Kamis, 30 Juni 2016

Ajining Diri Soko Lathi (Kemuliaan Seseorang Dari Lisan/Ucapan)

Banyak berbicara selain untuk hal yang terkait dengan dzikir kepada Allah membuka peluang terjerumusnya manusia ke dalam urusan-urusan yang tidak berfaedah. Di antara bahan pembicaraan yang mendorong seseorang banyak bicara adalah pembicaraan yang tidak penting.‎

Kita dilarang banyak bicara antara lain berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

Hadits dari Ibnu Umar:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُكْثِرُوا الْكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ فَإِنَّ كَثْرَةَ الْكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ قَسْوَةٌ لِلْقَلْبِ وَإِنَّ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْ اللَّهِ الْقَلْبُ الْقَاسِي

Dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

“Janganlah kalian banyak bicara tanpa berdzikir kepada Allah, karena banyak bicara tanpa berdzikir kepada Allah membuat hati menjadi keras, dan orang yang paling jauh dari Allah adalah orang yang berhati keras.”  [HR Tirmidzi]‎

Hadits dari Al Mughirah ia berkata:
عَنْ الْمُغِيرَةِ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ وَأْدِ الْبَنَاتِ وَعُقُوقِ الْأُمَّهَاتِ وَعَنْ مَنْعٍ وَهَاتِ وَعَنْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةِ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengubur anak perempuan hidup-hidup, durhaka kepada ibu, tidak memberi tapi mau menerima, banyak bicara, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta”.[HR Ad-Darimi]

Hadits dari Abu Umamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْحَيَاءُ وَالْعِيُّ شُعْبَتَانِ مِنْ الْإِيمَانِ وَالْبَذَاءُ وَالْبَيَانُ شُعْبَتَانِ مِنْ النِّفَاقِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ إِنَّمَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي غَسَّانَ مُحَمَّدِ بْنِ مُطَرِّفٍ قَالَ وَالْعِيُّ قِلَّةُ الْكَلَامِ وَالْبَذَاءُ هُوَ الْفُحْشُ فِي الْكَلَامِ وَالْبَيَانُ هُوَ كَثْرَةُ الْكَلَامِ مِثْلُ هَؤُلَاءِ الْخُطَبَاءِ الَّذِينَ يَخْطُبُونَ فَيُوَسِّعُونَ فِي الْكَلَامِ وَيَتَفَصَّحُونَ فِيهِ مِنْ مَدْحِ النَّاسِ فِيمَا لَا يُرْضِي اللَّهَ

“Sifat malu dan al ‘iyyu adalah dua cabang dari cabang-cabang keimanan. Sedangkan Al Badza` dan Al Bayanadalah dua cabang dari cabang-cabang kemunafikan.” Abu Isa berkata; Ini adalah hadits Hasan Gharib. Ia berkata, Al ‘Iyy adalah sedikit bicara dan Al Badza`adalah kata-kata yang keji, sedangkan Al Bayan adalah banyak bicara seperi para khatib-khatib yang memperpanjang dan menambah-nambahkan isi pembicaraan guna memperoleh pujian publik dalam hal-hal yang tidak diridlai Allah. [HR Tirmidzi]

Hadits dari Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلَاثًا يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَأَنْ تَنَاصَحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ وَيَسْخَطُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah meridlai kalian karena tiga perkara dan membenci dari kalian tiga perkara. Meridhai kalian jika: kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, kalian berpegang teguh terhadap tali agama Allah secara bersama-sama dan saling menasehati terhadap orang yang Allah beri perwalian urusan kalian. Membenci kalian jika; Banyak bicara, menyia-nyiakan harta dan banyak bertanya.” [HR Malik]

Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”

Di Syarah Muslim, Imam Nawawi rahimahullâh menjelaskan makna hadits tersebut sebagai berikut:

وأما قوله صلى الله عليه وسلم” فليقل خيرا أو ليصمت“فمعناه أنه إذا أراد أن يتكلم فإن كان ما يتكلم به خيرا محققا يثاب عليه واجبا أو ندوبا فليتكلم، وإن لم يظهر له أنه خير يثاب عليه فليمسك عن الكلام.

Adapun sabda Rasulullah saw, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” artinya ketika seseorang ingin berkata-kata hendaklah dilihat apakah ucapannya mengandung kebaikan dan kebenaran sesuai hukum wajib atau sunnah. Jika ya, maka berkatalah. Tapi jika tidak, tahanlah diri.
Imam Syafi’i ketika menerangkan makna hadits di atas berucap, “Ketika hendak berkata-kata, berfikirlah terlebih dahulu. Jika ucapan itu tidak mengandung kemudharatan, maka berkatalah. Tapi bila mengandung kemudharatan atau keraguan, maka tahanlah diri.”
Di hadits tersebut terdapat nasihat sebaiknya menahan diri dari berkata-kata yang tidak mengandung kebaikan, apalagi jika terdapat keburukan. Hal ini karena salah satu tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat. Sungguh telah banyak terjadi pembicaraan yang bersifat mubah berubah menjadi haram.
Dapat disimpulkan bahwa pembicaraan yang kita lakukan harus sesuatu yang baik menurut hukum, baik sunnah atau wajib. Bila isi pembicaraan bersifat mubah, sebaiknya seperlunya saja karena dikuatirkan lama-kelamaan pembicaraan itu menjurus kepada hal yang tidak berguna bahkan tidak dibenarkan menurut syariat.

Lontong balap khas Surabaya
Sate kerang menambah cita rasa
Bila tak mampu cakap yang berguna
Diam adalah pilihan utama

Sekian banyak petuah bijak disampaikan agar kita berhati-hati dalam bertutur kata. Teks kalimat yang digunakan pun bermacam-macam, ada yang menggunakan bahasa anak muda sekarang hingga peribahasa warisan budaya bangsa.
“Memang lidah tak bertulang!”
 “Mulutmu harimaumu!”
“Jikalau pedang lukai tubuh, masihlah ada harapan sembuh. Tapi jika lidah lukai hati, kemana obat hendak dicari?”
“Ajining diri ono ing lati (peribahasa Jawa yang artinya kemuliaan diri ada di lisan).”
Suatu saat Sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq ra. memegang ujung lidah beliau dan berkata,
هَذَ الَّذِيْ أَوْرَدَنِي الْمَوَارِدَ

“Lidah ini (bila tidak berhati-hati) bisa menyebabkanku sampai pada tempat kesalahan dan celaka di dunia dan akhirat.”
Di kitab “Rawdhatul ‘Uqalâ’ wa Nuzhatul Fudhalâ’” Imam Ibnu Hibban al-Busti—beliau juga penulis Shahih Ibnu Hibban—menerangkan:
قال أبو حاتم رضى الله عنه الواجب على العاقل أن ينصف أذنيه من فيه ويعلم أنه إنما جعلت له أذنان وفم واحد ليسمع أكثر مما يقول

Imam Abu Hatim ra. menjelaskan bahwa orang berakal harus lebih banyak mempergunakan kedua telinga daripada lisan. Dia harus menyadari bahwa diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu supaya lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkan. Biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol apa yang akan dikatakan.
Imam Abu Hatim ra. juga menasihatkan bahwa lisan orang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya.
Termasuk dalam menjaga lisan adalah menjaga tulisan. Saat ini, begitu mudah kita menorehkan kata. SMS, forum, blog, jejaring sosial dan kolom komentar di situs berita online menjadi media utama sebagai ganti ucapan lisan.
Mari kita perhatikan diri sendiri, tak perlu repot-repot mengamati orang lain. Siapa pun kita, apakah kita murid, guru, mahasiswa, dosen, kepala keluarga, ibu, anak, pegawai, pengusaha, anak buah, atasan, anggota masyarakat, pemimpin formal/non formal, pejabat, politikus, anggota kepolisian, tentara, santri maupun ustadz, mari kita evaluasi setiap perkataan/tulisan kita hingga detik ini.
Apakah ucapan kita selama ini mengandung banyak manfaat? Ataukah lebih sering bersifat mubah (tak ada manfaat dan mudharat)? Atau lebih parah lagi yaitu menimbulkan kemudharatan? Sahabat Ali bin Abi Thalib kw. memberi nasihat:

إِنَّ خَيْرَ الْقَوْلِ مَا نَفَعَ

Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah yang bermanfaat.

Apakah ucapan kita selama ini dalam koridor tata krama dan kesantunan? Ataukah justru bernada meremehkan, mengejek, mencela, menghina dan provokatif?

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman 

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا (53) 

Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. (QS Al-Isro Ayat 53)

Allah Swt. memerintahkan kepada hamba dan Rasul-Nya —Nabi Muhammad Saw.— agar memerintahkan kepada hamba-hamba Allah yang beriman, hendaklah mereka dalam khotbah dan pembicaraannya mengucapkan kata-kata yang terbaik dan kalimat yang menyenangkan. Karena sesungguhnya jika mereka tidak melakukan hal mi, tentulah setan akan menimbulkan permusuhan di antara mereka dengan membakar emosi mereka, sehingga terjadilah pertengkaran dan peperangan serta keburukan.

Sesungguhnya setan adalah musuh Adam dan keturunannya sejak setan menolak bersujud kepada Adam dan menampakkan permusuhannya terhadap Adam. Karena itulah maka Nabi Saw. melarang seseorang mengacungkan senjatanya kepada saudara semuslimnya, karena dikha­watirkan setan akan merasuki tangannya, dan adakalanya senjatanya itu ditimpakan kepada saudaranya tanpa kesengajaan darinya.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا مَعْمر، عَنْ هَمَّامٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يُشِيرَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَى أَخِيهِ بِالسِّلَاحِ، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَحَدُكُمْ لَعَلَّ الشَّيْطَانَ أَنْ يَنْزَعَ فِي يَدِهِ، فَيَقَعَ فِي حُفْرَةٍ مِنْ نَارٍ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Hammam, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian mengacungkan senjatanya terhadap saudaranya, karena sesungguhnya seseorang di antara kalian tidak akan mengetahui bila setan meng­ayunkan lengannya, sehingga terjerumuslah dia ke dalam lubang neraka.

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis Abdur Razzaq.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ، أَنْبَأَنَا عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ، عَنِ الْحَسَنِ قَالَ: حَدَّثَنِي رَجُلٌ مَنْ بَنِي سَلِيط قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي أزْفَلَة مِنَ النَّاسِ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: "الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، التَّقْوَى هَاهُنَا -[قَالَ حَمَّادٌ: وَقَالَ بِيَدِهِ إلى صدره -ماتواد رَجُلَانِ فِي اللَّهِ فتفرَّق بَيْنَهُمَا إِلَّا بِحَدَثٍ يُحْدِثُهُ أَحَدُهُمَا] وَالْمُحْدِثُ شَر، وَالْمُحْدِثُ شَرٌّ، وَالْمُحْدِثُ شَرٌّ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa seorang lelaki dari kalangan Bani Salit telah menceritakan kepadanya bahwa ia pernah datang kepada Nabi Saw. yang saat itu sedang berada di tengah-tengah sejumlah sahabatnya, Ia mendengar Nabi Saw. bersabda: Orang muslim adalah saudara orang muslim, ia tidak boleh berbuat aniaya terhadapnya dan tidak boleh menghinanya. Takwa itu adanya di sini.  Hammad mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda demikian seraya mengisyaratkan tangannya ke arah dadanya sendiri. Dan tidaklah dua orang lelaki saling menyukai karena Allah, lalu keduanya dipisahkan kecuali hanya oleh pembicaraan yang diutarakan oleh salah seorangnya, sedangkan si pembica­ra itu membicarakan keburukan, si pembicara membicarakan keburukan, si pembicara membicarakan keburukan.

Begitu juga firman Allah Ta’ala.

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” [Al-Ahzab : 58]

Dala kitab Shahih Muslim hadits no. 2589 disebutkan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَأكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ اَفَرَاَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنَّ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُولُ فَقَدِاغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَهُ

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa itu ghibah ?” Para sahabat menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui. “Beliau berkata, “Ghibah ialah engkau menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka” Ada yang menyahut, “Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta atas dirinya”

Membiasakan diam kecuali untuk perkataan yang mengandung kebaikan dan manfaat
Mari kita lihat dalil dari hadits-hadits dan penjelasan ulama tentang hal tersebut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ » .

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mengatakan yang baik atau hendaklah ia diam.” HR. Bukhari.

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata:

وفي هذا الحديث آداب وسنن منها التأكيد في لزوم الصمت وقول الخير أفضل من الصمت لأن قول الخير غنيمة والسكوت سلامة والغنيمة أفضل من السلامة وكذلك قالوا قل خيرا تغنم واسكت عن شر تسلم. قال عمار الكلبي: وقل الخير وإلا فاصمتن ... فإنه من لزم الصمت سلم

“Di dalam hadits ini terdapat adab-adab dan sunan-sunan darinya adalah penekanan dalam keharusan berdiam dan perkataan baik lebih utama daripada diam, karena perkataan baik adalah harta rampasan dan diam adalah keselamatan, dan harta rampasan lebih utama daripaa keselamatan, dan demikian pula mereka mengatakan: “Katakanlah kebaikan maka kamu akan mendapatkan harta banyak dan diamlah dari keburukan maka kamu akan selamat, berkata ‘Ammar Al Kalbi:

“Dan katakanlah yang baik, kalau tidak, maka diamlah *** karena sesungguhnya barangsiapa yang selalu diam maka ia akan selamat.” Lihat kitab At tamhid lima Fi Al Muwaththa’ min Al ma’ani wa Al Sanid, 21/35.

An Nawawi rahimahullah berkata:

وأما قوله صلى الله عليه و سلم فليقل خيرا أو ليصمت فمعناه أنه اذا أراد أن يتكلم فإن كان ما يتكلم به خيرا محققا يثاب عليه واجبا اومندوبا فليتكلم وان لم يظهر له أنه خير يثاب عليه فليمسك عن الكلام سواء ظهر له أنه حرام أو مكروه أو مباح مستوي الطرفين فعلى هذا يكون الكلام المباح مأمورا بتركه مندوبا إلى الإمساك عنه مخافة من انجراره إلى المحرم أو المكروه وهذا يقع في العادة كثيرا أو غالبا

“Adapun sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Maka hendaklah ia berkata yang baik atau hendaklah ia diam”, maka maknanya adalah jika ia ingin berbicara, maka, jika apa yang ia bicarakan itu adalah sebuah kebaikan yang diharapkan, diberikan pahala atasnya, baik berupa yang perkataan yang wajib atau dianjurkan, maka hendaklah ia berkata-kata, dan jika tidak terlihat untuknya, bahwa perkataan tersebut adalah sebuah kebaikan yang diberikan pahala atasnya, maka hendaklah ia menahan dari perkataan, baik terlihat untuknya bahwa ia adalah perkataan yang haram atau makruh atau mubah, sama sisi keduanya, oleh karena itu, perkataan yang baik diperintahkan untuk meninggalkannya, dianjurkan untuk menahannya, karena ditakutkan akan menariknya kepada sesuatu yang haram atau yang makruh, dan hal ini sering terjadi dalam kebiasaan.” Lihat kitab Syarah An Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 2/19.  

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ صَمَتَ نَجَا ».

Artinya: “Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang diam niscya ia selamat.” HR. Tirmidzi.

Al ‘Aini rahimahullah berkata:

قال رسول الله من صمت أي سكت عن الشر نجا أي فاز وظفر بكل خير أو نجا من آفات الدارين

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda barangsiapa yang diam yaitu diam dari keburukan niscaya ia selamat atau menang dan bahagia mendapatkan setiap kebaikan atau selamat dari keburukan-keburukan dunia dan akhirat.” Lihat kitab Mirqat Al Mafatih Syarah Misykat Al Mashabih, 14/110.

Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani rahimahullah berkata:

فالمعنى من أدى الحق الذي على لسانه من النطق بما يجب عليه أو الصمت عما لا يعنيه وأدى الحق الذي على فرجه من وضعه في الحلال وكفه عن الحرام

“Maka makna (hadits tersebut) adalah barangsiapa yang menunaikan kewajiban atas lisannya yang berupa berbicara dengan apa yang wajib ia bicarakan atau berdiam dari apa yang tidak bermanfaat untuknya. Dan menunaikan yang meruapakn ha katas kemaluannya yaitu berupa meletakkannya di dalam yang halal dan menahannya dari yang haram.” Lihat kitab Fath Al Bari, 11/309.

Beliau juga berkata:

أن النطق باللسان أصل في حصول كل مطلوب فإذا لم ينطق به الا في خير سلم وقال بن بطال دل الحديث على أن أعظم البلاء على المرء في الدنيا لسانه وفرجه فمن وقي شرهما وقى أعظم الشر

“Sesungguhnya berbicara dengan lisan adalah pokok dalam menggapai setiap keiinginan, maka jika ia tidak berbicara dengannya kecuali kebaikan, niscaya ia akan selamat, berkata Ibnu Baththal: “Hadits tersebut menunjukkan bahwa ujian yang paling berat bagi seorang manusia di dunia adalah lisannya dan kemaluannya, maka barangsiapa yang menjaga keburukan keduanya, niscaya akan terjaga dari keburukan yang paling besar.” Lihat kitab Fath Al Bari, 11/310.

Berdiam dari perkataan yang buruk itu adalah sebuah kebaikan dan keutamaan, mari perhatikan perkataan ulama salaf berikut:

علي رضي الله عنه: بكثرة الصمت تكون الهيبة.

“Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Dengan banyaknya diam, disitulah terdapat harga diri/wibawa.” lihat kitab Rabi’ Al Abrar, 1/124.

عن أبي حبيب القاضي أن أبا الدرداء كان يقول : " تعلموا الصمت كما تتعلمون الكلام فإن  الصمت حكم عظيم وكن إلى أن تسمع أحرص منك إلى أن تتكلم ولا تتكلم في شيء لا يعنيك ولا تكن مضحاكا من غير عجب ولا مشاء إلى غير أرب يعني إلى غير حاجة " .

“Abu Habib Al Qadhi meriwayatkan bahwa Abu Darda sering mengatakan: “Belajarlah dia sebagaimana kalian belajar berbicara, karena sesungguhnya diam adalah hukum yang agung. Jadilah seorang yang lebih suka mendengar daripada lebih suka berbicara, dan janganlah berbicara tentang sesuatu yang tidak bermanfaat untukmu, dan janganlah menjadi seorang yang menjadi tertawaan tanpa selain rasa takjub, dan janganlah berjalan ke tempat yang tidak ada keperluan.” Lihat kitab Makarim Al Akhlak dan Ma’aliha, karya Al Kharaithi, 1/2.

وقال علي بن أبي طالب كرم الله تعالى وجهه أفضل العبادة الصمت وانتظار الفرج

“Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “ibadah yang paling utama adalah diam dan menunggu jalan keluar.” Lihat Kitab Al Bayan wa At Tabyiin, hal: 157.

TETAPI TIMBUL PERTANYAAN DAN PERBEDEAAN DIANTARA PARA ULAMA, MANA YANG LEBIH UTAMA; BERDIAMKAH ATAU BERBICARAKAH?

وقال الحسن إملاء الخير خير من الصمت فالصمت خير من املاء الشر

“Al Hasan (Al Bashri) rahimahullah berkata: “Mengajarkan  kebaikan lebih baik daripada diam, dan diam lebih baik daripada mengajarkan keburukan.” Lihat kitab Al Bayan wa At Tabyiin, hal. 271.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata:

فليس الكلامُ مأموراً به على الإطلاق ، ولا السُّكوتُ كذلك ، بل لابدَّ منَ الكلامِ بالخير ، والسكوت عنِ الشرِّ ، وكان السَّلفُ كثيراً يمدحُون الصَّمتَ عن الشَّرِّ ، وعمَّا لا يعني ؛ لِشِدَّته على النفس ، ولذلك يقع فيه النَّاسُ كثيراً ، فكانوا يُعالجون أنفسهم ، ويُجاهدونها على السكوت عما لا يعنيهم .

“Maka bukanlah perkataan yang diperintahkan secara mutlak, tidak juga diam, akan tetapi harus berbicara dengan kebaikan dan diam dari keburukan, dan kebanyakan para ulama salaf kebanyakan memuji diam dari keburukan, dan sesuatu yang tidak bermanfaat, karena beratnya untuk diri, oleh sebab itu kebanyakan manusia terperosok di dalamnya, maka mereka (para ulama salaf) mengobati diri mereka dan bersungguh-sungguh diam dari sesuatu yang tidak bermanfaat untuk mereka.” Lihat kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam, 17/13.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

فَالتَّكَلُّمُ بِالْخَيْرِ خَيْرٌ مِنْ السُّكُوتِ عَنْهُ ،وَالصَّمْتُ عَنِ الشَّرِّ خَيْرٌ مِنَ التَّكَلُّمِ بِهِ ،فَأَمَّا الصَّمْتُ الدَّائِمُ فَبِدْعَةٌ مَنْهِيٌّ عَنْهَا، وَكَذَلِكَ الِامْتِنَاعُ عَنْ أَكْلِ الْخُبْزِ وَاللَّحْمِ وَشُرْبِ الْمَاءِ فَذَلِكَ مِنْ الْبِدَعِ الْمَذْمُومَةِ أَيْضًا ، كَمَا ثَبَتَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ :بَيْنَا النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَخْطُبُ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ قَائِمٍ فَسَأَلَ عَنْهُ فَقَالُوا : أَبُو إِسْرَائِيلَ نَذَرَ أَنْ يَقُومَ وَلاَ يَقْعُدَ وَلاَ يَسْتَظِلَّ وَلاَ يَتَكَلَّمَ وَيَصُومَ . فَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - :« مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ »

“Berbicara dengan kebaikan adalah sebuah kebaikan daripada diam darinya, dan diam dari keburukan adalah sebuah kebaikan daripada berbicara keburukan, adapun diam selalu maka ini adalah perbuatan bid’ah yang terlarang, dan demikianp pula menahan diri dari memakan roti, daging dan minum air, maka ini adalah termasuk dari perbuatan bid’ah yang tercela juga, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Shahih Bukhari, IBnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkhothbah berdirilah seseorang dan bertanya kepad beliau: “Abu Israil bernadzar untuk berdiri dan tidak duduk dan tidak bernaung serta tidak berbicara dan berpuasa, (bolehkah?)”, nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perintahkanlah ia untuk berbicara, bernaung dan menyempurnakan puasanya.” Lihat kitab Al Furqan Baina Awliya Ar rahman dan Awliya Asy Syaithan, hal. 159.

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata:

أن الكلام بالخير من ذكر الله وتلاوة القرآن وأعمال البر أفضل من الصمت وكذلك القول بالحق كله والإصلاح بين الناس وما كان مثله وإنما الصمت المحمود الصمت عن الباطل.

“Bahwa berkata yang baik seperti berdzikir kepada Allah, membaca Al Quran dan amalan-amalan baik lebih baik daripada berdiam, demikian pula berbicara dengan kebenaran seluruhnya dan mengadakan perdamaian diantara manusia, dan apa saja yang semisal dengannya, dan sesungguhnya diam yang terpuji adalah diam dari perkataan yang batil.” Lihat kitab At Tamhid Lima Fi Al Muwaththa’ Min Al Ma’ani wa Al Asanid, 22/20.

وقال علي بن أبي طالب : لا خير في الصمت عن العلم كما لا خير في الكلام عن الجهل .

“Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Tidak ada kebaikan di dalam diam dari ilmu sebagaiman tidak ad kebaikan di dalam perkataan yang batil.” Lihat Kitab Gharaib Al Furqan wa Gharaib Al Furqan, 1/227.
Semoga Allah selalu menjaga lisan kita dari hal-hal yang tidak berguna, agar tidak menuai sesal di hari akhir dengan tidak membawa amal sedikit pun dari jerih payah amal kita di dunia.

عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَتِهِ وَصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ فِي النَّارِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?”

Para shahabat pun menjawab, ”Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda.”

Beliau menimpali, ”Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan, sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa orang yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, no. 258)‎

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar