Senin, 06 Juni 2016

Memaafkan Orang Yang Telah Menjahati Jauh Lebih Baik

Waktu terus berputar dan beragam peristiwa ikut mengiringi derap langkah kehidupan manusia. Adalah kenyataan bahwa problematika hidup bermasyarakat sangatlah kompleks. Yang demikian itu karena masyarakat berikut seluruh lapisannya memiliki karakter dan kepribadian yang tidak sama.
Demikian pula tingkat pemahaman tentang agama dan kesiapan untuk menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari pun sangat beragam. Oleh sebab itu, masing-masing individu hendaknya memiliki kesiapan jiwa yang bisa menjadi bekal menghadapi keadaan apapun dengan tepat. Di antaranya adalah sikap tabah dan lapang dada yang didukung oleh ilmu syariat. Bisa dikatakan, secara umum orang itu siap untuk dipuji dan diberi, namun sangat berat jika dicela dan dinodai. Di sinilah ujian, apakah seseorang mampu menguasai dirinya saat pribadinya disinggung dan haknya ditelikung. Dalam Al-Qur’an, Allah  memuji orang-orang yang mampu menahan amarahnya seperti firman-Nya:
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya.” (Ali ’Imran: 134)
Demikian pula Rasulullah telah menegaskan bahwa orang yang mampu menahan dirinya di saat marah dia sejatinya orang yang kuat. Rasulullah bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيْدُ باِلصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukan yang banyak mengalahkan orang dengan kekuatannya. Orang yang kuat hanyalah yang mampu menahan dirinya di saat marah.” (HR. Al-Bukhari no. 6114)‎

Berdasarkan sebuah penelitian, salah satu hal yang paling sulit dilakukan orang adalah meminta maaf dan memberi maaf kepada orang lain. Walaupun seseorang menyadari kesalahannya, meminta maaf kepada orang yang telah disakiti bukanlah perkara mudah. Ada rasa gengsi ataupun ego yang menghalangi seseorang untuk bisa berkata, “Aku telah bersalah. Aku meminta maaf atas tindakan yang telah kulakukan dan berharap kamu dapat memaafkan aku.”

Sama halnya meskipun seseorang sudah bisa menahan rasa sakit akibat kesalahan yang dibuat orang lain, memaafkan orang tersebut juga bukan perkara mudah. Rasa yang tergores seolah tak bisa lepas dari ingatan dan terus membekas. Dalam sebuah judul lagu disebutkan, “Forgiven not Forgotten”. Aku memaafkan tapi aku tidak bisa melupakan kesalahanmu. Apakah ini yang dinamakan memberi maaf?
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;


وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (40) وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيلٍ (41) إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الأرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (42) وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الأمُورِ (43) 

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik. pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosa pun atas mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. (QS Asy-Syura: 40-43)‎

Firman Allah Swt.:

{وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا}

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. (Asy-Syura: 40)

Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:

{فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ}

Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadapmu. (Al-Baqarah: 194)

Semakna pula dengan firman-Nya:

{وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ}

Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. (An-Nahl: 126), hingga akhir ayat.

Maka keseimbangan merupakan hal yang disyariatkan, yaitu hukum qisas, sedangkan yang lebih utama daripada itu hanyalah dianjurkan, yaitu memaafkan seperti yang disebutkan pula dalam ayat yang lain melalui firman Allah Swt.:

{وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ}

dan luka-luka (pun) ada qisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al-Maidah: 45)

Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:

{فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ}

Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas (tanggungan) Allah. (Asy-Syura: 40)

Artinya, hal tersebut tidak sia-sia di sisi Allah. Seperti apa yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih:

"وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا"

Tidak sekali-kali Allah memberi tambahan kepada seseorang hamba dengan sifat pemaaf, melainkan kemuliaanlah (yang diperolehnya).

Adapun firman Allah Swt.:

{إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ}

Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (Asy-Syura: 40)

Maksudnya, orang-orang yang bersikap melampaui batas, yaitu orang yang memulai permusuhan dan berbuat jahat.

Kemudian dalam firman berikutnya di sebutkan:

{وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيلٍ}

Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosa pun atas mereka. (Asy-Syura: 41)

Tiada dosa atas mereka dalam melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang telah berbuat aniaya terhadap dirinya.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Bazi', telah menceritakan kepada kami Muaz ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya tentang pembelaan diri yang terdapat di dalam firman-Nya:Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah ter­aniaya, tidak ada suatu dosa pun atas mereka. (Asy-Syura: 41) Maka Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an menceritakan kepadanya sebuah hadis dari Ummu Muhammad, istri ayahnya. Ibnu Aun mengatakan bahwa mereka menduga Ummu Muhammad pernah masuk menemui Siti Aisyah r.a. Lalu Siti Aisyah bercerita kepadanya, "Pada suatu hari Rasulullah Saw. masuk menemui kami, sedangkan di antara kami terdapat Zainab binti Jahsy r.a. Maka Nabi Saw. berisyarat dengan tangannya kepadaku, sedangkan beliau tidak mengetahui bahwa di rumahku ada Zainab. Kemudian aku memberikan isyarat kepada Beliau Saw. bahwa ada Zainab hingga beliau mengetahui isyaratku, lalu beliau menghentikan isyaratnya." Tetapi rupanya Zainab mengetahui hal itu, maka ia langsung mencaci Aisyah r.a. Rasulullah Saw. melarangnya, tetapi Zainab tetap terus mencaci Aisyah. Lalu Nabi Saw. bersabda kepada Aisyah,"Balas cacilah dia!" Kemudian aku (Aisyah) mencacinya hingga aku dapat membungkamnya. Zainab pergi dan mendatangi Ali r.a, lalu mengadu kepadanya, "Sesungguhnya Aisyah telah mencacimu dan menjatuhkan namamu." Maka Fatimah r.a. datang, tetapi Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Sesungguhnya Aisyah adalah kekasih ayahmu, demi Tuhan yang memiliki Ka'bah. "Akhirnya Fatimah pergi dan mengadu kepada suaminya bahwa sesungguhnya ia telah mengatakan hal tersebut kepada Nabi Saw, tetapi Nabi Saw. menjawabnya dengan jawaban anu dan anu. Maka Ali datang kepada Nabi Saw, dan Nabi Saw. menerangkan duduk perkaranya kepada Ali.

Demikianlah bunyi riwayat yang dikemukakan oleh Ibnu Aun, tetapi Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an dalam riwayatnya sering mendatangkan hal-hal yang mungkar; ini menjadi kebiasaannya, dan riwayat ini mengandung hal yang mungkar.

Riwayat yang sahih adalah yang berbeda dengan konteks ini seperti yang telah diriwayatkan oleh Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Khalid ibnu Salamah Al-Fa'fa, dari Abdullah Al-Bahi, dari Urwah yang menceritakan bahwa Siti Aisyah r.a. pernah mengatakan, bahwa tanpa ia sadari dirinya memasuki rumah Zainab tanpa izin, saat itu Zainab sedang marah. Kemudian Zainab berkata kepada Rasulullah Saw.”Cukuplah bagimu bila kusingkapkan baju kurung anak perempuan Abu Bakar ini." Lalu Zainab meluapkan emosinya kepadaku, tetapi aku berpaling darinya, hingga Rasulullah Saw. bersabda, "Hai kamu, belalah dirimu!" Akhirnya aku hadapi Zainab, hingga kulihat dia terbungkam tidak dapat menjawab sepatah kata pun terhadapku, dan saat itu kulihat wajah Nabi Saw. cerah.‎
Demikianlah menurut lafaz hadis yang diketengahkan oleh Imam Nasai.

قَالَ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ أَبِي حَمْزَةَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ دَعَا عَلَى مَنْ ظَلَمَهُ فَقَدِ انْتَصَرَ".

Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abu Gassan, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Abu Hamzah, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang berdoa untuk (kemudaratan) orang yang telah menganiaya dirinya, maka sesungguhnya ia telah membela dirinya.

Imam Turmuzi meriwayatkan hadis ini melalui Abul Ahwas, dari Abu Hamzah yang nama aslinya Maimun. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan, "Kami tidak mengenal hadis ini kecuali melalui riwayatnya (Abu Hamzah), padahal mengenai hafalannya masih diragukan."

Firman Allah Swt.:

{إِنَّمَا السَّبِيلُ}

Sesungguhnya dosa itu. (Asy-Syura: 42)
Yakni dosa dan penderitaan.

{عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الأرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ}

atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. (Asy-Syura: 42)

Yaitu memulai perbuatan aniaya terhadap orang lain, sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih yang menyebutkan:

"الْمُسْتَبَّانُ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَد الْمَظْلُومُ"

Kedua orang yang saling mencaci menurut apa yang dikatakan oleh masing-masing, sedangkan dosanya ditanggung oleh pihak yang memulainya, selama pihak yang teraniaya tidak melampaui batas.

Adapun firman Allah Swt.:

{أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ}

Mereka itu mendapat azab yang pedih. (Asy-Syura: 42)
Yakni siksa yang sangat menyakitkan.

Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Zaid (saudara lelaki Hammad ibnu Zaid), telah menceritakan kepada kami Usman Asy-Syahham, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Wasi' yang mengatakan bahwa ia tiba di Mekah, dan ia menjumpai di atas parit ada jembatan, lalu ia di tangkap dan dibawa menghadap kepada Marwan ibnul Muhallab yang saat itu menjabat sebagai amir (gubernur) di Basrah. Lalu Marwan bertanya, "Ada apakah keperluanmu, hai Abu Abdullah?" Abu Abdullah (nama panggilan Muhammad ibnu Wasi') menjawab, "Keperluanku hanyalah menginginkan agar engkau seperti saudara Bani Addi bila engkau mampu.”Marwan bertanya, "Siapakah saudara Bani Addi yang engkau maksud?" Abu Abdullah menjawab, "Dia adalah Al-Ala ibnu Ziyad. Dia pernah menugaskan seorang teman dekatnya untuk menjadi 'amil(pejabat), lalu ia berkirim surat kepada 'amil-nyayang isinya seperti berikut, 'Amma Ba'du, Jika engkau mampu untuk tidak menginap (tidur) kecuali dirimu dalam keadaan tanpa beban, perutmu kosong, dan tanganmu bersih dari darah kaum muslim dan harta mereka, lakukanlah. Dan Jika engkau melakukan hal tersebut, berarti tidak ada dosa bagimu'." Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. (Asy-Syura: 42) Maka Marwan berkata, "Demi Allah, dia benar dan memberi nasihat." Marwan bertanya, "Hai Abu Abdullah, lalu apakah keperluanmu?" Abu Abdullah menjawab, "Keperluanku ialah engkau biarkan aku berkumpul dengan keluargaku." Marwan menjawab, "Baiklah, aku izinkan."‎
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.

Setelah mencela perbuatan aniaya dan para pelakunya serta ditetapkan-Nya hukum qisas (pembalasan), lalu Allah Swt. menyerukan kepada (hamba-hamba-Nya) untuk memaaf dan mengampuni (kesalahan orang lain) melalui firman-Nya:

{وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ}

Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan. (Asy-Syura: 43)

Yakni sabar dalam mengadapi gangguan yang menyakitkan dan memaafkan perbuatan buruk yang dilakukan terhadap dirinya.

{إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الأمُورِ}

Sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. (Asy-Syura: 43)

Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah hal tersebut benar-benar termasuk perkara yang benar yang dianjurkan oleh Allah Swt. untuk dilakukan. Dengan kata lain, sifat memaafkan kesalahan orang lain itu merupakan sikap yang disyukuri dan perbuatan yang terpuji, pelakunya akan mendapat pahala yang berlimpah dan pujian yang baik.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Musa At-Tartusi, telah menceritakan kepada kami Abdul Musammad ibnu Yazid (pelayan Al-Fudail ibnu Iyad yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Al-Fudail ibnu Iyad mengatakan, "Apabila datang kepada Anda seorang lelaki yang mengadu kepadamu perihal perbuatan seseorang terhadap dirinya, maka katakanlah kepadanya, 'Hai saudaraku, maafkanlah dia, karena sesungguhnya sikap memaafkan itu lebih dekat kepada ketakwaan.' Dan jika dia mengatakan kepada Anda, 'Hatiku tidak kuat untuk memberi maaf, tetapi aku akan membela diri sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt,' maka katakanlah kepadanya, 'jika engkau dapat membela diri, lakukanlah. Tetapi jika engkau tidak mampu, maka kembalilah ke jalan memaafkan, karena sesungguhnya pintu memaafkan itu sangat luas. Dan barang siapa yang memaafkan serta berbuat baik, maka pahalanya ditanggung oleh Allah Swt. Orang yang memaaf tidur dengan tenang di pelaminannya di malam hari, sedangkan orang yang membela dirinya membalikkan permasalahan'."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى -يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ الْقَطَّانَ-عَنِ ابْنِ عَجْلان، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ،عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا شَتَمَ أَبَا بَكْرٍ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ، فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْجَبُ وَيَتَبَسَّمُ، فَلَمَّا أَكْثَرَ رَدَّ عَلَيْهِ بَعْضَ قَوْلِهِ، فَغَضِبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَامَ، فَلَحِقَهُ أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ كَانَ يَشْتُمُنِي وَأَنْتَ جَالِسٌ، فَلَمَّا رَدَدْتُ عَلَيْهِ بَعْضَ قَوْلِهِ غَضِبْتَ وَقُمْتَ! قَالَ: "إِنَّهُ كَانَ مَعَكَ مَلَكٌ يَرُدُّ عَنْكَ، فَلَمَّا رَدَدْتَ عَلَيْهِ بَعْضَ قَوْلِهِ حَضَرَ الشَّيْطَانُ، فَلَمْ أَكُنْ لِأَقْعُدَ مَعَ الشَّيْطَانِ". ثُمَّ قَالَ: "يَا أَبَا بَكْرٍ، ثَلَاثٌ كُلُّهُنَّ حَقٌّ، مَا مِنْ عَبْدٍ ظُلم بِمَظْلَمَةٍ فَيُغْضِي عَنْهَا لِلَّهِ، إِلَّا أَعَزَّ اللَّهُ بِهَا نَصْرَه، وَمَا فَتَحَ رَجُلٌ بَابَ عَطِيَّةٍ يُرِيدُ بِهَا صِلَةً، إِلَّا زَادَهُ اللَّهُ بِهَا كَثْرَةً، وَمَا فَتَحَ رَجُلٌ بَابَ مَسْأَلَةٍ يُرِيدُ بِهَا كَثْرَةً، إِلَّا زَادَهُ اللَّهُ بِهَا قِلَّةً"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya (yakni Ibnu Sa'id Al-Qattan), dari Ibnu Ajlan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Sa'id, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki mencaci sahabat Abu Bakar r.a, sedangkan Nabi Saw. saat itu duduk, lalu Nabi Saw. hanya tersenyum dan merasa kagum. Tetapi ketika Abu Bakar r.a. membalas sebagian cacian yang ditujukan terhadap dirinya, Nabi Saw. kelihatan marah, lalu bangkit. Maka Abu Bakar menyusulnya dan bertanya kepadanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ketika dia mencaciku engkau tetap dalam keadaan duduk, Tetapi ketika aku membalas caciannya, engkau kelihatan marah dan meninggalkan tempat duduk." Nabi Saw. menjawab: Sesungguhnya pada mulanya ada malaikat yang bersamamu membela dirimu. Tetapi ketika engkau membalas terhadapnya sebagian dari caciannya (malaikat itu pergi) dan datanglah setan, maka aku tidak mau duduk bersama setan.Kemudian beliau Saw. bersabda pula: Hai Abu Bakar, ada tiga perkara yang semuanya benar, yaitu tidak sekali-kali seseorang hamba dianiaya dengan suatu penganiayaan, lalu ia menahan dirinya karena Allah, melainkan Allah akan memuliakannya dan menolongnya. Dan tidak sekali-kali seorang lelaki membuka pintu pemberian dengan mengharapkan silaturahim, melainkan Allah Swt. makin menambah banyak(hartanya). Dan tidak sekali-kali seorang lelaki membuka pintu meminta-minta karena ingin memperbanyak (hartanya), melainkan Allah Swt. makin menambah sedikit (hartanya).

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud, Abdul A'la ibnu Hammad, dari Sufyan ibnu Uyaynah; Abu Daud mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan pula oleh Safwan ibnu Isa yang keduanya (Sufyan dan Safwan) meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Ajlan. Abu Daud telah meriwayatkan pula hadis ini melalui jalur Al-Laits, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Basyir ibnul Muharrar, dari Sa'id ibnul Musayyab secara mursal.
Hadis ini sangat baik maknanya dan sesuai dengan akhlak As-Siddiq r.a.


Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar