Selasa, 26 April 2016

Penjelasan Hukum Adzan Dalam Jum'at Dan Disunahkannya Khotib Memegang Tongkat

Sejatinya  mengenai adzan sekali atau dua kali dalam shalat Jumat lebih utama untuk tidak diperdebatkan, apalagi dipersalahkan. Karena sejatinya lebih banyak agenda lain umat yang lebih urgen. Terlebih sejatinya masalah ini telah lama diperdebatkan di kalangan ulama.

Adzan merupakan syari’at untuk mengingatkan kaum muslimin akan masuknya waktu shalat. Sementara iqamat disyari’atkan sebagai pertanda shalat segera ditunaikan. Adzan menjadi bagian dari syari’at Islam yang merangkai pada shalat dimulai pada tahun pertama hijriah. Sejak itu adzan dikumandangkan sebagai pertanda masuk waktu shalat, dan dilanjutkan dengan iqamah. Masing-masing sekali dalam setiap shalat, demikian berlaku pada masa Nabi, Abu Bakar, dan Umar, juga berlaku pada  adzan untuk shalat Jumat.

Adapun adanya adzan dua kali pada shalat Jumat, disebutkan dalam riwayat bahwa mulai berlaku pada masa Utsman bin Affan ra. Ketika itu, Utsman memandang bahwa umat Islam semakin banyak dan diperlukan adanya pemberitahuan adzan untuk shalat Jumat lebih dari sekali, maka jadilah adzan dalam shalat Jumat dua kali.‎

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ إِنَّ الْأَذَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِي خِلَافَةِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرُوا أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِالْأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذِّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil berkata, telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah berkata, telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Az Zuhri berkata, Aku mendengar As Sa'ib bin Yazid berkata, "Pada mulanya adzan pada hari Jum'at dikumandangkan ketika Imam sudah duduk di atas mimbar. Yaitu apa yang biasa dipraktekkan sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar dan 'Umar? radliallahu 'anhu. Pada masa Khilafah 'Utsman bin 'Affan? radliallahu 'anhu ketika manusia sudah semakin banyak, maka pada hari Jum'at dia mememerintahkan adzan yang ketiga. Sehingga dikumandangkanlah adzan (ketiga) tersebut di Az Zaura'. Kemudian berlakulah urusan tersebut menjadi ketetapan."
[HR Bukhari 3:448 No 865, Abu Daud 3:293 No 919, Nasa’i 5:236 No 1375, Al Baihaqi 3:205]

Dalam memahai hadits di atas terjadi dua pendapat apakah adzan Jum’at itu sekali atau dua kali, maka saya akan paparkan kedua pendapat tersebut beserta alasannya.

Pendapat 1
Kelompok ini meyakini bahwa adzan Jum’at adalah sekali, dengan berhujjah kepada keumumman dalil tentang adzan, dan kenyataan pada Zaman Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar ra. Tidak mengamalkan adzan dua kali untuk Jum’atan.

Pendapat 2
Yang dimaksud dengan adzan yang ketiga adalah adzan yang dilakukan sebelum khatib naik ke mimbar. Sementara adzan pertama adalah adzan setelah khathib naik ke mimbar dan adzan kedua adalah iqamah. Dari sinilah, Syaikh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath al-Mu'in, mengatakan bahwa sunnah mengumandangkan adzan dua kali. Pertama sebelum khatib naik ke mimbar dan yang kedua dilakukan setelah khatib naik di atas mimbar :

وَيُسَنُّ أَذَانَانِ لِصُبْحٍ وَاحِدٍ قَبْلَ الفَجْرِ وَآخرِ بَعْدَهُ فَإِن اقَتَصَرَ فَالأَوْلَى بَعْدَهُ, وَأَذَانَانِ لِلْجُمْعَةِ أَحَدُهُمَا بَعْدَ صُعُوْدِ الخَطِيْبِ المِنْبَرَ وَالأَخَرُ الَّذِيْ قَبْلَهُ

"Disunnahkan adzan dua kali untuk shalatShubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jum'at. Salah satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya". (Fath al-Mu'in: 15)

Meskipun adzan tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, ternyata ijtihad Sayyidina Utsman RA. tersebut tidak diingkari (dibantah) oleh para sahabat Nabi SAW yang lain. Itulah yang disebut dengan “ijma sukuti”, yakni satu kesepakatan para sahabat Nabi SAW terhadap hukum suatu kasus dengan cara tidak mengingkarinya. Diam berarti setuju pada keputusan hukumnya. Dalam kitab al-Mawahib al-Ladunniyyah disebutkan :

ثُمَّ إِنَّ فِعْلَ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ إِجْمَاعاً سُكُوْتِياً لأِنَّهُمْ لاَ يُنْكِرُوْنَهُ عَلَيْهِ

 "Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. itu merupakan ijma' sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain tidak menentang kebijakan tersebut”
(al-Mawahib al Laduniyah,  juz II,: 249)

Apakah itu tidak mengubah sunah Rasul? Tentu Adzan dua kali tidak mengubah sunnah Rasulullah SAW karena kita mengikuti Utsman bin Affan ra. itu juga berarti ikut Rasulullah SAW. Beliau telah bersabda:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ

"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal)

Apalagi adzan kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan RA itu, sama sekali tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian dari para sahabat di kala itu. Jadi menurut istilah ushul fiqh, adzan Jum’at dua kali sudah menjadi “ijma’ sukuti”. Sehingga perbuatan itu memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma' para sahabat. Perbedaan ini adalah perbedaan dalam masalah furu’iyyah yang mungkin akan terus menjadi perbedaan hukum di kalangan umat, tetapi yang terpenting bahwa adzan Jum’at satu kali atau dua kali demi melaksanakan syari’at Islam untuk mendapat ridla Allah SWT.

Dua Alasan Utsman -radhiallohu anhu- Adzan Dua Kali.

Dapat kita ketahui bersama dari hadits di atas bahwa Utsman -radhiallohu anhu- menambahkan adzan yang pertama karena dua alasan yang sangat masuk akal:
Ø  1). Semakin banyaknya manusia, dan
Ø  2). Rumah-rumah mereka yang saling berjauhan.

Barang siapa memalingkan pandangan dari dua alasan ini dan berpegang teguh dengan adzan Ustman -radhiallohu anhu- secara mutlak, maka dia tidak mengikuti petunjuk beliau -radhoallohu anhu-, bahkan ia menyalahi beliau, sebab dia tidak mau mengambil pelajaran dari dua alasan tersebut, yang mana jika keduanya tidak ada niscaya Ustman -radhiallohu anhu- tidak akan menambah Sunnah Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- dan dua khalifah sebelumnya Abu Bakar dan Umar radhiallohu anhuma.

Dan dua sebab tersebut hampir tidak terwujudkan pada masa sekarang. Apalagi hampir seluruh masjid yang ada sudah menggunakan speaker untuk mengumandangkan adzan, sehingga semuanya dapat mendengarkan adzan jum’at baik yang dekat maupun yang jauh.

Bahwa persoalan Ibadah / keagamaan mesti bercermin kepada contoh teladan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebagaimana dinyatakan di dalam al-Qur’an:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahzab :21)

ومَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.    الحشر/۷

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”  
(QS. Al Hasyr :7)

Dengan demikian, semua persoalan keagamaan (Ajaran Islam) wajib dikembalikan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai dua sumber kebenaran. Bahkan dalam persengketa pun tidak boleh lari dari kedua sumber tersebut.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا . النساء/٥٩

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)

Berbeda dengan urusan keduniaan yang diperbolehkan melakukan inovasi dan kreativitas di dalamnya, sebagaimana pernah disabdakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits berikut ini.


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ كَانَ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَشَأْنُكُمْ بِهِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أُمُورِ دِينِكُمْ فَإِلَيَّ - سنن ابن ماجه

Dari Aisyah – semoga Allah meridhainya – bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Jika sesuatu itu termasuk urusan keduniawianmu, maka itu urusan kamu (kamu yang lebih mengetahuiny), tetapi jika termasuk urusan agamamu maka harus kembalikan kepadaku.” (H.R. Ibn Majah 7:333 No 2462)

Untuk itu, di dalam urusan keagaaman berlaku qaidah di bawah ini:

اَلأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّوْقِيفِ وَاْلإِتِّبَاعُ . وَبِعِبَارَةٍ أُخْرَى : اَلْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُومَ دَلِيلٌ عَلَى اْلأَمْرِ.

Pada dasarnya pokok masalah dalam ibadah adalah berdiam diri dan mengikuti. Atau dengan ungkapan lain, asal dalam ibadah itu batal sehingga ada dalil yang memerintahkan.

Berkaitan dengan dua adzan ketika shalat Jum’at sebenarnya harus berpegang pada dalil-dalil dan qaidah di atas. Apakah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi atau tidak? Ada baiknya kita perhatikan beberapa dalil dan qaul di bawah ini:

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ. قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ: الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ –

Dari Saib ibn Yazid – semoga Allah meridhainya – ia berkata, “Adalah adzan pada hari Jum’at yang pertama (terjadi) berlangsung ketika Imam telah duduk diatas mimbar pada masa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma.Maka tatkala zaman Utsman ibn Affan dimana orang-orang semakin banyak, maka beliau menambah panggilan (adzan) ketiga di Zaura.” Dan Abu Abdillah mengatakan bahwa Zaura itu suatu tempat di pasar Madinah. (H.R. Bukhari3:440 No 861)

Tambahan panggilan (adzan) ketiga maksudnya, menambah satu lagi panggilan karena pada prakteknya pada masa Rasulullah ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada dua panggilan, yaitu adzan dan iqamah ketika hendak menunaikan shalat Jum’at. Iqamah (qamat) pun disebut nida` yang berarti panggilan. Dengan demikian, penambahan adzan pada Utsman ibn Affan bukan adzan ketiga melainkan adzan kedua, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Hajar ‎rahimahullah di dalam kitabnya sebagai berikut:

قَوْلُهُ : ( زَادَ النِّدَاء الثَّالِث )
فِي رِوَايَة وَكِيع عَنْ اِبْنِ أَبِي ذِئْب فَأَمَرَ عُثْمَان بِالْأَذَانِ الْأَوَّل ، وَنَحْوه لِلشَّافِعِيِّ مِنْ هَذَا الْوَجْه ، وَلَا مُنَافَاة بَيْنهمَا لِأَنَّهُ بِاعْتِبَارِ كَوْنه مَزِيدًا يُسَمَّى ثَالِثًا ، وَبِاعْتِبَارِ كَوْنه جُعِلَ مُقَدَّمًا عَلَى الْأَذَان وَالْإِقَامَة يُسَمَّى أَوَّلًا ، وَلَفْظ رِوَايَة عَقِيل الْآتِيَة بَعْد بَابَيْنِ " أَنَّ التَّأْذِين بِالثَّانِي أَمَرَ بِهِ عُثْمَان " وَتَسْمِيَته ثَانِيًا أَيْضًا مُتَوَجِّه بِالنَّظَرِ إِلَى الْأَذَان الْحَقِيقِيّ لَا الْإِقَامَة . – فتح الباري لابن حجر - (ج ۳ / ص ۳۱۸)

 Perkataan: “Dan menambah panggilan ketiga”
Menurut riwayat Waki` dari Ibn Abi Dzi’b, maka Utsman menyuruh adzan pertama. Dan senada dengan itu menurut riwayat Imam Syafi’i dari sanad tersebut. Tidak ada saling menafikan diantara keduanya, karena ungkapan tambahan itu disebut (juga) tsalits (ketiga), sebagai ungkapan untuk muqaddimah (permulaan) bagi adzan dan iqamah, maka disebut (adzan) awal. Sedangkan lafal dari riwayat ‘Aqil yang akan dating setelah dua bab ini dinyatakan dengan phrase “Bahwa adzan kedua diperintahkan oleh Utsman”, dan penyebutan adzan kedua juga karena ditinjau kepada makna adzan secara hakiki, bukan bermakna iqamah. (Ibn Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Bariy, Juz. III, hlm. 318)

Berikut ini keterangan lain mengenai kedudukan adzan kedua:

فَلَمَّا كَانَ زَمَانُ عُثْمَانَ وَحَدَثَتِ الْحَاجَّةُ بِكَثْرَةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَدَمِ تَبْكِيْرِهِمْ إِلَى الْمَسْجِدِ عَلَى نَحْوِ مَاكَانُوا يَفْعَلُونَ فِي زَمَنِ مَنْ قَبْلَهُ ، أَمَرَ أَنْ يُؤَذِّنَ بِهِمْ لِلْجُمُعَهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ . – الإبداع ، ۱ : ٦٤ ‎

Maka ketika masa Utsman ibn Affan dan adanya kebutuhan karena bertambahnya kaum muslimin dan ketidakadaan sikap bersegera menuju ke masjid sebagaimana yang terjadi pada zaman sebelumnya, maka Utsman menyuruh untuk mengumandangkan adzan (pertama) untuk (mengingatkan) shalat Jum’at di Zaura (sebuah pasar di Madinah). (Lihat kitab al-Ibda’, Vol. I, hlm. 64)‎

Adapun lafal-lafal yang tidak pernah bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menyimpan adzan pada suatu tempat yang keluar dari maqasidnya termasuk pemberitahuan yang hukumnya bid’ah. (Lihat kitab al-Ibda’,. I, hlm. 64)

Bahkan Imam Asy Syafi’i yang merupakan Ulama Mujaddid pada Jamannya memberi komentar tentang masalah adzan Jum’at, beliau berkata :

(قال الشافعي) وأحب أن يكون الاذان يوم الجمعة حين يدخل الامام المسجد ويجلس على موضعه الذى يخطب عليه خشب أو جريد أو منبر أو شئ مرفوع له أو الارض فإذا فعل أخذ المؤذن في الاذان فإذا فرغ قام فخطب لا يزيد عليه

Imam as-Syafi’i -rahimahullah- berkata: “Dan saya menyukai adzan pada hari jum’at dikumandangkan ketika imam masuk masjid dan duduk di atas mimbar dari kayu atau tanah atau sesuatu yang lebih tinggi diatas bumi. Apabila imam telah melakukan hal itu, maka muadzdzin memulai adzan. Bila telah usai, maka imam berdiri dan menyampaikan khutbahnya, dan tidak boleh ditambah-tambahi (adzan lain) lagi.” Al Umm 1:224 ‎

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَأَيُّهُمَا كَانَ فَالْأَمْرُ الَّذِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ – الأم

Imam Syafi’i berkata, “Diantara dua perkara itu, maka perkara yang terjadi pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (adzan hanya satu kali) itu lebih aku cintai.” (Syafi’i, al-Umm,  1 :224)

Adapun adzan 3x dalam hadits Bukhari, Imam Asy Syafi’i berkata dalam kitab dan halaman yang sama:

(قال الشافعي) وأحب أن يؤذن مؤذن واحد إذا كان على المنبر لا جماعة مؤذنين أخبرنا الربيع قال أخبرنا الشافعي قال أخبرني الثقة عن الزهري عن السائب بن يزيد أن الاذان كان أوله للجمعة حين يجلس الامام على المنبر على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبى بكر وعمر فلما كانت خلافة عثمان وكثر الناس امر عثمان بأذان ثان فأذن به فثبت الامر على ذلك (قال الشافعي) وقد كان عطاء ينكر أن يكون عثمان أحدثه ويقول أحدثه معاوية والله أعلم (قال الشافعي) وأيهما كان فالامر الذى على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أحب إلى (قال الشافعي) فإن أذن جماعة من المؤذنين والامام على المنبر وأذن كما يؤذن اليوم أذان قبلأذان المؤذنين إذا جلس الامام على المنبر كرهت ذلك‎

Imam Syafi’i berkata : aku suka jika Adzan seorang muadzin sekali, yaitu apabila khotib naik mimbar, tidak boleh berkumpul dua muadzin. Telah mengabarkan kepada kami Ar Rabi’ ia berkata telah mengabarkan kepada kami Syafi’i, ia berkata telah mengabarkan kepadaku Ats tsiqah dari Zahuri dari Saib bin Yazid bahwasanya adzan untuk Jum’at dimulai ketika imam duduk di atas mimbar, sesuai petunjuk Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma, Ketika pada masa Khalifah Utsman, jumlah manusia semakin banyak, maka Utsman memerintahkan adzan ke dua, maka jadilah adzan ke dua itu sebagai ketetapan.
Imam Syafi’i berkata : dan sesungguhnya dahulu Atho` mengingkari bahwa Utsman yang memulainya dan ia berkata: ‘Yang memulainya adalah Mu’awiyah. Wallahu a’lam.
Imam Syafi’i berkata : di antara perkara itu (adzan dua kali ), maka perkara yang terjadi di Zaman Rasulullah saw (adzan sekali) itu lebih aku Cintai.
Imam Syafi’i berkata : Maka apabila muadzin mengumpulkan dua adzan sedangkan imam berada di atas mimbar, bagaikan muadzin adzan sebelum adzan di satu hari apabila imam duduk di atas mimbar, aku benci yang demikian.

Lalu beliau berkomentar lagi bahwa’ Siapapun yang memulainya (adzan 2kali), maka perkara yang telah ada pada masa Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- tentu lebih aku cintai.”

Takhtimah

Dalil yang menerangkan adzan jum’at dalam al-Qur’an surat al-Jumu’at ayat 9;

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُـنْـتُمْ تَعْلَمُونَ (9)

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah Swt. dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al-Jumu’at ayat 9).

Dua adzan yang dilaksanakan sebelum shalat jum’at pertama kali dilaksanakan pada zaman sahabat Utsman ra., karena pada saat itu semakin bertambahnya jumlah penduduk dan jarak pemukiman penduduk dengan masjid yang jauh serta aktifitas perdagangan yang semakin pesat, sehingga adzan yang semula satu kali (dikumandangkan saat imam di atas mimbar) menyebabkan banyak dari mereka ketinggalan shalat jum’at. Dengan pertimbangan di atas, kemudian sahabat Utsman menambah adzan lagi di tempat lain yang tinggi (menara). Hal ini diterangkan dalam kitab shahih Bukhari

عَنِ الزُّهْرِى قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنِ يَزِيْدَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ اِنَّ اْلاَذَانَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ كَانَ اَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ اْلاِمَامُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِى عَهْدِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَبِى بَكْرٍ وَعُمَرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِى خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَثَرُوْا اَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ بِاْلأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذَّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ اْلاَمْرُ عَلَى ذَلِكَ (صحيح البخاري الجزء 1 ص 315 رقم 916)

Dari al-Zuhri, ia berkata; saya mendengarkan dari Saib bin Yazid ra. Beliau berkata . sesungguhnya pelaksanaan adzan pada hari jum’at pada masa Rasulullah Saw, sahabat Abu Bakar dan Umar hanya satu kali, yaitu dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa khalifah utsman dan kaum muslim semakin banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura’ (nama pasar) maka tetaplah perkara tersebut sampai sekarang (Shahih al-Bukhari, juz 1 halaman 315 hadits nomor 916).

Dengan demikian disunnahkan adzan dua kali sebelum shalat jum’at, yakni adzan pertama sebelum khatib naik mimbar dan adzan kedua pada saat khatib sudah naik mimbar. Hal ini merupakan hasil ijtihad sayidina Utsman ra. dengan pertimbangan supaya tidak ada yang tertinggal dalam shalat jum’at. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Fathu al-Mu’in.

وَيُسَنُّ اَذَانَانِ لِصُبْحٍ وَاحِدٌ قَبْلَ الْفَجْرِ وَاَخَرُ بَعْدَهُ فَاِنِ اقْتَصَرَ فَاْلاَوْلَى بَعْدَهُ وَاَذَانَانِ لِلْجُمْعَةِ اَحَدُهُمَا بَعْدَ صُعُوْدِ الْخَطِيْبِ الْمِنْبَرَ وَاْلاَخَرُ الَّذِى قَبْلَهُ (فتح المعين 15)

Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat shubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Dan jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah adzan dua kali untuk shalat jum’at. Yang pertama setelah khatib naik ke mimbar dan yang ke dua sebelumnya. (Fathu al-Mu’in, hal.15)

Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam Fath al-Bârî berkata,
 
والذي يظهر أن الناس أخذوا بفعل عثمان في جميع البلاد إذ ذاك؛ لكونه خليفةً مطاعَ الأمر". إلى أن قال: "وكل ما لم يكن في زمنه -صلى الله عليه وآله وسلم- يسمى بدعة، لكن منها ما يكون حسنا، ومنها ما يكون بخلاف ذلك، وتبين بما مضى أن عثمان أحدثه لإعلام الناس بدخول وقت الصلاة؛ قياسًا على بقية الصلوات، فألحق الجمعة بها، وأبقى خصوصيتها بالأذان بين يدي الخطيب، وفيه استنباط معنى من الأصل لا يبطله
"Secara eksplisit, ketika itu semua orang di seluruh wilayah negara Islam mengambil pendapat Utsman, karena dia adalah seorang khalifah yang ditaati." Ibnu Hajar juga mengatakan, "Segala sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah saw. adalah perbuatan bid'ah, tapi ada yang bid'ah hasanah dan ada yang tidak demikian. Dari kisah yang diriwayatkan dalam atsar di atas, nampak jelas bahwa Utsman melakukan perbuatan yang baru itu (bid'ah) guna memberitahu masyarakat tentang masuknya waktu shalat. Hal ini diqiyaskan dengan azan untuk shalat-shalat lainnya, sehingga shalat Jum'at dimasukkan ke dalamnya. Lalu dia tetap mempertahankan kekhasan shalat Jum'at itu dengan azan yang dilakukan ketika khatib telah menaiki mimbar. Dalam kasus ini terdapat penyimpulan sebuah makna dari sebuah dalil tanpa membatalkan dalil tersebut."

Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa azan kedua adalah sunah yang dilakukan oleh Utsman r.a., dimana Nabi saw. pernah bersabda,
 
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ
"Barang siapa dari kalian yang masih hidup setelahku akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk." (HR. Ibnu Hibban dan Hakim).
 
Utsman radliyallahu 'anh adalah salah satu dari para khalifah yang mendapat petunjuk itu (al-khulafâ` al-mahdiyyîn ar-râsyidîn). Dan dari zaman para sahabat sampai hari ini, telah tercapai ijmak amali (bersifat perbuatan) atas penerimaan adzan yang kedua. Sehingga, barang siapa yang menyalahkan adzan kedua itu, berarti dia telah menyalahkan ijmak dan syiar-syiar Islam yang diridhai oleh para ulama sepanjang sejarah. Orang yang menganggap adzan kedua sebagai bid'ah maka dia telah menyimpang dari hadits yang diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah SAW. bahwa umat ini tidak akan bersepakat dalam kesesatan.

Kesimpulannya adalah bahwa adzan dua kali pada hari jum’at itu bukan merupakan bid’ah, sebab perbuatan itu memiliki landasan atau dalil yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma’ para sahabat dan Para tabi'in.

Dasar Hukum Pelaksanaan Shalat Sunnat Qobliyah Jum’at dan Khotbah dengan Memegang Tongkat

Kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah mengamalkan shalat sunat qobliyah Jum’at ini berdasarkan sunnah qouliyyah dan sunnah fi’liyyah (sabda dan perilaku Nabi SAW), sebagaimana yang tersebut dalam kitab Ahkamul Fuqoha’ masalah no. 4 dengan mengutip keterangan dari kitab karangan Syaikh Kurdi ala Bafadlol, sebagai berikut :

قال الكردي على بافضل في باب صلاة الجمعة : وأقوى ما يتمسك به مشروعية الركعتين قبل الجمعة ما صححه ابن حبان من حديث عبد الله بن الزبير مرفوعا : ما من صلاة إلا وبين يديها ركعتان. قاله في فتح الباري. وقال الكردي أيضا : ورأيت نقلا عن شرح المشكاة لملا على القاري ما نصه : وقد جاء بسند جيد كما قاله العراقي إنه صلى الله عليه وسلم كان يصلي قبلها أربعا. اهـ

“Dalil yang paling kuat sebagai pedoman bagi dianjurkannya shalat qobliyah Jum’at dua rakaat ialah hadits shahih riwayat Ibnu Hibban dari Abdillah bin Zubair Marfu’ sampai Rasulullah SAW. : “Tidak ada satu pun shalat fardlu kecuali sebelumnya dilakukan shalat sunat dua rakaat”. Demikian keterangan kitab Fathul Bari. Syaikh Kurdi juga mengatakan : “saya melihat ada sebuah riwayat syarah Misykah karangan Syaikh Mula Ali Qori, demikian teksnya : “telah datang sebuah riwayat dengan sadad yang bagus sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-‘Iroqi bahwa Rasulullah Saw. melakukan shalat sebelum Jum’atan empat rakaat”.

Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah shalat sunnah mutlak,
عن سَلْمَانَ الْفَارِسِي رضي الله عنه قَالَ : قَالَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم : ( لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ، فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى ) رواه البخاري (883) .
Dari Salmaan Al Faarisi, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, lalu ia bersuci semampu dia, lalu ia memakai minyak atau ia memakai wewangian di rumahnya lalu ia keluar, lantas ia tidak memisahkan di antara dua jama’ah (di masjid),kemudian ia melaksanakan shalat yang ditetapkan untuknya, lalu ia diam ketika imam berkhutbah, melainkan akan diampuni dosa yang diperbuat antara Jum’at yang satu dan Jum’at yang lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)
وعن ثعلبة بن أبي مالك أنهم كانوا في زمان عمر بن الخطاب يصلون يوم الجمعة حتى يخرج عمر . أخرجه مالك في “الموطأ” (1/103) وصححه النووي في “المجموع” (4/550).
Dari Tsa’labah bin Abi Malik, mereka di zaman ‘Umar bin Al Khottob melakukan shalat (sunnah) pada hari Jum’at hingga keluar ‘Umar (yang bertindak selaku imam). (Disebutkan dalam Al Muwatho’, 1: 103. Dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu’, 4: 550).
وعن نافع قَال : كان ابن عمر يصلي قبل الجمعة اثنتي عشرة ركعة . عزاه ابن رجب في “فتح الباري” (8/329) لمصنف عبد الرزاق .
Dari Naafi’, ia berkata, “Dahulu Ibnu ‘Umar shalat sebelem Jum’at 12 raka’at.” (Dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya 8: 329, dikuatkan oleh Ibnu Rajab dalam Fathul Bari).

Adapun khotbah dengan memegang tongkat ini dasar hukumnya adalah Fi’lun Nabi SAW. sebagaimana yang ditulis oleh imam Suyuthi dalam kitab Al-Jami’us Shoghir hal 245:

كان إذا خطب في الحرب خطب على قوس وإذا خطب في الجمعة خطب على عصا. [رواه ابن ماجه والحاكم والبيهقي]

“Adalah Rasulullah SAW. ketika berkhutbah dalam rangka perang beliau berkhutbah dengan memegang pedang, dan jika berkhutbah untuk shalat Jum’at beliau berliau berkhutbah dengan memegang tongkat” (HR. Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi)
D‎alam hal ini adalah pendapat jumhur yang didasarkan oleh banyak riwayat, diantaranya:

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا شِهَابُ بْنُ خِرَاشٍ، حَدَّثَنِي شُعَيْبُ بْنُ زُرَيْقٍ الطَّائِفِيُّ، قَالَ: جَلَسْتُ إِلَى رَجُلٍ لَهُ صُحْبَةٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَالُ لَهُ: الْحَكَمُ بْنُ حَزْنٍ الْكُلَفِيُّ فَأَنْشَأَ، يُحَدِّثُنَا، قَالَ: وَفَدْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَابِعَ سَبْعَةٍ، أَوْ تَاسِعَ تِسْعَةٍ، فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، زُرْنَاكَ فَادْعُ اللَّهَ لَنَا بِخَيْرٍ، فَأَمَرَ بِنَا، أَوْ أَمَرَ لَنَا بِشَيْءٍ مِنَ التَّمْرِ وَالشَّأْنُ إِذْ ذَاكَ دُونٌ فَأَقَمْنَا بِهَا أَيَّامًا شَهِدْنَا فِيهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْ قَوْسٍ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ كَلِمَاتٍ خَفِيفَاتٍ طَيِّبَاتٍ مُبَارَكَاتٍ، ثُمَّ قَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّكُمْ لَنْ تُطِيقُوا أَوْ لَنْ تَفْعَلُوا كُلَّ مَا أُمِرْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ سَدِّدُوا وَأَبْشِرُوا "
Telah menceritakan kepada kami Sa'iid bin Manshuur : Telah menceritakan kepada kami Syihaab bin Khiraasy : Telah menceritakan kepadaku Syu'aib bin Zuraiq Ath-Thaaifiy, ia berkata : Aku pernah duduk di samping seseorang yang punya status kebershahabatan dengan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Namanya Al-Hakam bin Hazn Al-Kulafiy. Lalu ia bercerita kepada kami. Ia berkata : "Aku pernah diutus menemui Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersama dengan tujuh atau sembilan orang. Kami masuk menemui beliau. Kami berkata : "Wahai Rasulullah, kami telah mengunjungimu, maka doakanlah kebaikan untuk kami". Maka beliau memerintahkan supaya kami disuguhi kurma. Waktu itu kondisinya paceklik. Kami pun tinggal di Madinah beberapa hari. Kami mengikuti pelaksanaan shalat Jum'at bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Beliau berdiri dengan ‎bersandar/berpegangan pada tongkat atau busur, lalu beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan beberapa kata yang ringkas, baik lagi penuh barakah. Beliau bersabda: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mampu – atau : tidak akan dapat mengerjakan - semua yang diperintahkan kepada kalian. Akan tetapi bertindaklah yang benar dan berilah kabar gembira” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1096].
Diriwayatkan oleh Ahmad 4/212, Ibnu Khuzaimah 2/352 no. 1452, dan Al-Baihaqiy 3/206; semuanya dari jalan Syihaab.
Sanad hadits ini hasan, dan dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud1/302.
أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الأُوَيْسِيُّ، وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، قَالا: أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ أَبِي الأَسْوَدِ، عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ بِمِخْصَرَةٍ فِي يَدِهِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Al-Ausiy dan Qutaibah bin Sa’iid, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Lahii’ah, dari Abul-Aswad, dari ‘Aamir bin ‘Abdillah bin Az-Zubair, dari ayahnya : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhuthbah dengan ‎tongkat pendek ditangannya [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 1/181].‎

Sanad riwayat ini hasan. Ibnu Lahii’ah adalah seorang yang shaduuq, namun bercampur hapalannya setelah kitabnya terbakar. Haditsnya yang diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa’iid darinya adalah hasan, karena Qutaibah mengambil riwayat dari kitab ‘Abdullah bin Wahb dan kemudian mendengarnya dari Ibnu Lahii’ah. Adapun ‘Abdullah bin Wahb mendengar hadits Ibnu Lahii’ah sebelum kitab-kitabnya terbakar.

Hadits di atas diriwayatkan juga oleh Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 2211, Abusy-Syaikh dalam ‎Akhlaaqun-Nabiy hal. 128, dan Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 1070; dari beberapa jalan, semuanya dari Ibnu Lahii’ah.

Dalam hadits panjang tentang Jassaasah yang bercerita tentang Dajjal, disebutkan :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَطَعَنَ بِمِخْصَرَتِهِ فِي الْمِنْبَرِ، هَذِهِ طَيْبَةُ، هَذِهِ طَيْبَةُ، هَذِهِ طَيْبَةُ يَعْنِي الْمَدِينَةَ
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda sambil menusuk-nusukkan tongkat pendeknya ke mimbar : “Inilah Thaibah, inilah Thaibah – yaitu Madiinah….” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2942].
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، قَالَ: " رَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ يَخْطُبُ، وَفِي يَدِهِ عَصًا "
Dari Ats-Tsauriy, dari Hisyaam bin ‘Urwah, ia berkata : “Aku melihat ‘Abdullah bin Az-Zubair berkhuthbah sementara di tangannya memegang tongkat” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5659; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ يَحْيَى، قَالَ: " سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ " يَقْرَأُ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ: وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ، وَفِي يَدِهِ عَصًا "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Thalhah bin Yahyaa, ia berkata : Aku mendengar ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz membaca ayat di atas mimbar : ‘Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya’ (QS. Az-Zumar : 54) – sedangkan di tangannya memegang tongkat [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 5274; sanadnya hasan].
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: قُلْتُ لِعَطَاءٍ: " أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ إِذَا خَطَبَ عَلَى عَصًا؟ قَالَ: نَعَمْ، كَانَ يَعْتَمِدُ عَلَيْهَا اعْتِمَادًا "
Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Athaa’ : “Apakah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam jika berkhuthbah beliau berdiri berpegangan tongkat ?”. Ia menjawab : “Ya, beliau memang bersandar kepadanya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5246].
Riwayat ini mursal, dan shahih hingga ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah. Maknanya, ‘Athaa’ berpendapat bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa memegang tongkat apabila berkhuthbah.

Dijelaskan oleh Imam Syafi'i di dalam kitab al-Umm: 

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى) بَلَغَنَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ اِعْتَمَدَ عَلَى عَصَى. وَقَدْ قِيْلَ خَطَبَ مُعْتَمِدًا عَلَى عُنْزَةٍ وَعَلَى قَوْسٍ وَكُلُّ ذَالِكَ اِعْتِمَادًا. أَخْبَرَنَا الرَّبِيْعُ قَالَ أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ أَخْبَرَناَ إِبْرَاهِيْمُ عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَطَاءٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ يَعْتَمِدُ عَلَى عُنْزَتِهِ اِعْتِمَادًا

Imam Syafi'i RA berkata: Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah saw berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi' mengabarkan dari Imam Syafi'i dari Ibrahim, dari Laits dari 'Atha', bahwa Rasulullah SAW jika berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan". (al-Umm, juz I, hal 272)

عَنْ شُعَيْبِ بْنِ زُرَيْقٍ الطَائِفِيِّ قَالَ شَهِدْناَ فِيْهَا الجُمْعَةَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصَا أَوْقَوْسٍ 

Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami menghadiri shalat jum'at pada suatu tempat bersama Rasulullah SAW. Maka  Beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau busur". (Sunan Abi Dawud hal. 824). 

As Shan’ani mengomentari hadits terserbut bahwa hadits itu menjelaskan tentang “sunnahnya khatib memegang pedang atan semacamnya pada waktu menyampaikan khutbahnya”. (Subululus Salam, juz II, hal 59)

فَإِذَا فَرَغَ المُؤَذِّّنُ قَامَ مُقْبِلاً عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ لاَ يَلْتَفِتُ يَمِيْنًا وَلاَشِمَالاً وَيُشْغِلُ يَدَيْهِ بِقَائِمِ السَّيْفِ أَوْ العُنْزَةِ وَالمِنْبَرِ كَيْ لاَ يَعْبَثَ بِهِمَا أَوْ يَضَعَ إِحْدَاهُمَا عَلَى الآخَرِ 

Apabila muadzin telah selesai (adzan), maka khatib berdiri menghadap jama' ah dengan wajahnya. Tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan kedua tangannya memegang pedang yang ditegakkan atau tongkat pendek serta (tangan yang satunya memegang) mimbar. Supaya dia tidak mempermainkan kedua tangannya. (Kalau tidak begitu) atau dia menyatukan tangan yang satu dengan yang lain". (Ihya' 'Ulum al-Din, juz I, hal 180)

Bagi ulama yang menganjurkan menggunakan tongkat ketika berkhutbah, menyatakan bahwa itu sifatnya anjuran. Artinya, tidak ada hubungannya dengan keabsahan khutbah. Namun ada saran lain dari mereka untuk posisi tangan.
Kita simak keterangan as-Syafii,

وإن ترك الاعتماد أحببت له أن يسكن يديه وجميع بدنه ولا يعبث بيديه إما أن يضع اليمني على اليسرى وإما أن يسكنهما وإن لم يضع إحداهما على الأخرى وترك ما أحببت له كله أو عبث بهما أو وضع اليسرى على اليمنى كرهته له ولا إعادة عليه

Jika khatib tidak bersandar dengan memegang apapun, saya menganjurkan agar tangannya diam, demikian pula seluruh badannya. Dan tidak main-main dengan tangannya. Bisa dengan dia letakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Atau dia lepaskan dan diam.

Namun jika meninggalkan semua yang saya anjurkan, atau main-main tangan atau meletakkan tangan kiri di atas tangan kanan, maka saya tidak menyukainya, meskipun khutbahnya tidak perlu diulang (sah). (al-Umm, 1/238).

Hikmah dianjurkannya memegang tongkat adalah untuk mengikat hati (agar lebih konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya. Demikian dalam kitab Subulus Salam, juz II, hal 59).

Jadi, seorang khatib disunnahkan memegang tongkat saat berkhutbah. Tujuannya, selain mengikuti jejak Rasulullah SAW juga agar khatib lebih konsentrasi (khusyu’) dalam membaca khuthbah.

Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Al-Bassaam rahimahullah berkata:
يدل الحديث على أنه يندب للخطيب متوكئا على قوسٍ أو عصا. الحكمة في ذلك - والله أعلم - : أن ذلك أربط لقلب الخطيب، وأثبت لقيامه، وأبعد له عن العبث بيده،
“Hadits tersebut menunjukkan dianjurkannya bagi khathiib untuk bersandar/memegang busur panah atau tongkat. Hikmah dari anjuran tersebut – wallaahu a’lam – adalah hal tersebut lebih mengikat hati khathiib, lebih mengokohkan berdirinya, lebih menjauhkan baginya dari bermain-main dengan tangannya” [Taudliihul-Ahkaam, 2/624].
Asy-Syaikh Yahyaa Al-Hajuuriy hafidhahullah berkata:
من السنة أن يعتمد الخطيب حال خطبته قائمًا على عصا
“Termasuk sunnah adalah khathiib bersandar pada tongkat saat berdiri dalam khuthbahnya” [Ahkaamul-Jum’ah].
Adapun perkataan sebagian ulama bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah bersandar pada tongkat setelah dibuatkan mimbar untuk beliau, maka ini tidak benar, karena riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa tetap bersandar pada tongkat atau yang sejenisnya saat berkhuthbah di atas mimbar.
Seandainya tidak ada tongkat, maka apapun yang dapat dijadikan pegangan untuk mengokohkan berdirinya khathiib tetap disyari’atkan (seperti berpegang pada tiang, tembok, atau yang lainnya). Dalilnya adalah:
وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ، فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ، ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ.............
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik bin Abi Sulaimaan, dari ‘Athaa’, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku hadir bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Ied. Beliau memulai shalat sebelum khutbah tanpa adzan dan iqamat. Kemudian beliau berdiri dengan bersandar kepada Bilaal.....‎ “ [Diriwayatkan oleh Muslim no. 885 (4)].
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَخِي، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي حَفْصُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، يَقُولُ: " كَانَ الْمَسْجِدُ مَسْقُوفًا عَلَى جُذُوعٍ مِنْ نَخْلٍ فَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ يَقُومُ إِلَى جِذْعٍ مِنْهَا، فَلَمَّا صُنِعَ لَهُ الْمِنْبَرُ وَكَانَ عَلَيْهِ فَسَمِعْنَا لِذَلِكَ الْجِذْعِ صَوْتًا كَصَوْتِ الْعِشَارِ حَتَّى جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهَا فَسَكَنَتْ "
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku saudaraku, dari Sulaimaan bin Bilaal, dari Yahyaa bin Sa’iid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Hafsh bin ‘Ubaidillah bin Anas bin Maalik, bahwasannya ia mendengar Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa ‎berkata : “Dahulu masjid (Nabawi) tiang-tiangnya dibuat dari batang-batang pohon kurma. Apabila Nabi shallallaahu alaihi wa sallam berkhuthbah, maka beliau berdiri (berpegangan) pada salah satu batangnya. Ketika beliau telah dibuatkan mimbar dan beliau tengah berkhuthbah dengan berdiri di atasnya,maka kami mendengar suara dari batang kayu tersebut (seperti tangisan) bagaikan suara onta yang hampir beranak. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang menghampirinya kemudian meletakkan tangan beliau pada batang kayu tersebut hingga akhirnya batang kayu itu diam (berhenti menangis)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3585].

Dengan demikian warga kita mengerti bahwa tuduhan BID’AH yang dialamatkan kepada kita itu menjadi batal dalam hukum, karena kuatnya dalil-dalil syar’i yang mendukung kebenaran-kebenaran amaliyah kita tersebut.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar