Rabu, 23 Maret 2016

Habib Hasyim (Datuk Tunggang Parangan) Penyebar Islam Di Kutai

Desa Kutai Lama yang berpenduduk sekitar 3.000 jiwa itu, telah dimakamkan Aulia Besar terkenal, Habib Hasyim Bin Musaiyah Bin Yahya bergelar Pangeran Tunggang Parangan dan Sultan Aji Putra Mahkota serta Sultan Aji Dilanggar. Pangeran Tunggang Parangan adalah seorang ulama besar pembawa Agama Islam pertama di Kerajaan Kutai.

Kalimat bijak yang dituturkan oleh seorang yang bijak mengatakan, “al-ilm bilá ‘amal ka asy-syajar bilá tsamar” dapat diterjemahkan “bahwa ilmu tanpa (bias) diaplikasikan itu bagaikan pohon yang tidak ada buahnya”. Kalimat itu dapat diinterpretasikan bahwa apabila suatu ilmu dikaji hanya untuk menghasilkan teori saja tanpa dapat diaplikasikan dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas maka ilmu itu akan menjadi sia-sia tak ada arti, tak berguna dan tak bermanfaat. Sebagai ilmu kepurbakalaan, arkeologi semestinya dapat dapat diaplikasikan dan dapat member nilai dan manfaat terhadap masyarakat luas. Untuk dapat bermanfaat, maka tinggalan arkeologi yang menjadi obyek kajian ilmu tersebut harus dikaitkan dengan empat hal, yaitu wujůduh (keberadaannya), rûhuh (nilainya), hauluh (lingkungannya), intifá’uh (pemanfaatannya) baik di masa lalu, masa kini maupun di masa yang akan dating.

Secara teori, arkeologi telah banyak dibicarakan para ahli, namun pemanfaatannya masih harus dikaji terus menerus disesuaikan dengan hasrat danminat masyarakat pada umumnya. Pemanfaatan sebagai obyek kajian terus dilakukan, pemanfaatan sebagai barang komuditi perdagangan pernah dilakukan dan mungkin sampai kini masih berlangsung, dan pemanfaatan sebagai koleksi perorangan dan museum sampai kini masih berlangsung serta pemanfaatan sebagai obyek wisata ziarah juga dilakukan. Pemanfaatan sebagai wisata religi secara tidak disadari juga telah dilakukan di seluruh lokasi tinggalan arkeologis yang bersifat keagamaan.

Untuk menjembatani agar ilmu kepurkalaan tidak hanya menghasilkan teori-teori yang kadang tidak dapat dicerna dengan sederhana oleh masyarakat luas, maka diperlukan suatu terobosan baru untuk mempraktekkan ilmu itu, untuk mengaplikasikan ilmu itu, untuk pemanfaatan ilmu itu, maka hendaklah dibuat konsep untuk pemanfaatannya di masyarakat.

Kutai Kartanegara, sebuah institusi kerajaan yang menguasai wilayah muara dan aliran Sungai Mahakam dan sekitarnya dan kini di bekas wilayah kekuasaannya itu dijadikan nama sebuah kabupaten, yaitu Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Sebenarnya luas wilayah kekuasaan kerajaan itu melebihi wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara sekarang. Luas wilayah kerajaan itu sesungguhynya meliputi tiga wilayah kabupaten yang menjadi pecahan Kabupaten Kutaiu Kartanegara, yaitu Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kabupaten Kutai Kartanegara itu sendiri. Pada zamannya, ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara berpindah hingga tiga kali, pertama Kutai Lama dari tahun 1300 – 1832; kedua Pemarangan, Jembayan dari tahun 1832 – 1882; dan terakhir Tenggarong dari tahun 1882 hingga awal abad 21.

Di setiap wilayah ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara terdapat tinggalan arkeologi yang diduga tinggalan kerajaan tersebut. Di Kutai Lama, terdapat tinggalan makam, masjid, dan bekas pemukiman kuna. Artefak yang begitu banyak dan beragam juga ditemukan di lokasi itu, misalnya keris, keramik, bandul jala, dll. Begitupun di Pamarangan, Jembayan juga ditemukan makam dan tempat ibadah. Tidak ketinggalan pula keramik, ijuk, tonggak-tonggak kayu dll. Di Tenggarong lebih banyak lagi makam dibandingkan dengan tempat-tempat pusat kota Kerajaan Kutai Kartanegara yang lainnya. Pemakaman di Tenggarong tampaknya menjadi kompleks pemakaman raja-raja Kutai Kartanegara yang berkuasa sejak kepindahan kerajaan itu di kota ini. Di kompleks pemakaman para raja dimakamnkan Sultan Salihuddin – Sultan Parikesit. Di Tenggarong juga ditemukan tempat ibadah berupa masjid yang dibangun oleh salah seorang menantu Sultan Alimuddin, ayah Sultan Parikesit yang bernama Tumenggung Hasanuddin. Oleh karena itu masjid ini dinamakan Masjid Hasanuddin. Sampai sekarang masjid itu masih berdiri tegak di belakang istana Kesultanan yang sekaran menjadi Museum Negeri Mulawarman di Tenggarong. Tinggalan lain yang terdapat di Tenggarong adalah naskah-naskah kuna keagamaan dan kesejarahan. Naskah Salasilah Kutai menjadi mascot dan tinggalan naskah yang paling dibanggakan oleh masyarakat Kutai Kartanegara karena berisi tentang riwayat kerajaan Kutai Kartanegara dari penguasa pertama samapai terjadinya pemindahan kerajaan ke Tenggarong.

Dari penuturan tersebut dapat diketahui bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara mempunyai tinggalan arkeologis yang amat bergam. Tinggalan arkeologis yang bersifat keagamaan bahkan mendominasi tinggalan-tinggalan itu. Tempat-tempat ibadah, naskah-naskah, dan makam-makam kuna alan keagamaan itu tidak dioptimalkan pemanfaatannya, bahkan ada yang sama sekali tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Makam-makam tokoh kerajaan mungkin masih sering dikunjungi oleh para peziarah untuk sekedar bertawasul atau berziarah mendoakan mereka yang dimakamkan itu, namun tidak demikian halnya maka-makam kuna yang bukan tokoh, ini sama sekali tidak tersentuh oleh hawa pemanfatan sama sekali. Oleh karena itu kerusakan selalu menghampiri tinggalan-tinggalan arkeologi itu.

Sebenarnya tinggalan-tinggalan arkeologi yang tersebar di seluruh wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara itu amatlah banyaknya sebagaimana telah disebutkan. Sayangnya semua tinggalan tersebut belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas, baik pemerintah, rakyat kebanyakan, dan para ilmuwan dan praktisi kebudayaan untuk mengembangkan dan memanfaatkan tinggalan budaya masa lalu kerajaan tersebut.

Dari uraian tersebut dapat dimunculkan permasalahan bahwa benda-benda arkeologis yang terdapat di Tenggarong memang selama ini sudah dimanfaatkan oleh masyarakat, baik oleh kerabat kesultanan maupun oleh masyarakat umum, seperti digunakan untuk pembukaan upacara adat Erau dan ziarah-ziarah. Masyarakat luas pun juga mengungjungi istana sultan, makam-makam kesultanan dan lain-lainnya. Namun demikian mereka belum merasakan sentuhan arahan atau yang lainnya berupa pencerahan atau pelaksanaan ritual yang dapat menyentuh hati mereka sehingga mereka akan lebih mengagumi perjuangan para sultan yang memimpin di Kutai kartanegara.

Habib Hasyim (Datuk Tunggang Parangan)

Menurut catatan sejarah Alawiyin dikenal tokoh Datuk Tunggang Parangan atau Habib Hasyim bin Musyayakh bin Abdullah bin Yahya yang lahirnya  di Tarim, Hadralmaut Yaman Selatan, seorang ulama penyebar agama Islam di Kalimantan Timur. Makamnya berada di desa Kutai Lama Kabupatan Kutai Kartanegara Kalimantan Timur.

Habib Hasyim bin Musyyakh keluar dari Hadramaut Yaman, hijrah untuk menyebarkan Islam  di Pulau Jawa , Pulau Sumatera kemudian kepulau Kalimantan. Disini Habib Hasyim bertemu dengan seorang ulama berasal Kota tengah kampar Riau yang telah lama menetap di Sulawesi bernama Khotib Tunggal Abdul Makmur bergelar Datuk Ribandang. Dari Sulawesi Habib Hasyim menuju negeri Matan (Ketapang) Kalimantan Barat. Disini Habib Hasim sebagai seorang ulama dikenal dengan gelar Habib Tunggang Parangan dan sebutan Si Janggut Merah.

Sementara menurut dokumentasi Wikipedia, disebutkan Habib Hasyim adalah seorang ulama Minangkabau yang menyebarkan agama Islam di Kerajaan Kutai di Kalimantan bersama temannya Datuk Ribandang pada masa pemerintahan Raja Aji Mahkota yang memerintah dari tahun 1525 hingga 1589. Datuk Tunggang Parangan berperan besar dalam menyebarkan Islam bersama Sultan Aji Dilanggar atau Aji Gendung gelar Meruhum Aji Mandaraya yang memerintah setelah menggantikan ayahnya, Aji Mahkota sejak tahun 1589 hingga 1605, sehingga rakyat Kutai akhirnya memeluk Islam.
Datuk Tunggang Parangan atau Habib Hasyim bin Musyayakh bin Abdullah bin Yahya adalah seorang ulama Minangkabau yang menyebarkan agama Islam di Kerajaan Kutai di Kalimantan bersama temannya Datuk ri Bandang pada masa pemerintahan Raja Aji Mahkota yang memerintah dari tahun 1525 hingga 1589. Tuan Tunggang Parangan berperan besar dalam menyebarkan Islam bersama Sultan Aji Dilanggar atau Aji Gendung gelar Meruhum Aji Mandaraya yang memerintah setelah menggantikan ayahnya, Aji Mahkota sejak tahun 1589 hingga 1605, sehingga rakyat Kutai akhirnya memeluk Islam.

Datuk Tunggang Parangan lahir di Tarim, Hadralmaut Yaman Selatan. Makamnya berada di desa Kutai Lama Kabupatan Kutai Kartanegara Kalimantan Timur.
Syiar Islam

Sebelum kedatangan Habib Hasyim di tanah Kutai pada abad ke-16, Islam pernah masuk kepedalaman Kutai dibawa oleh saudagar-saudagar Arab diantaranya Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Abu Bakar Al-Marzak ulama dari Minangkabau, terjadi pada zaman pemerintahan Raja Mahkota (meruhum Berjanggut Kawat). Ulama-ulama tersebut belum berhasil membujuk sang Raja untuk memeluk agama Islam.

Datuk ri Bandang yang dikenal sebagai penyebar Islam di Kerajaan Luwu, Gowa dan Tallo (Sulawesi) serta Bima (Nusa Tenggara) sebelumnya juga berdakwah di Kerajaan Kutai. Namun karena situasi masyarakat Kutai yang dianggap belum kondusif untuk dilakukannya dakwah Islam dimasa pemerintahan Raja Aji Mahkota itu akhirnya dia pindah ke Sulawesi untuk meneruskan syiar Islamnya. Kepindahan ‎Datuk ri Bandang tidak diikuti oleh Tuan Tunggang Parangan, ulama itu tetap bertahan di Kutai dan akhirnya berhasil mengajak Raja Aji Mahkota masuk Islam.

Dalam beberapa naskah bahwa pernah adanya dialog antara Raja Kutai, Raja Mahkota dengan Habib Tunggang Parangan, yang kemudian Raja tersebut memeluk agama Islam. Selanjutnya keperkasaan Raja Kutai cucu Raja Mahkota yakni (Aji) Ki Jipati Jayaperana bergelar Pengeran Sinum Panji Mendapa menyebar luaskan pengaruh Islam dan menaklukkan Kerajaan Hindu Martapura.

Maka masuknya agama Islam ke Kerajaan Kutai yang dibawa oleh Datuk Tunggang Parangan dan Tuan di Ri Bandang adalah pada masa pemerintahan Raja Mahkota.

Masuknya Islam ke tanah Kutai adalah pada masa pemerintahan Raja Mahkota, Raja Ke VI dari urutan Raja-Raja Kutai Kartanegara. Dialog antara Datuk Tunggang Parangan dengan Raja Kutai Raja Makota adalah sebagaimana dikutip dari surat Silsilah Raja-Raja Kutai, deselesaikan oleh Tuan Khatib Muahmmad Tahir pada tahun 1265 H.

Karamah Habib Hasyim Bin Musayyakh Bin Yahya.

Dinamakan Tuan Tunggang Parangan karena tatkala datang di tanah Kutai di Tepian Batu Jahitan Layar, ia menunggang Jukut Parangan (hiu parangan) yang membuat orang banyak yang melihat takjub lalu ia langsung masuk kedalam istana bertemu dengan Raja Kutai Raja Mahkota.  Lalu Kepada Raja Makota ini ia berkata : 

Adapun Tuan Habib datang kemari hendak membawa Raja kepada jalan yang suci, Raja di ridhoi Allah Ta’ala memerintah hamba Allah, karena Raja itu bayang-bayang Allah SWT, agar menjadi Raja di dunia dan Raja akhirat.
Hendaknya Raja masuk Islam, karena orang Islam kalau ia mati mendapat surga, apalagi kalau ia Raja adil seperti engkau. Adapun orang kafir itu tidak baik, jikalau mati di masukan Allah Ta’ala kedalam api neraka. Raja Mahkota menyahut : ” Tuan itu katanya orang Islam, apa kehebatan Tuan, jika kehebatan  saya kalah oleh kehebatan Tuan, maka saya akan segera masuk Islam. Dan jika saya yang menang, maka saya tidak akan masuk Islam.Maka kata Habib Tunggang Parangan : ’’Baiklah, apa kehebatan engkau,  keluarkanlah’’ Kata Raja Mahkota : ’’ Habib carilah saya, dan saya akan  menghilang’’ lalu Raja Mahkota ghaib dan menghilang, seraya berkata : ’’ carilah saya Habib”.

Maka Habib Tunggang Parangan bergeser 13 langkah dan berkata : ’’saya berada dibelakang -mu ’’. Maka Raja Mahkota menoleh kebelakang, dilihatnya memang benar Habib itu berada dibelakangnya.
Berkata pula Raja Mahkota : ’’ Ada lagi satu kehebatan saya, kalau saya kalah kali ini maka saya akan masuk akan Islam ”. Disahutlah oleh  Habib Tunggang Parangan : ’’ Baiklah ’’. Maka dibawanya Habib itu keluar istana diiringi orang banyak dan berkata : ’’ Lihatlah keperkasaan saya ini ’’. Lalu Raja Mahkota dihadapan orang banyak sedekap siku tunggal menutupi berbahan songo, maka tercipta api berkobar. Semakin tidak terkira besarnya, lalu Raja Makota berkata : ’’ Tuan bawalah api dari kehebatan saya ini ’’. HabibTunggang Parangan bergegas ke sungai mengambil air wudhu lalu sholat dua raka’at, maka turunlah hujan yang tidak terkira lebatnya hingga hamper menengelamkan negeri Kutai. Berkat Tuan itu : ’’ Jukut Parangan timbullah engkau ’’. Jukut Parangan pun timbul dan berenang kehulu kehilir maka api yang menyala besar itu padamlah. ’’ membuat orang banyak menjadi ketakutan.
Lalu Habib itu berkata : ’’ Bagaimana pendapat Raja Mahkota akan hal ini ,maka Raja Mahkota berkata : ’’ Baiklah saya menurut perkataan Habib, Tuan Tunggang Parangan meminta dibangunkan sebuah Langgar (musholla). Setelah beberapa waktu Langgar itupun selesai  dan Habib Tunggang Parangan berpindah ke Langgar tersebut.

Setelah itu maka Raja Makota datang ke Langgar memenuhi janjinya menemui Tuan Wali Habib Tunggang Parangan dan selanjutnya diajarkannya serta di-bimbingnya dalam mengucapkan Dua kalimat Syahadat, Rukun Islam dan Rukun Iman. Maka masuklah Raja Makota kedlam Islam serta membawa keteguhan iman ia dengan selamat dan sempurna.

Habib Tunggang Parangan membacakan do’a semoga kekal Raja Makota bertahta diatas kerajaan dengan adiknya dibawah ridho Allah SWT. setelah itu, maka Raja Makota membawa  agama Rosululloh SAW.kepada rakyatnya.
Wafat

Tuan Tunggang Parangan melakukan syiar Islam di Kutai sampai akhir hayatnya pada Abad 17 dan tak kembali lagi ke Minangkabau. Setelah wafat, jasadnya dimakamkan di Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur sekarang.

Komplek Makam Aulia Habib Hasyim yang bergelar Tunggang Parangan lokasinya satu komplek dengan Makam Raja Kutai di Desa Kutai Lama, Anggana, Kutai Kartanegra. Makam tersebut ramai diziarahi pengunjung dari Kalimantan Timur maupun luar daerah khususnya pada Sabtu-Minggu, hari libur nasional maupun menjelang Bulan Puasa.

Salah satu kawasan bersejarah yang tak pernah luput dari ingatan adalah Kutai Lama. Wilayah yang saat ini menjadi salah satu desa di Kecamatan Anggana, Kabupaten Kukar itu, dikenal dengan sejarah Kerajaan Hindu-Budha yang pertama di Indonesia.

Menginjakkan kaki di Desa Kutai Lama, seakan berada di sebuah desa terpencil. Lokasinya yang jauh dari perkotaan membuat kawasan itu hingga saat ini masih jarang dihuni oleh penduduk.

Namun bagi sejumlah orang, Kutai Lama menjadi tempat kramat alias penuh dengan naunsa mistik. Maka tak heran bila kawasan itu menjadi salah satu obyek wisata ziarah bagi sejumlah warga baik dari Kaltim maupaun dari luar Pulau Kalimantan.

Sedikitnya ada tiga makam yang menurut warga sekitar sebagai makam kramat. Yakni makam Sultan Aji Mahkota, makam Sultan Aji Dilangga dan Makam Tunggang Parangan. Ketiga makam tersebut berada di lokasi yang tak berdekatan. Masing-masing memiliki memiliki cerita sejarah terkait dengan Kerajaan Kutai.

Sultan Aji Dilanggar adalah putra dari Aji Raja Mahkota yang memerintah Kerajaan Kutai sejak 1525 hingga 1589. Setelah dewasa, Aji Dilanggar yang memiliki nama lain Aji Gendung bergelar Meruhum Aji Mandaraya, menggantikan posisi ayahnya sebagai sultan di Kerajaan Kutai.

Kepemimpinannya sejak tahun 1589 hingga 1605 berperanguh bagi penyebaran agama Islam di Kerajaan Kutai. Bahkan Aji Dilanggar adalah raja Islam pertama di Kutai yang membangun langgar.

"Saat kepemimpinannya, Sultan Aji Dilanggar gencar menyebarkan agama Islam di Kerajaan Kutai, khususnya di kawasan Kutai Lama," ungkap Tisna seorang, staf Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Kaltim.

Perjuangan Sultan Aji Dilanggar dalam menyarkan agama Islam ternyata tak sendiri. Seorang Mubaliq asal Minangkabau bernama Tuan Ribadang dan Tuan Tunggang Parangan yang hijrah ke Makassar hingga akhirnya pindah ke Kerajaan Kutai, membantu sang sultan untuk menyiarkan agama Islam.

"Tunggang Parangan adalah seorang mubaliq yang membantu Sultan Aji Dilanggar dalam menyebarkan agam Islam di Kerajaan Kutai. Maka jasanya sangat besar di kerajaan saat itu," ulasnya.

Sejak saat itulah, masyarakat Kerajaan kutai yang sebelumnya banyak memeluk agama Hindu-Budha dan animisme, beralih ke agama Islam dan mulai menjalankan sejumlah syariat agama Islam.

"Tiga makam yang ada di Kutai Lama ini adalah salah satu riwayat penyebaran agama Islam di Kerajaan Kutai," tuturnya.

Hingga saat ini, makam tersebut masih ramai dikunjungi oleh para pelancong. Menurut penuturan warga sekitar, peziarah yang datang ke makam tersebut tak hanya dari Samarinda dan sekitarnya saja. Banyak juga yang berasal dari luar daerah.

Bahkan tak jarang turis asing sengaja datang ke makam tersebut untuk melihat secara langsung keberadaan makam dan mengulas kembali potensi sejarah di Kutai Lama.

"Rata-rata dalam satu minggu, ratusan orang yang berziarah. Ada yang dari Samarinda, Balikpapan bahkan ada yang dari Jawa. Bermacam-macam maksud mereka datang ke makam ini. Terkadang ada juga yang bawa sesajen," ungkap Idris, seorang warga sekitar.

Namun sangat disayangkan pengelolaan 3 makam yang saat ini menjadi salah satu obyek wisata nampaknya tak dilakukan secara maksimal. Sehingga terkesan seperti makam biasa saja dan tak memiliki daya tarik wisata. 

Kerajaan Kutai Kartanegara dan Tinggalan dan Arkeologis di Tenggarong: Kraton, Masjid dan Makam

Kesultanan Kutai Kartannegara pada awal berdirinya semula menganut agama Hindu. Ini dapat dibuktikan dengan berbagai macam temuan di Kutai Lama berupa toponime seperti Jahitan Layar, sebuah nama lokasi yang dipercaya oleh masyarakat sebagai awal mula perkampungan yang ditempati oleh Batara Agung Dewa Sakti, Raja I Kerajaan Kutai Karttanegara. Generasi demi generasi muncul setelah Agung Batara Dewa Sakti meninggal masih memeluk agam Hindu, sampai Tunggang Parangan dan Datuk Ri Bandang dating ke Kutai lama dan mendakwahkan agama baru, Islam sehingga Raja Aji Mahkota, raja kelima Kutai Kartanegara sudi memeluk Islam. Dari situlah mulai dikenalkan istilah sultan bagi penguasa Kerajaan Kutai Kartanegara. Peristiwa itu terjadi pada abad ke-16.

Kerajaan Kutai Kartanegara yang berikukota di Kutai Lama dianggap sudah tidak bertuah lagi karena pembakaran yang dilakukan oleh musuh-musuhnya. Kemudian ibukota kerajaan itu dipoindahkan ke Pemarangan, Jembayan pada tahun 1832. Setelah istananya dibakar o,eh lanun Solok, maka kerajaan itu dipindahkan ke Tenggarong pada tahun 1782.

Sejak mula berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara itu sampai akhirnya dibekukan oleh Belanda pada pertengahan abad ke-20, banyak sudah hasil karya dan bukti-bukti yang ditingggalkannya. Di antara tinggalan-tinggalan yang bersifat keagamaan yang dapat disaksikan hingga kini di Tenggarong antara lain sebagai berikut.

Sebagai bukti sosialisasi Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara adalah ditemukannya bangunan-bangunan sacral keagamaan dan istana Sultan serta makam-makam kuna di bekas wilayah kekuasaannya. Istana sebagai pusat kekuasaan yang mula pertama dikenalkan oleh orang-orang Islam merupakan pusat kekuasaan dan pusat pengendalian administrasi kekuasaan pada umumnya. Namun demikian istana juga merupakan pusat kosmis dalam kepercayaan Islam Jawa.

Di Tenggarong sebagai pusat kekuasaan Kerajaan Kutai kartanegara juga terapat bangunan istana yang dijadikan sebagai tempat tinggal sultan. Istana ini dibangun di tepi sebelah barat Sungai Mahakam. Kota Tenggarong. Istana ini menghadao kea rah timur yang biasa disebut oleh pembesar kerajaan dan masyarakat Tenggarong menghadap matahari hidup. Artinya menghadap arah terbitnya matahari. Dalam hal ini sesuai kepercayaan mereka, istana atau rumah itu sebagiknya menghadap arah terbitnya matahari karena dipercaya akan mendatangkan keuntungan

Untuk memasuki istana dibangun undakan atau tangga yang berjumlah empat belas. Istana ini dibangun dengan beberapa ruang, seperti kamar sultan, ruang tamu, dan paseban. Di bagian kanan dan kiri istana ini dibangun emper untuk istirahat. Istana ini diengkapi dengan halaman depan yang luas. sekarang di halaman istana ini dilengkapi dengan taman, sepasang meriam, lembu Suwana, patung naga dan lain-lain. Istana Ini sekarang difungsikan sebagai Museum Negeri Mulawarman, Provinsi Kalimantan Timur.

Sementara itu, tinggalam lainnya yang berupa tempat ibadah ialah masjid. Masjid ini terletak di belakang istana sultan yang sekarang difungsikan sebagai museum dibatasi dengan sungai kecil yang dismabungkan dengan jembatan kayu. Di sebelah selatan masjid berdiri istana baru yang difungsikan sebagai pusat kegiatan budaya masyarakat Kuta Kartanegara, seperti tari-tarian, jepen, gamelan dan lain-lain. Di sebelah utara dan barat adalah jalan raya. Dari data pictorial yang dipajang di dinding sebelah utara masjid diketahui bahwa masjid ini dibangun pada tahun 1929 oleh Aji Hasanuddin yang bergelar Aji Pangeran Sosro Negoro. Masjid ini mempunyai empat tiang utama yang disebut saka guru dengan bentuk segi delapan dan disangga oleh 12 tiang rawan segi 6 yang letaknya mengelilingi empat tiang utama.

Masjid dibangun dengan rancangan permanen bercorak rumah adat Kalimantan Timur. Atapnya tumpang tiga dengan puncaknya berupa bentuk limas segi lima.pada setiap tingkatan ditandai dengan fentilasi yang jumlahnya bervariasi bergantung pada besar kecilnya bangunan. Atapnya dibuat dari sirap kayu. Banhunan masjid ini juga dilengkapi dengan menara yang dibanhun di sebelah barat daya masjid dengan kontruksi besi. Sampai kini masjid kuna Tenggarong ini masih digunakan sebagai tempat ibdah, terutana salat lima waktu dan salat jumat.

Sementara itu, makam-makam kuna kesultaan di Tenggarong amatlah banyak. Begitu juga makam-makam kuna masyarakat umum. Para sultan Kerajaan Kutai kartanegara sebenarnya ingin disatukan pemakamannya dalam satu kompleks pemakaman kesultanan. Ini tampak usaha yang ada, yang bahwa makam di sebelah selatan istana Sultan yang menjadi museum itu. Di dalam kompleks makam itu berturut turut dimakamkan Sultan Aji Embut (wafat 24 Rajab, hari Selasa, pukul 7, tahun 1209 H.), Aji Muhammad Salihuddin (wafat 17 Rajab, hari Senin, tahun 1261 H.), Sultan Aji Muhammad Sulaiman (wafat 28 Rajab, hari Sabtu, ham 4.30, tahun 1317 H), Sultan Aji Muhammad Parikesit (tanpa inskripsi). Dalam kompleks makam itu juga dimakamkan para istri dan anak-anak para sultan serta kerabat deka mereka. Para ulama kesultanan juga tidak ketinggalan dimakamkan di kompleks pemakaman itu. Namun demikian, oleh karena kasus tersendiri, maka makam Sultan Muhammad Alimuddin dipisahkan dan dilokasikan di sebuah berbukitan di Kampung Melayu Tenggarong.

Makam-makam kuna para kerabat sultan dan para pemangku jabatan di lingkungan kesultanan juga dapat dilihat di lokasi lain, misalnya makam Pangeran pemangku jabatan sultan dikala Sultan Parikesit masih berusia muda, yaitu Pangeran Notonegoro yang makamnya terletak di belakang markas Tentara Kutai kartanegara, makam Awang Lor, Panglima Kesultanan Kutai kartanegara yang gugur di medan perjuangan ketika mengusir Belanda. Karena itu jasanya diabadikan sebagai nama kesatuan tentara Kalimantan Timur, yaitu Kesatuan Awang Long. Makamnya terletak di Kelurahan Sukarame, Tenggarong.

Wisata Religi: Konsep Pengembangan dan Pemanfatan Tinggalan Budaya dan Arkeologi di Tenggarong

Wisata yang biasa diartikan melancong adalah sebuah perjalanan yang bertujuan untuk mengunjuni suatu obyek wisata yang diinginkan. Sementara itu, religi adalah sebuah kata yang dapat diartikan sebagai kepercayaan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok. Wisata religi ialah melancong menuju suatu tujuan dan obyek wisata yang diiringi upacara-upara keagamaan.

Berdasarkan data yang telah diuraikan, maka dapat dimengerti bahwa sekalipun masyarakat Tenggarong sangat menghargai tinggalan budaya masa lalu, namun mereka belum banyak mendapatkan manfaat yang lebih dari sekedar mengetahuinya saja. Mereka juga mengharapkan adanya perubahan dengan pengembangan tinggalan-tinggalan budaya yang ada.

Dari pemahaman itu maka akan didapat konsep tentang apa saja yang termasuk aktivitas religi dalam kegiatan wisata ini. Aktivitas religi dapat diuraiakan sebagai berikut:

a. Ziarah, kata ini berasal dari bahasa Arab, “zăr – yazū – ziyăratan” yang artinya “mengunjungi, berziarah” kubur. Ziarah kubur merupakan sunah Nabi Muhammad SAW untuk mengingatkan peziarah itu bahwa dirinya juga akan meninggal dan dikuburkan sebagaimana orang yang telah dikuburkan telebih dahulu itu. Dengan ziarah itu maka mereka manusia akan selalu mengingat kematian yang pasti akan dating menyambutnya. Firman Allah, “kull nafs dzăiqat al-maūt” yang artinya, “bahwa setiap yang bernyawa itu akan mengalami ajalnya”.

b. Tahlil, kata ini berakar dari bahasa Arab “hallal – yuhallil – yuhallil” yang artinya mengucapkan kalimat “lă ilăh illallăh” yang artinya “tiada Tuhan selain Allah” secara berulang-ulang. Membaca tahlil juga dirangkai dengan kalimat-kalimat lain baik yang bersumber dari al_Quran maupun hadits Rasul. Maksud dari tahlil ini adalah untuk mendoakan si-mati yang dimakamkan di sutu kuburan. Ada juga tahlil yang dilakukan pada malam-malam seminggu seseorang meninggal dunia atau waktu-waktu yang biasa untuk tahlil. Dengan tahlil itu diharapkan si-mati akan mendapatkan ampunan Allah SWT.

c. Salat, kata ini juga beradal dari bahasa Arab “salla – yusalli – salătan” yang artinya “berdoa” oleh karena dalam kamus bahasa Inggris, sallă diartikan “pray” yang mempunyai arti yang sama, yaitu berdoa. Salăt juga diartikan “mendoakan Nabi Muhammad SAW. Doa ini dieknal dengan istilah “salwat”. Salat dapat dilakukan di tempat ibadah seperti masjid atau musalla. Salat yang dimaksud bisa salat wajib maupun salat sunnat. Wisata religi demikian dimaksudkan untuk salat di masjid atau musalla kuna. Kegiatan demikian sesungguhnya untuk memeberi kesempatan para wisatawan religi untuk beribadah di tempat ibadah yang dibangun oleh para pembesar keultanan maupun ulama terkenal masa lalu. Dengan demikian mereka juga dapat memanfaatkan bangunan tempat ibadah yang telah dibangun oleh para pendahulu. Ini dapat berarti menjadi amal jariah “yang selalu mengalir pahalanya bagi yang mengusahakanna”. Di samping itu mereka juga akan mengagumi bangunan yang mereka saksikan itu.

d. Ceramah, ialah nasehat yang disampaikan oleh seseorang yang alim (pintar) kepada orang lain yang berisi tuntunan agama agar mereka hdup dalam keselamatan di dunia dan akhirat. Dalam ceramah biasanya diajarkan ilmu-ilmu yang berkeitan dengan ajaran Islam. Dalam kaitannya dengan wisata religi, maka ceramah dapat dilakkan di situs atau tinggalan arkeologis yang bersifat keagamaan, misalnya masjid, musalla, makam, dan tempat-tempat lainnya. Ceramah dapat pula berisi tentang pengetahuan berkeitan dengan kunjungan situs dan tinggalan arkeologis yang lainnya agar masyarakat (penunjung) dapat pemahaman yang baik tentang itu. Hendaklah dalam ceramah juga diampaikan tenang baaya syirik, khurafat dan tahayyul agar mereka terhindar dari kekufuran dan terhindar dari kerusakan iman mereka.

e. Dzikir, kata ini juga bersumber dari bahasa Arab “dzakar – yadzkur – dzikr” yang artinya “mengingat, menyebut”, maksudnya adalah mengingat dengan cara menyebut asma (nama=nama) Sang Chalik, Allah SWT. Nama-nama Allah yang tercantum dalam Al-Quran ada 99 (sembilan puluh Sembilan yang tersebar di seluruh surat-suratnya. Dzikir juga dapat dilakukan dengan membaca ayat-ayat al-Quran atau hadits berupa doa yang pendek-pendek dan mudah dihafal, misalnya kata “subhănallăh, wa al-hamd lillăh, wa lă ilăh ill allăh wa allăh akbar, lă haul wa lă quwwat illă bi allăh al-“aliyy al-‘adhĩm” yang artinya “Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan selain Allah, dan Dialah Yang Maha Agung, tiada pula daya dan upaya kecuali atas izin-Nya”.

f. Tadabbur, kata ini juga berasal dari bahasa Arab “dabbar – yudabbir – tadabbur” yang mempunyai arti “merenungkan, mengambil hikmah, menganalisa” kejadian alam. Artinya seseorang berusaha untuk memahami kejadian-kejadian dan peristiwa alam, seperti kematian agar mereka senantiasa menginat Allah SWT. sehingga mereka selalu menjalankan kebajikan karena mereka juga akan mengalami hal sama dengan mereka yang sudah meninggal, atau mungkin mereka akan mengalami kejadian yang sangat luar biasa, misalnya tsunami, gempa bumi, kebakaran dll. Tadabbur intinya adalah untuk memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan kejadian alam agar mereka mensyukuri nikmat Allah.

g. Tadarrus, kata ini juga berasal dari bahasa Arab “tadarras – yatadarr – tadarrus” yang artinya menderas, selalu membaca dengan tertib ayat-ayat al-Quran. Tadarrus dapat dilakukan di dalam masjid kuna, aula pemakaman dll. Tadarrus itu biasanya diniatkan untuk mendoakan si-mati atau siapa saja dengan niat lillăh ta’ălă karena Allah semata.

Itulah kegiatan yang dapat dilakukan saat wisata religi di situs-situs atau tinggalan arkeologis yang bersifat keagamaan. Sebenarnya semua amalan itu sudah biasa dilakukan oleh para peziarah secara perorangan di situs-situs dan tinggalan arkeologis yang bersifat keagamaan tersebut. Namun demikian, kebiasaan itu mungkin tidak berlaku di situs atau tinggalan arkeologis di tempat yang lain. Di Kalimantan Timur, amalan seperti itu tidak begitu popular sehingga makam-makam para sultan dan para auliya Allah tidak begitu ramai diziarahi oleh masyarakat. Untuk itu maka masyarakat perlu diberi pencerahan tentang hal itu.

Di samping diberi pencerahan tentang amalan-amalan keagamaan, para pengambil kebijakan kebudayaan dan pariwisata juga perlu mempersiapkan saran dan prasarana dalam lingkup tinggalan budaya dan arkeologis di tempatnay bedinas. Persiapan itu untuk menarik minat wisatawan yang tertarik akan tinggalan budaya dan arkeologis keagamaan itu. Sebagai persiapan diperlukan:
a. Penggalian informasi tentang siapa yang berperan aktif dalam penciptaan atau pembuatan konsep tinggalan dan siapa tokoh yang dimakamkan.
b. Penataan tinggalan budaya dan arkeologi yang dipersiapkan untuk tujuan obyek wisata religi.
c. Pembersihan lingkungan tinggalan budaya dan arkeologis yang dujadikan obyek wisata.
d. Pengamanan bagi wisatawan yang melakukan wisata religi di wilayah obyek wisata religi.
e. Persiapan peralatan penunjang wisata religi, misalnya alat-alat pengeras suara, ruang pertemuan, dll.
f. Papan-papan pengumuman dan denah serta petunjuk-petunjuk arah menuju ke obyek wisata.
g. Penawaran kuliner.
h. Persiapan rute-rute perjalanan wisaa religi, misalnya apakah yang pertama kali harus dikunjungi jika lokasi tinggalan budaya dan arkeologi itu sampai pada yang terakhir kali.
i. Persiapan materi wisata religi, jika perlu dicetak dan dapat dipedomani oleh wisatawan.
j. Penawaran cindramata khas wilayah obyek wisata religi.

Semua itu tentu melibatkan pemerintah, masyarakat, LSM dan lainnya. Setelah amalan dan semua komponen tinggalan budaya dan arkeologis yang bersifat keagamaan itu telah dipenuhi, maka diperlukan komitemen pemerintah daerah untuk mengembangkan apa yang disebut dengan konsep wisata religi di kawasan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.

Wisata religi yang demikian akan ditingkatkan terus sejalan dengan keinginan masyarakat setempat. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kutai Kartanegara merespon dan berkeinginan serta melakukan pembenahan dan mengkonsep “wisata Religi” di Tenggarong. Tentu saja mereka harus bekerjasama dengan masyarakat setempat untuk meningkatkan wisata religi itu dengan konsep ibadah di Masjid Jamik Hasanuddin dan ziarah ke makam suktan-sultan Kutai Kartanegara serta para pembesar kesultanan dan napak tilas keagungan kesultanan itu yang ditandai dengan benda-benda bersejarah yang disimpan di Museum Negeri Mulawarman, Tenggarong. Ini juga sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Majlis Taklim Darur Rahman itu.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

7 komentar:

  1. Mohon ijin share, copast dan semoga berkah juga manfa'at...!

    BalasHapus
  2. Silahkan
    Semoga diberi keberkahan kemanfaatan

    BalasHapus
  3. Mohon ijin share, copast dan semoga berkah juga manfa'at...!

    BalasHapus
  4. Keturunan apakah masih ada sampai sekarang

    BalasHapus