Rabu, 27 April 2016

Penjelasan Hukum Keluarnya Mani Saat Puasa

Allah memuliakan Ramadhan dan Allah jadikan bulan ini sebagai kesempatan untuk mendulang sejuta pahala bagi para hamba-Nya. Sayangnya, kemuliaan ramadhan tidak diimbangi dengan sikap kaum muslimin untuk memuliakannya. Banyak diantara mereka yang menodai kesucian ramadhan dengan melakukan berbagai macam dosa dan maksiat. Pantas saja, jika banyak orang yang berpuasa di bulan ramadhan, namun puasanya tidak menghasilkan pahala. Sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa, namun yang dia dapatkan dari puasanya hanya lapar dan dahaga.” (HR. Ahmad 8856, Ibn Hibban 3481, Ibnu Khuzaimah 1997 dan sanadnya dishahihkan Al-A’zami).

Makna tekstual dari hadis menunjukkan bahwa orang ini tidak mendapatkan pahala. Karena yang dia dapatan hanya lapar dan haus. Apa sebabnya?  Tentu saja, salah satunya adalah maksiat ketika puasa.

Seharusnya mereka yang bermaksiat itu malu. Di saat banyak orang berlomba untuk mendapatkan ridha Allah, justru dia mendatangi murka Allah. Di saat banyak orang melakukan ketaatan kepada Allah, dia justru durhaka keada-Nya.

إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْت

”Jika kamu tidak malu, lakukan perbuatan sesukamu!” (HR. Bukhari 3484).
Pacaran tidaklah lepas dari zina mata, zina tangan, zina kaki dan zina hati. Dari Abu Hurairah, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Setiap anak Adam telah ditakdirkan mendapat bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa dielakkan. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)
Pacaran adalah maksiat. Sementara maksiat yang dilakukan seseorang, bisa menghapus pahala amal shaleh yang pernah dia kerjakan, termasuk pahala puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).

Seharusnya orang yang berpuasa menjadi orang yang berwibawa dengan meninggalkan berbagai macam maksiat dan perbuatan sia-sia. Dalam sebuah riwayat, sahabat Jabir mengingatkan,

إذا صمت فليصم سمعك ، وبصرك من المحارم ، ولسانك من الكذب ، ودع أذى الجار ، وليكن عليك وقار وسكينة ، ولا تجعل يوم صومك ويوم فطرك سواء

”Jika kamu berpuasa, maka puasakanlah pendengaranmu, penglihatanmu dari segala yang haram, dan jagalah lisanmu dari kedustaan. Hindari mengganggu tetangga. Jadikan diri anda orang yang berwibawa dan tenang selama puasa. Jangan jadikan suasana hari puasamu sama dengan hari ketika tidak puasa.” (Latha’if Al Ma’arif, 277).

Masalah Keluar Mani ketika Puasa

Ada dua keadaan keluar mani ketika puasa:

Pertama, keluar mani di luar kesengajaan.

Misalnya yang dialami orang yang mimpi basah di siang hari ramadhan. Untuk kondisi pertama ini, para ulama menegaskan, tidak membatalkan puasa.
Mimpi basah pada hakikatnya adalah ciri-ciri seks yang sehat, karena produksi sperma yang rutin. Sedangkan kita tahu, salah satu perkara yang membatalkan puasa adalah keluarnya air mani dengan sengaja. Jadi, mimpi basah digolongkan sebagai peristiwakeluarnya air mani tanpa disengaja dan tidak membatalkan puasa.

Nabi Muhammad SAW bersabda,
رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبى حتى يحتلم

“Tidak dicatat amalnya, untuk tiga orang: orang gila sampai dia sadar, orang yang tidur sampai dia bangun, dan anak kecil sampai dia balig.” (H.R. An-Nasa’i, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibnu Majah)
Di antara dalil yang mendasarinya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :

ثَلاَثٌ لاَ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ : الْحِجَامَةُ وَالْقَيْءُ وَالاِحْتِلاَمُ

Dari Abi Siad Al-Khudhri radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Tiga hal yang tidak membuat batal orang yang berpuasa : berbekam, muntah dan mimpi (hingga keluar mani)”. (HR. At-Tirmizy)
Mimpi basah terjadi saat tidur, maka menurut hadist tersebut amal kita tidak dicatat sebagai suatu perbuatan dosa dan tidak pula membatalkan puasa. Pia yang mengalami mimpi basah diwajibkan mandi wajib/junub untuk mensucikan diri agar bisa melaksanakan ibadah sholat.

Kedua, keluar mani dengan sengaja

Dalam arti, dia secara sengaja melakukan pengantar yang memicu timbulnya syahwat, hingga mencapai orgasme. Bisa dengan onani maupun bercumbu dengan lawan jenis, hingga keluar mani. Baik dia istri maupun wanita lainnya.

Dalam hadis qudsi tersebut Allah menyebutkan sifat orang yang berpuasa, yaitu mereka tinggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya, karena Allah,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ: فَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ، إِلَّا الصِّيَامَ هُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، إِنَّهُ يَتْرُكُ الطَّعَامَ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي

“Semua amal Ibnu Adam itu miliknya, dan setiap ketaatan dilipatkan sepuluh kali sampai 700 kali. Kecuali puasa, yang itu milik-Ku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. Dia tinggalkan makanan dan syahwatnya karena-Ku.” (HR. Ad-Darimi 1811, Ibnu Khuzaimah 1898, dan dishahihkan al-A’dzami).

Allah menyebut salah satu sifat orang puasa adalah meninggalkan syahwatnya. Sehingga jika dia sampai keluar mani dengan sengaja, berarti dia telah menunaikan syahwatnya, sehingga puasanya batal.

Semakna dengan hadis ini adalah riwayat dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma bahwa Umar bin Khothab radhiallahu ‘anhu menceritakan keadaan dia dengan istrinya,

هَشَشتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ

“Suatu hari nafsuku bergejolak maka aku-pun mencium (istriku) padahal aku puasa, kemudian aku mendatangi Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata: Aku telah melakukan perbuatan yang berbahaya pada hari ini, aku mencium sedangkan aku puasa. Maka Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ، قُلْتُ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَفِيمَ؟

“Apa pendapatmu kalau kamu berkumur dengan air padahal kamu puasa?” Aku jawab: Boleh. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lalu kenapa mencium bisa membatalkan puasa?” (HR. Ahmad 138 dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).

Dalam hadis Umar di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meng-qiyaskan (analogi) antara bercumbu dengan berkumur. Keduanya sama-sama rentan dengan pembatal puasa. Ketika berkumur, orang sangat dekat dengan menelan air. Namun selama dia tidak menelan air maka puasanya tidak batal. Sama halnya dengan bercumbu. Suami sangat dekat dengan keluarnya mani. Namun selama tidak keluar mani maka tidak batal puasanya.
Onani atau masturbasi adalah rangsangan fisik yang dilakukan terhadap kelamin untuk menghasilkan perasaan nikmat dan mani ketika itu dikeluarkan dengan paksa dengan cara disentuh atau digosok-gosok. Bagaimana jika perbuatan onani ini dilakukan saat puasa? Apakah puasa jadi batal?
Menurut mayoritas ulama, onani atau masturbasi termasuk pembatal puasa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Ta’ala berfirman,
يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِى
“Orang yang berpuasa itu meninggalkan syahwat, makan dan minumnya.” (HR. Bukhari no. 7492). Dan onani adalah bagian dari syahwat.
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni berkata,
وَلَوْ اسْتَمْنَى بِيَدِهِ فَقَدْ فَعَلَ مُحَرَّمًا ، وَلَا يَفْسُدُ صَوْمُهُ بِهِ إلَّا أَنْ يُنْزِلَ ، فَإِنْ أَنْزَلَ فَسَدَ صَوْمُهُ ؛ لِأَنَّهُ فِي مَعْنَى الْقُبْلَةِ فِي إثَارَةِ الشَّهْوَةِ
“Jika seseorang mengeluarkan mani secara sengaja dengan tangannya, maka ia telah melakukan suatu yang haram. Puasanya tidaklah batal kecuali jika mani itu keluar. Jika mani keluar, maka batallah puasanya. Karena perbuatan ini termasuk dalam makna qublah yang timbul dari syahwat.”
Imam Nawawi dalam Al Majmu’ (6: 322) berkata, “Jika seseorang mencium atau melakukan penetrasi selain pada kemaluan istri dengan kemaluannya atau menyentuh istrinya dengan tangannya atau dengan cara semisal itu lalu keluar mani, maka batallah puasanya. Jika tidak, maka tidak batal.”

Demikian keterangan dalam Nihayatuz Zain karya Syaikh Nawawi:

(واستمناء) أى طلب خروج المني وهو مبطل للصوم مطلقا سواء كان بيده أو بيد حليلته أو غيرهما بحائل أولا بشهوة أولا 

Namun jika tidak ada niat mengeluarkan air mani, tetapi keluar karena adanya persentuhan atau ‘kontak langsung antara kulit sebagai indera perasa dengan suatu barang. Semisal mencium, menggenggam tangan atau alat kelamin menempel pada sesuatu hingga kelar air mani, maka hal itu membatalkan puasa. 


Salah satu perkara yang diperselisihkan oleh para ulama adalah berciuman saat puasa sehingga menyebabkan keluarnya cairan putih kental yang disertai rasa nikmat, apakah hal itu membatalkan puasa serta mewajibkan bagi pelakunya untuk membayar kafarat ataukah tidak?.

Dalam hal ini ada ulama yang berpendapat bahwa berciuman saat puasa hingga menyebabkan keluarna mani mebatalkan puasa dan mewajibkan qadha, namun tidak wajib bagi pelakunya untuk membayar kafarat, ada juga ulama yang berpendapat bahwa hal itu membatlkan puasa dan mewajibkan qadha serta mewajibkan pelakunya untuk membayar kafarat, dan ada juga ulama yang mengatakan bahwa hal itu tidak membatlkan puasa. Berikut kutipan pendapat mereka dalam masalah ini:

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Para ulama Al-Hanafiyah berpendapat bahwa berciuman hingga keluar mani saat puasa membatalkan puasa dan mewajibkan qadha, namun tidak mewajibkan bayar kafarat.

Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai' Ash-Shanai' fi Tartibi As-Syarai' menuliskan sebagai berikut :

ولو جامع امرأته فيما دون الفرج فأنزل أو باشرها أو قبلها أو لمسها بشهوة فأنزل يفسد صومه، وعليه القضاء ولا كفارة عليه

Jika seseorang bersetubuh dengan istrinya pada selanin kemaluannya kemudian keluar mani, atau mencumbunya atau menciumnya atau merabanya dengan syahwat lalu keluar mani, maka puasanya batal dan ia wajib mengqadha, tapi tidak wajib kafarat.

Al-Marghinani (w. 593 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Hidayah Syarah Bidayatu Al-Mubtadi menuliskan sebagai berikut :

ولو أنزل بقبلة أو لمس فعليه القضاء دون الكفارة

Jika seseorang keluar mani karena berciuman atau meraba, maka ia wajib mengqadha tanpa bayar kafarat.

2. Mazhab Al-Malikiyah

Para ulama Al-Malikiyah berpendapat bahwa berciuman saat uasa hingga keluar mani membatalkan puasa dan mewajibkan qadha serta mewajibkan bagi pelakunya untuk membayar kafarat.

Sahnun (w. 240 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra menuliskan sebagai berikut :

قلت: أرأيت من قبل في رمضان فأنزل، أيكون عليه الكفارة في قول مالك؟ فقال: نعم والقضاء كذلك

Aku bertanya: bagaimana orang yang berciuman hingga menyebabkan keluar mani, apakah ia wajib bayar kafarat menurut Al-Imam Malik? Ia menjawab: iya (wajib bayar kafarat) dan begitu juga qadha.

3. Mazhab Asy-Syafi’i

Para ulama Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa berciuman hingga menyebabkan keluarnya mani saat puasa membatalkan puasa dan mewajibkan qadha, tapi tidak wajib bagi pelakunya untuk membayar kafarat.

Asy-Syairazi (w. 476 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-syafi'iyah di dalam kitabnya Al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut:

وإن باشرها فيما دون الفرج فأنزل أو قبل فأنزل بطل صومه وإن لم ينزل لم يبطل صومه

Jika seseorang menggauli istrinya pada selain kemaluan hingga keluar mani, atau berciuman hingga keluar mani maka puasana batal, namun jika tidak sampai keluar mani maka puasanya tidak batal.
An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnyaRaudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin - Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut :

إذا قبل أو باشر فيما دون الفرج بذكره أو لمس بشرة امرأة بيده أو غيرها فإن أنزل المني بطل صومه وإلا فلا لما ذكره المصنف

Jika seseorang berciuman atau menggauli prempuan pada selain kemaluannya atau meraba kulit tubuh wanita dengan tangannya ata yang lain, jia sampa mengeluarkan mani maka puasanya batal, namun jika tidak maka puasanya tidak batal sebagaimana disebutkan oleh mushannif (Asy-Syairazi).

4. Mazhab Al-Hanabilah

Para ulama Al-Hanabilah berpendapat bahwa berciuman saat puasa hingga menyebabkan keluarnya air mani membatalkan puasa serta mewajibkan qadha, namun tidak mewajibkan kafarat.

Al-Khiraqi (w. 334 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnyaMukhtasharnya menuliskan sebagai berikut :

ومن أكل أو شرب أو احتجم أو استعط أو أدخل إلى جوفه شيئا من أي موضع كان أو قبل فأمنى أو أمذى أو كرر أو نظر فأنزل -أي ذلك فعل عامدا وهو ذاكر لصومه- فعليه القضاء بلا كفارة

Siapa yang makan, minum, berbekam, memasukkan obat melalui hidung atau memasukkan sesuatu kedalam tubuhnya melalui tempat manapun, atau berciuman hingga keluar mani atau keluar madzi atau memandang sesuatu yang mengundang syahwat hingga keluar mani-dan ia melakukan itu semua dengan sengaja dan ingat bahwa ia sedang berpuasa-maka wajib mengqadha tanpa wajib bayar kafarat.

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :

إذا قبل فأمنى أو أمذى، ولا يخلو المقبل من ثلاثة أحوال؛ أحدها، أن لا ينزل، فلا يفسد صومه بذلك، لا نعلم فيه خلافا، الحال الثاني، أن يمني فيفطر بغير خلاف نعلمه. الحال الثالث، أن يمذي فيفطر عند إمامنا ومالك. وقال أبو حنيفة، والشافعي: لا يفطر

Jika seseorang berciuman hingga keluar mani atau madzi. Bagi orang yang berciuman ada tiga keadaan, pertama: berciuman namun tidak sampai keluar mani, maka puasanya tidak batal tanpa ada perbedaan pendapat yang kami tau, kedua: berciuman hingga keluar mani, maka puasanya batal tanpa ada perbedaan pendapat yang kami tau, ketiga berciuman hingga keluar madzi, maka puasanya batal menurut Al-Imam Ahmad dan Malik, dan tidak batal menurut Al-Imam Abu Hanifah dan Asy-syafi’i.

5. Mazhab Azh-Zhahiriyah

Para ualama Azh-Zhahiriyah berpendapat bahwa berciuman hingga mnyebabkan keluarnya air mani saat puasa tidak membatalkan puasa.

Ibnu Hazm (w. 456 H) salah satu tokoh mazhab Azh-Zhahiriyah di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar menuliskan sebagai berikut :

ولا ينقض الصوم حجامة ولا احتلام، ولا استمناء، ولا مباشرة الرجل امرأته أو أمته المباحة له فيما دون الفرج، تعمد الإمناء أم لم يمن، أمذى أم لم يمذ ولا قبلة كذلك فيهما

Tidak membatalkan puasa berbekam, bermimpi basah, onani, menggauli istri atau budak wanita pada selain kemaluan, baik keluar mani ataupun tidak atau keluar madzi atau tidak, dan begitu juga (tidak membatalkan puasa) berciuman.

Demikian pendapat para puqaha dalam masalah ini, seperti yang kita lihat, ada yang mengatakan hal tersebut membatalkan puasa dan ada yang tidak, ada yang mewajibkan kafarat dan ada yang tidak mewajibkan. Tapi memang sebaiknya orang yang sedang puasa menahan diri dari hal demikian, karena hal itu bisa menjerumskannya pada persetubuhan yang disepakati oleh ulama membatalkan puasa dan mewajibkan kafarat.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar