Senin, 28 Maret 2016

Penjelasan Hukum Li'an (Suami Menuduh Istri Berselingkuh)

Sesungguhnya ketika dua insan mengikat sebuah tali pernikahan, maka keduanya telah berjanji agar setia kepada pasangannya di kala senang dan sedih, lapang dan susah hingga akhir hayat. Namun terkadang setan pandai menggelincirkan seseorang sehingga orang tersebut merusak ikatan yang telah ia jalin bersama pasangannya dan melupakan janji setia tersebut. 

Pernikahan merupakan suatu ikatan yang sangat sakral dalam agama kita, karena dengan adanya pernikahan ini hasrat seseoran akan tersalurkan dalam bingkai ibadah. Serta akan mendapatkan keturunan yang dilegitimasi oleh agama. Namun jangan dikira bahwa hidup dalam sebuah ikatan perkawinan penuh dengan hiasan canda dan tawa bagaikan hidup dalam sorga, melainkan di dalamnya tidak jarang terjadi problema dikarenakan keinginan yang berbeda. 

Kemudian mulailah muncul berbagai macam prahara dalam rumah tangganya hingga mencapai suatu level dimana kedua belah pihak sudah tidak mungkin bersatu kembali, bahkan keduanya harus melakukan sumpah di hadapan hakim bahwa pasangannya telah berzina dengan orang lain. Inilah li’an. ‎Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang mengakhiri ikatan sucinya dengan sebuah perceraian.‎

Pengertian li’an

Li’an secara etemologi adalah bermakna muba’adah (jauh) dalam arti adanya li’an ini menyebabkan pasutri jauh dari rahmat Allah atau menyebabkan terjadinya perpisahan di antara keduanya. Secara terminologi adalah kalimat-kalimat tertentu yang dijadikan argumentasi bagi orang yang berkeinginan menuduh zina terhadap orang yang telah menodai kesucian istrinya.  Li’an adalah saling menjauh, yakni suami-istri saling menjauh setelah terjadi li’an selamanya. Li’an adalah sumpah suami bahwa istrinya telah berzina (berselingkuh) dengan orang lain dan anak yang dilahirkan istrinya akibat zina (jika ada) bukanlah anaknya.

‎Menurut Istilah 

Adapun terkait dengan definisi dan batasan makna li’an dalam ruang lingkup ilmu fiqih, para ulama datang dengan redaksi yang berbeda-beda.

Setidaknya kita punya tiga redaksi yang berbeda dari masing-masing mazhab ulama fiqih, yaitu :

a. Mazhab Al-Hanafiah dan Al-Hanabilah

Mazhab Al-Hanafiah dan Al-Hanabilah punya definisi yang serupa tentang li’an, yaitu :

شَهَادَاتٌ تَجْرِي بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ مُؤَكَّدَةٌ بِالأَْيْمَانِ مَقْرُونَةٌ بِاللَّعْنِ مِنْ جَانِبِ الزَّوْجِ وَبِالْغَضَبِ مِنْ جَانِبِ الزَّوْجَةِ

Kesaksian yang terjadi di antara suami dan istri yang dikuatkan dengan sumpah dan disertai laknat dari pihak suami dan marah dari pihak istri.

b. Mazhab Al-Malikiyah

Sedangkan mazhab Al-Malikiyah mendefinisikan pengertian li’an sebagai berikut:

حَلِفُ زَوْجٍ مُسْلِمٍ مُكَلَّفٍ عَلَى زِنَا زَوْجَتِهِ أَوْ عَلَى نَفْيِ حَمْلِهَا مِنْهُ وَحَلِفُهَا عَلَى تَكْذِيبِهِ أَرْبَعًا مِنْ كُلٍّ مِنْهُمَا بِصِيغَةِ أُشْهِدُ اللَّهَ بِحُكْمِ حَاكِمٍ

Sumpah yang dilakukan oleh seorang suami yang beragama Islam dan sudah mukallaf (aqil baligh), atas perbuatan zina yang dituduhkan kepada istrinya, atau atas pengingkaran atas anak yang dikandungnya, dimana suaminya bersumpah empat kali bahwa istrinya telah berdusta, yang tiap shighatnya berisi : “Aku bersaksi kepada Allah dengan hukum hakim . . “.

Dari definisi ini, kita bisa merinci bahwa mazhab ini menekankan beberapa, antara lain
Status suami yang harus muslim, aqil dan baligh.
Yang dituduhkan bisa berupa zina yang dilakukan istrinya
Dan bisa juga berupa tuduhan zina secara tidak langsung, yaitu berupa penolakan atas bayi yang dikandung istrinya.
Ada penekanan penggunaan lafadz sumpah sebanyak empat kali dengan sighat tertentu.

c. Mazhab Asy-Syafi’iyah

Sedangkan definisi dari mazhab Asy-Syafi’iyah adalah :

كَلِمَاتٌ مَعْلُومَةٌ جُعِلَتْ حُجَّةً لِلْمُضْطَرِّ إِلَى قَذْفِ مَنْ لَطَّخَ فِرَاشَهُ وَأَلْحَقَ الْعَارَ بِهِ أَوْ إِلَى نَفْيِ وَلَدٍ

Kata-kata tertentu yang dijadikan argumentasi untuk menekankan tuduhan atas orang yang menodai ranjangnya, dengan disertakan ancaman atasnya, atau atas penolakannya atas sahnya anak.

Definisi dari mazhab Asy-Syafi’iyah ini tidak menentukan pilihan kata atau kalimat yang digunakan. Namun memuat dua kemungkinan tuduhan, yaitu zina yang dilakukan istrinya, atau penolakan atas sahnya anak yang dikandung istrinya dari benihnya.

Dasar Hukum Li'an Dari Al-Qur;an 

Al-Qur’an,  surat an-Nur (24) ayat 6 - 9:

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ(6)وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ(7)وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ(8)وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. dan (sumpah) yang kelima: bahwa murka Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar” (QS. An Nuur : 6-9)

Dasar Hukum Li'an Dari Al-Hadits


أَنَّ هِلَالَ بْنَ أُمَيَّةَ قَذَفَ امْرَأَتَهُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَرِيكِ ابْنِ سَحْمَاءَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيِّنَةَ أَوْ حَدٌّ فِي ظَهْرِكَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا رَأَى أَحَدُنَا عَلَى امْرَأَتِهِ رَجُلًا يَنْطَلِقُ يَلْتَمِسُ الْبَيِّنَةَ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْبَيِّنَةَ وَإِلَّا حَدٌّ فِي ظَهْرِكَ فَقَالَ هِلَالٌ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ إِنِّي لَصَادِقٌ فَلَيُنْزِلَنَّ اللَّهُ مَا يُبَرِّئُ ظَهْرِي مِنْ الْحَدِّ فَنَزَلَ جِبْرِيلُ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ فَقَرَأَ حَتَّى بَلَغَ إِنْ كَانَ مِنْ الصَّادِقِينَ فَانْصَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا فَجَاءَ هِلَالٌ فَشَهِدَ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ ثُمَّ قَامَتْ فَشَهِدَتْ فَلَمَّا كَانَتْ عِنْدَ الْخَامِسَةِ وَقَّفُوهَا وَقَالُوا إِنَّهَا مُوجِبَةٌ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَتَلَكَّأَتْ وَنَكَصَتْ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهَا تَرْجِعُ ثُمَّ قَالَتْ لَا أَفْضَحُ قَوْمِي سَائِرَ الْيَوْمِ فَمَضَتْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصِرُوهَا فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَكْحَلَ الْعَيْنَيْنِ سَابِغَ الْأَلْيَتَيْنِ خَدَلَّجَ السَّاقَيْنِ فَهُوَ لِشَرِيكِ ابْنِ سَحْمَاءَ فَجَاءَتْ بِهِ كَذَلِكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا مَا مَضَى مِنْ كِتَابِ اللَّهِ لَكَانَ لِي وَلَهَا شَأْنٌ (رواه البخارى)


Bahwasanya Hilal bin Umayyah di hadapan Nabi saw menuduh isterinya berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma’. Lalu Nabi saw bersabda: “kamu buktikan atau punggungmu didera”. Kata Hilal, ya Rasulullah, jika salah seorang di antara kami melihat isterinya jalan di samping laki-laki lain apakah masih dimintai bukti pula? Nabi menjawab: “Kamu buktikan, kalau tidak punggungmu didera”!. Hilal berkata, Demi Allah yang mengutus Tuan dengan sebenarnya, sungguh saya ini berkata benar. Semoga Allah akan menurunkan firmanNya yang membebaskan saya dari hukuman had. Lalu Jibril turun dan turunlah ayat ” dan orang-orang yang menuduh isterinya berzina” Kemudian Nabi membaca ayat tersebut sampai kepada firman Allah “in kana min as-sadiqin” (akhir ayat 9 surat an-Nur), Nabi saw pergi kepada isteri Hilal, kemudian Hilal dating dan bersaksi (mengucap sumpah). Selanjutnya Nabi saw bersabada: Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kamu berdusta, apakah di antara kamu ada yang mau bertaubat? Lalu isiteri Hilal berdiri dan bersumpah, tatkala akan sampai sumpah yang kelima, kaumnya menghentikannya sambil berkata bahwa sumpah itu pasti terkabulkan. Ibnu Abas berkata, lalu isteri Hilal tampak ketakutan dan menggigil, kami menduga ia tidak akan meneruskan. Akan tetapi kemudian ia (isteri Hilal) berkata: saya tidak mau mencoreng arang di wajah kaumku sepanjang masa, lalu diteruskanlah sumpahnya. Lalu Nabi bersabda: “Perhatikanlah ia, jika nantinya anaknya hitam seperti celah kelopak matanya kalkumnya, besar dan padat berisi kedua pahanya, berarti anaknya Syuraik bin Sahma’. Ternyata lahir anak seperti tersebut. Lalu Nabi saw bersabda: Jika bukan karena telah ada ketentuan lebih dahulu dalam al-Qur’an, tentu aku akan selesaikan usrusannya dengannya (HR al-Bukhari).


عَنِ ابْنِ شِهَابٍ اَنَّ سَهْلَ بْنَ سَعْدٍ السَّاعِدِيَّ اَخْبَرَهُ اَنَّ عُوَيْمِرًا الْعَجْلاَنِيَّ جَاءَ اِلَى عَاصِمِ بْنِ عَدِيّ اْلاَنْصَارِيّ فَقَالَ لَهُ: يَا عَاصِمُ، اَرَأَيْتَ رَجُلاً وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلاً، اَيَقْتُلُهُ فَتَقْتُلُوْنَهُ اَمْ كَيْفَ يَفْعَلُ؟ سَلْ لِيْ يَا عَاصِمُ عَنْ ذلِكَ. فَسَأَلَ عَاصِمٌ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنْ ذلِكَ، فَكَرِهَ رَسُوْلُ اللهِ ص الْمَسَائِلَ وَ عَابَهَا حَتَّى كَبُرَ عَلَى عَاصِمٍ مَا سَمِعَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ ص. فَلَمَّا رَجَعَ عَاصِمٌ اِلَى اَهْلِهِ جَاءَهُ عُوَيْمِرٌ فَقَالَ: يَا عَاصِمُ، مَاذَا قَالَ لَكَ رَسُوْلُ اللهِ ص؟ فَقَالَ عَاصِمٌ لِعُوَيْمِرٍ: لَمْ تَأْتِنِيْ بِخَيْرٍ، قَدْ كَرِهَ رَسُوْلُ اللهِ ص الْمَسْأَلَةَ الَّتِيْ سَأَلْتُهُ عَنْهَا. فَقَالَ عُوَيْمِرٌ: وَ اللهِ لاَ اَنْتَهِيْ حَتَّى اَسْأَلَهُ عَنْهَا. فَاَقْبَلَ عُوَيْمِرٌ حَتَّى جَاءَ رَسُوْلَ اللهِ ص وَسَطَ النَّاسِ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اَرَأَيْتَ رَجُلاً وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلاً اَيَقْتُلُهُ فَتَقْتُلُوْنَهُ اَمْ كَيْفَ يَفْعَلُ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: قَدْ اُنْزِلَ فِيْكَ وَفِي صَاحِبَتِكَ فَاذْهَبْ فَأْتِ بِهَا. قَالَ سَهْلٌ فَتَلاَعَنَا وَ اَنَا مَعَ النَّاسِ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ ص. فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ تَلاَعُنِهِمَا قَالَ عُوَيْمِرٌ: كَذَبْتُ عَلَيْهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنْ اَمْسَكْتُهَا فَطَلَّقَهَا ثَلاَثًا قَبْلَ اَنْ يَأْمُرَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص. قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: فَكَانَتْ سُنَّةَ الْمُتَلاَعِنَيْنِ. البخارى 6: 178


Dari Ibnu Syihab, bahwasanya Sahl bin Sa’ad As-Saa’idiy memberitahukan kepadanya, bahwasanya ‘Uwaimir Al-‘Ajlaniy datang kepada ‘Aashim bin ‘Adiy Al-Anshariy, lalu ia berkata kepadanya, “Ya ‘Aashim, bagaimana pendapatmu apabila ada seorang laki-laki yang mendapati istrinya bersama laki-laki lain, apakah ia boleh membunuhnya sehingga kalian akan membunuh orang tersebut, atau bagaimana ia harus berbuat?. Hai ‘Aashim, tanyakanlah tentang hal itu untuk diriku!”. Kemudian ‘Aashim menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW tidak suka kepada pertanyaan tersebut dan beliau mencelanya, sehingga berat terasa pada ‘Aashim karena mendengar dari Rasulullah SAW tersebut . Setelah ‘Aashim kembali kepada keluarganya, maka ‘Uwaimir datang kepadanya lalu bertanya, “Ya Aashim, bagaimana yang dikatakan Rasulullah SAW kepadamu?”. Jawab ‘Aashim kepada ‘Uwaimir, “Pertanyaan itu tidak mendatangkan kebaikan kepadaku, sungguh Rasulullah SAW tidak suka kepada pertanyaan yang aku tanyakan kepada beliau”. Kemudian ‘Uwaimir berkata,“Demi Allah, aku tidak akan berhenti sehingga menanyakan hal itu kepada beliau”. Kemudian ‘Uwaimir berangkat sehingga datang kepada Rasulullah SAW, pada waktu itu beliau sedang berada di tengah-tengah orang banyak, lalu ‘Uwaimir bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkauapabila ada seorang laki-laki mendapati istrinya sedang bersama laki-laki lain, apakah boleh ia membunuh laki-laki tersebut sehingga kalian membunuh suami itu, atau bagaimana yang harus ia perbuat?”. Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh telah diturunkan (wahyu) tentang dirimu dan istrimu, maka pergilah dan bawalah istrimu kemari”. Sahl berkata : Lalu kedua suami-istri itu melakukan li’an, sedangkan saya pada waktu itu bersama orang banyak berada di sisi Rasulullah SAW. Setelah suami-istri tersebut selesai melakukan li’an ‘Uwaimir berkata, “Aku berdusta terhadapnya, ya Rasulullah, jika saya tetap menahannya (sebagai istri)”. Lalu iamenceraikannya tiga sebelum Rasulullah SAW menyuruhnya. Ibnu Syihab berkata, “Maka dipisahkannya suami-istri itu merupakan ketentuan bagi mereka yang melakukan li’an”. [HR. Bukhari juz 6, hal. 178]

عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: سُئِلْتُ عَنِ الْمُتَلاَعِنَيْنِ فِيْ اِمْرَةِ مُصْعَبٍ اَيُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا، قَالَ: فَمَا دَرَيْتُ مَا اَقُوْلُ فَمَضَيْتُ اِلَى مَنْزِلِ ابْنِ عُمَرَ بِمَكَّةَ، فَقُلْتُ لِلْغُلاَمِ اِسْتَأْذِنْ لِيْ، قَالَ: اِنَّهُ قَائِلٌ، فَسَمِعَ صَوْتِيْ، قَالَ: اِبْنُ جُبَيْرٍ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: اُدْخُلْ، فَوَ اللهِ مَا جَاءَ بِكَ هذِهِ السَّاعَةَ اِلاَّ حَاجَةٌ. فَدَخَلْتُ فَاِذَا هُوَ مُفْتَرِشٌ بَرْذَعَةً مُتَوَسّدٌ وِسَادَةً حَشْوُهَا لِيفٌ. قُلْتُ: اَبَا عَبْدِ الرَّحْمنِ، اْلمُتَلاَعِنَانِ اَيُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ، نَعَمْ. اِنَّ اَوَّلَ مَنْ سَأَلَ عَنْ ذلِكَ فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ. قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَرَأَيْتَ اَنْ لَوْ وَجَدَ اَحَدُنَا امْرَأَتَهُ عَلَى فَاحِشَةٍ كَيْفَ يَصْنَعُ؟ اِنْ تَكَلَّمَ تَكَلَّمَ بِاَمْرٍ عَظِيْمٍ. وَ اِنْ سَكَتَ سَكَتَ عَلَى مِثْلِ ذلِكَ. قَالَ: فَسَكَتَ النَّبِيُّ ص، فَلَمْ يُجِبْهُ. فَلَمَّا كَانَ بَعْدَ ذلِكَ اَتَاهُ فَقَالَ: اِنَّ الَّذِيْ سَأَلْتُكَ عَنْهُ قَدْ اُبْتُلِيْتُ بِهِ. فَاَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ هؤُلاَءِ اْلايتِ فِي سُورَةِ النُّورِ. (وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ اَزْوَاجَهُمْ) فَتَلاَهُنَّ عَلَيْهِ وَ وَعَظَهُ وَ ذَكَّرَهُ وَ اَخْبَرَهُ اَنَّ عَذَابَ الدُّنْيَا اَهْوَنُ مِنْ عَذَابِ اْلآخِرَةِ. قَالَ: لاَ، وَ الَّذِيْ بَعَثَكَ بِاْلحَقّ، مَا كَذَبْتُ عَلَيْهَا. ثُمَّ دَعَاهَا فَوَعَظَهَا وَ ذَكَّرَهَا وَ اَخْبَرَهَا اَنَّ عَذَابَ الدُّنْيَا اَهْوَنُ مِنْ عَذَابِ اْلآخِرَةِ. قَالَتْ: لاَ، وَ الَّذِيْ بَعَثَكَ بِاْلحَقّ، اِنَّهُ لَكَاذِبٌ. فَبَدَأَ بِالرَّجُلِ، فَشَهِدَ اَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ اِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِيْنَ وَ اْلخَامِسَةُ اَنَّ لَعْنَةَ اللهِ عَلَيْهِ اِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِيْنَ. ثُمَّ ثَنَّى بِاْلمَرْأَةِ، فَشَهِدَتْ اَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ اِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِيْنَ وَ اْلخَامِسَةُ اَنَّ غَضَبَ اللهِ عَلَيْهَا اِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِيْنَ. ثُمَّ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا. مسلم 2: 1130

Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata : Aku pernah ditanya di masa pemerintahan Mush’ab (bin Zubair) tentang suami-istri yang melakukan li’an, apakah keduanya itu harus dipisahkan. (Ia berkata) : Maka aku tidak tahu apa yang harus aku katakan, lalu aku pergi ke rumah Ibnu ‘Umar di Makkah, aku berkata kepada anak lelaki yang di rumahnya, “Izinkanlah aku untuk bertemu dengannya”. Ia menjawab, “ Ia sedang tidur siang”. Lalu ia mendengar suaraku, ia bertanya, “Ibnu Jubair?”. Aku menjawab, “Ya”. Ia berkata, “Masuklah. Demi Allah, tidaklah membuatmu datang kemari di saat seperti ini, kecuali ada perlu“. Lalu aku masuk. Ternyata ia sedang tiduran dengan bertikar alas pelana dan memakai bantal yang isinya sabut. Aku berkata, “Hai Abu Abdurrahman, apakah suami istri yang telah berli’an itu harus diceraikan antara keduanya?”. Ia menjawab, “Subhaanallooh, ya!. Sesungguhnya pertama kali orang yang bertanya tentang hal itu adalah Fulan bin Fulan”. Ia bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau kalau salah seorang di antara kami mendapati istrinya berbuat zina, apa yang harus ia lakukan? Jika ia berbicara berarti berbicara tentang urusan besar dan jika ia diam berarti ia mendiamkan perkara besar juga”. Ibnu Umar berkata, “Maka Nabi SAW diam, tidak menjawabnya”. Kemudian ia datang lagi kepada Nabi SAW lalu berkata, “Sesungguhnya yang saya tanyakan kepada engkau menimpa diriku sendiri”. Lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat-ayat dalam ‎surat An-Nuur “Dan orang-orang yang menuduh istri-istrinya (berzina) ....”. Kemudian Nabi SAW membacakan ayat-ayat tersebut kepadanya dan menasehatinya serta mengingatkannya dan memberitahu, bahwa adzab di dunia itu lebih ringan daripada adzab di akhirat. Lalu orang itu berkata, “Tidak ! Demi Tuhan yang mengutusmu dengan benar, aku tidak berdusta tentang istriku”. Kemudian Nabi SAW memanggil istri orang itu lalu menasehatinya, mengingatkannya dan memberitahu, bahwa adzab di dunia itu lebih ringan daripada adzab di akhirat. Wanita itu berkata, “Tidak! Demi Tuhan yang mengutusmu dengan benar, suamiku itu dusta”. Lalu Nabi SAW memulai dari si laki-laki. Maka laki-laki itu bersumpah dengan nama Allah empat kali bahwa dia sungguh di pihak yang benar, dan ke limanya semoga la’nat Allah menimpa kepadanya jika ia berdusta. Lalu Rasulullah SAW beralih kepada si wanita, kemudian wanita itu ‎bersaksi dengan nama Allah empat kali bahwa sesungguhnya suaminya itu berdusta, dan kelimanya semoga murka Allah ditimpakan kepadanya jika suaminya itu benar. Lalu beliau menceraikan keduanya. [HR. Muslim juz 2, hal. 1130]

قَالَ عَمْرٌو: سَمِعْتُ سَعِيْدَ بْنَ جُبَيْرٍ قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنِ اْلمُتَلاَعِنَيْنِ فَقَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص لِلْمُتَلاَعِنَيْنِ: حِسَابُكُمَا عَلَى اللهِ اَحَدُكُمَا كَاذِبٌ لاَ سَبِيْلَ لَكَ عَلَيْهَا قَالَ: مَالِي، قَالَ: لاَ مَالَ لَكَ، اِنْ كُنْتَ صَدَقْتَ عَلَيْهَا فَهُوَ بِمَا اسْتَحْلَلْتَ مِنْ فَرْجِهَا، وَ اِنْ كُنْتَ كَذَبْتَ عَلَيْهَا فَذَاكَ اَبْعَدُ لَكَ. البخارى 6: 180

Berkata ‘Amr, saya mendengar Sa’id bin Jubair berkata : Saya pernah bertanya kepda Ibnu ‘Umar tentang suami-istri yang melakukan li’an, maka ia berkata : Nabi SAW bersabda kepada suami-istri yang melakukan li’an, “Hisab kalian berdua terserah kepada Allah, (yang jelas) salah satu diantara kalian berdua telah berdusta, tidak ada jalan bagimu untuk kembali kepadanya”. Lalu yang laki-laki berkata, “Lalu hartaku (apakah dikembalikan kepadaku)?”. Nabi SAW bersabda,“Tidak ada harta bagimu, jika kamu benar (dalam tuduhanmu) terhadap istrimu, maka harta itu sebagai imbalan bahwa kamu telah menghalalkan farjinya, tetapi jika kamu bohong (dalam tuduhanmu), maka yang demikian itu lebih jauh lagi bagimu”. [HR. Bukhari juz 6, hal. 180]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص لِلْمُتَلاَعِنَيْنِ: حِسَابُكُمَا عَلَى اللهِ اَحَدُكُمَا كَاذِبٌ لاَ سَبِيْلَ لَكَ عَلَيْهَا. قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا لِى؟ قَالَ: لاَ مَالَ لَكَ، اِنْ كُنْتَ صَدَقْتَ عَلَيْهَا فَهُوَ بِمَا اسْتَحْلَلْتَ مِنْ فَرْجِهَا، اِنْ كُنْتَ كَذَبْتَ عَلَيْهَا فَذَاكَ اَبْعَدُ لَكَ مِنْهَا. مسلم 2: 1131

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Rasulullah saw pernah bersabda kepada suami istri yang melakukan li’an. “Hisab kalian terserah kepada Allah, salah satu diantara kalian berdua ada yang dusta, tidak ada jalan lagi bagimu (kembali) kepadanya”. Si suami bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana hartaku (maharku)?”. Rasulullah SAW menjawab, “Tidak ada harta bagimu, sebab jika engkau benar dan (istrimu salah), maka itu sebagai imbalan bahwa kamu telah menghalalkan dari farjinya dan jika engkau berdusta, maka lebih jauh lagi hakmu atas harta itu”. [HR Muslim juz 2, hal. 1131].

Hukum li’an

Jika seseorang menuduh istrinya berzina tanpa bukti, maka ia telah melakukan qadzaf (قذف) dan berhak mendapatkan hukum had berupa 80 kali cambukan. Allah Ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali cambukan” (QS. An Nuur : 4)

Had tersebut tidak berlaku jika dia membawa 4 orang saksi sebagai bukti. Allah Ta’ala berfirman :

وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ

“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya)” (QS. An Nisaa : 15)

Jika dia tidak mempunyai bukti sementara dia :

Yakin istrinya telah berzina karena melihatnya dengan mata kepalanya sendiri, atau istrinya mengaku sendiri, atau mendapatkan kabar dari sejumlah orang yang mencapai derajat mutawatir
Punya dugaan sangat kuat bahwa istrinya telah berzina karena adanya berbagai macam indikasi yang mengarah ke sana (semisal mendapati istrinya dan orang ketiga tidur bersama dalam 1 selimut) dan tersebarnya berita di masyarakat bahwa istrinya telah berzina atau adanya berita dari orang yang terpercaya bahwa istrinya telah berzina.

Maka dia boleh melakukan li’an. Allah Ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ . وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ . وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ . وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. dan (sumpah) yang kelima: bahwa murka Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar” (QS. An Nuur : 6-9)

Akan tetapi, yang lebih utama adalah tidak melakukan li’an (ingat : li’an hukumnya boleh, bukan dianjurkan) karena dia telah menutupi aib istrinya dan termasuk memaafkan kesalahan. Jika dia membenci istrinya, ceraikan saja. Jika masih cinta, maka maafkan kesalahannya.

Jika istrinya melahirkan akibat zina

Jika istrinya melahirkan seorang anak akibat zina, maka si suami wajib mengatakan bahwa anak tersebut bukan anaknya karena tidak boleh menisbatkan anak orang lain kepada dirinya sendiri. Ini adalah perbuatan yang haram dan terdapat ancaman dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang melakukannya.

عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَجُلاً لاَعَنَ امْرَأَتَهُ وَ انْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا، فَفَرَّقَ رَسُوْلُ اللهِ ص بَيْنَهُمَا وَ اَلْحَقَ اْلوَلَدَ بِاْلمَرْأَةِ. الجماعة

Dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya adaseorang laki-laki yang menuduh istrinyaberzina lalu berbuat li’an dan ia tidakmengakui anak yang dilahirkan istrinya,kemudian Rasulullah SAW memisahkanantara keduanya dan menghubungkan anaktersebut kepada ibunya. [HR. Jamaah].

Sumpah li’an

Jika amarah sudah di ubun-ubun akibat perselingkuhan, dan ia yakin istrinya telah berzina, maka boleh bagi suami melakukan li’an di hadapan hakim‎ atau di hadapan jama’ah di masjid ‎dan menyebutkan sumpah sebagai berikut :

أَشْهَدُ بِاللهِ إِنَّنِي لَمِنَ الصَّادِقِيْنَ فِيْمَا رَمَيْتُ بِهِ زَوْجَتِيْ فُلَانَةَ مِنَ الزِّنَا, وَ أَنَّ هَذَا الوَلَدَ مِنَ الزِّنَا وَ لَيْسَ مِنِّيْ (أربع مرات)

“Aku bersaksi –demi Allah- sungguh aku benar-benar orang yang jujur dengan tuduhanku bahwa istriku –fulanah (sebutkan namanya)- telah berzina, dan anak ini adalah anak zina dan bukan anakku” (sebanyak 4x)

Kemudian ia berkata setelah hakim menasihatinya (semisal dengan mengingatkan bahwa adzab di dunia itu lebih ringan daripada adzab di akhirat) :

وَ عَلَيَّ لَعْنَةُ اللهِ إِنْ كُنْتُ مِنَ الكَاذِبِيْنَ

“Dan aku berhak mendapat laknat Allah jika aku berdusta”

Reaksi istri

Jika istri tidak terima tuduhannya, maka istri bisa juga melakukan li’an dengan menjawab :

أَشْهَدُ بِاللهِ أَنَّ فُلَانًا هَذَا لَمِنَ الكَاذِبِيْنَ فِيْمَا رَمَانِي بِهِ مِنَ الزِّنَا (أربع مرات)

“Aku bersaksi –demi Allah- bahwa fulan (sebutkan nama suami) adalah pendusta dengan apa yang tuduhannya bahwa aku telah berzina” (sebanyak 4x)

Kemudian ia berkata setelah hakim menasihatinya (semisal dengan mengingatkan bahwa adzab di dunia itu lebih ringan daripada adzab di akhirat) :

وَ عَلَيَّ غَضَبُ اللهِ إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِيْنَ

“Dan aku berhak mendapat murka Allah jika dia adalah orang yang jujur (dengan tuduhannya)”

Selesailah hubungan mereka berdua selamanya setelah itu.

Dampak hukum dari li’an

Jika seorang suami melakukan li’an, maka akan mengakibatkan 5 hal sebagai berikut :

Suami tidak dikenai hukum had atas perbuatannya yang menuduh istrinya berzina
Istri dikenai hukum had, yakni dirajam sampai mati jika si istri tidak melakukan li’an balasan
Keduanya resmi bercerai
Jika ada anak, maka anak tersebut tidak sah dinisbatkan ke diri suami dan bukan tanggungan suami
Keduanya tidak dapat rujuk selamanya
Dan itulah dampak buruk perselingkuhan yang berakhir dengan li’an, saling bersumpah antara suami dan istri.

Jika keduanya melakukan li’an

Jika keduanya melakukan li’an, maka bisa dipastikan ada salah seorang diantara mereka yang berdusta. Jika si suami yang berdusta, dia berhak mendapatkan laknat Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan jika si istri yang berdusta, dia berhak mendapatkan murka Allah‘Azza wa Jalla.

Laknat adalah dijauhkan dari rahmat. Orang yang dimurkai oleh Allah ‘Azza wa Jalla lebih buruk nasibnya daripada orang yang dilaknat oleh Allah‘Azza wa Jalla (walaupun keduanya sama-sama buruk, na’udzu billahi min dzalik).

Maka dustanya istri lebih buruk daripada dustanya suami karena jika si suami berdusta, maka dia hanya berdusta dalam satu perkara, yakni dalam tuduhannya kepada si istri. Adapun jika si istri yang berdusta, maka dia sudah berzina, berdusta pula dalam sumpahnya. Inilah sisi yang membuat hukuman terhadap kedustaan istri lebih parah daripada kedustaan suami.

Akibat Hukum Berli’an

Bila telah terjadi li’an antara suami isteri, maka sebagai akibat hukumnya:
a. Bila li’an itu dalam rangka tuduhan berbuat zina, maka dengan adanya li’an hubungan suami isteri terputus dan terjadilah perceraian, antara keduanya tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk selamanya. Diriwayatkan dari Ibu Abbas, bahwa nabi saw bersabda: 

      المتلا عنان اذا تفرقا لا يجتمعا ن أبدا

“al-mutalaa’inaani idzaa tafarraqaa la yajtami’aani abadaa” 

 (dua suami isteri yang telah saling berli’an itu setelah bercerai tidak boleh berkumpul untuk selamanya)

Mengenai kapan terjadinya perceraian dengan li’an? Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
1). Menurut Imam Malik perceraian terjadi setelah keduanya selesai mengucapkan li’an
2). Menurut  Imam asy-Syafi’I perceraian terjadi sejak li’an diucapkan oleh suami dengan sempurna
3). Menurut Abu Hanifah, Ahmad, dan ats-Tsauri, bahwa perceraian itu terjadi  dengan keputusan hakim.
b. Bila li’an itu dalam rangka suami menafikan/mengingkari kehamilan isteri sebagai hasil hubungan dengan suami, maka akibat hukumnya selain antara keduanya diceraikan juga anak yang diingkari tidak dinasabkan kepada suaminya, melainkan hanya kepada ibunya saja. Sebagai akibat lebih lanjut, suami dibebaskan dari kewajiban sebagai ayah.

Hukum Pewarisan Anak Li'an

Jika seorang laki-laki menyangkalanaknya dan penyangkalannya itu sempurna dengan li'annya maka konsekuensinya:

Hubungan kedua suami-isteri itu dipisahkan selamanya; sebagaimana hadits dari Ibnu Umar: Bahwasanya seorang laki-laki menuduh isterinya berzina, dan ia tidak mengakui anaknya, maka Rasulullah saw. pisahkan antara keduanya, dan hubungkan anak itu dengan ibunya. (H.R.Jama'ah).

Hapuslah hubungan nasab antara bapak dengan anaknya tersebut dan tidak wajib ia memberi nafkah kepadanya, hapus pula hak saling mewarisi dan anak tersebut dihubungkan  hanya kepada ibunya serta anak dan ibu dapat saling mewarisi. Sebuah riwayat oleh Amr bin Syu'aib dari bapaknya, dari datuknya, ia berkata: "Rasulullah telah memutuskan tentang anak dari suami-isteri yang bermula'anah, bahwa si anak dapat warisan dari  ibunya dan ibunya dapat warisan dari anaknya. Dan orang yang menuduh perempuan berzina (tanpa dapat mengajukan saksi empat orang) adalah baginya delapan puluh kali dera." (H.R. Ahmad).

Adapun jika dilihat dari segi ketentuan Allah, maka anak tersebut di atas tetap sebagai anaknya sendiri (si bapak yang menuduh). Hal ini demi menjaga kepentingan si anak. Karena itu maka anak tersebut tidak boleh menerima zakat yang dikeluarkan ayahnya, jika ayahnya membunuhnya tak ada hukuman qishashnya, antara anak ini dengan anak-anak dari ayahnya menjadi muhrim, tidak boleh saling bersaksi di pengadilan, tidak dianggap tak dikenal nasabnya, tidak boleh mengaku orang lain sebagai ayahnya.
Jika si suami kemudian mencabut tuduhannya, maka anaknya sah nasabnya dengannya. Dan sekalian akibat li'an terhapus dari anaknya.

Sungguhpun demikian, menurut penulis, masih ada jalan bagi si anak untuk bisa mendapatkan bagian harta bapaknya, jika si bapak menginginkan , yakni lewat jalan 
1. Hibah (pemberian saat pemberi masih hidup),
2. wasiat (pemberian untuk dimiliki saat si pemberi mati) dan 
3.pemberian sukarela dari ahli warisnya, saat pusaka dibagikan. Wallahu a'lam.

Uraian Lengkap Pengertian Anak Li'an

Dalam kitab Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami disebutkan :

وولد اللعان هو الذى يولد على فراش زوجية صحيحة ونفي الزوج نسبه منه وحكم القاضى بنفى نسبة من الزوج بعد وقع اللعان بين الزوجين

“Anak Li’an adalah anak yang dilahirkan dari hubungan suami-isteri yang sah, namun sang suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya, dan qadhi (hakim syar’i) memutuskan bahwa anak itu bukanlah dari nasab sang suami, setelah suami-isteri itu diambil sumpahnya (li’an).”

Li’an adalah sumpah yang diucapkan seorang suami yang menuduh isterinya melakukan zina dan tidak mendatangkan empat orang saksi selain dirinya sendiri, sumpah tersebut dilakukan sebanyak empat kali dan di kali ke-5 diiringi dengan ucapan “laknat Allah atasku jika sumpah yang aku lakukan adalah dusta“ dan sang isteri juga diberi kesempatan menolak li’an suaminya dengan bersumpah sebanyak empat kali dan di kali ke-5 diiringi dengan ucapan “laknat Allah atasku jika kesaksian dan sumpah yang dilakukan suamiku adalah benar.“ Apabila kesaksian itu telah dilaksanakan, maka hakim akan menceraikan mereka, menafikan ikatan nasab anak itu dari suaminya, dan menjadikan anak itu bernasab pada ibunya. 

Dalam Al Qur’an Al Kariem dijelaskan bahwa :

وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ أَزۡوَٲجَهُمۡ وَلَمۡ يَكُن لَّهُمۡ شُہَدَآءُ إِلَّآ أَنفُسُهُمۡ فَشَهَـٰدَةُ أَحَدِهِمۡ أَرۡبَعُ شَہَـٰدَٲتِۭ بِٱللَّهِ‌ۙ إِنَّهُ ۥ لَمِنَ ٱلصَّـٰدِقِينَ (٦) وَٱلۡخَـٰمِسَةُ أَنَّ لَعۡنَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ إِن كَانَ مِنَ ٱلۡكَـٰذِبِينَ (٧) وَيَدۡرَؤُاْ عَنۡہَا ٱلۡعَذَابَ أَن تَشۡہَدَ أَرۡبَعَ شَہَـٰدَٲتِۭ بِٱللَّهِ‌ۙ إِنَّهُ ۥ لَمِنَ ٱلۡكَـٰذِبِينَ (٨) وَٱلۡخَـٰمِسَةَ أَنَّ غَضَبَ ٱللَّهِ عَلَيۡہَآ إِن كَانَ مِنَ ٱلصَّـٰدِقِينَ (٩

"Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (Sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nuur [24]: 6-9).

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar