidak sah. Sebagaimana ruku’ yang juga merupakan rukun shalat, sujud juga diperintahkan di dalam Al-Quran.

ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا

Ruku’ lah dan sujudlah (QS. Al-Hajj : 77)

Namun orang yang sakit dan tidak mampu untuk melakukan gerakan sujud, tentu tidak bisa dipaksa. Dia mendapatkan keringanan dari Allah SWT untuk sebisa-bisanya melakukan sujud, meski tidak sempurna.

Orang yang bisa berdiri tapi tidak bisa sujud, dia cukup membungkuk sedikit saja dengan badan masih dalam keadaan berdiri. Dia tidak boleh berbaring, sambil menganggukkan kepala untuk sujud. Bila hal itu dilakukannya malah akan membatalkan shalatnya.

Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :

إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَسْجُدَ عَلَى الأَْرْضِ وَإِلاَّ فَأَوْمِئْ إِيمَاءً وَاجْعَل سُجُودَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوعِكَ

Bila kamu mampu untuk sujud di atas tanah, maka lakukanlah. Namun bila tidak, maka anggukan kepala. Jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku’mu. (HR. Ath-Thabrani)

4. Tidak Bisa Menghadap Kiblat

Seseorang yang sedang menderita sakit tertentu sehingga tidak mampu berdiri atau duduk, maka dia tetap wajib shlat dengan menghadap kiblat. Namun caranya memang agak berbeda-beda di antara para ulama.

Sebagian mengatakan bahwa caranya dengan berbaring miring, posisi bagian kanan tubuhnya ada di bawah dan bagian kiri tubuhnya di atas. Mirip dengan posisi mayat yang masuk ke liang lahat.

Dalilnya karena dalam pandangan mereka, yang dimaksud dengan menghadap kiblat harus dada dan bukan wajah. Maka intinya adalah bagaimana dada itu bisa menghadap kiblat. Dan caranya dengan shalat dengan posisi miring.

Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah SAW sendiri yang memerintahkan untuk shalat di atas lambung.

Dasarnya adalah hadits nabawi berikut ini :

كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ رَسُول اللَّهِ  فَقَال : صَل قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِكَ

Dari Imran bin Hushain berkata,”Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda,”Shalatlah sambil berdiri, kalau tidak bisa, maka shalatlah sambil duduk. Kalau tidak bisa, shalatlah di atas lambungmu. (HR. Bukhari)

Namun sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menghadap kiblat adalah kaki, bukan dada. Asalkan kakinya sudah menghadap kiblat, maka dianggap posisi badannya sudah memenuhi syarat.

Maka orang yang sakit itu dalam posisi telentang dan kakinya membujur ke arah kiblat.

Namun akan jauh lebih baik bila badannya bisa sedikit dinaikkan dan bersender di bantal, karena baik dada mau pun kaki sama-sama bisa menghadap kiblat. Umumnya ranjang di rumah sakit bisa ditinggikan di bagian kepala, maka ranjang seperti ini tentu akan lebih baik lagi.

Adapun seseorang yang sakitnya amat parah sehingga tidak bisa lagi menggerakkan badan atau menggeser posisinya agar menghadap ke kiblat, dan juga tidak ada yang membantunya untuk menggeserkan posisi shalat menghadap ke kiblat, maka dia boleh menghadap ke arah mana saja.

5. Tidak Wajib Ikut Shalat Jumat

Kewajiban untuk mengerjakan shalat Jumat menjadi gugur manakala seseorang punya udzur sakit.

Dalilnya antara lain adalah hadits berikut ini :

مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِي فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ قَالُوا : وَمَا الْعُذْرُ ؟ قَال : خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ

Orang yang mendengar panggilan, tidak ada yang bisa mencegahnya kecuali udzur. Seseorang bertanya,"Udzur itu apa saja?". Beliau SAW menjawab,"Rasa takut atau sakit". (HR. Abu Daud).

6. Kebolehan Menjama' Shalat

Dalam hal kebolehan menjama' shalat bagi orang sakit, ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkannya. Namun ada sebagian yang lain membolehkan adanya shalat jama’ bagi orang yang sedang sakit.

‎Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan orang yang sedang sakit untuk menjama’ shalatnya. Sebagian ulama tidak memperbolehkannya, namun sebagian yang lain membolehkan adanya shalat jama’ bagi orang yang sedang sakit.

a. Tidak Membolehkan

Mereka yang tidak membolehkan orang sakit untuk menjama’ shalat di antaranya adalah mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyah, serta sebagian dari ulama dari mazhab Al-Malikiyah.

Dasarnya karena sama sekali tidak ada dalil apa pun dari Rasulullah SAW yang membolehkan hal itu. Dan selama tidak ada dalil, maka kita tidak boleh mengarang sendiri sebuah aturan tentang shalat.

Sehingga setiap orang yang sakit wajib menjalankan shalat sesuai dengan waktu-waktu shalat yang telah ditetapkan, dan tidak ada istilah untuk dijama’.

b. Membolehkan

Mazhab Al-Hanabilah dan sebagian ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa seorang yang sedang sakit diberi keringanan untuk menjama’ dua shalat, baik jama’ taqdim atau pun jama’ ta’khir.

Imam Ahmad bin Hanbal membolehkan jama' karena disebabkan sakit. Begitu juga Imam Malik dan sebagian pengikut Asy-Syafi'iyyah.

Sedangkan dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah dari mazhab Al-Hanabilah menuliskan bahwa sakit adalah hal yang membolehkan jama' shalat. Syeikh Sayyid Sabiq menukil masalah ini dalam Fiqhussunnah-nya.

Sedangkan Al-Imam An-Nawawi dari mazhab Asy-Syafi'iyyah menyebutkan bahwa sebagian imam berpendapat membolehkan menjama' shalat saat mukim (tidak safar) karena keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan.

Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Ibnu Sirin dan Asyhab dari kalangan Al-Malikiyah. Begitu juga Al-Khattabi menceritakan dari Al-Quffal dan Asysyasyi al-kabir dari kalangan Asy-Syafi'iyyah.

Begitu juga dengan Ibnul Munzir yang menguatkan pendapat dibolehkannya jama' ini dengan perkataan Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.

Allah SWT berfirman :

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan. (QS. Al-Hajj : 78)

لَيْسَ عَلَى الأعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الأعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak bagi orang pincang, tidak bagi orang sakit. (QS. Annur : 61)

Mazhab Al-Hanabilah dan sebagian ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa seorang yang sedang sakit diberi keringanan untuk menjama’ dua shalat, baik jama’ taqdim atau pun jama’ ta’khir.

Dalil lainnya adalah asumsi bahwa Nabi SAW pernah menjamak shalat di Madinah, yang mana alasannya bukan karena safar, takut, hujan atau haji. Maka asumsinya adalah karena sakit.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW menjama' zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya' di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR. Muslim)

Rukhsah Bagi Musafir

A. Pengertian

1. Bahasa

Secara bahasa, musafir itu adalah ism fa'il (pelaku) dari safar atau perjalanan. Secara etimologis, kata safar dalam bahasa Arab bermakna :

قَطْعُ الْمَسَافَةِ

Perjalanan menempuh suatu jarak

Lawan kata safar adalah hadhar, yaitu berada di suatu tempat, tidak bepergian menempuh jarak tertentu dengan tujuan tertentu.

2. Istilah

Namun dalam istilah para fuqaha (ahli fiqih) yang dimaksud dengan safar bukan sekedar seseorang pergi dari satu titik ke titik yang lain. Namun makna safar dalam istilah para fuqaha adalah :

أَنْ يَخْرُجَ الإنْسَانُ مِنْ وَطَنِهِ قَاصِدًا مَكَانًا يَسْتَغْرِقُ الْمَسِيرُ إِلَيْهِ مَسَافَةً مُقَدَّرَةً عِنْدَهُمْ

Seseorang keluar dari negerinya untuk menuju ke satu tempat tertentu, yang perjalanan itu menempuh jarak tertentu dalam pandangan mereka (ahli fiqih).

B. Syarat Musafir

Kalau kita cermati definisi yang dibuat oleh para ulama di atas, maka istilah safar itu menyangkut tiga syarat utama, yaitu : keluar dari wathan, punya tujuan tertentu, dan ada jarak minimal dari tempat yang dituju.

1. Keluar Dari Wathan

Kriteria safar yang pertama adalah keluar dari wathan, atau dari tempat tinggal. Sehingga seseorang tidak disebut sebagai musafir manakala dia tidak keluar dariwathan atau daerah tempat tinggalnya.

Contohnya adalah seorang yang naik treadmill, salah satu alat kebugaran. Meski dia melangkahkan kaki menempuh hitungan 100 Km, tidak dikatakan telah menjadi musafir, mengingat secara fisik dirinya tidak kemana-mana dan tetap berada di suatu tempat.

Contoh lainnya adalah seseorang yang mengemudikan mobil dan masuk jalan tol dalam kota Jakarta. Meski alat pengukur jarak pada spedometer menyebutkan bahwa dia telah menempuh jarak lebih dari 100 km, namun kalau hanya berputar-putar saja di dalam Kota Jakarta, meski telah beberapa putaran, lalu pulang ke rumah, tidak disebut musafir.

Contoh lainnya adalah warga Jakarta dan sekitarnya yang duduk berjam-jam dalam sehari di dalam kendaraan sambil menikmati kemacetan parah. Meski waktu yang dipakai untuk bermacet-macet itu lebih dari tiga jam, namun tidak disebut sebagai perjalanan atau safar.

Kenapa?

Karena belum keluar dari wathan atau wilayah tempat tinggal. Macet itu masih di dalam wilayah tempat tinggal. Sehingga berbagai fasilitas dan keringanan buat musafir, belum diperoleh manakala seseorang masih berada di dalam rumahnya sendiri atau berada di daerah tempat tinggalnya. Karena status seseorang belum dikatakan telah menjadi musafir, manakala dia belum keluar dari tempat tinggalnya.

Dan demikian juga sebaliknya, semua fasilitas itu tidak berlaku lagi, manakala seseorang sudah kembali berada di tempat tinggalnya.

Tentang pengertian wathan sebagaimana yang disebutkan dalam definisi ini, nanti akan kita bahas secara tersendiri.

2. Punya Tujuan Tertentu

Kriteria kedua adalah bahwa perjalanan yang dilakuan harus punya tujuan tertentu yang pasti secara spesifik dan pasti, bukan sekedar berjalan tak tentu arah dan tujuan.

Misalnya, orang yang melakukan perburuan hewan atau mengejar hewan yang lepas, dimana dia tidak tahu mau pergi kemana tujuan perjalanannya.

Kalau ada orang masuk tol dalam kota Jakarta, lalu memutari Jakarta dua putaran, maka dia sudah menempuh jarak kurang lebih 90 Km. Namun orang ini tidak disebut sebagai musafir. Alasannya karena apa yang dilakukannya itu tidak punya tujuan yang pasti.

Demikian juga dengan pembalap di sirkuit. Meski jarak yang ditempuhnya ratusan kilmometer, tetapi kalau lokasi hanya berputar-putar di sirkuit itu saja, juga bukan termasuk musafir. Alasannya, karena tidak ada tujuannya kecuali hanya berputar-putar belaka.

Maka orang yang menempuh jarak jauh tetapi tidak ada tujuan tertentu, tidak disebut sebagai musafir.

3. Jarak Tertentu

Kriteria yang ketiga dari sebuah safar adalah adanya jarak minimal yang harus ditempuh dari wilayah tempat tinggalnya hingga ke tempat tujuannya.

Tidak semua safar membolehkan kita untuk mengqashar shalat. Hanya safar dengan kriteria tertentu saja yang membolehkan kita mengqasharnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menjama' shalat dilihat dari segi batas minimal jarak perjalanan.

a. Jumhur Ulama

Jumhur ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah umumnya sepakat bahwa minimal berjarak empat burud.

Dasar ketentuan minimal empat burud ini ada banyak, di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :

يَاأَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا فيِ أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بَرْدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلىَ عُسْفَان

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqashar shalat bila kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan". (HR. Ad-Daruquthuny)

Selain dalil hadits di atas, dasar dari jarak minimal 4 burud adalah apa yang selalu dilakukan oleh dua ulama besar dari kalangan shahabat, yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma. Mereka berdua tidak pernah mengqashar shalat kecuali bila perjalanan itu berjarak minimal 4 burud. Dan tidak ada yang menentang hal itu dari para shahabat yang lain.

Dalil lainnya adalah apa yang disebutkan oleh Al-Atsram, bahwa Abu Abdillah ditanya,

"Dalam jarak berapa Anda mengqashar shalat?". Beliau menjawab,"Empat burud". Ditanya lagi,"Apakah itu sama dengan jarak perjalanan sehari penuh?". Beliau menjawab,"Tidak, tapi empat burud atau 16 farsakh, yaitu sejauh perjalanan dua hari".

Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 farsakh itu sama dengan 4 mil. Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid dituliskan bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 km.

Meski jarak itu bisa ditempuh hanya dengan satu jam naik pesawat terbang, tetap dianggap telah memenuhi syarat perjalanan. Karena yang dijadikan dasar bukan lagi hari atau waktu, melainkan jarak tempuh.

Dua Hari Perjalanan.

Dan semua ulama sepakat bahwa meski pun disebut masa perjalanan dua hari, namun yang dijadikan hitungan sama sekali bukan masa tempuh. Tetapi yang dijadikan hitungan adalah jarak yang bisa ditempuh di masa itu selama dua hari perjalanan.

Pertanyannya, kalau memang yang dimaksud dengan jarak disini bukan waktu tempuh dua hari, lalu mengapa dalilnya malah menyebutkan waktu dan bukan jarak.

Jawabnya karena di masa Rasulullah SAW dan beberapa tahun sesudahnya, orang-orang terbiasa menyebutkan jarak antar satu negeri dengan negeri lainnya dengan hitungan waktu tempuh, bukan dengan skala kilometer atau mil.

Di masa sekarang ini, kita masih menemukan masyarakat yang menyebut jarak antar kota dengan hitungan waktu. Salah satunya di Jepang yang sangat maju teknologi perkereta-apiannya. Disana orang-oran terbiasa menyebut jarak satu kota dengan kota lainnya dengan hitungan jam. Maksudnya tentu bukan dengan jalan kaki melainkan dengan naik kereta cepat Sinkansen.

Sedangkan perjalanan dua hari di masa Rasulullah SAW tentunya dihitung dengan berjalan kaki dengan langkah yang biasanya. Meski pun naik kuda atau unta, sebenarnya relatif masa tempuhnya kurang lebih sama. Karena kuda atau unta bila berjalan di padang pasir tentu tidak berlari, sebab tenaganya akan cepat habis.

Perjalanan antar negeri di masa itu yang dihitung hanya perjalanan siang saja, sedangkan malam hari tidak dihitung, karena biasanya malam hari para khafilah yang melintasi padang pasir beristirahat.

Masa tempuh seperti ini kalau dikonversikan dengan jarah temput sebanding dengan jarak 24 mil. Dan sebanding pula dengan jarak 4 burud, juga sebanding dengan 16 farsakh. Jarak ini juga sama dengan 48 mil hasyimi.

b. Jarak 3 Hari Perjalanan

Abu Hanifah dan para ulama Kufah mengatakan minimal jarak safar yang membolehkan qashar itu adalah bila jaraknya minimal sejauh perjalanan tiga hari, baik perjalanan itu ditempuh dengan menunggang unta atau berjalan kaki, keduanya relatif sama. Dan tidak disyaratkan perjalanan itu siang dan malam, tetapi cukup sejak pagi hingga zawal di siang hari.

Safar selama tiga hari ini kira-kira sebanding dengan safar sejauh 3 marhalah. Karena kebiasaannya seseorang melakukan safar sehari menempuh satu marhalah.

Dasar dari penggunaan masa waktu tiga hari ini adalah hadits Nabi SAW, dimana dalam beberapa hadits beliau selalu menyebut perjalanan dengan masa waktu tempuh tiga hari. Seperti hadits tentang mengusap sepatu, disana dikatakan bahwa seorang boleh mengusap sepatu selama perjalanan 3 hari.

يَمْسَحُ المُقِيْمُ كَمَالَ يَوْمِ وَلَيْلَةٍ وَالمَسَافِرُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيْهَا

Orang yang muqim mengusap sepatu dalam jangka waktu sehari semalam, sedangkan orang yang safar mengusap sepatu dalam jangka waktu tiga hari tiga malam. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Demikian juga ketika Rasulullah SAW menyebutkan tentang larangan wanita bepergian tanpa mahram yang menyertainya, beliau menyebut perjalanan selama 3 hari.

لاَ يَحِل لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ ثَلاَثِ لَيَالٍ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ

Dari Ibnu Umar radhiyallhuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian sejauh 3 malam kecuali bersama mahram". (HR. Muslim)

Menurut mazhab Al-Hanafiyah, penyebutan 3 hari perjalanan itu pasti ada maksudnya, yaitu untuk menyebutkan bahwa minimal jarak perjalanan yang membolehkan qashar adalah sejauh perjalanan 3 hari.

Kalau kita konversikan jarak perjalanan tiga hari, maka hitungannya adalah sekitar 135 Km.

c. Beberapa Rute Jalan Berbeda Jarak

Lepas dari perbedaan para fuqaha tentang jarak safar, muncul kemudian permasalahan baru, yaitu bagaimana bila untuk mencapai tujuan ternyata ada beberapa jalan yang ukuran jaraknya berbeda.

Manakah yang kita gunakan, apakah menggunakan jarak terpendek ataukah jarak terjauh?

Dalam hal ini umumnya para ulama mengatakan bahwa yang digunakan bukan jarak terdekat atau jarak terjauh. Yang digunakan adalah rute yang dipilih. Maksudnya, bila seseorang berjalan menggunakan rute pertama, yang jaraknya telah memenuhi batas jarak minimal, maka dia terhitung musafir dan mendapatkan fasilitas seperti kebolehan berbuka puasa, menqashar shalat dan sebagainya.

Sebaliknya, bila rute yang dia tempuh ternyata tidak mencukupi jarak minimal safar, maka dia tidak atau belum lagi berstatus musafir. Sehingga tidak mendapatkan fasilitas keringan dalam hukum syariah.

Abu Hanifah mengatakan yang digunakan adalah jarak terjauh. Misalnya ada dua rute, rute pertama membutuhkan waktu 3 hari perjalanan, sedangkan rute kedua membutuhkan hanya 1 hari perjalanan, maka yang dianggap adalah yang terjauh. Maka dalam urusan qashar shalat, jarak itu sudah membolehkan qashar.

4. Safar Yang Mubah

Kriteria yang keempat adalah kehalalan safar yang dilakukan. Halal disini maksudnya adalah bahwa perjalanan itu tujuannya bukan untuk melakukan maksiat atau kemungkaran yang dilarang Allah SWT.

Perjalanan yang dilakukan dengan tujuan untuk mencuri, merampok, membunuh nyawa tanpa hak, meminum khamar, berjudi, berpraktek riba, menjadi dukun, tukang ramal, mengerjakan sihir atau untuk berzina dan sejenisnya, adalah perjalanan yang tidak dibenarkan, sekaligus juga tidak memberikan fasilitas dan keringanan bagi pelakukan untuk melakukan shalat dengan jama' atau qashar.

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah syarat ini berlaku atau tidak.

a. Safar Yang Tidak Maksiat

Jumhur ulama di antaranya Mazhab Al-Malikiyah, As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah menyebutkan tidak semua safar membolehkan keringanan, seperti kebolehan jama' dan qashar shalat. Mereka mensyaratkan bahwa safar itu minimal hukumnya mubah, bukan safar maksiat atau safar yang terlarang.

Alasan yang mereka kemukakan

Kalau kita pakai pendapat yang pertama, maka seorang yang melakukan safar dengan tujuan akan menjalani profesinya sebagai maling atau perampok, tidak mendapat fasilitas dan keringanan untuk menjama' atau mengqashar shalat.

b. Safar Haji, Umrah dan Jihad

Sementara ada sebagian ulama yang menyebutkan bahwa keringanan hukum bagi musafir hanya berlaku dalam safar yang tujuannya haji atau umrah saja.

Kalau kita menggunakan pendapat ini, perjalanan untuk bisnis, tamasya, atau menghadiri undangan pernikahan, bukan perjalanan yang membolehkan kita untuk menjama' dan mengqashar shalat.

c. Semua Safar Termasuk Yang Maksiat

Dan lawan dari pendapat pertama dan kedua di atas, adalah pandangan sebagian ulama yang membolehkan safar apa saja, baik halal atau haram tidak menjadi masalah.

Di antara mazhab yang mengatakan hal ini adalah mazhab Al-Hanafiyah. Dalam pandangan mereka, ketika Allah SWT memberikan kemudahan untuk menjama' atau mengqashar shalat buat musafir, dalil yang digunakan adalah dalil yang umum dan mutlak, tanpa menyebutkan syarat-syarat tertentu, seperti tidak boleh dalam rangka kemaksiatan dan sebagainya.

Kalau menggunakan pendapat yang ketiga, maling dan perampok kalau dalam perjalanan boleh melakukan shalat dengan menjama' atau mengqashar. Begitu juga dengan pembunuh, pezina, penjudi, peminum khamar dan seterusnya.

C. Tempat Tinggal dan Wathan

Pembahasan tentang safar tidak bisa dipisahkan dengan pembahasan tentang lawannya, yaitu orang yang bermukim di sebuah tempat, atau yang lebih dikenal dengan istilah al-wathan.

Kita tidak bisa memberi definisi yang tepat tentang status musafir, bila kita belum memberi definisi yang tepat juga tentang bermukim di dalam suatu wathan. Karena keduanya berbatasan langsung. Artinya, seorang musafir adalah orang yang tidak bermukim di suatu wathan, dan orang yang bermukim di suatu wathan bukan seorang musafir.

1. Pengertian dan Batas Wathan

Di dalam kitab-kitab fiqih klasik, kita mengenal ada istilah wathan (الوطن). Dalam kamus bahasa Arab, kata wathan sering diartikan sebagai negeri. Sehingga ada ungkapan, hubbul wathani minal iman, cinta negeri termasuk bagian dari iman.

Namun kalau kita lihat konteks penggunaan istilah wathan di masa Nabi SAW dan di masa sekarang, agaknya kurang tepat kalau wathan kita terjemahkan sebagai negeri, dan juga kurang pas kalau diterjemahkan menjadi negara.

Mengapa?

Karena di masa itu, Nabi SAW dianggap telah menjadi musafir ketika meninggalkan kota Madinah menuju ke Mekkah. Artinya, kita bisa menyimpulkan bahwa Madinah adalah sebuah wathan tersendiri, dan Mekkah adalah juga sebuah wathan tersendiri. Padahal di masa sekarang ini, kedua kota itu berada di dalam sebuah wilayah kedaulatan sebuah negara, yaitu Kerajaan Saudi Arabia.

Barangkali kata wathan bisa juga kita terjemahkan sebagai kota, meski pun belum juga tepat 100%. Alasannya karena luas kota Madinah di masa Nabi SAW jauh lebih kecil dibandingkan dengan luas kota itu di masa sekarang ini. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa luas kota Madinah di masa itu hanya seluas Masjid An-Nabawi sekarang ini saja.

Dan kalau dihitung dari jumlah penduduk, ada catatan sejarah yang dirilis olehMarkaz Buhuts wa Dirasat Al-Madinah, bahwa sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, jumlah penduduknya diperkirakan antara 12 ribu hingga 15 ribuan orang. Dengan kedatangan Nabi SAW ke Madinah, maka perlahan tapi pasti, jumlah penduduk Madinah pun semakin banyak, karena beliau memang menjadikan Madinah sebagai Darul-Hijrah, atau kota tujuan hijrah.

Hasil penelitian Markaz Buhuts ini menyebutkan bahwa ketika beliau SAW wafat, kota Madinah sudah berpenduduk kurang lebih sekitar 30 ribuan orang.

Luas Masjid An-Nabawi saat ini adalah 98.500 meter persegi. Dengan luas itu, masjid ini dapat menampung hingga 600 ribu orang yang shalat. Bahkan di musim haji, jamaah bisa meluap ke luar gedung dan mencapai satu juta orang.

Maka bila dibandingkan dengan masa sekarang ini, kira-kira yang dimaksud dengan wathan itu adalah desa atau kampung. Dan sayangnya, agak sulit menetapkan batas-batasnya kalau kita tinggal di kota besar semacam Jakarta ini. Meski Jakarta tidak lain hanyalah kampung, namun batas-batas antara satu kampung dengan kampung yang lain nyaris sudah sangat tersamar, mengingat kota Jakarta adalah gabungan dari beribu kampung yang menyatu.

2. Jenis Wathan

Dalam ilmu fiqih, para ulama membagi wathan ini menjadi tiga macam, yaitu al-wathan al-ashli, wathan al-iqamah dan wathan as-sukna. Berikut adalah rinciannya masing-masing :

a. Al-Wathan Al-Ashli

Istilah al-wathan al-ashli (الوطن الأصلي) bisa kita terjemahkan secara bebas sebagai tempat bermukim yang tetap dan sifatnya berlaku untuk seterusnya.

Maksudnya adalah suatu tempat yang dijadikan oleh seseorang sebagai tempat untuk menetap bagi dirinya dan istri atau keluarganya. Tempat itu tidak harus merupakan tanah kelahirannya. Bisa saja tempat itu adalah negeri rantauan, namun dia telah berniat untuk tinggal dan menetap disitu untuk seterusnya.

Secara hukum, tempat tinggal asli bagi seseorang menjadi tempat iqamah atau bermukim, sebagai lawan dari musafir. Artinya, bila seseorang berada di tempat aslinya, maka status yang disandangnya adalah sebagai orang yang bermukim dan bukan musafir.

Dan status ini sangat berpengaruh pada hukum-hukum peribadatan, seperti kebolehan mengqashar shalat serta menjama'nya, kebolehan tidak puasa Ramadhan, masa kebolehan untuk mengusap sepatu, haramnya wanita bepergian (musafir) sendirian, serta masalah perwalian.

Maksudnya, seseorang yang statusnya bermukim tidak punya hak untuk mengqashar dan menjama' shalat, juga tidak punya hak untuk meninggalkan puasa Ramadhan. Masa dibolehkan bagi orang yang bermukim untuk mengusap sepatu hanya sehari semalam saja. Dan seterusnya.

Tempat tinggal asli ini bagi seseorang dimungkin bukan hanya satu saja. Bisa saja seseorang punya tempat tinggal asli lebih dari satu, bisa dua atau lebih. Yang penting di masing-masing tempat itu ada keluarganya yang menetap untuk seterusnya.

Dan yang dimaksud keluarga disini adalah istri dan anak-anaknya, bukan orang tua, paman, bibi, sepupu dan kakek. Misalnya seorang beristri dua. Istri pertama dan anaknya tinggal di Bandung, sedangkan istri kedua dengan anak-anaknya tinggal di Jakarta.

b. Wathan Iqamah

Yang dimaksud dengan wathan iqamah (وطن الإقامة) adalah suatu tempat, dimana seseorang untuk sementara waktu yang pendek dan terbatas, berniat untuk singgah dan bermukim sementara.

Istilah lain yang sering dipakai untuk menamainya adalah wathan al-musta'ar (وطن المستعار), dan kadang juga bisa disebut dengan wathan al-hadits. (وطن الحديث)

Contohnya adalah orang yang sedang bertugas ke luar kota dalam beberapa hari, seperti seminggu atau dua minggu. Sejak sebelum berangkat, dirinya sudah berniat akan menetapkan di suatu kota tertentu, untuk masa waktu tertentu.

Contoh lainnya adalah apa yang dilakukan oleh para jamaah haji Indonesia, yang bermukim kurang lebih sebulan sampai 40 hari di Mekkah dan Madinah. Status para jamaah haji di kedua kota itu adalah orang yang mukim sementara saja. Maka kedua kota itu menjadi wathan iqamah.

c. Wathan Sukna

Yang dimaksud dengan wathan sukna (الوطن السكنى) adalah suatu tempat yang disinggahi oleh seorang mufasir tanpa berniat untuk menetap atau bermukim disitu.

Perbedaan antara wathan iqamah dan wathan sukna adalah bahwa pada wathan iqamah seseorang memang berniat untuk bermukim walau pun tidak untuk seterusnya. Sedangkan pada wathan sukna, seseorang hanya berhenti untuk berisirahat sejenak, tanpa ada niat untuk tinggal atau bermukim, baik untuk waktu tertentu atau pun untuk selamanya.

Contoh yang paling mudah adalah apa yang dialami oleh para penumpang pesawat terbang ketika mereka transit di suatu bandara pada sebuah kota. Boleh jadi transit itu hanya satu atau dua jam, tetapi kadang bisa sampai beberapa hari.

3. Keringanan Berlaku Sejak Keluar Dari Wathan

Berbagai keringanan bagi musafir seperti mengqashar dan menjama' shalat sudah boleh dilakukan meski belum mencapai jarak yang telah ditetapkan. Asalkan sejak awal niatnya memang akan menempuh jarak sejauh itu.

Shalat qashar sudah bisa dimulai ketika musafir itu sudah keluar dari kota atau wilayah tempat tinggal, tetapi belum boleh dilakukan ketika masih di rumahnya.

Rasulullah SAW tidak mulai mengqashar shalatnya kecuali setelah beliau meninggalkan Madinah.

صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا وَصَلَّيْتُ مَعَهُ الْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ

Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkata,"Aku shalat Dzuhur bersama Rasulullah SAW di Madinah 4 rakaat, dan shalat Ashar bersama beliau di Dzil Hulaifah 2 rakaat. (HR. Bukhari dan Muslim)

D. Berakhirnya Safar

Ada beberapa hal yang menyebabkan status kemusafiran seseorang berakhir. Di antaranya adalah hal-hal berikut ini :

1. Niat Untuk Menetap

Bila seseorang dalam safarnya tiba-tiba berubah niat untuk mukim di tempat tersebut, maka status kemusafirannya telah berakhir.

Tidak selamanya seorang yang pergi meninggalkan rumah atau negerinya dianggap sebagai musafir. Boleh jadi meski tidak ada di rumah atau negerinya, seseorang telah menetap di kota atau negeri lain.

Meski secara fisik dia belum sampai di rumah, tetapi kalau di hatinya ada niat bahwa dia akan menetap di suatu tempat itu, maka status safarnya berubah.

2. Pulang dan Sampai di Rumah

Ketika seseorang mengadakan perjalanan jauh, selama itu pula dia disebut sebagai musafir. Tetapi ketika sang musafir memutuskan pulang dan secara fisik dirinya sudah tiba di rumah, maka saat itu statusnya sebagai musafir pun berakhir.

Sehingga segala hal yang terkait dengan hukum-hukum musafir dengan sendirinya sudah tidak berlaku lagi.

a. Punya Rumah Di Tempat Tujuan

Agak sedikit menjadi masalah apabila seorang melakukan safar ke suatu tempat, namun ternyata di tempat itu dia punya rumah juga. Dalam hal ini apakah juga dianggap pulang ke rumah, sehingga status kemusafirannya terhenti, ataukah dia tetap musafir?

Para ulama umumnya menyebutkan bahwa bila seseorang punya dua rumah di dua kota yang berbeda, maka ketika dia berada di salah satunya, maka statusnya bukan musafir. Namun syarat ini berlaku bila di dalam rumah itu ada keluarganya, yaitu istri dan anak-anaknya.

Sedangkan bila hanya sekedar status kepemilikkan rumah, sementara dia tidak menghuninya, maka ketika berada di rumahnya sendiri, tanpa berniat untuk tinggal atau menetap, statusnya tetap musafir.

3. Melebihi Batas Waktu Menetap

Ketika dia terus bergerak dalam safarnya itu, memang dia masih tetap diperbolehkan mengqashar shalat. Tetapi ketika seorang musafir berhenti di satu titik dalam waktu yang cukup lama, apakah masih melekat pada dirinya status musafir?

Berapa lama waktu yang ditolelir buat seorang agar masih dianggap musafir padahal dia diam di suatu tempat?

Batasan berapa lama seseorang boleh tetap menjama' dan mengqashar shalatnya, ada beberapa perbedaan pendapat di antara para fuqaha.

Tetapi ketika seorang musafir berhenti di satu titik dalam waktu yang cukup lama, apakah masih melekat pada dirinya status musafir? Berapa lama waktu yang ditolelir buat seorang masioh dianggap musafir padahal dia diam di suatu tempat?

Batasan berapa lama seseorang boleh tetap menjama' dan mengqashar shalatnya, ada beberapa perbedaan pendapat di antara para fuqaha.

Imam Malik dan Imam As-Syafi'i berpendapat bahwa masa berlakunya qashar bila menetap disuatu tempat selama 4 hari.

Sedangkan Imam Abu Hanifah dan At-Tsauri berpendapat bahwa masa berlakunya jama' dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 15 hari.

Dan Imam Ahmad bin Hanbal dan Daud berpendapat bahwa masa berlakunya jama' dan qashar bila menetap disuatu tempat lebih dari 4 hari, maka selesailah masa jama' dan qasharnya.

Adapun musafir yang tidak akan menetap maka ia senantiasa mengqashar shalat selagi masih dalam keadaan safar.

Ibnul Qayyim berkata,

Rasulullah SAW tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar shalat”.

Ibnu Abbas berkata :

Rasulullah SAW melaksanakan shalat di sebagian safarnya 19 hari, shalat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, shalat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami shalat dengan sempurna”. (HR. Bukhari)

E. Keringanan Syariat Buat Musafir

Syariat Islam memberikan banyak keringanan buat musafir dalam praktek ritual syariah Islam. Di antaranya keringanan bersuci dengan mengusap khuff selama tiga hari, shlat qashar dan jama', gugurnya kewajiban shalat Jumat, bolehnya shalat di atas kendaraan dan bolehnya tidak berpuasa Ramadhan.

1. Keringanan Dalam Bersuci

Di antara keringanan dalam bersuci dalam dibolehkannya orang yang sedang dalam keadaan safar untuk mengusap khufnya saat berwudhu selama masa waktu tiga hari.

Pensyariatan mengusap khuff didasari oleh beberapa dalil antara lain hadis Ali r.a

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ sيَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

Dari Ali bin Abi Thalib berkata :’Seandainya agama itu semata-mata menggunakan akal maka seharusnya yang diusap adalah bagian bawah sepatu ketimbang bagian atasnya. Sungguh aku telah melihat Rasulullah mengusap bagian atas kedua sepatunya.(HR. Abu Daud dan Daru Qudni dengan sanad yang hasan dan disahihkan oleh Ibn Hajar)

Selain itu ada juga hadis lainnya

جَعَلَ النَّبِيُّ s ثلاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ - يَعْنِي فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

Rasulullah menetapkan tiga hari untuk musafir dan sehari semalam untuk orang mukim (untuk boleh mengusap khuff). (HR. Muslim Abu Daud Tirmizi dan Ibn Majah.)

2. Keringanan Mengqashar Shalat dan Menjama'

Seorang yang berstatus musafir diberikan keringanan oleh Allah SWT untuk mengqashar shalat, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran Al-Karim.

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS. An-Nisa : 110)

Satu-satunya penyebab dibolehkannya kita mengqashar shalat hanya karena sebab perjalanan sebagai musafir.

Sedangkan keringanan menjama' shalat bukan terbatas hanya karena sebagai musafir saja, tetapi juga ada sebab-sebab lain yang membolehkan seseorang menjama' shalatnya. Di antaranya karena sakit, hujan, haji, atau kejadian luar biasa yang tidak terkendali.

3. Gugurnya Kewajiban Shalat Jumat

Seorang laki-laki yang menjadi musafir secara syar'i, maka gugur kewajibannya untuk mengerjakan shalat Jumat.

Di antara dalil-dalil yang dijadikan sandaran atas hal ini adalah hadits-hadits berikut ini :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ فَعَلَيْهِ الْجُمُعَةُ إِلاَّ مَرِيضٌ أَوْ مُسَافِرٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَمْلُوكٌ

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka wajiblah atas mereka shalat Jumat, kecuali orang sakit, musafir, wanita, anak-anak dan hamba sahaya. (HR. Ad-Daruqutny)

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُل مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً : عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ

Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas empat orang, yaitu budak, wanita, anak-anak dan orang sakit." (HR. Abu Daud) ‎

Dalam hal ini seorang musafir boleh memilih salah satu dari dua pilihan. Pertama, mengerjakan shalat Dzhuhur saja dan tidak mengerjakan shalat Jumat. Kedua, mengerjakan shalat Jumat saja dan tidak perlu lagi mengerjakan shalat Dzuhur.

4. Bolehnya Shalat Sunnah di Atas Kendaraan

Seorang yang sedang dalam perjalanan, dibolehkan atasnya untuk melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya. Dia boleh shalat tanpa berdiri, ruku', sujud atau tidak menghadap kiblat.

Dasarnya karena dahulu Rasulullah SAW pernah melakukan shalat sunnah nafilah di atas punggung unta ketika dalam safar yang beliau SAW lakukan.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ t أَنَّ النَّبِيَّ r كَانَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ الْمَكْتُوبَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW shalat di atas kendaraannya menuju ke arah Timur. Namun ketika beliau mau shalat wajib, beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR. Bukhari)

Hadits ini adalah hadits shahih yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bukan hanya membolehkan untuk melakukan shalat di atas punggung unta, tetapi juga langsung menegaskan bahwa beliau SAW sendiri juga melakukannya.

عَنْ جَابِرٍ t كَانَ رَسُول اللَّهِ r يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW shalat di atas kendaraannya, menghadap kemana pun kendaraannya itu menghadap. Namun bila shalat yang fardhu, beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR. Bukhari)

Hadits ini juga shahih, namun dengan tambahan penjelasan bahwa beliau SAW ketika shalat di atas punggung unta, tidak menghadap ke arah kiblat, tetapi menghadap kemana saja arah unta itu berjalan.

Dan yang paling penting, hadits ini juga menegaskan bahwa beliau SAW tidak melakukan shalat fardhu yang lima waktu di atas punggung unta.

5. Keringanan Tidak Berpuasa

Keringanan bagi musafir lainnya adalah dibolehkan untuk tidak mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, namun ada kewajiban untuk menggantinya di hari yang lain.

Dasarnya adalah firman Allah SWT :

فَمَنْ كاَنَ مِنْكُمْ مَرِيْضاً أَوْ عَلىَ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر

Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan maka menggantinya di hari lain (QS Al-Baqarah: 85)

Selain itu juga ada hadits Nabi SAW yang lebih menegaskan hal itu dalam contoh kasus.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ t أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ rوَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيدَ أَفْطَرَ فَأَفْطَرَ النَّاسُ

Dari Ibnu 'Abbas radliallahuanhuma bahwa Rasulullah SAW pergi menuju Makkah dalam bulan Ramadhan dan Beliau berpuasa. Ketika sampai di daerah Kadid, Beliau berbuka yang kemudian orang-orang turut pula berbuka. (HR. Bukhari)

قَدْ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ r وَأَفْطَرَ فَمَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

Ibnu Abbas radliallahuanhuma berkata bahwa Rasulullah SAW pada saat safar terkadang berpuasa dan kadang berbuka. Maka siapa yang ingin tetap berpuasa, dipersilahkan. Dan siapa yang ingin berbuka juga dipersilahkan. (HR. Bukhari)

Semoga Bermanfaat

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar