Jumat, 13 Mei 2016

Penjelasan Hukum Melipat Pakaian Dan Mengikat Rambut Dalam Sholat

‎Salah satu perkara yang dilarang di dalam shalat adalah melipat atau menggulung pakaian (lengan baju) dan mengikat atau menahan rambut. Alasan sebagian orang yang melakukan ini adalah agar lengan baju dan rambut tidak terkena debu ketika sujud.
Perbuatan ini adalah terlarang berdasarkan hadits Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu.

Dinukil dari kitab Syarah Nawawi Alal Muslim


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَلَا الشَّعْرَ

Dari ibnu abbas sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
: “Aku diperintahkan untuk sujud dengan tujuh bagian tulang: dahi, dua tangan, dua lutut (dengkul), dua ujung kaki, dan jangan menahan pakaian, dan jangan pula menahan rambut.” [HR Al Bukhari (815) dan Muslim (490)]

Di dalam hadits yang musnad, juga dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةٍ لَا أَكُفُّ شَعَرًا وَلَا ثَوْبًا

“Saya diperintahkan untuk sujud di atas tujuh (anggota tubuh) dan tidak menahan pakaian dan rambut.” [HR Al Bukhari (816) dan Muslim (490)]

Menahan pakaian di dalam hadits di atas maknanya adalah menggulung atau melipat pakaian, dalam hal ini yang dimaksud adalah lengan baju. Sedangkan yang dimaksud dengan menahan rambut adalah mengikatnya.

Imam Bukhari membuat judul Bab Laa Yakuffu Tsaubahu fish Shalah – Jangan Menahan Pakaiannya Di Dalam Shalat. Sedangkan Imam Muslim membuat judul Bab A’dha As Sujud wan Nahyi ‘an Kaaffi Asy Sya’ri wats Tsaubi wa ‘Aqshir Ra’si fish Shalah – Anggota-anggota sujud dan larangan menahan rambut, pakaian, dan menjalin rambut kepala di dalam shalat. 

Penjelasan imam nawawi dalam syarah muslim


اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى النَّهْيِ عَنِ الصَّلَاةِ ، وَثَوْبُهُ مُشَمَّرٌ أَوْ كُمُّهُ أَوْ نَحْوُهُ
، أَوْ رَأْسُهُ مَعْقُوصٌ أَوْ مَرْدُودٌ شَعْرُهُ تَحْتَ عِمَامَتِهِ أَوْ نَحْوُ ذَلِكَ فَكُلُّ هَذَا مَنْهِيٌّ عَنْهُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ

para ulama' telah sepakat ttg larangan sholat sedangkan pakaiannya terlipat, atau lengan bajunya atau yg semisalnya, atau (rambut)kepalanya terjalin atau rambutnya terbalik dibawah serbannya atau yg semisal itu, semuanya ini terlarang dengan kesepakatan ulama'.


وَهُوَ كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ فَلَوْ صَلَّى كَذَلِكَ فَقَدْ أَسَاءَ وَصَحَّتْ صَلَاتُهُ ، وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ وَحَكَى ابْنُ الْمُنْذِرِ الْإِعَادَةَ فِيهِ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ ، 
ثُمَّ مَذْهَبُ الْجُمْهُورِ أَنَّ النَّهْيَ مُطْلَقٌ لِمَنْ صَلَّى كَذَلِكَ سَوَاءٌ تَعَمَّدَهُ لِلصَّلَاةِ أَمْ كَانَ قَبْلَهَا كَذَلِكَ لَا لَهَا بَلْ لِمَعْنًى آخَرَ ، 
وَقَالَ الدَّاوُدِيُّ يَخْتَصُّ النَّهْيُ بِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ لِلصَّلَاةِ ، وَالْمُخْتَارُ الصَّحِيحُ هُوَ الْأَوَّلُ ، وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَنْقُولِ عَنِ الصَّحَابَةِ وَغَيْرِهِمْ ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ فِعْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ الْمَذْكُورُ هُنَا

Larangan tsb adalah makruh tanzih. Jika dia shalat seperti itu, maka dia telah berbuat buruk, meskipun shalatnya tetap sah.
Dalam masalah itu, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabariy berhujjah dengan ijma’ (kesepakatan) ulama. Sedangkan Ibnul Mundzir menceritakan dari Al Hasan Al Bashri bahwa wajibnya mengulangi shalat.
Kemudian, menurut madzhab jumhur bahwa larangan itu berlaku mutlak bagi orang yang shalat dalam keadaan seperti itu, sama saja apakah dia sengaja melakukannya untuk shalat atau dia melakukan sebelumnya untuk maksud lain.


Ad Dawudiy berkata, "Larangan itu hanya khusus bagi orang yang menyengaja melakukannya untuk shalat.” 


Pendapat yang shahih adalah pendapat yang pertama. Itulah pendapat yang nampak yang dinukil dari sahabat dan yang lainnya dan yg menunjukkannya adalah yg dilakukan oleh ibnu abbas yg di tuturkan disini.


شرح النواوى على المسلم
الامام النواوى


TAMBAHAN KETERANGAN TENTANG MENGGULUNG ATAU MENGIKAT RAMBUT.


وفي كاشفة السجا صحيفة 71 ما نصه :
وتاسع عشرها كف ثوب أو شعر للرجل أي منعه من السجود معه دون المرأة والخنثى بل قد يجب كف شعرهما ولذلك قال االقليوبي :" نعم يجب كف شعر امرأة وخنثى توقفت صحة الصلاة عليه ولا يكره بقاؤه مكفوفا ولا فرق بين على الصلاة الجنازة وغيرها ولا بين القائم والقاعد لخبر " أمرت أن أسجد على سبعة أعظم ولا أكف ثوبا ولا شعرا رواه الشيخان "، وفي رواية " أمرت أن لا أكفت الشعر أو الثياب" وأكفت بكسر الفاء وبالتاء من باب ضرب أي أجمع ومن ذلك أن يصلي وشعره معقوص أو مردود تحت عمامته أو ثوبه أو وكمه مشمر أي مرفوع.

Dalam kitab kasifatus saja halaman 71:
yg ke sembilan belas adalah melipat/ mengumpulkan baju atau rambut bagi LELAKI, maksudnya mencegahnya lelaki terhadap rambut dari sujud bersamanya ,bukan bagi PEREMPUAN maupun BANCI bahkan terkadang wajib bagi keduanya utk mengikat rambutnya, oleh sebab itulah Al qolyuby berkata:
" memang benar, wajib mengikat rambut bagi perempuan dan banci ketika sahnya sholat bisa berhenti karenanya, dan tidak makruh rambutnya tetap terikat, hal ini tdk ada perbedaan antara sholat jenazah dan selainnya, juga antara sholat berdiri maupun duduk karena hadis : 
" “Aku diperintahkan untuk sujud dengan tujuh bagian tulang: dahi, dua tangan, dua lutut (dengkul), dua ujung kaki, dan jangan menahan pakaian, dan jangan pula menahan rambut.” (HR.Bukhori - Muslim)
dalam satu riwayat :
" aku diperintahkan utk tdk mengumpulkan rambut ataupun baju "
kalimat akiftu dengan huruf kah di kasroh dan dengan huruf ta' termasuk bab dhororba, maksudnya adalah mengumpulkan, termasuk hal itu adalah sholat dan rambut kepalanya terjalin atau rambutnya terbalik dibawah serbannya, atau baju atau lengan bajunya terlipat maksudnya ditinggikan.


وفي فيض القدير جزء 2 صحيفة 238 ما نصه :
أمرت أن أسجد على سبعة أعظم : على الجبهة واليدين والركبتين وأطراف القدمين ولا نكفت الثياب ولا الشعر (قوله ولا نكفت) بكسر الفاء وبالنصب أي لا نضم ولا نجمع فهو بمعنى ولا نكف

Dalam kitab faidhul qodir juz 2 halaman 238 :
“Aku diperintahkan untuk sujud dengan tujuh bagian tulang: dahi, dua tangan, dua lutut (dengkul), dua ujung kaki, dan jangan menahan pakaian, dan jangan pula menahan rambut.”
sabda nabi "dan jangan menahan " maksudnya adalah " dan jangan mengumpulkan"


وفي الفقه على مذاهب الأربعة جزء 1 صحيفة 257 ما نصه :
ومنها عقص شعره وهو شده على مؤخر الرأس بأن يفعل ذلك قبل الصلاة ويصلى وهو على هذه الحالة أما فعله في الصلاة فمبطل إذا اشتمل على عمل كثير وهذا متفق عليه .

Dalam kitab fiqh ala madzahibil arba'ah juz 1 hal 257:
termasuk kemakruhan sholat adalah menjalin rambutnya, yaitu mengikat rambut pada tempat akhirnya kepala dengan melakukan hal itu sebelum sholat dan dia sholat dalam keadaan ini, adapun menjalin rambut saat sholat maka bisa membatalkan sholat jika mengandung banyak gerakan dan ini sudah mnjadi kesepakatan.


Imam Malik Rahimahullah  mengatakan –sebagaimana pendapat Ad Dawudi: 

النهى مختص بمن فعل ذلك للصلاة 

Larangan tersebut khusus bagi orang yang melakukan itu untuk shalat. (Al Majmu’, 4/98) 

Maksudnya, menurut Imam Malik jika ada orang hendak shalat lalu dia menyengaja menggulung pakaiannya untuk shalat, itulah yang dilarang. Ada pun jika dia menggulungnya ketika kerja, atau maksud dan alasan lainnya, kemudian dia shalat, maka itu bukan larangan yang dimaksudkan. Sebab gulungan tersebut sudah dia lakukan dalam keperluan lainnya. Sementara Imam An Nawawi sendiri lebih membenarkan pendapat yang melarang secara mutlak, baik dia menyengaja, atau dia melakukannya ada maksud lain. Larangan tersebut bukan bermakna haram, tetapi makruh menurut kesepakatan ulama. 

Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih pernah ditanya, hukum menyingsingkan pakaian ketika shalat, beliau menjawab: 

Sesungguhnya menyingsingkan pakaian, atau menggulung lengan baju dalam shalat adalah makruh. Dalilnya adalah hadits yang disebutkan oleh penanya, yang berbunyi: “Aku diperintahkan untuk sujud dengan tujuh bagian tulang: dahi, dua tangan, dua lutut (dengkul), dua ujung kaki, dan jangan menahan pakaian, dan jangan pula menahan rambut.” Dikeluarkan oleh Syaikhan (Bukhari –Muslim), para penyusun kitab Sunan, kecuali At Tirmidzi, dari jalur Ibnu Abbas. (Fatawa Syabkah Islamiyah No. 17710) 

Ini semua dimakruhkan dalam shalat. Sedangkan diluar shalat tidak apa-apa.

Disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ta’ala di dalam Fathul Bari (2/296) bahwa hikmah dari larangan ini adalah jika seseorang menghalangi lengan baju dan rambutnya untuk menyentuh lantai pada saat sujud maka ini seperti sifatnya orang yang angkuh.

Sedangkan Al Hafiz Ibnu Rajab di dalam Fathul Bari (6/53) menambahkan alasan lain bahwa larangan ini diberlakukan karena perbuatan ini membuat shalat tidak khusyuk dan karena rambut dan pakaian juga ikut sujud bersama pemiliknya, berdasarkan riwayat dari beberapa sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم .

Selain itu, disebutkan pula bahwa ikatan rambut pada saat shalat menjadi tempat duduk bagi syaithan. Diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Sunan-nya nomor 646 dengan sanad yang hasan, bahwa Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhu melewati Al Hasan bin Ali yang sedang shalat dan dia mengikat jalinan rambutnya ke tengkuknya. Lantas Abu rafi’ melepaskan ikatan itu sehingga membuat Al Hasan marah. Kemudian Abu Rafi’ menjelaskan:

اقبل على صلاتك ولا تغضب، فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ذلك كفل الشيطان

“Lanjutkanlah shalatmu dan jangan engkau marah. Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata: “(Tempat ikatan rambut ) itu adalah tempat duduk syaithan.”

Pengingkaran terhadap hal ini juga diriwayatkan dari Umar ibnul Khaththab, Utsman bin Affan, Hudzaifah ibnul Yaman, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhum.

Ulama berselisih mengenai larangan di dalam hadits di atas dalam hal apakah larangan di atas bersifat makruh ataukah haram. Jumhur ulama mengatakan bahwa hukumnya adalah makruh.

Mereka juga berselisih apakah larangan di dalam hadits di atas berlaku di dalam shalat saja ataukah berlaku sejak sebelum shalat. Malik, Ad Daudi, dan Ibnu Jarir mendukung pendapat pertama, dan ini juga merupakan zhahir dari pendapat Imam Al Bukhari. Sedangkan jumhur ulama mendukung pendapat kedua, di antaranya adalah Umar ibnul Khaththab, Utsman bin Affan, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abu Rafi’, Al Auza’i, Al Laits bin Sa’d, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Qadhi ‘Iyadh, dan lain-lain.

Akan tetapi, ulama bersepakat bahwa barangsiapa yang melakukan hal ini di dalam shalatnya maka shalatnya tidaklah batal sehingga tidak perlu diulangi kembali. Ijma’ dinukilkan oleh Ibnu Jarir Ath Thabari sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rajab di Fathul Bari (6/52)
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar